• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

4 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Babi

Babi adalah ternak monogastrik dan bersifat prolifik (banyak anak tiap kelahiran), pertumbuhannya cepat dan dalam umur enam bulan sudah dapat dipasarkan. Selain itu ternak babi efisien dalam mengkonversi berbagai sisa pertanian dan restoran menjadi daging (Ensminger, 1991).

Menurut Sihombing (1997), semua babi memiliki karakteristik yang sama kedudukannya dalam sistematika hewan, yaitu :

Filum : Chordata

Sub Filum : Vertebrata (bertulang belakang) Marga : Gnatosmata (mempunyai rahang) Kelas : Mamalia (menyusui)

Ordo : Artiodactyla (berjari/berkuku genap) Genus : Sus

Species : Sus scrofa, Sus vittatus/Sus strozzli, Sus cristatus, Sus leucomtstax, Sus celebensi, Sus verrucosus, Sus barbatus

Secara umum dapat dikenal tiga tipe babi yaitu babi lemak “lard type”, tipe sedang “bacon type”, dan tipe daging “meat type” (Mangisah, 2003). Babi memiliki sifat-sifat fisik yang tampak, diantaranya warna tubuh, besar dan gemuk serta cepat dewasa. Sifat fisik berdasarkan warna bulu digolongkan menjadi 5, yakni: putih, hitam, coklat atau kemerah-merahan, berselempang (belted) dan bercak-bercak (spotted). Sifat fisik yang tampak pada babi berdasarkan besar dan kegemukan dapat dibagi menjadi 2, yakni: tipe babi besar yaitu bila babi besar dan lambat dewasa (cold blood atau tipe rainbow), dan babi kecil yaitu bila babi kecil dan cepat dewasa digolongkan dalam babi berdarah panas (Tanaka et al., 1980).

Babi merupakan penghasil sumber daging dan untuk pemenuhan gizi yang sangat efisien di antara ternak-ternak yang lain karena babi memiliki konversi terhadap pakan yang cukup tinggi, semua bahan pakan bisa diubah menjadi

(2)

5

daging dan lemak dengan sangat efisien. Ternak babi membutuhkan ransum yang imbangan nutrisinya baik atau sempurna, untuk memperoleh reproduksi dan produksi daging yang optimal. Ternak babi membutuhkan energi, protein, mineral, vitamin dan air. Setiap zat mempunyai fungsi dan keterkaitan yang spesifik di dalam tubuh. Kekurangan atau ketidakseimbangan zat-zat makanan dapat memperlambat pertumbuhan dan berdampak pada performans. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum yaitu cara pemberian pakan, aroma pakan, kondisi lingkungan atau suhu kandang, ketersedian air minum, jumlah ternak dan kesehatan ternak (Sihombing, 1997).

Babi Landrace merupakan salah satu babi yang umum dipelihara. Babi Landrace merupakan babi yang berasal dari Denmark, termasuk jenis babi bacon yang berkualitas tingi. Babi Landrace sangat populer sehingga dikembangkan juga di Amerika Serikat, Australia, dan Indonesia. Babi Landrace berasal dari persilangan antara pejantan babi Large white dengan babi lokal Denmark. Babi Landrace juga banyak digunakan untuk program persilangan babi-babi di daerah tropik, terutama di Asia Tenggara (Reksohadiprodjo, 1995).

Babi Landrace berwarna putih, terkenal babi bertubuh panjang seperti busur, besar, lebar, bulu halus, dan juga kakinya panjang. Babi ini terkenal sangat prolifik hingga kini babi ini juga yang terbukti paling banyak per kelahiran, serta presentase dagingnya tinggi. Tulang rusuknya 16-17 pasang dan sampai kini puting susu babi inilah yang terbanyak diantara bangsa babi unggul. Babi jantan dewasa berbobot sekitar 320-410 kg dan induk berbobot 250-340 kg. Kelemahan babi ini adalah kaki belakang yang lemah terutama saat induk bunting, dan warna daging yang pucat (Sihombing, 2006).

(3)

6

Gambar 2.1. babi American Landrace (Kitsteiner, 2014)

2.2. Eceng Gondok

Eceng gondok (Eichornia crassipes) merupakan salah satu tumbuhan yang sering ditemukan di rawa-rawa, waduk, dan sungai. Enceng gondok adalah gulma air yang sangat cepat pertumbuhannya dan sangat susah pengendaliannya. Tetapi enceng gondok mampu menyerap berbagai zat yang berbahaya yang mencemari perairan, contohnya yaitu logam beracun, cemaran organik, buangan industri, buangan pertanian dan buangan rumah tangga (Rahmawati, et al., 2003).

