• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 1/NO. 1/JANUARI/2009

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 1/NO. 1/JANUARI/2009"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Korelasi Penilaian Asma Terkontrol Pada Penderita Asma Persisten Sesudah

Pemberian Kortikosteroid Inhalasi dengan Menggunakan Asthma Control

Scoring System dan Asthma Control Test

Correlation of Controlled Asthma Assessment in Persistent Asthma Patients After Corticosteroid

Inhalation Using Asthma Control Scoring System and Asthma Control Test

Allen Widysanto*, Eddy Surjanto**, Suradi**, Faisal Yunus***

*Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH-RS Siloam Karawaci, Tangerang ** Bagian Pulmonologi FKUNS-RSUD Dr Moewardi, Surakarta

*** Departemen Pulmonogi dan Kedokteran Respirasi FKUI-RS Persahabatan, Jakarta ABSTRACT

Background: The individual parameters to define asthma severity and asthma control overlap signifi-cantly. Validated measures, such as ACT, ACS, ACQ, for assessing asthma control are now available, but no comparison among the existing measures has been performed. This study aimed to assess the correlation between ACT and ACS either before of after inhaled corticosteroid ( ICS ).

Methods: This was a cohort study. Samples were collected by consecutive sampling. Two asthma control questionnaires, ACS and ACT, must be filled-up by the patients. Spirometry was performed after asthma control questionnaires were completely filled-up. The certain dose of inhaled corticos-teroid (ICS ) was given for 2 months, and patients have to repeat the same procedure as they have done after 2 months inhaled corticosteroid administered.

Results: The correlation of ACS score based on ACT category score before ICS showed no agreement. In contrary, the correlation of ACS score based on ACT category score after ICS showed significantly moderate agreement

Conclusion: There was a moderate correlation statistically significant agreement between ACS and ACT assessment when ACS score of 60% was used as the cut off point. Jurnal Kedokteran Indonesia: 1 (1): 56-63

Keywords: asthma, persistent, ACS, ACT

PENDAHULUAN

Teori interaksi antara sistem imun dan epitel saluran napas, pengaruh lingkungan dan patofisiologi yang mendasari sindrom klinik asma masih kurang jelas, akibatnya beberapa kasus dapat ditangani dengan mudah tetapi beberapa diantaranya sulit dikontrol secara adekuat (Holgate et al., 2000). Tujuan utama pengelolaan asma untuk mencapai kontrol optimum, yaitu, meminimalisasi gejala dan penggunaan b2 agonis kerja singkat, mencegah bronkokonstriksi sehingga mengurangi risiko eksaserbasi yang mengancam jiwa (Junniper et al., 1999).

Cockroft dan Swystun menegaskan bahwa kontrol

asma berbeda dengan derajat asma. Kontrol asma menitikberatkan pada adekuasi terapi, sedangkan derajat asma menitikberatkan pada proses yang

mendasari penyakit. Persepsi umum dan salah yang berkembang sampai saat ini adalah asma yang terkon-trol baik, dianggap sama dengan asma ringan sedangkan yang tidak terkontrol sama dengan asma berat (Cockroft dan Swystun, 1996)

Kriteria asma terkontrol sebagai berikut (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2004; Na-tional Institute of Health, 2005).: Gejala klinik termasuk gejala malam hari minimal (sebaiknya tidak ada),tidak ada keterbatasan aktiviti termasuk exercise, kebutuhan bronkodilator (b2 agonis kerja singkat) minimal (idealnya tidak diperlukan ),variasi harian APE kurang dari 20%, nilai APE normal atau mendekati normal, efek samping obat minimal (tidak ada), tidak ada kunjungan ke Unit Gawat Darurat.

Menurut The Gaining Optimal Asthma Con-trol (GOAL ) study, asma terkonCon-trol dibagi menjadi

(2)

dua yaitu terkontrol baik (well controlled) dan terkontrol total (total controlled). Asma terkontrol total jika pada pengamatan selama delapan minggu berturutan, tercatat tujuh minggu terkontrol total tanpa eksaserbasi, tidak ada kunjungan ke Unit Gawat Darurat (UGD) atau tidak ditemukan efek samping obat untuk tiap hari setiap minggu. Asma terkontrol baik jika tercatat tujuh minggu dari delapan minggu, asma terkontrol baik yaitu masih diperkenankan terdapat gejala klinis dan penggunaan medikasi secara ringan (Bateman et al., 2004; Bousquet, 2004).

