• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adiningsih ES. 2005. Penyimpangan Iklim dan Resiko Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Albar. I. Komunikasi Pribadi. 20 Februari 2009.

Anderson IP, Bowen MR, Imanda ID, Muhnandar. 1999. Kebakaran Vegetasi di Indonesia. Sejarah Kebakaarn di Beberapa Provinsi di Sumatera 1996-1998 Sebagai perkiraan Daerah yang Beresiko di Masa Datang. Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Wilayah II dan Kanwil Kehutanan dan Perkebunan Palembang.

Arianti I. 2006. Pemodelan Tingkat dan Zona Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan Menggunakan Sistem Informasi Geografis di Sub DAS Kapuas Tengah, Propinsi Kalimantan Barat. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

[BPS Kalimantan Barat] Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Barat. 2010. Kalimantan Barat Dalam Angka 2010. Pontianak : Artha Grafistama.

Brown AA, Davis KP. 1973. Forest Fire Control Land Use. New York : Mc. Graw-Hill Inc.

Dunn W. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gadjahmada University Press

Gani GA, Roswintiarti O, Albar I. 2008. Advances in Operational Weather System For Fire Danger Rating. Laporan FDRS Project.

Hardjanto. 1998. Dampak Sosial Ekonomi Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia. Integrated Forest Fire Management In Indonesia Phase I: National Guidelinesnon The Pprotection of Forest Againts fire. Bogor : Fakultas Kehutanan.

Hoten. 2010. Komunikasi Pribadi. 13 Februari 2010.

Kayoman L. 2010. Pemodelan Spasial Resiko Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Kalimantan Barat. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Ketterings QM, Wibowo TT, Van Noordwijkc M, Penot E. 1998. Farmers' perspectives on slash-and-burn as a land clearing method for small-scale rubber producers in Sepunggur, Jambi Province, Sumatra, Indonesia. Elsevier : Forest Ecology and Management 120 (1999) 157-169

74 [KLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 1998. Kebakaran Hutan dan Lahan di

Indonesia. Dampak, Faktor dan Evaluasi Jilid I. Jakarta : KLH.

Keputusan Dirjen PHKA Nomor : 21/Kpts/DJ-IV/2002 tentang Pedoman Pembentukan Brigade Pengendalian Kebakaaran Hutan (Brigdalkarhut) di Indonesia

Keputusan Dirjen PHKA Nomor : 22/Kpts/DJ-IV/2002 tentang Pembentukan Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan di Propinsi Sumatera Utara, Riau, Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.

Keputusan Dirjen PHKA Nomor : 30/Kpts/DJ-IV/2002 tentang Pemebentukan Pos Komando Pengendalian kebakaran Hutan Nasional.

Koesnadi. Komunikasi Pribadi. 10 Februari 2009.

Mangandar. 2000. Keterkaitan Sosial Masyarakat di Sekitar Hutan dengan Kebakaran Hutan (Studi Kasus di Propinsi Daerah Tingkat I Riau). Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat No. 6 Tahun 1998 Pencegahan dan penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan

Peraturan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 103 Tahun 2009 Tentang protap Mobilisasi sumber Daya Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Kalimantan Barat.

Peraturan Menteri Kehutanan No. P.12/Menhut-II/2009 mengenai Pengendalian Kebakaran Hutan.

Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenagnan Propinsi sebagai Daerah Otononomi.

Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 2001 Tentang Pengendalian kerusakan dan atau pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan.

Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.

Pratondo BJ. 2007. Kajian Pembangunan Infrastruktur Data Spasial Nasional (IDSN) untuk Pengendalian Kebakaran Hutan (Studi Kasus di Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat). Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Samsuri. 2008. Model Spasial Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah). Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

75 Subarsono AG. 2006. Analisis Kebijakan Publik : Konsep, Teori dan Aplikasi. Ed

ke-2. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Suharto E. 2008. Analisis Kebijakan Publik : Panduan praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial. Bandung : CV. Alfabeta.

