• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluation Policy Determination Of Prone Forest Fires Area in West Kalimantan Province

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluation Policy Determination Of Prone Forest Fires Area in West Kalimantan Province"

Copied!
208
0
0

Teks penuh

(1)

0

EVALUASI KEBIJAKAN PENETAPAN DAERAH

RAWAN KEBAKARAN HUTAN DI PROVINSI

KALIMANTAN BARAT

EVA FAMURIANTY

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

0

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Evaluasi Kebijakan Penetapan Daerah Rawan Kebakaran Hutan di Provinsi Kalimantan Barat adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi di manapun. Sumber informasi yang berasal dari dan dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dan telah dicantumkan dalam daftar pustaka bagian akhir dari tesis ini.

Bogor, Agustus 2011

(3)

1

ABSTRACT

EVA FAMURIANTY. Evaluation Policy Determination Of Prone Forest Fires Area in West Kalimantan Province. Under Supervision of RINEKSO SOEKMADI AND LILIK BUDI PRASETYO.

Indonesia was one of countries having the world's fastest forest destruction. The damage was partly due to the land and forest fires that causing a serious impact on ecological, social, political and economy. The fires usually occur during the dry season in prone fire Province such as West Kalimantan. The fires in West Kalimantan is closely related to forests and land clearing activities. The research was carried out with spatial analysis of land cover change and evaluation of forest fire control policies in West Kalimantan Province. According to land cover analysis change during period 2000-2003, 2003-2006, 2006-2009, forest was the most widely land cover reduced by 631,957.50 ha, while the most significant increased were plantations 382,158.17 ha, bush/shrub 181,861.03 ha and 48631.85 ha of open land.. The most influence factor of land and forest fires was the land cover and land use that closely related to economic needs. In this case clearing land for plantations and paddy fields and also the shifting cultivation culture. of the policy setting fire prone areas of forest in West Kalimantan have not been effective, as indicated by a high change of forest land into forests and high non-hotspots. Determination of West Kalimantan as areas prone to forest fires is considered to be appropriate, but the implementation were considered less effective. This was due to the high rate of land cover change from forest to non forest and the hotspots also remains high, the legislation at the district level still not complete, inefficiency in implementing the mandate of the legislation at the local level, and ineffeciency coordination between central and local governments.

(4)

2

RINGKASAN

EVA FAMURIANTY. Evaluasi Kebijakan Penetapan Daerah Rawan Kebakaran Hutan di Provinsi Kalimantan Barat. Di bawah bimbingan RINEKSO SOEKMADI dan LILIK BUDI PRASETYO

Kebakaran hutan merupakan salah satu penyebab kerusakan hutan di Indonesia yang berdampak pada ekologi, ekonomi, sosial dan politik. Pada tahun 2002 Kalimantan Barat ditetapkan sebagai daerah rawan I kebakaran hutan, namun selama kurun waktu 8 tahun setelah itu, jumlah hotspot yang terpantau masih tinggi. Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi terhadap efektifitas kebijakan penetapan daerah rawan kebakaran hutan di Provinsi Kalimantan Barat.

Penelitian ini bertujuan untuk: menganalisis besarnya perubahan penutupan lahan di Provinsi Kalimantan Barat selama kurun waktu 2000-2009; menganalisis faktor yang berpengaruh terhadap kebakaran hutan di Kalimantan Barat; serta mengevaluasi kebijakan penetapan daerah rawan kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Barat.

Penelitian ini melingkupi analisis spasial perubahan lahan dan evaluasi secara deskriptif kebijakan pengendalian kebakaran hutan di Kalimantan Barat.

Selama kurun waktu 2000-2009, hutan mengalami penurunan paling signifikan sebesar 631.957,50 ha, sedangkan yang mengalami pertambahan paling signifikan adalah perkebunan sebesar 382.158,17 ha, semak/belukar sebesar 181.861,03 ha dan tanah terbuka sebesar 48.631,85 ha.

Faktor yang diduga paling mempengaruhi kebakaran hutan adalah jenis penutupan lahan dan penggunaan lahan dan laju faktor pertambahan penduduk yang erat kaitannya dengan kebutuhan ekonomi.

(5)

3

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk

kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan

laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan

tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya

(6)

4

EVALUASI KEBIJAKAN PENETAPAN DAERAH RAWAN

KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI PROVINSI

KALIMANTAN BARAT

EVA FAMURIANTY

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

5

(8)

6

Judul Tesis : Evaluasi Kebijakan Penetapan Daerah Rawan Kebakaran Hutan di Provinsi Kalimantan Barat Nama Mahasiswa : Eva Famurianty

Nomor Induk Mahasiswa : E051050261

Disetujui : Komisi Pembimbing,

Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F. Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc.

Ketua Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi

Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Fauzi Febrianto, MS. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(9)

7

(10)

8

PRAKATA

Puji syukur kepada ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat, karunia dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan karya ilmiah yang berjudul Evaluasi Kebijakan Penetapan Daerah Rawan Kebakaran Hutan di Provinsi Kalimantan Barat. Salawat dan salam dihaturkan kepada Rasullullah Muhammad SAW, semoga syafaatnya selalu bersama kita.

Penghargaan dan terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F dan Bapak Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, MS yang telah luar biasa sabar dalam membimbing penulis menyelesaikan tesis ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Dr. Ir.Lailan Syaufina, M.Sc selaku penguji.

Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Mbah-mbahku, Suami, Mama, Papa, Bapak, Ibu, Teh Nur, Saudara-saudaraku dan teman-teman terbaikku yang tidak pernah lelah memberi dukungan, doa dan semangat bahkan di saat terburuk dan juga permata hatiku Muhammad Ihsan yang telah berkorban sangat besar. Tidak lupa semua pihak yang telah memberikan kemudahan dan keleluasaan serta bantuan kepada Penulis dalam mnyelesaikan tulisan ini. Semoga Allah SWT yang Maha Adil memberikan balasannya.

Semoga tulisan ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2011

(11)

9

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pontianak pada tanggal 6 Februari 1981, merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan Drs. H. Didi Mursadi dan Ir. Hj. Fadillah Usman, M.Si.

Penulis menempuh jenjang pendidikan formal dimulai di SD Muhammadiyah II Pontianak dari tahun 1987 sampai 1991 dan SD Adabiah IV Padang dari tahun 1991 sampai 1993. Kemudian penulis meneruskan pendidikan di SMPN V Sawahan, Padang pada tahun 1993. Pada tahun 1995 penulis pindah ke Pontianak dan melanjutkan pendidikan di SMPN 3 Pontianak dan lulus pada tahun 1996. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di SMUN 1 Pontianak sampai tahun 1998 dan menyelesaikan pendidikan di SMUN 85 Jakarta Barat pada tahun 1999. Pada tahun yang sama penulis memasuki jenjang perkuliahan di Jurusan D3 Kimia Terapan Universitas Indonesia namun tidak menyelesaikannya karena pada tahun 2000 penulis diterima di Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur UMPTN Tahun 2000. Pada tahun 2005 penulis masuk ke Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pasca Sarjana IPB.

(12)

ix II.1. Ruang Lingkup Kebakaran Hutan ... 7

II.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan di Indonesia ... 8

II.3. Kebijakan dan Ruang Lingkup Pengendalian Kebakaran Hutan ... 11

II.4. Wewenang dan Kewajiban Pemerintah Pusat Terkait dengan Pengendalian Kebakaran Hutan... 13

II.5. Wewenang dan Kewajiban Pemerintah Daerah Provinsi terkait dengan Pengendalian Kebakaran Hutan... 14

II.6. Wewenang dan Kewajiban Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota terkait dengan Pengendalian Kebakaran Hutan ... 15

II.7. Kewajiban Pelaku Usaha dalam Pengendalian Kebakaran Hutan... 17

II.8 Kebijakan Penetapan Daerah Rawan Kebakaran Hutan di Provinsi Kalimantan Barat ... 18

II.9. Kaitan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan Kebakaran Hutan... 22

II.10. Analisis Kebijakan Publik ... 23

III. KONDISI UMUM LOKASI III.1. Kondisi Geografis ... 25

III.2. Pemerintahan dan Kependudukan ... 26

III.3 Sosial Budaya dan Perekonomian ... 27

IV. METODOLOGI IV.1. Lingkup Penelitian ... 29

IV.2. Metode Pengumpulan Data ... 29

IV.3. Metode Penetapan Objek Penelitian ... 29

IV.4.Analisis Spasial ... 30

IV.6. Content Analysis ... 30

(13)

x

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V.1. Analisis Sebaran Titik Panas (Hotspot) dan Perubahan Penutupan

Lahan di Provinsi Kalimantan Barat ... 33

V.2. Analisis Kebijakan Pengendalian Kebakaran Hutan di Provinsi Kalimantan Barat ... 47

V.3. Hubungan Sebaran Titik Panas, Perubahan Penutupan Lahan dan Kebijakan Pengendalian Kebakaran Hutan ... 57

VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 71

DAFTAR PUSTAKA……….. 73

(14)

xi

DAFTAR TABEL

No. Halaman 1. Perbandingan Titik Panas (Hotspot) di Indonesia dan Provinsi Paling Rawan

Kebakaran Hutan Tahun 2000-2010 ... 2 2. Luasan Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Paling Rawan Kebakaran

Hutan dan Lahan 2000-2010 ... 4 3. Susunan Organisasi Pusdalkarhutlada (Keputusan Gubernur Provinsi

Kalimantan Barat No. 164 Tahun 2002) ... 20 4. Sebaran Penduduk dan Luasan Wilayah Provinsi Kalimantan Barat ... 27 5. Content Analysis dalam Penelitian ... 31 6. Sebaran Titik Panas di Provinsi Kalimantan Barat Berdasarkan Daerah

Administrasi ... 33 7. Sebaran Hotspot di pada Kabupaten dengan Jumlah Lahan Perkebunan di

Provinsi Kalimantan Barat ... 34 8. Sebaran Titik Panas Berdasarkan Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan

Kawasan Konservasi Perairan Provinsi Kalimantan Barat ... 35 9. Sebaran Titik Panas di Provinsi Kalimantan Barat berdasarkan Peta

Penutupan Lahan Tahun 2000 ... 36 10. Sebaran Titik Panas di Provinsi Kalimantan Barat berdasarkan Peta

Penutupan Lahan Tahun 2003 ... 37 11. Sebaran Titik Panas di Provinsi Kalimantan Barat berdasarkan Peta

Penutupan Lahan Tahun 2006 ... 38 12. Sebaran Titik Panas di Provinsi Kalimantan Barat berdasarkan Peta

Penutupan Lahan Tahun 2009 ... 39 13. Perubahan Penutupan Lahan di Provinsi Kalimantan Barat berdasarkan Peta

Penutupan Lahan Tahun 2000, 2003, 2006 dan 2009 ... 41 14. Sebaran Titik Panas pada Perubahan Penutupan Lahan di Provinsi

Kalimantan Barat Periode Tahun 2000-2003... 42 15. Sebaran Titik Panas pada Perubahan Penutupan Lahan di Provinsi

Kalimantan Barat Periode Tahun 2003-2006... 43 16. Sebaran Titik Panas pada Perubahan Penutupan Lahan di Provinsi

Kalimantan Barat Periode Tahun 2006-2009... 44 17. Hasil Analisis Kebijakan Pengendalian Kebakaran Hutan di Provinsi

(15)

xii

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman 1. Tren Hotspot di Kalimantan Barat Tahun 2000-2010 ... 3 2. Kerangka Pemikiran dalam Upaya Mengevaluasi Kebijakan Penetapan Daerah

Rawan Kebakaran Hutan di Provinsi Kalimantan Barat ... 5 3. Tingkat Kerapatan Hotspot pada Berbagai Jenis Penutupan Lahan Tahun 2000,

(16)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman 1. Peta Sebaran Hotspot berdasarkan Peta Administrasi Kalimantan Barat

Tahun 2000 ... 77

2. Peta Sebaran Hotspot bedasarakan Peta Administrasi Kalimantan Barat Tahun 2003 ... 78

3. Peta Sebaran Hotspot bedasarakan Peta Administrasi Kalimantan Barat Tahun 2006 ... 79

4. Peta Sebaran Hotspot bedasarakan Peta Administrasi Kalimantan Barat Tahun 2009 ... 80

5. Peta Sebaran Hospot di Provinsi Kalimantan Barat Berdasarkan Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2000 ... 81

6. Peta Sebaran Hospot di Provinsi Kalimantan Barat Berdasarkan Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2003 ... 82

7. Peta Sebaran Hospot di Provinsi Kalimantan Barat Berdasarkan Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2006 ... 83

8. Peta Sebaran Hospot di Provinsi Kalimantan Barat Berdasarkan Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2009 ... 84

9. Peta Sebaran Hotspot berdasarkan Peta Penutupan Lahan Tahun 2000 ... 85

10. Peta Sebaran Hotspot berdasarkan Peta Penutupan Lahan Tahun 2003 ... 86

11. Peta Sebaran Hotspot berdasarkan Peta Penutupan Lahan Tahun 2006 ... 87

12. Peta Sebaran Hotspot berdasarkan Peta Penutupan Lahan Tahun 2006 ... 88

13. Tabel Alokasi Perubahan Penutupan Lahan Tahun 2000-2003 ... 89

14. Tabel Alokasi Perubahan Penutupan Lahan Tahun 2003-2006 ... 90

15. Tabel Alokasi Perubahan Penutupan Lahan Tahun 2006-2009 ... 91

16. Peta Perubahan Lahan Tahun Provinsi Kalimantan Barat 2000-2003 ... 92

17. Peta Perubahan Lahan Tahun Provinsi Kalimantan Barat 2003-2006 ... 93

18. Peta Perubahan Lahan Tahun Provinsi Kalimantan Barat 2003-2006 ... 94

19. Sebaran Hotspot berdasarkan Perubahan Lahan Tahun Provinsi Kalimantan Barat 2000-2003 ... 95

20. Sebaran Hotspot berdasarkan Perubahan Lahan Tahun Provinsi Kalimantan Barat 2003-2006 ... 96

(17)

I. PENDAHULUAN

1.1. LatarBelakang

Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang vital, serba guna dan bermanfaat bagi manusia. Fungsi hutan ada dua yaitu fungsi langsung yang dapat dinilai dengan uang (tangible) dan fungsi tidak langsung yang terkait dengan penggunaan jasa lingkungan (intangible) berupa fungsi hutan sebagai pembentuk iklim mikro dan makro, pencegah bencanadan penyedia plasma nutfah keanekaragaman hayati.

Beberapatahunterakhirini Indonesia ditenggaraisebagainegara yang mengalami laju kerusakan hutan tercepat di dunia. Kerusakan disebabkan oleh berbagai hal,antara lain kebakaran hutan dan lahan yang yang terjadi hampir setiap tahun. Kejadian Kebakaran Hutan besar yang pernah tercatat di Indonesia anatara lain pada tahun 1982-1983, 1987, 1991, 1994, 1997-1998. Kejadian ini menimbulkandampak yang sangat besar baik dari ekologi, sosialekonomi, kesehatandanpolitik internasional antara lain karena asap akibat kebakaran hutan melintas batas negara.

Kerugian yang ditimbulkan sangat tinggi di segala aspek. Suratmo et al (2003) mengemukakan kebakaran hutan pada tahun 1997-1998 menimbulkan kerugian ekonomi U$ 8,7 juta – U$ 9,6 juta. Sedangkan menurut Taconi (2003) kebakaran pada tahun 1997-1998 menimbulkan kerugian ekonomi sebesar U$ 674 juta – U$ 799 juta dan kerusakan ekologis sebesar U$ 1,62 miliar– U$ 2,7 miliar. Selain itu kasus penyakit pernafasan (ISPA) meningkat tajam.

Besarnya kerugian tersebut masih bertambah lagi jika kebakaran terjadi di kawasan konservasi yang berfungsi sebagai sumber plasma nutfah keanekaragaman hayari dan sistem penyangga kehidupan. Oleh karena itubahaya kebakaran hutan perlu mendapat perhatian dan penanganan yang sangat serius.

Titik panas (Hotspot) merupakan suatu indikator awal terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Kementerian Kehutanan c.q Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan memantau jumlah hotspot melalui stasiun penerima SatelitNational Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). Jumlah

(18)

2

sebenarnya, namun merupakan indikasi awal (early warning). Jumlah hotspot

yang dipantau dari beberapa stasiun bumi pun berbeda-beda bahkan bila menggunakan satelit yang sama. Sebagai contoh hasil pemantauan hotspot oleh Kementerian Kehutanan dan ASEAN Specialized Meteorological Center (ASMC) di Singapura berbeda karena perbedaan penetapan threshold.Hotspot bisa saja mengalami kesalahan dan bisa saja jumlah kebakaran dengan jumlah hotspot yang terpantau berbeda. Berdasarkan jumlah hotspot yang terpantau di suatu Provinsi juga akhirnya ditetapkan daerah rawan kebakaran hutan di Indonesia. Data hotspot

di provinsi paling rawan kebakaran di Indonesia mulai tahun 2000 sampai 2010 disajikan sebagai berikut :

Tabel 1. Perbandingan Titik Panas (Hotspot) di Indonesia dan Provinsi Paling Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan 2000-2010

* Data Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan

Pada tahun 2002 Kalimantan Barat ditetapkan sebagai Daerah Rawan I Kebakaran Hutan bersama dengan empatprovinsi lainnyayaitu Sumatera Utara, Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah melalui Keputusan Direktur Jenderal PHKA (Dirjen PHKA) No. 21/KPTS/DJ-IV/2002 tentang Pembentukan Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan di Indonesia dan SK Dirjen PHKA No. 22/KPTS/DJ-IV/2004tentangPembentukan Brigdalkarhut di Sumatera Utara, Riau, Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.Sedangkan daerah lainnya ditetapkan kemudian melalui Keputusan Direktur Jenderal PHKA No. SK. 113/IV-PKH/2005 tanggal 11 November 2005 tentang pembentukanBrigdalkarhut