Juniper, dkk., menulis bahwa kontrol asma dapat diskrining dalam bentuk kuesioner. Berbagai macam kuesioner sudah dipublikasikan antara lain Asthma

Control Test (ACT), Asthma Control Questionnaire

(ACQ), Asthma Control Scoring System (ACS) dan sebagainya (Juniper, 1999; Boulet et al., 2002; ALA, 2005). Boulet dkk., melakukan penelitian pada tahun 2002, menggunakan kuesioner kontrol asma berdasarkan sistem skoring (ACS). Sistem ini memakai 3 parameter pengukur asma yaitu gejala klinis, fungsi paru dan inflamasi saluran napas sebagai parameter opsi. Hasilnya digunakan sebagai metode praktis untuk menentukan kontrol asma berdasarkan nilai persentase global (kuantitatif ) (Boulet, 2002).

Asthma Control Test adalah suatu uji skrining

berupa kuesioner tentang penilaian klinis seorang penderita asma untuk mengetahui asmanya terkontrol atau tidak. Kuesioner ini terdiri dari lima pertanyaan, dikeluarkan oleh American Lung Asso-ciation bertujuan memberi kemudahan kepada dokter dan pasien untuk mengevaluasi asma penderita yang berusia diatas 12 tahun dan menetapkan terapi pemeliharaannya. Berbeda dengan ACS, ACT tidak memakai kriteria faal paru untuk menilai kontrol asma (Nathan et al., 2004). Interpretasi hasil yaitu apabila jumlah nilai sama atau lebih kecil dari 19 adalah asma tidak terkontrol sedangkan bila nilai lebih besar dari 19 adalah asma terkontrol (ALA, 2005).

Tujuan Asthma Control Test adalah menyeleksi asma yang tidak terkontrol, mengubah pengobatan menjadi lebih efektif, melaksanakan pedoman peng-obatan secara lebih tepat dan memberikan pendidikan atau pengetahuan tentang bahaya asma yang tidak terkontrol. Kuesioner ini telah diteliti dan divalidasi sehingga dapat dipakai secara luas untuk menilai dan memperbaiki kondisi asma seseorang.(Nathan et al.,

2004a); Yunus, 2005). Berdasarkan keterangan di atas, maka untuk mengetahui korelasi antara ACT dan ACS yang memiliki kekurangan dan kelebihan, maka dilakukan penelitian pada asma persisten sebe-lum dan sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi.

SUBJEK DAN METODE

Desain penelitian

Penelitian menggunakan metode kohor dan dilakukan analisis statistik untuk mengetahui korelasi antara Asthma Control Scoring System dan Asthma

Control Test pada penderita asma persisten sebelum

dan sesudah pemberian steroid inhalasi.

Sampel penelitian

Sampel penelitian adalah semua penyandang asma persisten yang berobat jalan di Poliklinik Paru RSUD Dr. Moewardi, Surakarta yang memenuhi kriteria inklusi . Pengambilan sampel secara consecutive

sam-pling sampai jumlah sampel terpenuhi.

Kriteria inklusi

Kriteria inklusis sebagai berikut: (1) Penyandang asma persisten ( ringan, sedang dan berat); (2) Usia 18-45 tahun; (3) Tidak memakai steroid sistemik dalam 2 minggu terakhir; (4) Tidak memakai steroid inhalasi dalam 3 hari terakhir; (5) Bersedia mengisi kuesioner secara lengkap dan benar; (6) Bersedia ikut dalam penelitian dan menandatangani lembar persetujuan

Kriteria eksklusi

Kriteria eksklusi sebagai berikut: (1) Asma yang disertai infeksi pernapasan akut (ISPA, bronkopneumonia, abses paru, empiema) maupun infeksi saluran napas kronik (tuberkulosis dan bronkiektasis ); (2) Perokok; (3) Riwayat penyakit paru kronik selain asma (Penyakit Paru Obstruksi Kronis, tumor paru); (4) Hamil/menyusui; (4) Asma dengan penyakit jantung.

