1
EVALUASI STRATEGI UNTUK MENGURANGI INSTABILITAS JADWAL DAN
DAMPAKNYA PADA RANTAI PASOK DENGAN SIMULASI
Pranostika Heryanti, I Nyoman Pujawan
Jurusan Teknik Industri
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya
Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111
Email:
heryanti.pranostika@gmail.com
;
pujawan@gmail.com
Abstrak
Instabilitas jadwal yang terjadi dalam suatu rantai pasok dapat memberikan dampak yang cukup besar dalam segi biaya. Hal tersebut dapat terjadi akibat tuntutan untuk membeli material tambahan secara tiba-tiba sehingga biaya pemesanan akan bertambah, kemungkinan tidak terpenuhinya sebagian permintaan akibat kapasitas yang ada tidak mencukupi sehingga berakibat pada menurunnya service level perusahaan, atau dapat pula terjadi penyimpanan barang lebih lama akibat barang tersebut tidak terpakai karena perubahan jenis produk yang dipesan sehingga biaya simpan akan bertambah. Ketidakstabilan jadwal dapat terjadi salah satunya karena ketidakpastian permintaan. Untuk menghadapi ketidakpastian permintaan, perlu untuk dipilih strategi yang terbaik agar total biaya yang ditimbulkan tidak terlalu tinggi, dimana pada penelitian ini strategi yang akan dievaluasi adalah component commonality, safety stock dan fleksibilitas kapasitas. Ukuran performansi yang digunakan sebagai tolak ukur dampak adalah service level, instabilitas jadwal dan total biaya yang terlibat, dimana biaya yang dipertimbangkan pada penelitian ini adalah biaya pemesanan, biaya simpan dan biaya pemesanan tiba-tiba.Untuk mengetahui strategi terbaik untuk mengurangi instabilitas jadwal dan dampaknya, maka dalam penelitian ini dilakukan eksperimen dengan menggunakan simulasi. Berdasarkan hasil percobaan pada simulasi, strategi fleksibilitas kapasitas dapat meningkatkan service level baik pada pabrik, bahkan mencapai hingga 10% peningkatan. Strategi component commonality dapat mengurangi total biaya yang dikeluarkan oleh supplier. Besarnya total biaya yang dapat dikurangi dengan menerapkan component commonality bahkan mencapai lebih dari 500.000.
Kata kunci : Instabilitas Jadwal, Rantai Pasok, Safety Stock, Component Commonality, Fleksibilitas Kapasitas, Ketidakpastian Permintaan
Abstract
Schedule instability in a supply chain may bring significant impact, especially on cost. The urge to buy extra materials which may result in an increase of the ordering cost, the possibility of lost sale because of inadequate capacity which may lead to a decrease in manufacturer’s service level, or excess inventory as consequence of unused material because customers change their ordered product type causing inventory holding cost would increase are some of the causes of schedule instability. Schedule instability could also be caused by demand uncertainty. To deal with demand uncertainty, it is necessary to choose the best strategy so that the total cost would not be too high. In this research, strategies being evaluated are component commonality, safety stock and capacity flexibility. Performance measures which are used in this research to measure schedule instability impact are service level, schedule instability and total cost. Costs considered in this research are ordering cost, inventory holding cost and rush ordering cost. In this research, some experiments are done by simulation to identify which strategies are best to use to dampen schedule instability and its impact. Experiment’s result shows that capacity flexibility could increase manufacturer’s service level up to 10%, whereas component commonality could decrease supplier’s total cost over 500.000.
Keywords: Schedule Instability, Supply Chain, Safety Stock, Component Commonality, Capacity Flexibility, Demand Uncertainty
1. Pendahuluan
Schedule instability adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan penyebaran perubahan dalam sebuah sistem yang menggunakan logika dari sistem Material Requirement Planning (MRP) dimana perubahan-perubahan pada Master Production Schedule (MPS) biasanya ditransfer menjadi instabilitas pada kebutuhan material dan
komponen pada level yang lebih rendah dalam sebuah struktur produk. Perubahan-perubahan di MPS dan kebutuhan barang pada level yang lebih rendah dalam sebuah struktur produk dapat berupa perubahan jumlah, tenggat waktu, dan jenis barang (Pujawan, 2008).
