• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENETAPAN PENGADILAN TERHADAP STATUS ANAK LI AN DARI PERKAWINAN YANG SAH BERDASARKAN TEST DEOKSIRIBO NUKLEAD ACID

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENETAPAN PENGADILAN TERHADAP STATUS ANAK LI AN DARI PERKAWINAN YANG SAH BERDASARKAN TEST DEOKSIRIBO NUKLEAD ACID"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Faculty of Law, Lambung Mangkurat University, Banjarmasin, South Kalimantan, Indonesia. ISSN: 2502-3136 | e-ISSN: 2502-3128. Open Access at: http://lamlaj.ulm.ac.id/web/

LamLaj

PENETAPAN PENGADILAN TERHADAP STATUS ANAK

LI’AN

DARI PERKAWINAN YANG SAH BERDASARKAN

TEST DEOKSIRIBO NUKLEAD ACID

Rachmadi Usman1, Diana Rahmawati2

Faculty of Law, University of Lambung Mangkurat Jl.Brigjen H. Hassan Basry Banjarmasin 70124 Telp/Fax: +62-4321658 Email: rachmadi.usman@ulm.ac.id

Faculty of Law, University of Lambung Mangkurat Jl.Brigjen H. Hassan Basry Banjarmasin 70124 Telp/Fax: +62-4321658 Email: dianaunlam@gmail.com

Submitted : 25/08/2019 Reviewed 24/09/2019 Accepted:30/09/2019

Abtract: In accordance with Decision of the Constitutional Court Number 46 / PUU-VIII / 2010 dated 17 February 2012, the Deoxyribo Nucleic Acid Test (DNA Test) can be an authentic evidence to find out the origin of the seeds of a fetus contained by a wife whose husband is in her husband’s husband. . If it is proven that based on DNA testing, the li’an child is indeed the son of the husband who is li’an his wife, then the effort to recover the status and rights of the child can be done through court proceedings based on Article 43 paragraph (1) and Article 55 paragraph (2) UU no. 1/1974 and Article 103 paragraph (2) Compilation of Islamic Law. Efforts to restore the status and rights of li’an children can be done through the determination of the court based on DNA test evidence, if proven li’an children have blood relations with his father, the judge can cancel the denial of the child because of adultery (through li’an) as a basis for changing the legal status Li’an children become legitimate children (Istilhag children), which results in the restoration of nasab and other civil relations with his father and his father’s family.

Keywords: Legitimate Marriage; Li’an Children Status; DNA testing

Abstrak: Sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 bertanggal 17 Pebruari 2012, Test Deoksiribo Nuklead Acid (Tes DNA) dapat men-jadi alat bukti yang autentik untuk mengetahui asal usul benih dari janin yang di-kandung oleh isteri yang di-li’an suaminya. Jika terbukti berdasarkan tes DNA, anak li’an itu memang anak dari suami yang me-li’an isterinya, maka upaya pemu-lihan terhadap status dan hak anak dapat dilakukan melalui proses pengadilan ber-dasarkan Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 55 ayat (2) UU No. 1/1974 dan Pasal 103

(2)

ayat (2) Kompilasi Hukum Islam. Upaya pemulihan status dan hak anak li’an itu dapat dilakukan melalui penetapan pengadilan berdasarkan bukti tes DNA, jika ter-bukti anak li’an mempunyai hubungan darah dengan ayahnya, hakim dapat mem-batalkan pengingkaran anak karena zina (melalui li’an) sebagai dasar mengubah status hukum anak li’an menjadi anaknya yang sah (anak istilhag), yang berakibat pulih kembali hubungan nasab dan keperdataan lainnya dengan ayahnya dan kelu-arga ayahnya.

Kata Kunci: Perkawinan Sah; Status Anak Li’an; Tes DNA

PENDAHULUAN

Sesuai dengan Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawi-nan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019; un-tuk selanjutnya disebut UU No. 1/1974) telah membedakan anak dalam perkawinan atas: (1) anak sah dan (2) anak tidak sah, yang ked-uanya mempunyai kedudukan hukum yang berbeda dalam hubungan keluarga. Pasal 42 UU No. 1/1974 menentukan, bahwa “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Hal ini berarti anak sah itu meliputi anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah dan anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawi-nan yang sah.

Pasal 44 UU No. 1/1974 memberikan kemungkinan kepada seorang suami untuk melakukan “penyangkalan atau pengingkaran anak” yang dilahirkan oleh isterinya. Menurut ketentuan ini “seorang suami dapat menyang-kal “sahnya anak” yang dilahirkan isterinya, jika suami dapat membuktikan bahwa isterin-ya telah berzina dan anak itu akibat dari hasil perzinaan”. Selanjut menurut ketentuan terse-but, “pengadilan akan memberikan keputusan tentang sah atau tidaknya anak” tersebut. Jika “terbukti” anak tersebut adalah hasil perzi-naan, maka anak tersebut menjadi “anak tidak

sah” atau “anak zinah”, yang hanya mempun-yai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Seorang suami yang menuduh isterinya telah berzina dengan orang harus, diwajib-kan untuk menghadidiwajib-kan empat orang saksi laki-laki atau dua orang saksi lelaki ditambah empat orang saksi wanita. Menuduh orang melakukan perzinaan termasuk dosa be-sar, karenanya jika terbukti yang menunduh dapat dikenakan hukuman didera sebanyak 40 kali. Dalam hukum Islam, seorang suami yang menuduh isterinya berbuat “zina” atau “mengingkari” anak dalam kandungan atau yang sudah dilahirkan dari isterinya yang sah, namun suami tidak mempunyai saksi-saksi dan isteri menolak tuduhan atau penging-karan tersebut, maka penyelesaiannya dilaku-kan melalui proses li’an. Akibat hukumnya menyebabkan putusnya perkawinan antara suami isteri tersebut “untuk selama-lamanya” dan anak yang dikandung isterinya “dinasa-bkan” kepada ibunya dan suami “terbebas” dari kewajiban memberi nafkah.1

Kedudukan “anak yang dilahirkan akibat dari li’an” dalam keluarga mempunyai status hukum “yang sama” dengan “anak zina”. 1 Rachmadi Usman. 2006. Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Di Indonesia.

(3)

Menurut hukum Islam, anak zina adalah “anak yang dilahirkan dari suatu perbuatan zina antara laki-laki dan perempuan yang belum terikat suatu perkawinan yang sah”. Sementara itu “anak li’an” didefinisikan sebagai

“anak yang dilahirkan dalam suatu ikatan perkawinan yang sah, namun tidak diakui oleh suami bahwa anak itu sebagai keturunannya dan hakim memutuskan hubungan nasabnya setelah melakukan sumpah li’an”. Anak yang lahir akibat dari perceraian li’an dalam hubungan kenasabannya hanya mempunyai hubungan dengan “ibu” dan “keluarga ibunya” saja. Terhadap suami ibunya maupun ayah biologisnya tidak ada hubungan nasab.2 Oleh karena itu, “ayah biologisnya” tidak ada sebuah tanggung jawab moral maupun materiil yang dibebankan kepadanya atas istrinya yang di-li’an-nya dan kepada anak yang berada dalam kandungannya, sehingga perceraian yang terjadi diantara suami dan istri tersebut membawa kepada li’an dan anak li’an tidak memiliki hak atas harta ayahnya.3

Dahulu anak-anak luar kawin dipandang sebagai anak yang tiada “berbapak” dan tiada “beribu”. Namun, sekarang anak luar kawin dianggap sebagai anak ibunya, bahkan mempunyai hubungan keperdataan dengan keluarga ibunya. Akibatnya, anak luar kawin juga berhak “mewaris” selain dari ibu juga

2 Fariha Yustisia, Liliek Istiqomah dan Yusuf Adiwibowo. ”Kedudukan Hukum Anak Yang Lahir Akibat dari Perceraian Li’an dalam Hukum Waris Islam (Legal Status of Children Born As A Result of Divorce Li’an Inheir Islamic Law). <http://repository.unej.ac.id/bitstream/ handle/ 123456789/58944/Fariha%20Yustisia. pdf;sequence=1>. Diunduh 17 Maret 2017, hlm. 6.