Instrumen

Penelitian ini menggunakan dua macam kuesioner asma kontrol yaitu ACS dan ACT dan satu kuesioner untuk menilai kejujuran subjek.

1. Asthma Control Scoring System

Kuesioner ACS yang diteliti menggunakan 2 param-eter yaitu klinis dan fisiologis (Volume Ekspirasi Paksa

(3)

Detik Pertama/ VEP1).Total skor dihitung dengan menjumlahkan kedua parameter kemudian dibagi dua. Belum ada cut off point untuk menentukan asma terkontrol maupun tidak terkontrol.

2. Asthma Control Test

Kuesioner ACT hanya mencakup parameter klinis, tanpa ada pemeriksaan fungsi paru. Total skor diperoleh dengan menjumlahkan 5 pertanyaan yang sudah diberi bobot nilai. Nilai lebih kecil atau sama dengan 19 disebut asma tidak terkontrol sedangkan nilai lebih besar 19 disebut asma terkontrol.

3. Le Minnesota Multiphasic personality Inventory

(MMPI )

Instumen ini digunakan untuk menguji keseriusan subyek penelitian dalam menjawab pertanyaan kuesioner penelitian.

Penelitian dilakukan untuk melihat korelasi anta-ra ACS dan ACT baik sebelum dan sesudah pembe-rian kortikosteroid inhalasi. Subyek penelitian diberi penjelasan tentang tujuan penelitian dan apabila ber-sedia ikut dalam penelitian diminta menandatangani lembar persetujuan. Setelah menandatangani lembar persetujuan, dilakukan pemeriksaan foto toraks dan elektrokardiografi.

Subjek penelitian diedukasi kemudian mengisi kuesioner ACT, ACS dan MMPI. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan spirometri untuk menilai VEP1. Kortikosteroid inhalasi 200 mcg diberikan dengan dosis sesuai derajat asma yang direkomendasi-kan GINA selama dua bulan. Pelega kerja singkat inhalasi juga diberikan dan dosis sesuai kebutuhan. Kontrol subyek penelitian dilakukan tiap bulan atau bila terjadi eksaserbasi. Kortikosteroid inhalasi dosis tertentu digunakan selama penelitian berlang-sung, evaluasi ulang setelah dua bulan. Pengisian kuesioner ACT , ACS dan MMPI serta pemeriksaan fungsi paru diulangi pada akhir bulan ke-2. Kuesioner dikumpulkan ke peneliti dan dilakukan analisis. CARA PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA Data diolah dengan menggunakan komputer pro-gram STATA versi 7.0 dan SPSS 10.0 for windows. Analisis statistik memakai uji beda , korelasi dengan menggunakan Kappa Cohen. Nilai kemaknaan uji statistik pada penelitian ini adalah p < 0.01.

HIPOTESIS PENELITIAN

1. Terdapat korelasi antara ACS dan ACT pada pasien asma persisten sebelum pemberian kortikosteroid inhalasi.

2. Terdapat korelasi antara ACS dan ACT pada pasien asma persisten sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi.

3. Nilai Asthma Control Scoring System sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi lebih tinggi dibanding sebelum pemberian kortikosteroid inhalasi.

4. Nilai Asthma Control Test sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi lebih tinggi dibanding sebelum pemberian kortikosteroid inhalasi.

HASIL-HASIL

Penelitian dilakukan pada pasien asma persisten yang berobat jalan di Poli Paru RSUD Dr. Moewardi, Surakarta, mulai bulan Mei 2006 sampai dengan Juli 2006.

A. Karakteristik subyek penelitian

Secara keseluruhan diperoleh 32 orang subyek peneli-tian yang terdiri dari 11 orang laki-laki (34%) dan 21 orang perempuan (66%) (Tabel 1). Rentang umur mulai dari 18 tahun hingga 45 tahun. Tingkat pendi-dikan bervariasi dari Sekolah Dasar gingga Pascasar-jana. Tidak ada korelasi antara tingkat pendidikan dengan skor ACT dan ACS baik sebelum dan sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi.