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Indonesia 11.586 21.137 69.765 44.262 69.693 40.197 146.264 37.909 30.616 39.463 9.880 51.089

Sumut 1.498 931 1.883 1.138 2.236 3.830 3.581 936 871 1.172 530 1.808

Riau 3.903 2.155 18.786 6.022 8.077 22.630 11.526 4.169 3943 7.756 1.707 8.897

Sumsel 835 659 9.539 4.257 9.632 1.182 21.734 5.182 3055 3.891 1.481 5.997

Jambi 220 385 1.560 2.323 2.277 1.208 6.748 3.120 1970 1.733 603 2.154

Kalbar 2.586 4.383 7.061 8.646 10.311 3.022 32.222 7.561 5.528 10.144 1.785 9.146

Kalteng 1.179 5.487 20.504 9.562 16.659 3.147 40.897 4.806 1240 4.640 831 10.812

Kaltim 232 1.865 3.620 1.156 4.111 714 6.603 2.082 2.231 2.307 974 2.492

Kalsel 116 1.353 3.276 1.891 2.574 758 6.469 928 199 1.270 111 1.883

Sulsel 48 413 950 531 521 133 1.201 551 525 519 175 539

Rata-rata

(19)

3

Manggala Agni di Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan yang selanjutnya disebut Daerah Operasi (DAOPS). Penetapan Daerah rawan ini didasarkan pada data hotspot yang terpantau pada tahun 1997 sampai dengan tahun 2001.

Provinsi Kalimantan Barat setiap tahunnya selalu berada pada urutan tiga besar provinsi rawan kebakaran dengan jumlah hotspot tertinggi, bahkan pada tahun 2007 sampai dengan 2010 Kalimantan Barat menempati urutan teratas. Apabila dikaitkan dengan perkiraan el-nino yang berkepanjangan sampai tahun 2012 maka kecenderunganhotspotpada tahun-tahun yang akan datang di Kalimantan Barat akansemakin meningkat. Tren Hotspot di Kalimantan Barat dari tahun 2000 sampai 2010 disajikan sebagai berikut :

Gambar 1. Tren Hotspot di Kalimantan Barat dari Tahun 2000-2010

Mengingat pentingnya hal tersebut maka di dalam Rencana Strategis Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan 2010-2014, penurunan hotspot hingga 20% pertahun dari rerata tahun 2004-2009 dan penurunan luasan kebakaran hutan sebanyak 50% dari rerata periode yang sama menjadi indikator kinerja keberhasilan pengendalian kebakaran hutan di Indonesia. Selanjutnya data luasan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia disajikan pada Tabel 2 :

2,5864,383

(20)

4

Tabel 2. Luasan kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Paling Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan 2000-2010

* Data Direktorat Pengedalian Kebakaran Hutan

Dari tabel terlihat bahwa selama kurun waktu 2000-2010 Provinsi Sumatera Utara memiliki luasan rata-rata kebakaran hutan dan lahan paling tinggi diikuti Sumatera Selatan, Riau, Kalimantan Tengah dan Jambi. Sementara itu Kalimantan Barat hanya menempati urutan keenam. Apabila memperhatikan jumlah dan tren hotspot Provinsi Kalimantan Barat yang merupakan kelompok tiga besar daerah penghasil hotspot di Indonesia pada kurun waktu yang sama, bahkan pada tahun 2007-2010 menempati peringkat teratas. Hal ini cukup menarik perhatian dan menimbulkan pertanyaan apakah data ini cukup akurat dalam menggambarkan kondisi kebakaran hutan di Provinsi Kalimantan Barat.

Selama kurun waktu 8 tahun mulai tahun 2002 sampai dengan tahun 2009 setelah berdirinya Daops di Provinsi Kalimantan Barat, jumlah hotspot yang terpantau di Provinsi Kalimantan Barat masih tetap relatif tinggi. Hal ini memunculkan pertanyaan apakah penetapan daerah rawan kebakaran di Provinsi Kalimantan Barat sudah tepat dan efektif, serta apakah dasar penetapan daerah kerawanan yang didasarkan pada jumlah hotspotsudah tepat dan mewakili, ataukah ada faktor-faktor lain yang perlu lebih diperhatikan dalam penetapan kebijakan daerah rawan kebakaran hutan di Provinsi Kalimantan Barat sehingga tujuan yang pembentukan Daops mencapai target yang diharapkan.

Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi terhadap kebijakan penetapan daerah rawan kebakaran hutan di Provinsi Kalimantan Barat dengan cara melakukan analisis spasial yang dikaitkan dengan evaluasi kebijakan

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-rata

1. Sumut 32.000,00 179 0 1 975 5.500,16 734,5 153,75 483 3.755,80 80,00 3.987,47 2. Ri a u 2.630,10 937,87 2.681,85 15 6 6.673,00 7.310,70 2.048,75 4.696,75 58 26,00 2.462,18 3. Ja m b i 52,76 130 1.136,50 6.050,00 614,9 70 6.592,80 1.484,50 128,27 1.154,00 2,50 1.583,29 4. Sumsel 0 8.023,39 12.051,53 466 953 0 5.493,25 94,5 739,5 113 4 2.539,83 5. Kalbar 2.460,07 2.116,53 1.110,20 56 0 56,5 2.419,50 125,69 928,5 258,46 231,41 887,53 6. Kalteng 0 1.535,50 701 0 195,14 4 17.698,51 200 0 2.738,25 25,00 2.099,76 7. Kalsel 2 437 0 0 0 0 2.560,25 25 355,5 1.230,25 25,00 421,36 8. Kaltim 0 33 43,75 11 756,25 109 878,5 22,5 0,25 37,9 13 173,20 9. Sulsel 0 213,5 4.915,75 0 88,3 82 520,7 0 126,75 2,5 37,00 544,23

No Provinsi

(21)

5

pengendalian kebakaran baik pada tingkat nasional maupun tingkat lokal. Untuk lebih jelasnya kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Kerangka Pemikiran dalam Mengevaluasi Kebijakan Penetapan Daerah Rawan Kebakaran Hutan di Provinsi Kalimantan Barat

Dampak Kebakaran Hutan Kalbar

Jumlah hotspot di Kalimantan Barat masih tinggi, tren hotspot meningkat, data luasan kebakaran rendah

1. Hal-hal yang berpengaruh terhadap kebakaran hutan dan lahan

2. Apakah Metode Penetapan daerah Rawan Kebakaran hutan sudah tepat?

(22)

6

1.2. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang dikemukakan, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menganalisis besarnya perubahan penutupan lahan di Provinsi Kalimantan

Barat selama kurun waktu 2000-2009.

2. Menganalisis faktor yang berpengaruh terhadap kebakaran hutan dan lahan di

Kalimantan Barat.

3. Mengevaluasi kebijakan penetapan daerah rawan kebakaran hutan dan lahan

yang diterapkan di Provinsi Kalimantan Barat.

(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ruang Lingkup Kebakaran Hutan

Brown dan Davis (1973) mengemukakan bahwa kebakaran hutan adalah pembakaran yang tidak tertahan dan terjadi dengan tidak disengaja atau tidak direncanakan pada areal tertentu yang menyebar secara bebas serta mengkonsumsi bahan bakar yang tersedia di hutan seperti serasah, rumput, cabang kayu yang sudah mati, patahan kayu, tunggul dan pohon-pohon yang masih hidup. Selanjutnya konsep kebakaran hutan dikenal dengan segitiga api (Fire Triangle) yang terdiri dari bahan bakar, sumber panas dan oksigen.

Syaufina (2008) mendefinisikan kebakaran hutan sebagai kejadian dimana api melahap bahan bakar bervegetasi yang terjadi di dalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas tidak terkendali sedangkan kebakaran lahan terjadi di kawasan non hutan.

Kebakaran hutan adalah suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan atau hasil hutan yang menimbulkan kerugian ekonomis dan atau nilai lingkungan (Pasal 1 Peraturan Menteri Kehutanan/ Permenhut No P. 12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan).

Pengendalian kebakaran hutan adalah semua usaha, pencegahan, pemadaman, pengananan pasca kebakaran hutan dan penyelamatan. (Pasal 1 Permenhut No P. 12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan). Kegiatan Pengendalian Kebakaran meliputi pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca kebakaran. (Pasal 20 ayat 1 PP No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan).

Titik Panas (hotspot) adalah indikator kebakaran hutan yang mendeteksi suatu lokasi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu disekitarnya. (Pasal 1 Permenhut No P. 12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan)

(24)

8

2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan di Indonesia

Aktivitas Manusia

Suratmo (2003) mengemukakan penyebab utama kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Kalimantan dan Sumatera hampir seluruhnya dipengaruhi faktor manusia, baik akibat kelalaian maupun kesengajaan.

Penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terdiri dari dua faktor yaitu faktor alam antara lain petir, letusan gunung berapi atau potensi batu bara yang terbakar berupa dan faktor manusia baik yang sengaja maupun tidak sengaja. Menurut penelitan hampir 100% kebakaran hutan dan yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh faktor kesengajaan manusia akibat adanya kegiatan pembukaan lahan (Syaufina, 2008)

Menurut Asian Development Bank tahun 1997/1998, kebakaran hutan disebabkan oleh 99% perbuatan manusia dan 1 % faktor alam. Yang disebabkan perbuatan manusia dapat dikelompokan sebagai berikut : puntung rokok 35%, kecerobohan 25%, konversi lahan 13%, perladangan 10%, pertanian 7%, kecemburuan sosial 6%, kegiatan transmigrasi 13% (Sumantri, 2007)

Pada beberapa daerah masyarakat sengaja membakar hutan untuk memperluas lahan garapan dengan cara membakar. Menurut Anderson, et. al (1999), pembakaran hutan yang dilakukan oleh petani lebih dilatarbelakangi oleh faktor sosial ekonomi yang sangat erat dengan konsep penguasaan lahan oleh masyarakat dimana pemilikan lahan sangat kecil atau tidak memiliki lahan akan membuka lahan baru atau bekerjasama dengan pendatang atau koperasi.

Young and Ronald (1990) mengemukakan bahwa kebakaran hutan akan semakin meningkat dengan meningkatnya jumlah pendatang baru, dan peladang ini akan membuka hutan secara cepat dengan melakukan pembakaran hutan.

Selain itu membakar lahan juga dianggap dapat meningkatkan kesuburan tanah, walaupun sebenarnya hanya bersifat sementara saja dan malah merusak tanah itu sendiri. Menurut Hardjanto (1998), pembakaran yang dilakukan oleh petani dilakukan dengan tujuan menambah kesuburan tanah dan setiap keluarga hanya mampu membakar + 1 ha/tahun.

(25)

9

Faktor sosial ekonomi masyarakat berpengaruh terhadap kemampuan daya dukung lingkungan suatu kawasan. Semakin tinggi jumlah penduduk di suatu daerah, maka gangguan kerusakan hutan akan semakin tinggi.

Faktor pendorong terjadinya kebakaran hutan di Riau adalah pertambahan jumlah penduduk yang cukup tinggi, lapangan kerja, dan kesempatan kerja yang terbatas, kurangnya pembinaan terhadap masayarakat di sekitar hutan dan tidak adanya sanksi adat yang diberikan kepada masyarakat di sekitar hutan (Mangandar, 2000)

Pembukaan lahan dengan cara membakar juga dianggap lebih murah cepat dan efisien. Menurut KLH (1998) biaya pembukaan lahan hutan dengan cara membakar hanya memerlukan seperempat dari biaya pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB) artinya tidak ada insentif ekonomi bagi perusahaan untuk melakukan pembukaan lahan tanpa bakar. Pembukaan lahan dengan pembakaran hanya memerlukan waktu 28 HOK (Hari Orang Kerja), sementara PLTB secara mekanis untuk hutan primer membutuhkan 80 HOK dtambah 12 jam kerja traktor dan 53 HOK ditambah 10 jam kerja traktor bagi hutan sekunder.

Faktor utama penyebab kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat adalah aktivitas manusia yang dipengaruhi jarak dari kota, penggunaan lahan, dan faktor biofisik ynag dipengaruhi oleh tutupan lahan (Kayoman, 2008)

Faktor Lingkungan Biofisik

Terdapat tiga tipe bahan bakar yaitu 1. bahan bakar bawah terdiri atas duff, akar, gambut; 2. Bahan bakar permukaan yaitu serasah, ranting, kulit kayu dan cabang pohon yang belum terurai, rumput, tumbuhan bawah, anakan dan semai; 3. Bahan bakar tajuk yaitu bahan bakar hidup maupun yang sudah mati yang menutui kanopi dan menyebar setinggi 1,2 meter dari tanah (Brown dan Davis, 1973)

(26)

10

yang tersedia, kerasnya musim kebakaran, mengatur kadar air dan flamibilitas bahan bakar mati dan mempengaruhi proses penyalaan (Syaufina, 2008).

Terdapat 4 faktor lingkungan yang mempengaruhi perilaku api yaitu cuaca, bahan bakaran, topografi dan waktu. Faktor cuaca antara lain suhu yang tinggi, kecepatan angin yang tinggi, kelembaban relatif yang rendah dan curah hujan. Curah hujan yang tinggi namun pendek tidak akan meningkatkan kelembaban bahan bakar, sedangkan curah hujan rendah dalam waktu panjang akan menyerap air lebih banyak..

Faktor topografi antara lain kemiringan lereng, bentang alam dan Aspek. Semakin curam lereng semakin cepat api akan menjalar karena nyala api lebih dekat dengan bahan bakar, aliran angin biasanya menuju puncak, udara yang terpananskan akan menambah kecepatan angin dan bara api akan jatuh ke bawah sehingga menimpa bahan bakar baru. Bentang alam berpengaruh terhadap pola angin setempat yang dapat menjadi penghalang dan merubah aliran udara yang akan menyebabkan turbulensi. Aspek adalah arah menghadapnya lereng terhadap penyinaran matahari. Biasanya lereng yang pertama kali mendapat penyinaran matahari akan mempengaruhi cuaca setempat seperti suhu, kelembaban dan arah angin.

Bahan bakaran dipengaruhi oleh kadar air, ukuran, susunan, volume dan kandungan resin. Semakin rendah kelembaban suatu bahan bakar semakin cepat api akan menjalar. Semakin kecil ukuran bahan bakar semakin cepat terbakar. Susunan bahan bakar terkait dengan pola kesinambungan bahan bakar apakah ada penghambat penjalaran api. Volume terkait dengan kuantitas kebakaraan, semakin banyak bahan bakar terbakar maka semakin tinggi intensitasnya. Bahan bakar yang mengandung resin akan mempercepat proses penyalaan dan keawetan untuk menyala.

Terkait dengan waktu, periode kritis terjadinya kebakaran adalah Pukul 10.00 sampai 18.00, setelah jam 10 penyinaran matahari menyebabkan temperatur meningkat sehingga kelembaban turun dan kecepatan angin meningkat sehingga menyebabkan kadar air bahan akar menurun. (Sumantri, 2007)

(27)

11

alang-alang, semak yang biasanya memiliki kerapatan vegetasi sedang (Arianti, 2006). Sementara Samsuri (2008) mengemukakan bahwa faktor-faktor utama penyebab kebakaran hutan dan lahan adalah tipe sistem lahan, tutupan lahan, tipe tanah dan fungsi kawasan.

2.3. Kebijakan dan Ruang Lingkup Pengendalian Kebakaran Hutan

Kebijakan publik atau disebut juga kebijakan sosial adalah seperangkat tindakan (course of action), kerangka kerja (framework), petunjuk (guidelines), rencana (plan), peta (map) dan strategi yang dirancang untuk menerjemahkan visi politis pemerintah atau lembaga pemerintah ke dalam program dan tindakan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang kesejahteraan sosial (social welfare) (Suharto, 2008).

Salah satu kebijakan Pemerintah Indonesia adalah mengenai pengendalian kebakaran hutan. Dalam rangkaian kebijakan tersebut ada beberapa peraturan perundangan yang terkait diantaranya adalah UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 4 tahun 2001 tentang Pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.

Menurut Undang-undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 47 huruf (a) perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit.

Di dalam PP No. 4 tahun 2001 dinyatakan setiap orang dilarang melakukan kegiatan pembakaran hutan dan atau lahan dan pada Pasal 12 dinyatakan bahwa Setiap orang berkewajiban mencegah terjadinya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.

(28)

12

perkebunan, pertanian dan pertambangan. Kategori daerah kerawanan tersebut yaitu kategori rawan I, rawan II dan rawan III. Tindak lanjutnya pada daerah yang masuk kategori rawan I dibentuklah Brigdalkarhut-Manggala Agni, melalui Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No. 21/KPTS/DJ-1V/2002 tentang Pedoman Brigdalkarhut di Indonesia dan No. 22/KPTS/DJ-IV/2002 tentang Brigdalkarhut di Provinsi Sumatera Utara, Riau, Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, yang secara riil di lapangan terwujud pada tahun 2003 yang selanjutnya disebut Daerah Operasi (DAOPS). Kemudian berdasarkan keputusan Direktur Jenderal PHKA Nomor No. SK. 113/IV-PKH/2005 tanggal 11 November 2005 dibentuk Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan (Manggala Agni) di Provinsi Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan.

