• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PENGENDALIAN MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN PENGENDALIAN MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PENGENDALIAN MASTITIS SUBKLINIS PADA

SAPI PERAH

(Studies on Subclinical Mastitis Control in the Dairy Cows)

SUPAR dan TATI ARIYANTI

Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor

ABSTRACT

Mastitis is a disease due to inflammation of mamae glands of dairy cows, which may cause economic losses associated with decrease in milk quality and production. Two types of mastitis in the dairy cows, that are clinical mastitis (MK) and subclinical mastitis (MSK). The purpose of this study was to control of MSK by dry cow therapy (DCT). This studies consisted of field obsevations and trials and laboratory activities conducted during the period 1994-1995. Field trial comprised preliminary field works for determining farmer respondents at Bandung, Sukabumi and Bogor districts and collecting milk samples. The laboratory activites were to determine the aetiology of MSK by bacterial isolation and milk samples by mean of Aulendorfer Mastitis Probe (AMP). The results of bacterial isolation and identification of the aetiologic agent of MSK were Streptococcus agalactia, Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis (91,5%), whereas

Streptococcus dysagalactiae, Streptococcus uberis, Coliform etc only 8,5%. The examination by AMP

indicated 53,1% (646/1216) of quartir milk samples suffering MSK. In the following lactation 47,3% (152/533) suffering MSK. The effect of DCT on milk production of 33 of dairy cows suffer MSK showed that the milk production was at average of 1615 L/head /90 days. The milk production from 60 head of cows suffer MSK without DCT was at an average of 1320 L/head/90 days. The milk production from 10 head of healthy cows with DCT resulted milk production at average of 1617 L/head/90 days, whereas 26 head of healthy cows without DCT, its milk production only at average of 1550 L/head/90 days. This studied concluded that the control MSK by DCT followed by good squeezing management practices could suppress MSK cases and increase the milk production.

Keywords: Dairy cow, subclinical mastitis, dry cow therapy ABSTRAK

Mastitis merupakan radang kelenjar mamae pada sapi perah yang dapat menyebabkan kerugian ekonomi berupa penurunan kualitas dan produksi susu. Mastitis pada sapi perah dibedakan menjadi 2 macam, yaitu: mastitis klinis (MK) dan mastitis subklinis (MSK). Tujuan kajian ini ialah untuk pengendalian MSK secara

dry cow therapy (DCT). Kegiatan pengkajian ini meliputi aktifitas lapangan dan laboratorium pada tahun

1994-1995. Kajian lapangan terdiri dari prasurvei untuk menentukan lokasi dan peternak responden (di Kabupaten, Bandung, Bogor dan Sukabumi) dan pengambilan sampel susu. Kegiatan laboratorik meliputi konfirmasi penyebab penyakit secara isolasi dan secara Aulendorfer Mastitis Probe (AMP). Dari isolasi diketahui penyebab mastitis ialah Streptococcus agalactia, Staphylococcus aureus Staphylococcus

epidermidis mendominasi (91,5%) sedangkan Streptococcus dysagalactiae, Streptococcus uberis, Coliform

dan lain-lain minoritas (8,5%). Pemeriksaan secara AMP sebanyak 646 dari 1216 (53,1%) sampel menunjukkan susu kuartir menderita MSK dan pada laktasi berikutnya dengan sampel 533 kuatir sebanyak 152 (47,3%) menderita MSK. Pengaruh perlakuan DCT terhadap produksi susu dari 33 ekor sapi penderita MSK produksi susunya rata-rata sebanyak 1615 liter/ekor/90 hari. Pada 60 ekor penderita MSK tidak dilakukan DCT rata-rata menghasilkan susu sebanyak 1320 liter/ekor/90 hari. Pada 10 ekor sapi sehat yang dilakukan DCT produksi susunya sebanyak 1617 liter/ekor/90 hari dan 26 ekor sapi sehat tidak dilakukan DCT produk susunya sebanyak 1550 liter/ekor/90 hari. Dari pengkajian ini disimpulkan bahwa, pengendalian MSK secara dry cow therapy, disertai dengan manajemen pemerahan yang baik dapat menekan kejadian MSK dan menaikan produksi susu.