Diagnosis asma persisten terdiri dari asma persis-ten ringan sebesar 17 orang (53%), asma persispersis-ten sedang 14 orang (44%) dan asma persisten berat 1 orang (3%). Seluruh subyek penelitian sebelumnya tidak menggunakan kortikosteroid inhalasi dengan benar karena alasan yang berbeda. Terdapat 12 or-ang (37.5%) yor-ang tidak menggunakan kortikosteroid inhalasi karena takut efek samping, 7 orang ( 21.9% ) karena alasan biaya, 5 orang (15.6%) karena alasan efek kortikosteroid yang lambat, 4 orang (12.5% ) karena merasa sudah sembuh dan 4 orang (12.5% ) karena tidak mengerti manfaat kortikosteroid. Tabel 1 menunjukkan karakteristik subyek penelitian.

(4)

Tabel 1. Data dasar subyek penelitian

B. Rentang skor ACT dan ACS sebelum pemberian kortikosteroid inhalasi

Skor klinis ACS sebelum perlakuan berkisar 20% (terendah) hingga 80% (tertinggi). Nilai VEP1 berkisar 31.6% (terendah) hingga 100% (tertinggi). Skor fisiologis ACS berkisar antara 20% hingga 100%. Skor ACS diperoleh dari penjumlahan skor klinis dan skor fisiologis dibagi 2. Hasil penelitian ini menunjukkan skor ACS sebelum perlakuan sebesar 20% (nilai terendah) hingga 80% (nilai tertinggi). Skor ACT berkisar antara 6 sebagai nilai terendah hingga 21 sebagai nilai tertinggi.

C. Rentang skor ACT dan ACS sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi

Skor klinis ACS berkisar antara 50% (nilai terendah) hingga 100% (nilai tertinggi) sedangkan nilai VEP1 berkisar antara 38.5% (nilai terendah) hingga 100% (nilai tertinggi). Skor fisiologis ACS berkisar antara 20% sebagai nilai terendah hingga 100% sebagai nilai tertinggi. Total skor ACS yang dihasilkan berada da-lam rentang 30 % (terendah) hingga 95% (tertinggi). Hasil penelitian skor ACT menampilkan nilai teren-dah sebesar 6 dan nilai tertinggi sebesar 25. Tabel 2 menunjukkan rincian rata-rata skor ACT dan ACS baik sebelum maupun sesudah perlakuan.

Tabel 2. Rentang skor ACT dan ACS sebelum dan sesudah perlakuan di poli paru RSUD Dr. Moewardi , tahun 2006

D. Distribusi skor kategori ACT pada pasien asma persisten berdasarkan derajat asma sebelum dan sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi

Sebelum pemberian kortikosteroid inhalasi , asma tidak terkontrol (skor ACT 19) pada APR, APS dan APB berturut-turut adalah 16 orang (50%), 14 orang (43.8%) dan 1 orang (3.1%) sedangkan hanya terdapat 1 orang (3,1% ) asma terkontrol pada APR. Sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi, skor ACT 19 pada APR, APS dan APB berturut-turut adalah 3 orang (9.4%), 5 orang (15.6%) dan 1 or-ang ( 3.1% ) sedor-angkan skor ACT > 19 adalah 14 orang (43.8%) pada APR, 9 orang (28.1% ) pada APS dan tidak ditemukan asma terkontrol pada APB. Tabel 3 menunjukkan distribusi skor ACT pada asma persisten berdasarkan derajat asma sebelum dan sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi.

E. Perbedaan rata-rata skor klinis ACS menurut kategori ACT sebelum pemberian

kortikosteroid inhalasi.

Terdapat 31 orang (96.9%) yang mengidap asma tidak terkontrol (skor ACT £ 19) pada awal penelitian dan hanya 1 orang (3,1%) yang menunjukkan keadaan terkontrol (skor ACT > 19) (Tabel 4).

Tabel 3. Distribusi skor ACT pada asma persisten berdasarkan derajat asma sebelum dan sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi di poli paru RSUD Dr Moewardi, tahun 2006

Tabel 4. Karakteristik skor ACT sebelum perlakuan di poli paru RSUD Dr.Moewardi, tahun 2006.