Seiring berjalannya waktu, perkembangan teknologi pemantauan hotspot

semakin intensif. Menurut Albar (2009), Kementerian Kehutanan memiliki stasiun penerima data hotspot dari satelit NOAA yang berbasis Sistem Informasi Geografis. Pemantauan ini dilakukan secara harian dan datanya dikirimkan kepada seluruh UPT Kementerian Kehutanan di seluruh Indonesia. Namun

hotspot ini hanya bersifat early warning bagi pihak-pihak yang berkepentingan dan tidak menggambarkan kejadian kebakaran hutan yang sesungguhnya karena

hotspot itu sendiri tidak semuanya yang merupakan titik api yang sebenarnya,

hotspot hanya merupakan titik panas, bisa berasal dari kebakaran hutan, pembakaran skala besar, pantulan panas dari seng dan sebagainya. Selain Kementerian Kehutanan, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) juga memiliki sistem pemantauan kebakaran, namun dengan ambang batas (treshold) suhu yang berbeda.

(29)

13

berdasarkan rencana pembukaan wilayah perkebunan, pertanian dan pertambangan (Sukrismanto, 2009).

2.4. Wewenang dan Kewajiban Pemerintah Pusat Terkait dengan

Pengendalian Kebakaran Hutan

Dalam Undang Undang (UU) No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 48 ayat 1 Pemerintah mengatur perlindungan hutan, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. Pada ayat 2 dijelaskan bahwa perlindungan hutan pada hutan negara dilaksanakan oleh Pemerintah.

Peraturan Pemerintah (PP) No. 4 tahun 2001 tentang Pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan khususnya pasal 16 menyatakan bahwa Pejabat yang berwenang memberikan izin melakukan usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 wajib memperhatikan:

a. Kebijakan nasional tentang pengelolaan hutan dan atau lahan sebagai bagian dari pendayagunaan sumberdaya alam;

b. Kesesuaian dengan tata ruang daerah; c. Kendapat masyarakat dan kepala adat; dan

d. Pertimbangan dan rekomendasi dari pejabat yang berwenang.

Pada pasal 23 PP No. 4 tahun 2001 tersebut dinyatakan Menteri yang bertanggung jawab di bidang kehutanan mengkoordinasikan pemadaman kebakaran hutan dan atau lahan lintas propinsi dan atau lintas batas negara. Selanjutnya pada pasal 24 dinyatakan bahwa dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam pasal 23, Menteri yang bertanggung jawab di bidang kehutanan mengkoordinasikan :

a. Penyediaan sarana pemadam kebakaran hutan dan atau lahan;

b. Pengembangan sumber daya manusia untuk pemadaman kebakaran hutan dan atau lahan;

c. Pelaksanaan kerja sama internasional untuk pemadaman kebakaran hutan dan atau lahan.

(30)

14

lahan, instansi yang bertanggung jawab mengembangkan kemampuan sumber daya manusia di bidang evaluasi dampak lingkungan hidup dan penyusunan strategi pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.

Selanjutnya pada pasal 26 disebutkan bahwa kepala instansi yang bertanggung jawab mengkoordinasikan penanggulangan dampak dan pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang terjadi pada lintas propinsi dan atau lintas batas negara.

Selain itu pada pasal 34 ayat (3) Menteri dan atau Kepala Instansi yang bertanggung jawab, melakukan pengawasan atas pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang berdampak atau yang diperkirakan dapat berdampak lintas propinsi dan atau lintas batas negara.

Pada pasal 36 dinyatakan bahwa Menteri dan atau Kepala Instansi yang bertanggung jawab, dalam hal tertentu dapat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan persyaratan yang diwajibkan bagi usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 14.

2.5. Wewenang dan Kewajiban Pemerintah Daerah Provinsi dengan

Pengendalian Kebakaran Hutan

Wewenang dan kewajiban Pemerintah daerah secara jelas diuraikan dalam PP No. 4 tahun 2001. Pasal 27 menyatakan bahwa Gubernur bertanggung jawab terhadap pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang dampaknya lintas kabupaten/kota. Selanjutnya, pada Pasal 28 dinyatakan :

(1) Dalam hal terjadi kebakaran hutan dan atau lahan di lintas kabupaten/kota, Gubernur wajib melakukan koordinasi penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan lintas kabupaten/kota.

(31)

15

Lebih jauh lagi, pada pasal 29 ayat (1) dinyatakan bahwa dalam melakukan koordinasi penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, Gubernur dapat membentuk atau menunjuk instansi yang berwenang di bidang pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan di daerahnya. Selanjutnya pada ayat (2) Instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Wajib melakukan inventarisasi terhadap usaha dan atau kegiatan yang potensial menimbulkan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup, melakukan inventarisasi dan evaluasi dampak lingkungan hidup, penyusunan strategi, rencana dan biaya pemulihan dampak lingkungan hidup sebagai upaya pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang dampaknya lintas kabupaten/kota.

Pada pasal 34 ayat (2) dinyatakan bahwa Gubernur melakukan pengawasan atas pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang berdampak atau yang diperkirakan dapat berdampak lintas kabupaten/kota. Selanjutnya pada pasal 35 dijelaskan bahwa Gubernur/Walikota melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan persyarat yang diwajibkan bagi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14

Pada Pasal 43 ayat (1) ditegaskan bahwa Gubernur/Bupati/Walikota wajib memberikan informasi kepada masyarakat mengenai kebakaran hutan dan atau lahan serta dampaknya.

2.6. Wewenang dan Kewajiban Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

dengan Pengendalian Kebakaran Hutan

Pada PP No. 4 tahun 2001 juga dirinci mengenai wewenang dan kewajiban Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan sebagai berikut.

(32)

16

Secara tegas dalam pasal 31 ayat (1) dan (2) dinyatakan kewajiban Bupati/Walikota sebagai berikut:

(1) Dalam hal terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan, maka Bupati/Walikota wajib melakukan tindakan :

a. Penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan;

b. Pemeriksaan kesehatan masyarakat di wilayahnya yang mengalami dampak kebakaran hutan dan atau lahan melalui sarana pelayanan kesehatan yang telah ada;

c. Pengukuran dampak;

d. Pengumuman pada masyarakat tentang pengukuran dampak dan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi dampak yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.

(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, tidak mengurangi kewajiban setiap orang dan atau setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18 ayat (1).

Pada Pasal 32 Bupati/Walikota yang melakukan penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a, dapat meminta bantuan pada Bupati/Walikota terdekat. Selanjutnya pada pasal 33 dijelaskan bahwa: (1) Dalam melakukan penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan,

Bupati/Walikota dapat membentuk atau menunjuk instansi yang berwenang dibidang pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan di daerahnya.

(2) Instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud dalanm ayat (1) wajib melakukan inventarisasi terhadap usaha dan atau kegiatan yang potensial menimbulkan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup, melakukan inventarisasi dan evaluasi dampak lingkungan hidup, penyusunan strategi, rencana, dan biaya pemulihan dampak lingkungan hidup sebagai upaya pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.

(33)

17

2.7. Kewajiban Pelaku Usaha dalam Pengendalian Kebakaran Hutan

Kewajiban dan kewenangan dalam pengendalian kebakaran lahan dan hutan, tidak hanya menjadi tanggungjawab pemerintah semata. Masyarakat dan sektor swasta juga berkewajiban mengendalikan kebakaran lahan dan hutan sebagaimana diamanatkan dalam UU 41 tahun 1999 dan PP 4 tahun 2001.

Pada pasal 50 ayat (2) UU No. 41 tahun 1999 secara jelas disebutkan bahwa setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.

Dalam PP No. 4 tahun 2001 pasal 13 dinyatakan bahwa setiap penanggung jawab usaha yang usahanya dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan wajib mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya.

Selanjutnya dalam pasal 14 ayat (1) diuraikan bahwa setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 wajib memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya. Pasal 14 ayat (2) menyatakan bahwa sarana dan prasarana pencegahan terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :

a. Sistem deteksi dini untuk mengetahui terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan;

b. Alat pencegahan kebakaran hutan, dan atau lahan;

c. Prosedur operasi standar untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan;

d. Perangkat organisasi yang bertanggung jawab dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan;

(34)

18

Pada pasal 15 dinyatakan bahwa penananggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 wajib melakukan pemantauan untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya dan melaporkan hasilnya secara berkala sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali yang dilengkapi dengan data penginderaan jauh dari satelit kepada Gubernur/Bupati/Walikota dengan tembusan kepada instansi teknis dan instansi yang bertanggung jawab.

Pada pasal 17 disebutkan bahwa setiap orang berkewajiban menanggulangi kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi kegiatannya. Selanjutnya pada pasal 18 ayat (1) dijelaskan bahwa setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya dan wajib segera melakukan penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya.

Pada Pasal 20 Setiap orang yang mengakibatkan terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan wajib melakukan pemulihan dampak lingkungan hidup.

Pasal 21 diuraikan mengenai hal pemulihan lingkungan akibat kebakaran lahan oleh penanggung jawab usaha. Pada ayat (1) dinyatakan bahwa setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 wajib melakukan pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya.

