• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Depkes RI (2001) Penuaan adalah proses alamiah yang tidak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Depkes RI (2001) Penuaan adalah proses alamiah yang tidak"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lansia

2.1.1 Defenisi Lansia

Menurut Depkes RI (2001) Penuaan adalah proses alamiah yang tidak dapat dihindari, berjalan secara terus menerus dan berkesinambungan. Selanjutnya akan menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis dan biokimia pada tubuh sehingga mempengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan (Maryam, 2008).

WHO dan Undang-Undang Nomor 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada Bab I pasal I ayat 2 menyebutkan bahwa umur 60 tahun adalah usia permulaan. Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh yang berakhir dengan kematian (Nugroho, 2008).

Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Darmodjo, 2006). Menurut UU kesehatan Nomor 23 tahun 1992 manusia lanjut usia adalah seseorang yang karena usianya mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan, dan sosial. Perubahan ini akan memberikan pengaruh pada seluruh aspek kehidupan termasuk kesehatannya. Aspek biologis mencakup perubahan anatomi sel, jaringan secara fisiologis yang

▸ Baca selengkapnya: pemacu alamiah jantung adalah

(2)

bekal agama dan pendekatan psikologis dari proses menua. Perubahan status sosial dan ekonomi dilihat dari menurunnya pendapatan, hilangnya fasilitas serta aspek kesehatan meliputi gangguan kesehatan akibat proses degeneratif (Fatimah, 2010).

2.1.2 Penggolongan Lansia

Menurut World Health Organization (WHO), usia lanjut dibagi menjadi empat kriteria berikut usia pertengahan (middle age) ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun, usia lanjut (elderly) antara 60 -74 tahun, usia tua (old) antara 75 - 90 tahun, usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun. Menurut pasal 1 Undang-Undang No. 4 tahun 1965: Seseorang dinyatakan sebagai orang jompo atau usia lanjut setelah yang bersangkutan mencapai usia 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain (Nugroho, 2008).

Departemen Kesehatan RI 2003 dalam Maryam (2008) membagi lansia sebagai berikut : Pralansia (45-59 tahun), Lansia (60 tahun), Lansia risiko tinggi (70 tahun atu lebih dengan masalah kesehatn ), Lansia Potensial (masih mampu melakukan pekerjaan), Lansia tidak Potensial (hidupnya bergantung dengan orang lain) . Harlock (1979) dalam Sunyoto (1994) beberapa masalah yang dapat menyertai lansia yaitu: (1) Ketidak berdayaan fisik yang menyebabkan ketergantungan pada orang lain (2) Ketidak pastian ekonomi sehingga memerlukan perubahan total dalam pola hidupnya (3) Membuat teman baru untuk mendapatkan ganti mereka yang telah meninggal atau pindah (4)

(3)

Mengembangkan aktifitas baru untuk mengisi waktu luang yangbertambah banyak, dan (5) Belajar memperlakukan anak-anak yang telah tumbuh dewasa.

2.1.3 Perubahan Umum Fungsi Fisiologis Pada Lansia

Perubahan fungsi panca indra yang diakibatkan oleh proses penuaan secara fisiologis sebagai berikut.

1. Sistem penglihatan : Adanya penurunan yang konsisten dalam kemampuan untuk melihat objek pada tingkat penerangan yang rendah serta menurunnya sensivitas terhadap warna. Orang berusia lanjut pada umumnya menderita presbiopi atau tidak dapat melihat jarak jauh dengan jelas yang terjadi karena elastisitas lensa mata berkurang (Maryam, 2008).

2. Sistem pendengaran : kehilangan kemampuan mendengar bunyi dengan nada yang sangat tinggi sebagai akibat dari berhentinya pertumbuhan syaraf dan berakhirnya pertumbuhan organ basal yang mengakibatkan matinya rumah siput didalam telinga disebut presbikusis (Fatimah, 2010).

3. Sistem perasa : Saraf perasa yang berhenti tumbuh ini semakin bertambah banyak dengan bertambahnya usia. selain itu, terjadi penurunan sensivitas papil - papil pengecap terutama terhadap rasa manis dan asin.

(4)

4. Sistem penciuman : daya penciuman menjadi kurang tajam seiring bertambahnya usia, sebagian karena pertumbuhan sel didalam hidung berhenti dan sebagian lagi karena semakin lebatnya bulu rambut di lubang hidung (Maryam,2008).

5. Sistem peraba: kulit menjadi semakin kering dan keras maka indra peraba dikulit semakin peka. Respon sensorik akan menumpul seiring bertambahnya usia, namun tidak menghilang (Fatimah,2010).

6. Sistem Pencernaan : pada sistem pencernaan esofagus melebar, asam lambung serta peristaltik menurun, sehingga daya absorpsi menurun. Ukuran lambung mengecil serta fungsi organ menurun menyebabkan berkurangnya produksi hormon dan enzim pencernaan biasanya menimbulkan konstipasi.