Skor ACT dengan interpretasi tidak terkontrol ( 19) memberikan rentang skor klinis ACS sebesar 20% hingga 75% dengan rata-rata skor ACS sebesar 53.1%. Skor ACT dengan interpretasi terkontrol (>

(5)

19) memberikan skor klinis ACS sebesar 70% dengan rata-rata skor ACS sebesar 70%. Gambar 1 menunjukkan perbedaan skor rata-rata klinis ACS menurut kategori ACT sebelum pemberian kortikosteroid inhalasi.

F. Perbedaan rata-rata skor klinis ACS menurut kategori ACT sesudah pemberian

kortikosteroid inhalasi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 9 orang (28.1%) pengidap asma yang tidak terkontrol sesuai dengan skor ACT ( 19) dan 23 orang (71,9%) subyek yang terkontrol sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi, seperti tampak pada Tabel 5.

Tabel 5. Karakterisitik skor ACT sesudah perlakuan di poli paru RSUD Dr.Moewardi, tahun 2006

G. Korelasi antara Volume Ekspirasi Paksa detik pertama dengan skor ACT sebelum pemberian kortikosteroid inhalasi.

Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat korelasi antara VEP1 dengan skor ACT sebelum pemberian kortikosteroid inhalasi (Gambar 1).

Gambar 1. Korelasi antara Volume Ekspirasi Paksa Detik 1 (%) dengan skor Asthma Control Test sebelum pemberian

kortikosteroid inhalasi (r=0.02; p=0.90)

H. Korelasi antara Volume Ekspirasi Paksa Detik Pertama dengan skor ACT sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi.

Skor VEP1 menunjukkan sedikit peningkatan (68.1% ) sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi

dibandingkan dengan sebelum pemberian (64.5%), namun, tidak terdapat korelasi antara VEP1 dengan skor ACT sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi (Gambar 2).

Gambar 2. Korelasi antara Volume Ekspirasii Paksa Detik 1 (%) dengan skor Asthma Control Test sesudah pemberian

kortikosteroid inhalasi (r=0.30; p=0.10)

I. Korelasi antara skor ACS dan skor kategori ACT sebelum pemberian kortikosteroid inhalasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada median 47.5% terdapat 14 orang (93.3%) yang tidak terkon-trol menurut ACT juga dinilai tidak terkonterkon-trol me-nurut ACS. Tidak ada subyek (0%) yang terkontrol menurut ACT dan terkontrol menurut ACS. Terdapat 17 subyek (100%) yang tidak terkontrol menurut ACT namun dinilai terkontrol menurut ACS dan ada 1 subyek (6.7%) yang terkontrol menurut ACT na-mun dinilai tidak terkontrol menurut ACS. Koefisien kesepakatan (k) antar dua kuesioner adalah lemah ( = 0.1 ; p= 0.860), sehingga disebutkan terdapat kesepakatan lemah dan tidak bermakna antara skor kategori ACT dengan skor ACS sebelum pemberian kortikosteroid inhalasi. Penjelasan ini terangkum pada tabel 6.

Tabel 6. Korelasi antara skor ACS dan skor kategori ACT sebelum pemberian kortikosteroid inhalasi

(6)

J. Korelasi antara skor ACS dengan skor kategori ACT sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada me-dian 60% terdapat 9 orang (56.3%) yang tidak terkontrol menurut ACT juga dinilai tidak terkontrol menurut ACS. Terdapat 16 orang (100%) yang dinilai terkontrol, baik oleh ACT maupun oleh ACS. Ada 7 orang (43.8%) dinilai terkontrol menurut ACT namun tidak terkontrol menurut ACS dan tidak terdapat subyek yang dinilai tidak terkontrol menurut ACT namun dinilai terkontrol menurut ACS. Penjelasan ini terangkum pada Tabel 7. Koefisien kesepakatan yang dicapai oleh kedua kuesioner adalah sedang ( = 0.6; p= 0.001), sehingga disebutkan terdapat kesepakatan sedang dan bermakna antara skor kategori ACT dengan skor ACS sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi.