2.8. Kebijakan Penetapan Daerah Rawan Kebakaran Hutan di Provinsi

Kalimantan Barat

(35)

19

2003 Tentang Pembentukan Tim Action Plan Sterilisasi Kawasan Bandara Supadio dari asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan, Keputusan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Pembentukan Pos Tanggap Darurat Penanggulangan Bencana Asap/Kebakaran Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat.

Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 6 Tahun 1998 menjelaskan mengenai usaha pencegahan kebakaran hutan dan lahan, kewajiban bagi masyarakat dan badan usaha untuk bersikap hati-hati dan waspada serta berusaha mencegah dan menghindari kegiatan yang dapat menyebabkan karhutla, kewajiban bagi badan usaha untuk melakukan upaya pencegahna karhutla di areal kerjanya, kewajiban instansi pemerintah, badan usaha dan masyarakat, organisasi beserta tugas dan fungsinya, ketentuan pidana serta ketentuan proses penyidikan. Organisasi pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang dimaksud pada Perda ini terdiri atas :

1. Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Daerah Tingkat I, yang selanjutnya disingkat Pusdalkarhutla berkedudukan di kantor Gubernur Kepala Daerah

2. Pos Komando Pelaksana Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Daerah Tingkat II, yang selanjutnya disingkat Poskolakdalkarhutla berkedudukan di kantor bupati/walikotamadya

3. Satuan Pelaksana Pengendalian Kebakaran Hutan Lahan, yang selanjutnya disingkat satlakdalkarhutla berkedudukan di kantor kecamatan.

Selanjutnya pada pasal 18 diatur mengenai ketentuan pidana bagi pelanggaran terhadap Perda ini diancam dengan kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) dapat juga diancam dengan pidana sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

(36)

20

Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Daerah (Poskolakdalkarhutlada) berkedudukan di kantor Bupati/Walikota. Selanjutnya Satuan Pelaksanaan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Satlakdalkarhutla) berkedudukan di Kantor Kecamatan. Pusdalkarhutlada dibantu oleh Sekretariat yang dipimpin oleh Sekretaris yang berkedudukan di kantor Bapedalda Provinsi Kalimantan Barat. Susunan organisasi pos tanggap darurat dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Susunan organisasi Pusdakarhutlada (Keputusan Gubernur Propinsi Kalimantan Barat No. 164 Tahun 2002)

1. Penanggung jawab : Gubernur

2. Ketua : Wakil Gubernur

3. Wk. Ketua I : Kapolda

4. Wk. Ketua II : Komandan Korem 121 ABW

5. Wk. Ketua III : Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan

Masyarakat

6. Sekretaris : Kepala Bapedalda

7. Penanggung jawab Sektor Kehutanan selaku Ketua Pelaksana Harian pada Areal/Kawasan Hutan

: Kepala Dinas Kehutanan

8. Penanggung jawab Sektor Perkebunan

Ketua Pelaksana Harian pada

Areal/Kawasan Perkebunan

: Kepala Dinas Perkebunan

9. Penanggung jawab Sektor Pertanian

Ketua Pelaksana Harian pada

Areal/Kawasan Pertanian

: Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan

10. Penanggung jawab Sektor Kehewanan dan Peternakan Ketua Pelaksana

Harian pada Areal/Kawasan

Peternakan

: Kepala Dinas Kehewanan dan Peternakan

11. Penanggung jawab Sektor Tenaga Kerja dan kependudukan

: Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan

Kependudukan 12. Penanggung jawab Sektor Energi dan

Sumberdaya Mineral Ketua Pelaksana

Harian pada Areal/Kawasan

pertambangan

: Kepala Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral

13. Penanggung jawab Sektor Kesehatan

Ketua Pelaksana Harian bidang

kesehatan

: Kepala Dianas Kesehatan Prov. Kalimantan Barat

14. Anggota-anggota : - Danlanud Soepadio Pontianak

- Kepala Badan informasi Daerah

- Kepala Dinas Perhubungan dan

Telekomunikasi Kepala Dinas Kimpraswil

Kepala Dinas Sosial Kepala UPT

Penaggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan, Dishut

- Kepaka BMG Pontianak

- Kepala Biro Umum Setda

(37)

21

1. Menetapkan kebijaksanaan dan langkah yang akan diambil dalam rangka pencegahan dan penggulangan kebakaran hutan dan lahan;

2. Mengkoordinasikan seluruh kegiatan pencegahan dan penanggulangan kebakaran utan dan lahan secara terpadu di tingkat daerah;

3. Memberikan bimbingan dan pengawasan dalam pelaksanaan kegiatan pencegahan dan penaggulangan kebakaran hutan dan lahan;

4. Melakukan koordinasi dengan satuan kordinasi pelaksana penanggulangan bencana alam dan penaganan pengungsi yang selanjutnya disingkat satkorlak PBP yang telah ada;

5. Melaksanakan dan melaporkan tugas penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di wilayah Provinsi kepada Gubernur Kalimantan Barat yang selanjutnya melaporkan kepada Pemerintah Pusat.

Keputusan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 24 Tahun 2009 berisi tentang penunjukan personil dalam penugasan pada pos tanggap darurat penanggulangan bencana asap/kebakaran hutan dan lahan. Selain itu peraturan ini juga berisi mengenai tugas pos tanggap darurat tersebut yaitu (1) menetapkan langkah dan putusan yang tepat, cepat dan cermat dalam peanggulangan bencana yang terjadi dengan mengedepankan koordinasi, sinkronisasi dan integrasi; (2). pos tanggap darurat yang ditetapkan akan dilengkapi dengan personil pendukung melalui keputusan Kepala Badan Penanggulangan Bencanan Daerah Provinsi Kalimantan Barat, (3) menyampaikan laporan kepada Gubernur Kalimantan Barat.

(38)

22

Dinas Kehutanan Provinsi dan Balai KSDA Kalimantan Barat. Protap ini cukup mengakomodir dan secara rinci memberikan alur proses mobilisasi sumberdaya baik pada kawasan hutan maupun lahan.

2.9. Kaitan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan Kebakaran Hutan

SIG merupakan suatu perkembangan teknologi terbaru dalam teknologi SIG analisis, yang menggunakan komputer untuk menggabungkan data yang melimpah mengenai lingkungan alami dengan informasi mengenai distribusi spasial yang digunakan untuk menyimpan, memanipulasi, dan menganalisis, serta menyajikan data dan informasi geografis (Paryono, 1994).

Pada dasarnya pendekatan SIG meliputi penyimpangan, penampilan, dan manipulasi tipe data pemetaan yang sifatnya beragam, seperti tipe-tipe vegetasi, iklim, tanah, topografi, geologi, hidrologi, dan distribusi spesies. Pendekatan ini dapat menunjukkan korelasi antara elemen-elemen biotik dan abiotik dalam

landscape dan dapat membantu perencanaan kawasan yang mencakup fungsi perlindungan dan keanekaragaman hayati. Foto-foto udara dan citra merupakan data tambahan bagi SIG (Primack et al., 1998).

Terkait dengan pengendalian kebakaran hutan SIG dapat juga dipakai untuk mengetahui sebaran dan distribusi hotspot di suatu daerah serta analisis daerah bekas kebakaran menggunakan citra satelit. Citra satelit sendiri dapat dipakai untuk berbagai kebutuhan tergantung analisis yang diperlukan. Terkait hal ini Sunuprapto (2000) dalam Thoha (2006) mengemukakan bahwa kombinasi band 543 memiliki keunggulan karena memberikan tampilan yang serupa dengan hasil penglihatan manusia dan memiliki kontras lebih baik pada kombinasi warna alami. Keunggulan lainnya adalah dapat membedakan antara vegetasi hidup dan vegetasi mati (terbakar).

Thoha (2006) mengemukakan bahwa terdapat perbedaan data hotspot

antar data Departemen Kehutanan, ASMC dan LAPAN. Jumlah hotspot terbanyak ditemukan pada sumber Departemen Kehutanan. Jumlah tertinggi dari sumber JICA terjadi secara konsisten dari tahun 1999-2004. Sedangkan jumlah hotspot

terendah terdapat pada data LAPAN. Akurasi jumlah desa yang terpantau hotspot

(39)

23

60% dan 40%. Akurasi jarak terdekat untuk sumber Departemen Kehutanan, ASMC dan LAPAN masing-masing adalah 1,75 km; 4,46 km dan 3,7 km.

Albar (2009) mengemukakan bahwa perbedaan jumlah hotspot yang terpantau tersebut diakibatkan penetapan threshold (batas bawah) yang dipakai masing-masing lembaga berbeda. Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan (Direktorat Pengendalian KebakaranHutan) dan ASMC menggunakan satelit NOAA, namun threshold yang dipakai Direktorat Pengendalian KebakaranHutan sebesar 385o K atau 44,85oC pada siang hari dan 310o K atau 36,85o C pada malam hari sedangkan ASMC 320o K atau 46,85o C pada siang hari dan 314o K atau 40,85o pada malam hari. Sehingga sangat memungkinkan jumlah hotspot

yang tercatat oleh Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan jauh lebih banyak daripada jumlah yang dirangkum oleh ASMC. Hal ini disebabkan pantauan

hotspot pada Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dimaksudkan sebagai

early warning guna tindakan pencegahan.kebakaran hutan.