7. Sistem Perkemihan :

Begitu pula pada ginjal mengecil, aliran darah keginjal menurun dan fungsi tubulus menurun sehingga kemampuan untuk mengonsentrasi urine ikut menurun (Maryam 2011). sistem perkemihan banyak mengalami kemunduran, seperti laju filtrasi ekresi dan reabsorpsi ginjal. Hal ini akan memberikan efek dalam pemberian obat pada lansia. Pola berkemih tidak normal seperti banyak berkemih dimalam hari sehingga mengharuskan mereka pergi ketoilet sepanjang malam hal ini menunjukkan inkotenenisa meningkat (Ma’rifatul, 2011).

(5)

2.2 Gangguan Penglihatan

2.2.1 Defenisi Gangguan Penglihatan

Gangguan penglihatan adalah ganggaun penglihatan mata sejenak pada kedua mata bisa terjadi pada gangguan vaskular di korteks visual kedua sisi. Kehilangan penglihatan sejenak pada satu mata akibat serangan otak sepintas karena gangguan pada arteri karotis yang berlangsung <10 menit. Terdapatnya gangguan penglihatan dengan keluhan kesukaran melakukan pekerjaan malam hari disertai keluhan secara kualitatif melihat objek menjadi kurang terang yang biasanya berhubungan dengan kelainan mata (Misbach, 2000).

Lansia pada umumnya menderita presbiopi atau tidak dapat melihat jarak jauh dengan jelas yang terjadi karena elastisitas lensa mata berkurang (Maryam 2008). Proses degenerasi dialami oleh berbagai jaringan didalam bola mata, sel-sel reseptor berkurang, visus kurang tajam dibandingkan pada usia muda. Keluhan silau (Foto-Fobi) timbul akibat proses penuaan pada cornea dan lensa (Irianto, 2004). Gangguan mata lain yang dapat menyebabkan kerusakan penglihatan seperti, katarak, glaukoma (Fatimah, 2010).

2.2.2 Anatomi Struktur Mata

Mata merupakan indra penglihatan dapat dijelaskan analog dengan kamera, sehingga cahaya atau sinar jatuh pada retina dan cahaya dipatahkan oleh sebuah lensa (Watson, 2002). Adapun anatomi organ penglihatan dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu:

(6)

2.2.2.1 Adneksa Mata

merupakan jaringan pendukung mata yang terdiri dari:

1. Kelopak mata terdiri atas lempeng penyokong di bagian tengah yang terdiri dari jaringan ikat dan otot rangka yang diliputi kulit di bagian luar dan suatu membran mukosa di dalam. Kelopak mata berfungsi melindungi mata dan berkedip serta untuk melicinkan dan membasahi mata.

2. Konjungtiva adalah membran mukosa jernih yang melapisi permukaan dalam kelopak dan menutupi permukaan sklera pada bagian depan bola mata. Konjungtiva di susun oleh epitel berlapis silindris yang mengandung sel goblet yang terletak di atas suatu lamina basal dan lamina propia yang terdiri atas jaringan ikat longgar.

3. Sistem Saluran Air Mata (Lakrimal) terletak pada sudut superlateral rongga mata dan berfungsi untuk menghasilkan cairan air mata.

4. Rongga Orbita merupakan rongga tempat bola mata yang dilindungi oleh tulang-tulang yang kokoh.

5. Otot-Otot Bola Mata masing-masing bola mata mempunyai enam buah otot yang berfungsi menggerakkan kedua bola mata secara terkoordinasi pada saat melirik (Vaughan & Asbury, 2009).

2.2.2.2 Bola Mata

Dinding bola mata disusun oleh 3 tunika (lapisan) yaitu:

1. Tunika fibrosa (lapis sklera-kornea) merupakan lapisan luar bola mata

(7)

2. Tunika vaskularis (lapis uvea) merupakan lapisan tengah bola mata terdiri atas khoroid, badan siliaris dan iris.

3. Tunika neuralis (lapis retina) merupakan lapisan dalam bola mata terdiri atas retina (Watson, 2006 ).

2.2.3 Fisiologi Penglihatan

Indera penglihatan menerima rangsangan berkas-berkas cahaya pada retina dengan perantaraan serabut nervus optikus yang menghantarkan ransangan ini ke pusat penglihatan pada otak unutk ditafsirkan. Cahaya yang jatuh kemata menimbulkan bayangan yang letaknya difokuskan pada retina. Bayangan itu akan menembus dan diubah oleh kornea lensa badan ekueus dan vitrous. Lensa membiaskan cahaya dan mempokuskan bayangan pada retina bersatu menangkapkan sebuah titik bayangan yang difokuskan (Irianto, 2004).