Sukrismanto, E. 2009. Komunikasi Pribadi. 20 Februari 2009.

Sumantri. 2007. Pengendalian Kebakaran Lahan dan Hutan, Sebuah Pemikiran, Teori, Hasil Praktek dan Pengalaman di Lapangan. Jakarta : Ditjen PHKA-JICA.

Suparto AS. 2010. Komunikasi Pribadi. 11 Februari 2010.

Suratmo FG, Jaya INS, Husaeni EA. 2003. Pengetahuan Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan. Bogor : IPB Press.

Sunanto. 2008. Peran serta masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan Kebakaran Lahan (Studi Kasus Kelompok Peduli Api di Kecamatan Rasau Jaya Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat). Semarang : Program Magister Ilmu Lingkungan Program pasca sarjana Universitas diponegoro. Suwignyo M. 2010. Komunikasi Pribadi. 12 Februari 2010.

Syaufina L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesei : Perilakua Api, Penyebab dan Dampak Kebakaran. Malang : Bayumedia Publishing.

Stolle F. Chomitz KM, Lambin EF, Tomich TP. 2001. Land Use and Vegetation Fires in Jambi Provine Sumatra Indonesia. Elsevier BV: Forest Eology and Managment 179 (2003) : 277-292.

Taconi L. 2003. Kebakaran Hutan di Indonesia : Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan. CIFOR Occasional Paper No. 38.i. Bogor: CIFOR.

Taconi L, Vayda AP. 2005. Slash and Burn and Fires in Indonesia: A Comment. Elsevier BV: Ecological Economics 56 (2006) : 1-4.

AH. 2006. Penggunaan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis untuk Deteksi dan Prediksi Kebakaarn Gambut di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Undang-undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan.

Undang-undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

76 Young AR. Ronald CG. 1990. Introduction to Forest Science. Madison :

Wisconsin University

Yuadji. B. 1981. Pengaruh Pola Penggunaan Lahan Terhadap Daya Dukung Lingkungan. Gema Rimba. Surabaya: Perum Perhutani.

Yunus L. 2005. Metode Penilaian Ekonomi Kerusakan Lingkungan Akibat Kebaakaran Hutan dan Lahan (Studi Kasus di Kabupaten Sintang Kalimantan Barat). Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

77

78

79

80

81

Lampiran 5. Peta Sebaran Hospot di Provinsi Kalimantan Barat Berdasarkan Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2000

82

Lampiran 6. Peta Sebaran Hospot di Provinsi Kalimantan Barat Berdasarkan Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2003

83

Lampiran 7. Peta Sebaran Hospot di Provinsi Kalimantan Barat Berdasarkan Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2006

84

Lampiran 8. Peta Sebaran Hospot di Provinsi Kalimantan Barat Berdasarkan Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2009

85

86

87

88

89

Lampiran 13. Tabel Alokasi Perubahan Penutupan Lahan Tahun 2000-2003

Ket : Hutan = Hutan Sekunder dan Primer TRAN = Transmigrasi BAND = Bandara/Pelabuhan