Thoha (2006) mengemukakan bahwa hotspot dapat digunakan sebagai indikator terjadinya kebakaran lahan. Berdasarkan hasil interpretasi dan analisis citra Landsat TM, lahan terbakar diidentifikasi dengan dengan karakteristik warna merah muda hingga merah tua untuk kombinasi band 543 dan hijau muda hingga hijau muda tua untuk kombinasi band 453.

2.10. Analisis Kebijakan Publik

Analisis kebijakan sosial adalah usaha yang terencana dan sistematis dalam membuat analisis atau asesmen akurat mengenai konsekuensi-konsekuensi kebijakan sosial, baik sebelum maupun sesudah kebijakan tersebut diimplementasikan (Suharto, 2004)

Menurut Dunn 1991 yang dikutip oleh Suharto (2008) Ada tiga model analisis kebijakan publik yaitu model prospektif, model retroprospektif dan model integratif yang diuraikan sebagai berikut :

a. Model Prospektif

(40)

24

b. Model Retroprospektif

Model retroprospektif adalah analisis kebijakan publik yang dilakukan terhadap akibat-akibat kebijakan setelah suatu kebijakan diimplementasikan. Model ini disebut juga model evaluatif.

c. Model Integratif

(41)

III. KONDISI UMUM LOKASI

3.1. KONDISI GEOGRAFIS

Berdasarkan BPS Kalimantan Barat (2010), Provinsi Kalimantan Barat secara geografis terletak diantara 2o 08’ Lintang Utara – 3o 05’ Lintang Selatan dan 108o 30’ – 114o 10’ Bujur Timur, dengan demikian garis khatulistiwa (garis lintang 00) melintasi provinsi ini, tepatnya di Kota Pontianak.

Provinsi Kalimantan Barat memiliki luas wilayah 146.807,00 km2 (14,68 juta ha), membentang dari utara ke selatan sepanjang 600 km dan dari timur ke barat sepanjang 850 km, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:

• Utara berbatasan dengan Sarawak (Malaysia Timur)

• Selatan berbatasan dengan Kalimantan Tengah dan Laut Jawa • Timur berbatasan dengan Sarawak dan Kalimantan Timur. • Barat berbatasan dengan Laut Natuna dan Selat Karimata.

Kalimantan Barat beriklim tropik basah dengan curah hujan tinggi sepanjang tahun dan disertai kelembaban udara cukup tinggi yang merupakan ciri khas daerah berhutan tropis. Kalimantan Barat juga dilewati garis khatulistiwa sehingga memiliki suhu udara yang tinggi. Pada tahun 2009, curah hujan di Kalimantan Barat rata-rata 1817,1 mm/tahun, dengan rata-rata curah hujan tertinggi pada bulan Desember sebesar 3309,8 mm dan terendah sebesar 811,7 mm pada bulan Juli. Curah hujan tertinggi dan terendah tercatat di Ketapang sebesar 764,4 mm pada bulan November dan 10,7 mm pada bulan Juli. Hari hujan per bulan antara 11 s/d 27 hari. Hari hujan terbanyak pada bulan Desember sebanyak 27 hari hujan dan yang terendah pada bulan Mei sebanyak 11 hari hujan. Kelembaban nisbi pada tahun 2009 berkisar antara 81% s/d 95%. Temperatur udara tertinggi pada tahun 2009 mencapai 33,2oC, sedangkan yang terendah mencapai 22,3oC dengan temperatur rata-rata antara 24,5oC-27,2oC. Kecepatan angin rata-rata 2-5 knots/jam, dan tertinggi rata-rata mencapai 30 knots/jam.

(42)

26

rawa-rawa bercampur gambut dan hutan mangrove. Gunung-gunung di Wilayah ini merupakan gunung api tua yang tidak aktif lagi dengan Gunung tertinggi adalah Gunung Baturaya di Kabupaten Sintang dengan ketinggian 2.278 mdpl.

Provinsi Kalimantan Barat merupakan daerah yang memiliki aliran sungai yang sangat banyak dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) utamanya adalah DAS Kapuas yang mengalir sejauh 1086 km.

Jenis tanah utama di Kalimantan Barat adalah Podsolik merah kuning (PMK), aluvial, orgosol gley humus (OGH), Podsol, Latosol dan Regosol dengan proporsi terbesar adalah PMK.

Sebagian besar luas tutupan lahan di Kalimantan Barat adalah hutan (42,32%) dan padang/semak belukar/alang-alang (34,11%). Adapun areal hutan terluas terletak di Kabupaten Kapuas Hulu seluas 1.964.491 ha, sedangkan padang/semak belukar terluas berada di Kabupaten Ketapang yaitu seluas 1.374.145 ha. Sementara itu areal perkebunan mencapai 1.574.855,50 atau 10,73 %. Sementara areal pemukiman hanya berkisar 0,83 persen. (BPS Kalimantan Barat, 2010)

Kawasan konservasi besar di Kalimantan Barat yaitu Taman Nasional Gunung Palung (90.000 ha), Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (181.090 ha), Taman Nasional Danau Sentarum (132.000 ha), Taman Nasional Betung Kerihun (800.000 ha).

3.2. PEMERINTAHAN DAN KEPENDUDUKAN

Provinsi Kalimantan Barat dipimpin oleh Seorang Gubernur yang dibantu 14 Bupati/Walikota. Provinsi Kalimantan Barat terbagi kepada 12 daerah administrasi pemerintahan kabupaten dan 2 kotamadya yaitu: Kabupaten Sambas, Bengkayang, Landak, Pontianak, Kubu Raya, Sanggau, Ketapang, Kayong Utara, Sintang, Kapuas Hulu, Sekadau dan Melawi serta Kotamadya Pontianak dan Singkawang.

(43)

27

4.889,63 jiwa per kilometer persegi sedangkan Kabupaten Kapuas Hulu memiliki kepadatan penduduk terendah sebesar 7,47 jiwa per kilometer persegi.

Pada tahun 2009 jumlah penduduk di Kalimantan Barat adalah 4,3 juta jiwa. Penduduk berjenis kelamin laki-laki 2.181.614 sebanyak jiwa dan 2.137.528 jiwa berjenis kelamin perempuan dengan laju pertumbuhan penduduk pada tahun 2008-2009 sebesar1,64%. Untuk lebih jelasnya luasan Wilayah dan jumlah penduduk disajikan dalam Tabel 4.

Tabel. 4. Sebaran Penduduk dan Luasan Wilayah Provinsi Kalimantan Barat

No Kabupaten

3.3. SOSIAL BUDAYA DAN PEREKONOMIAN

(44)

28

kondusifnya interaksi antarbudaya. Selain itu juga terjadi penguatan peranan kearifan lokal serta peningkatan pemahaman terhadap keragaman sosial budaya

Agama yang dipeluk penduduk Kalimantan Barat pada tahun 2009 adalah Islam sebanyak 2.628.258 jiwa, diikuti oleh Katolik sebanyak 953.173 jiwa, Protestan 522.818 jiwa, Budha 349.166 jiwa, Hindu 13.396 jiwa, Kong Hu Chu 15.687 jiwa dan yang lainnya 46.706 jiwa.

Pada tahun 2009 jumlah angkatan kerja di Provinsi Kalimantan Barat sebanyak 2.200.895 jiwa dengan komposisi memiliki pekerjaan 2.081.211 jiwa (94,56%) dan yang tidak bekerja 119.684 (5,44%). Angkatan kerja di provinsi Kalimantan Barat masih didominasi oleh pekerja yang berpendidikan rendah (SLTP kebawah) sebesar 79,67%. Bidang usaha yang paling dominan adalah sektor pertanian dengan angkatan kerja sebanyak 1.314.077 jiwa atau 63,14% dari total angkatan kerja yang bekerja. Pertanian disini mencakup pertanian tanaman pangan, perkebunan antara lain kelapa sawit, kelapa,karet, kopi, lada dan kakao. Sedangkan penduduk yang bukan angkatan kerja berjumlah 795.701 jiwa. Sebanyak 222.111 jiwa (27,91%) bersekolah, 480.765 jiwa (60,42 %) mengurus rumah tangga dan lain-lain sebanyak 92.825 jiwa (11,67 %).

(45)

29

IV. BAHAN DAN METODOLOGI

4.1. Lingkup Penelitian

Penelitian ini melingkupi analisis spasial terhadap perubahan lahan dan evaluasi secara deskriptif terhadap kebijakan pengendalian kebakaran hutan di Provinsi Kalimantan Barat. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Januari sampai Juli 2010.

