• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembantaian Massal Pernah Terjadi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pembantaian Massal Pernah Terjadi"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Pembantaian Massal 1965-1966 Pernah Terjadi

Penulis : Donny Andhika

http://www.mediaindonesia.com/read/2012/10/10/352566/284/1/Pembantaian_Massal_196 5-1966_Pernah_Terjadi_Bagian_1

Senin, 01 Oktober 2012 20:34 WIB

DOK PRIBADI TERKAIT

Pembantaian Massal 1965-1966 Pernah Terjadi (Bagian 2)Pembantaian Massal 1965-1966 Pernah Terjadi (Bagian 1)

Film Pembantaian Anggota PKI untuk Bahan Renungan Bangsa

JAKARTA--MICOM: Film The Act of Killing, meski mendapat rating 8,6 di situs IMDB dan menarik perhatian dalam Festival Film Toronto 2012, tetap menuai kontroversi, khususnya di wilayah Sumatra Utara.

Film dokumenter garapan warga negara Amerika Serikat Joshua Oppenheimer tersebut mengisahkan tentang pembantaian massal anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) oleh para pemuda di Medan termasuk dari unsur Pemuda Pancasila pada tahun 1965.

Pemeran utama film tersebut adalah Anwar Congo, mantan anggota Pemuda Pancasila yang memang mengaku ikut terlibat pembantaian dan terpaksa melakukan pembunuhan karena tidak ingin dibunuh.

Berikut Wawancara Media Indonesia dengan sutradara muda tersebut yang dikirim via surat elektronik, Minggu (30/1).

(2)

1. Apa tujuan dari pembuatan film The Act of Killing?

Seperti sastrawan atau seniman pada umumnya, saya ingin menyampaikan sebuah ide melalui karya yang saya rasa perlu direnungkan oleh banyak orang untuk mengasah budi pekerti kita, agar kita bisa hidup bersama dengan lebih baik.

Melalui film The Act of Killing saya ingin mengajukan pertanyaan kemanusiaan yang universal, apakah artinya menjadi orang baik itu? Apa bedanya kita dengan para pelaku pembunuhan massal, jika kita semua adalah manusia yang sanggung berimajinasi? Apa peran imajinasi dalam kekerasan ekstrem? Mengapa manusia masih saja melakukan kekerasan ekstrem?

Dengan film ini pula saya ingin mengungkap salah satu babak tergelap dalam sejarah kemanusiaan yang selama ini ditutup-tutupi, padahal penting untuk diketahui dan dipelajari bukan hanya oleh orang Indonesia, tetapi juga bagi seluruh warga dunia. Saya berharap film ini membuka ruang-ruang diskusi yang lebih luas dan bisa memulai sebuah proses penyembuhan luka sejarah ini.

2. Banyak orang mempertanyakan kebenaran dari sejarah yang diceritakan dalam film, apakah anda melakukan studi sejarah dan lapangan sebelum membuatnya? Sebetulnya, saya malah ingin balik bertanya, siapa sajakah yang Anda maksud sebagai "banyak orang" dan bagian mana dari kebenaran sejarah yang diceritakan dalam film itu yang dipertanyakan.

Dua sejarawan, Asvi Warman Adam dari LIPI dan Budi Agustono dari USU, juga Ariel Heryanto menyambut positif film ini dari aspek sejarah.

Sekalipun banyak orang Indonesia-- terutama generasi muda--tidak mengetahui bahwa pembantaian massal 1965-1966 pernah terjadi, tidak berarti bahwa pembantaian itu tidak pernah terjadi.

Saya mempelajari banyak sekali sumber literatur sejarah Indonesia pada periode sekitar 1965 baik dari dokumen-dokumen (termasuk dokumen rahasia pemerintah Amerika Serikat yang telah dibuka) maupun hasil penelitian yang ditulis oleh orang Indonesia serta peneliti dari luar Indonesia.

Selain itu, saya juga berkonsultasi dengan sejarawan dan peneliti lain yang telah lebih dulu mendalami babak sejarah tersebut, misalnya John Roosa dan Ben Anderson, dan juga beberapa sejarawan atau peneliti dari Indonesia.

Selain studi literatur dan konsultasi dengan para pakar, saya juga mewawancarai banyak sekali orang di Sumatra Utara sejak 2001, meliputi para penyintas (survivor) dan keluarga korban pembantaian massal, juga para pelaku pembantaiannya sendiri, komandannya, algojonya, serta teman-teman, keluarga, dan orang di sekitarnya.