3 ImanJauhari. 2003. Hak-Hak Anak dalam Hukum Islam.Jakarta: Pustaka Bangsa, hlm.14.

dari keluarga ibunya.4 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 bertanggal 17 Pebruari 2012 mengubah makna anak luar kawin di mana “anak luar kawin” akan menjadi “anak sah“, jika dapat dibuktikan melalui ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) sebagai anak dari ayahnya. Pembuktian melalui iptek biasanya dengan cara tes golongan darah atau Deoksiribo Nuklead Acid (DNA). Tes DNA berguna untuk mengetahui ada kesamaan golongan darah anak dengan ayah dan keluarga ayahnya atau tidak. Tes DNA berlaku secara umum, baik untuk anak luar kawin yang dilahirkan dari perkawinan tidak dicatatkan, anak luar kawin dari hasil perzinaan, anak yang tidak diakui oleh ayahnya (li’an), anak yang tertukar, ataupun anak yang tidak diketahui asal-usul orangtuanya.5

Perceraian secara li’an merupakan proses kebenaran formal belaka, bukan kebenaran hakiki, dapat diduga diantara suami isteri pasti ada yang berbohong.6 Namun dibalik itu, “akibat hukum putusnya perkawinan karena li’an, tentunya masih ada kebenaran materiil yang mungkin tidak atau belum dapat diungkap manusia.Dari kasus perceraiaan secara li’an ini masih menyisakan beberapa kemungkinan, yaitu: pertama, isteri benar-benar berzina dan anak tersebut hasil perzinaan; kedua, isteri benar-benar berzina 4 R. Soetojo Prawirohamidjojo. 1986. Pluralisme

dalam Perundang-undangan Perkawinan Di Indonesia. Surabaya: Airlangga University Press, hlm. 7.

5 Achmad Irwan Hamzani. Maret 2015. ‘Nasab Anak Luar Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010”. Jurnal Konstitusi, 12(1): 66.

6 Amir Syafrudin. 2011. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan.Jakarta:Kencana Prenada Group.hlm.295-296

(4)

dan anak tersebut bukan hasil perzinaan (anak suaminya); dan ketiga, isteri tidak berzina dan anak tersebut bukan hasil perzinaan (anak suaminya).

Dari kemungkinan kebenaran materiil ini tentunya dari kemungkinan pertama dan kedua akan berakibat pada ketidakadilan, jika kemudian hari dapat dibuktikan bahwa si anak memang anak dari “suami yang me-li’an ibunya”. Tentunya kedudukan anak li’an seperti ini harus dipulihkan seandainya terbukti di kemudian bahwa anak itu bukan hasil dari perzinaan. Oleh karena itu, perlu dikaji mengenai kedudukan tes DNA dalam penetapan pengadilan terhadap anak yang lahir dari perkawinan yang sah (isteri yang di-li’an), yang ternyata di kemudian hari terbukti mempunyai hubungan darah dengan suami ibunya yang me-li’an-nya berdasarkan tes DNA.

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Batasan Anak Luar Kawin dalam Perun-dang-undangan

Kalangan mazhab fikih sunni meyakini

untuk menentukan ke-mahram-an seorang anak dengan ayahnya didasarkan pada “asal usul anak” tersebut.7 Ke-marham-an

ses-eorang berkaitan dengan “nasab”, “ketu-runan”, atau “kekerabatan”, yang didasar-kan adanya hubungan darah, baik karena “perkawinan sah” maupun “perkawinan fa-sid” dan melalui “hubungan badan” yang “syubhat” dengan ayahnya, bukan karena perzinaan. Hal inilah yang akan menentukan “kedudukan” dari “status dan hak seorang anak”.8

7 Ahmad Rofiq. 2013. Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 177.

8 Muhammad Jawad Mughniyah. 2007. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera, hlm. 388.

Baik dalam UU No. 1/1974 mau-pun Kompilasi Hukum Islam (KHI), konsep anak dibedakan atas anak sah dan anak di luar perkawinan (“anak luar kawin”), seperti pasal-pasal berikut ini:

Konsep Anak Sah dan Anak Di Luar Perkawinan dalam Perundang-undangan

Konsep UU No. 1/1974 KHI/Inpres No. 1/1991 Anak Sah Pasal 42

“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Pasal 99 “Anak yang sah

adalah: a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah; b. hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut”.

Redaksi kedua Pasal tersebut sama, na-mun KHI menambahkan ayat, sebagai “pem-baharuan hukum” untuk mengadopsi pene-muan teknologi bayi tabung. Materinya tidak berbeda, hanya saja KHI menggunakan istilah “nasab”, sedangkan UU No. 1/1974 memakai istilah “hubungan perdata”. Secara “substan-sial”, rumusan hukumnya merujuk pada kon-sep “nasab dalam Islam”, bahwa nasab anak itu kepada ayah dan ibunya harus berdasarkan “perkawinan sah dan jika ada anak yang la-hir tidak berdasarkan perkawinan sah, nasab anak tersebut hanya kepada ibunya dan kelu-arga ibunya.9

9 Sakirman. 2015. “Telaah Hukum Islam Indonesia Terhadap Nasab Anak”. Jurnal Studia Islamika, 12(2): 369.

(5)

Konsep anak sah dalam rumusan hu-kum yang terdapat UU No. 1/1974 maupun KHI bisa dikarenakan “dilahirkan atau lahir” dalam perkawinan sah, maupun dikarenakan sebagai “akibat” perkawinan sah. Jadi, menu-rut UU No. 1/1974 dan KHI, anak sah itu bisa dilahirkan atau lahir dalam perkawinan sah, tapi bisa juga dilahirkan atau lahir sebagai akibat perkawinan sah. Anak yang dilahirkan “dalam” perkawinan sah tersebut mengand-ung dua kemmengand-ungkinan, yaitu: (1) setelah perkawinan dilangsungkan, isteri baru hamil, dan lalu melahirkan anak; dan (2) sebelum perkawinan dilangsungkan, istri telah hamil terlebih dahulu, sesudah perkawinan, lalu is-teri melahirkan anak.10 Kemungkinan yang

kedua ini mengandung unsur penyelewengan dari konsep nasab dalam hukum Islam”.11

Sesungguhnya ketentuan Pasal 42 UU No. 1/1974 di dalamnya memberi toleransi hu-kum kepada anak yang lahir dalam perkaw-inan sah, kendati jarak perkawperkaw-inan dan kela-hiran anak kurang dari batas waktu minimal usia kandungan. Selama bayi yang dikand-ung itu lahir pada saat ibunya dalam ikatan perkawinan sah, anaknya tersebut termasuk “anak sah”. Batas minimal usia kandungan tidak diatur dalam UU No. 1/1974.12

Para ulama menyepakati seorang anak tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya se-bagai anak sah, jika anak yang bersangku-tan dilahirkan kurang dari enam bulan sete-lah perkawinan dilaksanakan. Seorang anak dipandang sebagai anak sah apabila anak tersebut dilahirkan minimal dari enam bulan sejak perkawinan kedua orangtuanya. Jika

10 Bandingkan Abdulkadir Muhammad. 1993.

Hukum Perdata Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 94-95. Lihat pula Sakirman. Loc.Cit.

11 Ibid., hlm. 169-370.

12 Bandingkan Ahmad Rofiq. Op.Cit., hlm. 178.

seorang bayi dilahirkan sebelum enam bulan masa kehamilan dari saat perkawinan kedua orangtuanya, dapat dipastikan bayi yang lahir itu prematur dan tidak normal, karena belum mengalami diferensiasi, yaitu perubahan dari gastrula (tahap pertumbuhan) menjadi em-brio. Oleh sebab itu, jika seorang bayi lahir dalam keadaan normal sebelum masa enam bulan dari perkawinan kedua orangtuanya, maka dapat dipastikan bahwa pembuatan (fer-tilisasi) bayi yang dilahirkan tersebut telah dilakukan sebelum perkawinan dilaksanakan, dan setiap pembuahan yang dilakukan di luar perkawinan sah, yang kemudian melahirkan anak, anaknya tersebut dikategorikan sebagai “anak luar kawin”.13

Batasan “minimal dan maksimal” usia bayi dalam kandungan seorang ibu diatur secara implisit dalam KHI agar bayinya di-anggap sebagai anak sah. Bahkan diatur pula dalam KHI mengenai batas waktu mengaju-kan gugatan pengingkaran atau penyangkalan anak oleh suaminya ke Pengadilan Agama. Hal ini ditegaskan Pasal 102 KHI menetap-kan:

Pasal 102

(1) “Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari isterinya, mengaju-kan gugatan kepada Pengadilan Agama

dalam jangka waktu 180 hari sesudah

hari lahirnya atau 360 hari sesudah pu-tusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya mela-hirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perka-ranya kepada Pengadilan Agama”. (2) “Pengingkaran yang diajukan sesudah

13 H.M. Anshary MK. 2014. Kedudukan Anak dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Nasional.

(6)

lampau waktu tersebut tidak dapat dit-erima”.