4.2. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui pendekatan observasi, wawancara dengan berbagai pihak yang kompeten seperti Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan, Dinas Kehutanan, serta masyarakat yang ada di dalam dan sekitar lokasi terpilih. Sedangkan data sekunder diperoleh dari beberapa instansi seperti Biro Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Barat. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Data hotspot tahun 2000, 2003, 2006 dan 2009 dari Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan, Kementerian Kehutanan.

2. Peta land cover Provinsi Kalimantan Barat tahun 2000, 2003, 2006 dan 2009 skala 1:100.000 dari Ditjen Planologi Kementerian kehutanan

3. Peta Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2000 skala 1:250.000 dari Ditjen Planologi kementerian Kehutanan.

4. Peta Administrasi Kalimantan Barat Tahun 2006 dari Bakosurtanal.

5. Peraturan pemerintah dan kebijakan (pusat, daerah provisnsi dan daerah kabupaten kota)

4.3. Metode Penetapan Objek Penelitian

Penetapan lokasi penelitian dilakukan dengan cara purposive sampling

(46)

30

4.4. Analisis Spasial

Pengolahan data Spasial dilakukan dengan cara melakukan overlay data

hotspot (2000, 2003, 2006 dan 2009) dengan Peta Administrasi Provinsi Kalimantan Barat, Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan dan Peta Penutupan Lahan Provinsi Kalimantan Barat tahun 2000, 2003, 2006 dan 2009.

Selanjutnya akan didapatkan sebaran hotspot pada daerah administrasi di Provinsi Kalimantan Barat, sebaran hotspot pada didapatkan sebaran hotspot di masing-masing tipe penutupan lahan. Selanjutnya peta pentupan lahan tersebut tersebut masing masing akan dilakukan overlay untuk mendapatakan data perubahan penutupan lahan. Selain itu data hotspot juga dilakukan overlay dengan Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan Kalimantan Barat dan peta Administrasi Kalimantan Barat yang akan menghasilkan peta sebaran hotspot di masing-masing tipe penutupan lahan, jenis penggunaan lahan dan kabupaten. Pengerjaan ini dilakukan dengan menggunakan software ArcGIs 10 free.

4.5. Content Analysis

Content analysis dilakukan dengan cara melakukan analisis menyeluruh terhadap peraturan perundangan baik itu Peraturan Pemerintah Pusat maupun Peraturan Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota yang terkait dengan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui kelemahan dan kekurangan peraturan perundangan yang dianalisis, sehingga dapat diketahui permasalahan yang ada untuk mengetahui hubungan antara peraturan perundangan atau kebijakan yang terkait dengan masalah yang sama apakah terdapat relevansinya dan apakah ada kesenjangan (gap) yang terjadi antara peraturan perundangan tersebut.

(47)

31

kebakaran lahan, wewenang pemerintah pusat, wewenang pemerintah provinsi, wewenang pemerintah kabupaten/kota, kewajiban pelaku usaha kewajiban/peran serta masyarakat, pengendalian kebakaran hutan/lahan, rawan kebakaran dan sanksi. Format Content analysis disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Content Analysis dalam Penelitian No Peraturan

Perundangan

Keyword Tersurat (Sintaktis)

Tersirat (Semantik)

Ket

4.6 Analisis Kebijakan Penetapan Daerah Rawan Kebakaran Hutan

(48)

33

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Analisis Sebaran Titik Panas (Hotspot) dan Perubahan Penutupan Lahan

di Provinsi Kalimantan Barat

Sebaran Hotspot Berdasarkan Daerah Administrasi

Pada penelitian ini tingginya hotspot diaumsikan sejalan dengan banyaknya kejadian kebakaran hutan. Sebaran titik panas Provinsi Kalimantan Barat menurut daerah administrasi dapat dilihat pada Tabel 6. Sedangkan peta sebaran hotspot dapat dilihat pada Lampiran (1-4).

(49)

34 tabel juga terlihat jumlah penduduk di suatu daerah tidak memiliki hubungan langsung dengan tinginya titik panas, namun mungkin ada hubungan dengan laju pertumbuhan penduduk. Daerah yang memiliki laju pertumbuhan penduduk tinggi umumnya memiliki titik panas yang tinggi seperti Kabupaten Ketapang, Sintang, Landak dan Kayong Utara. Kecuali Kabupaten Sanggau.

Tabel 7. Sebaran Hotspot pada Kabupaten dengan Jumlah Lahan Perkebunan di Provinsi Kalimantan Barat

*BPS Kalimantan Barat,2010

Dari tabel bisa kita lihat bahwa daerah yang memiliki lahan perkebunan, belukar dan tanah kering yang luas memiliki titik panas yang tinggi. Sedangkan daerah yang memiliki hutan luas belum tentu memiliki hotspot yang tinggi. Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa aktivitas pengelolaan lahan pertanian, perkebunan serta lahan non hutan menyebakan terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang diindikasikan dengan tinginya jumlah hotspot. .

Jumlah kejadian titik panas paling sedikit secara konstan terjadi pada daerah perkotaan yaitu Kota Pontianak dan Kota Singkawang. Hal ini disebabkan oleh lahan pertanian dan perkebunan di daerah perkotaan relatif sedikit, dan titik panas seringkali terjadi akibat pantulan sinar matahari pada atap rumah.

2000 2003 2006 2009 Rata-rata Ke bun Be lukar Ke bun C ampur

Tanah

ke ring Kampung Sawah Hutan

1 Sambas 72 141 2.047 794 764 136.324 86.910 13.798 3.288 12.723 68.662 225537

2 Bengkayang 117 177 2.314 862 868 85.518 178.490 16.744 30.940 9.356 21.359 110032

3 Landak 117 1.048 2.318 742 1.056 205.910 386.546 12.257 92.846 6.628 64.192 139130

4 Pontianak 62 68 351 211 173 98.768 306.629 24.734 38.771 13.785 56.433 172253

5 Sanggau 165 1.642 3.175 1.358 1.585 315.902 700.824 31.978 56.139 13.910 15.458 68829

6 Ketapang 428 5.905 9.524 2.240 4.524 389.095 1.374.145 55.068 123.289 17.300 19.507 465533

7 Sintang 433 1.945 3.611 1.233 1.806 302.766 870.464 40.759 88.213 16.935 88.648 790006

8 Kapuas Hulu 72 1.014 3.381 997 1.366 147.419 629.260 30.549 43.505 16.509 21.190 1960578

9 Sekadau 198 1.094 1.706 235 808 20.590 240.137 9.000 20.200 4.500 2.000 227754

10 Melawi 117 866 1.296 536 704 36.947 23.265 1.528 124 1.475 3.826 922030

11 Kayong Utara 117 105 507 329 265 0 0 0 0 0 0 0

12 Kubu Raya 648 406 1.928 609 898 0 0 0 0 0 0 0

13 Kota Pontian 25 13 38 7 21 130 288 1.346 1.227 6.822 128 0

14 Kota Singkaw 15 14 26 45 25 16.189 3.800 140 22 2.408 5.563 20927

2.586 14.438 32.222 10.198 14.861 927.092 4.235 237.901 498.564 122.351 366.966 5102609

Gambar

Tabel 1. Perbandingan Titik Panas (Hotspot) di Indonesia dan Provinsi Paling Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan 2000-2010
Gambar 1. Tren Hotspot di Kalimantan Barat dari Tahun 2000-2010
Gambar 2. Kerangka Pemikiran dalam Mengevaluasi Kebijakan Penetapan
Tabel 6. Sebaran Titik panas di Provinsi Kalimantan Barat Berdasarkan Daerah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai kelanjutan proses pemilihan kami mengundang Saudara untuk menghadiri tahapan pembuktian kualifikasi Paket Pekerjaan Pengadaan Sarana Pendukung Instalasi

Untuk menentukan jenis penjerap etilen yang efektif dan efisien yang dapat memperpanjang masa simpan buah terung belanda dalam sistem kemasan termodifikasi aktif dan

Namun seiring dengan perkembangan teknologi maka ada beberapa modifikasi pada masing- masing stasiun pengolahan, untuk mendapatkan hasil yang optimal.oleh karena itu, disini

Dalam inovasi pendidikan terdapat difusi inovasi pendidikan yaitu, penyebarluasan dari gagasan inovasi pendidikan tersebut melalui suatu proses komunikasi yang dilakukan

|jejakseribupena.com, Soal dan Solusi Simak UI Matematika IPA, 2013

Berdasarkan hasil evaluasi Penawaran File I dan File II serta pengumuman pemenang pada Pekerjaan Penegasan Batas Daerah Kota Tangerang Selatan, maka kami bermaksud melakukan

Rehab Panggung Auditorium Gelanggang Remaja Jakarta Barat Rehab Atap dan Plafon Gedung Induk Unit Pengelola. Gelanggang Remaja

 Berorientasi ke masa depan  Siswa bersama-sama mengulang dengan suara lantang kosakata- kosakata dan kalimat- kalimat baru yang diucapkan guru atau didengar dari