• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENGANTAR. Pada umumnya, masyarakat membutuhkan sarana dan. kebutuhan primer, seperti pangan, sandang, dan papan,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENGANTAR. Pada umumnya, masyarakat membutuhkan sarana dan. kebutuhan primer, seperti pangan, sandang, dan papan,"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang Penelitian

Pada umumnya, masyarakat membutuhkan sarana dan prasarana hidup dalam kesehariannya.1 Upaya pemenuhan

kebutuhan primer, seperti pangan, sandang, dan papan, menjadikan mereka memerlukan perangkat atau sistem teknologi. Berdasar konteks kealaman dan lingkungan hidup masing-masing wilayah budaya yang cenderung berbeda, maka dalam proses pengembangan pola pikir, cara adaptasi, dan teknologi ciptaannya mengalami perbedaan pula. Hal itulah yang mendorong timbulnya karakteristik produk budaya yang menjadi pembeda dengan wilayah budaya lain, khususnya pada peralatan hidup yang dipergunakan.

Menurut J. J. Honigmann dalam Koentjaraningrat, bahwa setiap kebudayaan memiliki tiga syarat utama sebagai struktur pembentuknya, meliputi ideas, activities, dan artefacts.2 Artefak

budaya biasanya membutuhkan unsur estetik sebagai cara untuk sosialisasi dan mengusung nilai atau meaning-nya.3 Jakob

1 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta,

1990), 343-366.

2 Koentjaraningrat, 1990, 186.

3 Jakob Sumardjo, Filsafat Seni, (Bandung: ITB Press, 2000), 135-145.

(2)

Sumardjo menjelaskan nilai estetika jika dipadukan dengan nilai (makna) yang ditrasformasikan, maka benda seni ini akan menjadi “kagunan”, yaitu “nilai fungsi seni”. Seni dalam wilayah etnik adalah medium. Nilai sebagai nilai itu awalnya tidak ada. Nilai itu baru akan hadir lewat pengalaman yang berkaitan dengan teks (bendawi). Nilai yang dianggap ‘suci’ dalam wilayah etnik itu baru dapat dirasakan kehadirannya dalam wujud ‘membenda’ yang dapat dialami, didengar, diraba, dilihat, serta dikecap. Nilai itu hadir dalam pengindraan dan pengalaman.4

Indonesia (Nusantara) memiliki beragam budaya lokal, salah satu hasil budayanya adalah “gerabah”, yang sudah ada sejak zaman prasejarah. Pada masa prasejarah, salah satu fungsi gerabah digunakan sebagai wadah kubur atau bekal kubur (burial

gift).5 Hal itu menunjukkan bahwa gerabah memiliki nilai dan

peran penting dalam kehidupan masyarakat sejak masa lampau. Berdasar tingkat kepentingan fungsional tersebut yaitu sebagai bekal kubur namun bermuatan nilai estetik, maka banyak masyarakat dari berbagai wilayah budaya Indonesia membuatnya sebagai kagunan, baik sebagai benda seni maupun benda ritual.6

Gerabah mulai dikenal saat masa bercocok tanam di daerah pedalaman dan tradisi mencari hasil laut di daerah pantai pada

4 Jakob Sumardjo, Estetika Paradoks, (Bandung: Kelir, 2014), 28-32. 5 Santoso Soegondho, Tradisi Gerabah di Indonesia, Dari Masa

Prasejarah Hingga Kini, (Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1995), xii.

(3)

masa pra-sejarah, lebih dari 10.000 tahun yang lalu. Pada konteks kehidupan masyarakat saat itu sudah muncul kesadaran untuk menciptakan sejenis barang yang dapat digunakan untuk keperluan sehari-hari, karena persoalan makanan merupakan kebutuhan primer, maka mereka merasa perlu untuk membuat alat atau perangkat yang dapat digunakan untuk menyimpan, mengawetkan, dan juga sebagai wadah (menampung) makanan. Pada perkembangannya, mereka mampu menciptakan peralatan dari tanah liat yang di kemudian hari disebut gerabah.7 Hal itu

juga dikemukakan oleh Thomas Stamford Raffles yang menyatakan bahwa peralatan memasak yang digunakan oleh orang Jawa sangat sederhana, terbuat dari tanah liat dan tembaga.8