HTI = Hutan Tanaman Industri PMK = Pemukiman TMBG = Pertambangan

KBN = Perkebunan SWH = Sawah RAWA = Rawa

SMK = Semak Belukar TMBK = Tambak AIR = Tubuh Air

PLK = Pertanian Lahan Kering TNH = Tanah Terbuka AWAN = Awan

Hutan HTI KBN S MK PLK TRAN PMK S WH TMBK TNH BAND TMBG RAWA AIR AWAN

Hutan 11.982.559,19 - 2.834,96 21.925,25 17.314,01 - 46,46 - 49,30 4.114,06 - 295,00 14,92 - - 12.029.153,15 HTI - 12.382,26 - - - - - - - - - - - - - 12.382,26 KBN - - 364.950,11 - - - - - 33,71 - - - - - - 364.983,82 S MK - - 4.294,20 1.200.027,56 - 473,35 - - - 8.625,21 - 3.917,88 - - - 1.217.338,19 PLK 4.594,54 - 8.843,16 - 5.284.948,43 - - - - 820,79 - 69,31 - - - 5.299.276,23 TRAN - - - - - 11.987,48 - - - - - - - - - 11.987,48 PMK - - - - - - 37.776,67 - - - - - - - - 37.776,67 S WH - - - - - - - 200.762,89 - - - - - - - 200.762,89 TMBK - - - - - - - - 4.702,51 - - - - - - 4.702,51 TNH 57,69 - - - - - - - - 274.931,79 - - - - - 274.989,49 BAND - - - - - - - - - - 64,30 - - - - 64,30 TMBG - - - - 25,62 - - - - - - 55.691,28 - - - 55.716,90 RAWA - - - - - - - - - - - - 123.859,01 - - 123.859,01 AIR - - - - - - - - - - - - - 140.265,61 - 140.265,61 AWAN 26,38 - - - - - - - - - - - - - - 26,38 JUMLAH 11.987.237,80 12.382,26 380.922,44 1.221.952,81 5.302.288,05 12.460,83 37.823,13 200.762,89 4.785,52 288.491,85 64,30 59.973,46 123.873,93 140.265,61 0,00 19.773.284,89 TUTUPAN LAHAN 2000 TUTUPAN LAHAN 2003 JUMLAH

90

Lampiran 14. Tabel Alokasi Perubahan Penutupan Lahan Tahun 2003-2006

Ket : Hutan = Hutan Sekunder dan Primer TRAN = Transmigrasi BAND = Bandara/Pelabuhan

HTI = Hutan Tanaman Industri PMK = Pemukiman TMBG = Pertambangan

KBN = Perkebunan SWH = Sawah RAWA = Rawa

SMK = Semak Belukar TMBK = Tambak AIR = Tubuh Air

PLK = Pertanian Lahan Kering TNH = Tanah Terbuka AWAN = Awan

Hutan HTI KBN S MK PLK TRAN PMK S WH TMBK TNH BAND TMBG RAWA AIR AWAN

Hutan 11.640.010,33 59.144,90 244.326,61 16.231,87 - - 365,00 - 26.725,56 - 433,53 - - - 11.987.237,80 HTI - 12.294,76 - - 15,37 - - - - 72,13 - - - - - 12.382,26 KBN - - 380.922,44 - - - - - - - - - - - - 380.922,44 SM K 40.825,13 - 291,36 1.161.306,74 9.891,60 - - - 3.134,25 6.478,72 - 25,02 - - - 1.221.952,81 PLK - 7.551,15 1.164,05 5.288.508,91 - - - - 5.032,13 - 31,81 - - - 5.302.288,05 TRAN - - - - - 12.460,83 - - - - - - - - - 12.460,83 PM K - - - - - - 37.823,13 - - - - - - - - 37.823,13 SWH - - 2.983,86 - - - - 197.726,15 52,88 - - - - - - 200.762,89 TM BK - - - - - - - 83,73 4.701,79 - - - - - - 4.785,52 TNH 9,72 - - 2.759,86 822,46 - - - - 284.899,82 - - - - - 288.491,85 BAND - - - - - - - - - - 64,30 - - - - 64,30 TM BG - - - - 994,65 - - - - - - 58.978,81 - - - 59.973,46 RAWA - - - 902,05 - - - - - - - - 122.971,88 - - 123.873,93 AIR - - - - - - - - - - - - - 140.265,61 - 140.265,61 AWAN - - - - - - - - - - - - - - - 0,00 JUM LAH 11.680.845,18 12.294,76 450.893,71 1.410.459,31 5.316.464,86 12.460,83 37.823,13 198.174,88 7.888,92 323.208,36 64,30 59.469,16 122.971,88 140.265,61 0,00 19.773.284,89 TUTUPAN LAHAN 2003 TUTUPAN LAHAN 2006 JUMLAH

91

Lampiran 16. Tabel Alokasi Perubahan Penutupan Lahan Tahun 2006-2009

Ket : Hutan = Hutan Sekunder dan Primer TRAN = Transmigrasi BAND = Bandara/Pelabuhan