PEMBAHASAN

Secara keseluruhan terdapat 32 orang subyek peneliti-an ypeneliti-ang mayoriti perempupeneliti-an (66%). Surjpeneliti-anto dalam penelitian di Poliklinik Asma Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi RSUP Persahabatan, Jakarta mendapat sampel perempuan lebih banyak dibanding laki-laki (Suryanto, 2004). Studi kontrol asma di Asia Pasifik oleh Zainudin dkk dan Lai dkk juga memper-oleh sampel yang mayoritas perempuan. Derajat asma terbanyak berturut-turut adalah asma persisten ri-ngan, asma persisten sedang dan asma persisten berat. Karakteristik derajat asma pada penelitian ini serupa dengan dua penelitian terpisah yang dilakukan di Asia Pasifik oleh Zainudin dan Lai (Lai et al., 2003; Zainuddin et al., 2005).

Seluruh subyek penelitian tidak menggunakan kortikosteroid inhalasi secara rutin karena berbagai alasan. Takut terhadap efek samping kortikosteroid menjadi alasan utama, diikuti mahalnya biaya obat. Alasan serupa juga ditemukan pada penelitian Lai di Asia Pasifik pada tahun 2003 dan Humbert di Paris pada tahun 2006 (Lai et al., 2003; Humbert, 2006). Nilai rata-rata VEP1 sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi sebesar 68.1% prediksi. Hasil ini hampir sama dengan penemuan Masoli dkk (69% prediksi) pada suatu studi metaanalisis tahun 2004 (Masoli et al., 2004)

A. Korelasi antara Volume Ekspirasi Paksa Detik Pertama dengan skor ACT

Sebelum perlakuan

Tidak ada korelasi antara VEP1 dengan skor ACT sebelum pemberian kortikosteroid inhalasi. Hasil penelitian yang dilakukan Nathan dkk., pada tahun 2004 disimpulkan bahwa walaupun terdapat korelasi lemah antara skor ACT dan VEP1, namun penilaian kontrol asma sebaiknya dilakukan berdasarkan kombinasi kedua variabel ini (Nathan et al., 2004b). Menurut Shingo (2001), tidak ada korelasi antara klinis dan VEP1 disebabkan oleh dimensi yang berbeda oleh kedua variabel ini.

Volume Ekspirasi Paksa Detik Pertama adalah parameter untuk menilai derajat obstruksi saluran napas (objektif ) sedangkan penilaian klinis lebih me-lukiskan beban perasaan penyandang asma (subjektif ) (Rabe et al., 2004). Menurut peneliti, hasil yang diperoleh disebabkan oleh dimensi berbeda antara klinis dan derajat obstruksi seperti yang telah diurai-kan sebelumnya (Shingo , 2001). Peneliti menduga bahwa rentang waktu untuk menilai parameter klinis adalah 4 minggu sedangkan nilai VEP1 dinilai hanya pada satu saat yaitu pada keadaan stabil. Hal ini me-nyebabkan tidak ada korelasi antara skor klinis dan VEP1.

Sesudah perlakuan

Tidak ada korelasi antara VEP1 dengan skor ACT sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi. Beberapa faktor yang diduga sebagai penyebab adalah airway

remodeling, keterlambatan penggunaan kortikosteroid

inhalasi seperti yang diteliti Humbert tahun 2006 di Paris dan overpersepsi mengenai kontrol asma (Rabe, 2004; Humbert, 2006 ).

Menurut peneliti, hasil yang diperoleh lebih disebabkan oleh airway remodeling dan keterlambatan penggunaaan kontroler. Peneliti tidak melihat pengaruh kortikosteroid inhalasi terhadap persepsi asma yang berlebihan.

B. Korelasi antara skor ACS dengan skor kategori ACT

Sebelum perlakuan

Tidak ada korelasi antara skor ACS dengan skor kategori ACT sehingga hipotesis pertama ditolak. Belum ada kepustakaan yang mengkorelasikan

(7)

langsung kedua kuesioner ini, namun peneliti menduga bahwa mayoriti penyandang asma yang tidak terkontrol dan skor ACT yang rendah dibanding ACS, menyebabkan tidak ada korelasi antara kedua skor ini. Tujuan untuk menilai korelasi ini adalah untuk melihat validiti kriteria kedua kuesioner.