Pada masyarakat Gilimanuk kuno di Pulau Bali, ditemukan situs perkuburan kuno. Dari beberapa situs yang ditemukan pada sisa-sisa masyarakat lama tersebut, terdapat banyak gerabah untuk bekal kubur, biasanya berisi peralatan serta perhiasan yang pernah menyertai kehidupan dari yang dikuburkan. Gerabah yang digunakan itu juga bukan jenis gerabah polos tetapi berornamen. Semakin besar ukuran gerabahnya dan semakin indah ornamen yang menghiasinya, hal itu menunjukkan bahwa tingginya tingkat

7 Paul Bormans, Ceramics Are More Than Clay Alone, (Cambridge CB1

6AZ, UK: Cambridge International Science Publishing, 2004),2004, 4-5.

8 Thomas Stamford Raffles, The History Of Java, diterjemahkan oleh Eko

(4)

sosial semasa hidupnya. Gerabah berbentuk cawan berkaki juga ditemukan di situs tersebut, yang diperkirakan digunakan untuk upacara keagamaan, yaitu sebagai wadah sesaji dan pedupaan dalam suatu ritual, terutama untuk ritual mendoakan orang yang meninggal.9

“Seni kerajinan Keramik” di Indonesia, diperkirakan muncul sejak para kreator keramik mulai menggunakan tungku untuk proses pembakaran karya-karya yang mereka ciptakan. Tradisi gerabah lama juga menggunakan proses pembakaran, tetapi pada umumnya menggunakan teknik pembakaran terbuka bersuhu rendah.10 Umumnya jerami digunakan sebagai bahan bakarnya

untuk pembakaran di tempat terbuka, bukan di dalam tungku. Jenis pembakaran tersebut dapat menghemat biaya produksi, biasanya sering dilakukan oleh para perajin gerabah (keramik) dari daerah-daerah pertanian. Jenis gerabah hasil pembakaran teknik itu berupa benda-benda peralatan rumah tangga.11

Jenis seni kerajinan tanah liat yang dihasilkan dari teknik pembakaran tungku bersuhu tinggi disebut keramik, hal itu sementara sebagai pembeda secara teknikal antara gerabah dan keramik. Teknik pembakaran ini dipengaruhi oleh tradisi pembuatan keramik dari kebudayaan China, yaitu pembakaran

9 Santoso Soegondho, 1995, 7. 10 Santoso Soegondho, 1995, 7. 11 Santoso Soegondho, 1995, 95-107.

(5)

menggunakan tungku dan ditindaklanjuti dengan teknik “gelasir”. Teknik gelasir itulah yang mempertegas pembedaan antara gerabah dengan keramik.12 Dalam pengertian bahwa gelasir dalam

tradisi keramik China adalah teknik yang digunakan untuk memperkuat resistensi air, awet, dan mudah dalam perawatannya.13 Pernyataan tersebut diperkuat oleh Siddhartha

dalam Mocthar Kusumaatmadja, bahwa perkembangan keramik dari hasil bakaran suhu tinggi di Nusantara, juga dipengaruhi oleh industri keramik yang didirikan Pemerintah Belanda tahun 1920-an, yang kebanyakan memproduksi keramik jenis porselen. Dalam rangka mendukung perkembangan industri porselen Belanda pada masa itu, bahan-bahan dasarnya didatangkan dari Pulau Bangka dan Belitung. Selain itu, Belanda juga mendirikan pabrik-pabrik dan pusat penelitian keramik, antara lain di Bandung, Pleret, dan Malang.14

Bahan dasar keramik adalah tanah liat, terdiri dari: kaolin,

ball clay, stoneware clay, earthenware clay, dan fire clay,

sedangkan jenis mineral lain yang digunakan sebagai campuran antara lain: silica, flint, kapur (calcite), feldspat, magnesite,

12 Ambar Astuti, Keramik Bahan, Cara Pengerjaan, Gelasir (Yogyakarta:

Arindo Nusa Media, 2008) (a), 7-9.