Menurut Ahmad Rofiq, bahwa Pasal 102 KHI ini tidak merinci batas minimal dan maksimal usia bayi dalam kandungan sebagai dasar suami untuk menyangkal sah tidaknya

anak yang dilahirkan isterinya. Batas 180 hari

atau 6 bulan di atas ternyata tidak menjelas-kan batas minimal usia menjelas-kandungan, demikian juga 360 hari bukan menunjuk batas maksi-mal usia bayi dalam kandungan. Akan tetapi menjelaskan batas waktu untuk mengajukan persoalannya ke pengadilan agama.14

Sementara itu, anak tidak sah (dapat dis-ebut pula “anak luar kawin” (ALK), “anak di luar perkawinan”, atau anak alam (natuurli-jke kind) adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan tidak sah atau anak yang lahir “di luar perkawinan”. Jadi, anak tidak sah adalah “anak yang dilahirkan atau dihasilkan dari hubungan di luar perkawinan sah. Demikian pula termasuk anak tidak sah adalah anak yang lahir dari perkawinan sah, akan tetapi disangkal oleh suami melalui proses li’an.

Anak yang dilahirkan dari perkawinan sah sudah tentu dinasabkan kepada orangtu-anya (ayahnya), karena anak ini merupakan anak sah, sementara itu bagi anak luar kawin tidak dinasabkan kepada ayahnya, melainkan hanya dinasabkan kepada ibunya dan kelu-arga ibunya. Hal ini sejalan dengan Pasal 43 ayat (1) UU No. 1/1974 yang menyatakan, bahwa “anak yang dilahirkan di luar perkaw-inan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Kemu-dian ketentuan yang sama diatur dalam Pasal 100 KHI yang menyatakan “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubun-gan nasab denhubun-gan ibunya dan keluarga ibu-nya”. Sebagai konsekuensinya, terkait dengan 14 Ahmad Rofiq. Op.Cit., hlm. 179.

hak waris anak luar kawin diatur dalam Pasal

186 KHI yang menyatakan, bahwa “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempu-nyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya”. Dalam UU No. 1/1974 tidak diatur lebih lanjut menge-nai anak luar kawin ini, hanya dalam Pasal 43 ayat (2) UU No. 1/1974 ditegaskan bah-wa “kedudukan anak yang dilahirkan di luar perkawinan selanjutnya akan diatur dalam peraturan pemerintah”. Artinya anak luar kawin “dinasabkan” kepada ibunya dan ke-luarga ibunya, “tidak dinasabkan” kepada ayah biologisnya walaupun dilahirkan dalam perkawinan sah, karena anak yang demikian ini dibenihkan dalam perkawinan tidak sah atau di luar perkawinan sah, kendatipun di-lahirkan sesudah orangtuanya melakukan perkawinan sah. Dalam Pasal 43 ayat (2) UU No. 1/1974 sesungguhnya mengandung makna, bahwa “anak yang dilahirkan di luar perkawinan” merupakan “anak sah bagi ibun-ya dan keluarga ibunibun-ya”, karena itulah “anak yang dilahirkan di luar perkawinan” tersebut di-“nasab”-kan kepada “ibunya dan keluarga ibunya”.

Bagi “seorang suami” diberikan hak un-tuk dapat “menyangkal atau mengingkari ke-absahan” seorang anak yang dilahirkan dari isterinya. Penyangkalan “keabsahan seorang anak” diatur dalam Pasal 44 UU No. 1/1974 yang menetapkan:

(1) “Seorang suami dapat menyangkal sahn-ya anak sahn-yang dilahirkan oleh isterinsahn-ya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut”.

(2) “Pengadilan memberikan keputusan ten-tang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan”.

(7)

Hak penyangkalan sahnya seorang anak diberikan UU No. 1/9174 kepada suami dari wanita yang melahirnya anaknya. Perkara pen-yangkalan sah tidaknya anak yang dilahirkan oleh isterinya tersebut diajukan ke pengadilan dan pengadilan yang akan memberikan kepu-tusan tentang sah atau tidaknya anak tersebut. Pengadilan dapat mengabulkan atau menolak perkara penyangkalan anak tersebut. Adapun alasan perkara penyangkalan anak ditentukan dalam Pasal 44 ayat (1) UU No. 1/1974, yaitu: pertama, tuduhan “isterinya telah berzina”; dan kedua, tuduhan anak yang dilahirkan itu “akibat atau hasil perbuatan zina” isterinya tersebut. Berhubung suami yang menyangkal keabsahan anak yang dilahirkan oleh isterin-ya, maka suami yang dibebani kewajiban un-tuk membuktikannya di persidangan pengadi-lan. Alasan perkara penyangkalan anak ini bersifat kumulatif yang harus dibuktikan oleh suaminya. Bisa saja isterinya memang benar berzina, tapi belum tentu anak yang dilahir-kan itu akibat perbuatan zina isterinya, jadi kedua alasan penyangkalan anak harus dibuk-tikan oleh suaminya. Suami “harus dapat” membuktikan “anak yang dilahirkan” oleh isterinya itu merupakan akibat atau hasil per-buatan zina yang dilakukan isterinya. Dalam hal ini tidak tertutup kemungkinan anak yang dilahirkan isterinya tadi merupakan anak sah dari suaminya, kendatipun isterinya terbukti melakukan perbuatan zina. Oleh karena itu, suami “harus dapat” membuktikan “asal usul benih” yang dikandung isterinya tersebut tidak berasal dari dirinya, melainkan berasal dari lelaki lain. Suaminya dalam persidangan pengadilan harus membuktikan “tuduhan is-terinya telah berzina dan perzinaan itu meng-hasilkan seorang anak” sebagai akibat hubun-gan biologis isterinya denhubun-gan lelaki lain.

Pasal 44 UU No. 1/1974 mengatur

pemeriksaan perkara penyangkalan seorang anak oleh suaminya, yang dilakukan dengan pembuktian di depan persidangan pengadilan. Proses pemeriksaan perkara penyangkalan seorang anak oleh suaminya, selain dapat dilakukan melalui pembuktian, juga dapat dilakukan dengan cara li’an. Hal ini diatur Pasal 101 KHI yang menetapkan, bahwa “seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li’an”. Jadi, proses pemeriksaan perkara penyangkalan anak yang lahir dalam perkawinan sah dapat dilakukan dengan cara li’an. Cara ini dilakukan bukan karena tidak “pembuktian sama sekali”, akan tetapi karena “upaya peneguhan alat bukti tidak mungkin diperoleh baik dari suaminya maupun isterinya”, maka dilaksanakan sumpah li’an. Dalam Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama diatur “proses pemeriksaan perkara penyangkalan anak yang lahir dalam perkawinan sah dapat dilakukan dengan cara li’an dalam hal sebagai berikut :

1. jika anak lahir sebelum masa 180 hari sejak

hari perkawinan dilangsungkan, kecuali anak tersebut hasil hubungan suami isteri sebelum dilakukan perkawinan;

2. jika suami dapat membuktikan bahwa

anak yang berusia 180 hari atau lebih

dalam kandungan isterinya, atau anak yang dilahirkan bukan anaknya yang sah karena dia dalam keadaan tidak mungkin untuk melakukan hubungan biologis dengan isterinya”.15

15 Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung.2013 Edisi Rivisi Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan administrasi Peradilan Agama Tahun 2013. Jakarta: Dirjend Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung , hlm. 137.

(8)

Menurut Sayyid Sabiq, li’an dibagi dua macam, yaitu: pertama, “suami menuduh is-terinya berzina, tapi suami tidak punya em-pat orang saksi lelaki yang daem-pat menguat-kan kebenaran tuduhannya itu”; dan kedua, “suami tidak mengakui kehamilan isterinya sebagai hasil dari benihnya”. Bentuk li’an pertama “dapat dibenarkan” jika ada lelaki yang menzinainya, seperti suami melihat le-lakinya sedang menzinai isterinya atau isteri mengakui berbuat zina dan suami yakin akan kebenaran pengakuannya isterinya. Kalau seperti ini kejadian, “lebih baik di-talaq”, bu-kan mengadabu-kan “mula’anah”. Namun jika “tidak terbukti” lelaki yang menzinainya, suami boleh menuduhnya berbuat zina dan boleh tidak “mengakui” kehamilan isteri, biar pun “dalam keadaan bagaimanapun”, karena suami ”merasa” belum pernah sama sekali mencampuri isterinya sejak akad nikahnya, atau suami “merasa” mencampurinya tapi baru setengah tahun atau telah lewat setahun, sementara umur kandungannya tidak sesuai.16

Eksistensi Tes Deoksiribo Nuklead Acid

dalam Penetapan Nasab Anak Li’an

den-gan Ayah Biologisnya

Li’an dari kata La’an17, yang berarti “laknat” atau kurukan “kemarahan” Tuhan kepada “yang bersumpah dengan” nama Al-lah dalam “persoalan” suami isteri di atas suatu keadaan yang “tidak benar atau dusta”.18