Selain itu sebelum setiap kali saya mempertemukan dua orang nara sumber, saya mewawancarainya secara terpisah, sehingga saya bisa mendapatkan gambaran mengenai apa yang sebetulnya terjadi, apa yang dilebih-lebihkan atau apa yang ditutup-tutupi.

3. Dari mana awalnya anda mendapatkan cerita tentang film itu?

Pada tahun 2001 saya diundang untuk memfasilitasi sekelompok buruh perkebunan membuat film yang mengangkat masalah yang mereka hadapi. Di sini saya menemukan bahwa salah satu persoalan mereka adalah kesulitan untuk membangun sebuah serikat buruh yang berdaya. Kesulitan ini disebabkan oleh sejarah penindasan yang panjang dan penghancuran serikat-serikat yang kuat membela kepentingan buruh dan tani pada tahun

(3)

1965. Para buruh, hari ini, masih takut berorganisasi dan menyuarakan pendapatnya, karena para pembunuh massal dari tahun 1965, yang membunuh para pemimpin buruh di masa itu, masih hidup di sekitar mereka.

Saya lalu mendekati dan mewawancarai salah satu algojo itu. Saya merekamnya bercerita dengan rinci dan memberikan peragaan sederhana mengenai pembunuhan yang dilakukannya dengan gaya sesumbar. Saya melihatnya ia lebih dari sekadar bercerita, ia melakukannya sebagai sebuah pergelaran (performance).

Saya jadi mulai bertanya-tanya, kepada siapa (dalam bayangannya) ia melakukan pergelaran ini? Untuk apa ia mempergelarkan ceritanya itu? Dipikirnya saya ini siapa? Apa yang dia bayangkan mengenai penilaian saya terhadap dirinya? Bagaimana dia memandang dirinya sendiri? Bagaimana dia memandang korban-korbannya? Keluarga korban-korbannya, yang adalah tetangganya?

Saya mulai mencari jawabannya satu persatu dengan lebih banyak melakukan interview dari satu pembunuh ke pembunuh yang lain, mencari atasannya, terus dari satu desa ke desa yang lain, sampai akhirnya saya menemui pimpinan tingkat kabupaten, dan juga ke Medan untuk mencari anggota pasukan pembunuh yang paling terkenal kejam di kota itu. Dari situ saya bertemu dengan Anwar Congo. Ia orang yang terbuka, dan akrab sekali dengan media film karena ia mantan preman bioskop yang hdiup dari mencatut karcis di masa mudanya.

Saya mewawancarainya dan juga memintanya melakukan peragaan ulang (re-enactment) pembunuhan yang dia lakukan persis di tempat dulu ia melakukan aksi pembunuhannya di sebuah ruko di seberang bekas bioskop tempat ia biasa mencatut karcis.

Saya lalu memutarkan hasil rekaman kepada Anwar, dan komentarnya mengagetkan saya. Anwar menilai, seperti seorang sutradara atau kritikus film, bahwa pakaiannya salah, gerakan dan aktingnya kurang bagus, dan ia seharusnya terlihat lebih muda, ia merasa perlu mengecat hitam rambutnya yang telah memutih seluruhnya.

Anwar telah membayangkan dirinya dalam sebuah film, lengkap dengan kostum dan make up-nya. Dan saya segera saja menyambut kesempatan ini dengan menawarinya membuat sebuah film fiksi agar ia bisa mendramatisasi pengalaman dan ingatannya.

Ini adalah cara yang saya rasa lebih baik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Daripada mewawancarainya, dan berusaha masuk ke dalam pikiran dan bayangannya, lebih baik saya minta ia mengeluarkan dan mewujudkan bayangannya di atas sebuah set film, dan saya merekamnya.

Inilah awal berkembangnya metode pembuatan film yang kemudian menjadi alat bertutur cerita film The Act of Killing.

4. Apa sebenarnya tujuan dan target dari pembuatan film tersebut?

Tujuan bisa lihat jawaban atas pertanyaan nomor 1. Dalam waktu dekat, sesudah kami menyelesaikan proses 7 tahun ini, target kami sebetulnya sesederhana membuat film ini ditonton sebanyak-banyaknya orang di Indonesia dan di seluruh dunia.

Selanjutnya kami berharap gagasan dan persoalan yang kami sampaikan melalui film diapresiasi dan dibicarakan secara meluas, melalui media atau dalam kelompok masyarakat.

Kami sadar bahwa film ini sendirian tidak bisa berbuat banyak untuk Indonesia, tapi harapan bahwa akan terjadi perubahan perimbangan kekuasaan, proses peradilan HAM

(4)

dan rekonsiliasi, permintaan maaf resmi, restitusi kepada keluarga korban dan penyintas, pelajaran sejarah yang lebih jujur, serta terbentuknya masyarakat yang menolak impunitas serta kekerasan selalu menjadi inspirasi kami sepanjang proses pembuatan film ini.