Kesalahan peramalan permintaan pada suatu periode perencanaan biasanya akan berakibat pada perubahan atau penyesuaian terhadap peramalan
2
permintaan untuk periode selanjutnya, dimana penyesuaian atau perubahan hasil peramalan permintaan akan mengakibatkan perubahan pula pada MPS yang dengan kata lain MRP pun akan berubah. Perubahan-perubahan yang dilakukan oleh perusahaan tidak hanya memberikan dampak negatif kepada perusahaan itu sendiri, namun juga memberikan dampak negatif kepada supplier dari perusahaan tersebut. Hayes dan Clark dalam Sridharan dan La Forge (1989) mengungkapkan bahwa sebuah survey di perusahaan manufaktur menunjukkan bahwa perubahan jadwal yang berulang-ulang berujung pada kebingungan pada level lantai produksi dan, akibatnya, berujung pada penurunan produktivitas.Perubahan pada hasil peramalan permintaan bukan satu-satunya penyebab dari perubahan pada MPS. Selain itu, ketidakpastian pasokan material juga turut memberikan andil terhadap berubahnya MPS. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Pujawan (2004) yang melakukan studi kasus pada sebuah perusahaan produsen sepatu di Indonesia yang menggunakan kulit sebagai material utamanya, salah satu hal yang memberikan kontribusi terhadap schedule nervousness adalah ketidakpastian supply kulit dari unit pemrosesan kulit. Berdasarkan jadwal produksi, sebenarnya dibutuhkan kulit jenis A, tetapi ternyata kulit jenis B sudah siap untuk diproses lebih lanjut, sehingga seringkali jadwal produksi harus berubah karena produksi yang menggunakan kulit jenis B akan dijadwalkan ulang untuk diproduksi terlebih dahulu.
2. Perancangan Eksperimen
Struktur rantai pasok yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dua pelaku yaitu pabrik sebagai buyer dan supplier. Pabrik mendapatkan permintaan dari konsumen, dimana permintaan tersebut berdistribusi normal. Dari permintaan yang didapat, kemudian pabrik membuat MPS (Master Production Schedule). MPS yang dibuat oleh pabrik tersebut selanjutnya menjadi permintaan yang merupakan input bagi supplier sehingga selanjutnya supplier dapat membuat MPS. Dari MPS yang dimiliki masing-masing, baik pabrik maupun supplier, kemudian dihitung besarnya schedule instability yang terjadi untuk masing-masing siklus perencanaan, sehingga dapat diketahui pula besarnya instabilitas jadwal pada suatu horizon perencanaan. Permintaan yang dimiliki oleh konsumen dapat mengalami perubahan, dimana bentuk perubahan yang dapat terjadi adalah perubahan jumlah pesanan dan jenis produk yang dipesan. Selain itu perubahan tersebut dapat pula berupa perubahan dalam hal tenggat waktu pemenuhan pesanan, sehingga sebagian dari jumlah pesanan pada suatu periode dapat maju dan harus dipenuhi lebih awal atau mungkin pula mundur sehingga tenggat waktu pemenuhan pesanannya pun mundur. Fenomena-fenomena tersebut dapat mengakibatkan terjadi
perubahan-perubahan pada MPS yang dibuat oleh pabrik. Oleh karena MPS yang dibuat pabrik berubah, maka permintaan yang dimiliki oleh supplier juga berubah.
Gambar 2.1 Konfigurasi Rantai Pasok
Untuk melihat pengaruh yang diberikan terhadap performansi rantai pasok, diterapkan beberapa kondisi operasional atau dalam penelitian ini disebut sebagai faktor eksperimen. Faktor-faktor eksperimen yang diterapkan dalam penelitian ini adalah ketidakpastian permintaan, capacity flexibility, indeks component commonality.
2.1. Ketidakpastian Permintaan
Permintaan konsumen akan dibangkitkan dengan pola distribusi normal dengan rata-rata sebesar 200 unit. Standar deviasi dari permintaan akan ditentukan dengan mengatur nilai coefficient of variance (CV), dimana nilai CV merupakan nilai yang menunjukkan besarnya perbandingan atau rasio antara standar deviasi dengan rata-rata. Pada penelitian ini besarnya CV yang digunakan adalah 0.1 dan 0.4, sehingga standar deviasi yang digunakan adalah 20 dan 80. Kedua nilai CV tersebut cukup menggambarkan dua kondisi permintaan yang relatif cukup stabil dengan kondisi permintaan dengan fluktuasi yang cukup tinggi.