2.2.4 Mekanisme Pembentukan Bayangan

Bayangan yang jatuh pada retina akan menghasilkan sinyal nervus optikus nyata, sinar yang membentuk retina membentuk potensial dalam bayangan kerucut impuls dihantarkan kedalam korteks serebri pada tempat yang menghasilkan sensasi bayangan selanjutnya mengirimkan bayangan dua dimensi ke otak untuk direkontruksikan menjadi tiga dimensi. Pembentukan bayangan abnormal jika bola mata terlalu panjang dan berbentuk elips, titik fokus jatuh di didepan retina sehingga bayangan kabur. Untuk melihat lebih jelas harus mendekatkan mata pada objek yang dilihat, dibantu lensa bikonkaf yang memberi cahaya divergen sebelum masuk mata (Syaifuddin, 2006).

(8)

2.2.5 Perubahan Struktur Mata

Perubahan penglihatan dimulai dengan terjadinya kehilangan kemampuan akomodatif seperti seseorang mengalami kesulitan membaca huruf - huruf kecil. Kerusakan kemampuan akomodasi terjadi karena otot-otot siliaris menjadi lebih lemah dan kendur serta lensa kristalin mengalami kehilangan elastisitas dan kemampuan untuk memusatkan pada penglihatan jarak dekat. Ukuran pupil menurun penuaan karena sfinkter pupil mengalami sklerosis. Miosis pupil ini dapat mempersempit lapangan pandang seseorang dan mempengaruhi penglihatan perifer (Stanley, 2006).

2.2.5.1 Perubahan Struktur Kelopak Mata

M. Orbicularis terjadi perubahan kedudukan palpebra yaitu terjadi entropion / ektropion senilis / involusional pada usia lanjut. Pada ektropion bila margo palpebra mulai eversi, konjungtiva tersalis menjadi terpapar (ekspose), ini menyebabkan inflamasi sekunder dan tarsus akan menebal sehingga secara mekanik akan mempercepat ektropionnya.

Retaktor Palpebra inferior mengalami kekendoran mengakibatkan tepi bawah tarsus rotasi / berputar kearah luar sehingga memperberat terjadinya entropion. Tarsus kurang kaku oleh karena proses atropi akan menyebabkan tepi atas lebih melengkung kedalam sehingga entropion lebih nyata. Kulit pada palpebra mengalami atropi dan kehilangan elastisitasnya sehingga menimbulkan kerutan dan lipatan-lipatan kulit yang berlebihan. Keadaan ini bisa saja terjadi

(9)

pada palpebra superior maupun inferior dan disebut sebagai dermatokalasis (Darmojo, 2006).

2.2.5.2 Perubahan Sistim Lakrimal

Pada usia lanjut seringkali dijumpai keluhan nrocos, kegagalan fungsi pompa pada sistem kanalis lakrimalis disebabkan oleh karena kelemahan palpebra, eversi punctum atau malposisi palpebra sehingga akan menimbulkan keluhan mata kering yaitu adanya rasa tidak enak seperti terdapat benda asing atau seperti ada pasir, mata lensa kering bahkan kabur (Darmojo, 2006).

2.2.5.3 Perubahan Pada Kornea

Arcus senilis. Kelainan ini berupa infiltrasi bahan lemak yang bewarna keputihan bebrbentuk cincin, dibagian tepi kornea. Mula - mula timbulnya dibagian inferior diikuti bagian superior berlangsung meluas dan akhirnya membentuk cincin.

2.2.5.4 Perubahan Struktur Jaringan dalam Bola Mata

Lensa Crystallina. nukleus makin membesar dan padat sehingga bagian kortex makin menipis, elastisitas lensa jadi berkurang, indeks bias berubah (membias sinar jadi lemah). Lensa yang mula-mula bening transparan menjadi tampak keruh. Iris mengalami proses degenerasi menjadi kurang cemerlang dan mengalami depigmentasi tampak ada bercak bewarna muda sampai putih. Pupil kontriksi Pada usia tua terjadi 1 mm, replek direk lemah. Badan kaca (vitreus

(10)

berdigenerasi konsitensi lebih encer (Synchisis) dapat menimbulkan keluhan photopsia (melihat kilatan cahaya saat ada perubahan posisi bila mata).

Retina terjadi degenerasi pada gambaran pundus mata mula-mula tampak merah jingga cemerlang menjadi suram dan ada jalur-jalur berpigment (Tiroid Appearance) terkesan seperti kulit harimau. Jumlah sel fotoreseptor berkurang sehingga adaptasi gelap dan terang memanjang dan terjadi penyempitan lapangan pandang (Darmojo, 2006).