13 Ambar Astuti, Keramik Ilmu dan Proses Pembuatannya (Yogyakarta:

Jurusan Kriya Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta dan Arindo Nusa Media, 2008) (b), 87.

14 Mocthar Kusumaatmadja. Dkk, Perjalanan Seni Rupa Indonesia, Dari

(6)

alumunium, talk (mineral yang mengandung banyak magnesium),

chamotte atau grog, cornwall stone, nepheline syenite, patalite, bone ash (tulang sapi yang sudah dikalsinir dan ditumbuk), dan bentonite (mineral dengan platisitas tinggi).15 Dibanding peralatan

lainnya, ciri dasar keramik adalah melalui proses pembakaran. Ada bermacam tingkat suhu api yang digunakan, pada umumnya mulai dari 500° hingga 1.800° Celcius.

John B. Kenny menyatakan bahwa, jenis keramik diklasifikasikan dalam empat jenis, yaitu earthenware, stoneware,

china, dan porcelain.16 Earthenware biasanya terbuat dari tanah

liat yang terbentuk secara alamiah, berwarna merah dan mengandung banyak pasir, termasuk dalam jenis tanah sekunder, dan berbulir plastis. Kebanyakan berupa periuk belanga, cawan, dan “gerabah kasar”.17 Jadi pada dasarnya gerabah adalah bagian

dari keramik. Stoneware terbuat dari tanah tunggal atau kadang

juga terbuat dari tanah campuran. Bahan campuran itu biasanya menggunakan ball clay dan fire clay.Stoneware merupakan bagian

dari keramik berbentuk patung atau ubin yang terbuat dari ball

clay dan fire clay, tidak menggunakan gelasir, terkadang disebut

dengan terra-cotta. China clay sama dengan kaolin, termasuk

tanah primer, berwana putih, berbutir kasar, rapuh, tidak plastis,

15Ambar Astuti, 2008 (b), 18-27.

16 John B. Kenny, The Complete book of Pottery Making, Second Edition

(Radnor: Chilton Book Company, 1949), 8-9.

(7)

maka menyebabkan tanah ini sulit dibentuk, tetapi memiliki daya tahan terhadap suhu tinggi. Porcelain adalah tanah yang paling

tahan api dari semua jenis keramik lainnya, bukan tanah primer, tetapi terbuat dari campuran kaolin, ball clay, feldspat, flint (bentuk lain dari silika).

Berdasarkan jabaran di atas, selain gerabah merupakan salah satu jenis keramik, pada tahap tertentu memiliki posisi hampir sebanding dengan keramik, terutama dalam proses penyelesaian akhirnya. Hal itu untuk jenis gerabah yang mengakhiri prosesnya dengan teknik pelapisan engobe sebelum dibakar, sedangkan keramik mengakhirinya dengan teknik gelasir. Selain berdasar perbedaan suhu pembakaran, dan teknik penyelesaian akhirnya, faktor bahan dasar juga menjadi pembeda antara gerabah dan keramik. Hal itu dengan pertimbangan bahwa masing-masing jenis material tanah liat memiliki tingkat adaptasi terhadap suhu pembakaran.

Pemahaman masyarakat umum bahwa tradisi keramik berasal dari kebudayaan China, terkoreksi oleh Paul Bormans, ia menegaskan bahwa, keramik khususnya benda-benda tembikar (crockery) tertua telah ditemukan di Fukui caves Jepang, yang diperkirakan dibuat pada tahun 10.000 Sebelum Masehi.18

Philippe Boch and Jean-François Baumard juga memberi

(8)

penjelasan tentang keramik yang sebenarnya bukanlah sebuah benda (artefak) seni, tetapi proses produksi yang menggunakan benda-benda padat yang komponen utamanya adalah bahan anorganik dan non-logam.19 Pernyataan yang sama juga

dikemukakan oleh Arthur Edward Dodd juga menulis bahwa keramik adalah benda tiruan yang diproduksi dan dibentuk dengan proses suhu tinggi yang keseluruhan bahan bakunya tebentuk oleh bahan-bahan anorganik dan non-logam.20 Kata