(2)

PENDAHULUAN

Mastitis merupakan salah satu penyakit yang sangat merugikan pada industri sapi perah. Mastitis adalah radang pada kelenjar susu (mammae) pada sapi perah, penyakit ini tersebar luas di berbagai belahan dunia (DOHOO dan LESLIE, 1991; DOHOO dan MORRIS, 1993), termasuk di Indonesia (HIRST et al., 1984, 1985; WARUDJU danBUDIHARTA, 1985; SUPAR, 1997). Penyakit tersebut disebabkan oleh berbagai jenis mikroba patogen yang masuk dalam ambing susu melalui saluran susu pada puting ambing susu, antara lain: Streptococcus spp., Staphylococcus spp., bakteri Coliform (HIRST et al., 1984; ROMPIS et al., 1985), dan patogen lainnya

(BUDIHARTA dan WARUDJU, 1985). Di samping faktor patogen, faktor penularan mastitis non mikroba patogen dapat terjadi dari satu puting ke puting yang lain pada saat pemerahan susu, seperti faktor lingkungan dan sanitasi (HUTABARAT et al., 1985a,b). Proses penularan agen penyebab mastitis dapat terjadi pada saat pemerahan susu secara manual, melalui tangan pemerah, air yang dipakai untuk mencuci ambing susu, kain lap atau peralatan lain yang dipakai pada saat pemerahan susu.

Manifestasi penyakit mastitis pada sapi perah dibedakan menjadi 2 macam, yaitu: mastitis klinis (MK) dan mastitis subklinis (MSK) (HIRST et al., 1985). Pada umumnya para peternak sudah mengenal mastitis klinis, akan tetapi mereka belum begitu paham dan mengenal MSK, karena tidak tampak tanda-tanda klinisnya. Distribusi MSK dalam peternakan sapi perah tergantung kepada distribusi infeksi mikroba patogen mastitis dalam kelenjar mammae. Mastitis subklinis merupakan mastitis yang paling umum terjadi, yaitu kira-kira 15–40 kali lebih banyak dibandingkan dengan mastitis klinis (HURLEY

dan MORIN, 2000). Sebagian besar kejadian mastitis di Indonesia merupakan mastitis subklinis (WIBAWAN et al., 1995). Faktor penting yang mempengaruhi penyebaran MSK pada peternakan adalah terdapatnya mikroorganisme patogen dalam kuartir (puting susu) yang terinfeksi. Kondisi MSK dapat didiagnosa dengan melakukan pemeriksaan laboratorik untuk mengetahui kandungan sel somatik dalam susu (SUPAR, 1997). Jumlah sel

somatik pada susu beberapa hari awal laktasi bukan merupakan indikator yang baik. Pada sapi yang tidak terinfeksi oleh mikroba patogen mastitis, jumlah sel somatik akan turun sampai umur 2 minggu setelah partus dan selanjutnya jumlah sel somatik akan tetap stabil. Akan tetapi bila terjadi infeksi jumlah sel somatik akan naik (DOHOO dan MORRIS, 1993). Pada kondisi tersebut kemungkinan jumlah sel somatik akan naik, sejalan dengan peningkatan jumlah sel somatik akan diikuti penurunan produksi susu.

Kerugian ekonomi yang disebabkan oleh penyakit mastitis subklinis berupa penurunan produksi susu, masa laktasi yang lebih pendek dan bertambahnya biaya pengobatan, namun demikian data penelitian yang dipublikasi dalam kalkulasi kerugian mastitis subklinis di Indonesia sangat langka. Contoh klasik dapat dikemukakan sebagai gambaran kerugian ekonomi mastitis subklinis dari kajian di Kabupaten Boyolali telah dilaporkan, bahwa penurunan produksi susu per kuatir akibat MSK ringan menyebabkan penurunan produksi susu 19% per hari dan pada MSK berat penurunan produksi dapat mencapai 36% (HUTABARAT et al., 1985a,b). Lebih lanjut studi kasus MSK di Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta) dilaporkan bahwa prevalensi MSK antara 37% sampai 67% dan mastitis klinis antara 5% sampai 30% dapat menyebab-kan kerugian ekonomi mencapai 8,5 milyard rupiah per tahun, bila tanpa pengendalian mastitis yang intensif (HIRST et al., 1985; SUPAR, 1997).