HTI = Hutan Tanaman Industri PMK = Pemukiman TMBG = Pertambangan

KBN = Perkebunan SWH = Sawah RAWA = Rawa

SMK = Semak Belukar TMBK = Tambak AIR = Tubuh Air

PLK = Pertanian Lahan Kering TNH = Tanah Terbuka AWAN = Awan

Hutan HTI KBN S MK PLK TRAN PMK S WH TMBK TNH BAND TMBG RAWA AIR AWAN

Hutan 11.397.195,65 - 136.331,79 68.013,12 60.987,14 - - 160,81 134,78 15.677,22 - 2.183,10 161,56 - - 11.680.845,18 HTI - 12.294,76 - - - - - - - - - - - - - 12.294,76 KBN - - 432.585,65 614,64 17.693,42 - - - - - - - - - - 450.893,71 S MK - - - 1.311.319,66 96.592,12 - - - 763,02 - - 1.784,52 - - - 1.410.459,31 PLK - - 155.057,33 11.668,59 5.112.343,28 - - 4.664,96 - 28.816,49 - 3.914,22 - - - 5.316.464,86 TRAN - - - - - 12.460,83 - - - - - - - - - 12.460,83 PMK - - - - - - 37.823,13 - - - - - - - - 37.823,13 S WH - - - - - - - 197.674,05 - 500,83 - - - - - 198.174,88 TMBK - - - - - - - - 7.888,92 - - - - - - 7.888,92 TNH - - 22.138,56 7.583,22 11.553,71 - - 63,70 45,89 278.403,52 - 3.419,74 - - - 323.208,36 BAND - - - - - - - - - 64,30 - - - - 64,30 TMBG - - - - - - - - - - - 59.469,16 - - - 59.469,16 RAWA - - 1.028,66 - - - - - - 223,27 - - 121.719,94 - - 122.971,88 AIR - - - - - - - - - - - - - 140.265,61 - 140.265,61 AWAN - - - - - - - - - - - - - - - 0,00 JUMLAH 11.397.195,65 12.294,76 747.141,99 1.399.199,22 5.299.169,68 12.460,83 37.823,13 202.563,52 8.832,61 323.621,34 64,30 70.770,75 121.881,51 140.265,61 0,00 19.773.284,89 TUTUPAN LAHAN 2006 TUTUPAN LAHAN 2009 JUMLAH

92

93

94

95

96

97

1

ABSTRACT

EVA FAMURIANTY. Evaluation Policy Determination Of Prone Forest Fires Area in West Kalimantan Province. Under Supervision of RINEKSO SOEKMADI AND LILIK BUDI PRASETYO.

Indonesia was one of countries having the world's fastest forest destruction. The damage was partly due to the land and forest fires that causing a serious impact on ecological, social, political and economy. The fires usually occur during the dry season in prone fire Province such as West Kalimantan. The fires in West Kalimantan is closely related to forests and land clearing activities. The research was carried out with spatial analysis of land cover change and evaluation of forest fire control policies in West Kalimantan Province. According to land cover analysis change during period 2000-2003, 2003-2006, 2006-2009, forest was the most widely land cover reduced by 631,957.50 ha, while the most significant increased were plantations 382,158.17 ha, bush/shrub 181,861.03 ha and 48631.85 ha of open land.. The most influence factor of land and forest fires was the land cover and land use that closely related to economic needs. In this case clearing land for plantations and paddy fields and also the shifting cultivation culture. of the policy setting fire prone areas of forest in West Kalimantan have not been effective, as indicated by a high change of forest land into forests and high non-hotspots. Determination of West Kalimantan as areas prone to forest fires is considered to be appropriate, but the implementation were considered less effective. This was due to the high rate of land cover change from forest to non forest and the hotspots also remains high, the legislation at the district level still not complete, inefficiency in implementing the mandate of the legislation at the local level, and ineffeciency coordination between central and local governments.