Beberapa masalah gangguan penglihatan yang sering terjadi pada lansia sebagai berikut :

1. Presbiopi

Gangguan penglihatan yang terjadi karena kekakuan lensa. Menurut penelitian lensa manusia mulai terjadi kekakuan pada usia 40 tahun sehingga kemampuan akomodasi menurun. Sinar yang masuk kemata tidak dibiaskan tepat diretina dan dibutuhkan lensa kaca mata yang sesuai dengan usia (Tarwoto, Aryani, Wartonah 2009).

2. Katarak

Katarak adalah kekeruhan lensa atau kapsul lensa mata yang disebabkan oleh proses penuaan, diabetes militus dan pemberian obat kortison dalam waktu lama. Katarak merupakan penyakit yang paling banyak terjadi pada lansia (katarak senile) terutama pada usia diatas 70 tahun. Perubahan biokimiawi yang ditemukan adalah meningkatnya jumlah protein insoluble dan ion kalcium dalam

(11)

lensa. Gejala yang dirasakan lansia adalah kehilangan secara bertahap, tidak nyeri, penglihatan buruk saat membaca, pandangan silau, pupil bewarna putih susu (Fatimah, 2008).

3. Glaukoma

Adanya peningkatan tekanan intraokular yang muncul ketika tekanan intraokuler mencapai tingkat patologi yaitu 60-70 mm Hg. Tingkat tekanan sebesar 20-30 mm Hg dalam waktu yang lama bisa mengakibatkan hilangnya penglihatan. Pada glaukoma akut tekanan yang ekstrim bisa mengakibatkan kebutaan dalam beberapa jam (Charlene). Tekanan intraokuler normal kurang lebih 15 mmHg dengan rentangan 12-20 mm Hg (guyton, 1991). Ditimbulkan oleh adanya cairan dalam bilik anterior yang belum sempat disalurkan keluar, sehingga peningkatan tegangan dapat menimbulkan tekanan pada saraf optik yang lama-kelamaan menghilangkan daya penglihatan pada mata. Pengobatan dengan obat-obatan yang mengkontriksikan otot-otot sfingter pupil dan oto-otot siliaris atau operasi membuat lubang pada iris (Irianto, 2004).

2.2.6 Klasifikasi Ketajaman Penglihatan Menurut Ilyas, Sidarta (2009) sebagai berikut :

1. penglihatan normal

pada keadaan ini penglihatan mata adalah normal dengan snelen chart dengan jarak 6 meter 6/3 hingga 6/7 atau dengan snellen chart 20 kaki 20/10 hingga 20/25. Penglihatan hampir normal tidak menimbulkan masalah yang gawat akan tetapi perlu diketahui penyebab mungkin suatu

(12)

penyakit yang masih dapat diperbaiki dengan snellen jarak 20 kaki 20/30-hingga 20-70 atau 6/9 20/30-hingga 6/21 untuk snellen jarak 6 meter.

2. Low Vision (Penglihatan Kurang)

Terdapat gangguan penglihatan dengan tajam penglihatan kurang 6/18 (jarak 6 meter) atau 20/70 (jarak 20 kaki) - 6/60 (jarak meter) atau 20/200 (jarak 20 kaki). Orang lanjut usia dengan kacamata atau kaca pembesar masih dapat membaca dengan cepat, tidak menimbulkan masalah yang gawat, tetapi perlu diketahui penyebab mungkin suatu penyakit yang masih dapat diperbaiki. penglihatan (Low vision) masih dapat berorientasi dan melakukan mobilitas umum akan tetapi mendapat kesulitan pada lalu lintas dan melihat nomor mobil. Untuk membaca diperlukan lensa pembesar sehingga membaca jadi melambat dengan efisiensi penglihatan 20%-70%.

2. Blindness (kebutaan)

terdapat gangguan penglihatan dengan tajam penglihatan > 20/400 (kaki). Bertambahnya masalah orientasi dan mobilisasi. Diperlukan tongkat untuk mengenal lingkungannya. Pada buta total tidak mengenal rangsangan sinar sama sekali.

Penglihatan akan memberikan hambatan tertentu. Pada setiap hambatan diperlukan alat bantu sehingga terdapat kemudahan dalam penyesuaian dengan kehidupan normal. Low vision dibagi 2 kelompok : ringan dan berat.

(13)

1. Low vision ringan dimana terdapat gangguan penglihatan ringan dengan tajam penglihatan kurang 0,3 (< 5/15, 6/18 atau 6/20, 20/80 atau 20/70).

2. Low vision berat yaitu terdapat gangguan penglihatan berat yang pada

negara tertentu dimasukkan kedalam golongan buta. Tajam penglihatan kurang dari 0,12 (5/40, 6/48 atau 20/160).