Dari studi retrospektif menunjukkan bahwa hampir semua mastitis klinis selalu berasal dari MSK, oleh karena itu para peternak harus benar-benar menyadari dan mengetahui akan hal itu dan berupaya untuk melakukan penekanan MSK. Sehubungan dengan hal itu, pada kesempatan ini dikemukan hasil kajian pengendalian MSK secara dry cow therapy (DCT).

MATERI DAN METODE

Lokasi pengkajian dan penentuan peternak responden

Pengkajian pengendalian MSK ini dilakukan pada peternakan sapi perah di

(3)

Kabupaten Bandung, Sukabumi dan Kabupaten Bogor. Pada awalnya diakukan kegiatan prasurvei, mengunjungi peternak dan mengadakan tanya jawab yang berhubungan dengan sapi meliputi status reproduksi, produksi susu harian per ekor, produksi susu keseluruhan. Di samping itu, menanyakan kesediaan mereka untuk melaksanakan pengendalian mastitis. Dalam pengamatan MSK perlu pengambilan sampel susu, sebanyak 5 ml sampel susu dari tiap-tiap kuartir sebelum pemerahan. Sampel susu ditampung dalam botol bijou steril dan dimasukkan ke dalam termos es. Dari sampel tersebut setelah sampai di laboratorium, dilakukan pemeriksaan isolasi patogen penyebab mastitis, dan untuk mengetahui prevalensi MSK dan MK.

Penentuan MSK

Pada pengkajian ini MSK diperika dengan metode Aulendorfer Mastitis Probe (AMP) yang dimodifikasi sesuai kondisi laboratorium setempat (HIRST et al., 1985; Sudibyo et al., 1992). Secara singkat sebagai berikut: Perekasi AMP dibuat dengan melarutkan

Na-dodecy-hydrogen sulfate 40 gram, Harnstoff urea 240

gram, Phenolphtalein 80 miligram dalam 50 ml aquadest, kemudian ditambah aquadest sampai volume 1000 ml, sehingga bahan padat larut secara homogen. Sebanyak 3 ml sampel susu dimasukkan dalam tabung reaksi (kapasitas 10 ml), kemudian ditambah pereaksi AMP sebanyak 3 ml dikocok pelan-pelan sampai homogen. Diinkubasikan pada suhu kamar (25-300C) selama 16-24 jam. Pengamatan adanya reaksi perubahan yang terjadi dalam tabung dari awal adalah terjadinya suspensi yang bersifat gelatinous terbentuk dalam dasar tabung, berwarna putih yang naik ke atas, bagian bawah menjadi agak jernih. Intensitas reaksi yang terbentuk dari amteri gelatinous tersebut berupa DNA dari sel somatik yang lisis karena pereaksi atau senyawa-senyawa protein yang sangat komplek yang disekresikan dalam susu. Bahan gelatinous tersebut secara proporsional sebanding dengan intensitas peradangan atau inflamntory respon dari sel kelenjar susu. Cara pembacaan reaksi AMP: Dibuat garis-garis mendatar sejajar mulai skala 0 sampai 8 setinggi campuran susu dan pereaksi tersebut masing-masing unit

sepanjang satu sentimeter. Skala garis-garis sejajar tersebut diletakkan dibelakang tabung, nilai sel radang yang paling tinggi 8 hampir seluruh tabung tampak berisi suspensi gelatinous warna putih, sedangkan yang paling rendah nilainya 1 (hampir seluruh tabung warna jernih). Dengan demikian nilai uji metode deteksi mastitis dapat dibedakan dari 1 sampai 8. Nilai 1-2 mengandung sel somatik kurang dari 500.000 sel/ml, hewan sehat; nilai 3-5 mengandung sel setara dengan 500.000- 1.000.000 sel/ml, hewan menderita MSK sedang dan nilai 6-8 menunjukkan diatas 1.000.000 sel/ml, hewan menderita MSK berat atau mendekati klinis (SUPAR, 1997).