“keramik”, pada awalnya berasal dari bahasa Yunani yaitu

keramos, yang artinya periuk atau belanga yang dibuat dari

tanah.21

Salah satu wilayah sentra seni kerajinan keramik (gerabah) adalah Dukuh Pagerjurang Desa Melikan yang berada di wilayah Kecamatan Bayat Kabupaten Klaten. Dukuh ini adalah satu dari sekian perdukuhan penghasil keramik di kecamatan Bayat yang masih produktif hingga sekarang, selanjutnya produk dari wilayah tersebut lebih dikenal sebagai “keramik Bayat”. Berdasar pernyataan Santoso Soegondho, bahwa keramik Bayat dapat dikategorikan sebagai “keramik tradisional”,22 mengingat salah

19 Philippe Boch dan Jean-François Baumard, dalam Philippe Boch and

Jean-Claude Nièpce (ed), Ceramic Materials Processes, Properties and

Applications, (London W1T 5DX, UK: ISTE Ltd, 2007, 3-28.

20 Arthur Edward Dodd, Dictionary of Ceramics, (London SWlY 5 DB: The

Institute of Materials, 1994), 56.

21 Ambar Astuti, 2008 (b), 1.

(9)

satu proses pembuatannya masih menggunakan teknologi sederhana dari hasil pemikiran lokal. Perangkat teknologi tersebut oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama alat “putaran miring”. Secara sekilas, penamaan itu didasarkan pada sistem kerjanya yang menggunakan perbot atau papan putar sebagai alas untuk membentuk tanah liat, dalam posisi miring.

Berdasar pengamatan awal, di sepanjang jalan utama penghubung antara kecamatan Wedi sampai Bayat, berjajar

showroom (toko dan ruang pamer) yang memajang berbagai jenis

keramik produk perajin dari wilayah tersebut. Jika menilik lebih jauh, maka hampir semua gang atau jalan masuk ke kampung, banyak rumah-rumah penduduk yang menjadikan teras atau sebagian ruang depan dari rumahnya untuk memajang produk keramik Bayat, walaupun dengan cara penataan yang lebih sederhana. Fenomena yang lebih menarik di wilayah ini adalah kebanyakan produk yang dipajangnya dibuat dengan menggunakan “teknik putaran miring”. Menurut cerita yang beredar di masyarakat Bayat, teknik ini sudah ada dan dipergunakan oleh perajin di wilayah ini sejak lama, dalam arti sudah turun-temurun atau beberapa generasi. Belum ditemukan literatur yang menyebutkan secara pasti sejak kapan teknik tersebut mulai digunakan oleh perajin Bayat, yang jelas hingga kini masih banyak perajin yang menggunakannya.

(10)

Dari hasil pengamatan awal di atas, fenomena keramik yang dicipta melalui proses ‘papan miring’ tersebut menjadi objek penelitian yang menarik untuk menelusurinya lebih jauh. Di mana sebuah masyarakat yang tidak terlalu jauh dari kehidupan kota Modern, yaitu Solo (Surakarta) dan Yogyakarta, tetapi masih memiliki ruang budaya yang bernuansa etnik dan peralatan tradisional. Hal itu untuk sementara merujuk pada bentuk rupa dan proses penciptaan “seni kerajinan” keramik masyarakat tersebut, yang tidak banyak terimbas oleh pengaruh seni modern (kontemporer) dan teknologi mesin.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana proses pembuatan keramik Bayat dengan teknik putaran miring.

2. Mengapa teknik putaran miring mampu menjadikan keramik Bayat sebagai karya tradisi yang unggul.

C. Tujuan Penelitian

1. Penelitian ini mengungkap secara garis besar yang terkait erat budaya dan hal-hal mempengaruhi keberadaan keramik Bayat.

2. Penelitian ini mengkaji hal-hal yang berkenaan dengan proses penciptaan keramik Bayat khususnya yang

(11)

menggunakan teknik putaran miring, yang dapat membangun nuansa etniknya.

3. Penelitian ini mengkaji dan menjelaskan tentang keunggulan keramik Bayat yang diproduksi dengan teknik putaran miring, terutama yang berkaitan dengan metoda, fungsi, dan estetikanya, beserta ‘mitos tradisi’ sebagai ‘etos’ yang menyertainya sampai sekarang.

D. Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian ini bermanfaat bagi diri pribadi, terutama dalam memperluas wawasan seni keramik khususnya dan seni tradisi pada umumnya.

2. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan khususnya tentang seni keramik tradisional dalam peta seni seni kerajinan Indonesia yang bernuasa etnik.

3. Hasil penelitian ini dapat menjadi sumbangan untuk pengembangan ilmu pengetahuan, terkait dengan teknologi lokal yang memiliki keunikan dan kualifikasinya tersendiri. 4. Hasil penelitian ini dapat menjadi pertimbangan, masukan,

atau rujukan pustaka bagi peneliti yang menekuni kajian seni tradisi keramik.

(12)

E. Tinjauan Pustaka

Keberadaan keramik Bayat sebenarnya sudah tidak asing lagi di peta budaya keramik Nusantara. Penelitian tentang keramik Bayat pun sudah ada sejak lama, misalnya, B. Muria Zuhdi melakukan penelitian dengan judul “Seni kerajinan Keramik Desa Pagerjurang Kecamatan Bayat Kabupaten Klaten” pada tahun 1995.23 Ia menulis tentang pembagian kerja pembuatan keramik,

gerabah dibuat oleh perajin tua, sedangkan keramik hias kebanyakan dibuat oleh perajin muda dan industri kecil. Keduanya akan sama-sama saling menguntungkan karena jika dalam satu keluarga ada dua perajin, maka produk yang ditawarkan akan lebih bervariatif yaitu gerabah tradisional dan keramik hias.

Hasil penelitian Yusuf Hartanto dalam tesisnya yang berjudul “Seni kerajinan Keramik Bayat Klaten dalam Dua Dasawarsa Terakhir Abad XX, Kontinuitas dan perubahannya”, ia mengungkap permasalahan yang berkaitan dengan kelangsungan dan perubahan seni kerajinan keramik Bayat Klaten.24

Kelangsungan seni kerajinan keramik ini didukung oleh sikap dan nilai-nilai yang ada di lingkungan masyarakat setempat. Aktivitas

23http://eprints.uny.ac.id/5478/keramikbayat. Diakses pada tanggal 20

November 2014 pukul 23.11 WIB.

24 Yusuf Hartanto. “Seni kerajinan Bayat Klaten dalam Dua Dasawarsa

Terakhir Abad XX, Kontinuitas dan Perubahannya”. Tesis, Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas Gadjah Mada, 2003.

(13)

penciptaan seni kerajinan keramik Bayat mengalami perubahan, yang awalnya untuk memenuhi peralatan dapur, selanjutnya menghadirkan barang-barang lain untuk memenuhi kebutuhan masyarakat luas baik untuk elemen interior atau eksterior. Hal itu dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal ialah kemampuan dan daya kreativitas perajin dalam menciptakan keramik secara turun-temurun dari nenek moyangnya, sedangkan faktor eksternal dipengaruhi oleh pemerintah, swasta, dan perguruan tinggi. Dengan keterbukaan perajin terhadap dunia luar menjadikan perajin makin maju dalam wawasan, pola pikir, dan status perajin, ini mendorong terciptanya keramik seni di Bayat.

Hasil penelitian lain, yaitu Yusuf Widharto dalam tesisnya yang berjudul “Pengaruh Ergonomi terhadap Pengrajin Keramik Wanita, Studi kasus di Bayat dan Kasongan”.25 Ia menulis tentang

pentingnya industri kecil menengah terutama industri seni kerajinan keramik, namun seperti kebanyakan industri kecil menengah seni kerajinan para perajin belum memperhatikan kenyamanan dalam bidang kesehatan. Keadaan yang tidak nyaman akan mempengaruhi kinerja mereka. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk melakukan identifikasi mengenai

25 Yusuf Widharto. “Pengaruh Ergonomi Terhadap Pengrajin Keramik

Wanita, Studi kasus di Bayat dan Kasongan”. Tesis, Program Teknik Mesin Universitas Gadjah Mada, 2009.

