• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata “kawin” yang mana mempunyai arti yaitu membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Perkawinan disebut “pernikahan”, berasal dari kata nikah yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukan, dan digunakan untuk arti bersetubuh.1

Perkawinan ialah perbuatan hukum yang mengikat antara seorang pria dengan seorang wanita (suami dan istri) yang mengandung aspek keperdataan yang mana menimbulkan adanya hak dan kewajiban bagi keduanya (suami dan istri). 2

Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 1 :

“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

Sedangkan pada Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 :

“Perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitssaqan ghalidzan) untuk men aati perintah Allah SWT, dan melaksanakannya adalah ibadah.” 3

Perkawinan juga selain dari pada mengandung aspek keperdataan yang mana menimbulkan hak dan kewajiban bagi suami dan istri. Oleh

1 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Cet. Ke-5 (Jakarta: Kencana Pernada Media

Group, 2012), hal. 7

2

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam, Cet. Ke-4 (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hal. 51

(2)

karena itu, hak dan kewajiban merupakan hubungan timbal balik bagi suami dengan istrinya. Hal itupun, sudah diatur dalam :

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1947 Pasal 30 :

“Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakan rumah tangga yang men jadi sendi dasar dari susunan masyarakat”.

Kompilasi Hukum Islam Pasal 77 sampai dengan Pasal 84:

“Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”.

Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa terjadinya hubungan perkawinan akan melahirkan adanya akibat hukum. Dengan demikian menimbulkan adanya hak-hak dan kewajiban antara suami dan istri. Jika saja antara suami dan istri bisa menjalankan hak dan kewajiban masing-masing, maka akan terwujudnya ketentraman dan ketenangan dalam hubungan rumah tangga.

Hak adalah sesuatu yang mutlak. Misalnya, hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk mengeluarkan pendapat. Kewajiban adalah sesuatu yang harus dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab. Misalnya, sebagai warga negara yang baik mesti membayar pajak, melaksanakan tugas-tugas di sekolah, di kantor, dan sebagainya. Misalnya juga bahwa hak dan kewajiban sebagai warga Negara diatur dalam UUD Tahun 1945 dalam berbagai bidang.4

Salah satu kewajiban suami adalah menjadi tulang punggung untuk keluarganya atau bisa juga disebut laki-laki sebagai penjamin ekonomi keluarga. Kewajiban memberikan nafkah, bahwa semua ulama mazhab menyepakati tentang wajibnya pemberian nafkah kepada istri setelah adanya akad dalam sebuah perkawinan,5 yang meliputi tiga hal: pangan, sandang dan papan.6

Sebagaimana di atur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 80 ayat 4-7:

4

Zaetunah Subhan, Al-Qur‟an dan Perempuan: Menuju Kesetaraan Gender dalam Penafsiran,

Cet. Ke-1 (Jakarta: Prenada Media Group, 2015), hal. 87

5 Abdur Rohman Jaziri, Kitab Fiqh al-Madzahib al-Arba‟ah, Juz 4 (Mesir: Maktabah

Al-Tijariyyah Al-Kubro, 1969), hal. 553

6 Muhammad Jawad Mughniyah, Terjemah Al-Fiqh „ala al-Madzahib al-Khamsah, Penerjemah;

(3)

4) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung : a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri;

b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak;

c. Biaya pendidikan bagi anak.

5) Kewajiaban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya.

6) Istri dapat membebaskan diri dari suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.

7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila nusyuz.

Syariat mewajibkan nafkah atas suami terhadap istrinya. Nafkah hanya diwajibkan atas suami, karena tuntutan akad nikah dan karena keberlangsungan bersenang-senang sebagaimana istri wajib taat kepada suami, selalu menyertainya, mengatur rumah tangga, mendidik anak-anaknya.7

Al-Qur’an pun mengatur dalam hal kewajiban suami dalam nafkah, sebagaimana dalam Surat al-Baqarah ayat 233:























































7

Abdul Aziz Muhammad Azzam, dan Abdul Wahab Sayyed Hawas, Fiqh Munakahat, Cet. Ke- 2 (Jakarta: Amzah, 2011), hal 212-213

(4)

Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (Q,S Al-Baqarah 2: 233).8

Rasulullah SAW. Bersabda :

ُرَمُع اَنَثَّد َح اوُلاَق ٍدْيَمُح ُنْب ُدْبَع َو ٍب ْر َح ُنْب ُرْيَهُز َو ُّيِمَضْه َجْلا ٍّيِلَع ُنْب ُر ْصَن اَنَثَّد َح