Isolasi dan identifikasi bakteri patogen dalam susu

Sampel susu dari tiap kuartir diperiksa terhadap adanya bakteri dengan mengino-kulasikan 0,01 ml susu pada media agar aesculin yang ditambah 5% darah domba yang disiapkan dalam cawan petri. Diikubasikan pada suhu 370C selama satu malam. Setelah inkubasi kultur diamati adanya koloni yang tumbuh pada permukaan agar, dengan mengidentifikasi warna dan bentuk koloni, sifat hemolitik dan sifat mengurai aesculin dibawah sinar ultraviolet. Koloni terpilih diidentifikasi sifat-sifat biokhemiknya (COWAN, 2003). Koloni pada agar darah yang dicurigai Streptococcus agalactiae, S. dysagalactiae dan S. uberis diidentifikasi lebih

lanjut menurut CLAXTON (1980). Identifikasi koloni yang dicurigai Staphyloccus spp. berdasarkan sifat-sifat koloni pada media agar darah bersifat alpa/beta hemolisis. Identifikasi lebih lanjut menurut CLAXTON (1980) dan COWAN (2003).

Pemilihan sapi untuk perlakuan pengobatan Pemilihan sapi perah yang akan dipakai untuk perlakuan pengobatan didasarkan pada hasil evaluasi pengamatan lapangan dan hasil pemeriksaan laboratorium dengan mempertim-bangkan status reproduksinya. Pengobatan mastitis dilakukan pada saat sapi pada kondisi kering kandang.

Pemilihan peternak responden dilakukan secara selektif, dalam hal ini pengobatan mastitis pada level peternak ini diharapkan para peternak responden ikut aktif dalam

(4)

kegiatan manajemen ternak dengan baik termasuk manajemen kesehatan, termasuk juga dalam pencatatan data-data produksi dan pengobatan.

Prosedur pengendalian MSK secara DCT Setelah hasil pengamatan lapangan pada periode prasurvei dan monitoring diketahui, selanjutnya sapi terpilih 162 sapi bunting kering kandang. Berdasarkan uji secara AMP terdapat 93 ekor menderita masitis dan 36 sehat. Dari kelompok-kelompok tersebut ditentukan sapi yang akan diobati secara dry

cow therapy dan yang tidak (untuk kontrol).

Dengan demikian ada 4 kelompok perlakuan, yaitu : Kelompok I, sapi sakit mastitis tidak diobati pada saat kering kandang (kontrol) (non DCT) sebanyak 60 ekor; kelompok II, sapi mastitis diobati pada waktu kering kandang (DCT) sebanyak 33 ekor: Kelompok III, sapi sehat tidak diobati (non DCT) sebanyak 26 ekor: dan kelompok IV, sapi sehat pada saat kering kandang diobati (DCT) sebanyak 10 ekor. Adapun obat antibiotik yang dipakai dalam percobaan ini ialah penicillin semisintetik dan cloxacillin, yang sebelumnya secara in vitro isolat bakteri gram negatif dari sampel susu masih sensitif terhadap obat tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada pelaksanaan prasurvei di ke-3 Kabupaten (Bandung, Bogor dan Sukabumi) dikunjungi 84 lokasi peternakan tersebar pada 13 Kecamatan termasuk di dalamnya 22 Desa dengan jumlah sapi yang diidentifikasi bunting 382 ekor. Berdasarkan pertimbangan jauh - dekatnya dan distribusinya serta biaya penelitian terbatas, setelah dilakukan monitoring selang waktu 2 bulan hanya dipilih 33 peternak responden tersebar di 10 Desa dalam wilayah 8 Kecamatan dengan jumlah sapi 162 (Tabel 1). Pada saat kunjungan pra-survei sampel susu yang dikoleksi sebanyak 1216 kuartir yang diperiksa secara AMP menunjukkan positif MSK sebanyak 53,1% (Tabel 2). Pada monitoring 2 bulan berikutnya prevalensi MSK sedikit menurun menjadi 47,3%. Hal ini mungkin terjadi atas perbaikan manajemen pemerahan yang dianjurkan kepada peternak.