I. PENDAHULUAN

1.1. LatarBelakang

Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang vital, serba guna dan bermanfaat bagi manusia. Fungsi hutan ada dua yaitu fungsi langsung yang dapat dinilai dengan uang (tangible) dan fungsi tidak langsung yang terkait dengan penggunaan jasa lingkungan (intangible) berupa fungsi hutan sebagai pembentuk iklim mikro dan makro, pencegah bencanadan penyedia plasma nutfah keanekaragaman hayati.

Beberapatahunterakhirini Indonesia ditenggaraisebagainegara yang mengalami laju kerusakan hutan tercepat di dunia. Kerusakan disebabkan oleh berbagai hal,antara lain kebakaran hutan dan lahan yang yang terjadi hampir setiap tahun. Kejadian Kebakaran Hutan besar yang pernah tercatat di Indonesia anatara lain pada tahun 1982-1983, 1987, 1991, 1994, 1997-1998. Kejadian ini menimbulkandampak yang sangat besar baik dari ekologi, sosialekonomi, kesehatandanpolitik internasional antara lain karena asap akibat kebakaran hutan melintas batas negara.

Kerugian yang ditimbulkan sangat tinggi di segala aspek. Suratmo et al (2003) mengemukakan kebakaran hutan pada tahun 1997-1998 menimbulkan kerugian ekonomi U$ 8,7 juta – U$ 9,6 juta. Sedangkan menurut Taconi (2003) kebakaran pada tahun 1997-1998 menimbulkan kerugian ekonomi sebesar U$ 674 juta – U$ 799 juta dan kerusakan ekologis sebesar U$ 1,62 miliar– U$ 2,7 miliar. Selain itu kasus penyakit pernafasan (ISPA) meningkat tajam.

Besarnya kerugian tersebut masih bertambah lagi jika kebakaran terjadi di kawasan konservasi yang berfungsi sebagai sumber plasma nutfah keanekaragaman hayari dan sistem penyangga kehidupan. Oleh karena itubahaya kebakaran hutan perlu mendapat perhatian dan penanganan yang sangat serius.

Titik panas (Hotspot) merupakan suatu indikator awal terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Kementerian Kehutanan c.q Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan memantau jumlah hotspot melalui stasiun penerima SatelitNational Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). Jumlah

2 sebenarnya, namun merupakan indikasi awal (early warning). Jumlah hotspot

yang dipantau dari beberapa stasiun bumi pun berbeda-beda bahkan bila menggunakan satelit yang sama. Sebagai contoh hasil pemantauan hotspot oleh Kementerian Kehutanan dan ASEAN Specialized Meteorological Center (ASMC) di Singapura berbeda karena perbedaan penetapan threshold.Hotspot bisa saja mengalami kesalahan dan bisa saja jumlah kebakaran dengan jumlah hotspot yang terpantau berbeda. Berdasarkan jumlah hotspot yang terpantau di suatu Provinsi juga akhirnya ditetapkan daerah rawan kebakaran hutan di Indonesia. Data hotspot

di provinsi paling rawan kebakaran di Indonesia mulai tahun 2000 sampai 2010 disajikan sebagai berikut :

Tabel 1. Perbandingan Titik Panas (Hotspot) di Indonesia dan Provinsi Paling Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan 2000-2010

* Data Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan

Pada tahun 2002 Kalimantan Barat ditetapkan sebagai Daerah Rawan I Kebakaran Hutan bersama dengan empatprovinsi lainnyayaitu Sumatera Utara, Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah melalui Keputusan Direktur Jenderal PHKA (Dirjen PHKA) No. 21/KPTS/DJ-IV/2002 tentang Pembentukan Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan di Indonesia dan SK Dirjen PHKA No. 22/KPTS/DJ-IV/2004tentangPembentukan Brigdalkarhut di Sumatera Utara, Riau, Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.Sedangkan daerah lainnya ditetapkan kemudian melalui Keputusan Direktur Jenderal PHKA No. SK. 113/IV-PKH/2005 tanggal 11 November 2005 tentang pembentukanBrigdalkarhut

