• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGKAJIAN PENGEMBANGAN USAHA SISTEM INTEGRASI KELAPA SAWIT-SAPI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGKAJIAN PENGEMBANGAN USAHA SISTEM INTEGRASI KELAPA SAWIT-SAPI"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PENGKAJIAN PENGEMBANGAN USAHA

SISTEM INTEGRASI KELAPA SAWIT-SAPI

KUSUMA DIWYANTO1, D.M. SITOMPUL2, ISHAK MANTI3, I-WAYAN MATHIUS4, SOENTORO5

1Puslitbang Peternakan, Jl. Pajajaran Kav E 59 Bogor 2PT Agricinal, Putri Hijau, Bengkulu Utara, Propinsi Bengkulu

3Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Propinsi Bengkulu 4Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002

5Konsultan PAATP

LATAR BELAKANG a. Potensi perkebunan kelapa sawit

Minyak sawit merupakan sumber minyak nabati yang cukup penting, dan menyumbangkan lebih dari 27% pengadaan minyak nabati dunia (FOLD, 2003). Sekitar 80% minyak kelapa sawit

yang beredar di pasaran dunia dihasilkan oleh dua negara Asia, yakni Malaysia dan Indonesia. Pada tahun 2001 produksi minyak sawit dari Indonesia mencapai + 8 juta ton sedangkan Malaysia mencapai + 12 juta ton. Keseimbangan asam lemak saturated dan unsaturated dalam minyak kelapa sawit memperkuat posisi minyak sawit sebagai bahan pangan dan bahan baku industri, sehingga pengembangannya sampai saat ini sangat pesat.

Luas tanaman kelapa sawit berproduksi di Indonesia pada tahun 2000 telah mencapai 2,014 juta ha, dengan laju pertumbuhan 12,6%/tahun (LIWANG, 2003). Pada tahun yang sama Malaysia

memiliki luas tanam berproduksi 2,941 juta ha dengan laju pertumbuhan sebesar 5,5%/tahun. Diperkirakan saat ini luas kebun sawit di Indonesia sudah lebih dari 4,1 juta ha dan Malaysia sekitar 3,6 juta ha. Pada masa mendatang Malaysia akan berada pada posisi stagnan karena keterbatasan lahan, serta faktor ketersediaan dan biaya tenaga kerja. Sebagian besar luas kepemilikan perkebuanan kelapa sawit di Indonesia dikelola oleh pihak swasta (private estate, 50%), sisanya dimiliki oleh PT. Perkebunan Negara (state estate, 18%) dan perorangan (smallholder, 32%).

Perluasan kebun kelapa sawit akan meyebabkan peningkatan produk samping yang berpotensi mengganggu lingkungan bila tidak dikelola dengan baik. Disamping itu diperlukan upaya-upaya untuk terus meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia, baik melalui penekanan biaya produksi maupun peningkatan pendapatan. Masalah ini dapat diatasi antara lain dengan memanfaatkan ternak (CORLEY, 2003) yang berperan sebagai mesin pengolah limbah atau pabrik

penghasil bahan organik. Produk samping yang belum dimanfaatkan secara optimal adalah daun, pelepah, lumpur sawit dan bungkil kelapa sawit (MOHAMED et al., 1986), khususnya sebagai bahan

dasar ransum ternak ruminansia (JALALUDIN et al., 1991; OSMANN, 1998; NOEL, 2003).

b. Biomassa produk kelapa sawit

Setiap hektar kebun secara teoritis dapat menampung 143 pokok tanaman, bila jarak tanam antar pokok 9 x 9 m. Di lapang pada kenyataannya jumlah pokok kelapa sawit hanya mencapai ±130 pohon/ha, tergantung kondisi wilayah. Setiap pohon dapat menghasilkan 22 pelepah/tahun, dan rataan bobot pelepah per batang mencapai 2,2 kg (setelah dikupas untuk pakan). Sehingga

(2)

setiap hektar dapat menghasilkan pelepah segar untuk pakan sekitar 9 ton/ha/tahun, atau setara dengan 1,64 ton ha-1 tahun-1 bahan kering. Selain pelepah juga dihasilkan daun sekitar 0,5

kg/pelepah sehingga setiap tahun akan diperoleh bahan kering dari daun untuk pakan sejumlah 0,66 ton ha-1 tahun-1.

Minyak sawit (palm oil) merupakan produk utama, sedangkan produk samping yang akan diperoleh adalah tandan kosong, serat perasan, lumpur sawit/solid dan bungkil kelapa sawit. Setiap 1.000 kg tandan buah segar dapat diperoleh minyak sawit sejumlah 250 kg, hasil samping sebanyak 294 kg lumpur sawit, 35 kg bungkil sawit dan 180 kg serat perasan (JALALUDIN et al., 1991). Hasil

samping ini sangat potensial untuk bahan pakan, bahkan bila telah diolah dengan baik sebagian dapat dipergunakan untuk menyusun ransum ternak monogastrik. Dengan perkataan lain, setiap hektar areal perkebunan sawit di Indonesia akan mampu menghasilkan pelepah, daun dan limbah untuk pakan dalam jumlah yang sangat besar (Tabel 1).