Sesudah perlakuan

Terdapat korelasi sedang dan bermakna pada hasil sesudah perlakuan sehingga hipotesis kedua diterima. Suatu penelitian hampir serupa ditampilkan Schatz tahun 2004 menunjukkan bahwa terdapat nilai sensitiviti dan spesifisiti yang hampir sama antara kuesioner ACT dan ACQ (Sorkness, 2005). Pencapaian hasil yang berlawanan dengan sebelum pemberian kortikosteroid inhalasi, diduga disebabkan oleh kenaikan skor ACT dan skor ACS yang bermakna sedangkan nilai VEP1 tidak mengalami kenaikan yang bermakna. Hasil ini dapat dipakai sebagai tolak ukur penilaian sifat ACT yang reliabel .

C. Perbedaan rata-rata skor ACT dan perbedaan rata-rata skor ACS sebelum dan sesudah pemberiankortikosteroid inhalasi

Terdapat perbedaan bermakna rata-rata skor ACS dan rata-rata skor ACT sebelum dan sesudah perlakuan. Rata-rata skor ACS sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi lebih tinggi dibanding sebelumnya, demikian juga rata-rata skor ACT lebih tinggi sesudah pemberi-an kortikosteroid inhalasi dibpemberi-anding sebelum pembe-rian. Hasil ini menyebabkan hipotesis ketiga dan keempat diterima. Tujuan peneliti untuk melihat perbedaan skor yaitu untuk menguji sifat evaluatif dan sifat responsif pada masing-masing kuesioner.

Penelitian ini menyimpulkan, tidak terdapat korelasi antara skor ACS dan skor kategori ACT sebelum pemberian kortikosteroid inhalasi. Terdapat korelasi antara skor ACS dan skor kategori ACT sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi. Terdapat perbedaan bermakna antara rata-rata skor ACS sebe-lum dan sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi menunjukkan sifat evaluatif dan responsif yang dimiliki ACS. Nilai rata-rata skor ACS sesudah perlakuan lebih tinggi. Terdapat perbedaan bermakna antara rata-rata skor ACT sebelum dan sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi menunjukkan sifat

evaluatif dan responsif yang juga dimiliki ACT. Nilai rata-rata skor ACT sesudah perlakuan lebih tinggi.

Penelitian ini menyarakan perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut untuk membandingkan kualiti hidup (menggunakan kuesioner kualiti hidup) dan kontrol asma (menggunakan ACT dan ACS ), sehingga diperoleh data mengenai pengaruh faal paru pada asma terkontrol terhadap kualiti hidup penyandang asma. Berdasarkan sifat kuesioner yang telah dipenuhi ACT, maka penggunaan ACT sebagai suatu alat untuk menilai kontrol asma dapat disosialisasikan terutama di pusat kesehatan masyarakat dan sarana kesehatan lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

ALA (2005). Take the asthma control test and know your asthma score. http://Wellness.Ndsu. nodak. edu/education/asthmaConTest-web.pdf. Diakses 9 September, 2005.

Bateman ED, Boushley HA, Bousquet J, Busse WW, Clark T, Pauwels RA (2004). Can guideline-de-fined asthma control be achieved? Am J Respir Crit Care Med; 170: 836-44.

Boulet LP, Boluet V, Milot J (2002). How should we quantify asthma control? Chest;122: 2217-23. Bousquet J (2004). Is asthma control achievable? Eur

Respir Rev; 13: 102-4.

Cockroft DW, Swystun VA (1996).Asthma control versus asthma severity. J Allergy Clin Immunol; 98: 1016-8.

Holgate ST, Boushley HA, Fabbri LM (2000). Dif-ficult asthma. NEJM; 342: 363-4.

Humbert M (2006). The right tools at the right time. Chest; 130: 29S-40S.

Juniper Ef, O’Byrne PM, Guyatt GH, Ferrie PJ, King DR (1999). Development and validation of a questionnaire to measure asthma control. Eur Respir J; 14: 902-7.

Lai CKW, De Guia TS, Kim YY, Kuo SH, Mukhopadhyay A, Soriano JB, et al (2003). Asthma control in the Asia-Pasific region: The asthma insight and reality in Asia-Pacific study. J Allergy Clin Immunol; 111: 263-8.