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Indonesia 11.586 21.137 69.765 44.262 69.693 40.197 146.264 37.909 30.616 39.463 9.880 51.089 Sumut 1.498 931 1.883 1.138 2.236 3.830 3.581 936 871 1.172 530 1.808 Riau 3.903 2.155 18.786 6.022 8.077 22.630 11.526 4.169 3943 7.756 1.707 8.897 Sumsel 835 659 9.539 4.257 9.632 1.182 21.734 5.182 3055 3.891 1.481 5.997 Jambi 220 385 1.560 2.323 2.277 1.208 6.748 3.120 1970 1.733 603 2.154 Kalbar 2.586 4.383 7.061 8.646 10.311 3.022 32.222 7.561 5.528 10.144 1.785 9.146 Kalteng 1.179 5.487 20.504 9.562 16.659 3.147 40.897 4.806 1240 4.640 831 10.812 Kaltim 232 1.865 3.620 1.156 4.111 714 6.603 2.082 2.231 2.307 974 2.492 Kalsel 116 1.353 3.276 1.891 2.574 758 6.469 928 199 1.270 111 1.883 Sulsel 48 413 950 531 521 133 1.201 551 525 519 175 539 Rata-rata

3 Manggala Agni di Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan yang selanjutnya disebut Daerah Operasi (DAOPS). Penetapan Daerah rawan ini didasarkan pada data hotspot yang terpantau pada tahun 1997 sampai dengan tahun 2001.

Provinsi Kalimantan Barat setiap tahunnya selalu berada pada urutan tiga besar provinsi rawan kebakaran dengan jumlah hotspot tertinggi, bahkan pada tahun 2007 sampai dengan 2010 Kalimantan Barat menempati urutan teratas. Apabila dikaitkan dengan perkiraan el-nino yang berkepanjangan sampai tahun 2012 maka kecenderunganhotspotpada tahun-tahun yang akan datang di Kalimantan Barat akansemakin meningkat. Tren Hotspot di Kalimantan Barat dari tahun 2000 sampai 2010 disajikan sebagai berikut :

Gambar 1. Tren Hotspot di Kalimantan Barat dari Tahun 2000-2010

Mengingat pentingnya hal tersebut maka di dalam Rencana Strategis Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan 2010-2014, penurunan hotspot hingga 20% pertahun dari rerata tahun 2004-2009 dan penurunan luasan kebakaran hutan sebanyak 50% dari rerata periode yang sama menjadi indikator kinerja keberhasilan pengendalian kebakaran hutan di Indonesia. Selanjutnya data luasan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia disajikan pada Tabel 2 :

2,5864,383 7,061 8,646 10,311 3,022 32,222 7,561 5,528 10,144 1,785 0 5,000 10,000 15,000 20,000 25,000 30,000 35,000 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

4 Tabel 2. Luasan kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Paling Rawan

Kebakaran Hutan dan Lahan 2000-2010

* Data Direktorat Pengedalian Kebakaran Hutan

Dari tabel terlihat bahwa selama kurun waktu 2000-2010 Provinsi Sumatera Utara memiliki luasan rata-rata kebakaran hutan dan lahan paling tinggi diikuti Sumatera Selatan, Riau, Kalimantan Tengah dan Jambi. Sementara itu Kalimantan Barat hanya menempati urutan keenam. Apabila memperhatikan jumlah dan tren hotspot Provinsi Kalimantan Barat yang merupakan kelompok tiga besar daerah penghasil hotspot di Indonesia pada kurun waktu yang sama, bahkan pada tahun 2007-2010 menempati peringkat teratas. Hal ini cukup menarik perhatian dan menimbulkan pertanyaan apakah data ini cukup akurat dalam menggambarkan kondisi kebakaran hutan di Provinsi Kalimantan Barat.

