• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. hampir sepuluh juta kematian terjadi setiap tahunnya pada anak-anak yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. hampir sepuluh juta kematian terjadi setiap tahunnya pada anak-anak yang"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di negara berkembang, angka kematian bayi dan anak masih tinggi, hampir sepuluh juta kematian terjadi setiap tahunnya pada anak-anak yang berumur di bawah lima tahun. Kebanyakan kematian disebabkan oleh penyakit-penyakit yang umum diderita oleh anak-anak yang sebenarnya dapat dicegah dan diobati. Secara umum, penyebab kematian tersebut adalah lima kasus primer utama, yaitu: penyakit pneumonia, diare, malaria, campak dan kekurangan gizi.

World Health Organization (WHO) mencatat sekitar 44% dari kematian

balita pada tahun 2012 terjadi pada 28 hari pertama kehidupan. Kejadian kematian bayi pada umur muda, khususnya yang umur satu hari sampai dua bulan, relatif lebih tinggi dari umur yang lebih tua, baik pada kondisi tanpa penyulit maupun dengan penyulit, dan 78,5% kematian terjadi pada minggu pertama kehidupan.

Sekitar 36% dari kematian balita di Indonesia disebabkan oleh masalah bayi baru lahir/neonatal (asfiksia, berat badan lahir rendah (BBLR), kelahiran prematur, infeksi bayi baru lahir) diikuti dengan diare 23%, pneumonia 17%, malaria 1% (di beberapa daerah, gizi kurang pada masa kehamilan dan kanak kanak merupakan penyumbang jumlah kesakitan lebih dari sepertiga kematian secara global (UNICEF, 2010).

Selain itu, kematian bayi selama masa neonatal juga disebabkan oleh prematuritas (35,2%), komplikasi berhubungan dengan intrapartal (23,9%) dan

(2)

sepsis (15,2%). Angka kelahiran prematur di Indonesia menempati posisi sembilan dari sepuluh negara, atau setara dengan 15,5% per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2010. Selain prematur, penyebab kematian pada bayi dan neonatal terbanyak di Indonesia adalah bayi BBLR. BBLR dapat menyebabkan komplikasi pada bayi dan neonatal, seperti asfiksia, ikterus, hipotermia, tetanus neonatorum, infeksi/sepsis, trauma lahir, sindroma gangguan pernafasan, dan kelainan kongenital (Kemenkes RI, 2013).

Kasus lain yang menyebabkan kematian balita adalah pneumonia, yaitu sebesar 14% (WHO, 2013). Pada tahun 2011, dilaporkan 1,3 juta anak meninggal karena pneumonia. Selain itu, lebih dari 99% kematian karena pneumonia terjadi di negara-negara berkembang (WHO, 2012), sedangkan Indonesia merupakan negara urutan keenam dari 15 negara tertinggi dengan kasus pneumonia. Perkiraan insiden pneumonia baru di Indonesia sebesar enam juta per tahun. Selain pneumonia, kematian anak di Indonesia disebabkan oleh demam. Satu dari tiga anak balita menderita demam (demam yang mungkin disebabkan oleh malaria, infeksi saluran pernafasan akut, demam berdarah dengue (DBD) dan lainnya). Berdasarkan profil kesehatan Indonesia tahun 2010, terlihat bahwa pola penyakit terbanyak kedua pasien dirawat inap di semua wilayah Indonesia adalah DBD (Depkes RI, 2010).

Data Kementerian Kesehatan tahun 2017 menunjukkan bahwa angka kematian bayi dan ibu sudah mulai mengalami penurunan sejak 2015 hingga semester pertama 2017. Jumlah kasus kematian bayi turun dari 33,278 kasus pada tahun 2015 menjadi 32.007 kasus pada 2016. Sementara, semester satu 2017 tercatat sebanyak 10,294 kasus kematian bayi. Demikian pula dengan

(3)

angka kematian ibu turun dari 4,999 kasus pada tahun 2015 menjadi 4,912 kasus di tahun 2016. Sementara hingga semester satu tahun 2017 menjadi 1,712 kasus kematian ibu. Namun, tujuan dari sustainable development goals (SDGs) pada tahun 2030 masih terasa sulit untuk dapat dicapai karena target untuk angka kematian ibu 70/100.000 kelahiran hidup, angka kematian neonatal 12/1.000 kelahiran hidup dan angka kematian balita 25/1.000 kelahiran hidup.

Dari semua permasalah di atas, pelayanan yang berkualitas terhadap ibu dan anak di semua tatanan pelayanan kesehatan merupakan tantangan yang serius. Tenaga kesehatan harus dapat menangani semua permasalah pada ibu dan anak secara tepat dan cepat. Pengetahuan petugas kesehatan yang cukup terkait dengan tatalaksana balita sakit dan pemberdayaan masyarakat untuk melakukan asuhan neonatal esensial serta deteksi dini masalah kesehatan pada ibu dan anak menjadi faktor yang penting.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan di bidang kesehatan untuk menurunkan angka kematian bayi dan balita, serta meminimalkan angka kesakitan anak adalah dengan program manajemen terpadu balita sakit (MTBS). Pelaksanaan MTBS, selain menangani masalah yang berkaitan dengan balita sakit, juga menangani bayi muda yang disebut dengan manajemen terpadu bayi muda (MTBM). MTBM singkatan dari manajemen terpadu bayi muda atau

integrated management of young infant (IMYI), merupakan bagian dari MTBS,

yaitu suatu pendekatan yang terintegrasi atau terpadu dalam tatalaksana bayi muda yang sehat maupun yang sakit dengan fokus kepada kesehatan bayi usia kurang dari dua bulan (bayi muda) secara menyeluruh.

(4)

Langkah pendekatan pada MTBM adalah dengan menggunakan algoritma sederhana yang digunakan oleh dokter dan perawat serta bidan untuk mengatasi masalah kesakitan dan kelainan pada bayi muda. Namun, pada kenyataannya, pelaksanaan MTBM juga tidak berjalan dengan optimal. Hal ini dikarenakan berbagai faktor, seperti kurangnya tenaga kesehatan yang menjalankan MTBM, yang disebabkan oleh banyaknya kegiatan lain yang juga harus dilakukan tenaga kesehatan di puskesmas. Kurangnya sarana dan prasarana seperti penyediaan form pencatatan MTBM. Faktor lain yang juga menjadi kendala di lapangan adalah belum optimalnya supervisi pelaksanaan MTBM yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di puskesmas.

Permasalahan di atas dibuktikan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hidayati dkk. (2011) tentang pelayanan puskesmas berbasis manajemen terpadu balita sakit di wilayah kerja puskesmas Kabupaten Semarang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian pneumonia adalah tata laksana pelayanan puskesmas dan sarana pendukung MBTS. Demikian juga dengan penelitian Husni dkk. (2012) di Makassar menunjukkan bahwa gambaran komponen input, proses dan output yang sesuai dengan standar MTBS masih dirasakan kurang yaitu hanya sebesar 16,7%. Aspek input menunjukkan hasil yang belum baik dilihat dari ketersediaan SDM, sarana dan dana yang belum diprioritaskan oleh puskesmas. Aspek proses belum sesuai dengan pedoman MTBS yang telah ditetapkan oleh Kementrian Kesehatan, dan aspek output belum memenuhi kriteria menggunakan MTBS pada minimal 60% dari jumlah kunjungan balita sakit di puskesmas.