Tabel 1. Biomasa tanaman dan olahan kelapa sawit untuk setiap hektar*)

Biomasa Segar (kg) Bahan kering (%) Bahan kering (kg)

Daun tanpa lidi 1.430 46,18 658

Pelepah 9.292 26,07 1.640

Tandan kosong 3.680 92,1 3.386

Serat perasan 2.880 93,11 2.681

Lumpur sawit, solid 4.704 24,07 1.132

Bungkil kelapa sawit 560 91,83 514

Total biomasa 10.011

*) 1 Ha = 130 pokok pohon

1 pohon dapat menyediakan pelepah sejumlah 22 per tahun 1 pelepah, bobot 2,2 kg (hanya 1/3 bagian yang dimanfaatkan) bobot daun per pelepah, 0,5 kg

Tandan kosong 23% dari TBS

Produksi minyak sawit 4 ton per ha per tahun (LIWANG, 2003)

1000 kg TBS menghasilkan: 250 kg minyak sawit, 294 kg lumpur sawit, 180 kg serat perasan dan 35 kg bungkil kelapa sawit (JALALUDINet al., 1991)

c. Peningkatan produktivitas lahan dan tenaga

Peningkatan produktivitas dapat dilakukan dengan efisiensi dalam memanfaatkan lahan, maupun tenaga kerja, serta menekan biaya pemupukan. Setelah dipanen, buah sawit harus segera dikirim ke tempat penampungan, sehingga diperlukan cara transportasi yang praktis dan murah. Penggunaan alat transportasi besar (truk) akan membutuhkan investasi pembuatan jalan dan pengadaan kendaraan dalam jumlah yang cukup besar. Pembuatan jalan yang terlalu lebar dan panjang juga akan mengurangi tingkat kepadatan tanaman sawit yang dapat ditanam.

Sebaliknya apabila ketersediaan sarana transportasi dalam kebun terbatas, akan menghambat kelancaran pengangkutan hasil panen maupun pengangkutan pupuk. Hal ini juga akan berdampak pada berkurangnya efisiensi penggunaan tenaga kerja dalam proses pengangkutan buah sawit maupun perawatan kebun. Semakin banyak tenaga pemanen dan perawat kebun yang diperlukan maka akan meningkatkan pula jumlah tenaga pengawas/mandor, sehingga biaya tenaga kerja semakin tinggi.

(3)

Efisiensi pemupukan dapat dilakukan apabila jumlah pemberian pupuk kimia dapat dikurangi namun kesuburan lahan harus tetap terjaga. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan penyediaan bahan organik atau kompos yang dapat diperoleh dengan cara mudah dan murah.

Untuk mengatasi hal-hal tersebut PT Agricinal di Bengkulu telah melakukan terobosan dengan menggunakan sapi sebagai tenaga pembantu pengangkutan dalam kebun, sekaligus untuk meningkatkan pendapatan pemanen. Untuk memelihara sapi yang jumlahnya semakin banyak, telah dicoba pengganti hijauan untuk memanfaatkan pelepah sawit sebagai salah satu sumber pakan, sesuai rekomendasi hasil penelitian Badan Litbang Pertanian (Pusat Penelitian Kelapa Sawit, PPKS). Namun yang menjadi pertanyaan adalah, apakah pemeliharaan sapi dalam jumlah banyak cukup ekonomis dan tidak mengganggu usaha pokok?

d. Peluang pengembangan ternak sapi

Permintaan daging sapi cenderung meningkat seirama dengan pertambahan jumlah penduduk, perkembangan ekonomi, perubahan gaya hidup, kesadaran gizi dan perbaikan tingkat pendidikan (DELGADO et al., 1999). Ke depan diramalkan akan terus terjadi peningkatan permintaan daging sehingga akan membuka peluang pasar domestik yang sangat besar. Saat ini rata-rata konsumsi daging sapi secara nasional masih sangat rendah (<2 kg/kapita/tahun), dan diduga akan terjadi peningkatan permintaan mencapai sekitar 3 kg/kapita/tahun dalam dasawarsa mendatang. Peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan rata-rata konsumsi tersebut memerlukan tambahan pasokan sapi potong sangat besar, yaitu sekitar 1,5 juta ekor/tahun.

Potensi pasar yang besar tersebut ternyata belum dapat diimbangi dengan kemampuan pasokan dari dalam negeri. Di NTT sebagai salah satu gudang ternak, misalnya, populasi sapi telah menurun drastis sampai hampir 50% (Kompas 14 Agustus 2003, hal. 31). Kondisi ini dikhawatirkan dapat meningkatkan ketergantungan pada daging impor sampai 70 % dalam waktu mendatang seperti ramalan peneliti Australia dalam laporan ACIAR 2003 (QUIRKE et al., 2003). Berdasarkan laporan

ACIAR tahun 2002 (HADI et al., 2002), impor daging beku maupun jerohan dari Australia, jumlahnya terus meningkat dengan perbandingan sapi : daging : jerohan mendekati 1 : 1 : 1. Seiring dengan hal tersebut, data terakhir menunjukkan impor sapi bakalan atau siap potong pada tahun 2002 telah mencapai lebih dari 420.000 ekor (PUSLITBANGNAK, 2003).

Saat ini usaha peternakan untuk menghasilkan sapi bakalan (cow-calf operation) 99% dilakukan oleh peternakan rakyat. Usaha ini tetap bertahan karena merupakan usaha sambilan (memanfaatkan waktu luang, tabungan, memanfaatkan produk samping agroindustri, atau alasan lainnya), tetapi justru berdaya saing (PUSLITBANGNAK, 2002). Dengan asumsi jarak beranak sekitar

400-500 hari, dan biaya pakan sedikitnya Rp. 3000/ekor/hari, maka biaya untuk menghasilkan seekor pedet jumlahnya sama atau lebih besar dari harga jual pedet (PUSLITBANGNAK, 2003). Dengan perkataan lain, bila dihitung secara parsial, biaya pakan dan bunga bank tidak dapat ditutup dari hasil penjualan pedet yang harganya sekitar Rp. 1-1,5 juta.

Kerugian tersebut ‘tidak terjadi’ pada peternakan rakyat karena pemeliharaan sapi diusahakan dalam suatu sistem yang terintegrasi, sehingga biaya pakan sangat kecil. Di kawasan perkebunan pengembangan sapi juga sangat layak, bila dilakukan dengan pola ‘zero waste’ dan ‘zero cost’. Fungsi sapi bukan sekedar untuk menghasilkan sapi bakalan, tetapi berfungsi pula sebagai tenaga kerja dan penghasil kompos. Makalah ini akan membahas hasil pengamatan di PT Agricinal, Bengkulu, yang telah melakukan pengembangan sapi secara terintegrasi. Pembahasan dilakukan dengan diperkaya hasil studi terdahulu maupun pengamatan lain yang sedang berjalan.

