• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian

Jasa

Pengertian jasa menurut Philip Kotler adalah setiap tindakan atau kegiatan yang dapat ditawarkan kepada pihak lain yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun. Produksi jasa bisa berkaitan dengan produksi secara fisik ataupun tidak (Kotler, 2003, Marketing Management).

2.1.1. Karakter Jasa

a. Intangibility (tidak berwujud)

Jasa tidak bisa dilihat dan dirasakan oleh konsumen sebelum konsumen membeli atau mendapatkan penyedia jasa. Konsumen juga tidak bisa memprediksikan apa hasil yang akan diperoleh dengan mengkonsumsi jasa kecuali setelah membelinya. Seorang pasien tidak akan tahu apakah nasihat dokter itu berhasil kecuali setelah ia melakukan konsultasi dan mengikuti apa yang dinasehatkan.

Beberapa karakter dari intangibility adalah :

1. Suatu jasa baru bisa dirasakan ketika jasa tersebut disampaikan kepada konsumen.

2. Suatu jasa kadang terasa sulit dipahami konsumen.

3. Suatu jasa sulit kadang untuk dijelaskan kepada konsumen

(2)

4. Penilaian akan kualitas sulit ditentukan oleh konsumen 5. Harga sulit untuk ditentukan

Karena tidak berwujud, konsumen biasanya melihat tanda-tanda dan sesuatu yang bisa dilihat atau dirasakan untuk bisa menilai kualitas suatu jasa. Mereka akan melihat kualitas dari para pegawainya, peralatan, tempat, simbol, dan juga harga yang bisa mereka rasakan.

Tugas pemasaran adalah bagaimana hal-hal yang tidak terwujud itu bisa ditunjukkan dalam berbagai bentuk dan wujud yang bisa menunjukkan kualitas jasa. Para pemasar bisa melakukan beberapa hal :

• Visualisasi, yaitu penggambaran bagaimana suatu jasa diberikan kepada konsumen. Misalnya dengan penggambaran tentang kenyamanan dan kenikmatan suatu hotel, kenikmatan melakukan penerbangan, dan lain-lain sehingga konsumen bisa mendapatkan gambaran.

• Asosiasi, yaitu mengaitkan jasa yang ditawarkan dengan profil seseorang, objek, ataupun tempat.

• Representasi Fisik, dengan memperlihatkan gedung, fasilitas, dan berbagai hal yang mendukung jasa yang disampaikan.

• Dokumentasi, sertakan berbagai penghargaan, catatan kepuasan pelanggan, sehingga menumbuhkan kepercayaan pembeli.

b. Inseparability (tidak terpisahkan)

Sebuah jasa diproduksi dan dikonsumsi secara bersamaan. Sebuah produk yang ada secara fisik biasanya diproduksi di pabrik, didistribusikan oleh distributor,

(3)

ke toko dan baru dikonsumsi oleh konsumen. Pada jasa, faktor penyedia jasa (orang) langsung berperan dalam produksi jasa. Karena konsumen juga menjadi salah satu faktor penting dalam proses penyediaan jasa, interaksi yang baik antara penyedia jasa dan konsumen menjadi faktor yang sangat penting. Karena itu, terkadang kualitas sebuah jasa tidak hanya ditentukan oleh faktor kualitas dari penyedia jasa, tetapi juga oleh kesungguhan dan komitmen dari konsumen.

Karakter dari inseparability adalah :

• Konsumen harus berpartisipasi dalam proses produksi jasa. • Suatu jasa yang disampaikan terikat dengan satu penyedia jasa • Jumlah jasa yang diberikan tergantung dari penyedia jasa c. Variability (tidak ada standar)

Suatu jasa biasanya sulit dibuat standar kualitasnya, karena masing-masing mempunyai standar proses sendiri-sendiri tergantung kualitas dari proses internal penyedia jasa. Walaupun demikian, sedapat mungkin sebuah organisasi/perusahaan penyedia jasa seyogyanya membuat standar layanan agar kualitas jasanya bisa lebih dikontrol.