(14)

faktor yang menyebabkan Musculoskeletal Dissorder (MSD) atau rasa nyeri pada otot dan persendian, dengan pengambilan sample di wilayah perajin keramik Bayat dan Kasongan. Berdasarkan hasil kuesioner OWAS atau Ovako Working Postural Analysis

system (metode yang digunakan untuk mengetahui komplikasi

rangka otot sehingga menyebabkan rasa sakit dan nyeri pada tubuh) dan penghitungan denyut nadi, didapatkan bahwa perajin keramik Bayat mengalami kondisi tidak nyaman yang tinggi, sedangkan untuk perajin Kasongan mengalami hal yang sama tetapi tingkatnya rendah. Berdasar kecenderuang itu maka perajin Bayat perlu seringnya melakukan perawatan dan pemulihan persendian dan otot-otot yang tidak nyaman tersebut, untuk meningkatkan kinerja mereka, sedangkan untuk perajin Kasongan tidak atau sedikit memerlukan pemulihan.

Muhammad Hanafi dalam skripsinya yang berjudul “Perancangan Ulang Fasilitas Kerja Alat Pembuatan Gerabah Dengan Mempertimbangkan Aspek Ergonomi, Studi Kasus: Sentra Industri Gerabah, Bayat, Klaten”, juga meneliti tentang mesin yang digunakan dalam proses produksi keramik Bayat.26 Ia

menjelaskan tentang mesin putar yang digunakan oleh pekerja/perajin keramik Bayat, terutama untuk jenis putaran

26 Muhammad Hanafi. “Perancangan Ulang Fasilitas Kerja Alat

Pembuatan Gerabah Dengan Mempertimbangkan Aspek Ergonomi, Studi Kasus:

Sentra Industri Gerabah, Bayat, Klaten”. Skripsi Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2010.

(15)

datar. Perangkat kerja yang digunakannya masih sangat sederhana, yaitu alat putaran datar (handwheel). Di mana mereka duduk pada kursi kecil, badan agak membungkuk pandangan ke arah benda kerja dan posisi kaki ditekuk, kemudian memutar alat itu dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan membentuk benda kerja. Dilihat dari segi ergonomi, maka sikap dan posisi bekerja seperti itu kurang ergonomis, sehingga dapat menyebabkan kelelahan pada punggung dan leher bagian belakang. Sebenarnya Hanafi menyempurnakan alat putar yang sebelumnya dirancang oleh Niken Febrianti yang dirasa masih kurang nyaman digunakan oleh perajin. Maka adapun spesifikasi alat rancangan Hanafi antara lain: sandaran bisa diatur maju mundur, pada putaran bawah diberi tambahan bearing sehingga dapat dikayuh dengan lancar, sedangkan pada bagian kursi ditambahkan besi pipa sehingga dapat di atur naik turun sesuai dengan kebutuhan pekerja. Ia berharap dengan rancangan mesin baru ini, para pekerja lebih nyaman dan lebih cepat dalam proses produksi, serta mampu menghasilkan keramik yang lebih banyak.

Anastasia Karina Ratna S. dalam skripsinya yang berjudul “Kajian Tentang Usaha Pelestarian dan Pengembangan Gerabah Tradisional Pegerjurang Bayat”, membahas tentang usaha pelestarian dan pengembangan gerabah Pagerjurang, terutama tentang bentuk dan dampak apa yang muncul dari usaha

(16)

pelestarian, serta pengembangan tersebut.27 Sebagai daerah

wisata keramik, dukuh Pagerjurang dipenuhi dengan kegiatan membuat gerabah setiap harinya, karena merupakan mata pencaharian utama masyarakat tersebut. Seiring berjalannya waktu yang diikuti dengan perubahan zaman, minat masyarakat kepada gerabah semakin berkurang, menyebabkan para perajin mulai mencari pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Kebanyakan perajin mulai kehilangan kepercayaan diri, sehingga semakin kehilangan daya saingnya. Hal itu menyebabkan gerabah Pagerjurang semakin tergeser keberadaannya.