Selama kurun waktu 8 tahun mulai tahun 2002 sampai dengan tahun 2009 setelah berdirinya Daops di Provinsi Kalimantan Barat, jumlah hotspot yang terpantau di Provinsi Kalimantan Barat masih tetap relatif tinggi. Hal ini memunculkan pertanyaan apakah penetapan daerah rawan kebakaran di Provinsi Kalimantan Barat sudah tepat dan efektif, serta apakah dasar penetapan daerah kerawanan yang didasarkan pada jumlah hotspotsudah tepat dan mewakili, ataukah ada faktor-faktor lain yang perlu lebih diperhatikan dalam penetapan kebijakan daerah rawan kebakaran hutan di Provinsi Kalimantan Barat sehingga tujuan yang pembentukan Daops mencapai target yang diharapkan.

Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi terhadap kebijakan penetapan daerah rawan kebakaran hutan di Provinsi Kalimantan Barat dengan cara melakukan analisis spasial yang dikaitkan dengan evaluasi kebijakan

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-rata 1. Sumut 32.000,00 179 0 1 975 5.500,16 734,5 153,75 483 3.755,80 80,00 3.987,47 2. Ri a u 2.630,10 937,87 2.681,85 15 6 6.673,00 7.310,70 2.048,75 4.696,75 58 26,00 2.462,18 3. Ja m b i 52,76 130 1.136,50 6.050,00 614,9 70 6.592,80 1.484,50 128,27 1.154,00 2,50 1.583,29 4. Sumsel 0 8.023,39 12.051,53 466 953 0 5.493,25 94,5 739,5 113 4 2.539,83 5. Kalbar 2.460,07 2.116,53 1.110,20 56 0 56,5 2.419,50 125,69 928,5 258,46 231,41 887,53 6. Kalteng 0 1.535,50 701 0 195,14 4 17.698,51 200 0 2.738,25 25,00 2.099,76 7. Kalsel 2 437 0 0 0 0 2.560,25 25 355,5 1.230,25 25,00 421,36 8. Kaltim 0 33 43,75 11 756,25 109 878,5 22,5 0,25 37,9 13 173,20 9. Sulsel 0 213,5 4.915,75 0 88,3 82 520,7 0 126,75 2,5 37,00 544,23 No Provinsi

5 pengendalian kebakaran baik pada tingkat nasional maupun tingkat lokal. Untuk lebih jelasnya kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Kerangka Pemikiran dalam Mengevaluasi Kebijakan Penetapan Daerah Rawan Kebakaran Hutan di Provinsi Kalimantan Barat

Dampak Kebakaran Hutan Kalbar Politik, Sosial, Ekonomi, Kesehatan, Ekologi, dan sebagainya

Usaha untuk mengatasi : 1. Regulasi

- Daerah Rawan

- Aturan Teknis 2. Perangkat organisasi

Jumlah hotspot di Kalimantan Barat masih tinggi, tren hotspot meningkat, data luasan kebakaran rendah

Kenapa? Perlu evaluasi?

Peta Penutupan Lahan Peta, Administrasi dan Penunjukan Kawasan

Hutan

Data Hotspot Peraturan perundangan

Analisi Sebaran

Hotspot dan Evaluasi Perubahan Penutupan

Lahan

1. Hal-hal yang berpengaruh terhadap kebakaran hutan dan lahan

2. Apakah Metode Penetapan daerah Rawan Kebakaran hutan sudah tepat?

6

1.2. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang dikemukakan, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menganalisis besarnya perubahan penutupan lahan di Provinsi Kalimantan Barat selama kurun waktu 2000-2009.