Sebagian sampel susu kuartir tersebut (188) dilakukan pengisolasian bakteri, hasilnya dapat dilihat pada Gambar 1. Streptococcus

agalactiae (60,6%) dan Stapylococcus aureus

(18,1%) mendominasi masalah penyebab mastitis subklinis. Hasil perolehan tersebut mirip dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya (HIRST et al., 1985; SUDIBYO et al,. 1992).

Tabel 1. Data kunjungan dan pengamatan sapi perah pra-survei untuk pemeriksaan MSK Lokasi

(Kabupaten) Banyaknya kecamatan Banyaknya desa Banyaknya peternak

Banyaknya sapi bunting diamati Bandung 3 8 41 151 Bogor 5 6 24 93 Sukabumi 5 8 19 138 Subjumlah 13 22 84 382

Monitoring 2 bulan berikutnya

Bandung 3 5 19 75

Bogor 4 4 13 58

Sukabumi 1 1 1 31

(5)

Tabel 2. Distribusi MSK sampel susu kuartir yang diperiksa secara AMP Tahap pengamatan mastitis Total sampel Kategori nilai

AMP Banyaknya sampel Prosentase (%) Keterangan 1-2 570 46,9 Sehat 3-5 275 22,6 MSK sedang Pra-survei 1216 6-8 371 30,5 MSK berat 1-2 281 52,7 Sehat 3-5 73 13,7 MSK sedang

Tahap monitoring mastitis laktasi berikutnya 533 6-8 179 33,6 MSK berat 0 10 20 30 40 50 60 70 Prosentase (%) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Jenis bakteri

Gambar 1. Hasil isolasi bakteri dari 188 sampel susu kuartir penderita MSK Dari hasil percobaan DCT dari 162 sampel

yang terpilih untuk diobati dipilih lagi yang rentang waktu beranak tidak berbeda terlalu lama, yaitu 93 ekor menderita MSK dan 36 sapi sehat berdasar uji MSK, seperti telah dijelaskan dalam materi dan metode. Dari kajian produksi susu dari masing-masing sapi dicatat (dilakukan oleh peternak responden) selama dalam periode 90 hari. Pada akhir pengamatan produksi susu, rata-rata produksi susu tiap ekor dalam tiap kelompok tertera pada Tabel 4. Produksi susu sapi yang sehat dan diberi perlakuan DCT menghasilkan susu yang lebih tinggi dibanding dengan sapi sehat yang tanpa perlakuan DCT, berbeda nyata pada tingkat 95%. Sedangkan sapi sakit MSK yang diobati secara DCT menghasilkan susu lebih tinggi dibanding dengan/tanpa perlakuan DCT, berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 99%.

Mastitis subklinis merupakan penyakit yang mengakibatkan kerugian ekonomi pada industri persusuan karena menurunkan produksi susu. Uji MSK secara AMP sudah dikenalkan kepada para peternak atau KUD sejak lama, pemeriksaan ini cukup akurat dan ekonomis. Dengan mengetahui derajat MSK tiap kuartir ambing susu, langkah pengobatan yang tepat dan akurat dapat dilakukan dan program pengendalian MSK dapat direncana-kan sedini mungkin. Pengendalian MSK secara DCT/ cloxacillin pada saat sapi kering kandang lebih efektif karena dapat meningkatkan produksi susu dan mencegah terjadinya mastitis pada laktasi berikutnya. Namun demikian program pengendalian mastitis dengan DCT yang teratur dapat berhasil apabila juga diikuti dengan manajemen pemerahan yang baik.

Keterangan: 1. Streptococcus agalactiae 2. Streptococcus uberis 3. Streptococcus agalactiae 4. Staphylococcus aureus 5. Staph. epidermidis 6. E. coli 7. Bacillus spp. 8. Pseudomonas spp. 9. Corynebacterium spp.