Karakter jasa dalam hal ini adalah :

• Jasa tidak bisa disampaikan dalam kondisi yang sama.

• Kualitas yang tidak sama menambah potensi resiko pada konsumen

• Perusahaan perlu mengurangi resiko pelanggan dengan memberikan jaminan kualitas, misalnya kartu garansi..

(4)

Kotler menyebut tiga hal yang bisa dilakukan untuk mengontrol kualitas pelayanan:

1. Melakukan seleksi pegawai yang baik dan meningkatkan keterampilan mereka melalui berbagai pelatihan.

2. Melakukan standarisasi proses layanan pada seluruh organisasi. Ini bisa dilakukan dengan menentukan “cetak biru layanan“ (service blue print) berisi seluruh alur proses penyediaan jasa mulai dari awal hingga akhir untuk memudahkan pengecekan kualitas setiap proses.

3. Memonitor kepuasan pelanggan melalui survey, feedback form, dan tanggapan serta keluhan pelanggan sehingga kualitas pelayanan yang kurang baik bisa dideteksi.

d. Perishability (tidak bisa disimpan)

Berbeda dengan produk, suatu jasa tidak bisa disimpan. Jasa diproduksi dan dikonsumsi secara bersamaan dan tidak bisa disimpan. Efeknya pada pemasaran terutama pada sisi permintaan. Jika permintaan stabil akan memudahkan penyedia jasa untuk melakukan persiapan. Tetapi jika permintaan fluktuatif, lebih sulit bagi penyedia jasa untuk melakukan strategi pemasaran.

Untuk mengatasi fluktuasi permintaan yang sering mengakibatkan kelebihan supply, pemasar bisa melakukan beberapa hal:

• Meningkatkan penjualan dengan personal selling kepada klien baru pada saat permintaan menurun.

(5)

• Meningkatkan penjualan produk dan jasa baru kepada klien yang sudah ada pada saat permintaan menurun.

• Harga lebih tinggi saat permintaan naik, dan lebih rendah saat permintaan turun. • Pakai sistem reservasi untuk menjual jasa di muka.

• Pelatihan antar divisi berbeda untuk memenuhi permintaan yang tinggi.

2.2. Pemasaran

Pengertian Pemasaran menurut Stanton adalah suatu sistem keseluruhan dari kegiatan-kegiatan bisnis yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan, dan mendistribusikan barang dan jasa untuk memuaskan kebutuhan, baik kepada pembeli yang ada maupun pembeli potensial (Stanton).

Pengertian tersebut dapat memberikan gambaran bahwa pemasaran sebagai suatu sistem dari kegiatan-kegiatan yang saling berhubungan, ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan, dan mendistribusikan barang/jasa kepada pembeli secara individual maupun kelompok pembeli. Kegiatan-kegiatan tersebut beroperasi dalam suatu lingkungan yang dibatasi sumber-sumber dari perusahaan itu sendiri, peraturan-peraturan, maupun konsekuensi sosial perusahaan.

Pengertian pemasaran menurut Kotler, pemasaran adalah proses sosial dan manajerial dimana individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan dan mempertukarkan produk dengan pihak lain. Dalam hal ini pemasaran merupakan proses pertemuan antara individu dan

(6)

kelompok dimana masing-masing pihak ingin mendapatkan apa yang mereka butuhkan/inginkan melalui tahap menciptakan, menawarkan, dan pertukaran.

Definisi pemasaran tersebut berdasarkan pada prinsip inti yang meliputi: kebutuhan (needs), produk (goods, services, and idea), permintaan (demands), nilai, biaya, kepuasan, pertukaran, transaksi, hubungan, dan jaringan, pasar, pemasar, serta prospek.