(4)

PENGAMATAN DI PT AGRICINAL a. Kegiatan yang telah dilakukan

PT Agricinal merupakan perusahaan inti pola PIR perkebunan kelapa sawit yang terletak di Kabupaten di Bengkulu Utara. Mulai tahun 1997 PT Agricinal telah mengintroduksikan ternak sapi pada perkebunan sawit, dengan tujuan utama untuk efisiensi pengangkutan hasil panen TBS (tandan buah segar). Pengembangan sapi dilakukan melalui pola kredit dari perusahaan kepada pemanen dengan skala usaha saat ini 3 ekor induk per pemanen. Koperasi perusahaan berperan sebagai ‘manager’ untuk menangani kredit dengan jangka waktu 4 tahun dan bunga kredit sebesar 19,5% per tahun.

Bangsa sapi yang dipergunakan adalah sapi Bali dengan alasan Sapi Bali mudah beradaptasi dengan baik di wilayah tersebut. Jumlah sapi yang diberikan pada awal tahun 1997 adalah 151 ekor betina dan 12 ekor jantan. Pada tahun 2003 pengadaan sapi telah mencapai 1333 ekor betina dan 55 ekor jantan (Tabel 2). Dari total pengadaan tersebut populasi sapi telah berkembang menjadi 2.814 ekor. Pola pengembangan sapi dilakukan dengan berorientasi pada ekonomi kerakyatan, dimana (a) sapi menjadi milik pemanen dan petani plasma melalui pola kredit, (b) kegiatan dihimpun dalam wadah koperasi, dan (c) perusahaan berperan dalam pengadaan dan pemasaran sapi.

Introduksi sapi telah mengakibatkan terjadinya perubahan organisasi pekerja yang semula menggunakan ancak giring dirubah menjadi ancak tetap. Pada ancak giring setiap pemanen melaksanakan pekerjaan panen seluas 10 ha, sedangkan pada ancak tetap setiap pemanen dapat bekerja dengan luas 15 ha. Efisiensi pengangkutan TBS dengan menggunakan tenaga sapi meningkatkan jumlah luasan hasil panen, sehingga komponen biaya upah tenaga kerja bagi perusahaan dapat ditekan. Penggunaan gerobak yang ditarik oleh sapi untuk mengangkut TBS ke TPH (tempat penampungan hasil) berpeluang ‘memperkecil’ jalan di kebun, sehingga memungkinkan efisiensi lahan sekitar 5-10%.

Saat ini perusahaan sedang melakukan kerjasama penelitian dengan Badan Litbang Pertanian (PPKS, BPTP Bengkulu dan Balitnak), dalam upaya meningkatkan pemanfaatan ‘limbah’ sawit (solid dan bungkil inti sawit) untuk pakan. Namun yang terjadi di lapang sebagian besar sapi masih sekedar memanfaatkan biomasa (rerumputan) yang ada, sementara pelepah sawit diberikan hanya pada sore hari.

Tabel 2. Perkembangan populasi sapi (ekor)

Jumlah pengadaan sapi menurut daerah asal

Lokal Palembang Lampung Jumlah pengadaan sapi Tahun

Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jumlah 1996 - 6 - - - - - 6 6 1997 12 151 - - - - 12 151 163 1998 2 29 - - - - 2 29 31 1999 1 11 4 107 36 429 41 547 588 2003 - - - 600 - 600 600 Jumlah 15 197 4 107 36 1029 55 1333 1388

(5)

Pemanfaatan pelepah sawit dilakukan sesuai rekomendasi hasil kerjasama penelitian tim PPKS dan Lolit Kambing Potong di Sei Putih. Oleh karena itu hasil penelitian yang saat ini sedang dikerjakan diharapkan dalam jangka panjang juga dapat memberi rekomendasi tentang diversifikasi usaha melalui penjualan sumber pakan secara komersial dalam bentuk complete feed.

b. Analisis ekonomiusaha cow-calf operation

Introduksi sapi dalam perkebunan sawit telah mampu meningkatkan kinerja pemanen yang semula hanya mampu memanen TBS untuk luasan 10 ha/orang menjadi 15 ha/orang. Pemanfaatan sapi untuk mengangkut TBS secara langsung berakibat pada peningkatan pendapatan pemanen sekitar 50% melalui penerimaan upah panen. Peningkatan pendapatan ini berdampak pada (a) peningkatan kepemilikan sapi, dengan rata-rata 5,6 ekor per keluarga, dan (b) penambahan atau peningkatan aset sekunder lainnya dalam bentuk sepeda motor, TV dan tanah.

Analisis ekonomi secara parsial menunjukkan bahwa dengan skala usaha 3 ekor induk sapi selama 7 tahun masa produksi dan bunga kredit 19,5%, penerimaan dari usaha sapi tidak terlalu menguntungkan atau boleh dikatakan break even saja. Estimasi gross margin dilakukan berdasarkan dimasukkannya biaya tenaga kerja sebagai biaya produksi, walau pada kenyataannya komponen tenaga kerja hanya merupakan opportunity cost bagi pemanen yang tidak pernah dihitung secara nyata.

Parameter teknis dan ekonomi yang digunakan dalam perhitungan ini disajikan secara rinci dalam Tabel 3. Skenario I adalah dengan memasukkan komponen tenaga kerja dalam biaya produksi, sedangkan Skenario II adalah komponen tenaga kerja hanya merupakan opportunity cost yang tidak pernah dihitung secara nyata. Hasil perhitungan menunjukkan R/C hanya mencapai masing 1,02 dan 1,5 untuk Skenario I dan II. Sedangkan IRR yang diperoleh adalah masing-masing 21% dan 34% pada Skenario I dan II (Tabel 4).