(5)

Berdasarkan permasalah di atas, pelaksanaan komponen ke tiga MTBS yaitu meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam pelayanan kesehatan dengan cara memperbaiki praktik kesehatan di keluarga dan masyarakat dalam perawatan kesehatan di rumah dan upaya pencarian pertolongan kasus balita sakit menjadi penting.

Hasil survei data demografi tahun 2007 yang dilakukan di Rwanda menunjukkan bahwa 110 anak-anak berusia rata-rata di bawah lima tahun meninggal setiap hari. Seperti kebanyakan negara-negara Afrika, Rwanda mengadopsi MTBS yang dikembangkan oleh WHO dan UNICEF pada tahun 1995, pendekatan holistik untuk penyakit masa kanak-kanak yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan tenaga kesehatan, memperkuat sistem kesehatan di masyarakat dan praktik keluarga untuk menyelesaikan permasalahan yang berhubungan dengan penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak di bawah lima tahun di rangkaian sumber daya terbatas.

Strategi MTBS yang dilaksanakan di Rwanda adalah fokus pada tingkat sarana dan fasilitas kesehatan (facility MTBS) dan di tingkat masyarakat (MTBS-M atau manajemen kasus komunitas). Pelaksanaan strategi MTBS efektif dimulai pada tahun 2006 dengan melakukan pelatihan pada kader kesehatan. Dari hasil evaluasi penampilan kader tentang manajemen kasus di masyarakat tentang pelaksanaan MTBS-M pada 29 kabupaten dari 30 kabupaten yang ada, didapatkan hasil adanya penurunan secara signifikan angka kesakitan dan kematian pada bayi dan balita di Rwanda Afrika tengah pada tahun 2009.

(6)

Hasil evaluasi di atas menunjukkan besarnya pengaruh partisipasi masyarakat dalam menurunkan angka kematian bayi dan neonatal. Menurut WHO dan UNICEF, 80% kematian balita terjadi di rumah (dengan sedikit atau tanpa adanya kontak dengan petugas kesehatan). Kegiatan MTBS-M mengupayakan adanya hubungan (link) antara petugas kesehatan dan masyarakat, dengan tujuan mendukung dan meningkatkan praktik-praktik di masyarakat dalam perawatan balita di rumah. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat dalam pelaksanaan MTBS-M sangat diperlukan, salah satunya melalui pemanfaatan kader tentang MTBM. Kader juga dapat berperan dalam pembinaan keluarga dan masyarakat di bidang kesehatan, terutama masalah yang berhubungan dengan kesehatan ibu dan anak di Indonesia.

Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan peran kader di masyarakat dalam melaksanakan program MTBS-M adalah melalui pelatihan. Pelatihan menjadi faktor penentu dalam mengembangkan sumber daya manusia terbatas (dalam hal ini adalah kader yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan kesehatan) menjadi syarat berjalannya sebuah program pemerintah. Pelatihan dapat mengubah perilaku seseorang (pengetahuan, sikap dan keterampilan) agar dapat bekerja lebih baik dan efektif. Ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wijaya (2014) tentang pengembangan model pelatihan partisipatif berbasis gender dalam meningkatkan kompetensi kader tentang kesehatan ibu dan anak di Bandung. Hasil yang didapatkan adanya perubahan kader dalam meningkatkan kompetensi tentang kesehatan ibu dan anak setelah mengikuti pelatihan partisipatif berbasis gender.

(7)

Di dalam Peraturan Menteri Kesehatan tahun 2013 disebutkan bahwa program pelatihan tatalaksana balita sakit di masyarakat dapat diawali dengan pelatihan fasilitator ditingkat puskesmas, sehingga fasilitator diharapkan mampu melakukan pelatihan terhadap kader pelaksana MTBS-M ditingkat desa. Tujuan pelatihan bagi kader pelaksana MTBS-M adalah agar kader mempunyai keterampilan memberikan pelayanan atau perawatan dasar kepada bayi muda di desa sesuai dengan SOP/algoritma/bagan klasifikasi MTBS-M yang sudah dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan dan situasi setempat.

Proses pelatihan disusun berdasarkan kompetensi yang harus dicapai oleh peserta latih. Calon kader pelaksana MTBS-M dilatih oleh fasilitator MTBS-M yang telah dilatih terlebih dahulu. Adapun kompetensi yang diharapkan bukan hanya mengetahui materi MTBS, tetapi juga mampu mengomunikasikan materi MTBS, sehingga kader memiliki pengetahuan, sikap dan keterampilan yang baik untuk dapat memberikan pelayanan pada balita sesuai dengan standar.

Untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan sumber daya manusia khususnya kader kesehatan, dibutuhkan pengembangan model pelatihan yang efektif, efisien dan berkelanjutan. Model pelatihan partisipatif merupakan sebuah proses pembelajaran dengan cara penggalangan peran serta semua pihak yang dibutuhkan. Masyarakat, khususnya kader, dilibatkan sejak mulai tahap perencanaan, tahap pelaksanaan sampai tahap evaluasi. Hal ini dilakukan agar kader memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap keberhasilan pelatihan dan keberlanjutan program. Penelitian yang dilakukan oleh Supadmi (2000) tentang pengaruh pelatihan partisipatif dalam meningkatkan kinerja bidan terhadap pelayanan antenatal di Kotamadya

(8)

Surakarta membuktikan adanya peningkatan pengetahuan dan ketrampilan bidan tentang pelayanan antenatal yang mengikuti pelatihan partisipatif lebih baik dibandingkan dengan non partisipatif.

Inisiasi pendekatan MTBS-M sudah diperkenalkan di Indonesia tahun 2011-2012 oleh Mercy corp yang bermitra dengan UNICEF. Inisiasi intervensi awal dilaksanakan di Brebes Jawa Tengah dan Buru Ambon Maluku, melalui intervensi 50 desa MTBS-M yang dikenal dengan program REACH (reaching

for equity and acces in child health) yang bertujuan untuk meningkatkan akses

kesehatan anak bagi masyarakat yang belum terlayani.

Hasil survei baseline Program Reaching for Equity and Access in Child

Health (REACH) di empat kabupaten di Indonesia tahun 2011 (Kabupaten

Jayawijaya, Kabupaten Buru, Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Kabupaten Brebes) menunjukkan cakupan pemberian hanya ASI saja dalam 24 jam terakhir pada bayi usia 0-6 bulan adalah sebesar 52.2%, tetapi cakupan ini menurun tajam menjadi 13.2% jika pemberian hanya ASI saja ditambah dengan melakukan IMD dan memberikan kolostrum. Balita yang menderita diare dalam dua minggu terakhir adalah 13.75% dan yang mendapatkan pengobatan hanya oralit 57.7%, hanya zink 10.45% dan mendapatkan oralit ditambah zink sebesar 2.75%. Sementara itu, cakupan balita pneumonia yang mendapatkan antibiotika sebesar 22.15%.