Tabel 2.1 Kategori gangguan penglihatan diadaptasi dari WHO

Low Vision Kategori

gangguan penglihatan

Ketajaman penglihatan

1 6/18 (meter) atau 20/70(kaki) 2 6/60 (meter) atau 20/200 (kaki)

Blindness 3 3/60 (menghitung jari pada jarak 3 m)

20/400 (kaki)

4 1/60 (menghitung jari pada jarak 1 m) 5/300

5 Tidak ada persepsi cahaya

2.2.7 Pengukuran Visus pada Gangguan Penglihatan

Gangguan penglihatan memerlukan pemeriksaan mata untuk mengetahui sebab kelainan mata yang mengakibatkan turunnya ketajaman penglihatan. Untuk mengetahui tajam penglihatan seseorang dapat dilakukan dengan kartu snellen dan bila kurang penglihatan (Low vision) maka tajam penglihatan diukur dengan menentukan kemampuan melihat jumlah jari, lambaian tangan ataupun proyeksi

(14)

sinar (Ilyas, 2009). Pengukuran dilakukan menggunakan Snelen Chart yang sudah dikenal terdiri atas deretan huruf acak yang tersusun mengecil untuk menguji penglihatan jauh. Visus normal adalah 20/20 (ukuran feet), atau 6/6 (dengan satuan ukuran meter). Penghitungan Visus menggunakan rumus: V= d/D yaitu V = visus atau ketajaman penglihatan, d= jarak antara kartu Snelen dengan mata orang yang sedang diukur D = jarak baca penglihatan normal (Vaughan, 2010).

Dengan kartu snelen chart standart ini ditentukan tajam penglihatan seseorang seperti :

1. Bila tajam penglihatan 6/6 maka ia dapat melihat huruf pada jarak 6 meter (visus normal).

2. Bila tajam penglihatan 6/30 maka lansia dapat melihat huruf pada baris yang menunjukkan angka 30

3. Bila lansia hanya dapat membaca huruf baris menunjukkan angka 50, berarti tajam penglihatan lansia 6/50.

4. Bila tajam penglihatan 6/60 berarti hanya dapat melihat jarak 6 meter yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 60 meter. 5. Dengan uji lambaian tangan maka tajam penglihatan pasien 1/300.

6. Bila sinar saja dan tidak dapat melihat lambaian tangan. Keadaan ini disebut tajam penglihatan 1/-.

Bila seseorang diragukan penglihatan berkurang akibat kelainan refraksi (miopia, astigmatisme) maka dilakukan uji pinhole yang dapat dikoreksi dengan kaca mata. Bila pinhole diletakkan didepan mata penglihatan

(15)

menjadi kabur berarti ada kelainan organik atau kekeruhan media penglihatan.

Gambar 2.1 Snellen chart

2.2.8 Prosedur Pemeriksaan Mata dengan menggunakan Kartu Snellen Menurut Depkes RI (2007) prosedur pemeriksaan sebagai berikut : Tahap I. Pengamatan:

Pemeriksa memegang senter perhatikan: 1. Posisi bola mata: apakah ada juling

(16)

2. Konjungtiva: ada pterigium atau tidak 3. Kornea: ada parut atau tidak

4. Lensa: jernih atau keruh/ warna putih

Tahap II. Pemeriksaan Tajam Penglihatan Tanpa Pinhole:

1. Pemeriksaan dilakukan di pekarangan rumah (tempat yang cukup terang), responden tidak boleh menentang sinar matahari.

2. Gantungkan kartu Snellen sejajar mata responden dengan jarak 6 meter. 3. Pemeriksaan dimulai dengan mata kanan dan Mata kiri responden ditutup

dengan telapak tangannya tanpa menekan bola mata.

4. Responden disuruh baca huruf dari kiri-ke kanan setiap baris kartu Snellen atau dimulai baris teratas atau huruf yang paling besar sampai huruf terkecil (baris yang tertera angka 20/20).

5. Bila dalam baris tersebut responden dapat membaca huruf kurang dari setengah baris/ maka yang dicatat ialah baris yang tertera angka di atasnya. 6. Bila dalam baris tersebut responden dapat membaca huruf setengah baris

atau lebih maka yang dicatat ialah yang tertera diangka tersebut Pemeriksaan Tajam Penglihatan dengan hitung jari:

1. Bila responden belum dapat melihat huruf terbesar dari kartu Snellen maka mulai hitung pada jarak 3 meter (tulis 3/60).

2. Bila belum bisa terlihat maka maju 2 meter (tulis 2/60), bila belum terlihat maju 1 meter (tulis 1/60). Bila belum juga terlihat maka lakukan lambaikan tangan pada jarak 1 meter (tulis 1/300).

(17)

3. Lambaian tangan belum terlihat maka senter mata responden dan tanyakan apakah responden dapat melihat sinar senter (tulis 1/-).