Tabel 3. Parameter teknis dan ekonomi yang digunakan dalam perhitungan

Parameter Nilai

Skala usaha (ekor) 3

Jangka waktu produksi (tahun) 7

Tingkat kelahiran (%) 60

Tingkat kematian (%) 3

Upah tenaga kerja (Rp/jam) 1670

Harga induk (Rp/ekor) 2.450.000

Harga jual induk (Rp/ekor) 3.500.000

Harga jual jantan (Rp/ekor) 4.000.000

Harga jual sapi bakalan (Rp/ekor) 2.500.000

Harga jual anak sapihan (Rp/ekor) 1.500.000

Harga jual kotoran ternak (Rp/karung) 2000

Biaya pakan sepenuhnya berasal dari ‘limbah’ perkebunan sawit

Pengaruh atau dampak lainnya dari introduksi sapi adalah peningkatan kegiatan koperasi dalam melayani kredit untuk pembelian sapi, pembangunan kandang dan saprodi lainnya. Peningkatan kegiatan tersebut secara langsung akan meningkatkan perolehan jasa pelayanan sehingga

(6)

meningkatkan SHU bagi para anggota koperasi. Pengembangan usaha cow-calf operation juga telah meningkatkan kegiatan ekonomi lainnya seperti tumbuhnya lembaga penunjang sarana produksi, meningkatnya kegiatan perdagangan yang pada gilirannya berpotensi untuk meningkatkan kesejaheraan masyarakat secara menyeluruh dan pendapatan asli daerah.

Tabel 4. Analisis ekonomi bagi keluarga pemanen pada Skenario I dan II (Rp 000)

Parameter Skenario I Skenario II

Biaya tetap: Cicilan pokok Bunga 9.750 4.933,5 9.750 4.933,5 Biaya produksi: Tenaga kerja 1.519,2 0 Penerimaan sapi 33.150 33.150

Penerimaan kotoran sapi 3.450 3.450

R/C 1,05 1,5

NPV 905.8 5.884,5

IRR (%) 21,5 34,4

PEMBAHASAN a. Sapi dan pakan

Penggunaan sapi sebagai tenaga penarik gerobak ataupun untuk mengangkut TBS, secara nyata telah memberi kontribusi terhadap: (a) peningkatan pendapatan pemanen, (b) penurunan biaya tenaga kerja, serta (c) berpotensi menghasilkan kompos yang sangat diperlukan untuk mengurangi biaya pemupukan. Namun pengembangan sapi untuk usaha cow-calf operation perlu mendapat perhatian tersendiri, terutama dalam hal pakan, bibit, manajemen pemeliharaan, dan perawatan kesehatan. Sementara itu pemanfaatan ‘limbah sawit’ yang tidak dipergunakan untuk pakan juga mempunyai potensi ekonomi yang tinggi.

Berdasarkan perhitungan kelayakan finansial, simulasi ekonomi dilakukan dengan perubahan tingkat suku bunga sekitar 12%. Skenario III adalah simulasi hasil analisis dengan memperhitungkan tenaga kerja sebagai biaya produksi dan Skenario IV adalah tanpa memasukkan komponen tenaga kerja dalam biaya produksi. Hasil simulasi menunjukkan bahwa R/C yang diperoleh masing-masing meningkat menjadi 1,4 dan 2,3 dan IRR sebesar 25 dan 40% berturut-turut pada Skenario III dan IV. Hal ini menunjukkan bahwa penerimaan usaha cow-calf operation menjadi lebih layak bagi peningkatan kesejahteraan pemanen, disamping multiplier effect yang lain seperti peluang alokasi tenaga kerja yang optimal bagi keluarga pemanen.

Biomasa/produk samping yang dihasilkan dari tanaman dan pengolahan kelapa sawit untuk setiap satu satuan luas tanaman kelapa sawit (ha) dalam setahun adalah 10.011. kg bahan kering. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah biomasa yang dihasilkan dari perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia adalah 20.327 metrik ton. Jika diasumsikan seluruh biomasa tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal oleh ternak ruminansia, khususnya sapi, maka jumlah ternak sapi yang dapat ditampung dapat mencapai 6.364.618 UT (1 unit ternak/UT setara dengan 250 kg, dan konsumsi setiap 1 UT adalah + 3,5% dari bobot hidup). Sehingga, perkebunan kelapa sawit di

(7)

Indonesia berpotensi dapat menyediakan pakan bagi 9 juta ekor sapi dewasa (1 ekor sapi dewasa setara dengan 0,7 UT).

Tabel 5. Simulasi ekonomi bagi keluarga pemanen dengan bunga kredit 12% per tahun pada Skenario III dan IV (Rp 000)

Parameter Skenario III Skenario IV

Biaya tetap: Cicilan pokok Bunga 9.750 3.036 9.750 3.036 Biaya produksi: Tenaga kerja 1519,2 0 Penerimaan sapi 33150 33150

Penerimaan kotoran sapi 3450 3450

R/C 1,45 1,46

NPV 7.212,5 13.175,9

IRR (%) 25,3 40,42

Faktor lingkungan terutama pakan adalah kunci utama dalam menentukan strategi pengembangan dan pemilihan bibit sapi termasuk program peningkatan mutu genetik (DIWYANTO, 2002). Oleh karena itu pendekatan yang perlu ditempuh adalah mengembangkan inovasi teknologi untuk memanfaatkan ‘limbah’ melalui pola integrasi di perkebunan sawit. Pola ini sudah banyak dilaporkan oleh para peneliti (ABU HASSAN et al., 1991; MOHAMED et al., 1986; JALALUDINet al.,

1991; OSMANN, 1998; NOEL, 2003), karena banyak memberikan nilai tambah, baik secara langsung maupun tidak langsung (STUR, 1990). Hal yang sama juga dilaporkan oleh ZAINUDIN dan ZAHARI

(1992), bahwa integrasi usaha peternakan secara horizontal dibawah tanaman perkebunan memberikan dampak yang sangat besar artinya.