Terdapat dua faktor yang mempengaruhi cara dan keberhasilan perusahaan terhadap pemasarannya, yaitu: (1) Lingkungan Eksternal Sistem Pemasaran. Lingkungan ini tidak dapat dikendalikan perusahaan, misalnya kebebasan masyarakat dalam menerima atau menolak produk perusahaan, politik dan peraturan pemerintah, keadaan perekonomian, kependudukan serta munculnya pesaing; (2) Variabel Internal Sistem Pemasaran. Variabel ini dapat dikendalikan oleh perusahaan, terdiri atas dua kelompok, yaitu sumber bukan pemasaran (kemampuan produksi, keuangan, dan personal) dan komponen-komponen bauran pemasaran yang meliputi: produk, harga, promosi, dan distribusi.

2.3. Merek

Definisi merek menurut Asosiasi Pemasaran Amerika (Kotler; 2003) adalah suatu nama, simbol, tanda, atau desain atau kombinasi diantaranya, dan ditujukan untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari seorang penjual atau kelompok penjual dan untuk membedakannya dari para pesaingnya.

(7)

Kotler menambahkan bahwa suatu merek adalah suatu simbol yang komplek yang menjelaskan 6 (enam) tingkatan pengertian, yaitu:

- Atribut produk

Merek memberikan ingatan pada atribut-atribut tertentu dari suatu produk, misalnya jika kita mendengar merek Nutrisari, tentunya kita teringat akan minuman rasa jeruk.

- Manfaat

Atribut-atribut produk yang dapat diingat melalui merek harus dapat diterjemahkan dalam bentuk manfaat baik secara fungsional dan manfaat secara emosional, misalnya atribut kekuatan kemasan produk menterjemahkan manfaat secara fungsional dan atribut harga produk menterjemahkan manfaat secara emosional yang berhubungan dengan harga diri dan status.

- Nilai

Merek mencerminkan nilai yang dimiliki oleh produsen sebuah produk, misalnya merek Sony mencerminkan produsen elektronik yang memiliki teknologi yang canggih dan modern.

- Budaya

Merek mempresentasikan suatu budaya tertentu, misalnya Mercedes mempresentasikan budaya Jerman yang teratur, efisien, dan berkualitas tinggi. - Kepribadian

Merek dapat diproyeksikan pada suatu kepribadian tertentu, misalnya Isuzu Panther yang diasosikan dengan kepribadian binatang panther yang kuat (mesin kuat dan tahan lama).

(8)

- Pengguna

Merek mengelompokkan tipe-tipe konsumen yang akan membeli atau mengkonsumsi suatu produk, misalnya Honda Jazz untuk konsumen remaja dan pemuda.

2.3.1. Identitas Merek

Identitas suatu merek adalah pesan yang disampaikan oleh suatu merek melalui bentuk tampilan produk, nama, simbol, iklan, dsb. Identitas merek berkaitan erat dengan citra merek (brand image) karena citra merek merujuk pada bagaimana persepsi konsumen akan suatu merek.

Fakta di lapangan adalah seringkali dijumpai bahwa ada perbedaan persepsi antara pesan yang hendak disampaikan oleh pemasar dengan pesan yang diterima oleh konsumen Disinilah letak tantangan seorang pemasar di dalam merencanakan pesan sebuah merek yang hendak dikomunikasikan kepada target pasar yang hendak dituju.

Konsep piramida merek diperkenalkan oleh Kapfferer (1994), dimana piramida tersebut terdiri dari tiga lapis tingkatan. Lapisan pertama adalah brand core, yaitu hal fundamental atau kode genetik dari intisari sebuah merek, dimana sifatnya tetap di sepanjang waktu. Lapisan tengah adalah brand style, yaitu lapisan yang menyampaikan brand core. Brand style meliputi: hal nilai budaya yang disampaikan,misalnya budaya western; kepribadian merek,misalnya percaya diri; dan citra atau proyeksi dari merek itu sendiri, misalnya profesional.