(6)

Tabel 3. Pengaruh perlakuan dry cow therapy (DCT) pada sapi perah bunting saat kering kandang terhadap produktivitas susu setelah laktasi

Pengaruh perlakuan DCT terhadap produksi susu No Kelompok sapi

Pelakuan Banyaknya sapi Rataan produksi 90 hari/ekor (liter)

1 Menderita MSK DCT 33 1615

2 Menderita MSK Tanpa DCT 60 1320

3 Sehat DCT 10 1617

4 Sehat Tanpa DCT 26 1550

Mastitis subklinis merupakan penyakit yang mengakibatkan kerugian ekonomi pada industri persusuan karena menurunkan produksi susu. Uji MSK secara AMP sudah dikenalkan kepada para peternak atau KUD sejak lama, pemeriksaan ini cukup akurat dan ekonomis. Dengan mengetahui derajat MSK tiap kuartir ambing susu, langkah pengobatan yang tepat dan akurat dapat dilakukan dan program pengendalian MSK dapat direncanakan sedini mungkin. Pengendalian MSK secara DCT/cloxacillin pada saat sapi kering kandang lebih efektif karena dapat meningkatkan produksi susu dan mencegah terjadinya mastitis pada laktasi berikutnya. Namun demikian program pengendalian mastitis dengan DCT yang teratur dapat berhasil apabila juga diikuti dengan manajemen pemerahan yang baik.

KESIMPULAN

Jenis bakteri yang dapat diisolasi dari sapi perah penderita MSK adalah Streptococcus

agalactia, Staphylococcus aureus, Staphylo-coccus epidermidis mendominasi (91,5%),

sedangkan Streptococcus dysagalactiae,

Strep-tococcus uberis, Coliform dan lain-lain

minoritas (8,5%). Pengendalian MSK secara

dry cow therapy, disertai dengan manajemen

pemerahan yang baik dapat menekan kejadian MSK dan menaikkan produksi susu

DAFTAR PUSTAKA

BUDIHARTA,S.danB.WARUDJU. 1985. Mastitis di Daerah Istimewa Yogyakarta. II. Isolasi bakteri penyebab dan resistensi terhadap beberapa antibiotika. Hemerazoa 72 (1): 58– 68.

CLAXTON P.D. 1980. Bovine mastitis bacteriology. Australian Bureau of Animal Health. Glenfield, New South Wales.

COWAN S.T. 2003. Cowan and steel’s manual for the identification of medical bacteria. Cambridge University Press, Cambridge, London, New York, Melbourne, Sydney. pp: 52–57, 59–66.

DOHOO,I.R.andK.E.LESLIE. 1991. Evaluation of change in cell counts as indicator of new intramammary infection. Prevent. Vet. Med. 10: 225–227.

DOHOO,I.R.andR.S.MORRIS. 1993. Somatic cell count pattern in Prince Edward Island dairy herds. Prevent. Vet. Med. 15: 55–65.

HIRST, R. G., SUPAR, J. EMINS, Y. SETIADI and SUPARTONO. 1984. Report on milk examination for clinical and suclinical mastitis at Baturaden, Purwokerto, Central Java. HIRST, R. G.,A. NURHADI, A. ROMPIS, J. EMINS,

SUPARTONO and Y. SETIADI. 1985. The detection subclinical mastitis in the tropic and the assesment of associated milk production losses. Proceedings of the third AAAP Animal Science congress, Seuol, Korea. Vol. I. pp: 498–500.

HURLEY, W.L. and D. E. MORIN. 2000. Mastitis lesson A. Lactation Biology. ANSCI 308. http://classes aces.uiuc.edu/Ansci 308/. [13– 12–2001].

HUTABARAT, T. P. N., S. WITONO dan D. H. A. UNRUH. 1985a. Problematik mastitis pada peternakan sapi perah rakyat di Kabupaten Boyolali: 1. Pengaruh faktor lingkungan dan sanitasi pemerahan terhadap mastitis. Laporan tahunan hasil penyidikan penyakit hewan di Indonesia periode 1983–1984. hlm: 26–33.

(7)

HUTABARAT, T. P. N., S. WITONO dan D. H. A. UNRUH. 1985b. Problematik mastitis pada peternakan sapi perah rakyat di Kabupaten Boyolali: 2. Penurunan produksi susu akibat mastitis. Laporan tahunan hasil penyidikan penyakit hewan di Indonesia periode tahun 1983–1984. hlm: 34–44.