Enceng gondok di Indonesia pada mulanya diperkenalkan oleh Kebun Raya Bogor pada tahun 1894 yang akhirnya berkembang di Sungai Ciliwung sebagai tanaman pengganggu. Namun, dewasa ini banyak dimanfaatkan sebagai filter air dari polusi logam-logam berat. Bahkan sudah dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan dan pakan ternak (Don, et al., 2010). Kecepatan pertumbuhan eceng gondok tergantung dari berbagai faktor lingkungan, seperti kandungan hara perairan, kedalaman air, salinitas, pH dan intesitas cahaya. Suhu air yang paling cocok untuk pertumbuhan eceng gondok adalah 28-30oC dan pH 7 (Fuskhah, 2000).

Menurut Fahmi (2009) klasifikasi dari tanaman eceng gondok, sebagai berikut :

Kingdom : Embryophytasi phonogama Filum : magnoliophyta

(4)

7 Ordo : Liliales

Famili : Pontederiaciae Genus : Eichornia

Spesies : Eichornia crassipes

Gambar 2.2. Eceng gondok (Eichornia crassipes) (Surya Mina Farm, 2014)

2.2.1. Morfologi Eceng Gondok

Eceng gondok merupakan tumbuhan yang hidup di perairan terbuka, mengapung di air. Tingginya sekitar 0,4 – 0,8 meter, batangnya berbuku pendek, mempunyai diameter 1-2,5 cm dan panjang batang mencapai 30 cm (Barton, 1951). Daun eceng gondok mempunyai garis tengah sampai 15 cm berbentuk telur agak bulat, berwarna hijau terang dan berkilau di bawah sinar matahari. Kelopak bunga berwarna ungu muda atau agak kebiruan. Setiap bunga mempunyai kepala putik yang dapat menghasilkan 500 bakal biji setiap tangkai (Soedarmadji, 1991).

2.2.2. Kandungan Eceng Gondok

Eceng gondok bisa menjadi salah satu alternetif bahan ransum ternak, karena eceng gondok memiliki nilai nutrisi yang cukup baik, yaitu energi metabolis 2029 kkal/kg, kandungan protein kasar 13% dan kandungan serat kasar 21,3% (Radjiman et al., 1999). Menurut analisis yang dilakukan oleh Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Diponogoro Semarang tahun 2005, melaporkan

(5)

8

bahwa eceng gondok mengandung protein kasar (PK) 11,2% dan bahan ekstrak tiada nitrogen (BETN) sekitar 20% berdasarkan bahan kering (100% BK).

2.3 Logam Timbal (Pb)

Logam berasal dari bumi yang bisa berupa bahan organik dan bahan anorganik. Diantara sekian banyak logam, ada yang keberadaannya di dalam tubuh mahluk hidup baik pada tanaman, hewan atau ternak dan manusia merugikan bahkan bersifat beracun. Logam yang dimaksud umumnya digolongkan pada logam berat. Menurut Saeni (1989) yang dimaksud dengan logam berat adalah unsur yang mempunyai bobot jenis lebih dari 5 g/cm3 yang biasanya terletak di bagian kanan bawah sistem periodik unsur-unsur kimia.

Contoh logam berat yang dinyatakan oleh Saeni (1989) diantaranya: Fe, Pb, Cr, Cd, Zn, Cu, Hg, Mn dan As. Dari logam-logam berat tersebut, menurut Anggorodi (1979) Fe, Cr, Zn, Cu dan Mn termasuk dalam kelompok logam berat dan merupakan mineral yang esensial dan tergolong mineral mikro bagi ternak, maka logam berat yang tergolong nonesensial dan bersifat racun bagi ternak adalah kelompok logam: Pb, Cd, Hg, dan As.

Timbal (Pb) memiliki titik lebur rendah, mudah dibentuk, memiliki sifat kimia yang aktif, sehingga bisa digunakan untuk melapisi logam agar tidak timbul perkaratan. Pb adalah logam lunak berwarna abu-abu kebiruan mengkilat serat mudah dimurnikan dari pertambangan. Timbal meleleh pada suhu 328° C titik didih 1740° C dan memiliki gravitasi 11,34 dengan berat atom 207,20 (Widowati et al., 2008).