5. Bagaimana anda melihat peluang film ini di Festival Toronto?

Di Festival Film Internasional Toronto, film ini mendapatkan sambutan yang luar biasa hangat, apresiatif, dan penuh pujian. Kami tahu bahwa film kami ini bukan film yang bisa diremehkan, tapi sambutan sehebat itu tidak kami duga.

Berbagai media menyebut film The Act of Killing sebagai satu dari 10 film terbaik di Festival Toronto, bahkan ada yang menyebutnya sebagai film terbaik--sekaligus yang paling menyeramkan--dari ratusan film yang terpilih ikut dalam festival tersebut. Karena The Act of Killing diluncurkan secara resmi di Toronto, dan sambutannya begitu meriah, gaungnya sampai ke Eropa, dan di Inggris sebuah koran besar menulis tentang film ini, "Setiap frame-nya menakjubkan!" (OX/X-13)

6. Apa keunggulan dan kelemahan film ini?

Keunggulannya, bila pantas disebutkan, salah satunya, adalah film ini boleh dibilang dibuat dengan metode pembuatan yang orisinal, dan metode tersebut berkembang bersama cerita film yang ditangkap oleh metode ini.

Jadi, metode dan cerita yang ditangkapnya saling mengembangkan dan melengkapi, sehingga semakin lama kami berproses dengan film ini, bukan hanya metodenya semakin baik, tetapi ceritanya pun semakin kuat.

Keunggulan lain, dari segi tema, boleh jadi ini film pertama yang mengangkat babak sejarah kelam Indonesia ini dari sudut pandang pelaku, dan berhasil membongkar serta menunjukkan kebudayaan seperti apa yang sekarang hidup di Indonesia ketika para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan, bukan hanya menikmati impunitas, tetapi juga diperlakukan layaknya pahlawan, dan mereka bisa tetap mengumbar sesumbar mengenai kejahatannya--bahkan sesudah film ini rama dibicarakan di Indonesia.

Kelemahan film ini, nah itu sebetulnya harus ditanyakan kepada kritikus film atau penonton. Sebagai film, bagi saya, ini sudah yang terbaik.

Dengan segala sumber daya yang kami miliki, baik metodenya, rekaman sepanjang seribuan jam, maupun sumber daya manusia yang terlibat dalam proses pembuatan film, ini sudah paling baik yang bisa kami usahakan. Juga dalam editing, kami sudah mencoba banyak sekali kombinasi gabungan berbagai adegan, dan The Act of Killing yang kita saksikan sekarang adalah yang terbaik.

Penambahan atau pengurangan bagian dari film ini tidak akan membuatnya jadi lebih baik. Itu yang saya rasakan, tentu saja, pendapat saya sangat subyektif.

Tapi dari segi teknis, metode yang dipakai untuk membuat film ini, termasuk riset dan pendekatan kepada tokoh yang difilmkan, memerlukan waktu yang sangat panjang dibandingkan rata-rata waktu pembuatan film pada umumnya. Pembuatan film ini memerlukan kesabaran ekstra, dan juga pada akhirnya menghasilkan seribuan jam rekaman yang membuat proses editing menjadi sangat rumit (dan lama).

7. Apakah film anda layak menjadi film dokumenter?

Sebetulnya ini tergantung bagaimana mendefinisikan dokumenter--dan membedakannya dengan fiksi. Kalau yang dimaksud dengan dokumenter adalah film yang berupaya

(5)

mendokumentasikan realitas sebagaimana seolah tidak ada kamera, maka The Act of Killing bukanlah film jenis dokumenter seperti itu.

Sebaliknya, film ini menangkap realitas dengan kesadaran bahwa ada kamera di depan para narasumbernya. Yang ingin kita tangkap justru adalah apa yang sengaja ingin ditampilkan kepada dunia melalui kamera. Film ini bukan ingin mendokumentasikan realitas yang lazimnya terjadi tanpa kehadiran kamera, film ini ingin mendokumentasikan imajinasi para narasumbernya.

Kesulitan lain dalam penggolongan genre film, adalah pertanyaan saya di dalam film ini, apakah kita tahu bedanya fiksi dan realitas?