Dari segi syara’, li’an berarti “mengutuk diri sendiri yang biasa dijadikan alasan bagi

16 Sayyid Sabiq. 1996. Fikih Sunnah Jilid 8, alih bahasa Moh. Thalib. Bandung: Alma’arif, hlm. 129-130.

17 Ibid., hlm. 126.

18 Sayuti Thalib. 1986. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: universitas Indonesia Press, hlm. 117.

orang yang terpaksa menuduh isterinya ber-buat zina dengan laki-laki lain yang sengaja mengotori tempat tidurnya dan menginjak-injak martabatnya”.19 Arti li’an dalam

hubun-gan denhubun-gan soal perceraian adalah putusnya “hubungan perkawinan”, karena sang suami telah menuduh isterinya melakukan zina dan sang isteri menolak tuduhan itu. Lalu keduan-ya “menguatkan” pendirian mereka dengan cara bersumpah.20

Menurut Abdul Ghofur Anshori, bahwa dilihat dari hukumnya, hukum li’an bagi sang “suami” yang yakin atau berat dugaannya akan kebenaran tuduhannya adalah “mubah”. Namun bila suami tidak kuat dugaannya atas kebenaran tuduhannya, hukumnya baginya “haram”. Tujuan dari dibolehkannya li’an ini untuk memberikan kemudahan kepada suami yang yakin akan kebenaran tuduhan zina yang dilakukan isterinya, sedangkan suami secara hukum formal tidak dapat berbuat apa-apa dalam “membuktikan kebenarannya”. Hik-mahnya untuk melepaskan “ancaman” dari suami yang yakin akan kebenarannya, yang “hukum formal” tidak dapat membantunya.21

Li’an mengakibatkan hubungan perkaw-inan antara suami isteri itu terputus dengan sendirinya. Tidak ada hak untuk merujuk bagi suami. Walau isteri kawin dengan lelaki lain, kemudian cerai dengan resmi. Isteri tetap “tidak dapat” kembali menikah dengan “sua-mi yang pernah melakukan li’an” terhadapn-ya. Nikah antara seorang suami dengan wan-ita yang telah di-li’an-nya selamanya tidak

19 Jamaluddin dan Nanda Amalia. 2016. Buku Ajar Hukum Perkawinan. Lhokseumawe: Unimal Press, hlm. 99.

20 Sayuti Thalib.Loc.Cit., hlm. 118.

21 Abdul Ghofur Anshori. 2011. Hukum Perkawinan Islam Perspektif Fikih dan Hukum Positif.

Yogyakarta: Universitas Indonesia Islam Press, hlm. 152

(9)

boleh, haram dan tidak sah.22 Sebab diantara

mereka yang telah ber-“mula’anah” sudah terjadi “saling benci” dan putus hubungan yang bersifat “langgeng”, padahal kehidupan rumah tangga memerlukan dasar “ketenan-gan, kasih sayang dan cinta”. Diantara mere-ka telah “kehilangan” dasar-dasar itu. Untuk itulah mereka harus “berpisah untuk selama-lamanya”.23

Li’an juga mengakibatkan anak yang lahir isterinya “tidak ada hubungan nasab dengan ayahnya”, melainkan hanya kepada “ibunya dan keluarga ibunya”. Oleh karena itu, anak hasil zina atau li’an itu hanya men-dapat “hak waris” dari dari pihak ibunya dan keluarga ibunya saja, sebab hubungan nasab dengan ayahnya telah terputus selama-laman-ya. Dengan kata lain “anak zina” atau “anak li’an” tidak mempunyai ayah, karena ayahnya sedari awal menyangkal keabsahannya seba-gai anak kandungnya. Terdapat ijma ulama yang pada intinya menerangkan bahwa, “jika ada seseorang laki-laki berzina dengan per-empuan yang memiliki suami dan kemudian melahirkan anak, anak tersebut tidak dinasab-kan kepada lelaki yang menzinainya, melain-kan kepada suami dari ibunya tersebut”, den-gan ketentuan ayahnya “tidak menafikan anak

tersebut melalui li’an”. Sementara itu, bagi ia berzina dengan perempuan yang “tidak dang terikat pernikahan” dan melahirkan se-orang anak, menurut jumhur ulama mazhab delapan, anak tersebut hanya “dinasabkan ke ibunya sekalipun ada pengakuan dari laki-laki yang menzinainya”. Hal ini “karena penasa-ban anak kepada lelaki yang pezina” akan mendorong terbukanya “pintu zina”,

pada-22 T. Jafizham. 2006. Persintuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Mestika, hlm. 251.

23 Sayyid Sabiq. Op.Cit., hlm. 137.

hal kita diperintahkan untuk menutup pintu yang mengantarkan pada keharaman (sadd al-dzari’ah) dalam rangka menjaga “kesucian nasab” dari perilaku munkarat.24

Jadi jelas, bahwa anak hasil zina maupun anak li’an tidak mempunyai bapak, karena anak zina maupun anak li’an tidak dinasa-bkan kepada lelaki yang menyebadinasa-bkan ke-hamilan dan kelahirannya, melainkan dinasa-bkan kepada ibunya dan keluarga ibunya, ter-masuk hubungan waris dan nafakah dengan “ibunya dan keluarga ibunya”. Hal ini dika-renakan “anak zina” maupun “anak li’an” itu tidak mempunyai bapak. Harus diingat pen-etapan nasab anak hasil zina atau anak li’an tersebut kepada ibunya dan keluarga ibunya dimaksudkan untuk “melindungi nasab anak dan ketentuan keagamaan lain yang terkait”, jadi bukan sebagai “bentuk diskriminasi”. Penetapan anak hasil zina dan anak li’an ini kepada ibunya juga penting untuk “kejelasan nasab dan asal usul kekerabatan anak-anak” tersebut.

Mengenai hal tersebut dalam Al-Quran Surah Al-Ahzab ayat (4) dan ayat (5) dikata-kan: “Dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi

Al-24 Lihat rujukan hukum point 5 konsiderans memperhatikan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11 Tahun 2012. Merupakan pendapat yang berasal dari Dr. Wahbah al-Zuhaili dengan judul “Ahkam al-Aulad al-Natijin ‘an al-Zina” yang disampaikan pada Daurah ke-20 Majma’ Fiqh Islami di Makkah pada 25 – 29 Desember 2010, yang dijadikan dasar pertimbangan hukum dalam fatwa tersebut.

(10)

lah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka seba-gai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu.” Terdapat pula hadis yang “men-erangkan” bahwa “anak hazil zina dinasabkan kepada ibunya”, antara lain: “Nabi saw bers-abda tentang anak hasil zina: “Bagi keluarga ibunya ...” (Hadi Riwayat Abu Dawud). Had-is lainnya “menerangkan” bahwa “anak li’an juga dinasabkan kepada ibunya”, diantaranya: “Riwayat dari Ibn Umar ra, bahwa seorang lelaki telah me-li’an isterinya pada zaman

Nabi saw dan beliau menafikan anak isterinya tersebut, maka Nabi saw menceraikan antara keduanya dan mempertemukan nasab anakn-ya kepada ibunanakn-ya” (Hadis Riwaanakn-yat al-Bukha-ri dan Abu Dawud). Dalam hadis al-Bukha-riwayat Abu Dawud dinyatakan: “Rasulullah saw men-jadikan hak waris anak li’an (mula’anah) ke-pada ibunya dan ahli waris ibu sesudahnya” (Hadis Riwayat Abu Dawud). Hadis lainnya juga dinayatakan: “Rasulullah saw telah me-mutuskan tentang anak dari suami isteri yang ber-mula’anah, bahwa si anak dapat warisan dari ibunya dan ibunya dapat warisan dari anaknya. Dan orang yang menuduh peremp-uan berzina (tanpa dapat mengajukan empat orang saksi) adalah baginya delapan puluh kali dera” (Hadis Riwayat Ahmad).