2.3 Aktivitas Hidup Sehari-hari 2.3.1 Defenisi

Aktivitas kehidupan sehari-hari adalah aktivitas yang biasanya dilakukan sepanjang hari normal dan aktivitas tersebut mencakup, ambulansi makan berpakaian, mandi, berhias. Kondisi yang membutuhkan bantuan dalam AKS dapat bersifat akut, kronis, temporer, permanen atau rehabilitatif. Dalam kasus bantuan sementara dalam AKS, klien membutuhkan bantuan selama periode (Perry & Potter, 2008). Manusia yang telah terbiasa mandiri selama rentang bertahun-tahun akan terus berusaha mempertahankan kemandirian itu dalam beraktivitas sehari-hari selama mungkin (Putri 2011). Dalam rentang waktu lebih dari satu tahun dapat memungkinkan lansia untuk beradaptasi sehingga lansia tersebut dapat mengoptimalkan kemandirian nya Pratikwo (2006).

Menurut Darmojo, 2006 ADL (activity daily living) dibagi beberapa jenis yaitu :

1. Aktivitas hidup sehari-hari (AHS dasar) hanya memerlukan kemampuan tubuh untuk berfungsi sederhana, misalnya bangun dari tempat tidur, berpakaian, kekamar mandi/WC.

2. Aktivasi hidup sehari-hari instrumental (AHS Instrumental) selain memerlukan kemampuan otot, susunan syaraf yang lebih rumit juga

(18)

kemampuan berbagai organ, kemampuan dasar, juga memerlukan berbagai organ kognitif lain.

3. Kemampuan mental dan kognitif, terutama menyangkut fungsi intelek, memori lama dan memori tentang hal-hal yang baru saja terjadi.

2.3.2 Macam-Macam Aktivitas hidup Sehari-hari Pada Lansia Menurut Lueckenotte (2000), aktifitas sehari-hari terdiri dari:

1. Mandi (spon, pancuran, atau bak)

Tidak menerima bantuan (masuk dan keluar bak mandi sendiri jika mandi dengan menjadi kebiasaan), menerima bantuan untuk mandi hanya satu bagian tubuh (seperti punggung atau kaki), menerima bantuan mandi lebih dari satu bagian tubuh (atau tidak dimandikan).

2. Berpakaian

Mengambil baju dan memakai baju dengan lengkap tanpa bantuan, mengambil baju dan memakai baju dengan lengkap tanpa bantuan kecuali mengikat sepatu, menerima bantuan dalam memakai baju, atau membiarkan sebagian tetap tidak berpakaian.

3. Toileting

Pergi kekamar kecil membersihkan diri dan merapikan baju tanpa bantuan (dapat mengunakan objek untuk menyokong seperti tongkat, walker, atau kursi roda). menerima bantuan kekamar kecil membersihkan diri, atau dalam merapikan pakaian setelah eliminasi, atau pispot pada malam hari, tidak ke kamar kecil untuk proses eliminasi.

(19)

4. Berpindah

Berpindah dari tempat tidur ke kursi atau sebaliknya tanpa bantuan (mungkin mengunakan alat/objek untuk mendukung seperti tempat atau alat bantu jalan), berpindah dari tempat tidur atau kursi dengan bantuan, bergerak naik atau turun dari tempat tidur.

5. Kontinen

Mengontrol perkemihan dan defekasi dengan komplit oleh diri sendiri, kadang-kadang mengalami ketidak mampuan untuk mengontrol perkemihan dan defekasi, pengawasan membantu mempertahankan control urin atau defekasi, kateter digunakan atau kontinen.

6. Makan

Makan sendiri tanpa bantuan, Makan sendiri kecuali mendapatkan bantuan dalam mengambil makanan sendiri, menerima bantuan dalam makan sebagian atau sepenuhnya dengan menggunakan selang atau cairan intravena.

2.3.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Aktivitas

Kemauan dan kemampuan untuk melaksanakan aktifitas sehari hari pada lansia dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut adalah sebagian berikut :

2.3.3.1 Faktor - faktor Intrinsik 1. Umur

Menurut Potter dan Perry (2005) Kemampuan aktifitas sehari-hari pada lanjut usia di pengaruhi dengan umur lanjut usia itu sendiri. Umur

(20)

bagaimana seseorang bereaksi terhadap ketidakmampuan melaksanakan aktifitas sehari-hari. Pada kelompok umur > 85 tahun lebih banyak membutuhkan bantuan pada satu atau lebih aktivitas sehari - hari dasar. 2. Kesehatan Fisiologis

Kesehatan fisiologis seseorang dapat mempengaruhi kemampuan dalam aktifitas sehari-hari. Gangguan pada sistem ini misalnya karena penyakit, atau trauma injuri dapat mengganggu pemenuhan aktifitas sehari-hari. Penelitian Penduduk Usia Lanjut di Kodya Ujung Pandang (2005) menemukan bahwa lansia menderita berbagai penyakit berhubungan dengan penuaan antara lain diabetes melitus, hipertensi, jantung koroner, rematik, dan asma sehingga menyebabkan aktivitas bekerja terganggu. 3. Fungsi Kognitif

Kognitif adalah kemampuan berfikir dan memberi rasional, termasuk proses mengingat, menilai, orientasi, persepsi dan memperhatikan (Keliat,1995). Tingkat fungsi kognitif dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Gangguan pada aspek-aspek dari fungsi kognitif dapat mengganggu dalam berfikir logis dan menghambat kemandirian dalam melaksanakan aktifitas sehari-hari.