2. Menganalisis faktor yang berpengaruh terhadap kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat.

3. Mengevaluasi kebijakan penetapan daerah rawan kebakaran hutan dan lahan yang diterapkan di Provinsi Kalimantan Barat.

Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi pemerintah cq. Kementerian Kehutanan dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dalam kegiatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan serta perumusan kebijakan dalam penanganan kebakaran hutan secara umum.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ruang Lingkup Kebakaran Hutan

Brown dan Davis (1973) mengemukakan bahwa kebakaran hutan adalah pembakaran yang tidak tertahan dan terjadi dengan tidak disengaja atau tidak direncanakan pada areal tertentu yang menyebar secara bebas serta mengkonsumsi bahan bakar yang tersedia di hutan seperti serasah, rumput, cabang kayu yang sudah mati, patahan kayu, tunggul dan pohon-pohon yang masih hidup. Selanjutnya konsep kebakaran hutan dikenal dengan segitiga api (Fire Triangle) yang terdiri dari bahan bakar, sumber panas dan oksigen.

Syaufina (2008) mendefinisikan kebakaran hutan sebagai kejadian dimana api melahap bahan bakar bervegetasi yang terjadi di dalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas tidak terkendali sedangkan kebakaran lahan terjadi di kawasan non hutan.

Kebakaran hutan adalah suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan atau hasil hutan yang menimbulkan kerugian ekonomis dan atau nilai lingkungan (Pasal 1 Peraturan Menteri Kehutanan/ Permenhut No P. 12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan).

Pengendalian kebakaran hutan adalah semua usaha, pencegahan, pemadaman, pengananan pasca kebakaran hutan dan penyelamatan. (Pasal 1 Permenhut No P. 12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan). Kegiatan Pengendalian Kebakaran meliputi pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca kebakaran. (Pasal 20 ayat 1 PP No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan).

Titik Panas (hotspot) adalah indikator kebakaran hutan yang mendeteksi suatu lokasi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu disekitarnya. (Pasal 1 Permenhut No P. 12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan)

Hotspot dapat dideteksi dengan teknologi Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR) yang dimiliki oleh satelit NOAA. Sensor AVHRR akan melakukan pengambilan data setiap hari pada luasan piksel terkecil 1km2 dengan suhu tertentu yang telah ditetapkan (Albar, 2009).

8

2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan di Indonesia Aktivitas Manusia

Suratmo (2003) mengemukakan penyebab utama kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Kalimantan dan Sumatera hampir seluruhnya dipengaruhi faktor manusia, baik akibat kelalaian maupun kesengajaan.

Penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terdiri dari dua faktor yaitu faktor alam antara lain petir, letusan gunung berapi atau potensi batu bara yang terbakar berupa dan faktor manusia baik yang sengaja maupun tidak sengaja. Menurut penelitan hampir 100% kebakaran hutan dan yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh faktor kesengajaan manusia akibat adanya kegiatan pembukaan lahan (Syaufina, 2008)

Menurut Asian Development Bank tahun 1997/1998, kebakaran hutan disebabkan oleh 99% perbuatan manusia dan 1 % faktor alam. Yang disebabkan perbuatan manusia dapat dikelompokan sebagai berikut : puntung rokok 35%, kecerobohan 25%, konversi lahan 13%, perladangan 10%, pertanian 7%, kecemburuan sosial 6%, kegiatan transmigrasi 13% (Sumantri, 2007)

Pada beberapa daerah masyarakat sengaja membakar hutan untuk memperluas lahan garapan dengan cara membakar. Menurut Anderson, et. al (1999), pembakaran hutan yang dilakukan oleh petani lebih dilatarbelakangi oleh faktor sosial ekonomi yang sangat erat dengan konsep penguasaan lahan oleh masyarakat dimana pemilikan lahan sangat kecil atau tidak memiliki lahan akan membuka lahan baru atau bekerjasama dengan pendatang atau koperasi.

Young and Ronald (1990) mengemukakan bahwa kebakaran hutan akan semakin meningkat dengan meningkatnya jumlah pendatang baru, dan peladang ini akan membuka hutan secara cepat dengan melakukan pembakaran hutan.

Selain itu membakar lahan juga dianggap dapat meningkatkan kesuburan tanah, walaupun sebenarnya hanya bersifat sementara saja dan malah merusak tanah itu sendiri. Menurut Hardjanto (1998), pembakaran yang dilakukan oleh