Realitas sebagaimana sesuatu peristiwa atau perbuatan dipergelarkan (performed) itu masih realitas atau sudah terkontaminasi fiksi? Sejarah resmi Indonesia, misalnya, taruhlah tentang G30S dan pembantaian jutaan orang yang menyusul kemudian, sebagaimana ditulis dalam buku teks pelajaran sejarah, apakah itu realitas--senyatanya begitu--atau fiksi? Atau sebagiannya fiksi dan sebagiannya realitas? Berapa persen realitasnya berapa persen fiksinya?

Contoh lain, film "Pengkhianatan G30S PKI", misalnya, betulkah itu masuk golongan dokudrama (dokumenter yang didramatisasi)? Bagian penyiksaan perwira tinggi AD di film itu dokudrama atau fiksi? Bukankah justru dokumen visum pemeriksaan dokter forensik menyatakan tidak ada tanda-tanda penyiksaan? Lantas, doku(menter) apa yang mendasari drama(tisasi) adegan penyiksaan dalam film tersebut?

Dalam film ini para narasumber memang berakting, memainkan perannya, sebagai diri sendiri sebagaimana ia ingin dilihat oleh penonton. Film ini melibatkan sebuah fiksi yang dibangun sebagai alat bagi narasumber untuk mengekspresikan imajinasi, ingatan, dan pengalamannya. Tapi hanya karena ada 'akting' di situ, dan ada film fiksi sebagai 'bahasa', tidak berarti bahwa film ini keseluruhannya adalah film fiksi. Walaupun begitu, betul, The Act of Killing, bukan sebuah dokumenter biasa sebagaimana lazimnya dipahami orang. Kerumitan menggolongkan The Act of Killing dalam kategori dokumenter, dokudrama, atau fiksi, semakin bertambah ketika, misalnya, Anwar memeragakan ulang pembunuhan yang dilakukannya dahulu. Kami menemukan bahwa dulu sekalipun (ketika Anwar sedang melakukan pembunuhan terhadap orang yang dianggap komunis) Anwar sudah melakukannya sebagai sebuah pergelaran (performance). Ia meniru tokoh dalam film yang baru saja ditontonnya. Ia menjelma menjadi seseorang yang lain untuk sekejap dirinya lari dari pembunuhan yang dilakukan oleh tubuhnya itu.

Dahulupun ia berakting ketika melakukan pembunuhan. Dan ketika kami memintanya melakukan peragaan ulang (re-enactment), dan dia kembali berakting, peragaan tersebut menjadi sebuah dramatisasi dari peristiwa yang terjadi, tetapi juga sebuah dokumenter, karena pembunuhan yang sebenarnya sekalipun juga sudah merupakan sebuah dramatisasi.

8. Ada yang bilang anda menipu aktor dalam film The Act of Killing. Aktor dan aktris tidak tahu seperti apa angle dari film dan untuk apa film tersebut. Bagaimana pendapat anda?

Kalau ada narasumber yang tidak tahu seperti apa angle dari film The Act of Killing, itu bisa macam-macam penyebabnya, tapi yang pasti itu bukan karena saya menipunya. Saya selalu menjelaskan kepada semua partisipan apa yang akan kita lakukan, dan untuk apa. Tokoh utama dalam film ini, Anwar Congo, misalnya, terlibat dalam proses pembuatan film ini sejak awal, jadi tujuh tahun lamanya saya sudah bekerja sama, sangat tidak masuk akal jika ia mau terus membuat film yang tidak mereka pahami angle atau tujuannya. Tanpa

(6)

kesediaan dan pemahaman semua partisipan, film ini tidak akan jadi, film ini akan berhenti di tengah jalan.

Kontroversi remeh dan tak produktif soal apakah film ini untuk umum atau untuk tesis sungguh aneh, memangnya tesis dibuat untuk disembunyikan dan dirahasiakan? Anwar sendiri di acara televisi yang disiarkan luas menyatakan bagaimana teknik membunuhnya terilhami oleh film, dan bagaimana ia kemudian di malam hari membuang mayat. Rahasia apakah yang ada di dalam film ini dan harus ditutupi?

Atau komplain bahwa film yang disyuting selama ini sebetulnya film fiksi berjudul Arsan dan Aminah juga aneh. Anwar tahu bahwa Arsan dan Aminah hanyalah sebuah 'ruang' baginya untuk mengangkat ingatan dan bayangannya, juga mimpi buruknya, ke dalam bentuk fiksi yang didramatisasi. Setiap kali ada partisipan baru, kami menjelaskannya lagi, dan Anwar ada di situ, sehingga Anwar entah sudah berapa kali mendengar penjelasan saya ini. Film Arsan dan Aminah, dengan sepengetahuan Anwar, tidak pernah dimaksudkan untuk jadi film utuh, terpisah, dan tersendiri. Ini adalah bagian integral dari dokumenter The Act of Killing yang juga meliput bagaimana Arsan dan Aminah dibuat dan bagaimana partisipannya bereaksi terhadap Arsan dan Aminah.