4. Fungsi psikologis

Fungsi psikologis berhubungan dengan kehidupan emosional seseorang, Meskipun seseorang sudah terpenuhi kebutuhan materialnya, tetapi bila kebutuhan psikologisnya tidak terpenuhi, maka dapat mengakibatkan dirinya merasa tidak senang dengan kehidupanya, sehingga kebutuhan

(21)

psikologi harus terpenuhi agar kehidupan emosionalnya menjadi stabil (Tamher, 2009).

5. Tingkat Stres

Stres merupakan respon fisik nonspesifik terhadap berbagai macam kebutuhan. Faktor yang menyebabkan stres disebut stressor, dapat timbul dari tubuh atau lingkungan dan dapat mengganggu keseimbangan tubuh. Stres dibutuhkan dalam pertumbuhan dan perkembangan. Stres dapat mempunyai efek negatif atau positif pada kemampuan seseorang memenuhi aktifitas sehari-hari .

2.3.3.2 Faktor - faktor Ekstrinsik 1. Lingkungan Keluarga

Keluarga masih merupakan tempat berlindung yang paling disukai para lanjut usia. Lanjut usia merupakan kelompok lansia yang rentan masalah, baik masalah ekonomi, sosial, budaya, kesehatan maupun psikologis, oleh karenanya agar lansia tetap sehat, sejahtera dan bermanfaat, perlu didukung oleh lingkungan yang konduktif seperti keluarga. Menurut Pickett (2009) mengenai fenomena penuaan adalah jumlah kelurga menurun, dan angka perceraian meningkat Hubungan orang muda dan orang tua semakin renggang, kebutuhan yang melanda kaum muda hampir menyita seluruh waktunya, sehingga mereka hanya memiliki sedikit untuk memikirkan orang tua. Kondisi seperti ini menyebabkan kurangnya komunikasi antara orang tua dan anak, kurangnya perhatian dan pemberian keperawatan terhadap terhadap orang tua. Untuk memperbaiki kualitas sumber

(22)

daya manusia lanjut usia perlu mengetahui kondisi lanjut usia di masa lalu dan masa sekarang sehingga orang lanjut usia dapat diarahkan menuju kondisi kemandirian.

2. Lingkungan Tempat Kerja

Kerja sangat mempengaruhi keadaan diri dalam mereka bekerja, karena setiap kali seseorang bekerja maka ia memasuki situasi lingkungan tempat yang ia kerjakan. Tempat yang nyaman akan membawa seseorang mendorong untuk bekerja dengan senang dan giat. faktor lingkungan seperti hari terang dan gelap Serta cuaca juga dapat mempengaruhi aktifitas sehar-hari.

2.3.4 Indeks Barthel

Indeks ADL Barthel merupakan salah satu alat ukur status fungsional yang dijadikan sebagai salah acuan untuk penelitian serta digunakan secara luas hampir seluruh dunia dan masi tetap menjadi standar diberbagai buku (Agung, 2006). Indeks Barthel adalah menilai perawatan diri dan mengukur harian seseorang berfungsi secara khusus aktivitas sehari-hari dan mobilitas (Lueckenotte, 2000).

Kemampuan dan ketidakmampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari dapat diukur dengan menggunakan indekz Barthel. Indeks ADL Barthel (modifikasi Collin C, Wade DT) dalam Agung (2006) menjelaskan suatu alat/instrumen ukur aktivitas hidup sehari-hari berupa kuesioner terdiri dari 10 item yaitu, mengendalikan rangsang buang air besar, mengendalikan rangsang buang air kecil, membersihkan diri (sikat gigi, sisir rambut, bercukur, cuci muka), penggunaan jamban/toilet – masuk dan keluar WC (melepas, memakai celana,

(23)

membersihkan/menyeka, menyiram), makan, berpindah posisi dari tempat tidur ke kursi dan sebaliknya, mobilitas/berjalan, berpakaian, naik-turun tangga dan mandi dengan Skor antara 0-20. Skor 20 = mandiri, skor 12-19 = ketergantungan ringan, skor 9-11 = ketergantungan sedang, skor 5-8 = ketergantungan berat, skor 0-4 = ketergantungan total.Penilaian apabila seseorang mampu melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri maka akan mendapat nilai 3 dan jika membutuhkan bantuan nilai 2 dan 1 jika tidak mampu melakukan aktivitas untuk masing-masing item. Kemudian nilai dari setiap item akan dijumlahkan untuk mendapatkan skor total dengan skor maksimum adalah 20.