Masoli M, Holt S, Weatherall M, Beasley R (2004). Dose-response relationship of inhaled

(8)

budesonide in adult asthma; a meta-analysis. Eur Respir J; 23: 552-8.

Nathan RA, Sorkness CA, Kosinski M, schatz M, Li JT, et al (2004a). Development of the asthma control test: a survey for assessing asthma con-trol. J Allergy Clin Immunol; 113 (1): 59-65. Nathan RA, Sorkness CA, Kosinski M, Schatz M, Li

JT, Marcus P, et al (2004b). Development of the asthma control test: a survey for assessing asthma control. J Allergy Clin Immunol; 113: 59-65.

National Institutes of Health National (2005) Heart, Lung and Blood Institiute. Definition. Dalam: Clark TJH, Cagnani CB, Bousquet J, Busse J, Fabbri L, Grouse L, editors. Global Initiative For Asthma. Glaxo Smith Kline. hal..2-9.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2004). Pro-gram penatalaksanaan asma. Dalam: Mangunnegoro H, Widjaja A, Sutoyo DK, Yunus F, Pradjaparamita , dkk, editors. Asma. Jakarta:Balai Penerbit UI: hal. 28-72.

Rabe KF, Adachi M, Lai CKW, Soriano JB, Vermeire PA, Weiss KB (2004). Worldwide severity and

control of asthma in children and adults: The global asthma insights and reality surveys. J Al-lergy Clin Immunol, 114: 40-7.

Shingo S, Zhang J, Reiss TF (2001). Correlation of air-way obstruction and patient-reported endpoints in clinical studies. Eur Respir J; 17: 220-4. Sorkness CA (2005). Assessing asthma control in day

to day practice. Partnerships for change in asthma management. Singapore, hal. 1-16.

Surjanto E (2004). Klasifikasi imunologis derajat asma alergi kronik berdasarkan Il-4, IL-5 dan eosino-phil cationic protein (ECP) dalam sputum. Disertasi. Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya.

Yunus F (2005). The asthma control test, a new tool to improve the quality of asthma management. Dalam: Surjanto E, Suradi, Reviono, Rima A, Widysanto A,Widiyawati, editors. Proceeding Book Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Edisi ke 1. Surakarta: Indah C omp, hal..361. Zainuddin BM, Lai CKW, Soriano JB, Horng WH,

de Guaia TS (2005). Asthma control in adults in Asia-Pasific. Respirology; 10: 579-86.

Gambar

Tabel 1. Data dasar subyek penelitian
Tabel 5. Karakterisitik skor ACT sesudah perlakuan di poli paru RSUD Dr.Moewardi, tahun 2006

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian, dapat dilihat bahwa sebanyak 10 orang atau 31,25% siswa menganggap sosialisasi sekolah pada proses belajar mengajar baik, sebanyak 19 orang atau

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Current Ratio (CR) dan Return on Assets (ROA) Terhadap Return

Dalam penelitian ini yang menjadi unit analisis data yang sesuai dengan subjek penelitian adalah muzakki yang berzakat di BAZNAS, Rumah Zakat Indonesia dan Pos Keadilan Peduli

Alat ukur yang digunakan merupakan hasil adaptasi dari Procrastination Assessment Scale for Students (PASS) dan Multidimensional Perfectionism Scale (MPS).Hasil penelitian

RPL Konsentrasi (TI) Rekayasa Perangkat Lunak TPIEB Konsentrasi (TE) Teknik Pengolahan Isyarat, Elektronika, dan Biomedika RSI Konsentrasi (TI) Rekayasa Sistem Informasi TT

Koalisi pasangan Suharsono-Halim agar dapat terpilih dalam pemilukada tahun 2015 di Kabupaten Bantul harus bisa melihat peluang politik maupun isu politik yang

Pokok-pokok permohonan pembatalan keputusan KPU Asmat Nomor 41/KPTS/KPU-Kab-031434260/2015 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Perhitungan Perolehan Suara Hasil Pemilihan Bupati

Sebuah magnet kutub Utara (U) yang digerakan secara linier dengan kecepatan v (dx/dt) mendekati kumparan kawat pada inti besi akan menimbulkan Strenght elektrik