Pelepah kelapa sawit yang saat ini belum dimanfaatkan secara optimal merupakan salah satu bahan pakan pengganti hijauan (KAWAMOTO et al., 2001), disamping hasil ikutan dalam pengolahan

buah kelapa sawit. Laporan dari PPKS yang bekerjasama dengan peneliti dari Loka Penelitian Kambing Potong, Sei Putih telah merekomendasikan tentang kemungkinan pemanfaatan pelepah kelapa sawit untuk ternak domba dan kambing. Hal yang sama juga dilaporkan oleh para peneliti di Malaysia (WAN ZAHARI et al., 2003). Inovasi teknologi lainnya yang dapat meningkatkan kualitas limbah sawit dapat dilakukan dengan perlakuan kimiawi maupun biologis (BALITNAK, 2003), serta

memanfaatkan alat pencacah yang dapat dikembangkan oleh Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian.

Pemanfaatan lumpur sawit untuk pakan ternak secara langsung harus dilakukan dengan cara mengurangi kadar airnya (WEEB et al., 1976). Untuk ‘memperkaya nilai gizi’ lumpur sawit antara

lain dilakukan dengan fermentasi aerobik dan hasilnya meningkatkan kandungan protein kasar menjadi 43,4% dan energi menjadi 2,34 kkal EM/g (YEONG, 1982; YEONG et al., 1983). Sementara itu peningkatan nilai nutrien solid melalui pendekatan enzimatis (fermentasi) dengan menggunakan Aspergillus niger, telah pula dilakukan oleh para peneliti Balai Penelitian Ternak, Ciawi-Bogor, dan dilaporkan bahwa kandungan protein kasar meningkat dari 12,21% menjadi 24,5%, sementara kandungan energi metabolis meningkat dari 1,6 Kkal/g menjadi 1,7 Kkal/g (SINURAT et al., 1998). Namun teknologi fermentasi tersebut masih membutuhkan penyempurnaan untuk diaplikasikan

(8)

secara komersial. Sedangkan pemanfaatan bungkil kelapa sawit sebagai sumber pakan sudah tidak diragukan dan inovasinya sudah berkembang cukup luas.

Tandan kosong dan serat perasan merupakan produk samping yang berpotensi untuk bahan pakan, meskipun saat ini belum banyak dimanfaatkan karena kandungan serat kasar yang cukup tinggi. Upaya peningkatan nilai nutrien produk samping tersebut belum banyak dilakukan, khususnya sebagai pakan ruminansia. Hingga saat ini kedua produk tersebut masih dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan kompos. Dengan memperhatikan kelebihan dan kekurangan semua produk samping tanaman dan olahan buah kelapa sawit maka tidaklah mustahil apabila dari komponen produk samping dapat disusun pakan komplit untuk ternak ruminansia.

b. Breeding dan Manajemen Pemeliharaan Ternak

Rekomendasi para pakar menyarankan bahwa pengembangan sapi sebaiknya memanfaatkan plasma nutfah (sumberdaya genetik = SDG) lokal, antara lain sapi Bali. Kelebihan sapi Bali antara lain adalah (a) daya adaptasi yang tinggi, (b) daya reproduksi sangat baik, (c) mampu memanfaatkan pakan yang berkualitas ‘rendah’, (d) kualitas karkas sangat baik, serta (e) mempunyai harga jual yang tinggi. Tetapi sapi Bali juga mempunyai beberapa kelemahan, antara lain (a) kurang responsive bila diberi pakan berkualitas, (b) tidak dapat dipelihara bersama domba karena penyakit MCF, (c) persilangan dengan sapi Bos Taurus menghasilkan jantan yang mandul, serta (d) ukurannya relatif kecil (ACIAR Proceedings, No. 110, 2003). Secara umum sapi Bali mempunyai lebih banyak keunggulan teknis maupun ekonomis.

Teknologi yang dapat diaplikasikan dalam usaha cow-calf operation harus tepat, dengan sasaran untuk menekan biaya produksi. Aplikasi IB untuk tujuan persilangan secara nyata dapat meningkatkan ukuran dan pertumbuhan (ADG) sapi yang dipelihara dengan input memadai. Namun sapi persilangan ini memberi NPV (net present value) sangat kecil, karena memerlukan pakan yang berkualitas. Service per conception (S/C) kegiatan IB kurang efisien pada pola ekstensif, yang dampaknya akan memperpanjang calving interval (CI). Bahkan kecenderungan untuk melakukan back-crossing telah mengakibatkan peningkatan kasus dystocia. Oleh karena itu usaha sapi di kawasan perkebunan harus dilakukan dengan dua cara perkawinan, yaitu IB dan kawin alam. Disarankan perbandingan jantan dan betina produktif dalam suatu kawasan sekitar 1 : 20 ekor.

Apabila diperlukan sapi bibit dalam jumlah banyak dan pasokan dari dalam negeri terbatas, maka alternatif lain adalah mendatangkan sapi komersial stock betina yang masih muda, fertil, dan sehat. Sapi ini selanjutnya dapat dikawinkan dengan sapi Bali agar keturunannya mempunyai daya adaptasi yang lebih baik. Di kawasan perkebunan sawit tidak dianjurkan untuk pengembangan sapi tipe besar, karena dikuatirkan tidak layak teknis maupun ekonomis (DIWYANTO, 2002).

Ketersediaan beberapa vaksin lokal yang telah dihasilkan Balai Penelitian Veteriner seperti SE–34, memungkinkan ternak terhindar dari serangan penyakit berbahaya dengan biaya yang murah.