Bentuk pelestarian dan pengembangan yang dilakukan adalah pemberian bantuan dari pihak pemerintah maupun swasta, dalam bentuk pelatihan manajemen, desain, pewarnaan, serta pengadaan pameran dalam taraf nasional maupun internasional. Pelatihan-pelatihan tersebut sangat membantu dalam meningkatkan kehidupan gerabah (keramik) Pagerjurang, sehingga muncul pengembangan desain gerabah yang lebih diminati masyarakat, seperti bentuk cekung daun, kerang, dan sebagainya. Proses pewarnaannya pun semakin variatif, seperti penggunaan warna merah, orange (ungu), dan putih. Penggunaan elemen rotan dan bambu (non-tanah liat) juga dimunculkan

27

http://www.fsrd.itb.ac.id/wp-content/uploads/kajian-tentang-usaha-pelestarian-dan-pengembangan-gerabah-tradisional-pagerjurang-bayat.pdf.

(17)

sebagai elemen estetik pelengkap, serta penggunaan ‘gelasir’ untuk memperkuat karakteristik keramik dan nilai jualmya. Fenomena yang berkembang sampai sekarang, gerabah Pagerjurang mulai mampu bersaing lagi dengan gerabah-gerabah tradisional maupun modern di Indonesia.

Joko Lulut Amboro menjelaskan tentang asal mula, sejarah, bentuk, perkembangan, dan inovasi desain gerabah Bayat, dengan penekanan pada desain ornamentiknya.28 Ia juga menulis tentang

bentuk-bentuk seni kerajinan gerabah Bayat mulai tahun 1980 sampai 2000. Pada periode 1980-an gerabah yang dihasilkan kala itu berbentuk kendi, kekep, anglo, pengaron, dan padupan, serta banyak bentuk sederhana lainnya yang bertolak pada karya fungsional semata. Periode 1990-an, gerabah Bayat mengalami perkembangan bentuk, mulai muncul banyak bentuk vas dan pot bunga. Pada saat itu, gerabah bukan hanya bertolak dari segi fungsional pragmatis lagi, tetapi mulai mempertimbangkan segi estetiknya. Selain itu, beberapa perajinnya juga mulai memproduksi gerabah ukuran besar dalam jumlah yang banyak. Pada periode 2000-an, mulai muncul produk baru berupa guci berukuran besar dengan berbagai desain, dan diberi ornamen yang beragam serta indah. Bertolak dari itulah banyak perajin

28 Joko Lulut A. Inovasi Desain Seni kerajinan Gerabah Bayat,

(18)

yang mulai melakukan inovasi-inovasi yang lebih berani, mulai dari bentuk, ukuran, dan ornamen penghiasnya.

Tulisan Novita Wahyuningsih berjudul “Keberadaan Artefak Gerabah Di Desa Melikan”, menjelaskan tentang berbagai macam kendi di Desa Melikan.29 Salah satu tujuannya adalah

untuk mendapatkan gambaran tentang asal usul kendi, perkembangan, dan bentuk kendi di Indonesia. Kendi merupakan wadah air tradisional yang mulai terpinggirkan, karena masyarakat sudah jarang menggunakannya untuk peralatan sehari-hari, sehingga berimbas pada tingkat produksinya. Walaupun begitu masih ada perajin yang memproduksi kendi yaitu masyarakat perajin gerabah di desa Melikan. Wadah air minum ini dipercaya bahwa, nenek moyangnya berasal dari

kundhika, yaitu salah satu bentuk wadah air dari India.

Perkembangan kendi di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu kendi tradisional dan kendi baru. Bentuk kendi yang diproduksi dari Desa Melikan masih terlihat sampai sekarang dengan berbagai pengembangan, yaitu pada: jenis, bentuk, fungsi guna, bahan baku, proses pengolahan, teknologi pembuatan, dan pemasarannya. Sampai saat ini, terdapat sekitar 30 ragam kendi yang diproduksi di Desa Melikan.