(9)

Gambar 2.1 Identitas Merek dan Piramida Merek Sumber :Kapfferer J N.,1994 Strategic Brand Management, Free Press, New York

Sedangkan lapisan terakhir dalam piramida adalah brand themes, yaitu cara bagaimana suatu merek dikomunikasikan melalui iklan, publikasi, kemasan, dsb. Tema sebuah merek terdiri dari tampilan fisik dari suatu produk seperti warna, logo, dan kemasan; refleksi dari merek, misalnya endoserser iklan; dan hubungan yang diekspresikan, misalnya glamor, bersahabat.

Dengan mengerti dan memahami konsep piramida merek akan membantu pemasar dalam menciptakan, merencanakan, memelihara, mengembangkan, serta mengkomunikasikan identitas merek produk atau perusahaan.

Brand Core  Brand Style  Brand Themes  Culture Personality Self Image Physical Reflection

(10)

2.3.2. Brand Equity

Kotler dan Amstrong (2004) mendefinisikan brand equity sebagai efek pembeda positif dari respon konsumen atas suatu barang dan jasa sebagai akibat dari pengetahuan konsumen atas nama merek dari barang dan jasa tersebut.

Hasil suatu studi konsumen di Amerika menyatakan bahwa 72 persen dari konsumen akan membayar harga premium sebesar 20 persen lebih tinggi terhadap merek yang dipilihnya dibandingkan dengan harga dari merek-merek pesaing produk yang dipilihnya. Dari hasil penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa sebuah produk yang memiliki ekuitas merek yang tinggi memberikan keunggulan kompetitif untuk dapat bertahan, bersaing dan bahkan menjadi market leader dalam era hypercompetition.

2.3.2.1.Strategi Pengembangan Merek

Dalam usaha untuk mengembangkan merek, perusahaan memiliki empat pilihan alternatif. Alternatif-alternatif tersebut nantinya akan membawa perusahaan dalam menentukan strategi pemasaran yang tepat untuk produknya, dan pengembangan seperti apa yang bisa dilakukan oleh produk tersebut dimasa yang akan datang. Alternati-alternatif dalam upaya strategi pengembangan merek suatu produk yang dihasilkan oleh perusahaan dimasa yang akan datang dapat dilihat seperti dalam gambar 2.2.

(11)

Gambar 2.2 Strategi Pengembangan Merek Sumber : Kotler P & Amstrong G., 2004 “Principle of Marketing”, 10th edition /

International Edition, Prentice Hall, New Jersey

Berikut penjelasan gambar 2.2 tentang strategi pengembangan merek: - Line Extension / Perluasan Lini Produk

Strategi pengembangan merek ini menggunakan nama merek yang sudah dikenal oleh konsumen untuk memperkenalkan tambahan variasi seperti rasa baru, warna, ukuran kemasan, dsb pada suatu kategori produk dengan menggunakan nama merek yang sama.

- Brand Extension / Perluasan Merek

Strategi pengembangan merek ini menggunakan nama merek yang sudah dikenal oleh konsumen untuk meluncurkan produk baru atau produk modifikasi pada kategori produk yang baru.

Product Category  Brand  Name  Existing  New  Existing  New  Line 

Extension  Extension Brand 

Multibrand

(12)

- Multibrand / Banyak Merek

Strategi pengembangan merek ini meluncurkan banyak merek pada satu macam kategori produk yang sama.

- New Brand / Merek Baru

Strategi pengembangan merek ini menggunakan merek yang benar – benar baru untuk peluncuran produk baru perusahaan.

2.3.3. Brand Awareness

Menurut Aaker (1991) adalah “Brand awareness is the ability of a potential buyer to recognize or recall that a brand is a member of a certain product category.” Tingkat brand awareness menurut Aaker (1996) dibagi menjadi empat yaitu top of mind, brand recall, brand recognition, dan unaware of brand. Hal tersebut digambarkan pada piramida dibawah ini :

Top of mind

Brand Recall

Brand Recognition

Unaware of Brand

Gambar 2.3 Piramida Brand Awareness

Sumber: Aaker, D.A.,(1991), Managing Brand Equity: Capitalizing on The Value of A Brand Name. United States of America: The Free Press, p.62.