Pemeliharaan sapi yang dikandangkan akan mengurangi insiden penyakit cacing, karena siklus infeksinya terputus (PUSLITBANGNAK, 2000). Kondisi ini akan memberi dampak keuntungan yaitu

potensi penghematan obat cacing sekitar Rp. 150.000,- – 300.000,-/ekor/tahun. Pengandangan pola kereman juga akan memberi keuntungan dalam hal pemeliharaan ternak dan pengolahan kompos yang relatif lebih mudah. Hasil penelitian di Balai Penelitian Padi, Sukamandi menunjukkan bahwa pemeliharaan sapi pola integrasi in-situ memungkinkan seorang pekerja (peternak) memelihara sapi dalam jumlah 30 ekor dan biaya riil yang harus dikeluarkan hanya sekitar Rp.1 juta/bulan (CASREN, 2003). Pemberian probiotik terbukti dapat mengurangi cemaran ‘bau’, serta

(9)

meningkatkan proses dan kualitas dalam pembuatan kompos. Biaya untuk menghasilkan kompos sekitar Rp.125,-/kg, sedangkan harga jual kompos sekitar Rp. 300,-/kg (PUSLITBANGNAK, 2003).

c. Inovasi teknologi pembuatan pupuk organik

Pemanfaatan tandan kosong sebagai bahan kompos telah dikembangkan oleh PPKS dan memberikan hasil yang cukup memuaskan. Selain berkurangnya pencemaran lingkungan sebagai akibat keberadaan biomasa tersebut, hasil pembuatan kompos hasil olahan tandan kosong tersebut memberi nilai tambah tersendiri. Teknologi pengomposan yang dilakukan merupakan kombinasi pengolahan produk samping dalam bentuk padat dan cair dalam suatu proses. Setelah tandan kosong, sebagai produk samping yang padat dicacah dengan ukuran 40 – 60 mm, ditumpuk memanjang dengan ketinggian 1,2 m dan lebar 3 m. Selanjutnya dalam proses pengomposan, tumpukan tandan kosong disiram dengan sejumlah tertentu produk samping cair, yang untuk selanjutnya dibalik setiap satu minggu sekali. Proses pengomposan berlangsung selama 42 hari, yang untuk selanjutnya dikeringkan dan dipacking (bila perlu), ataupun dapat dimanfaatkan langsung sebagai pupuk organik. Biaya yang dikeluarkan untuk setiap kg kompos yang dihasilkan adalah Rp. 115,-, sementara harga jual dapat mencapai Rp. 250,- per kg kompos.

Penggunaan pupuk anorganik secara terus-menerus dalam jangka waktu yang lama ternyata dapat menyebabkan kondisi tanah menjadi ‘sakit’ untuk pertumbuhan tanaman. Hal ini berkaitan dengan perubahan fisik dan mikrobiologi tanah sedemikian rupa sehingga pertumbuhan perakaran tanaman menjadi terganggu yang pada gilirannya akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman secara keseluruhan. Hal ini berarti diperlukan pupuk organik yang sangat besar untuk mempertahankan ‘kesehatan’ lahan. Dilain pihak, ternak ruminansia memberikan peluang yang besar untuk menghasilkan kotoran yang dapat diproses menjadi pupuk organik. Kandungan mikroba rumen dapat dimanfaatkan untuk membantu proses dekomposisi manure dan proses ini dapat dipercepat dengan penambahan ‘mikroba unggul’ (PUSLITBANGNAK, 2000).

Bila pemeliharaan ternak dilakukan dengan sistem ‘kereman’, maka akan diperoleh banyak keuntungan antara lain: (a) kandang tidak perlu dibersihkan setiap hari sehingga menghemat tenaga kerja, (b) ternak tidak mengganggu manajemen pemeliharaan kebun, dan (c) kotoran dapat tertampung dan dibersihkan sebulan sekali untuk diproses menjadi kompos. Tempat pembuatan ‘pupuk organik’ harus dijaga agar tidak mendapatkan panas langsung dari sinar matahari, dan juga harus terlindung dari air hujan. Kotoran tersebut dicampur dengan probiotik dengan imbangan 2,5 kg probiotik untuk setiap ton bahan pupuk, selanjutnya ditumpuk pada tempat yang telah disiapkan sehingga mempunyai ketinggian tumpukan sekitar 1,5 meter. Sumber unsur kalsium (kapur) ditambahkan dan dicampurkan dengan kebutuhan 2,5 kg per ton bahan pupuk, sumber unsur phosphor (TSP) ditambahkan sebanyak 2,5 kg juga. Campuran tersebut didiamkan selama kurang lebih 1 bulan dengan pembalikan dilakukan setiap minggu. Dari hasil penelitian kompos ini mengandung C/N ratio antara 14-20 (HARYANTO et al., 2000).

KESIMPULAN

Sejak tahun 1997 PT Agricinal telah mulai mengembangkan sapi Bali, dengan tujuan untuk meringankan pekerjaan pemanen dalam mengangkut TBS ke tempat penampungan hasil (TPH). Sapi sepenuhnya menjadi milik pemanen, dan penggunaan sapi dilakukan dengan pertimbangan: (a) investasi lebih murah dibandingkan dengan kendaraan bermotor, (b) tidak mengalami depresiasi

(10)

bahkan dapat berkembang biak, (c) tidak memerlukan bahan bakar, (d) perawatan lebih murah dan sederhana, serta (e) tidak berpotensi merusak lingkungan. Saat ini perkembangan sapi sangat baik dan pemanen sangat merasakan manfaatnya sebagai sarana untuk mengakumulasikan aset dan mengisi waktu senggang.

Penggunaan sapi untuk menarik gerobak maupun memanggul hasil panen telah mengakibatkan efisiensi pengangkutan TBS. Pemanen yang semula hanya mampu bekerja untuk areal 10 ha dengan pola ancak giring, dengan bantuan sapi mampu melaksanakan pekerjaan panen pada kawasan seluas 15 ha dengan pola ancak tetap. Perawatan kebun terutama pengangkutan pupuk juga dapat dilakukan lebih efisien. Efisiensi tenaga pengawas juga dapat dilaksanakan, sehingga secara keseluruhan berdampak pada penghematan biaya tenaga kerja secara signifikan.