Tabel 2.2 Indeks ADL Barthel

No. Aktivitas Kemampuan Skor

1. Mengendalikan rangsang buang air besar (BAB)

Tidak terkendali/ tidak teratur Kadangkala tidak terkendali Terkendali teratur 0 1 2 2. Mengendalikan rangsang berkemih (BAK) Tidak terkendali/ menggunakan kateter

Kadangkala tidak berkemih Terkendali teratur

0 1 2 3. Membersihkan diri (muka,

sisir rambut, sikat gigi, bercukur, cuci muka)

Membutuhkan bantuan orang lain

Mandiri

0 1 4. Penggunaan toilet Tergantung perlu pertolongan

orang lain Perlu bantuan

0 1 2

(24)

Mandi

5. Makan Tidak mampu

Perlu pertolongan orang lain Mandiri

0 1 2 6. Berpindah posisi dari

tempat tidur ke kursi dan sebaliknya

Tidak mampu

Perlu bnatuan 2 orang Perlu bantuan satu orang Mandiri

0 1 2 3 7. Mobilitas/ berjalan Tidak mampu

Mobilitas dengan kursi roda Berjalan dengan bantuan 1 orang Mandiri 0 1 2 3 8. Berpakaian Tergantung orang lain

Sebagian dibantu Mandiri

0 1 2 9. Naik turun tangga Tidak mampu

Perlu pertolongan orang lain Mandiri

0 1 2

10 Mandi Tergantung orang lain

Mandiri

0 1 Skor Total (0–20)

(25)

Keterangan:

A. Untuk setiap komponen/butir indeks ADL Barthel:

1. Jika membutuhkan enema/pencahar disebut inkontinen (dinilai 1 minggu sebelumnya).

2. Kadangkala : maksimal 1 kali/24 jam (dinilai 1 minggu sebelumnya)

3. Dinilai 24-48 jam sebelumnya. Kebersihan diri termasuk: sikat gigi, menyisir, bercukur,cuci muka,

4. Mampu mencapai WC, mencopot celana, membersihkan kotoran dari tubuh, berpakaian dan meninggalkan WC (mandiri)

5. Mampu mengkonsumsi makanan normal(tidak hanya berbentuk lunak), tidak dibantu orang lain (mandiri). Perlu bantuan: makanan dipotongkan tetapi klien makan sendiri

6. Dari tempat tidur/berbaring ke kursi/duduk Tidak mampu: tidak ada keseimbangan atau tidak mampu duduk. 7-10 sudah jelas.

B. Penilaian untuk setiap komponen/butir indeks ADL Barthel berdasarkan pengamatan, wawancara penilai terhadap aktivitas actual performance (yang benar-benar dikerjakan oleh subyek).

C. Total skor = 20 : Mandiri

= 12 - 19 : Ketergantungan Ringan = 9 -11 : Ketergantungan Sedang = 5-8 : Ketergantungan Berat = 0-4 : Ketergantungan Total

Gambar

Tabel 2.1 Kategori gangguan penglihatan diadaptasi dari WHO  Low Vision  Kategori
Gambar 2.1 Snellen chart
Tabel 2.2 Indeks ADL Barthel

Referensi

Dokumen terkait

Teknik yang digunakan dalam proses modelling Tram adalah teknik Subdivision Modelling karena dalam pembuatan sebuah Tram menggunakan kubus yang kemudian dilakukan

Seperti mata kuliah pembelajaran Bahasa pada umumnya, mata kuliah ini terpusat pada empat keterampilan berbahasa yang harus dikuasai oleh siswa yaitu keterampilan berbicara

Dari hasil kajian dapat disimpulkasn sebagai berikut : (1) Di lihat dari gambaran pembangunan di Kabupaten Pandeglang, dilihat dari tingkat kemiskinan, tingkat pendidikan

Menurut (Schumacher, 2017) konsumen setidaknya harus mampu mempertimbangkan proses integrasi langsung pakaian yang dikenakan dengan kulit dan topografi tubuh, hal ini

Hasil kali elementer A  hasilkali n buah unsur A tanpa ada pengambilan unsur dari baris/kolom yang sama...

Pada kegiatan tatap muka ke-3 (TM-3), peserta akan melaporkan hasil pembelajaran Guru Pembelajar moda daring mulai dari awal hingga akhir dengan membawa

Pasal 147 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap perjanjian harus dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan berlangsung, dan perjanjian mulai berlaku semenjak saat

Jl. Prof Soedarto, Tembalang, Semarang. Pada kawasan tersebut terjadi genangan setinggi sekitar 40–60 cm dengan lama genangan 4-8 jam yang diakibatkan air dari saluran