(13)

Masing-masing tingkat dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Top of Mind (TOM), merupakan brand yang berada di peringkat atas dalam benak konsumen secara umum. Hal yang sama berlaku pula untuk advertising. Persoalan TOM memang kurang ada hubungannya dengan kinerja perusahaan. Namun jika menempati posisi TOM, perusahaan dapat menikmati keuntungan untuk menikmatinya beberapa lama karena sangat sulit mengubah persepsi orang. Oleh karenanya, posisi tersebut perlu dipertahankan dengan keras. Tidak saja melalui iklan dan promosi tetapi juga lewat peluncuran produk baru yang memperkuat brand positioning.

2. Brand Recall, merupakan daftar brand yang yang ada dalam benak konsumen untuk kategori produk sejenis.

3. Brand Recognition, merupakan brand yang baru kemudian diingat konsumen setelah konsumen tersebut dibantu (brand disebutkan/aided recall).

4. Brand Unawareness/brand unrecognized, merupakan brand yang tidak ada dalam ingatan konsumen bahkan setelah dilakukan aided recall.

2.3.4. Brand Identity

Selain harus menggabungkan unsur-unsur daya tarik, baik dari segi fungsional maupun emosional, sebuah brand yang kuat harus mempunyai identity yang jelas, yang dapat diidentifikasikan oleh konsumennya untuk membedakannya dari produk pesaing yang sejenis, seperti dikatakan Joachimsthaler dan Aaker (2000): “The identity of the brand—the concept from the brand owner’s perspective—is the foundation of any good brand-building program.”

(14)

“Brand identity is a unique set of brand association that the brand strategist aspires to create or maintain. These associations represent what the brand stands for and imply a promise to customers from the organization members.” (Aaker, 1996).

Berdasarkan definisi di atas brand identity mencerminkan sejumlah asosiasi yang ingin dikaitkan pemasar kepada brand yang dihasilkannya termasuk di dalamnya terkandung janji kepada konsumennya. Temporal dan Davies (BRANDING ASIA.com, 14 Mei 2007) menyatakan “Brand identity is the total proposition that a company makes to consumers - the promise it makes”. Jadi brand identity adalah suatu janji produsen kepada konsumennya.

Brand identity ini dapat terdiri dari features dan attribute, benefits, performance, quality, service support, dan nilai yang dimiliki merek tersebut. Suatu merek dapat dilihat konsumen sebagai sebuah produk, kepribadian, sekumpulan nilai, dan sebuah posisi yang ada di benak konsumen. Jadi, suatu brand supaya menjadi kuat, maka konsumen harus bisa mengasosiasikan brand dengan sesuatu yang dikehendaki oleh pemasar dimana sesuatu itu berlaku juga sebagai janji pemasar kepada pembeli merek tersebut.

Brand identity ini harus dikomunikasikan kepada konsumen melalui brand position agar konsumen dapat menangkap apa arti sebuah merek yang diinginkan pemasar sehingga brand building suatu produk dapat dilaksanakan dengan efektif (Aaker & Joachimsthaler, 2000). Untuk itu pemasar juga perlu untuk memastikan bahwa brand identity yang diciptakannya tertanam dengan baik dalam pikiran konsumen sasarannya.

(15)

2.3.5 Brand Position

Rise & Trout (2002) berpendapat bahwa: “Positioning bukanlah sesuatu yang Anda lakukan pada produk. Positioning adalah sesuatu yang Anda lakukan pada pikiran calon konsumen”. Selain itu Kotler (2003) berpendapat bahwa: “Positioning is the act of designing the company’s offering and image to occupy a distinctive place in the target market’s mind.” Jadi positioning berhubungan dengan bagaimana memperoleh posisi yang jelas dan mengandung arti dalam pikiran konsumen di antara ramainya persaingan.