Salah satu logam berat yang banyak mencemari air sungai adalah timbal (Pb). Tercemarnya air sungai oleh limbah pabrik yang mengandung Pb menyebabkan tanaman konsumsi yang tumbuh di daerah sungai menjadi tercemar oleh Pb (Kohar et al. 2004). Timbal (Pb) merupakan salah satu pencemar yang dipermasalahkan karena bersifat sangat toksik dan tergolong sebagai bahan buangan beracun dan berbahaya (Purnomo dan Muchyiddin, 2007).

Timbal (Pb) merupakan logam yang bersifat neurotoksin yang dapat masuk dan terakumulasi dalam tubuh manusia ataupun hewan, sehingga bahayanya

(6)

9

terhadap tubuh semakin meningkat (Lu, 1995 dan Kusnoputranto, 2006). Menurut Underwood dan Suttle (1999), Pb biasanya dianggap sebagai racun yang bersifat akumulatif dan akumulasinya tergantung levelnya. Hal itu menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pada ternak jika terdapat pada jumlah di atas batas ambang.

Konsentrasi logam berat yang dikonsumsi oleh hewan bervariasi. Badan penelitian nasional Kanada (National Researh Council, NRC) menentukan jumlah maksimum kandungan logam yang diperbolehkan untuk konsumsi hewan disebut Maximum Tolerable Level (MTL). Adapun MTL merupakan kandungan logam yang aman bagi hewan dan manusia yang mengkonsumsi produk hewan tersebut. Batas toleransi logam berat Pb dalam pakan menurut NRC untuk sapi adalah 100mg/kg. Underwood dan Suttle (1999) mencantumkan batas ambang untuk ternak unggas dalam pakannya, yaitu: batas ambang normal sebesar 1 – 10 ppm, batas ambang tinggi sebesar 20 – 200 ppm dan batas ambang toksik sebesar lebih dari 0,02%. Disisi lain Darmono (1995) mencantumkan dosis keracunan Pb pada beberapa ternak, seperti terlihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Dosis Keracunan Timbal pada Beberapa Ternak

Jenis Ternak Toksik dalam Pakan (mg/kg)

Babi 1.000

Pedet 200 – 400

Domba ` 200 – 400

Sumber: Darmono (1995)

2.3.1. Reaksi Timbal (Pb) terhadap Eritrosit dan Hemoglobin

Timbal (Pb) merupakan logam yang bersifat neurotoksin yang dapat menyebabkan anemia, paling sedikit 3 enzim yang terlibat dalam biosintesis heme akan dihambat oleh Pb di dalam mitokondria dan sitoplasma sel eritroid. Ketiga enzim tersebut adalah 5-aminolevulinat dehidratase, feroselatase (FERRO-C) dan koproporfirinogen oksidase (KOPRO-O). Enzim d-ALAD merupakan enzim yang berperan dalam sintesis heme yang paling sensitif terhadap Pb.

(7)

10

Pb juga menghambat enzim feroselatase (hemesintetase) dengan mengikat pada ikatan sulfidril (-SH) sehingga akan muncul sel eritrosit muda yang masih berinti di dalam sirkulasi perifer. Gangguan sistem enzim ini akan menurunkan kemampuan tubuh untuk mensintesis Hb sebagai pembawa oksigen yang diperlukan dalam proses respirasi. Anemia pada keracunan Pb terjadi akibat gangguan sintesis heme.

Keracunan Pb juga diperkirakan menghambat enzim pirimidin-5’ nukleotidase sehingga masa hidup eritrosit lebih singkat, suatu kondisi yang memicu terjadinya anemia hemolitika akibat destruksi eritrosit. Terhambatnya jalur sintesis heme ini tidak hanya mempengaruhi sintesis eritrosit atau sel darah yang lain, tetapi juga sistem sitokrom dan respirasi seluler. Efek Pb juga dapat menghambat pompa Na+/K+-ATP dan menempel pada membrane eritrosit sehingga melisiskannya (Budiman et al., 2010).

2.4.Sel Darah pada Babi

Darah adalah jaringan cair yang terdiri atas dua bagian yaitu plasma darah dan sel darah. Sedangkan sel darah itu sendiri terdiri atas tiga jenis yaitu eritrosit, leukosit dan trombosit. Volume darah secara keseluruhan adalah 8. 33% , 55% plasma darah dan 45% terdiri atas sel darah (Pearce, 2006). Menurut Colville dan Bassert (2002), darah memiliki tiga fungsi yang sangat penting yaitu : sebagai sistem transportasi, sistem regulasi, dan sistem pertahanan.