Kementrian Kesehatan RI telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 70 Tahun 2013 tentang penyelenggaraan MTBS berbasis masyarakat yang disingkat dengan MTBS-M. Kementrian Kesehatan Indonesia juga telah melakukan uji coba program MTBS-M di

(9)

Jayawijaya, Papua. Pemilihan Jayawijaya sebagai tempat uji coba karena angka kematian balita di daerah ini merupakan salah satu yang tertinggi di Indonesia. Uji coba ini dilakukan juga sebagai salah satu solusi untuk meningkatkan akses masyarakat ke layanan kesehatan dasar di wilayah sulit, karena keterbatasan tenaga kesehatan, kendala budaya, kendala geografis dan musim serta kendala transportasi.

Pelaksanaan uji coba MTBS-M di 15 desa yang ada di Jayawijaya dilakukan pada tahun 2012 sampai 2014. Kegiatan dilakukan dengan sosialisasi pendekatan MTBS-M dan supervisi dari tenaga kesehatan. Pada tahun 2014 dilakukan pelatihan MTBS pada 19 tenaga kesehatan dan penyegaran 48 kader MTBS-M. Tahun 2015 pelatihan 20 kader MTBS-M promotif. Intervensi utama yang masuk ke dalam paket MTBS-M uji coba di Jayawijaya adalah pemberian kotrimoksazol untuk pneumonia dan disentri, pemberian oralit dan zink untuk diare, perawatan tali pusat bayi baru lahir, inisiasi menyusu dini, dan perawatan mentode kangguru untuk bayi berat badan lahir rendah.

Hasil evaluasi tentang efektivitas program MTBS-M untuk menurunkan kasus kematian bayi dan balita di desa intervensi menunjukkan secara keseluruhan sudah ada 59 kader terlatih MTBS-M pada tahun 2015 yang tersebar di 25 desa di Kabupaten Jayawijaya. Kader tersebut bisa memberikan terapi terhadap anak balita yang sakit. Sudah ada 20 supervisor terlatih sebagai

supervisor pendamping teknis dan pengawas pelayanan kader di tingkat

puskesmas dan tujuh fasilitator terlatih MTBS yang terlibat sebagai fasilitator dan pengawas pelayanan program MTBS-M. Berdasarkan data pelayanan kader sepanjang bulan Januari – September 2014, sudah lebih 2.000 kasus balita sakit

(10)

ditangani dengan pendekatan MTBS-M. Hasil perbandingan dua desa yang kader melakukan tatalaksana kasus diare dan pneumonia terbanyak menunjukkan tidak ditemukan kasus kematian balita. Sebaliknya, di desa yang tidak ada kader terlatih ditemukan lima balita yang meninggal karena batuk dengan nafas cepat (pneumonia) (Laporan WVI, 2015)

Selain Jayawijaya, program MTBS-M juga akan diujicoba pada enam kabupaten di empat provinsi yang ada di Indonesia, yaitu: Aceh, Papua Barat, Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Timur. Untuk uji coba yang dilaksanakan di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, pelaksanaan MTBS-M sudah pada tahap perencanaan pelatihan, sedangkan provinsi uji coba MTBS-M yang lain masih pada tahap sosialisasi, termasuk Provinsi Aceh.

Musibah gempa tektonik yang berkekuatan 8,9 SR (US Geogical Survey) yang diikuti dengan gelombang tsunami yang melanda Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 merupakan awal pelaksanaan MTBS di Aceh. Tim MTBS telah melaksanakan pelatihan kepada 31 puskesmas yang ada di tiga kabupaten yang ada di Aceh, yaitu: Aceh Barat, Aceh Jaya dan Nagan Raya. Pelatihan MTBS berbasis rumah sakit, yaitu di Rumah Sakit Cut Nyak Dhien Melaboh, merupakan aplikasi untuk pertama kali diperkenalkan di Indonesia (Haryanti, 2010).

Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Aceh menunjukkan bahwa semua kabupaten di Aceh sudah mendapatkan pelatihan MTBS bagi tenaga kesehatan, baik pelatihan dengan menggunakan modul manual maupun pelatihan dengan menggunakan teknik IMCI computerized adaptation and training tools

(11)

(ICATT). Namun, dari hasil evaluasi, terlihat program MTBS masih belum sepenuhnya dijalankan oleh tenaga kesehatan di puskesmas. Evaluasi ini juga sejalan dengan data masih tingginya angka kematian neonatal, bayi dan balita di Aceh, yaitu Aceh termasuk ke dalam 26 dari 33 provinsi di Indonesia yang mempunyai angka kematian balita lebih tinggi dari angka rata-rata nasional, berkisar dari 45/1.000 KH di Provinsi Aceh dan Jawa Timur, kemudian 96/1.000 KH di Provinsi Sulawesi Barat (BPS, 2008). Pada tahun 2012, terjadi peningkatan angka kematian di Aceh yaitu angka kematian bayi 47/1.000 KH dan AKABA adalah 52/1000 (BPS, 2014)

Masalah utama penyebab kematian pada bayi dan balita adalah pada masa

neonatus. Dari profil kesehatan Aceh tahun 2015, AKN sebesar 11/1.000 KH,

AKB 15/1.000 KH, AKABA 16/1.000 KH. Sedangkan AKI 149/100.000 KH. Sedangkan cakupan kunjungan neonatus (KN) di Aceh pada tahun 2015 di dapatkan KN-1 adalah 83,67% dengan cakupan KN lengkap 80,53%. Data ini menunjukkan sedikit di bawah nilai standar Indonesia, yaitu 83,74%. Akan tetapi, cakupan penanganan komplikasi pada neonatal di Aceh masih sangat rendah, yaitu 50,51% (Kemenkes RI, 2016).

Dalam Profil Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh (2016) disebutkan bahwa penyebab kematian bayi di kota Banda Aceh adalah asfiksia dan BBLR. Di samping itu juga terdapat penyebab lainnya yang tidak mudah untuk di identifikasi. Berbagai faktor yang diduga ikut berkonstribusi adalah tenaga kesehatan yang terampil, ketersediaan fasilitas kesehatan, aksesibilitas dan kesediaan masyarakat untuk merubah pola kehidupan tradisional ke norma kehidupan yang lebih modern di dalam bidang kesehatan.

(12)

Budaya Aceh menjadi salah satu faktor penyebab yang berkonstribusi terhadap rendahnya cakupan penanganan komplikasi pada neonatal dikarenakan kesulitan akses pelayanan kesehatan. Kesulitan akses pelayanan kesehatan di Aceh bukan karena kendala geografis, transportasi dan musin melainkan kendala sosial dan kultural. Aceh termasuk ke dalam kelompok masyarakat yang memiliki akses kefasilitas pelayanan kesehatan namun tidak memanfaatkannya.