Positioning merupakan strategi komunikasi yang menjembatani produk/merek dengan calon konsumen. Komunikasi ini berhubungan dengan atribut-atribut yang secara fisik melekat pada produk, diantaranya adalah warna, desain, tulisan, kemasan, maupun nama brand. Selain itu komunikasi ini juga meliputi citra (image) yang hendak ditanamkan melalui model iklan (endorser), pemilihan media, berbagai bentuk sponsorship hingga ke sekelompok armada penjualan (Aaker & Joachimsthaler, 2000).

Aaker (1996) mendefinisikan brand position sebagai: “Brand position is the part of the brand identity and value proposition that is to be actively communicated to the target audience and that demonstrates an advantage over completing brands.”

Berdasarkan definisi secara umum, positioning adalah bagaimana pemasar menempati produk dalam pikiran calon konsumennya. Hal ini berarti pemasar harus memposisikan brand-nya secara tepat dalam pikiran calon konsumennya dengan menyampaikan brand identity seperti yang diinginkan oleh pemasar dan

(16)

menempatkan semua nilai yang ditawarkan lebih daripada yang ditawarkan oleh pesaingnya secara konsisten sehingga merek kita selalu diingat oleh konsumen (Aaker & Joachimsthaler, 2000).

Brand position merupakan suatu tahap penting dalam menciptakan brand image dalam pikiran konsumen, karena semakin tepat suatu merek diposisikan dalam pikiran konsumen, merek tersebut akan menjadi semakin kompetitif. Jadi pemasar dapat membangun kredibilitas mereknya dalam jangka panjang dan mendapatkan kepercayaan dari konsumen yang kemudian membuat konsumen lebih memilih merek yang dihasilkan oleh pemasar dibandingkan brand pesaing (Aaker, 1996).

2.3.6. Brand Perceived Quality

Perceived quality dapat didefinisikan sebagai persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan berkaitan dengan apa yang diharapkan oleh pelanggan. Karena perceived quality merupakan persepsi dari pelanggan maka perceived qualitytidak dapat ditentukan secara objektif. Persepsi pelanggan akan melibatkan apa yang penting bagi pelanggan karena setiap pelanggan memiliki kepentingan (yang diukur secara relatif) yang berbeda-beda terhadap suatu produk atau jasa.

2.3.6.1.Dimensi Percieved Quality

Dimensi-dimensi untuk konteks jasa serupa tetapi tak sama dengan dimensi konteks produk. Pada umumnya yang sering digunakan sebagai dimensi pada konteks jasa adalah : kompetensi, keandalan, tanggung jawab, dan empati. Berbagai dimensi ini menjadi inti dalam interaksi antara pelanggan dan pemasar bidang jasa.

(17)

2.3.7. Brand Loyalty

Brand Loyalty (loyalitas merek) merupakan suatu ukuran keterkaitan pelanggan kepada sebuah merek. Ukuran ini mampu memberikan gambaran tentang mungkin tidaknya seorang pelanggan beralih ke merek lain, terutama jika merek tersebut didapati adanya perubahan, baik menyangkut harga maupun atribut lainnya.

2.3.7.1.Fungsi Brand Loyalty

Beberapa fungsi yang dapat diberikan oleh brand loyalty adalah : o Mengurangi biaya pemasaran

Dalam kaitannya dengan biaya pemasaran, akan lebih mudah untuk mempertahankan pelanggan lama dari pada mendapatkan pelanggan baru.

o Meningkat perdagangan

Loyalitas yang kuat terhadap suatu merek akan menghasilkan peningkatan perdagangan dan memperkuat keyakinan perantara pemasaran.