ٍراَّمَع ُنْب ُةَم ِرْكِع اَنَثَّدَح َسُنوُي ُنْب

ُلوُس َر َلاَق َلاَق َةَماَمُأ اَبَأ ُت ْعِمَس َلاَق ٌداَّدَش اَنَثَّد َح

رَش ُهَك ِسْمُت ْنَأ َو َكَل ٌرْي َخ َل ْضَفْلا َلُذْبَت ْنَأ َكَّنِإ َمَدآ َنْبا اَي َمَّلَس َو ِهْيَلَع ُ َّاللَّ ىَّلَص ِ َّاللَّ

َكَل

َو ُلوُعَت ْنَمِب ْأَدْبا َو ٍفاَفَك ىَلَع ُم َلَُت َلَ َو

ىَلْفُّسلا ِدَيْلا ْنِم ٌرْي َخ اَيْلُعْلا ُدَيْلا

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Nashru bin Ali Al Jahdlami dan Zuhair bin Harb dan Abdu bin Humaid mereka berkata, Telah menceritakan kepada kami Umar bin Yunus telah menceritakan kepada kami Ikrimah bin Ammar telah menceritakan kepada kami Syaddad ia berkata, saya mendengar Abu Umamah berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Wahai anak Adam! Sesungguhnya jika kamu mensedekahkan kelebihan hartamu, itu lebih baik bagimu dari pada kamu simpan, karena hal itu akan lebih berbahaya bagimu. Dan kamu tidak akan dicela jika menyimpan sekedar untuk keperluan. Dahulukanlah memberi nafkah kepada orang yang menjadi tanggunganmu. Tangan yang di atas adalah lebih baik, daripada tangan yang di bawah" (HR. Muslim).9

Begitupun dengan seorang istri. Dalam pandangan Islam, sepasang suami istri laksana pakaian yang saling menutupi, melengkapi dan menghiasi.

8 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya (Jakarta: Bumi Restu, 1976).

9

Imam Muslim, Shahihul Muslim, dalam Bab Tangan di Atas Lebih Baik dari Tangan di Bawah Hadits No. 1718 (Aplikasi Kutubuttis’ah)

(5)

Keduanya memiliki hak dan kewajiban. Sebagaimana istri mempunyai hak atas suami, begitu juga suami memiliki hak atas istri.10

Dari salah satu hak suami atas istri adalah mengatur rumah, dan mendidik anak. Seorang istri, selain menjaga kehormatan dan harta suami, ia harus memerhatikan, mengatur rumah tangga dan mendidik anak-anaknya. Tugas ini sesuai dengan fitrah yang dimiliki seorang istri, dan merupakan alokasi tugas-tugas yang berkaitan dengan kerumahtanggaan. Di saat suami harus keluar rumah untuk mencari nafkah sebagai bentuk tanggung jawab kepala keluarga, istri harus benar-benar mampu mengurus rumah tangganya dan menjalankan tugas sebagai

al-ummu hiya al-madrsah.” Artinya, selain mengurus rumahnya, ia

berkewajiban mendidik anak-anaknya. Inilah yang disebut bagi-bagi tugas antara suami dan istri, dalam rangka menggapai cita-cita utama, yaitu keluarga bahagia sejahterah, penuh dengan mawadah, rahmah dan selaras dengan nilai-nilai luhur Islam.11

Seiring berjalannya waktu, di era kontemporer sekarang ini tidak lepas dari perkembangan zaman akibat revolusi pengetahuan dan teknologi yang terus meningkat, yang mana dari perkembangan itulah membawa perubahan perubahan kebudayaan. Pernyataan tersebut seolah-olah berubah. Karena, pada realitanya banyak kaum perempuanlah yang menjadi tulang punggung keluarga. Sedangkan suaminya mengerjakan pekerjaan domestik rumah tangga.

Salah satu yang menjadi wacana yang selalu aktual untuk diperbincangkan, tidak lekang oleh waktu, dan selalu dikaitkan dengan Islam adalah wacana tentang gender itu sendiri. Selain karena isu gender seringkali memperbincangkan isu-isu sensitif, dan juga memancing banyak tanggapan dari kalangan pro dan kontra terhadapnya. Khususnya landasan yang sering menjadi wacana adalah kesetaraan hak.12

10 Tim Al-Manar, Fikih Nikah, Cet. Ke-2 (Bandung: PT Syaamil Cipta Media, 2006), hal. 74 11

Tim Al-Manar, Fikih Nikah,hal. 76

12

Faisol, Hermeneutika Gender: Perempuan dalam Tafsir Bahr al-Muhith, Cet. Ke-1 (Malang: UIN Maliki Press, 2011), hal. 17

(6)

Adapun pada era modern ini, isu gender sangat sering didengar dan selalu dikaitkan dengan hak seorang wanita (istri) dalam berumah tangga, namun pengertian dari gender serta subtansi gender bisa dikatakan sebuah konstruksi sosial dan budaya yang melahirkan sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan. Misalnya, laki-laki itu makhluk yang kuat, jantan, perkasa, dan rasional sedangkan perempuan adalah makhluk yang cantik, keibuan, lemah lembut dan emosional.13

Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 228 :













Artinya : “…Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q,S Al-Baqarah 2: 228).14

Derajat atau tingkatan yang dimaksud yaitu kepemimpinan suami dalam rumah tangganya atau kelebihan suami dalam beberapa hak yang harus diperoleh. Diantara hak-hak tersebut yaitu hak dicintai, hak disayangi atau dikasihi, hak berdandan menikmati hubungan seksual, serta hak untuk bersama-sama dalam kesibukan dan kesusahan seperti yang dialami oleh masing-masing. Al-Qur’an dalam ayat ini telah mengungkapkan bahwa kesetaraan hak-hak perempuan yang diperolehnya seimbang dengan kewajibannya dalam kehidupan berkeluarga. Dalam ayat ini dipahami karena laki-laki sebagai pemimpin/pelindung rumah tangga, mempunyai tanggung jawab memberi nafkah keluarga, kelebihan satu tingkat dibanding perempuan yaitu ditinjau dari segi ekonomi, oleh sebab itu laki-laki harus menjadi penjamin ekonomi keluarga.15

Dalam tatanan sosial, masih tergambar secara umum tentang bagaimana relasi antara laki-laki dan perempuan masih memperlihatkan

13 Jamal Ma’mur, Rezim Gender di NU, Cet. Ke-1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), hal. 96 14

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya (Jakarta: Bumi Restu, 1976).

15

Zaetunah Subhan, Al-Qur‟an dan Perempuan: Menuju Kesetaraan Gender dalam Penafsiran, hal. 88

(7)

pandangan yang diskriminatif terutama terhadap perempuan dari berbagai aspek. Terutama dalam hal sistem hak dan kewajiban suami istri dalam rumah tangga. Kondisi yang seperti ini yang justru menjadi sumber masalah.

Hal ini terjadi sebagaimana praktik dalam keagamaan yang seolah mendiskriminasikan kaum perempuan. Yang dirasa kaum perempuan selama ini seolah-olah menempatkan perempuan pada posis konco wingking (teman belakang) dan dalam posisi yang inferior pada kaum laki-laki.16

Pada dasarnya perbedaan gender tidaklah menjadi masalah selama dalam praktiknya tidak menimbulkan ketidakadilan. Namun, yang menjadi persoalan disini, ternyata perbedaaan gender tersebut nampaknya menjadi masalah. Dan hal tersebut menimbulkan adanya ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki maupun kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur, di mana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut.17

“Menurut KH Husein Muhammad mengenai kewajiban memberi nafkah dalam keluarga siapapun bisa memberi nafkah, tidak wajib suami. Tetapi siapa yang mempunyai kemampuan mencari nafkah dialah yang memberi nafkah”18

Oleh sebab itulah, penyusun tertarik mengangkat KH Husein Muhammad dalam masalah Kewajiban nafkah adalah karena beliau merupakan seorang ulama pendidik yang piawai yang aktif menulis dan di berbagai acara seminar. Dan beliau juga merupakan orang pesantren yang mana telah banyak mengenyam dan mengkaji kitab-kitab ulama klasik, tetapi justru pandangannya berbeda dengan kebanyakan kiai pada umumnya yang mana sangat menjunjung tinggi nilai-nilai universalisme Islam dan mengkritisi corak pemikiran ulama-ulama klasik yang bias gender dengan paradigma fikih feminisnya.

Tidak lain dan tidak bukan karena adanya perbedaan pendapat. Hal tersebut, membuat penyusun tertarik untuk meneliti dan mengkaji secara

16 Faisol, Hermeneutika Gender: Perempuan dalam Tafsir Bahr al-Muhith, hal. 18 17

Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, Cet. Ke-15 (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2013), hal. 12

(8)

akademis. Sehingga penyusun tidak hanya mengetahui pandangan beliau. Tetapi dapat memberikan pengetahuan yang utuh dan komprehensif kepada masyarakat tentang kewajiban nafkah perspektif KH Husein Muhammad.

B. Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah a. Wilayah Kajian

Wilayah kajian dalam penelitian ini adalah hukum keluarga Islam dalam masyarakat.

b. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini yaitu sosiologis-normatif 1) Sosiologis yaitu pendekatan yang digunakan untuk melihat sesuatu

masalah yang dikaitkan dengan keadaan yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini mengenai kewajiban nafkah.

2) Normatif yaitu cara mendekati masalah yang diteliti berdasarkan norma hukum Islam.

2. Pembatasan Masalah

Untuk menghindari melebarnya pokok masalah, maka penjabarannya dibatasi pada kewajiban nafkah dalam perspektif Husein Muhammad.

3. Pertanyaan Penelitian

a. Bagaimana kewajiban nafkah dalam keluarga menurut fikih mazhab ? b. Bagaimana kewajiban nafkah dalam keluarga menurut Husein

Muhammad dan apa dasar argumentasinya ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk menjelaskan pemikiran Husein Muhammad tentang Kewajiban nafkah dalam rumah tangga.

b. Untuk meneliti landasan pemikiran Husein Muhammad kewajiban suami istri dalam rumah tangga.

(9)

c. Untuk menganalisis pendapat Husein Muhammad mengenai relevansi dalam konteks kekinian tentang kewajiban nafkah dalam rumah tangga.

2. Kegunaan Penelitian

a. Memberikan kontribusi yang positif bagi upaya dalam perbaikan sistem dan pranata sosial yang adil dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

b. Dari hasil pemikiran tersebut, penulis berharap penelitiaan ini dapat berguna untuk khazanah ilmu pengetahuan. Khususnya yang berkaitan dengan hak dan kewajiban suami istri dalam rumah tangga.

D. Penelitian Terdahulu

Adapun yang dinamakan penelitian terdahulu ialah merupakan penelitian-penelitian yang sebelumnya telah dilakukan atau diteliti yang erat kaitannya dengan hak dan kewajiban suami dan istri.

Skripsi yang disusun Arjuwin Taqwa, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Tahun 2009, dengan judul : Hak dan Kewajiban Suami Istri Perspektif Gender (Studi Kritis Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1947 Tentang Perkawinan dan

Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Dalam skripsi ini

membahas berkaitan dengan hak dan kewajiban suami istri dalam rumah tangga tentang studi kritis Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1947 Tentang Perkawinan dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Dan kajian ulang terhadap UUP yang syarat ketidakadilan akibat kesalah pahaman serta interpretasi yang bersifat kaku.

Skripsi yang disusun Mohamad Hamdan Asyrofi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Tahun 2014, dengan judul : Hak dan Kewajiban Suami Istri (Studi Pemikiran Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki dalam kitab Adab Al-Islam Fi

Nizam Al-Usrah. Dalam skripsi ini membahas berkaitan dengan hak dan

(10)

pemikiran Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki dalam kitab Adab Al-Islam Fi Nizam Al-Usrah.

Skripsi yang disusun Zayyana Abdillah, STAIN Salatiga Tahun 2012, dengan judul : Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Kitab Uqudullijain Karya Syekh Muhammad bin Umar An-Nawawi Al-Bantani dan Aplikasinya di Dukuh

Krasak Kelurahan Ledok Kecamatan Argomulyo Kota Salatiga. Dalam skripsi

ini menjelelaskan tentang sampai sejauh mana pengaplikasian kitab Uqudullijain dalam kehidupan rumah tangga.

E. Kerangka Pemikiran

Hak adalah sesuatu yang mutlak, yang menjadi milik kita dan penggunaanya tergantung pada kita sendiri. Misalnya, hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk mengeluarkan pendapat. Kewajiban adalah sesuatu yang harus dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab. Misalnya, sebagai warga negara yang baik mesti membayar pajak, melaksanakan tugas-tugas di sekolah, di kantor, dan sebagainya. Misalnya juga bahwa hak dan kewajiban sebagai warga negara diatur dalam UUD Tahun 1945 dalam berbagai bidang.19

Pembagian hak dan kewajiban suami istri dalam rumah tangga tentunya kita sudah mengetahui. Salah satu hak istri adalah menerima nafkah dari suami dan sedangkan suami memberi nafkah kepada istrinya. Kendati demikian, banyak diluar sana istrilah yang menjadi tulang punggung keluarga.

Perempuan pada masa sekarang, memandang dirinya mempunyai kemampuan dalam berbagai bidang. Ini adalah realitas yang tidak bisa dibantah. Perempuan menjadi agen pembangunan sebagaimana laki-laki, mulai dari level bawah hingga level paling tinggi. Perempuan berkiprah setara dengan laki-laki. Dalam bidang pendidikan perempuan dapat mencapai derajat tertinggi. Demikian pula dalam bidang ekonomi, bisa saja mencapai penghasilkan yang tidak saja menjadikannya mandiri, tetapi juga menanggung nafkah keluarga. Sebagai akibat

19

Zaetunah Subhan, Al-Qur‟an dan Perempuan: Menuju Kesetaraan Gender dalam Penafsiran, hal. 87

(11)

dari keadaan tersebut, perempuan membutukan aturan-aturan yang melegitimasi keadaannya, baik itu aturan-atauran berupa perundang-undangan ataupun yang lebih mendasar, yaitu agama.20

Pada era kontemporer saat ini, dalam hak dan kewajiban suami dan istri seolah bukan suatu kewajiban yang harus dipenuhi, banyak istri yang mencari nafkah dan suami mengasuh anak di rumah.

Teori yang dijadikan acuan adalah kaidah fiqhiyyah yang menunjukan bahwa perubahan hukum di dalam fiqh adalah dibenarkan, bahkan bisa jadi merupakan suatu keharusan jika kondisi sosiologis masyarakat berubah. Sebuah kaidah tentang perubahan hukum yang dinisbatkan kepada Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berbunyi:21

رّيغت

اىعلاو لاىحلأاو ةنمزلأاو ةنكملأا رّيغتب اهف لاتخاو ماكحلأا

دئ

Artinya :“Perubahan dan perbedaan hukum adalah disebabkan perbedaan tempat, masa, kondisi, motivasi dan budaya.”

Kaidah seperti itu tidak hanya dikemukakan oleh Ibnu Qayyim, namun juga oleh ulama yang lain. Seperti kaidah yang berbunyi:

نامزلأا رّيغتب ماكحلأا رّيغت ركني لا

Artinya :“Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan masa”.

Adanya perubahan hukum seperti itu dikarenakan tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan manusia lahir maupun batin, dunia dan ukhrawi. Oleh karena itu, meskipun kaidah-kaidah tersebut secara gamblang membolehkan adanya perubahan hukum, namun ulama ushul membatasi perubahan hukum pada bagian mu‟amalat (hukum pada wilayah kemanusiaan). Dikarenakan pada bagian ini selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Suatu hukum yang

20 Tutik Hamidah, Dialektika Teks dan Konteks dalam Metode Istinbat Fikih Perempuan

Kontemporer, No. 1 Vol XIII, (Januari, 2013) , hal. 135-136

21

Tutik Hamidah, Fiqh Perempuan Berwawasan Keadilan Gender (Malang: UIN Maliki Press, 2011), hal. 15

(12)

ditetapkan pada suatu masa dan tempat tertentu, bisa jadi sangat signifikan dangan kemaslahatan manusia. Dan jika terjadi seperti itu, maka hukumnya harus berubah demi mencapai kemaslahatan manusia.22

Fikih, menurut Kiai Sahal, pada dasarnya adalah manifestasi hasil tugas-tugas yang diberikan oleh Allah SWT terhadap manusia di bumi. Kiai Sahal membedakan dua bentuk tugas manusia di bumi. Pertama adalah ibadatullah.

Kedua adalah imaratul ardh.23

Kiai Sahal mensinyalir adanya penyelewengan dan ketidak seimbangan fikih. Fikih yang seharusnya diproduksi untuk memudahkan dua tugas di atas, pada kenyataanya lebih banyak memperhatikan salah satu bagian saja, yakni

ibadatullah. Hal ini telah berimplikasi pula terhadap cara pandang umat muslim

yang sangat segresif dalam memandang dunia dan akhirat.24

Selain keseimbangan, tujuan lain yang hendak diwujudkan adalah terwujudnya kemaslahatan umat. Bahkan fikih, diperlakukan sebagai teks suci yang kebal terhadap apapun, melebihi al-Qur’an dan hadis. Bahkan ada anggapan bahwa menjalankan hukum fikih seolah-olah memperjuangkan kemaslahatan Tuhan, bukan kemaslahatan manusia.25

Menurut KH Husein Muhammad, makna tauhid secara literal adalah meng-Esa-kan, meng-tunggal-kan atau men-satu-kan segala sesuatu. Dari makna literal tersebut, oleh para ulama kemudian dirumuskan sebagai sebuah paham tentang ke-Esa-an Tuhan.26

Mengembangkan makna tauhid sebagaimana disebutkan di atas, dalam kehidupan sosial, dan terutama dalam relasi laki-laki dan perempuan sangat ditekankan oleh KH Husein Muhammad. Menurutnya, menyatakan bahwa Tuhan (Allah) adalah satu bukan pernyataan verbal ritual individu semata, melainkan juga seruan untuk menjadikan ke-Esa-an sebagai basis utama pembentukan

22

Tutik Hamidah, Fiqh Perempuan Berwawasan Keadilan Gender, hal. 16

23

Umdah el Baroroh, Tutuk Nurul Janah, Fiqh Sosial Masa Depan Fiqh Indonesia, Cet. Ke-1

(Pati: Ipmafa Press, 2016), hal. 62

24

Umdah el Baroroh, Tutuk Nurul Janah, Fiqh Sosial Masa Depan Fiqh Indonesia, hal. 62

25 Umdah el Baroroh, Tutuk Nurul Janah, Fiqh Sosial Masa Depan Fiqh Indonesia, hal. 63 26 Tutik Hamidah, Fiqh Perempuan Berwawasan Keadilan Gender, hal. 21

(13)

tatanan sosial-politik-budaya. Sedangkan, pada dimensi sosial, setelah manusia bebas dari sifat mengagungkan hal-hal secara keliru, dan sebagai gantinya hanya mengagungkan Allah SWT, selanjutnya akan muncul yang mana suatu sikap pandang yang menempatkan dirinya dalam kesatuan umat manusia yang bermartabat dan memiliki kedudukan yang sama di hadapan Tuhan yang Maha Agung. Sikap pandang tersebut tidak terbatas pada kehidupan sebagai individu namun juga harus diwujudkan dalam semua dimensi kehidupan termasuk di dalam memandang kedudukan perempuan. Dalam konteks itu KH Husein Muhammad menegaskan sebagai berikut:27

“Diskriminasi yang berlandaskan pada perbedaan jenis kelamin (gender), warna kulit, kelas, ras, territorial, suku, agama dan sebagainya tidak memiliki dasar pijakan sama sekali dalam ajaran Tauhid. Ukuran satu-satunya yang menjadikan seorang manusia unggul atas manusia yang lain adalah pada tingkat komitmennya terhadap penegakan moralitas ketuhanan.”

Dan secara tegas, kaum feminis sepakat dengan semua tindakan yang tidak berkeadilan gender. Mereka juga sering menemukan kesalahan berpikir yang berkembang dalam masyarakat, dianggaplah bahwa ketika gerakan kesataraan gender ini berlangsung maka budaya patriarki akan diganti dengan budaya matriarki, dimana perempuanlah yang menjadi penguasa. Pola berpikir inilah yang ditolak oleh kaum feminis, karena inti gerakan feminisme adalah lebih memposisikan laki-laki dan perempuan yang manusiawi dan adil. Perempuan dapat memperoleh akses politik, ekonomi, pendidikan dan sosial yang sama dengan laki-laki dan laki-laki pun dapat berpartisipasi penuh terhadap urusan di rumah dan merawat anak. Karena pada dasarnya peran perempuan (di dapur, ngurus rumah) dan laki-laki (di kantor, di pabrik) merupakan hasil konstruk sosial bukan kodrat dari Tuhan, sehingga peran tersebut dalam satu waktu dan tempat dapat berubah.

Norma-norma agama yang bersifat tekstual, menurut Qasim harus dicari “celah-celah” kontekstualnya. Karena jika kondisi sosial berubah, maka kondisi

(14)

ini boleh jadi tidak sesuai lagi. Artinya, jika sudah tidak lagi mengandung unsur kemaslahatan sosial maka kita bisa menggantinya dengan sosial yang lain yang sesuai dengan zaman kita yang sekarang ini.28

Kiai Husein Muhammad menitikberatkan pembahasannya pada persoalan pemberian hak nafkah dalam keluarga, dan hal ini masih terkait dengan relasi seksual antara laki-laki (suami) dan perempuan (istri), dimana mereka harus mempunyai pandangan yang sama tentang kesetaran manusia, tidak ada yang tersubordinatkan, di antara mereka harus saling kerjasama dan pengertian dalam menjalani roda kehidupan ini sehingga nanti akan tercipta suasana keluarga yang harmonis dan maslahat, tidak hanya bagi mereka berdua tetapi juga untuk keluarga, masyarakat dan negara. (hal. 182)29

F. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian pustaka (library research), yaitu menjadikan penelitian ini sebagai sumber data utama. Karena pada dasarnya penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan. Maka yang menjadi kajian pada penelitian ini adalah hasil dari pada karya tulis dan pemikiran-pemikiran tokoh tersebut yang berkaitan dengan penelitian ini.

2. Jenis Data

Agar lebih akurat dan rasional, dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan data literatur, yaitu dengan mengadakan kajian pustaka terhadap sumber-sumber data berupa buku-buku yang ada relevansinya dengan pembahasan skripsi ini.

3. Sumber Data

28

M Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan, Cet. Ke-1 (Yogyakarta: Pustaka pesantren (Kelompok Penerbit LkiS), 2005), hal. 60-61

29 Mohammad Zainal Abidin, “Tafsir Baru Fiqh Perempuan”, dalam PALASTREN. No. 2

(15)

Sumber data dalam penulisan ini berupa data primer dan data sekunder: a. Data Primer

Sumber data primer yaitu sumber yang menjadi rujukan utama yang berkaitan langsung dengan permasalahan yang akan diteliti, berupa :

Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender,

KH. Husein Muhammad

Spiritualitas Kemanusiaan, Perspektif Islam Kemanusiaan, KH

Husein Muhammad

Perempuan Islam dan Negara, KH Husein Muhammad

Ijtihad Kyai Husein, Upaya Membangun Keadilan Gender, KH

Husein Muhammad

Islam Agama Ramah Perempuan; Pembelaan Kiai Pesantren, KH

Husein Muhammad

 Wawancara dengan Husein Muhammad

 dan berbagai rujukan utama lainnya. b. Data Sekunder

Sumber data sekunder yaitu sember yang menjadi bahan rujukan pendukung pada penelitian ini, baik itu berupa buku, artikel, jurnal, karya ilmiah yang menjadi pelengkap data-data primer di atas. Seperti

Fiqh Perempuan Berwawasan Keadilan Gender,Tutik Hamidah

Dialektika Teks dan Konteks dalam Metode Istinbat Fikih

Perempuan Kontemporer, Tutik Hamidah

Fiqh Sosial Masa Depan Fiqh Indonesia, Umdah El Baroroh

Analisi Gender dan Transformasi Sosial, Mansour Fakih

Rezim Gender di NU, Jamal Ma’mur

Fiqh Munakahat, Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul

Wahab Sayyed Hawas

Fiqh Munakahat, Abdul Rahman Ghazali

(16)

Kompilasi Hukum Islam

Metode Istinbath Hukum Imam Syafi‟i: Telaah atas Konsep Kadar

Nafkah Istri, Lailiyah Buang Lara

Wanita Karir Perspektif Gender dalam Hukum Islam di Indonesia,

Irma Erviana

Urgensi Tafsir Kontekstual dalam Penafsiran Al-Qur‟an,

Mustaqimah

Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat

dan Undang-Undang Perkawinan, Amir Syarifuddin

Al-Qur‟an dan Perempuan: Menuju Kesetaraan Gender dalam

Penafsiran, Fikih Nikah, Zaetunah Subhan

Hermeneutika Gender: Perempuan dalam Tafsir Bahr al-Muhith,

Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur‟an Klasik dan

Kontemporer, Faisol

Terjemah Fiqih Lima Mazhab, Muhammad Jawad Mughniyah

Fiqih Islam Wa Adillatuh, Wahbah Az-Zuhaili

Kewajiban Nafkah Menurut Ushul dan Furu Menurut Mazhab

Syafi‟i, Tarmizi M Jakfar dan Fakhrurrazi

Teori Maqashid al-Syari‟ah dalam Hukum Islam, Ghofar Shidiq

Kiai Husein Muhammad Membela Perempuan, M Nuruzzaman

Kepemimpinan Laki-Laki dalam Keluarga: Implementasinya pada

Masyarakat Jawa, Sri Suhandjati

 dan berbagai rujukan tambahan lainnya. 4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah studi kepustakaan, maka teknik ini adalah sebagai berikut : pengumpulan data dilakukan dengan cara menghimpun buku-buku yang berhubungan dengan tema skripsi. Setelah bahan terkumpul kemudian mengkaji dan menelaah berbagai buku yang mempunyai relevansi dengan pokok pembahsan.