2.4.1. Eritrosit

Sel darah merah atau yang disebut juga dengan nama eritrosit berasal dari bahasa Yunani, yaitu erythro yang berarti merah dan cyte yang berarti sel. Eritrosit memiliki diameter rerata 7,5 mm dan merupakan jenis sel yang paling umum dan berfungsi untuk pengangkutan oksigen (Dharmawan, 2002).

Eritrosit merupakan sel darah yang tidak memiliki inti, tidak mempunyai organel seperti sel-sel lain, serta tidak dapat bergerak. Sel ini tidak dapat melakukan mitosis dan pembentukan protein. Eritrosit bisa dianggap seolah-olah

(8)

11

merupakan kantong dari hemoglobin (Kirana, 2012). Sekitar 60% volume eritrosit terdiri atas air dan 40% terdiri atas konjugasi protein yang berbentuk globin dan hem (heme) (Dharmawan, 2002). Pada hewan dewasa pembentukan eritrosit terjadi di sum - sum tulang belakang, sedangkan pada waktu masih janin dihasilkan oleh limpa, hati dan nodus limfatikus (Frandson, 1992).

2.4.2. Total Eritrosit

Total eritrosit pada setiap hewan berbeda-beda, hal ini tidak hanya dipengaruhi oleh jenis hewannya, tetapi perbedaan bangsa, kondisi nutrisi, aktivitas fisik, dan umur hewan juga dapat mempengaruhi jumlah eritrosit. Erithropoiesis merupakan suatu proses yang berlanjut dan sebanding dengan tingkat pengrusakan sel darah merah. Erithropoiesis diatur oleh mekanisme umpan balik dimana prosesnya dihambat oleh peningkatan level sel darah merah yang bersirkulasi dan dirangsang oleh anemia (Yusuf, 2011). Total eritrosit normal babi adalah 5,0-8,0x106/mm3 (Dharmawan, 2002).

2.4.3. Hemoglobin (Hb)

Hemoglobin (Hb) merupakan substansi protein yang terdapat pada sel darah merah yang kaya akan zat besi, yang berfungsi sebagai pengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan. Hemoglobin juga berfungsi sebagai pigmen respiratoris darah dan sebagai bagian dari sistem buffer intrinsik darah. Oksigen tersedia dan dibebaskan secara mudah oleh kandungan atom Fe dalam molekul hemoglobin sambil darah melintasi kapiler paru-paru (Yusuf, 2011).

Produksi hemoglobin dipengaruhi oleh kadar besi (Fe) dalam tubuh karena besi merupakan komponen penting dalam pembentukan molekul heme. Molekul hemoglobin tersusun atas dua cincin haem dan globin yang disintesis sendiri-sendiri. Rantai haem mengandung besi dan merupakan tempat pengikatan oksigen. Molekul ini mempunyai kemampuan untuk mengambil dan menggantikan oksigen dengan tekanan yang relatif tipis (Guyton,1997). Kadar hemoglobin normal babi adalah 10,0-16,0 gr/100 ml (Dharmawan, 2002).

(9)

12 2.4.4. Hematokrit

Hematokrit merupakan presentase volume eritrosit dalam darah yang dimampatkan (Packed Cell Volume) dengan cara diputar pada kecepatan tertentu dan dalam waktu tertentu. Nilai hematokrit ini sangat berhubungan dengan sel darah merah, nilai dapat berubah-ubah tergantung dengan faktor yang mempengaruhi yaitu ras, jenis kelamin, nutrisi dan umur. Uji hematokrit dilakukan untuk mengetahui konsentrasi eritrosit dalam darah (Kumala, 2010). Menurut Indrawati (2011) nilai PCV merupakan petunjuk yang sangat baik dalam menentukan volume total eritrosit dalam sirkulasi darah. Presentase hematokrit babi secara normal adalah 32-50% (Dharmawan, 2002).