o Menarik minat pelanggan baru

Dengan banyaknya pelanggan suatu merek yang merasa puas dan suka pada merek tersebut akan menimbulkan perasaan yakin bagi calon pelanggan untuk mengkonsumsi/menggunakan merek tersebut terutama jika pembelian yang mereka lakukanmengandung resiko tinggi.

o Memberikan waktu untuk merespon ancaman persaingan

Brand loyalty akan memberikan waktu kepada sebuah perusahaan untuk merespon gerakan pesaing, jika pesaing mengembangkan produk/jasa yang unggul, pelanggan yang loyal akan memberikan waktu pada perusahaan tersebut

(18)

untuk memperbaharui produknya dengan cara menyesuaikan atau menetralisasikannya.

2.3.7.2.Tingkatan Brand Loyalty

Dalam kaitannya dengan brand loyalty suatu produk, didapati adanya beberapa tingkatan brand loyalty. Masing-masing tingkatannya menunjukkan tantangan pemasaran yang harus dihadapi sekaligus aset yang dapat dimanfaatkan. Adapun tingkatan dari brand loyalty tersebut adalah sebagai berikut :

1. Switcher (berpindah-pindah)

Pelanggan yang berada pada tingkat loyalitas ini dikatakan sebagai pelanggan yang berada pada tingkat yang paling dasar. Semakin tinggi frekuensi pelanggan untuk memindahkan pembeliannya dari suatu merek ke merek-merek yang lain mengindikasikan mereka sebagai pembeli yang sama sekali tidak loyal atau tidak tertarik pada merek tersebut. Pada tingkatan ini merek apa pun mereka anggap memadai serta memegang peranan yang sangat kecil dalam keputusan pembelian. Ciri yang paling nampak dari jenis pelanggan ini adalah mereka membeli suatu produk karena harganya murah.

2. Habitual buyer (pembeli yang bersifat kebiasaan)

Pembeli yang berada dalam tingkat loyalitas ini dapat dikategorikan sebagai pembeli yang puas dengan produk yang mereka dikonsumsikan atau setidaknya mereka tidak mengalami ketidakpuasan dalam mengkonsumsi merek produk tersebut. Pada tingkatan ini pada dasarnya tidak didapati alasan yang cukup untuk menciptakan keinginan untuk membeli produk yang lain atau berpindah merek

(19)

terutama jika peralihan tersebut memerlukan usaha, biaya maupun berbagai pengorbanan lain. Dapat disimpulkan bahwa pembeli ini dalam membeli suatu merek didasarkan atas kebiasaan mereka selama ini.

3. Satisfied buyer (pembeli yang puas dengan biaya peralihan)

Pada tingkatan ini, pembeli merek masuk dalam kategori puas bila mereka mengkonsumsi merek tersebut, meskipun demikian mungkin saja mereka memindahkan pembeliannya ke merek lain dengan menanggung switching cost (biaya peralihan) yang terkait dengan waktu, uang, atau resiko kinerja yang melekat dengan tindakan mereka beralih merek. Untuk dapat menarik minat para pembeli yang masuk dalam tingkat loyalitas ini maka para pesaing perlu mengatasi biaya peralihan yang harus ditanggung oleh pembeli yang masuk dalam kategori ini dengan menawarkan berbagai manfaat yang cukup besar sebagai kompensasinya (switching cost loyal).

4. Likes the brand (menyukai merek)

Pembeli yang masuk dalam kategori loyalitas ini merupakan pembeli yang sungguh-sungguh menyukai merek tersebut.Pada tingkatan ini dijumpai perasaan emosional yang terkait pada merek. Rasa suka pembeli bisa saja didasari oleh asosiasi yang terkait dengan simbol, rangkaian pengalaman dalam penggunaan sebelumnya baik yang dialami pribadi maupun oleh kerabatnya ataupun disebabkan oleh perceived quality yang tinggi. Meskipun demikian sering kali rasa suka ini merupakan suatu perasaan yang sulit diidentifikasi dan ditelusuri dengan cermat untuk dikategorikan ke dalam sesuatu yang spesifik.