Sampai saat ini, sistem kepercayaan/budaya masyarakat Aceh masih kuat. Aceh mempunyai adat istiadat tertentu untuk kondisi ibu hamil, ibu bersalin, ibu postpartum dan neonatus yang tidak bisa dilanggar (Ismail & Daud, 2014). Dalam hal perawatan ibu pospartum, masyarakat Aceh memiliki budaya ‘madeung’ yaitu perawatan ibu yang baru melahirkan dengan penguapan api selama 44 hari dan ibu menggunakan obat-obatan yang disebut ramuan 44 ‘aweueh peuet ploh peuet’ dengan tujuan untuk memulihkan bentuk tubuh agar tetap ramping. Selama ‘madeung’ ibu tidak dibolehkan keluar rumah karena berada dalam keadaan tidak suci. Setelah ‘madeung’ 44 hari dilangsungkan upacara ‘mandi 44’ dengan air mandi bunga yang dicampuri ‘boh kruet’.

Angka 44 mempunyai makna tersendiri dalam kegiatan masyarakat Aceh, ada suatu keyakinan bahwa angka ini mempunyai nilai sakral sehingga untuk memulai atau mengakhiri sesuatu dimulai dengan hitungan angka 44. Termasuk upacara ‘troen tanoh’ pada bayi baru lahir. Upacara ‘troen tanoh’ adalah hari pertama kali si bayi dibawa untuk berpijak pada tanah. Kegiatan ‘troen tanoh’ ini dilakukan setelah 44 hari persalinan. Sebelum upacara ini, bayi tidak boleh dibawa keluar rumah, sehingga semua kegiatan di luar rumah tidak boleh

(13)

dilakukan, termasuk bila ada masalah kesehatan yang terjadi pada ibu dan bayi tidak dapat terdeteksi dari awal. Oleh karena itu, masih ditemukan ibu tidak membawa bayinya ke pelayanan kesehatan untuk imunisasi di saat bayi belum ‘troen tanoh’, kecuali bayi sakit berat yang sudah tidak sudah tidak dapat diatasi di rumah.

Kunjungan nifas dan kunjungan neonatus yang dilakukan oleh kader kesehatan diharapkan dapat mengatasi masalah tersebut di atas. Kader kesehatan dapat mengunjungi ibu di rumahnya sebagai cara dalam meningkatkan akses kesehatan ibu dan anak. Tujuan kunjungan neonatus adalah memelihara status kesehatan dan mencegah penyakit pada bayi melalui tindakan pemantauan pertumbuhan, imunisasi dan pemantauaan pemberian ASI. Salah satu indikator status bayi sehat adalah bayi yang mengalami pertumbuhan sesuai dengan usianya. Tujuan dari kunjungan nifas adalah untuk memastikan ibu postpartum dapat beradaptasi selama masa nifas dan mampu merawat diri dan bayinya.

Kemampuan ibu postpartum dalam merawat diri dan bayi juga tidak terlepas dari efikasi diri ibu postpartum itu sendiri. Efikasi diri merupakan keyakinan ibu postpartum mengenai kemampuan diri dalam melakukan tugas atau tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil tertentu. Bandura (1997) mengatakan bahwa efikasi diri adalah hasil proses kognitif berupa keputusan, keyakinan, atau penghargaan tentang sejauh mana individu memperkirakan kemampuan dirinya dalam melaksanakan tugas atau tindakan tertentu yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan.

(14)

Seseorang dengan efikasi diri tinggi percaya bahwa mereka mampu melakukan sesuatu untuk mengubah kejadian-kejadian di sekitarnya, sedangkan seseorang dengan efikasi rendah mengganggap dirinya tidak mampu mengerjakan segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Ini dibuktikan dengan hasil penelitian Rahayuningsih (2014) tentang hubungan antara pelatihan persiapan masa nifas dengan efikasi diri ibu nifas di Kabupaten Sragen Jawa Tengah. Hasil penelitian mendapatkan bahwa pelatihan persiapan masa nifas efektif dalam meningkatkan efikasi diri ibu nifas.

Efikasi diri merupakan salah satu yang faktor yang dapat meningkatkan kualitas hidup seseorang. Kualitas hidup ibu merupakan komponen kesehatan yang penting dan esensial dalam kehidupan selain angka kesakitan dan usia harapan hidup. Dalam bidang kesehatan, ada tiga indikator utama dalam menentukan kualitas hidup, yaitu angka kematian bayi, angka kematian ibu dan angka harapan hidup. Di Indonesia, keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan salah satunya tercermin pada kondisi kesehatan ibu. WHO mendefinisikan sehat adalah meliputi sehat fisik, psikis, dan sosial, sehingga kesehatan reproduksi berarti tidak hanya sehat fisik saja, tetapi juga meliputi sehat psikis dan sosial, tidak hanya bebas dari penyakit atau gangguan proses reproduksi.

Penelitian dilakukan oleh Rahayuningsih (2013) tentang hubungan antara dukungan sosial dengan kualitas hidup ibu nifas di Kecamatan Miri Kabupaten Sragen. Kualitas hidup diukur dengan Postpartum Quality of Life (PQoL). Penilaian dukungan sosial ibu nifas dikembangkan dari empat domain dukungan sosial meliputi dukungan pasangan, orangtua kandung, mertua dan

(15)

saudara/kerabat. Analisis data dengan spearman mendapatkan nilai p > 0,05, berarti tidak ada korelasi antara masing-masing domain dukungan sosial dengan kualitas ibu nifas, namun ada hubungan antara total hubungan sosial dengan kualitas hidup dengan p, 0.05, yaitu nilai r = 0,427 dan p = 0,017.

Dari studi pendahuluan yang peneliti dapatkan dari Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, strategi ketiga MTBS-M belum dilaksanakan, masih sebatas pada tahap wacana untuk uji coba dan baru disosialisasikan kepada instansi terkait. Program MTBS-M belum dilaksanakan, sehingga belum ada kader kesehatan yang terlibat dalam mengelola pelaksanaan MTBS-M ini. Belum ada pengembangan yang dilakukan pada kader, termasuk belum pernah dilakukan pelatihan tentang MTBS, terutama MTBM pada kader kesehatan. Saat ini, yang menjadi fokus program MTBS di Aceh adalah pelatihan MTBS dengan metode ICATT untuk tenaga kesehatan dan sosialisasi ujicoba modul MTBS revisi pada tenaga kesehatan.