Penggunaan sapi sebagai tenaga kerja secara langsung berakibat pada peningkatan pendapatan pemanen sekitar 50% melalui penerimaan upah panen. Disamping itu pekerjaan pemanen relatif lebih ringan dan bekerja lebih nyaman. Waktu luang yang tersedia dapat dimanfaatkan untuk mengumpulkan pelepah sawit dan dibawa pulang guna keperluan pakan sapi.

Perkebunan sawit mempunyai potensi yang cukup besar untuk menyediakan sumber pakan yang berasal dari hasil samping berupa pelepah, daun, maupun ‘limbah’ industri. Bahan kering yang dihasilkan berpotensi untuk memberi pakan sapi sebanyak 1-3 ekor/ha. Kebutuhan tenaga kerja sapi adalah 1 ekor untuk 15 ha. Dengan demikian ditinjau dari ketersediaan pakan, setiap keluarga pemanen berpotensi untuk memelihara tambahan sapi sebanyak 14 ekor sepanjang tahun.

‘Limbah’ produk sawit yang tidak layak sebagai pakan maupun kotoran sapi, belum sepenuhnya diolah menjadi kompos atau bahan organik. Kedua hasil samping tersebut mempunyai potensi yang sangat besar untuk meningkatkan efisiensi pemupukan, karena akan memperbaiki sifat fisik, kimia dan mikrobiologi tanah.

Pengembangan usaha cow-calf operation di PT Agricinal praktis tidak memerlukan biaya pakan, karena menggunakan pola integrasi ‘zero waste’ dan ‘zero cost’. Namun bila pengadaan sapi dilakukan melalui cara kredit komersial, maka petani hanya memperoleh pendapatan sebagai tenaga kerja (opportunity cost), walaupun secara nyata tidak mengeluarkan biaya pakan yang dapat mencapai sekitar 70% dari biaya produksi.

SARAN DAN REKOMENDASI

Usaha peternakan sapi sebagaimana dikembangkan PT Agricinal di Bengkulu, merupakan alternatif usaha cow-calf operation yang sangat unik dan dapat dijadikan model yang secara teknis, ekonomis, sosial dan lingkungan layak untuk dikembangkan. Pengembangan Sistem Integrasi Sapi di Perkebunan Kelapa Sawit (SISKA) “model PT Agricinal-Bengkulu” secara in-situ untuk kawasan perkebunan lainnya dapat dimodifikasi, disesuaikan dengan kondisi agroekologi, sosial-ekonomi masyarakat, serta peluang pengembangan dan pemasaran sapi.

Pengangkutan TBS dengan bantuan sapi berpeluang ‘memperkecil’ jalan di kebun, sehingga memungkinkan efisiensi lahan sekitar 5-10%. Oleh karena itu perlu pengkajian untuk menata ulang tata-ruang kebun sawit, yang disesuaikan dengan kondisi geografisnya. Tenaga kerja yang dapat dihemat dapat disalurkan untuk mengembangkan usaha, termasuk untuk memperkuat agribisnis peternakan sapi.

(11)

Pengembangan usaha cow-calf operation dan kegiatan usaha peternakan lainnya memerlukan dukungan inovasi teknologi yang tepat. Untuk itu diperlukan pelatihan untuk menerapkan rekomendasi dalam hal perbibitan, penggunaan pakan berbasis kelapa sawit, manajemen perkandangan, kesehatan, pembuatan kompos sampai pada aspek pemasaran.

Kelimpahan ‘limbah’ sawit yang dapat diolah menjadi pakan ternak harus dimanfaatkan dengan cara memperkaya (enrichment) melalui inovasi teknologi mekanis, kimia maupun mikrobiologi. Oleh karena itu perusahaan dapat mengembangkan usaha pabrik pakan, baik untuk dipergunakan sendiri maupun untuk tujuan komersial.

‘Limbah’ yang saat ini belum dimanfaatkan dapat diolah menjadi kompos atau bahan organik, untuk dipakai sendiri maupun dipasarkan. Akan tetapi untuk menjaga kelestarian dan ‘kesehatan’ lahan, direkomendasikan bahwa pola integrasi in-situ dengan pendekatan zero waste harus diaplikasikan secara penuh.

Untuk membantu pemanen meningkatkan usaha peternakannya, diperlukan penyediaan kredit dalam jumlah yang memadai, dengan jangka cukup panjang, serta tingkat suku bunga yang kompetitif. Selain itu diperlukan pula dukungan ketersediaan bibit sapi lokal (Bali) atau sapi lainnya, dengan kualitas baik, dan harga yang layak.

DAFTAR PUSTAKA

ACIAR. Proceedings No. 110, 2003. Strategies to Improve Bali Cattle in Eastern Indonesia.

ABU HASSAN, O. S. ISMAEL, A.R. MOHD JAAFAR, D.NAKANISHI, N. DAHLAN and S.H. ONG. 1991. Experience and challenges in processing, treatments, storage and feeding or oil palm trunks based diets for beef production. Proc. Sem. on Oil Palm Trunks and Others Palmwood Utilization, MSAP. Kuala Lumpur, Malaysia, 231-245.

CHEN, C.P. 1990. Management of Forage for Animal Production under Tree Crops. Proc. Integrated Tree Croping and Small ruminat Production system. SR-CRSP. Univ. California Davis, USA. pp. 10 - 23. CORLEY R.H.U. 2003. Oil Palm: A major Tropical Crop. Burotrop 19: 5-7.

DELGADO, C., M. ROSEGRANT, H. STEINFIELD, S. EHUI and C. COURBIES. 1999. Livestock to 2020 The Next Food Revolution. IFPRI, FAO, and ILRI.

DIWYANTO, K. 2002. Pemanfaatan Sumberdaya Lokal dan Inovasi Teknologi dalam Mendukung Pengembangan Sapi Potong di Indonesia. Orasi APU. Badan Litbang Pertanian.