Berdasarkan dalil tersebut di atas, ulama Indonesia melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI) sepakat memfatwakan bahwa “anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah dengan le-laki yang menyebabkan kelahirannya, hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan na-faqah dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Dalam Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 tersebut pengertian anak hasil zina adalah “anak yang lahir sebagai akibat dari hubun-gan badan di luar pernikahan yang sah

menu-rut ketentuan agama, dan merupakan jarimah (tindak pidana kejahatan)”. Demikian pula dalam Fatwa Majelis Permusyawaratan

Ula-ma Aceh Nomor 18 Tahun 2015 tentang Nas -ab Anak Yang Lahir Diluar Nikah (Anak Zina) bertanggal 9 September 2015 memutuskan bahwa “anak zina tidak mempunyai hubun-gan nasab denhubun-gan lelaki yang menyebabkan kelahirannya, sehingga anak zina tidak mem-punyai hak waris, nafkah dan wali nikah den-gan lelaki yang menyebabkan kelahirannya”. Oleh karena itu “nafkah anak zina tersebut dibebankan kepada ibunya dan/atau keluar-ga ibunya”. Mengenai kedudukan anak zina ditegaskan bahwa “anak zina tersebut dihada-pan Allah sama dengan anak yang dilahirkan dalam pernikahan yang sah”. Pengertian anak zina di sini adalah “anak yang dihasilkan dari hubungan diluar nikah yang sah”. Sesuai den-gan fatwa-fatwa tersebut di atas, maka anak li’an pada hakikatnya termasuk anak zina, karenanya “jumhur ulama” sepakat bahwa “status hukum anak li’an terputus hubungan nasab dengan ayahnya, sehingga dinasabkan dengan ibunya”.

Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, Mahkamah Kon-stitusi membuka “peluang” untuk menen-tukan hubungan anak dengan seorang lelaki sebagai bapaknya tidak semata-mata hanya didasarkan karena adanya ikatan perkaw-inan, melainkan juga dapat didasarkan pada “pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan lelaki mana sebagai bapaknya”. Dewasa ini untuk membuktikan adanya ke-samaan genetika antara anak luar kawin, ter-masuk anak perkawinan tidak tercatat dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya dapat dilakukan dengan “tes DNA”. Dari tes DNA dapat diketahui unsur ada atau tidak kesa-maan tipe DNA anak dengan ayahnya dan

(11)

ke-luarga ayahnya.

Penggunaan tes DNA dapat menguat-kan “akurasi” keterkaitan hubungan nasab, hasil “tes DNA pun dijadikan alat bukti kuat bagi beberapa kasus seperti kriminalitas dan bantahan atau pengukuhan atas klaim nasab seseorang”.25 Penggunaan tes DNA ini hanya

berfungsi sebagai alat bukti kuat guna men-dukung kepastian ayah dari si bayi itu yang mempunyai kesamaan DNA dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya. Itu pun di-lakukan untuk menghindari akan hal berke-naan dengan “keraguan status hukum dari seorang bayi” yang dilahirkan dalam perkaw-inan sah.

Satu sisi tes DNA dianggap dapat menga-burkan masalah nasab, sebab anak luar kawin pun juga dilakukan tes DNA akan mempunyai hasil yang sama dengan bapak biologisnya. Lalu, apakah karena sudah mempunyai hasil DNA yang sama, kemudian dapat ditetapkan hubungan nasab si anak dengan bapak biolo-gisnya. Oleh sebab itu, tes DNA hanya boleh dilakukan sebagai penguat (qarinah) terhadap bayi dari perkawinan yang sah yang diragu-kan. Hasil tes DNA ini tidak dapat dijadikan “bukti pengukuhan nasab” dari hasil “per-buatan zina”. Walaupun syariat menekankan pentingnya pengukuhan nasab, tetapi khu-sus dalam kakhu-sus zina, hal itu harus ditutupi, hal ini penting dilakukan agar tatanan sosial masyarakat muslim tetap terjaga dan tindakan keji tersebut tidak menjalar dan menjadi hal biasa di tengah-tengah mereka.26

Lazimnya hakim akan memerintahkan suami mengucapkan sumpah li’an dikarena-kan sebagaimana disebutdikarena-kan di atas “upaya peneguhan alat bukti tidak mungkin diper-oleh baik diper-oleh suami maupun isteri ketika se-25 H. M. Anshary MK. Op.Cit., hlm. 80.

26 Ibid., hlm. 12.

orang suami menuduh isterinya berzina dan/ atau mengingkati anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya, sementara is-teri menolak tuduhan” tersebut. Seandainya “tuduhan berzina” oleh suami terhadap ister-inya itu terbukti benar, maka sang isteri hen-daknya dikenakan hadd zina dan anak yang dilahirkan isterinya tersebut dinasabkan ke-pada ibunya dan keluarga ibunya. Kemungki-nan lainnya, isterinya terbukti berzina, namun anak yang dilahirkannya “dapat dibuktikan melalui tes DNA” bahwa anak yang disang-kal suaminya tersebut, diketahui sesung-guhnya merupakan anak yang berasal dari benih suaminya. Dalam kasus yang demikian, si isteri hendaknya dikenakan hadd zina dan anaknya seharusnya dapat dinasabkan ke-pada ayahnya dan keluarga ayahnya. Terha-dap isterinya yang terbukti berzina tersebut, suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah kepadanya.

Dalam Islam, hubungan nasab pada dasarnya diketahui antara lain dengan adan-ya hubungan pernikahan sah. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah menyatakan: “anak adalah hasil hubungan suami isteri yang sah (alwalidu lil firasy)”. Pengukuhan na-sab bisa juga ditempuh melalui “persak-sian (bayyinah)” oleh dua orang lelaki yang memenuhi syarat. Cara selanjutnya berupa “pengakuan bapak biologis” di hadapan pen-gadilan (iqrar). Dalam kajian “fikih klasik”, masalah menentukan hubungan nasab melalui tes DNA belum ditemukan, merupakan ilmu baru, karenanya untuk menentukan hubun-gan nasab seseorang, para ulama sepakat ber-pegang pada cara-cara di atas.27

Penggunaan tes DNA ini “sangat di-mungkinkan” dalam “kondisi-kondisi tert-entu”, misalnya ketika seorang suami meng-27 Ibid., 80.

(12)

ingkari anaknya sebagai hasil dan akibat dari pernikahan sah. Pengukuhan nasab dari hasil perbuatan zina tidak boleh dilakukan ber-dasarkan tes DNA, karena telah melanggar prinsip syariat itu sendiri yang menekankan pentingnya pengukuhan nasab. Pengukuhan nasab anak kepada bapaknya hanya melalui pernikahan sah an sich. Penggunaan tes DNA hanya dipandang boleh pada kondisi tertentu saja. Sementara disaat bersamaan, tidak dite-mukan bukti atau dokumen pernikahan, tes DNA dapat digunakan.28

Bila dikaitkan dengan kasus penging-karan anak dengan menggunakan sumpah li’an dan ternyata anak tersebut positif anak dari orangtua yang melaksanakan sumpah li’an setelah melalui tes DNA, maka tidak bisa diragukan lagi anak tersebut mempun-yai hubungan nasabah kepada orangtuanya (ayah dan ibunya). Hal ini dikarenakan alat bukti sumpah li’an biasanya ditempuh hanya karena adanya pengelakan atas keterangan dari “salah satu pihak” dalam hal ini pihak isteri, sehingga atas penyangkalan ini perlu didukung dengan sumpah. Atas dasar inilah maka alat bukti sumpah li’an berfungsi hanya untuk meyakinkan kebenaran dari suatu ket-erangan. Setelah ada bukti DNA yang diang-gap akurat dan valid, sumpah li’an sebenarn-ya tidak diperlukan (tidak dipakai).29

Akibat hukum sumpah li’an, selain perkawinan mereka putus untuk selama-lamanya, bahkan juga haram untuk ru’ju selama-lamanya, anaknya yang di li’an tersebut “dipersamakan” dengan anak zina, sehingga ibunya sekaligus menjadi 28 Ibid., hlm. 80-81.

29 Sri Lumatus Sa’adah. 2004. “Status Nasab Anak Akibat Li’an yang Dibuktikan dengan Tes DNA (Analisia Tes DNA Sebagai Alat Bukti)”.

Al’Adalah, 7(2): 98

ayahnya dari anak li’an tersebut. Dengan kata lain anak li’an dinasabkan kepada ibu yang mengandung dan melahirkannya dan keluarga ibunya. Seandainya hasil tes DNA membuktikan anak li’an memang bukan anak suaminya, maka tuduhan suaminya benar dan anak yang dilahirkan sudah tentu termasuk anak zina. Sebaliknya jika dari hasil tes DNA dapat dibuktikan bahwa anak li’an itu ternyata “benar” anak suaminya, maka tuduhan suaminya tidak benar dan anak li’an merupakan anak sah dari suaminya yang me-li’an-nya. Berhubung hasil tes DNA mengandung kepastian hukum, apakah dapat dijadikan rujukan untuk memulihkan status hukum anak li’an tersebut melalui pengadilan dengan cara menarik atau membatalkan sumpah li’an, bahkan juga memulihkan status perkawinan pasangan suami isteri yang telah bersumpah li’an tersebut.