Evaluasi pelaksanaan MTBS pada petugas kesehatan dalam tatalaksana pneumonia pada balita di Kabupaten Aceh Besar tahun 2015 didapatkan hasil bahwa keterampilan tatalaksana pneumonia pada tenaga kesehatan yang terlatih lebih baik dari tenaga kesehatan yang belum terlatih, dengan nilai rata 14,3% dan nilai perubahan 26%. Tingkat pengetahuan tenaga kesehatan mempengaruhi keterampilan tatalaksana pneumonia (p < 0.05). Pendidikan, tahun layanan, fasilitas dan supervisi tidak ada hubungan dengan keterampilan tatalaksana pneumonia (p > 0.05). Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah pelatihan berkonstribusi sangat dominan (63,6%) terhadap keterampilan

(16)

tatalaksana pneumonia pada balita di Kabupaten Aceh Besar (Adnan, dkk., 2015)

Menurut data dari Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh, Puskesmas Ulee Kareng merupakan satu-satunya puskesmas yang masih menjalankan Program MTBS dari delapan puskesmas yang ada di wilayah Kota Banda Aceh. UPTD Puskesmas Ulee Kareng terletak di Gampong Pango Raya Banda Aceh dengan jarak 4 KM dengan pusat kota. Wilayah kerja Puskesmas Ulee Kareng terdiri dari sembilan desa, dan Puskesmas Ulee Kareng merupakan puskesmas induk yang berada di Kecamatan Ulee Kareng.

Laporan Profil Kesehatan UPTD Puskesmas Ulee Kareng (2015) menunjukkan kematian bayi yang terjadi di Puskesmas Ulee Kareng adalah tiga orang dari 553 kelahiran hidup (KH) pada tahun 2015. Jumlah ini bertambah bila dibandingkan dengan pada tahun 2014, karena saat itu tidak ditemukan kematian pada bayi. Angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) juga tidak ditemukan. Dari 20 penyakit terbanyak pada balita yang ditemukan pada Puskesmas Ulee Kareng, insiden tertinggi adalah deman, yaitu 12,762 dan pneumonia sebagai urutan kedua dengan jumlah 11,324.

Standar pelayanan kesehatan ibu dan anak di Puskesmas Ulee Kareng dapat dilihat dari cakupan K4 yang rata-rata sudah mencapai 93%. Ini menunjukkan di atas rata-rata standar pelayanan minimal yang ditetapkan oleh Kota Banda Aceh, yaitu K4 adalah 87%. Persentase cakupan persalinan dengan pertolongan tenaga kesehatan di wilayah Puskesmas Ulee Kareng sebesar 100%, sedangkan untuk cakupan kunjungan ibu nifas masih rendah, yaitu 60%, di bawah nilai rata-rata Kota Banda Aceh sebesar 90%. Cakupan kunjungan

(17)

neonatus di Puskesmas Ulee Kareng adalah KN1 dan KN3 adalah sebesar 542

(79,8%) dari semua neonatus yang ada. Ini berarti tidak semua neonatus dikunjungi secara teratur oleh petugas kesehatan.

Dari hasil observasi peneliti di Puskesmas Ulee Kareng, didapatkan bahwa Puskesmas Ulee Kareng mempunyai ruang khusus MTBS yang terpisah dengan ruang layanan lain. Ada dua petugas kesehatan yang di SK kan oleh Kepala Puskesmas sebagai pelaksana program MTBS. Dalam pelaksanaan program MTBS petugas juga melayani masalah-masalah kesehatan anak yang lain dikarenakan tidak adanya ruang poli anak dan tenaga kesehatan khusus untuk itu. Pelayanan MTBM dilakukan terpisah di ruangan yang lain, yaitu di ruang imunisasi, dikarenakan tidak ada orangtua yang membawa anak kurang dari dua bulan ke puskesmas kecuali untuk imunisasi. Program tatalaksana bayi muda dilakukan di rumah pada saat kunjungan neonatal, walaupun cakupan kunjungan neonatal rendah. Dalam proses pelaksanaan program ini, petugas tidak menggunakan algoritma MTBS/ MTBM yang yang telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

Petugas kesehatan yang melaksanakan MTBS bukanlah petugas yang pernah mendapatkan pelatihan MTBS, ini disebabkan perpindahan tenaga kesehatan ke tempat lain karena status kepegawaiannya hanyalah tenaga kontrak. Ketika peneliti menanyakan tentang kader kesehatan yang ada di wilayah Puskesmas Ulee Kareng, menurut petugas kesehatan, kader kesehatan yang ada di wilayah puskesmas sangat aktif, sehingga banyak program tercapai dengan bantuan kader. Jumlah kader yang aktif sampai saat ini adalah 79 kader dari sembilan desa yang ada di wilayah Puskesmas Ulee Kareng. Kader ini

(18)

terlibat aktif dengan berbagai kegiatan yang diprogramkan oleh puskesmas, seperti kegiatan posyandu, posbindu, imunisasi dan kesehatan jiwa. Karakteristik kader kesehatan yang ada di wilayah Puskesmas Ulee Kareng adalah ibu rumah tangga, usia rata-rata adalah dewasa muda dengan tingkat pendidikan minimal SMA.

Berdasarkan fakta itulah, peneliti merasa perlu melakukan pelatihan kepada kader kesehatan tentang MTBM sebagai upaya pemberdayaan masyarakat agar terlaksana program MTBM berbasis masyarakat di Aceh. Pendekatan yang akan dipilih oleh peneliti adalah pendekatan budaya sehingga hasil yang peneliti harapkan adalah kader kesehatan mempunyai kompetensi dengan pendekatan budaya dalam tatalaksana bayi muda, sehingga pada saat kader melakukan kunjungan neonatus pada ibu yang mempunyai bayi muda diharapkan pengetahuan ibu tinggi, efikasi ibu positif ibu dalam merawat bayinya, sehingga kualitas hidup ibu post partum meningkat.

B. Rumusan Masalah

Angka kematian merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengambarkan status kesehatan masyarakat. Di dunia, angka kematian neonatal, bayi dan balita sangat bervariasi pada setiap negara. Di negara berkembang angka kematian bayi masih tergolong tinggi, termasuk di Indonesia. Kematian bayi umur muda (satu hari sampai kurang dari dua bulan) relatif lebih tinggi dari umur yang lebih tua baik pada kondisi tanpa penyulit maupun dengan penyulit seperti BBLR, asfiksia, hipotermia, diare, sepsis dan lain sebagainya. Perhatian terhadap upaya penurunan angka kematian neonatal

(19)

(0-28 hari) menjadi penting karena kematian neonatal memberi kontribusi terhadap 56% kematian bayi.

Penanganan neonatal dengan komplikasi adalah penanganan terhadap neonatal sakit dan atau neonatal dengan kelainan atau komplikasi / kegawat- daruratan yang mendapat pelayanan sesuai standar oleh tenaga kesehatan (dokter, bidan dan perawat) terlatih baik di rumah, sarana pelayanan kesehatan dasar maupun sarana pelayanan kesehatan rujukan. Pelayanan sesuai standar antara lain sesuai dengan standar MTBM, manajemen asfiksia bayi baru lahir, manajemen BBLR, pedoman pelayanan neonatal esensial di tingkat pelayanan kesehatan dasar dan standar operasional pelayanan lainnya juga harus mendapatkan perhatian.