SUDIBYO,A.,M.PULUNGAN,S.BAHRI, SUPARTONO danY. SETIADI. 1992. Pengendalian mastitis pada sapi perah di Pasuruan Jawa Timur. Laporan Penelitian Balai Penelitian Veteriner Tahun Anggaran 1991–1992. hlm: 75–83. SUPAR. 1997. Mastitis subklinis pada sapi perah di

Indonesia: Masalah dan pendekatannya.

Wartazoa. 6 (2): 48–52.

WARUDJU,Bdan S.BUDIHARTA. 1985. Mastitis di Daerah Istimewa Yogyakarta. I. Distribusi dan epidemiologi. Hemerazoa 72 (1): 52–57. WIBAWAN IWT, PASARIBU FH, HUMINTO H, dan

ESTUNINGSIH S. 1995. Ciri biovar

Streptococcus agalactiae sebagai petunjuk

infeksi silang antara sapi dan manusia. Laporan Hasil Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi IV Tahap–1.

DISKUSI Pertanyaan:

1. Kriteria apa yang digunakan sebagai standar pengambilan sampel susu di lapangan dalam mendeteksi adanya mastitis subklinis pada sapi ?

2. Bakteri apa yang paling tinggi menyebabkan mastitis subklinis pada sapi?

3. Apakah dalam kasus yang diamati pernah ditemukan mastitis yang disebabkan oleh ragi (Candida sp,

Cryptococcus)?

Jawab:

1. Kriteria yang digunakan sebagai standar pengambilan sampel susu di lapangan dalam mendeteksi adanya mastitis subklinis pada sapi adalah adanya penurunan produksi susu dan masa laktasi yang lebih pendek 2. Dalam penelitian ini, bakteri yang

paling tinggi menyebabkan mastitis subklinis pada sapi adalah

Streptococcus agalactia (60,6%)

3. Dalam penelitian ini tidak memeriksa adanya infeksi Candida sp. dan Cryptococcus dalam ambing sapi

Gambar

Tabel 1. Data kunjungan dan pengamatan sapi perah pra-survei untuk pemeriksaan MSK  Lokasi
Tabel 2. Distribusi MSK sampel susu kuartir  yang diperiksa secara AMP  Tahap pengamatan mastitis  Total sampel  Kategori nilai
Tabel 3. Pengaruh  perlakuan dry cow therapy (DCT) pada sapi  perah bunting saat kering kandang terhadap  produktivitas susu setelah laktasi

Referensi

Dokumen terkait

Faktor-Faktor Pengaruh Perkembangan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, disimpulkan beberapa faktor dominan yang mempengaruhi perubahan pola bentuk ruang kampung

Pancasila dalam mengembangkan sikap sosial siswa di SMA Negeri 4 Bandar Lampung maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas nilai Pancasila telah berjalan dengan baik

Sedangkan Persepsi AP terhadap pentingnya pemahaman AP pada aspek syariah dalam rangka Efisiensi aktivitas audit entitas syariah berpengaruh secara langsung yang berarti bahwa

Insidensi dan keparahan penyakit diamati pada tanaman kubis-kubisan yang terserang oleh penyakit bercak daun alternaria, akar gada, dan busuk hitam.. Insidensi penyakit (IP)

1. Ketekunan pengamatan akan dilakukan dengan cara peneliti mengadakan pengamatan secara teliti, rinci dan terus menerus selama proses penelitian di MI Miftahul

Pemberian berbagai dosis kompos isi rumen sapi pada tanaman kacang hijau berpengaruh untuk parameter tinggi tanaman, jumlah cabang primer, jumlah polong bernas per

Hasil penelitian ini ternyata mayoritas responden di SMAN 6 Depok yang berusia ≥ 16 tahun lebih banyak berperilaku pacaran yang sehat, namun tidak menutup

Dengan segala keterbatasan yang ada, penulis berupaya semaksimal mungkin untuk memahami tafsirnya satu demi satu sehingga dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa