• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lee dan Stone (1995) mendefinisikan kompetensi sebagai:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lee dan Stone (1995) mendefinisikan kompetensi sebagai:"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

8 2.1.1. Kompetensi

Lee dan Stone (1995) mendefinisikan kompetensi sebagai:

“Keahlian yang cukup secara eksplisit dapat digunakan untuk melakukan audit secara objektif”.

Van looy, Van dierdonck and Gemmel (1998 : 212) menyatakan kompetensi sebagai :

“sebuah karakteristik manusia yang berhubungan dengan efektifitas performa, karakteristik ini dapat dilihat seperti gaya bertindak, berperilaku dan berpikir.”

Menurut spencer and spencer (1993 : 9) menyatakan kompetensi sebagai : “an underlying characteristic’s of an individual which is causally related to criterion – referenced effective and or superior performance in a job or situation” (kompetensi adalah sebagai karakteristik yang mendasari seseorang dan berkaitan dengan efektifitas kinerja individu dalam pekerjaannya)

Adapun Bedard (1986) yang dikutip dalam Hexana Sri Lastanti (2005:88) mendefinisikan kompetensi sebagai berikut:

“Keahlian atau kompetensi sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan dan keterampilan prosedural yang luas ditunjukkan dalam pengalaman audit”.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kompetensi auditor adalah auditor yang dengan pengetahuan dan pengalaman yang cukup dan eksplisit dapat melakukan audit secara objektif, cermat dan seksama.

Dalam SPKN pada bagian Pendahuluan Standar Pemeriksaan, paragraf 27 dinyatakan bahwa : Organisasi pemeriksa mempunyai tanggung jawab untuk

(2)

meyakinkan bahwa : (1) indepedensi dan obyektivitas dipertahankan dalam seluruh tahap pemeriksaan, (2) pertimbangan profesional (professional judgement) digunakan dalam perencanaan dan pelaksanaan pemeriksaan dan pelaporan hasil pemeriksaan, (3) pemeriksaan dilakukan oleh personil yang mempunyai kompetensi profesional dan secara kolektif mempunyai keahlian dan pengetahuan yang memadai, dan (4) peer-review yang independen dilaksanakan secara periodik dan menghasilkan sutu pernyataan, apakah sistem pengendalian suatu orgnisasi pemeriksa tersebut dirancang dan memberikan keyakinan yang memadai sesuai dengan standar pemeriksaan.

Standar umum pertama SPKN, paragraf 03 menyebutkan bahwa pemeriksa secara kolektif harus memiliki kecakapan profesional yang memadai untuk melaksanakan tugas pemeriksaan. Dengan pernyataan standar pemeriksaan ini semua organisasi pemeriksa bertanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap pemeriksaan dilaksanakan oleh para pemeriksa yang secara kolektif memilki pengetahuan, keahlian, dan pengalaman yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas tersebut.

Kompetensi menurut De Angelo (1981) yang dikutip oleh Kusharyanti (2003) dapat dilihat dari berbagai sudut pandang yakni sudut pandang auditor individual, audit tim dan Kantor Akuntan Publik (KAP). Masing-masing sudut pandang akan dibahas lebih mendetil berikut ini.

“a) Kompetensi Auditor Individual

Ada banyak faktor yang mempengaruhi kemampuan auditor, antara lain pengetahuan dan pengalaman. Untuk melakukan tugas pengauditan, auditor memerlukan pengetahuan pengauditan (umum dan khusus) dan pengetahuan mengenai bidang pengauditan, akuntansi dan industri klien.

(3)

“Auditor yang berpengalaman mempunyai pemahaman yang lebih baik atas laporan keuangan sehingga keputusan yang diambil bisa lebih baik”. b) Kompetensi Audit Tim

Standar pekerjaan lapangan yang kedua menyatakan bahwa jika pekerjaan menggunakan asistensi maka harus disupervisi dengan semestinya. Dalam suatu penugasan , satu tim audit, biasanya terdiri dari junior, auditor senior, manajer dan partner, Tim audit ini dipandang sebagai faktor yang lebih menentukan kualitas audit (Wooten, 2003). Kerjasama yang baik antar anggota tim, profesionalisme, persistensi, skeptisme, proses kendali mutu yang kuat, pengalaman dengan klien, dan pengalaman industri yang baik akan menghasilkan tim audit yang berkualitas tinggi. Selain itu, adanya perhatian dari partner dan manajer pada penugasan ditemukan memiliki kaitan dengan kualitas audit.

c)Kompetensi dari sudut KAP

Besaran KAP dukur dari jumlah klien dan persentase dari audit fee dalam usaha mempertahankan kliennya untuk tidak berpindah ke KAP yang lain. Penelitian yang dilakukan oleh De Angelo (1982) menemukan hubungan positif antara besaran KAP dengan kualitas audit. KAP yang besar mengahasilakan kualitas audit yang lebih tinggi karena ada insentif untuk menjaga reputasi di pasar”.

Berdasarkan uraian di atas, maka kompetensi dapat dilihat melalui sudut pandang auditor secara individual, secara tim dari sudut KAP. Namun dalam penelitian ini akan digunakan kompetensi dari sudut pandang auditor individual, hal ini dikarenakan auditor adalah subjek yang melakukan audit secara langsung dan berhubungan langsung dalam proses audit sehingga diperlukan kompetensi yang baik untuk menghasilkan audit yang berkualitas. Dan berdasarkan konstruksi yang dikemukakan oleh De Angelo (1981), kompetensi diproksikan dalam dua hal yaitu pengetahuan dan pengalaman.

a. Pengetahuan

Menurut Wikipedia bahasa indonesia definisi pengetahuan adalah

“Informasi atau maklumat yang diketahui atau disadari oleh seseorang. Pengatahuan termasuk, tetapi tidak dibatasi pada deskripsi, hipotaesis, konsep, teori, prinsip dan prosedur yang secara Probabilitas Bayesian adalah benar atau berguna”.

(4)

Definisi pengetahuan menurut Bell et al (2005):

“...knowledge is justified beliefs about facts known to be true”. Jadi, pengetahuan adalah suatu kepercahaan mengenai fakta yang benar”.

Dalam Arens dan Loebbecke (1996:21), disebutkan bahwa:

“jika dalam hal auditor atau asistennya tidak mampu menangani suatu masalah mereka berkewajiban untuk mengupayakan pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan, mengalihkan pekerjaannya kepada orang lain yang lebih mampu, atau mengundurkan dirinya dari penugasan”.

Auditor selalu harus memiliki pendidikan auditing formal, mereka juga harus peduli dengan perkembangan baru dalam bidang akuntansi, auditing, dan bisnis serta harus menerapkan pernyataan baru di bidang akuntansi dan auditing begitu dikeluarkan.

Beberapa pengetahuan yang perlu dimiliki auditor antara lain adalah pegetahuan mengenai akuntansi, auditing, perpajakan, dan hukum sebagaimana menurut Tackett et, Al (2006):

“Regular auditor are generalists. The are required to have a broad knowledge acquasition. For example, Early (2001) finds that two training programs combined are better than either one alone at imporving knowledge acquisition complex auditing tasks”.

Adapun secara umum ada 5 pengetahuan yang harus dimiliki oleh seorang auditor menurut Kusharyanti (2003), yaitu:

“(1) Pengatahuan pengauditan umum, (2) Pengetahuan area fungsional, (3) Pengetahuan mengenai isu-isu akuntansi yang paling baru, (4) Pengetahuan mengenai industri khusus, (5) Pengetahuan mengenai bisnis umum serta penyelesaian masalah”.

(5)

Pengetahuan pengauditan umum seperti risiko audit, prosedur audit, dan lain-lain kebanyakan diperoleh di perguruan tinggi, sebagian dari pelatihan dan pengalaman.

Berdasarkan Murtanto dan Gudono (1999) terdapat 2 (dua) pandangan mengenai keahlian:

“Pertama, pandangan perilaku terhadap keahlian yang didasarkan pada paradigma ... Pandangan ini bertujuan untuk menggunakan lebih banyak kriteria objektif dalam mendefinisikan seorang ahli. Kedua, pandangan kognitif yang menjelaskan keahlian dari sudut pandang pengetahuan. Pengetahuan diperoleh melalui pengalaman langsung (pertimbangan yang dibuat di masa laulu dan umpan balik terhadap kinerja) dan pengalaman tidak langsung (pendidikan)”.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan Bonner (1990), sebagaimana yang dimuat oleh M.Nizarul Alim dkk. (2007), menunjukkan:

“Bahwa pengetahuan mengenai spesifikasi tugas dapat meningkatkan kinerja auditor berpengalaman, walaupun hanya dalam penetapan risiko analitis. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan mengenai spesifik tugas membantu kinerja auditor berpengalaman melalui komponen pemilihan dan pembobotan bukti hanya pada saat pendapat risiko analitis”.

Terkait dengan pengaruh pendidikan dan pelatihan terhadap auditor, Yulius Jogi Christiawan (2005) menguraikan sebagai berikut:

“Pencapaian keahlian personel dalam bidang akuntansi dan auditing dimulai dengan pendidikan formal, yang diperluas melalui pengalaman dalam praktik audit. Untuk memenuhi persyaratan sebagai seorang profesional, auditor harus menjalani pelatihan teknis yang cukup (IAI 2001). Pendidikan dalam arti luas meliputi pendidikan formal, pelatihan atau pendidikan berkelanjutan. Pelatihan lebih didapatkan oleh auditor akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perhatian auditor terhadap kekeliruan yang terjadi.” Pelatihan dan pendidikan lanjutan mempengaruhi pertimbangan audit akuntan yunior yang tidak mempunyai pengalaman pelatihan adalah sama dengan mutu pertimbangan audit mahasiswa”.

(6)

Dengan demikian dapat diketahui beberapa pengatahuan yang diperlukan auditor untuk meningkatkan kompetensinya antara lain adalah pengatahuan tentang akuntansi dan auditing, pengetahuan tentang bisnis klien dan pengatahuan mengenai spesifikasi tugas pengetahuan yang diperoleh dari pelatihan (training), pengetahuan-pengetahuan tersebut dapat membantu auditor dalam memahami berbagai transaksi bisnis, dokumen dan jurnal akuntansi dalam audit tertentu, membantu auditor dalam mengahadapi berbagai tugas audit, mempengaruhi pertimbangan audit, membantu auditor dalam penetapan risiko analitis yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas audit.

b. Pengalaman

Definisi pengalaman menurut Wikipedia bahasa indonesia adalah:

“Pengalaman adalah hasil persentuhan alam dengan panca indra manusia. Berasal dari kata peng-alam-an”.

Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia (2008:34):

“pengalaman adalah segala sesuatu yang pernah dialami, dijalani, dirasai, ditanggung dan sebagainya”.

Jadi kesimpulannya, pengalaman adalah gabungan dari semua yang dialami, dijalani, dirasai, dan ditanggung melalui interaksi secara berulang-ualng dengan benda, alam, keadaan, gagasan dan menginderaan.

Pengalaman merupakan salah satu elemen penting dalam tugas audit di samping pengetahuan, sehingga tidak mengherankan apabila cara pemerikasaan antara auditor berpengalaman dengan yang kurang berpengalaman akan berbeda, demikian halnya dalam mengambil keputusan dalam tugasnya menunjukkan bahwa ketika akuntan pemeriksa menjadi lebih berpengalaman, maka auditor

(7)

menjadi sadar terhadap lebih banyak kekeliruan yang terjadi dan memiliki salah pengertian yang lebih sedikit mengenai kekeliruan yang terjadi. Auditor menjadi lebih sadar mengenai kekeliruan yang tidak lazim serta lebih menonjol dalam menganalisa hal-hal yang berkaitan dengan penyebab kekeliruan. Pengalaman ternyata secara signifikan mempengaruhi pembuatan keputusan audit pada waktu kompleksitas penugasan dihadapi oleh auditor, seorang auditor juga dituntut untuk memenuhi kualifikasi teknis dan berpengalaman dalam bidang industri yang digeluti kliennya.

Menurut Nieuw Amerongen (2007) terkait dengan pengalaman:

“from the seventirs to approximately the midst of the eighties in previous century must of the experience-related auditing research has used – general experience-measured as the number of years the auditor is experienced in the auditing field-as measure of the potential impact of experience on judgment performance”.

Selanjutnya Choo dan Trotman (1991), seperti yang dimuat oleh M. Nizarul Alim dkk. (2007), memberikan bukti empiris bahwa:

“Auditor berpengalaman lebih banyak menemukan item-item yang tidak umum yang tidak umum dibandingkan auditor yang kurang berpengalaman, tetapi anatar auditor yang berpengalaman dengan yang kurang beepenganalaman tidak berbeda dalam menemukan item-item yang umum. Masih dalam jurnal yang sama, disebutkan bahwa penelitian serupa dilakukan oleh Tubbs (1992), menunjukkan subyek yang mempunyai pengalaman audit lebih banyak, akan menemukan kesalahan yang lebih banyak dan item-item kesalahannya lebih besar dibandingkan auditor yang berpengalaman auditnya lebih sedikit Abdolmohammadi dan Wright (1987) memberikan bukti empiris bahwa dampak pengalaman auditor akan signifikan ketika kompleksitas tugas diperhitungkan.”

(8)

Terkait dengan jenis pengalaman , Nieuw Amerongen (2007) dalam penelitiannya mengenai kinerja auditor membedakan pengalaman dalam tiga kategori sebagai berikut:

“Experience...distinguished inti three categories of experience general experience (as meausured by the number of years the auditor has expereience in the auditing field), industry experience (as measure by the number of years spend on the audit of industry-spesific audit engagement over the pass three years), and task-spesific experience (as measured by the number of times the spesific audit tasks investigated in this thesis have performed as well as the number of hours spent on these tasks)”.

Audit menuntut keahlian dan profesionalisme yang tinggi. Keahlian tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh pendidikan formal tetapi banyak faktor lain yang mempengaruhi antara lain adalah pengalaman.

Cascio (1995) menyatakan bahwa:

“Pengalaman adalah suatu faktor untuk menilai seberapa lama seseorang mengetahui/bertukar pengetahuan dengan orang lain untuk bisa melaksanakan pekerjaanya secara efektif”.

Sementara dalam kaitannya dengan audit, Suraida (2005) menyatakan: “Pengalaman audit adalah pengalaman auditor dalam melakukan audit laporan keuangan baik dari segi lamanya waktu maupun banyaknya penugasan yang pernah ditangani”.

Menurut Tubbs (1992) yang dikutip oleh Mayangsari (2003) auditor yang berpengalaman memiliki keunggulan dalam hal:

“(1) Mendeteksi kesalahan, (2) Memahami kesalahan secara akurat, (3) Mencari penyebab kesalahan”.

Menurut Gibbins (1984) dalam Hermadianto (2002:25):

“Pengalaman menciptakan struktur pengetahuan, yang terdiri atas suatu sistem dari pengetahuan yang sistematis dan abstrak. Pengetahuan ini tersimpan dalam memori jangka panjang dan bentuk dari lingkungan pengalaman langsung masa lalu”.

(9)

Singkat kata, teori ini menjelaskan bahwa melalui pengalaman auditor dapat memperoleh pengetahuan dan mengembangkan struktur pengetahuannya. Auditor yang berpengalaman akan memiliki lebih banyak pengetahuan dan struktur memori lebih baik dibandingkan auditor yang belum berpengalaman. Akan lebih banyak pengetahuan dan stuktur memori lebih baik dibandingkan auditor yang belum berpengalaman.

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pengalaman yang diperlukan auditor untuk meningkatkan kompetensinya terdiri dari pengalaman umum (general experience) yang diperoleh dari lamanya auditor bekerja dibidang audit pengalaman tentang industri (industry experience) yang diperoleh dari lamanya auditor mengaudit industri klien tertentu ( indutry-spesific experience) yang diperoleh auditor dari lamanya auditor mengikuti jenis penugasan audit tersebut. Auditor dapat memperoleh pengalman tersebut melalui audit yang telah dilaksanakan. Pengalaman-pengalaman tersebut dapat membantu auditor dalam menemukan item-item yang tidak umum dbandingkan auditor yang kurang berpengalaman, menemukan kesalahan yang lebih banyak dana item-item kesalahannya lebiih besar dibandingkan auditor yang pengalaman auditnya lebih sedikit dan dalam melaksanakannya kompleksitas tugas audit.

2.1.2. Indepedensi

Indepedensi berarti akuntan publik tidak mudah dipengaruhi, karena ia melaksanakan pekerjaan untuk kepentingan umum. Akuntan publik tidak dibenarkan memihak kepentingan siapapun. Auditor berkewajiban untuk jujur tidak hanya kepada manajemen dan pemilik perusahaan, namun juga kepada

(10)

kreditur dan pihak lain yang meletakkan kepercayaan atas pekerjaan akuntan publik. Sikap mental independen tersebut meliputi independen dalam fakta (in fact) maupun dalam penampilan (in appearance) (IAI 2001). Akuntan tidak independen apabila selama periode audit dan selama periode penugasan profesionalnya, Akuntan, Kantor Akuntan Publik maupun orang dalam Kantor Akuntan Publik: (1) mempunyai kepentingan keuangan baik langsung maupun tidak langsung yang material pada klien, (2) mempunyai hubungan pekerjaan dengan klien, (3) mempunyai hubungan usaha secara langsung atau tidak langsung yang material dengan klien, karyawan kunci klien atau pemegang saham klien, (4) memberikan jasa-jasa non audit tertentu kapada klien atau (5) memberikan jasa atau produk kepada klien dengan dasar fee kontijen atau komisi (bapepam,2003)

Independensi menurut Arens dkk. (2008 : 111) dapat diartikan mengambil sudut pandang yang tidak bias. Auditor tidak hanya harus independen dalam fakta, tetapi juga harus independen dalam penampilan. Independensi dalam fakta (independence in fact) ada bila auditor benar-benar mampu mempertahankan sikap yang tidak bias sepanjang audit, sedangkan independensi dalam penampilan (independent in appearance) adalah hasil dari interpretasi lain atas independensi ini.

Selain itu mutu pribadi auditor yang baik juga akan menentukan kinerjanya di organisasi. Standar yang bisa ditetapkan oleh Kantor Akuntan Publik dalam hubungannya dengan indepedensi in fact adalah menetapkan standar mutu pribadi personel auditor yang memiliki karakter tidak mudah dipengaruhi,

(11)

tidak memihak dan secara intelektual jujur. Untuk itu Kantor Akuntan Publik harus memiliki satu bagian yang ditugasi secara khusus merumuskan pertanyaan atau kasus dan mengevaluasinya.

Menurut Arens (2006) mendefinisikan indepedensi in Appearence sebagai berikut:

“Indepedensi in Appearance merupakan hasil interprestasi pihak yang mendasarkan keputusan pada pendapat auditor terhadap indepedensi auditor. Kondisi yang menyebabkan pihak lain meragukan independensi auditor antara lain: auditor secara langsung berhubungan langsung atau tidak memiliki saham klien, auditor memiliki hubungan hutang piutang dengan klien auditor merangkap sebagai manajemen klien, auditor memiliki masalah hukum dengan klien, auditor memberikan jasa pembukuan atau lainnya kepada klien, auditor merangkap sebagai internal auditor klien”.

Pemisahan personel audit dari personel yang melakukan consulting service akan meningkatkan independensi auditor yang dirasakan oleh pemakai laporan. Beberapa bukti penelitian menyatakan bahwa pemakai laporan percaya jumlah consulting service yang besar akan menurunkan independensi auditor (AAA Financial Accounting Standar Committee 2000).

Berdasarkan uraian di atas maka standar yang bisa ditetapkan untuk menjamin adanya independensi in Appearance adalah dengan : (a) Mewajibkan semua personel, pada setiap tingkat organisasi mematuhi ketentuan independensi sebagaimana diatur oleh IAI antara lain : (1) larangan memilki saham klien baik secara langsung atau tidak, (2) larangan memiliki hubungan utang piutang dengan klien, (3) larangan merangkap sebagai manajemen klien, (4) manajemen bahwa personel auditor mauapun Kantor Akuntan Publik tidak memiliki masalah hukum dengan klien, (5) larangan merangkap sebagai internal auditor klien (b)

(12)

Menyiapkan dan memperbaharui daftar klien yang diinformasikan pada personel sebagai dasar untuk menentukan independensi mereka (c) Dilakukan pemisahan antara personel audit dari personel yang melakukan consulting service.

Terdapat beberapa definisi independensi. Sebagaimana yang diuraikan oleh Frankel et al (2002) :

“The Securities adn Excange Commission (SEC) defines independences as a mental state of objectivity and lack of bias”.

Jadi independensi auditor adalah sikap mental auditor yang objektif, tidak bias dan bebas dari pengaruh lain.

Lavin (1976) meneliti 3 faktor yang mempengaruhi independensi akuntan publik, yaitu:

“(1) Ikatan keuangan dan hubungan usaha dengan klien, (2) Pemberian jasa lain selain jasa audit kepada klien, (3) Lamanya hubungan antara akuntan publik dengan klien”.

Shockley (1981) meneliti 4 faktor yang mempengaruhi independensi, yaitu:

“(1) Persaingan antar akuntan publik, (2) Pemberian jasa konsultasi manajemen kepada klien, (3) Ukuran KAP, dan (4) Lamanya hubungan audit”.

Standar umum kedua SPKN, paragraf 14 menyebutkan bahwa dalam semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan pemeriksaan, organisasi pemeriksa dan pemeriksa, harus bebas dalam sikap mental dan penampilan dari gangguan pribadi, ekstern, dan organisasi yang dapat mempengaruhi indepedensinya.

Lebih lanjut SPKN menjelaskan dalam paragraf 17 bahwa pemeriksa perlu memepertimbangkan tiga macam gangguan terhadap independensi, yaitu gangguan independensi tersebut mempengaruhi kemampuan pemeriksa tersebut

(13)

harus menolak penugasan pemeriksaan, gangguan dimaksud harus dimuat dalam bagian lingkup pada laporan pemeriksaan.

Carey dalam Mautz (1961:205) mendefinisikan indepedensi akuntan publik dari segi integritas dan hubungannya dengan pendapat akuntan atas laporan keuangan sebagai berikut:

“Independensi meliputi (1) kepercayaan terhadap diri sendiri yang terdapat pada beberapa orang profesional, (2) Indepedensi berarti sikap mental yang bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, tidak bergantung pada orang lain, (3) Independensi juga berarti kejujuran dalam diri auditor dalam mempertimbangkan fakta dan adanya pertimbangan yang obyektif tidak memihak dalam diri auditor dalam merumuskan dan menyatakan pendapatnya”.

(Mautz, 1961:204-205) meyatakan bahwa :

“Independensi akuntan publik merupakan dasar utama kepercayaan masyarakat pada profesi akuntan publik merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk menilai mutu jasa audit, indepedensi akuntan publik mencakup dua aspek, yaitu : (1) Independensi sikap mental, (2) Independensi penampilan. Independensi sikap mental berarti adanya kejujuran di dalam diri akuntan dalam mempertimbangkan fakta-fakta dan adanya pertimbangan yang obyektif tidak memihak di dalam diri akuntan dalam menyatakan pendapatnya. Independensi penampilan berarti adanya kesan masyarakat bahwa akuntan publik bertindak independen sehingga akuntan publik harus menghindari faktor-faktor yang dapat mengakibatkan masyarakat meragukan kebebasannya. Independensi penampilan berhubungan dengan persepsi masyarakat terhadap independensi akuntan publik”.

Selain independensi sikap mental dan independensi penampilan, Mautz (1961) mengemukakan bahwa:

“Sikap independensi akuntan publik juga meliputi independensi praktisi dan independensi profesi. Independensi praktisi berhubungan dengan kemampuan praktisi secara individual untuk mempertahankan sikap yang wajar atau tidak memihak dalam perencanaan program, pelaksanaan verifikasi, dan penyusunan laporan pemeriksaan, independensi profesi berhubungan dengan kesan masyarakat terhadap profesi akuntan “.

(14)

Penelitian yang dilakukan oleh Lavin (1976) menunjukkan bahwa pembuatan pembukuan perusahaan atau pelaksanaan fungsi pengolahan data oleh auditor tidak akan berpengaruh terhadap teknik-teknik yang digunakan auditor untuk mengaudit. Selain itu penggunaan komputer klien untuk berhubungan bisnis dianggap juga tidak merusak independensi auditor.

Shockley (1981) sebagiamana dikutip oleh M. Nizarul Alim, dkk. (2007) melakukan penelitian tentang empat faktor yang berpengaruh terhadap independensi akuntan publik dimana responden penelitiannya adalah kantor akuntan publik, bank dan analis keuangan.

“faktor yang diteliti adalah pemberian jasa konsultasi kepada klien, persaingan antar KAP, ukuran KAP dan lama hubungan audit dengan kien. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa KAP yang memberikan jasa konsultasi manajemen kepada klien yang diaudit dapat meningkatkan risiko rusaknya independensi yang lebih besar dibandingkan yang tidak memberikan jasa tersebut. Tingkat persaingan antar KAP juga dapat meningkatkan risiko rusaknya independensi akuntan publik. KAP juga dapat meningkatkan risiko rusaknya independensi akuntan publik. KAP yang lebih kecil mempunyai risiko kehilangan independensi yang lebih besar debandingkan KAP yang lebih besar. Sedangkan faktor lama ikatan hubungan dengan klien tertentu tidak mempengaruhi secara signifikan independensi akuntan publik”.

Supriyono (1988) dalam Wati dan Subroto (2003) telah melakukan penelitian mengenai independensi auditor di indonesia, Penelitian ini mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi independensi auditor yaitu:

“(1) ikatan keputusan dan hubungan usaha dengan klien, (2) persaingan antar KAP, (3) pemberian jasa selain jasa audit, (4) lama penugasan audit, (5) besar kantor akuntan, (6) besarnya audit fee. Responden yang diplih meliputi direktur keuangan perusahaan yang telah go public, partner KAP, pejabat kredit bank dan lembaga keuangan non bank, dan Bapepam”. Hasil penelitian Pany dan Reckers (1980) sebagaimana dikutip oleh M.Nizarul Alim ,dkk. (2007) menunjukkan bahwa hadiah meskipun jumlahnya

(15)

sedikit namun berpengaruh secara signifikan. Mayangsari (2003) menemukan bahwa hasil pengujian hipotesis pertama dengan menggunakan alat analisis ANOVA diperoleh hasil bahwa auditor yang memiliki keahlian dan indepeden memberikan pendapat tentang kelangsungan hidup perusahaan yang cenderung benar dibandingkan auditor yang hanya memiliki salah satu karakteristik atau sama sekali tidak memiliki keduanya. Hasil pengujian hipotesis kedua dengan menggunakan uji simple Factorial of Variance diperoleh hasil bahwa auditor yang ahli lebih banyak mengingat informasi yang atypical sedangkan auditor yang tidak ahli lebih banyak mengingat informasi yang typical.

Terkait dengan pengaruh audit tenure atau lama hubungan dengan klien tertentu terhadap indepedensi dan kompetensi (dalam hal ini client-spesific knowledge), sebagaimana diungkapkan oleh Azizkhani et al.(2006) yaitu :

“The literature has long been concerned that the duration of the relationship between the auditor and the client potentially affects audit quality, but contains conflicting arguments(e.g. Mautz and Sharuf 2961; Shockley 1981; Lyer and Rama 2004). The auditor independence hypothesis posits that audit quality is compromised as auditor tenure increases, while the auditor expetise hypothesis contends that audit quality increases with auditor tenure”.

Deis dan Giroux (1992) mengatakan bahwa:

“Pada konflik kekuatan, klien dapat menekan auditor untuk melawan standar profesional dan dalam ukuran yang besar, kondisi keuangan klien yang sehat dapat digunakan sebagai alat untuk menekan auditor dengan cara melakukan pergantian auditor”.

Hal ini dapat membuat auditor tidak akan dapat bertahan dengan tekanan klien tersebut sehingga menyebutkan indepedensi mereka melemah. Posisi auditor juga dilematis dimana mereka dituntut untuk memenuhi keinginan klien, namun

(16)

di satu sisi tindakan auditor dapat melanggar standar profesi sebagai acuan kerja merek.

Terkait dengan faktor yang mempengaruhi indepedensi yaitu ikatan keputusan keuangan dan hubungan usaha dengan klien, menurut Moore et al (2006):

“over the decades, teh definition of auditor independences has evoved along with the accounting profession itself. In the 1920s and 1930s the concept of independence was considered of great importance and th focus was an eliminating conflicts of interest that arove from financial relationship between auditors and their clients”.

Terkait dengan independensi, Yulius Jogi Christiawan (2005) menyebutkan :

“organisasi profesi secara jelas telah mengatur indepedensi. Hubungan antara klien dengan personel audit yang akan menimbulkan diragukannya indepedensi secara rinci dinyatakan dalam suatu surat pernyataan yang harus ditandatangani oleh personel. Bahkan direview setiap 6 (enam) bulan sekali, Larangan seperti memiliki kepentingan langsung atu tidak dengan klien, memiliki hubungan bisnis, hubungan finansial, merangkap sebagai karyawan kunci klien, hubungan keluarga, menerima barang antar jasa dari klien dan lain-lain secara tegas dicantumkan dalam surat pernyataan”.

Salah satu faktor yang mempengaruhi independensi auditor adalah pemberian jasa lain jasa audit (non-audit service). Terkait dengan hal tersebut, menurut Brandon (2003) pengaruh pemberian jasa lain selain jasa audit (non-audit service) terhadap indepedensi :

“...negative view of auditors providing non audit services to audit clients is that relationship strength the economic bind between the auditor and client, possibly reucing independence, and increasing the possibility that auditors will not report truthfully (Simunte 1984). Some recent evidence suggest that the provisions of non-audit services impairs the perception of auditor independence and that invesior include this perceived impairment in the pricing of the firm’s equity”.

(17)

Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa pemberian jasa lain selain jasa (non-audit services) dengan imbalan tertentu (client-spesific rents) dapat mengurangi independensi, yaitu bahwa imabalan yang tinggi (high consulting fees) dapat membiaskan judgement auditor dan pemberian jasa konsultasi kepada klien menimbulkan keengganan untuk mengkiritisi pekerjaan yang dilakukan oleh bagian atau divisinya yang memberikan jasa konsultasi tersebut.

Berdasarkan beberapa pendapat dan hasil penelitian di atas, maka dapat disimpulkan mengenai beberapa faktor yang secara signifikan mempengaruhi indepedensi auditor antara lain adalah (1) hubungan keluarga klien, (2) ikatan keputusan keuangan dan hubungan usaha dengan klien, (3) pemberian jasa lain selain jasa audit dengan imbalan tertentu (client-spesificrents); dan (4) hadiah dari klien ke auditor.

2.1.3. Kualitas audit

Menurut De angelo (1981) Kualitas audit didefinisikan sebagai berikut : “Kualitas audit merupakan probability bahwa auditor akan menemukan dan melaporkan penyimpangan dalam sistem akuntansi klien. Probabilitas auditor menemukan salah saji material tergantung pada kualitas pemahaman auditor (kompetensi) sementara melaporkan salah saji tergantung pada independensi auditor”.

Menurut Dopouch dan Simonic dalam memproksi kualitas audit:

“Kualitas audit diproksikan berdasarkan reputasi Kantor Akuntan Publik.” Sedangkan Menurut Francis dan Wilson dalam memproksi kualitas audit: “Kualitas audit diproksi dengan reputasi (brand name) dan banyaknya klien yang dimiliki Kantor Akuntan Publik.”

Dari ke tiga pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa kualitas audit sebagai gabungan probabilitas seorang auditor untuk dapat menemukan dan

(18)

melaporkan penyelewengan yang terjadi dalam sistem akuntansi klien dimana kualitas audit ini diproksi berdasarkan reputasi dan banyaknya klien yang dimiliki KAP Probabilitas auditor untuk melaporkan penyelewengan yang terjadi dalam sistem akuntansi klien tergantung pada independensi auditor.

Hasil penelitian Behn et al (1997) ada 6 atribut kualitas audit (dari 12 atribut) yang berpengaruh secara signifikan terhadap kepuasan klien, yaitu:

“Pengalaman melakukan audit, memahami industri klien, responsif atas kebutuhan klien, taat pada standar umum, keterlibatan pimpinan KAP dan keterlibatan komite audit.”

Penelitian Behn et. al. (1997) menemukan adanya enam atribut yang memiliki pengaruh positif dengan kepuasan klien, yaitu pengalaman tim audit dan KAP dalam melakukan pemeriksaan laporan keuangan klien, keahlian/pemahaman terhadap industri klien, responsif atas kebutuhan klien, melakukan pekerjaan lapangan dengan tepat, keterlibatan pimpinan KAP dalam pelaksanaan audit, dan komite audit sebelum, pada saat, dan sesudah audit.(Behn:1997)

Menurut Henry Simamora (2002:47) ada 8 prinsip yang harus dipatuhi akuntan publik yaitu :

“1)Tanggung jawab profesi

Setiap anggota harus menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya.

2) Kepentingan publik

Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik dan menunjukkan komitmen atas profesionalisme.

3)Integritas

Setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan intregitas setinggi mungkin.

(19)

4)Objektivitas

Setiap anggota harus menjaga objektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya.

5)Kompetensi dan kehati-hatian profesional

Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan hati-hati, kompetensi dan ketekunan serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesional.

6)Kerahasiaan

Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan.

7)Perilaku Profesional

Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi. 8)Standar Teknis

Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan.”

Semua standar dalam standar auditing saling berkaitan erat dan saling bergantung antara satu sama lainnya. Menurut SPKN (2007) Standar auditing terdiri dari 10 standar yang terbagi ke dalam tiga kelompok yaitu :

“1. Standar Umum

a. Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor.

b. Dalam semua hal yang berhubungan dengan penugasan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor. c. Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama.

2. Standar Pekerjaan Lapangan

a. Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya.

b. Pemahaman yang memadai atas struktur pengendalian intern harus diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang akan dilakukan.

c. Bahan bukti kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, pengajuan pertanyaan, dan konfirmasi sebagai dasar yang memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit.

3. Standar Pelaporan

a. Laporan audit harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.

(20)

b. Laporan audit harus menunjukkan keadaan yang didalamnya prinsip akuntansi tidak secara konsisten diterapkan dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dalam hubungannya dengan prinsip akuntansi yang diterapkan dalam periode sebelumnya.

c. Pengungkapan informasi dalam laporan keuangan harus dipandang memadai kecuali dinyatakan lain dalam laporan audit.

d. Laporan audit harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan, jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat diberikan maka alasannya harus dinyatakan. Dalam semua hal yang nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, laporan auditor harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan auditor, jika ada dan tingkat tanggung jawab yang dipikulnya.”

Wooten (dalam M. Nizarul Alim dkk 2007) telah mengembangkan model kualitas audit dari membangun teori dan penelitian empiris yang ada. Model yang disajikan oleh Wooten, yaitu :

“(1) Deteksi salah saji, (2) kesesuaian dengan SPAP, (3) kepatuhan terhadap SOP, (4) risiko audit, (5) prinsip kehati-hatian, (6) proses pengendalian atas pekerjaan oleh supervisor, dan (7) perhatian yang diberikan oleh manajer atau partner. “

2.2. Kerangka Pemikiran

2.2.1. Pengaruh Kompetensi Terhadap Kualitas Audit

Kualitas audit ditentukan oleh dua hal yaitu kompetensi dan independensi (AAA Financial Accounting Standard Committee 2000).

Berdasarkan penelitian berkaitan dengan pengaruh kompetensi terhadap kualitas audit oleh M. Nizarul Alim (2007) menyatakan bahwa :

“kompetensi berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit. Hal ini berarti bahwa kualitas audit dapat dicapai jika auditor memiliki kompetensi yang baik dimana kompetensi tersebut terdiri dari dua dimensi yaitu pengalaman dan pengetahuan.”

(21)

2.2.2. Pengaruh Independensi Terhadap Kualitas Audit

Kualitas audit ditentukan oleh dua hal yaitu kompetensi dan independensi (AAA Financial Accounting Standard Committee 2000).

Berdasarkan penelitian berkaitan dengan pengaruh independensi terhadap kualitas audit oleh M. Nizarul Alim (2007) menyatakan bahwa :

“Bahwa independensi berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit.”

Gambar 1.1

2.3. Hipotesis Penelitian

Hipotesis menurut Sugiyono (2011) adalah: “jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, oleh karena itu rumusan masalah penelitian biasanya disusun dalam bentuk kalimat pertanyaan”.

Kompetensi (X1) Independensi (X2) Kualitas Audit (Y) M. Nizarul Alim (2007)

(AAA Financial Accounting Standard Committee 2000).

M. Nizarul Alim (2007) (AAA Financial Accounting

(22)

Dari uraian diatas, penulis mengemukakan suatu hipotesis, Bahwa:

H1 : Tingkat kompetensi auditor yang tinggi berpengaruh positif terhadap kualitas audit

H2 : Tingkat indepedensi auditor yang tinggi berpengaruh positif terhadap kualitas audit.

H3 : Tingkat kompetensi dan indepedensi auditor yang tinggi berpengaruh positif terhadap kualitas audit.

Referensi

Dokumen terkait

Jika diperhatikan cerita legenda yang dipercaya oleh masyarakat Kutai tersebut yang disampaikan melalui Erau Balik Delapan, hal itu mempunyai benang merah

Pendekatan multidimensi ini cocok dipakai untuk penelitian kecil ini karena di dalamnya mencakup sejarah politik dan ekonomi yang membutuhkan teori-teori politik dan

Selanjutnya cawan Petri diinkubasi pada suhu ruang dan pengamatan dilakukan terhadap luas koloni jamur patogen, dengan mencatat luas koloni patogen setiap hari untuk

Wilayah Pemantauan Sulawesi I dikoordinasi oleh Balai Besar KIpM Makassar, yang meliputi:1. Balai Besar Klplr4

Salah satu sikap Hugo Chavez dalam melawan neoliberalisme adalah kebijakan nasionalisasi perusahaan minyak swasta di Venezuela, hal ini sangat didukung oleh rakyatnya dimana

Online mapping yang memanfaatkan Maps API dan data spasial dari beberapa sumber untuk dikembangkan menjadi sistem yang memberikan informasi dan layanan bagi

Bagaimana mendesain controller yang tepat untuk mengontrol tegangan keluaran dari Inverter Buck Boost Tiga Fasa dengan induktor penyangga (IBBTF-IP) menggunakan Fuzzy Sliding

Voltmeter untuk mengukur tegangan antara dua titik, dalam hal ini adalah tegangan pada lampu 3, voltmeter harus dipasang secara paralel dengan beban yang hendak diukur, posisi