2.2 Capacity Flexibility
Faktor ini merupakan faktor eksperimen yang menjadi faktor utama pada penelitian ini. Fleksibilitas kapasitas hanya akan diterapkan pada pabrik. Pada penelitian ini, tingkat fleksibilitas kapasitas akan ditentukan dengan mengatur nilai rasio antara kapasitas pabrik dengan rata-rata permintaan yang ditetapkan di awal. Besarnya nilai rasio yang akan dieksperimenkan adalah 1 dan 1.5. Kedua nilai tersebut dapat mewakili kondisi kapasitas yang terbatas dengan kapasitas yang cukup fleksibel untuk memenuhi permintaan konsumen yang berfluktuasi.
2.3.1 Indeks Component Commonality
Struktur produk yang akan digunakan dalam penelitian ini ditentukan dengan besarnya nilai indeks component commonality, dimana nilai indeks component commonality yang digunakan adalah model TCCI yang dibangun oleh Wacker dan Treleven (1986). Pada penelitian ini digunakan tiga
3
level untuk faktor indeks component commonality yaitu sebesar 0, 0.3 dan 0.6 untuk menggambarkan kondisi dimana pabrik tidak menerapkan commonality sama sekali sehingga tidak ada komponen yang sama, kondisi dimana pabrik menggunakan sebuah komponen yang sama dan beberapa komponen unik lain untuk membuat beberapa produk serta kondisi dimana pabrik hanya menggunakan komponen yang sama untuk menyusun beberapa produk. Berikut merupakan struktur produk yang digunakan pada penelitian ini :A D E F C B O P Q R
Gambar 2.1 Struktur Produk TCCI=0
A X E X C B O P X R
Gambar 2.2 Struktur Produk TCCI=0.3
A X Y X C B O Y X Y
Gambar 2.3 Struktur Produk TCCI=0.6
Dalam penelitian ini digunakan tiga ukuran kinerja untuk mengevaluasi pengaruh faktor-faktor eksperimen yaitu faktor ketidakpastian permintaan, capacity flexibility, indeks component commonality terhadap performansi rantai pasok pada berbagai macam kondisi operasional yang akan diterapkan pada penelitian ini.
2.3.2 Schedule Instability
Ukuran schedule instability yang digunakan dalam penelitian ini dikembangkan dari ukuran schedule instability yang digunakan oleh Pujawan (2008), dimana pada penelitian ini ditambahkan pembobotan untuk periode dimana terjadinya perubahan pesanan. Semakin dekat perubahan tersebut terjadi, semakin besar bobot yang diberikan terhadap perubahan tersebut. Berikut merupakan formulasi yang digunakan untuk menghitung schedule instability yang terjadi pada satu siklus perencanaan :
(1) dimana instability (In) didefinisikan sebagai rata-rata perubahan kuantitas pesanan yang terjadi untuk semua produk pada suatu siklus perencanaan dibandingkan dengan jumlah kuantitas pesanan pada siklus perencanaan sebelumnya.
2.3.3 Service Level
Besarnya service level dihitung dengan menghitung persentase terjadinya backlog. Kemudian hasil tersebut diselisihkan dengan 1.
Service Level = (1 - %backlog) (2) 2.3.4 Total Biaya
Pada penelitian ini total biaya yang dihitung terdiri dari inventory holding cost, ordering cost dan rush ordering cost. Rush ordering cost muncul apabila terjadi pemesanan ekstra sebelum periode yang telah ditentukan sebelumnya. Besarnya rush ordering cost ditentukan sebesar 1.2 kali ordering cost. Dimana perbandingan untuk masing-komponen biaya tersebut secara berurutan adalah 1 : 900 : 1080. Tabel 2.1 Faktor-Faktor Eksperimental
Faktor Level Jumlah
Level Ketidakpastian permintaan CV = 0.1 ; 0.4 2 Capacity Flexibility 𝑐𝑎𝑝𝑎𝑐𝑖𝑡𝑦 𝑑𝑒𝑚𝑎𝑛𝑑 = 1 ; 1.5 2 Indeks Component Commonality TCCI = 0 ; 0.3 ; 0.6 3 Jumlah experimental cell 12 Replikasi 5 Jumlah Eksperimen 60
Berikut diberikanalur jalannya simulasi yang digunakan pada penelitian ini :
𝐼𝐼
𝑛𝑛
=
∑
𝜔𝜔
𝑖𝑖
�𝑄𝑄
𝑖𝑖
,
𝑛𝑛
−𝑄𝑄
𝑖𝑖
,
𝑛𝑛−
1
�
𝑖𝑖
+4
𝑖𝑖
=
𝑛𝑛
4
Gambar 2.5 Alur Simulasi3 Percobaan Numerik dan Analisa
Percobaan numerik pada penelitian ini dibagi menjadi tiga kondisi utama, yaitu percobaan untuk mengevaluasi signifikansi diterapkannya mekanisme safety stock pada pabrik dan supplier serta percobaan untuk mengetahui pengaruh dari diterapkannya mekanisme fleksibilitas kapasitas dan percobaan untuk mengetahui pengaruh dari diterapkannya mekanisme component commonality.