Pasal 43 ayat (1) UU No. 1/1974 yang telah direvisi Mahkamah Konstitusi dapat digunakan sebagai cara memulihkan status anak luar kawin jika terbukti menurut iptek diantaranya mereka terdapat hubungan darah, tapi hal ini menimbulkan reaksi pro dan kontra dalam masyarakat. MUI misalnya menilai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 mana sangat berlebihan, melampau batas dan bersifat “over dosis” serta bertentangan dengan ajaran Islam. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010 tersebut telah melampau permohonan yang sekedar menghendaki pengakuan “hubungan keperdataan” atas anak hasil perkawinan dengan bapaknya, tapi tidak dicacat oleh KUA, menjadi “meluas” mengenai “hubungan keperdataan” atas anak hasil hubungan zina dengan lelaki yang mengakibatkan kelahiranya, yang akan memiliki konsekuensi yang sangat luas,

(13)

termasuk “mengesahkan” hubungan nasab, waris dan nafkah antara “anak zina dan lelaki yang menyebabkan kelahiranya”, yang mana hal ini tidak dibenarkan oleh ajaran Islam. MUI menilai putusan Mahkamah Konstitusi telah membuka kotak pandora yang selama ini dijaga, yakni terbukanya “peluang besar” bagi berkembangnya “perilaku sebagian orang” untuk melakukan hubungan di luar perkawinan (perzinahan) tanpa perlu khawatir dengan masa depan anak (terutama kekhawatiran dari pihak perempuan pasangan zina).30 Selain masalah tersebut ketentuan Pasal 43 UU No. 1/1974 ini “hingga sekarang” belum ada peraturan pelaksanaannya sebagaimana yang diamanatkan oleh pasal tersebut akan diatur lebih lanjut dengan “Peraturan Pemerintah”.

Mengingat pembuktian terhadap asal usul seorang anak (sah) berdasarkan keturunan dapat dilakukan dengan “suatu akta kelahiran yang autentik”, seperti akta kelahiran. Hal ini ditentukan dalam ketentuan Pasal 55 ayat (1) UU No. 1/1974 yang menetapkan, bahwa: “Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang authentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.” Ketentuan demikian diatur lagi dalam Pasal 103 ayat (1) KHI yang bunyinya: “Asal usul seorang anak hannya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya.” Demikian pula sebelumnya terdapat dalam ketentuan Pasal 261 ayat (1) BW yang menetapkan, bahwa: “Keturunan anak-anak yang sah dapat dibuktikan dengan akta-akta kelahiran mereka, sekadar telah 30 MUI. Putusan MK Sembrono, Over Dosis dan Bertentangan dengan Ajaran Islam,http;//www.voa-islam.com/read/ Indonesia/2012/03/14/18167/muiputusan-mk- sembrono-over-dosis-bertentangan-dengan-ajaran –islam/#stahash.417oThrR.dpuf.>diunduh 7 Mei 2017

dibukukan dalam register catatan sipil.” Berdasarkan ketentuan ini, asal usul seorang anak atau “keturunan anak-anak sah” dapat dibuktikan melalui “suatu akta kelahiran” yang autentik. Selain memuat nama dan tempat tanggal lahir anak, dalam akta kelahiran juga menyebutkan hubungan anak dengan kedua orangtuanya.

Untuk membuktikan asal usul seorang anak tidak hanya berdasarkan pada suatu akta kelahiran belaka, tetapi bisa berdasarkan “bukti-bukti lainnya” dengan dimajukan ke muka pengadilan. Secara tegas kemungkinan ini dinyatakan dalam Pasal 55 ayat (2) UU No. 1/1974 yang bunyinya: “Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.” Hal yang sama dirumuskan dalam Pasal 103 ayat (2) KHI yang bunyinya: “Bila akta kelahiran atau alat bukti lainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah.” Alat bukti-bukti lainnya di luar akta kelahiran tersebut bisa surat keterangan kelahiran dari yang dikeluarkan pihak rumah sakit/dokter/bidan/pilot/ nahkoda/kelurahan, surat kenal lahir dari pejabat setempat, surat keterangan kepolisian bagi anak yang tidak diketahui asal usulnya, surat keterangan lembaga sosial yang menampung anak-anak terlantar, surat keterangan hasil tes DNA, atau surat-surat lain yang dapat menunjukkan asal usul seorang anak. Alat bukti lainnya menurut hukum/yang sah, seperti kesaksian, pengakuan, pemeriksaan ahli, documentary

(14)

dipersidangan. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 55 ayat (2) UU No. 1/1974 dan Pasal 103 ayat (2) KUH tersebut, penetapan asal usul seorang anak dapat ditetapkan melalui pengadilan berdasarkan bukti-bukti diluar akta kelahiran sepanjang bukti-bukti tersebut memenuhi syarat atau bukti-bukti yang sah. Dari hasil tes DNA dapat diketahui asal usul seorang anak, “surat hasil tes DNA” termasuk dalam pengertian alat bukti lainnya diyakini “kebenarannya” sebagai dasar mengubah status anak li’an tersebut menjadi anak sah, sehingga mempunyai “hubungan nasab” dan “hubungan keperdataan lainnya” dengan sang ayahnya dan keluarga ayahnya. Melalui perkara asal usul seorang anak dapat dimajukan surat hasil tes DNA anak tersebut ke muka pengadilan guna menetapkan tentang asal usul seorang anak atau menjadi anak sah dari pasangan suami isteri yang telah bersumpah li’an. Jadi, pembuktian asal usul seorang tidka hanya berdasarkan suatu akta kelahiran yang autentik, bisa saja menggunakan “alat bukti lainnya”, sepanjang hal tersebut merupakan bukti-bukti sah dan diyakini oleh hakimnya.

Selanjutnya menurut ketentuan dalam Pasal 55 ayat (3) UU No. 1/1974 dan Pasal 103 ayat (3) KHI, maka “atas ketetapan Pengadilan Agama tersebut, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama yang bersangkutan mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan”. Instansi pencatat kelahiran di sini sekarang adalah Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil). Jadi, pencatatan dan penerbitan suatu akta kelahiran bagi seorang anak dapat dilakukan berdasarkan penetapan atau ketetapan Pengadilan Agama terkait dengan penetapan asal usul seorang anak.

Belanda menggunakan tes DNA sebagai dasar penetapan ayah kandung dari anak yang bersangkutan, karena hal ini mendekati kepastian. Pengadilan di Belanda dapat memerintahkan tes DNA berdasarkan 194 Rv (pemeriksaan ahli). Mahkamah Agung Belanda telah memutuskan bahwa apa yang perlu dan cukup untuk memerintahkan dilakukannya tes DNA adalah bahwa berdasarkan fakta-fakta dan keadaan yang telah muncul selama berlangsungnya proses persidangantampaknya masuk akal bahwa pria yang bersangkutan bisa jadi adalah ayah kandung dari anak itu (Hoge Raad 22 September 2000, NJ 2001, 647). Karena cukup mudah untuk mendapatkan materi bagi tes DNA, maka penolakan untuk bekerja sama dalam tes semacam itu mungkin berakibat buruk bagi pria yang bersangkutan.31

Bahan terhadap seorang pria sudah mati dan dikubur, dapat dilakukan tes DNA. Mungkin ada pemikiran bahwa kremasi bisa menghapus semua jejak dari seorang pria. Hal mana bukanlah persoalan telah ditunjukkan oleh kasus dari seorang notaris hukum publik. Seorang pria mengaku sebagai anak dari no-taris ini dan mengajukan klaim status hukum ayahnya. Pengadilan Banding Amsterdam memerintahkan untuk dilakukan tes DNA pada bagian tutupan dari amplop-amplop yang pernah dikirim oleh notaris yang seka-rang sudah dikremasi ini selama hidupnya. Tes tersebut mengungkapkan bahwa notaris tersebut adalah ayah biologis yang sebenarn-ya dari pria sebenarn-yang mengaku sebagai anaknsebenarn-ya itu. Namun demikian, pengadilan tidak selalu

31 Wilbert D. Kolkman dkk. 2012. Hukum tentang Orang, Hukum Keluarga dan Hukum Waris di Belanda dan Indonesia. Denpasar: Pustaka Larasan; Jakarta: Universitas Indonesia, Universitas Leiden, Universitas Groningen, hlm. 6.