Selain penanganan pada balita sakit, penanganan bayi muda yang sehat juga harus ditingkatkan di masyarakat, karena budaya dan kebiasaan yang ada di masyarakat merupakan faktor yang dapat mempengaruhi derajat kesehatan. Kader kesehatan merupakan orang penting yang dapat mengelola MTBM di masyarakat. Model pendekatan budaya dalam meningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan kader yang sadar budaya, pengetahuan budaya, kompetensi budaya dan sensitif budaya menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan manajemen terpadu bayi muda berbasis masyarakat, yang pada kenyataannya program ini di Indonesia belum dilaksanakan, terutama di Aceh. Oleh karena itu, peneliti tertarik melakukan pemberdayaan kepada kader kesehatan melalui pelatihan tentang MTBM yang berbasis masyarakat

Berdasarkan latar belakang di atas, strategi yang dipilih peneliti dalam melakukan MTBM berbasis masyarakat melalui pendekatan budaya yang

(20)

berguna untuk menumbuhkan peran serta masyarakat untuk turut serta meningkatkan dan menganalisis pengetahuan mereka mengenai hidup dan kondisi mereka sendiri, sehingga dapat menentukan rencana dan tindakan yang tepat. Hasil yang diharapkan dari penelitian ini dapat meningkatkan kompetensi kader dalam pelaksanaan MTBM berbasis masyarakat.

Peningkatan kompetensi budaya pada kader dalam pelaksanaan MTBM di masyarakat juga diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan, efikasi ibu dalam merawat bayinya, sehingga kualitas hidup ibu postpartum menjadi meningkat pula. Berdasarkan asumsi di atas, yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “bagaimanakah model MTBM berbasis masyarakat dirancang melalui pendekatan budaya Aceh”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum penelitian

Mengidentifikasi model manajemen terpadu bayi muda (MTBM) melalui pendekatan budaya Aceh terhadap pelaksanaan MTBM berbasis masyarakat di Kota Banda Aceh

2. Tujuan khusus penelitian

a. Mengeksplorasi pandangan ibu postpartum, majelis lembaga adat, tenaga dan kader kesehatan tentang budaya-budaya Aceh yang berhubungan dengan ibu post partum dan bayi baru lahir.

b. Mengeksplorasi pandangan ibu postpartum, majelis lembaga adat, tenaga dan kader kesehatan tentang masalah-masalah kesehatan yang muncul yang berkaitan dengan budaya ibu post partum dan bayi baru lahir.

(21)

c. Mengeksplorasi pandangan ibu postpartum, majelis lembaga adat, tenaga dan kader kesehatan tentang MTBM berbasis masyarakat sebagai cara dalam mengatasi permasalahan budaya di Aceh?

d. Mengidentifikasi kompetensi (pengetahuan, sikap dan keterampilan) kader kesehatan tentang model MTBM dengan pendekatan budaya. e. Mengidentifikasi perbedaan kompetensi (pengetahuan, sikap dan

keterampilan) kader kesehatan tentang MTBM sebelum dan setelah pelaksanaan pelatihan model MTBM dengan pendekatan budaya. f. Mengidentifikasi perbedaan kompetensi (pengetahuan, sikap dan

keterampilan) kader kesehatan yang telah dilatih model MTBM pendekatan budaya dengan kader kesehatan pada kelompok kontrol. g. Mengidentifikasi efikasi diri dan penampilan kinerja klinik kader

kesehatan pada pelaksanaan model MTBM dengan pendekatan budaya di masyarakat.

h. Mengidentifikasi perbedaan efikasi diri kader kesehatan tentang MTBM sebelum dan setelah pelaksanaan model MTBM dengan pendekatan budaya di masyarakat.

i. Mengidentifikasi perbedaan penampilan kinerja klinik kader kesehatan di setiap kunjungan neonatus pada saat pelaksanaan model MTBM dengan pendekatan budaya di masyarakat.

j. Mengidentifikasi pengetahuan, efikasi dan kualitas hidup ibu post

partum selama pelaksanaan MTBM berbasis masyarakat oleh kader

(22)

k. Mengidentifikasi perbedaan pengetahuan, efikasi dan kualitas hidup ibu post partum sebelum dan setelah pelaksanaan MTBM berbasis masyarakat oleh kader kesehatan terlatih.

l. Mengidentifikasi perbedaan pengetahuan, efikasi dan kualitas hidup ibu post partum pada pelaksanaan MTBM berbasis masyarakat oleh kader kesehatan terlatih dengan ibu post partum di kelompok kontrol.

D. Manfaat Penelitian

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, baik secara teoritis maupun secara praktis.

1. Manfaat teoritis

a. Bagi pemberi pelayanan kesehatan, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam pelaksanaan kegiatan di lapangan, khususnya tentang manajemen terpadu bayi muda yang berbasis masyarakat.

b. Bagi Dinas Kesehatan, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam melaksanakan upaya pengembangan manajemen terpadu balita sakit berbasis masyarakat di seluruh wilayah kerja puskesmas yang ada.

c. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai tambahan pengetahuan, sikap dan keterampilan terutama pada kader kesehatan dan ibu yang mempunyai bayi muda dalam melakukan deteksi dini tentang masalah kesehatan yang terjadi di keluarga, menangani masalah-masalah kesehatan di rumah, dan melakukan

(23)

rujukan bila ada masalah kesehatan yang tidak dapat ditangani di masyarakat.

d. Bagi peneliti yang akan datang, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi awal untuk dapat mengembangkan penelitian lanjutan, khususnya tentang manajemen terpadu balita sakit, manajemen terpadu bayi muda dan pelaksanaan manajemen terpadu balita sakit berbasis masyarakat.

2. Manfaat praktis

a. Bagi pemberi layanan kesehatan, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai panduan pelaksanaan kerja kader kesehatan dalam rangka meningkatan derajat kesehatan ibu dan bayi terutama di wilayah Puskesmas Ulee Kareng Kota Banda Aceh

b. Bagi institusi pelayanan kesehatan, hasil penelitian ini dapat dikembangkan lebih lanjut untuk dapat menjalankan program MTBS berbasis masyarakat.

c. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan keluarga terutama ibu yang mempunyai bayi muda tentang MTBM, meningkatkan efikasi diri dalam perawatan bayi baru lahir sehingga kualitas hidup ibu selama masa nifas juga meningkat.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran berbagai literatur melalui Cochrane

Library, Health evidence.org, MeSH, Science Direct, Pub Med, Poss One, Google Scholarly dan jurnal-jurnal lain serta buku-buku penunjang lain,

(24)

kesesuaian dengan penelitian ini, seperti penelitian tentang pengaruh soaial dan budaya di dalam kesehatan, penelitian tentang masalah-masalah kesehatan pada ibu post partum, penelitian tentang masalah-masalah kesehatan pada bayi baru lahir, penelitian tentang pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan, penelitian dengan pendekatan pelatihan baik pada kader kesehatan maupun tenaga kesehatan, penelitian tentang pelaksanaan MTBS, MTBM dan MTBS-M. Penelitian-penelitian tersebut antara lain ada di tabel di bawah ini:

Tabel 1.1 Penelitian terkait

Judul penelitian Nama/tahun

Metode penelitian Hasil penelitian Persamaan / Perbedaan Does Shortening The Training on Integrated Management of Childhood Illness Guedlines Reduce Its Effectivenes? Systematic Review Rowe, et al. (2012) Menggunakan metode kuantitatif, systematic review untuk membandingkan efektivitas training durasi <11 hari dan >11 hari

Diperoleh hasil bahwa durasi training lebih lama lebih efektif untuk dukungan pada tenaga kesehatan

Persamaan:

Area penelitian IMCI dengan metode pelatihan Perbedaan:

Metodologi

penelitian dan subjek penelitian bukan tenaga kesehatan melainkan kader kesehatan Does Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) Training Improve the Skill of Health Workers? A Systematic Review and Meta-analysis. Nguyen, et al. (2013) Menggunakan metode literatur dan review bibliografi. Desminion Laird random effect models digunakan untuk meringkas estimasi efek. Systematic review dan mata analisis memasukkan 46 dan 26 studi berturut-turut. 4 klaster RCT, 7 pre-post study, dan 15 cross sectional

Ditemukan keuntungan training untuk sumber daya yang minim. Kemampuan petugas sangat mendukung keberhasilan program.