3.1 Percobaan Mengenai Mekanisme Safety
Stock
Gambar 3.1 Grafik Hasil 1 Percobaan Safety Stock
Mekanisme safety stock dampaknya cukup signifikan terhadap frekuensi dilakukannya rush order oleh supplier. Dampak tersebut semakin terlihat pada kondisi dimana permintaan memiliki fluktuasi yang cukup tinggi. Seperti yang disajikan dalam grafik pada gambar 3.1, dimana diilustrasikan perbandingan frekuensi terjadinya rush order antara kondisi dimana diterapkan mekanisme safety stock, baik pada kondisi dengan permintaan berfluktuasi rendah maupun tinggi, dengan kondisi diterapkannya mekanisme safety stock pada kondisi dengan permintaan yang relatif tinggi. Terlihat bahwa dengan menambahkan safety stock dapat menurunkan frekuensi terjadinya rush order secara signifikan. Hal ini dapat terjadi karena safety stock, yang peranannya dalam manajemen persediaan adalah untuk mengantisipasi ketidakpastian permintaan (Pujawan, 2006), dihilangkan dalam kuantitas pemesanan. Apabila terjadi perubahan jumlah pesanan, supplier seringkali harus melakukan pemesanan tambahan yang sifatnya di luar jadwal yang semestinya (rush order).
Gambar 3.2 Grafik Hasil 2 Percobaan Safety Stock Selain berdampak pada frekuensi terjadinya rush order, tidak diberlakukannya mekanisme safety stock juga berdampak pada menurunnya service level serta meningkatnya schedule instability sistem. Hal ini dapat terjadi karena apabila supplier, yang memasok kebutuhan pabrik, tidak dapat memenuhi pesanan pabrik akan mengakibatkan pabrik tidak dapat memenuhi permintaan konsumen pula, karena pabrik juga tidak memberlakukan safety stock dalam manajemen persediaannya. Permintaan konsumen yang tidak dapat dipenuhi oleh pabrik tersebut berdampak pada menurunnya service level dari pabrik.
5
Gambar 3.3 Grafik Hasil 3 Percobaan Safety StockAspek schedule instability yang meningkat akibat tidak diberlakukannya mekanisme safety stock, memiliki hubungan dengan meningkatnya frekuensi terjadinya rush order. Munculnya angka kuantitas pesanan baru dalam MPS yang dibuat oleh supplier berarti bahwa terjadi ketidakstabilan jadwal yang terjadi pada supplier. Berikut diberikan ilustrasi dalam bentuk grafik untuk menggambarkan peningkatan schedule instability sistem yang terjadi. 3.2 Percobaan Mengenai Mekanisme
Fleksibilitas Kapasitas
Gambar 3.4 Grafik Hasil 1 Percobaan Fleksibilitas Kapasitas
Dengan menerapkan fleksibilitas kapasitas, dapat meningkatkan service level yang dicapai oleh pabrik. Karena dengan kapasitas maksimum yang lebih tinggi, maka semakin besar permintaan yang dapat dipenuhi oleh pabrik, sehingga service level dapat meningkat.
Tetapi dengan meningkatkan kapasitas pabrik akan berdampak pada meningkatnya biaya-biaya yang dikeluarkan. Biaya tersebut antara lain adalah biaya simpan, biaya investasi dan biaya lainnya. Peningkatan total biaya yang terjadi akibat penerapan mekanisme fleksibilitas kapasitas pada penelitian ini ditunjukkan pada gambar 3.5 di bawah ini
Gambar 3.5 Grafik Hasil 2 Percobaan Fleksibilitas Kapasitas
3.3 Percobaan Mengenai Mekanisme
Component Commonality
Gambar 3.6 Grafik Hasil Percobaan Component Commonality
Berdasarkan gambar 3.6 yang memberikan informasi mengenai penurunan biaya yang terjadi akibat penerapan beberapa indeks commonality yang berbeda dapat dilihat bahwa semakin besar indeks commonality yang digunakan maka akan semakin besar pula besarnya penurunan total biaya yang terjadi pada supplier. Fenomena ini pun secara konsisten terjadi pada berbagai kondisi operasional yang diterapkan pada beberapa percobaan. Penurunan biaya ini dapat terjadi karena pada saat diterapkan component commonality, kebutuhan akan safety stock untuk masing-masing komponen akan menurun, sehingga dengan kata lain inventory holding cost yang terjadi lebih rendah.