FOLD N. 2003. Oil Palm: Market and Trade. Burotrop. 19: 11-13.

HADI, P.U., N. ILHAM, A. THAHAR, B. WINARSO, D. VINCENT and D. QUIRKE. 2002. Improving Indonesia’s Beef Industry. ACIAR, Canberra, Australia.

ISHIDA M. and O. A. HASSAN. 1997. Utilization of oil palm frond as cattle feed. JARQ 31: 41-47.

JALALUDIN, S., Y.W. HO, N. ABDULLAH and H. KUDO. 1991. Strategies for Animal Improvement In Southeast Asia. In: Utilization of Feed Resources in Relation to Utilization and Physiology of Ruminants in the Tropics. Trop. Agric. Res. Series. 25 pp. 67-76.

JALALUDIN,S., Z.A. JELAN, N. ABDULLAH and Y.W. HO. 1991. Recent Developments in the Oil Palm By-Product Based Ruminant Feeding System. MSAP, Penang, Malaysia pp. 35-44.

(12)

KAWAMOTO, H., M. WAN ZAHARI, N.I. MOHD SHUKUR, M.S. MOHD ALI J. ISMAIL and S. OSHIHO. 2002. Palatability, digestibility and voluntary intake of processed oil palm fronds in cattle. JARQ. 35(3): 195-200.

LIWANG T. 2003. Palm Oil mill effluent management. Burotrop. 19: 38.

MOHAMAD, H., H.A. HALIM and T.M. AHMAD. 1986. Availability and potential of oil palm atrunks and fronds up to the year 2000. Palm Oil Research Institute of Malaysia (PORIM) 20:1-17.

NOEL, J.M. 2003. Products and by-products. Burotrop 19: 8.

QUIRKE, D., et al., 2003. Effects of Globalisation and Economic Development, on the Asian Livestock Sector. ACIAR, Canberra, Australia.

SASAKI, M. 1992. The Advancement of Livestock Production with Special Reference to Feed Resources Development in the Tropics -Current Situation and Future Prospects. In: Utilization of Feed Resources in Relation to Utilization and Physiology of Ruminants in theTropics. Trop. Agric. Res. Series. 25. pp. 67-76.

SINURAT A.P., T. PURWADARIA, J. ROSIDA, H. SURACHMAN, H. HAMID dan I.P. KOMPIANG. 1998. Pengaruh suhu ruang fermentasi dan kadar air substrat terhadap nilai gizi produk fermentasi lumpur sawit. JITV 3: 225-229.

STUR, W.W. 1990. Methodology for Establishing Selection Criteria for Forage Species valuation. Proc. Integrated Tree Croping and Small Ruminat Production system. SR-CRSP. Univ.California Davis, USA. pp. 10 - 23.

YEONG, SW. 1982. The nutritive value of palm oil by-products for poultry. In: Animal Production and Health in the Tropics. JAIONUDEEN M.R and A.R. OMAR (Eds.) Univ. Pertanian Malaysia, Serdang, Selangor. pp. 217-212.

YEONG S.W., T.K. MUKHERJEE, M. FAIZAH and M.D. AZIZAH. 1983. Effect of palm oil by-product-based diets on reproductive performance of layers including residual effect on offspring. Phil. J. Vet. Anim.Sci. IX (1-4):93-100.

ZAINUDIN, A.T. and M.W. ZAHARI. 1992. Research on nutrition and feed resources to enhance livestock production in Malaysia. Proc. Utilization of feed resources in relation to nutrition and physiology of ruminants in the tropics. Trop. Agric. Res. Series. 25: 9-25.

ZARATE, A.V. 1996. Breeding strategies for marginal regions in the tropics and subtropics. Anim. Res. Dev. 43/44: 99-118.

WAN ZAHARI M., O.A. HASSAN, H.K. WONG and J.B. LIANG. 2003. Utilization oil palm frond-based diet for beef cattle production in Malaysia. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 16 (4): 625-634.

WEBB, B.H., R.I. HUTAGALUNG and S.T. CHEAN. 1976. Palm oil mill waste as animal feed-processing and utilization. Int. Symp. Palm Oil Processing and Marketing. Kuala Lumpur. pp. 125-146.

Gambar

Tabel 1. Biomasa tanaman dan olahan kelapa sawit untuk setiap hektar *)
Tabel 2. Perkembangan populasi sapi (ekor)
Tabel 3.  Parameter teknis dan ekonomi yang digunakan dalam perhitungan
Tabel 4. Analisis ekonomi bagi keluarga pemanen pada Skenario I dan II (Rp 000)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Jenis data yang dimaksud adalah semua data yang berkaitan dengan dakwah Muhammadiyah yang dilakukan oleh Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Demak periode

dikejutkan dengan pemberitaan bahwa PB Djarum akan mengakhiri beasiswa Bulu Tangkis yang telah diadakan selama dua belas tahun terakhir. Polemik ini berawal dari

Penguasaan terhadap pengetahuan tersebut akan mempermudah seorang pemain drum dalam menginterpretasikan komposisi musik untuk drum sesuai dengan apa yang

Diperlukan pengembang aplikasi Web dengan persyaratan baru atau perubahan dalam proyek Web jauh lebih sering daripada pengembang sistem perangkat

Therefore this utterance can be said as the code mixing because of the existing of English phrase print out into Bahasa Indonesia. The code mixing of this utterance

I Penambatan benda kerja dalam pelat genggam dengan penun- jaogan senter kepala lepas dapat sering terjadi pada benda kerja dengan garis tengah yang lebih besar.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa minyak cengkeh pada volume 3µl dapat menghambat secara nyata pertumbuhan miselium dengan diameter 10,07

Pemanfaatan  Ekstrak  Etanol  Daun  Gulinggang  (Cassia  alata  Linn)  sebagai   Bahan  Antijamur  pada  Produk  Sabun  Mandi   Utilization  of  Ethanol  Extract  of