(17)

Selanjutnya data yang telah didapat, diklarifikasikan sesuai dengan kerangka tulisan untuk dianalisis.

5. Teknik Analisis Data

Pada penelitian ini menggunkan metode analisis deduktif yaitu metode yang dipakai untuk menganalisis data yang bersifat umum dan menjadikan kesimpulan yang khusus. Analisis ini dilakukan dengan terlebih dahulu menjelaskan hak dan kewajiban suami istri secara umum, kemudian menganalisis pemikiran Husein Muhammad tentang hak dan kewajiban suami istri dalam rumah tangga.

G. Sistematika Pembahasan

Penyusunan sistematika pembahasan berguna untuk memudahkan dalam memahami pembahasan dalam penelitian. Maka dalam penelitian disusunlah sistematika pembahasan dalam bentuk bab per bab sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.

Berikut adalah susunannya secara garis besar :

BAB I: Merupakan pendahuluan, yang merupakan gambaran dari pokok-pokok permasalahan. yang mencakup latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, penelitian terdahulu, kerangka pemikiran, metodologi penelitian, dan sistematika pembahasan. Dari rangkaian susunan diatas merupakan gambaran dari keseluruhan penelitian yang akan diuraikan dalam bab-bab berikutnya.

BAB II: Pada bab ini membahas tentang aspek-aspek yang berkaitan dengan konsep-konsep nafkah. Seperti pengertian nafkah, dasar hukum nafkah, sebab-sebab kewajiban nafkah, syarat berhak atas nafkah, ukuran nafkah, berlakunya kewajiban nafkah, tujuan dan hikmah nafkah, konsep nafkah menurut fikih mazhab.

(18)

BAB III: Membahas tentang gambaran umum seperti profil Husein Muhammad, pendidikan, karya-karyanya, relasi laki-laki dan perempuan, istinbat hukum KH Husein Muhammad, kewajiban nafkah menurut KH Husein Muhammad.

BAB IV: Membahas tentang kewajiban nafkah, metode istinbat hukum Husein Muhammad tentang kewajiban nafkah, dan menganalisi kewajiban Nafkah perspektif KH Husein Muhammad dalam konteks kekinian. BAB V: Merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan sebagai jawaban

atas rumusan masalah serta saran-saran yang berkaitan dengan penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Beton l merupakan l campuran antara l semen, agregat kasar, agregat halus dan air. Kadang-kadang memakai bahan tambah yang sangat bervariasi, mulai dari bahan tambah

Dari beberapa studi kasus pengalaman risiko konstruksi pembangkit listrik konvensional dan identifikasi risiko yang terjadi, maka langkah- langkah yang diperlukan

61 63003 Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Anindyaguna 62 63004 Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Surakarta 63 63006 Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Atma Bhakti 64 63007 Sekolah Tinggi Ilmu

Dengan adanya sistem kotak sampah otomatis tersebut agar menjadi efektif serta efisien, karena ketika manusia membuang sampah maka akan secara otomatis tutup

Kekurangan metode ekspor adalah: (1) melakukan ekspor lebih mahal Kekurangan metode ekspor adalah: (1) melakukan ekspor lebih mahal dibanding dengan metode lain terkait, (2) tidak

Pn.Hjh.Ni Shafiah Bt Abdul Moin(Pengetua ) Pn.Norizan Binti Hamdan ( PK HEM ) Tn.Hj.Wan Ahmad Ridzuan Azwa Bin Wan Abdul Jalil ( PK Pentadbiran) Tn.Hj.Mohd Ariffin Bin Zainal (

PETRONAS ingin membangkitkan kesadaran tentang semua bahaya yang terkait dengan penyimpanan, penanganan dan penggunaan produk kami. Mempelajari secara cermat Lembar Data

Satuan biaya transportasi darat dari Kota Malang ke Kabupaten/Kota dalam wilayah Provinsi Jawa Timur (one way/sekali jalan) merupakan satuan biaya yang digunakan