2.4.5. Indeks Eritrosit

Indeks eritrosit adalah batasan untuk ukuran dan isi hemoglobin eritrosit. Istilah lain untuk indeks eritrosit adalah indeks korpuskuler. Indeks eritrosit terdiri atas: isi/voulume atau ukuran eritrosit (MCV: mean corpuscular volume atau volume eritrosit rerata), berat (MCH: mean corpuscular hemoglobin atau hemoglobin eritrosit rerata), konsentrasi (MCHC: mean corpuscular hemoglobin atau kadar hemoglobin eritrosit rerata) (Riswanto, 2009). Volume satu sel darah merah (MCV) pada babi secara normal berkisar 50-68fl, berat hemoglobin dalam tiap selnya (MCH) adalah 17,0-21pg, dan konsentrasi hemoglobin dalam tiap selnya (MCHC) adalah 30,0-34,0% (Dharmawan, 2002).

2.5.Anemia

Menurut Dharmawan (2002) anemia bukanlah suatu penyakit melainkan suatu gejala sebagai akibat adanya suatu proses penyakit. Anemia adalah penurunan jumlah eritrosit, hemoglobin, atau kedua-duanya dalam sirkulasi darah. Tanda-tanda klinik dapat sama sekali tidak ada. Tubuh dapat menyesuaikan diri terhadap merosotnya daya angkut oksigen dari darah sedemikian efisiennya sehingga tidak timbul symptom meskipun anemianya cukup berat. Umumnya gejala yang menyertai anemia adalah pucatnya membrane mukosa konjungtiva maupun mulut, sesak nafas (dyspnea), dan denyut nadi yang cepat (tachycardia).

(10)

13 2.5.1. Klasifikasi Anemia

Anemia berdasarkan etiologinya digolongkan menjadi dua, yaitu : 1. Anemia regeneratif

Anemia regeneratif terjadi disebabkan karena perdarahan yang berlebihan atau karena destruksi darah (anemia hemolitika). Bahaya perdarahan yang berlebihan tergantung dari: jumlah darah yang keluar, lokasi perdarahan, dan tipe perdarahan tersebut (Dharmawan, 2002).

2. Anemia non-regeneratif

Anemia non-regeneratif terjadi disebabkan karena penurunan produksi eritrosit. Anemia ini bisa timbul akibat beberapa sebab, seperti nutrisi, penyakit ginjal kronis, infeksi, dan kegagalan atau depresi sumsum tulang. Biasanya anemia non-regeneratif berlangsung dalam tahap sedang atau ringan sehingga sulit untuk segera diketahui. Kasus anemia seperti ini sering merupakan akibat sekunder dari adanya penyakit lain (Dharmawan, 2002).

Anemia menurut morfologi, mikro dan makronya menunjukkan ukuran dari sel darah merah, sedangkan menurut kromiknya menunjukkan warna dari sel darah merah. Sudah dikenal tiga klasifikasi besar, yaitu :

1. Anemia normositik normokromik

Kondisi sel darah merah memiliki ukuran dan bentuk-bentuk sel yang normal serta mengandung hemoglobin dalam jumlah yang normal tetapi individu menderita anemia. Penyebab anemia ini adalah kehilangan darah akut, hemolysis, penyakit kronik termasuk infeksi, gangguan endokrin, gangguan ginjal, kegagalan sumsum, dan penyakit-penyakit infiltratif metastatik pada sumsum tulang.

2. Anemia makrositik normokromik

Dimana sel darah merah memiliki ukuran sel yang lebih besar dari normal tetapi konsentrasi hemoglobinnya normal. Penyebab anemia ini

(11)

14

diakibatkan oleh gangguan atau terhentinya sitesis asam nukleat DNA antara lain yang ditemukan pada defisiensi Vitamin B12, asam folat, dan cobalt (ruminansia), mielosis eritremik (kucing), dan makrositosis (anjing).

3. Anemia makrositik hipokromik

Dimana sel darah merah memiliki ukuran yang lebih besar dari normal dan mengandung konsentrasi hemoglobin yang kurang dari normal. Penyebab anemia ini adalah perdarahan luka atau adanya gangguan koagulasi darah, destruksi eritrosit secara masif karena infeksi.

4. Anemia mikrositik hipokromik

Dimana sel darah merah ini memiliki ukuran yang lebih kecil dari normal dan memiliki konsentrasi yang kurang dari normal. Penyebab anemia ini adalah defisiensi Fe bisa karena kurangnya asupan Fe pada makanan atau karena perdarahan kronis, defisiensi Cu dan B6, serta

keracunan molybdenum (Dharmawan, 2002).