4 Kesimpulan
Dari hasil percobaan serta analisis, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil dari percobaan yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa dengan menerapkan mekanisme fleksibilitas kapasitas dapat meningkatkan service level pabrik secara signifikan, sedangkan schedule instability, frekuensi terjadinya rush order dapat dikurangi dan service level dapat meningkat dengan menerapkan safety stock. Penerapan mekanisme component commonality dapat mengurangi total biaya yang harus dikeluarkan oleh pabrik.
6
2. Perubahan yang terjadi pada service level danbiaya-biaya yang terkait sangat dipengaruhi oleh penerapan mekanisme-mekanisme yang dilakukan pada percobaan. Service level dapat ditingkatkan dengan meningkatkan fleksibilitas kapasitas dan menerapkan safety stock. Sedangkan total biaya dapat dikurangi dengan menerapkan component commonality. Selain meningkatkan service level, penerapan mekanisme fleksibilitas kapasitas dan safety stock dapat meningkatkan total biaya yang terkait.
3. Untuk mengurangi schedule instability, perlu ditambahkan safety stock pada manajemen persediaan, sehingga apabila terjadi perubahan permintaan dan lonjakan jumlah permintaan, tetap dapat dipenuhi dengan adanya safety stock tersebut.
Ucapan Terima Kasih
Pada penelitian ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah memberi dukungan dan membantu kelancaran terselesaikannya penelitian. Serta tak lupa disampaikan pula terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah banyak membantu dalam proses penyelesaian penelitian ini.
Daftar Pustaka
Chopra, S. & Meindl, P., (2004), Supply Chain Management : Strategy, Planning, and Operation, Prentice Hall Inc., New Jersey. Henri J. Thevenot & Timothy W. Simpson., (2006), “Commonality indices for product family design: a detailed comparison”, Journal of Engineering Design, Vol. 17, No. 2, pp.99-119.
Kadipasaoglu, S., dan Sridharan, V., (1995), “Alternative approaches for reducing schedule instability in multistage
manufacturing under demand uncertainty”, Journal of Operations Management, Vol. 13, pp.193-211.
Kadipasaoglu, S., dan Sridharan, V., (1997), “Measurement of instability in multi-level MRP systems”, International Journal of Production Research, Vol. 35, No. 3, pp.713-737.
Kazan, O., Nagi, R., dan Rump, C.M. (2000), “New lot sizing formulations for less nervous production schedules”, Computers and Operations Research, Vol. 27, pp.1325-1345.
Kimms, A. (1998), “Stability measures for rolling schedules with applications to capacity expansion planning, master production scheduling, and lot sizing”, Omega, Vol. 26, No. 3, pp.355-366.
Mather, H., (1977), “Reschedule the reschedules you just rescheduled-way of life for MRP?”, Production and Inventory Management, Vol. 18, No. 1, pp.60-79.
Meixell, M. (2005), “The impact of setup cost, commonality, and capacity on schedule instability: an exploratory study”, International Journal of Production Economics, Vol. 95, pp.95-107.
Proud, J.F., (1999), “Master Scheduling : A Practical Guide to Competitive Manufacturing”, 2nd penyunt, John Wiley & Sons, New York. Pujawan, I.N. (2004), “Schedule nervousness in a
manufacturing system: a case study”, Production Planning & Control, Vol. 15, No. 5, pp.515-524.
Pujawan, I.N. (2008), “Schedule instability in a supply chain: an experimental study”, Int. J. Inventory Research, Vol. 1, No. 1, pp.53-66. Pujawan, I.N. (2010), Supply Chain Management,
Guna Widya, Surabaya.
Sridharan, V. dan LaForge, R.L. (1989), “The Impact of Safety Stock on Schedule Instability, Cost and Service”, Journal of Operational Management, Vol. 8, No. 4, pp.327-346. Steele, D.C. (1975), “The nervous MRP system: how
to do battle”, Production and Inventory Management, Vol.16, No.4, pp.83-89. Wybark, D.G., dan Williams, J.G., (1976),
“Materials requirements planning under uncertainty”, Decision Sciences, Vol. 7, No. 4, pp.595-606
Xie, J., Zhao, X., dan Lee, T.S. (2003), “Freezing the master production schedule under single resource constraint and demand
uncertainty”, International Journal of Production Economics, Vol. 83, pp.65-84.