Sebagai bagian penting dalam metode pembuatan film ini adalah kami memutarkan rekaman hasil shooting kepada para partisipan untuk mendapatkan reaksinya dan reaksi mereka terhadap hasil syuting juga kami rekam.

Semua partisipan tahu rekaman apa saja yang kami punya, dan mereka juga sudah menontonnya. Kami tidak pernah mengambil gambar dan merekam secara sembunyi-sembunyi, kami merekam secara terbuka, meminta izin, dan baru mulai kalau sudah mendapatkan izin tertulis.

9. Apakah anda sudah menghitung dampak dan reaksi pemerintah Indonesia terhadap film tersebut? Dan bagaimana dengan reaksi dunia?

Kalau film ini keluar di era Orde Baru di bawah Suharto, kami tahu lebih banyak mengenai apa yang akan terjadi dan bagaimana reaksi pemerintah terhadap film ini.

Sesudah reformasi politik tahun 1998, Indonesia menjadi negeri yang serba 'nanggung.' Make-upnya tebal, hampir seperti topeng, pemerintah Indonesia maunya kelihatan berubah dengan jargon "Era Reformasi"nya, wajahnya dimanis-maniskan sehingga kelihatan lebih demokratis dan bebas, tapi sebetulnya 'jeroan'nya masih sama-sama saja. Perimbangan kekuasaan tidak berubah di Indonesia, kelompok yang dulu kaya raya dengan mengeksploitasi sekarang masih kaya raya dan mengeksploitasi. Partai besar dari zaman Orde Baru, masih jadi partai besar

Film kami menunjukkan kenapa. Rezim yang dibangun di atas pembantaian massal ini masih belum berakhir. Para pembantai (dan mereka yang menangguk keuntungan dari pembantaian massal itu) masih menang.

Di negara Indonesia yang nanggung ini, sukar memprediksi dampak dan reaksi pemerintah Indonesia terhadap film ini, oleh karenanya kami selalu memperhitungkan dan bersiap untuk yang terburuk.

Sementara reaksi di dunia, saya belum bisa bicara banyak. Tetapi jika Festival Toronto bisa jadi ukuran, mungkin akan sama di mana-mana, di Eropa atau di Amerika. Saya berharap bahwa film ini membuka diskusi dan pembahasan yang lebih luas di segala aspek pengetahuan dan kebudayaan, bukan hanya sejarah, HAM, dan film, tetapi juga

(7)

meluas ke masalah kesenian, kebudayaan, politik, ekonomi, etika, pendidikan, sampai pembahasan psikologis di tingkat yang paling personal. (OX/X-13)

Referensi

Dokumen terkait

1.Penyebaran Brosur :Brosur tersebut berisi informasi tentang keberadaan Perpustakaan, waktu dan hari kegiatan Perpustakaan. Termasuk koleksi yang perlu diketahui oleh

Gusti Ketut Ariawan, 2008, Eksistensi Konsep “Due Process of Law” HAM Dalam KUHAP, Bahan Pendalaman MK Bantuan Hukum dan Penyantunan Terpidana Program

Konsep klasifikasi materi bisa merupakan materi yang abstrak bagi siswa.Berdasarkan hasil keikutsertaan pada bimtek PISA 2017, disimpulkan siswa perlu belajar memahami bacaan IPA,

Berbeda dengan penelitian yang sudah dilakukan oleh Poeze, tesis ini akan melakukan tinjauan terhadap konsep dan ideologi Tan Malaka, terutama dalam buku Madilog.. Hal ini

Lactobacillus plantarum pada media MRS cair selama 24 jam didapatkan hasil bahwa bakteri tidak mengalami fase lag dalam percobaan ini dikeranakan inokulum bakteri

Begitu juga dengan kejadian malaria, pada saat responden tidak mengetahui tentang penyebab malaria, gejala malaria, cara penularan malaria akan memandang sebelah

Peraturan Mentri Perburuhan No.12 tahun 1950 Tentang kursus kader pertanian rendah di mudju-mudju Jogjakarta”, dalam Peraturan Perburuhan dan Peraturan

Sejarah berdirinya Apotek Putat Jaya bermula pada awal tahun 2008, apotek ini berdiri sudah lima tahun. Apotek Putat Jaya ini berdiri atas prakarsa seorang pemilik modal yaitu