Persamaan:

Area penelitian, yaitu IMCI dengan metode pelatihan Perbedaan: Topik yang digunakan lebih khusus yaitu MTBM, subjek penelitian bukan tenaga kesehatan melainkan kader kesehatan

(25)

Tabel 1.1 lanjutan

Judul penelitian

Nama/tahun Metode penelitian Hasil penelitian Persamaan /Perbedaan A systematic review

of strategies to increase demand, uptake and quality of community-based diagnosis and case management of malaria. Paintain, et al. (2012)

Mengidentifikasi laporan yang relevan, publikasi dari website dengan kata kunci: malaria, community, community health worker, home management of malaria, integrated community case management: ELDIS, 3ie, WHOLIS & WHO publication, TDR, World Bank, DfiD, USAID, MSH, Human Resources for Health, SHW Central. Banyak keuntungan untuk melakukan pemberdayaan kader dalam implementasi pelayanan kesehatan di tingkat masyarakat. Terjadi peningkatan peran dan respon kader terhadap masalah kesehatan. Faktor fasilitas dan supervisi penting untuk

mendukung suksesnya kegiatan training yang berkelanjutan. Dibutuhkan evidence base untuk efektivitas rujukan dari kader ke pelayanan kesehatan ketika didapatkan kasus di masyarakat.

Persamaan:

Area penelitian, yaitu kader yang ada di komunitas dengan metode pelatihan Perbedaan: Topik yang digunakan adalah kasus malaria, bukan MTBM. Performance of Community Health Workers under Integrated Community Case Management of Childhood Illnesses in Eastern Uganda Kalyango et al. (2012) A mixed methods study dengan jumlah 125 CHWs.

Metode yang

digunakan dengan tes pengetahuan, penanganan kasus dengan skenario anak sakit, wawancara dengan register CHWs dan observasi CHWs dalam melakukan pengkajian gejala nafas.

Hasil yang didapatkan adalah penampilan CHWs yang

menangani satu kasus (malaria saja) dengan CHWs yang

menangani dua kasus (malaria dan

pneumonia) sama efektifnya

Persamaan: Subjek penelitian adalah kader kesehatan, area penelitian adalah MTBS-M Perbedaan: metodologi yang digunakan, topik bukan MTBM tetapi hanya kasus malaria dan pneumonia.

Peningkatan Pengetahuan dan Penerapan Manajemen Terpadu Bayi Muda oleh Bidan Desa di Kabupaten Temanggung Putra & Juwita (2012)

Penelitian ini merupakan eksperimen dengan menggunakan disain pretest dan posttest. Intervensi berupa pelatihan disertai pemberian petunjuk teknis tentang pelaksanaan MTBM. Hasil penelitian didapatkan bahwa intervensi dapat meningkatkan

pengetahuan bidan dan penerapan MTBM.

Persamaan: Disain penelitian Pre-Posttes, intervensi berupa pelatihan dan Area penelitian adalah MTBM dan MTBSM Perbedaan: Subjek penelitian bidan bukan kader kesehatan

(26)

Tabel 1.1 lanjutan

Judul penelitian

Nama/tahun Metode penelitian Hasil penelitian Persamaan /Perbedaan Ethno-cultural

barriers to health literacy and disease management among African Americans in south Carolina Spruill,. et al. (2015) Metode penelitian non-experimental, mixed-method design dengan 3 tahapan yaitu: Tahap kualitatif Tahap kuantitatif Tahap kuantitatif

Hasil penelitian dari tahap pertama di dapatkan tiga tema yaitu beban hidup dengan diabetes, penyebab dan lokasi sumber. Tahap kedua pengembangan instrument untuk mengukur management diabetes, spiritual, nilai budaya dan

pengetahuan kesehatan, sedangkan tahap ketiga survei tentang

hubungan harapan dan pengetahuan dengan pendekatan budaya

Persamaan: Kerangka teori yang digunakan sama yaitu pendekatan budaya. Metode penelitian sama. Perbedaan: Topik penelitian berbeda, tempat penelitian dan teknik penelitian serta lokasi penelitian.

The impact of training on the management of children with cough of the health workers’

knowledge, attitude and skills in the management of children with cought and breathing difficulties. Khayati,. et al (2015) Metode penelitian quasi experimental study with pre-post control group design. Populasi community health workers. Kelompok intervensi (n = 40) kelompok kontrol (n = 37) dengan pendekatan purposive sampling. Kelompok intervensi mendapatkan pelatihan dan kelompok kontrol hanya membaca modul.

Setelah 14 hari setelah pelatihan, terjadi peningkatan pengetahuan yang signifikan diantara kedua kelompok. Terjadi peningkatan sikap diantara kedua kelompok tetapi tidak signifikan serta terjadi penurunan

keterampilan dari penilaian satu ke penilaian kedua dan ada perbedaan keterampilan antara kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol Persamaan: Metode penelitian quasi eksperimental study with pre-post control group design. Subjek penelitian adalah sama yaitu kader kesehatan Fokus hasil penelitian meliputi pengetahuan, sikap dan keterampilan Perbedaan: Topik penelitian berbeda yaitu tentang manajemen batuk dan kesulitan bernafas jumlah sampel berbeda Belief and Practices

of Traditional Post Partum Care among A Rural Community in Penang Malaysia Hishamshah, et al (2010) Penelitian deskripsi dengan pendekatan cross sectional study

Hasil penelitian menuunjukan adanya budaya pantang pada saat ibu postpartum selama 53 hari nifas sebanyak 86,8% melaksanakan pantangan ini karena kesadaran sendiri dan hanya sedikit yang menjalani dikarenakan oleh paksaan keluarga

Persamaan: Kerangka teori yang digunakan sama yaitu pendekatan budaya. Topik juga sama yaitu perawatan postpartum.