(15)

harus memerintahkan pengujian DNA; pen-gujian DNA bisa ditiadakan jika pengadilan menemukan bahwa telah terdapat cukup bukti lain untuk membuktikan soal status seseorang sebagai ayah kandung dari seorang anak (li-hat Hoge Raad 11 Juni 2004, NJ 2005, 116).32

Di Negeri Belanda, sebelum 1 April 1998,

“penetapan status hukum ayah tidak dimung-kinkan”, yang kadang-kadang mengarah pada kasus-kasus yang menyusahkan dan menye-dihkan. Dalam salah satu kasus yang terkenal, sepasang orang tua (dan ahli waris yang sah) dari seorang laki-laki yang sudah meninggal ingin mengusir anak dari lelaki tersebut (yang statusnya sebagai ayah dari anak bersangku-tan belum diakuinya) dan pasangan hidup le-laki itu, yang juga merupakan ibu dari anak tersebut, dari rumah mereka. Pria itu tidak membuat atau meninggalkan surat wasiat. Seandainya penetapan status hukum ayah tel-ah dimungkinkan, maka pada akhirnya anak tersebut akan menjadi ahli waris tunggal, dan kedua orang tua pria itu tidak memiliki hak untuk mengklaim apa pun atas rumah terse-but.33

Hasil tes DNA setidaknya dapat menjadi alat bukti yang memperkuat pembuktian pen-etapan asal usul seorang anak, sehingga sump-ah li’an tidak diperlukan dalam penyelesaian perkara cerai dengan alasan zinah. Berdasar-kan hasil tes DNA tersebut dapat dibuktiBerdasar-kan asal usul benih dari janin yang dikandung oleh isteri yang akan di-li’an-nya. Dengan kata lain sumpah li’an seharusnya dibatalkan atau ditarik kembali bilamana terbukti ber-dasarkan tes DNA bahwa anak li’an memang anak dari suami yang me-li’an isterinya. Hal ini dapat dilakukan melalui proses penetapan anak usul anak, hakim dapat membatalkan 32 Ibid., hlm. 7.

33 Ibid.

perceraian karena zina (melalui li’an). Sep-erti diketahui sumpah li’an ini terjadi dikare-nakan dalam permohonan atau gugatan cerai dengan alasan zinah, pemohon/penggugatnya tidak dapat melengkapi bukti-bukti dan ter-mohon/tergugat menyanggah alasan tersebut, maka hakim memerintahkan kepada salah satu pihak untuk melakukan sumpah. Sumpah li’an ini tidak diperlukan seandainya dilak-sanakan tes DNA dahulu sebagai dasar mem-buktikan asal usul keturunan anak yang akan lahir dari isteri yang akan di li’an suaminya.

Dari segi pembuktian, tes DNA meru-pakan alat bukti qarinah (petunjuk/indika-tor) yang keautentikannya akurat, tidak perlu diragukan, bahkan keautentikannya lebih kuat bila dibandingkan dengan alat-alat bukti lain-nya, seperti pengakuan, kesaksian dan sump-ah. Pengakuan dan kesaksian seseorang bisa saja disampaikan atas ancaman atau kesaksian palsu. Sumpah digunakan untuk meyakinkan kebenaran suatu keterangan atau berfungsi sebagai pengganti dari keterangan. Penolakan terhadap sumpah juga merupakan qarinah, yang menunjukkan kebenaran lawannya. Tes DNA sebagai qarinah sudah tentu keautenti-kannya tidak perlu lagi diragukan.34

Penggunaan tes DNA dapat dalam kasus perdata maupun pidana. Untuk kasus pelaca-kan atas asal usul keturunan (dalam hal ini ada pihak anak dan pihak yang diindikasikan se-bagai orangtuanya), DNA “diambil langsung” dari tubuh anak dan orangtuanya, kemudian dicocokkan diantara keduanya. Jika terdapat “ada kesamaan” berarti “ada hubungannya dan jika “tidak ada kesamaan” berarti tidak ada hubungannya. Atas dasar ini tes DNA 34 Taufiqul Hulam. 2002. Reaktualisasi Alat Bukti Tes

DNA Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif.

Yogyakarta: UII Press dan Unilak Press, hlm. 132-134.

(16)

pelacakan asal usul keturunan dapat dijadikan sebagai “bukti primer”, yang bisa “berdiri sendiri” tanpa harus diperkuat dengan “bukti lainnya”, kenapa, karena DNA “langsung” di-ambil dari tubuh pihak-pihak yang bersang-kutan dalam permohonan, sehingga “tidak mungkin” adanya rekayasa dan unsur-unsur yang terkandung di dalam DNA seseorang berbeda dengan DNA orang lain (orang yang tidak mempunyai garis keturunan), yakni dalam kandungan basa-nya, sehingga hasil kesimpulan yang dihasilkannya valid.35

Melalui suatu tes DNA dapat menjem-bati “kebuntuan hukum” yang terjadi selama ini dengan memberikan ruang kepada setiap orang untuk mencari kejelasan tentang jati dirinya. Hak bagi setiap orang untuk meng-etahui siapa sebenarnya ayah kandungnya, baik dalam rangka untuk “memperjuangkan kepentingan-kepentingan keperdataan” mau-pun untuk “kepentingan lain” yang timbul akibat dari adanya kejelasan tentang “silsilah keturunan”.36

Hasil tes DNA dapat dijadikan alat bukti yang autentik untuk mengungkapkan kebe-naran mengenai asal usul keturunan, termasuk anak yang lahir dari isteri yang di li’an suami. Jika sekiranya kemudian dapat dibuktikan bahwa tuduhan suaminya tidak benar, dalam artian anak yang lahir dari isteri yang di li’an tersebut terbukti mempunyai hubungan darah dengan suami ibunya berdasarkan hasil tes DNA tersebut, maka li’anmenjadi batal pula, karena suami telah berdusta. Hasil tes DNA dapat dijadikan dasar hukum pengadilan un-tuk menetapkan hubungan nasab anak li’an 35 Ibid., hlm. 130.

36 D.Y. Witanto.2012. Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materil UU Perkawinan. Jakarta :Prestasi Pustaka , hlm.248.

dengan ayahnya yang merupakan suami dari isteri yang di li’an.Suami yang pernah me-li’an isterinya, atas dasar hasil tes DNA terse-but dapat mencaterse-but kembali tuduhan zina terhadap isterinya dan mengakui bahwa anak li’an tersebut merupakan anak kandungnya. Hasil tes DNA selain dapat membuktikan akan “ada” atau “tidaknya” suatu hubungan darah antara anak li’an dengan lelaki sebagai ayahnya tersebut, juga dapat membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran tuduhan zinah terhadap isterinya.

Menurut Sayyid Sabiq, bahwa para fu-kaha berbeda pendapat jika hal sang suami “mendustakan” ucapannya semula (mencabut tuduhannya dan mengakui kekeliruannya). Para fukaha sepakat “berkata tetap tidak boleh kembali untuk selama-lamanya”. Akan tetapi Abu Hanifah berkata “jika suami mencabut tuduhannya, maka ia dijatuhi hukuman dera dan boleh kawin kembali dengan nikah baru”, dengan alasan sang suami “telah mencabut” tuduhannya, artinya li’an-nya dibatalkan. Terhadap suami boleh di-nisbat-kan anaknya dan isteri boleh kembali kepada suami yang me-li’an-nya. Alasan Abu Hanifah, bahwa dasar “haramnya untuk selama-lamanya” bagi mereka adalah semata-mata tidak dapa-tnya menentukan mana yang benar dari antara pernyataan suami isteri yang bermula’anah tersebut, padahal dapat dipastikan salah satu-nya diantara mereka dapat dipastikan berdus-ta. Jika “dusta” itu telah “terungkap”, maka “ke-haram-annya” selama-lamanya jadi ha-pus.37

Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama menye-butkan di samping “pengingkaran anak sah”, dapat pula dilakukan perbuatan hukum se-baliknya, yaitu berupa “pengakuan anak”, di 37 Sayyid Sabiq. Op.Cit., hlm.137.

(17)

mana seseorang dapat “mengakui” seorang anak sebagai anaknya yang sah (anak istil-hag). Berdasarkan hasil tes DNA jika terbukti anak li’an mempunyai hubungan darah den-gan ayahnya, dalam artian tuduhan terhadap isterinya berzina tidak terbukti, maka sudah seharusnya sumpah li’an-nya dibatalkan dan kepada ayah di-nisbat-kan anaknya tersebut melalui permohonan pengakuan anak oleh ayahnya atau permohonan asal usul anak oleh orangtuanya. Seiring dengan itu, per-ceraian karena li’an tersebut hendaknya “di-batalkan”, dikarenakan berdasarkan hasil tes DNA dapat dibuktikan bahwa suami terbukti telah berdusta. Jadi, selanjutnya Pengadilan Agama mengeluarkan penetapan asal usul se-orang anak berdasarkan hasil tes DNA, yang merupakan alat bukti lainnya yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 55 ayat (2) UU No. 1/1974.