Pada klasifikasi Anemia akibat gangguan Eritropoiesis dibagi menjadi empat, yaitu :

1. Anemia defisiensi Besi

Anemia defisiensi besi adalah anemia mikrositik hipokromik yang terjadi akibat defisiensi besi dalam gizi, atau hilangnya darah secara lambat dan kronik. Anemia defisiensi besi disebabkan oleh karena rendahnya asupan besi, gangguan absobrsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun yaitu kehilangan besi sebagai akibat dari perdarahan menahun yang dapat berasal dari saluran cerna. Kehilangan besi juga dapat disebabkan oleh faktor nutrisi. Perdarahan menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi makin menurun. Apabila kekurangan besi berlanjut terus, maka cadangan besi menjadi kosong. Penyediaan besi untuk eritropoiesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit, tetapi anemia secara klinis belum terjadi. Apabila jumlah besi menurun terus maka eritropoiesis semakin terganggu sehingga kadar

(12)

15

hemoglobin mulai menurun, akibatnya timbul anemia hipokromikmikrositer. Anemia defisiensi Fe dicegah dengan memelihara keseimbangan antara asupan Fe.

2. Anemia megaloblastik

Defisiensi folat atau vitamin B12 mengakibatkan gangguan pada sintesis timidin dan defek pada replikasi DNA, efek yang timbul adalah pembesaran precursor sel darah (megaloblas) di sumsum tulang, hematopoiesis yang tidak efektif, dan pansitopenia.

3. Anemia aplastik

Sumsum tulang gagal memproduksi sel darah akibat hiposelularitis, hiposelularitis ini dapat terjadi akibat paparan racun, radiasi, reaksi terhadap obat atau virus, dan defek pada perbaikan DNA serta gen.

4. Anemia mieloptisik

Anemia yang terjadi akibat penggantian sumsum tulang oleh infiltrate sel-sel tumor, kelianan granuloma, yang menyebabkan pelepasan eritroid pada tahap awal (Ifan, 2010).

(13)

16 2.6. Kerangka Konsep

2.7 Hipotesis

Hipotesis yang dapat diajukan pada penelitian ini adalah pemberian eceng gondok yang berasal dari perairan tercemar Pb dapat menurunkan total eritrosit, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit babi tersebut.

Pemberian eceng godok dari perairan tercemar Pb dalam ransum dapat menurunkan total eritrosit,

kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit.

Ransum ditambahkan eceng gondok dari perairan tercemar

timbal (Pb)

Timbal (Pb) merupakan logam berat yang bersifat neurotoksin dan terakumulasi dalam darah

Pb menghambat biosintesis heme, menghambat pompa Na+/K+-ATP dan mempengaruhi proses eritropoiesis, sehingga menyebabkan terganggunya

proses pembentukan eritrosit dan hemoglobin di dalam sumsum tulang dan menyebabkan anemia Eceng gondok mampu

Gambar

Gambar 2.1. babi American Landrace (Kitsteiner, 2014)
Gambar 2.2. Eceng gondok (Eichornia crassipes) (Surya Mina Farm, 2014)
Tabel 2.1. Dosis Keracunan Timbal pada Beberapa Ternak

Referensi

Dokumen terkait

serta dapat menghasilkan produk perusahaan yang bermutu dan sesuai keinginan konsumen.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan dan pengaruh

3.1.5 Strategija razvoja Starega gradu Celje Februarja 2004 sta Turistično društvo Celje in Zavod za turizem Celeia Celje pripravila pismo o nameri s programom oživitve Starega

Studi mengenai analisis fisika-kimia perairan dan komunitas bakteri terkait penyakit ice- ice pada kedalaman yang berbeda di area budidaya rumput laut belum banyak

Namun kedua primer tersebut belum dapat mengamplifikasi sampel bakteri yang berasal dari beragam sumber seperti sedimen laut dalam, bakteri rongga mulut, dan bakteri

Kemampuan membaca peserta didik disleksia diukur dengan melihat berapa persen kata yang dapat dibaca sesuai strukturnya, waktu yang dibutuhkan untuk dapat membaca

Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Faktor-faktor

Fitur karakteristik lain dari kurva energi potensial ini adalah adanya sekunder minimum pada  jarak antarpartikel yang relatif besar. Jika minimum ini cukup mendalam

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara awal yang telah dilakukan pada tanggal 9 Januari 2020 lalu dengan Kepala Rumah Autis cabang Depok, Bapak Suyono, disebutkan bahwa