Perbedaan: Teknik dan tempat penelitian berbeda

(27)

Tabel 1.1 lanjutan

Judul penelitian

Nama/tahun Metode penelitian Hasil penelitian Persamaan /Perbedaan Perilaku kehamilan,

persalinan dan nifas terkait dengan budaya kesehatan pada masyarakat Jawa di wilayah Kabupaten Sukoharjo Pratiwi dan Arifah

Metode penelitian ini kualitatif dengan disain fenomenologis. Sampel diambil dengan teknik snowball sampling , yang masing-masing kecamatan diambil 10% dengan kriteria keluarga mempunyai anggota keluarga sedang hamil atau nifas, untuk dilakukan interview secara mendalam. Hasil penelitian diskriptif didapatkan rata-rata 50%-75% masih melalukan upacara penguburan placenta, mempunyai pantangan dan kebiasaan yang harus dilakukan pada saat hamil, pada saat nifas. Adapun alasan perilaku ibu hamil dan nifas adalah terkait dengan budaya untuk mempertahankan kesehatan individu dan keluarga menurut persepsi keluarga.

Persamaan: Topik

penelitian sama yaitu budaya ibu nifas Kerangka teori yang digunakan sama yaitu pendekatan budaya.

Metode pengumpulan penelitian juga sama. Perbedaan:

Topik penelitian, tempat penelitian dan tujuan penelitian yang berbeda.

Berdasarkan studi literatur yang dilakukan pada penelitian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa model manajemen terpadu bayi muda (MTBM) berbasis masyarakat dengan pendekatan budaya belum pernah dilakukan. Selama ini, pelatihan MTBS/MTBM yang diberikan masih berfokus kepada tenaga kesehatan. Salah satu yang sedang dilaksanakan adalah pelatihan MTBS/MTBM dengan menggunakan software ICATT.

Pelaksanaan program MTBS berbasis masyarakat di Indonesia juga baru dalam tahap uji coba. Ada empat provinsi terpilih di Indonesia yang akan melaksanakan uji coba program MTBS berbasis masyarakat ini, termasuk salah satunya adalah Provinsi Aceh. Khusus Aceh, program ini belum dijalankan dikarenakan uji coba pertama di Indonesia adalah Kabupaten Jayawijaya Papua.

Di dunia, program MTBS berbasis masyarakat sudah mulai dijalankan pada negara-negara yang sedang berkembang, kader kesehatan dilatih untuk dapat terlibat ke dalam pengembangan program MTBS berbasis masyarakat ini, tetapi

(28)

topik dan fokus pelatihan masih berbeda-beda untuk tiap-tiap negara yang disesuaikan dengan kebutuhan setempat.

Penelitian ini nantinya juga akan berbeda dengan penelitian sebelumnya. Pendekatan yang dipilih adalah pendekatan budaya Aceh yang berbeda dengan budaya yang lain, pemilihan topik MTBM pada penelitian ini juga didasarkan pada masih tingginya angka kematian bayi dan neonatal di Aceh yang disertai juga dengan masih rendahnya cakupan penanganan neonatal dengan komplikasi.

Modul pelatihan dan pemilihan materi pada program MTBM berbasis budaya pada penelitian ini juga disesuaikan dengan hasil analisis kondisi budaya, yaitu Aceh sebagai provinsi yang mempunyai keistimewaan, salah satunya keistimewaan di bidang budaya yang harus tetap dipertahankan sebagai provinsi yang berbeda dengan provinsi yang lain. Apabila nantinya program MTBM berbasis masyarakat ini akan dikembangkan di daerah lain, analisis awal tentang budaya setempat adalah cara tepat yang terlebih dahulu harus dilakukan.

Dalam rancangan penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan budaya dalam tatalaksana masalah kesehatan ibu dan bayi di Aceh dengan cara mengkaji terlebih dahulu budaya Aceh yang berhubungan dengan kesehatan ibu post

partum dan bayi baru lahir, baik budaya yang mendukung maupun yang

menghambat derajat kesehatan bayi. Hasil dari analisis budaya diharapkan dapat menghasilkan model MTBM berbasis masyarakat dengan tetap mempertahankan budaya Aceh. Model MTBM berbasis masyarakat ini nantinya akan berbeda dengan MTBM berbasis masyarakat pada budaya-budaya yang lain.

Setelah terbentuk model, uji coba pelaksanaan MTBM berbasis masyarakat dengan pendekatan budaya diawali pada kegiatan pelatihan. Peneliti melatih

(29)

kader kesehatan tentang MTBM menggunakan media dan modul hasil analisis budaya yang dimodifikasi dari materi MTBM untuk tenaga kesehatan. Pelatihan kader kesehatan sebagai mitra kesehatan bertujuan untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan antara pemberi layanan dengan masyarakat setempat yang disebabkan oleh kendala sosial budaya.

Faktor lain yang juga menjadi kebaruan dari penelitian ini adalah karakteristik dan pendidikan kader yang bukan tenaga kesehatan, sangat memungkinkan untuk dilatih dalam menyelesaikan masalah kesehatan yang ada di masyarakat dengan fokus pada tindakan yang bersifat promotif dan preventif. Pemberdayaan kader kesehatan dalam tatalaksana bayi muda berbasis budaya sangat diperlukan sebagai salah satu cara untuk menangani masalah kesehatan ibu dan anak di Aceh dengan tetap mempertahankan budaya yang ada di Aceh.

Keterlibatan kader dalam proses uji coba pelaksanaan program MTBM ini dapat meningkatkan pengetahuan ibu tentang MTBM, peningkatan efikasi ibu dalam merawat bayi baru lahir, dan peningkatan kualitas hidup ibu post partum selama masa nifas di Aceh. Hasil akhir yang diharapkan dari penelitian ini juga dapat memberi sumbangsih terhadap peningkatan cakupan kunjungan nifas, cakupan kunjungan neonatus, cakupan imunisasi dan cakupan pemberian ASI ekslusif di Aceh.

Gambar

Tabel 1.1 Penelitian terkait
Tabel 1.1 lanjutan
Tabel 1.1 lanjutan
Tabel 1.1 lanjutan

Referensi

Dokumen terkait

pertanggungjawaban manajemen kepada pemegang saham (Rini, 2010) Penelitian ini bertujuan menguji dan membuktikan pengaruh ukuran perusahaan, umur listing perusahaan, kepemilikan

The examples of communications from one student, ‘Cheryl’, reproduced in Figure 1 show the depth of information and reflection possible through email, where characteristics of

[r]

From the point of view of teacher education, it is helpful to ask if the continuation of this kind of relationship through the computer network (via electronic mail and

Pada Hari ini, Jum’at tanggal Delapan bulan Februari tahun Dua Ribu Tiga Belas,. bertempat di Kantor Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kayong Utara,

Leok II, Kec.Biau - Buol pada Tahun Anggaran 2013 akan melaksanakan Pengadaan dengan Pekerjaan sebagai berikut

“Twelfth century?” Blair leaned back, took a good, long look at him, with all the interest but none of the amusement she’d shown when studying Hoyt.. “You’ve got nearly a

Hasil penelitian untuk faktor permintaan secara simultan ada pengaruh nyata antara tingkat pendapatan, selera, jumlah tanggungan dan harapan masa yang akan datang