(20)

5. Comitted buyer (pembeli yang komit)

Pada tahapan ini pembeli merupakan pelanggan yang setia. Mereka memiliki suatu kebanggaan sebagai pengguna suatu mereka dan bahkan merek tersebut menjadi sangat penting bagi mereka dipandang dari segi fungsinya maupun sebagai suatu ekspresi mengenai siapa sebenarnya mereka. Pada tingkatan ini, salah satu aktualisasi loyalitas pembeli ditunjukkan oleh tindakan merekomendasikan dan mempromosikan merek tersebut kepada pihak lain.

Tiap tingkatan brand loyalty mewakili tantangan pemasaran yang berbeda dan juga mewakili tipe aset yang berbeda dalam pengelolaan dan eksploitasinya. Tampilan piramida brand loyalty yang umum adalah sebagai berikut :

Gambar 2.4 Piramida Brand Loyalty Sumber : Aaker, 1996

(21)

Dari piramida loyalitas tersebut terlihat bahwa bagi merek yang belum memiliki brand equity yang kuat, porsi tersebesar dari konsumennya berada para tingkatan switcher.Selanjutnya, porsi terbesar kedua ditempati oleh konsumen yang berada pada taraf habitual buyer, dst.,hingga porsi terkecil ditempati oleh committed buyer. Meskipun demikian bagi merek yang memiliki brand equity yang kuat, tingkatan dalam brand loyalty-nya diharapkan membentuk segitiga terbalik. Kasusnya makin keatas makin melebar sehingga diperoleh jumlah committed buyer yang lebih besar dari pada switcher seperti tampak pada gambar berikut :

Gambar 2.5 Piramida Brand Loyalty Terbalik Sumber : Aaker, 1996 Committed buyer Liking the brand Satisfied Buyer Habitual Buyer Switcher

Gambar

Gambar 2.1  Identitas Merek dan Piramida Merek  Sumber :Kapfferer J N.,1994 Strategic Brand Management, Free Press, New York
Gambar 2.2  Strategi Pengembangan Merek  Sumber : Kotler P & Amstrong G., 2004 “Principle of Marketing”, 10 th  edition /
Gambar 2.3  Piramida Brand Awareness
Gambar 2.4  Piramida Brand Loyalty  Sumber : Aaker, 1996
+2

Referensi

Dokumen terkait

mempengaruhi bagaimana mereka mempersepsikan mengenai model pembelajaran blended learning yang mereka jalankan, yang mana persepsi didefinisikan oleh Atkinson (2000)

Aspek yang direvisi dan disempurnakan berdasarkan analisis data dan uji coba serta masukan dari ahli materi, ahli desain pembelajaran, dan ahli media pembelajaran dan

Bintoro (2008) menyatakan bahwa mineral yang banyak diperhatikan dalam daging adalah kalsium, phosphorus, sodium, potasium dan besi. Kandungan mineral dalam otot

Apabila dari hasil uji normalitas data terdistribusi normal maka uji statistik yang digunakan yaitu uji t-test, sedangkan hasil uji normalitas data terdistribusi tidak

✓ V : Vital, obat-obatan yang harus ada dan penting untuk kelangsungan hidup, yang masuk golongan obat-obat ini adalah obat penyelamat (life saving drug), obat-obatan untuk

Bank sentral Eropa (ECB) sudah melakukan pembelian surat berharga (obligasi) sebesar EUR60miliar per bulan sejak Maret 2015 dan mempertahankan suku bunga deposito

No Jam Nama mata Kuliah jml Prodi Dosen Ruang.. 1 O8.OO Speaking II 3 PBI Agustinus

Rasio KPMM dan BOPO tidak berpengaruh terhadap tingkat predikat BPR yang berarti sejalan dengan Widiharto (2008) yang menyatakan bahwa rasio KPMM dan BOPO tidak memiliki