PENUTUP

Tes DNA memiliki keautentikan sebagai alat bukti yang dapat berdiri berdiri sebagai alat bukti petunjuk/indicator (qarinah). Bila dibandingkan dengan alat-alat bukti lainnya seperti kesaksian, pengakuan, dan sumpah, maka tes DNA merupakan alat bukti yang sangat akurat. Kesaksian bisa saja berisikan merupakan kesaksian palsu. Pengakuan bisa diberikan dibawah tekanan. Jika dijadikan alat bukti, hasil tes DNA dapat berdiri sendiri, karena hasil tes DNA menguatkan akurasi keterkaitan hubungan nasab antara anak den-gan lelaki yang menyebabkan kelahirannya. Fungsi hasil tes DNA bisa sebagai alat bukti bantahan atau memperkuat pengukuhan na-sab seseorang. Fungsi hasil tes DNA sebagai alat bukti kuat guna mendukung kepastian ayah dari si bayi itu yang mempunyai kesa-maan DNA dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya. Itu pun dilakukan untuk

meng-hindari keraguan terhadap “status hukum” dari “seorang bayi” yang dilahirkan dalam perkawinan sah.

Seandainya dari hasil tes DNA, terbukti anak li’an tersebut mempunyai hubungan da-rah dengan suaminya ibunya yang me-li’an -nya, maka upaya pemulihan status hukum terhadap anak li’an melalui penetapan asal usul seorang anak oleh Pengadilan Agama se-bagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (2) UU No. 1/1974 dan Pasal 103 ayat (2) KHI. Ber-dasarkan ketentuan, untuk membuktikan asal usul seorang anak tidak hanya berdasarkan pada suatu akta kelahiran yang autentik, tetapi dapat berdasarkan “bukti-bukti lainnya” den-gan dimajukan ke muka Pengadilan Agama. Diantara bukti lainnya tersebut adalah hasil tes DNA, yang dari hasilnya dapat diketahui asal usul seorang anak, apakah berdasarkan hasil tes DNA anak yang bersangkutan mem-punyai hubungan darah dengan ayah biolo-gisnya, jika terbukti, maka sudah seyogianya status sebagai anak li’an dipulihkan melalui penetapan Pengadilan Agama.

Selain melalui penetapan asal usul seorang anak, sesuai dengan hukum acara yang ber-laku di lingkungan peradilan agama, seorang ayah biologis juga dapat dimungkinkan untuk memberikan pengakuan terhadap anak biolo-gisnya menjadi anak sah. Berdasarkan hasil tes DNA jika terbukti anak li’an mempunyai hubungan darah dengan ayah biologisnya, maka sudah seharusnya sumpah li’an-nya di-batalkan dan kepada ayah dinisbatkan anakn-ya tersebut melalui permohonan pengakuan anak oleh ayahnya tersebut.

BIBLIOGRAFI

Anshori, Abdul Ghofur. 2011. Hukum Perkawinan Islam Perspektif Fikih dan Hukum Positif. Yogyakarta: Universitas

(18)

Indonesia Islam Press

Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung. 2013. Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan administrasi Peradilan Agama Tahun 2013. Jakarta: Dirrektorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkama Agung.

Hamzani, Achmad Irwan. Maret 2015. ‘Nasab Anak Luar Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010”. Jurnal Konstitusi, 12(1) :66.

Hulam, Taufiqul. 2002. Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif. Yogyakarta: UII Press dan Unilak Press.

Iman Jauhari. 2003. Hak-Hak Anak dalam Hukum Islam. Jakarta: Pustaka Bangsa, .

Jafizham, T. 2006. Persintuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Mestika.

Jalaluddin, Akhmad. 2012. “Nasab: antara Hubungan Darah dan Hukum Serta Implikasinya Terhadap Kewarisan”. Ishraqi, 10(1).

Jamaluddin dan Nanda Amalia. 2016. Buku Ajar Hukum Perkawinan. Lhokseumawe: Unimal Press.

Kolkman, Wilbert D. dkk. 2012. Hukum tentang Orang, Hukum Keluarga dan Hukum Waris di Belanda dan Indonesia. Denpasar: Pustaka Larasan; Jakarta: Universitas Indonesia, Universitas Leiden, Universitas Groningen.

Lahir Akibat dari Perceraian Li’an dalam Hukum Waris Islam (Legal Status of Children Born As A Result of Divorce Li’an Inheir IslamicLaw).<http:// repository.unej.ac.id/bitstream/ handle/123456789/58944/Fariha%20 Yustisia.pdf;sequence=1>. Diunduh 17 Maret 2017.

Manan, Abdul. 2006. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.

MK, H.M. Anshary. 2014. Kedudukan Anak dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Nasional. Bandung: Mandar Maju.

Mughniyah, Muhammad Jawad. 2007. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera.

MUI. Putusan MK Sembrono, Over Dosis dan Bertentangan dengan Ajaran Islam,http;//www.voa-islam.com/ read/Indonesia/2012/03/14/18167/ m u i p u t u s a n - m k - s e m b ro n o - o v e r-dosis-bertentangan-dengan-ajaran –islam/#stahash.417oThrR.dpuf.> diunduh 7 Mei 2017 Prawirohamidjojo, R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan.

2008. Hukum Orang dan Keluarga (Personen en Familie Recht). Surabaya: Airlangga University Press.

Prawirohamidjojo, R. Soetojo. 1986.

Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan Di Indonesia. Surabaya: Airlangga University Press.

Rofiq, Ahmad. 2013. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers

Sa’adah, Sri Lumatus. Agustus 2004. “Status Nasab Anak Akibat Li’an yang Dibuktikan dengan Tes DNA (Analisia Tes DNA Sebagai Alat Bukti)”, dalam AlAdalah, 7(2):98.

Sabiq, Sayyid. 1996. Fikih Sunnah Jilid 8, alih bahasa Moh. Thalib. Bandung: Alma’arif.

Sakirman. Desember 2015. “Telaah Hukum Islam Indonesia Terhadap Nasab Anak”. Jurnal Studia Islamika, 12(2):369.

Syafrudin, Amir. 2011. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Munakahat

(19)

dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana Prenada Group.

Thalib, Sayuti. 1986. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia Press,

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa. 1988. Kamus Besar Bahasa Indoensia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Tim Penyusun. 1997. Ensiklopedi Hukum

Islam Jilid 6. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve

Usman, Rachmadi. 2006. Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Keluarga Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Witanto, D.Y. 2012. Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materil UU Perkawinan. Jakarta :Prestasi Pustaka

Yustisia, Fariha, Liliek Istiqomah dan Yusuf Adiwibowo. ”Kedudukan Hukum Anak Yang Lahir Akibat dari Perceraian Li’an dalam Hukum Waris Islam (Legal Status of Children Born As A Result of Divorce Li’an Inheir Islamic Law). <http:// repository.unej.ac.id/bitstream/handle/ 123456789/58944/Fariha%20Yustisia. pdf;sequence=1>. Diunduh 17 Maret 2017.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019).

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1989

Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400).

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 22,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4611).

Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 159, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5078).

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1990 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/ PUU-VIII/2010 tentang Pengujian atas Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai Anak Luar Kawin bertanggal 17 Pebruari 2012. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11

Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya bertanggal 13 September 2012.

Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh

Nomor 18 Tahun 2015 tentang Nasab

Anak Yang Lahir Diluar Nikah (Anak Zinah) bertanggal 9 September 2015.

Referensi

Dokumen terkait

Kenyataan penyuluhan yang diberikan oleh BKKBN adalah tentang proses kehamilan, proses persalinan, pertumbuhan janin sehingga siswa menganggap bahwa materi yang diberikan tidak

Gambar 6 menunjukkan bahwa zeolit alam Lampung dapat digunakan sebagai adsorben pada penurunan kadar asam lemak bebas pada minyak kelapa sawit dengan cara adsorbsi sistem kolom

103 NUR AZIZAH PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR (PGSD) S1 C Lulus. 104 NUR INDAH AGUSTINA KESEHATAN MASYARAKAT S1

- Memberikan informasi sheet/pack sesuai order, cara setting counter tab inserter yang disesuaikan dengan jumlah roll yang dipotong dengan menempelkan pada bagian mesin -

Latar belakang dari permasalahan ini yaitu dengan melihat dari tugas dan fungsi yang diemban oleh setiap individu dalam organisasi maka dituntut kinerja yang

Kriteria inklusi dari penelitian ini adalah pasien rawat inap yang terdiagnosa stroke iskemik akut di RSUD Kabupaten Batang periode 2016 dengan atau tanpa penyakit penyerta,

Keterampilan berpikir kritis dan hasil belajar siswa yang belajar menggunakan colaborative learning lebih rendah dari pada siswa yang belajar menggunakan collaborative

Teknik analisis data yang digunakan adalah uji validitas dan reliabilitas, uji asumsi klasik, analisis regresi berganda (uji koefisien determinasi, uji f dan uji