29 Novita Wahyuningsih. “Keberadaan Artefak Gerabah Di Desa Melikan”,

(19)

Prima Yustana, menulis artikel yang berjudul “Bayat

Ceramic (Aesthetic, Form, And Function)”, ia menjelaskan tentang

karakteristik keramik yang dihasilkan oleh perajin Bayat, yang berfokus pada ragam hias yang diaplikasikan pada produknya.30

Jenis produk yang dihasilkan dari alat putar miring juga menjadi ciri khas produk keramik Bayat, dan faktor-faktor yang menentukan eksistensi sentra industri keramik Bayat hingga kini. Produk yang muncul saat itu merupakan inovasi dari perajin yang biasanya muncul dari permintaan pasar dan kadang-kadang juga terpengaruh produk yang ada di wilayah sentra industri keramik yang berdekatan yakni Kasongan Yogyakarta. Selain itu, ciri khusus produk keramik Bayat tercipta dengan adanya penggunaan lethoh dan teknik gores.

Dari pelacakan pustaka yang ada, belum atau tidak ditemukan data tertulis mengenai keunggulan keramik Bayat yang dibangun melalui kekuatan teknologi lokal yaitu teknik putaran miring, yang dikaitkan dengan latar belakang konteks alam lingkungan hidup dan perilaku sosiologis masyarakatnya. Oleh karena itu, hal-hal yang terkait dengan keunggulan keramik Bayat melalui proses putaran miring sebagai peralatan tradisi, serta latar belakang sosio-kultural, menjadi persoalan yang menarik untuk dikaji dalam penelitian ini.

30 Prima Yustana. “Bayat Ceramic (Aesthetic, Form, And Function)”, dalam

(20)

Pada akhirnya, kajian tentang keunggulan teknologi tradisional keramik Bayat, yang dibangun oleh latar belakang, kekhususan lingkungan alam, dan tata kehidupan masya-rakatnya, serta keunikan menjadi fokus penelitian ini. Sejauh pengetahuan peneliti, belum ada penelitian yang mengkaji hubungan antara keunggulan karya keramik Bayat berdasar latar belakang potensi alam, sosial budaya, dan teknologi yang digunakannya. Oleh karena itu, peneliti meyakini bahwa penelitian ini memiliki kekuatan dalam orisinalitas judul dan tematik wilayah kajiannya.

F. Landasan Teori

Untuk mengkaji keunikan keramik Bayat yang diciptakan dengan teknik putaran miring, serta faktor-faktor yang mempengaruhi kompleksitasnya yang bernuansa estetik, maka diperlukan landasan teori. Teori terpilih tersebut adalah “Teori The

function complex” yang dipopulerkan oleh Victor Papanek dalam

bukunya Design For The Real World.31 Selain itu ditopang dengan

dua teori pendukung (necesseries theory), yaitu:

 Temuan hasil penelitian tentang “Teknologi keramik” oleh Ambar Astuti, dalam bukunya Keramik, Ilmu, Dan Proses

31 Victor Papanek. Design For The Real World: Human Ecology and Sosial

(21)

Pembuatannya,32 yang menjadi panduan dalam menjabarkan

tentang bahan baku, proses pembuatan, teknik pengerjaan, serta dekorasi yang digunakan dalam pembuatan keramik Bayat.

 Temuan hasil penelitian tentang “Latar belakang penciptaan seni kriya” oleh SP. Gustami, dalam bukunya Butir-butir Mutiara

Estetika Timur, Ide Dasar Penciptaan Seni Kriya Indonesia.33

Temuanya ini sebagai panduan untuk melacak latar belakang penciptaan seni keramik Bayat, yaitu: (1) ketersediaan bahan baku, (2) keahlian dari para perajin, dan (3) media ekspresi estetik.

1. Teori The function complex

Dalam bukunya Design for The Real World, Victor Papanek menyatakan bahwa semua manusia adalah perancang (designers). Benda-benda yang diciptakan oleh manusia pada umumnya melewati proses desain, baik secara detail maupun hanya sebatas ilustratif dalam pikiran kreatornya. Desain adalah upaya secara sadar untuk melakukan suatu perintah secara bermakna, maksudnya melalui desain segala sesuatu dapat dibuat sesuai dengan keinginan dan tentunya bermakna. Seperti membuat puisi, menggambar mural, membuat lukisan, dan yang lainnya, banyak faktor yang mempengaruhi dalam prosesnya.

32 Ambar Astuti, 2008 (b), 3-139. 33 SP. Gustami, 2007,127.

(22)

Berdasar teori the function complex, faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi seni antara lain adalah method, use, need,

telesis, association, dan aesthetics,34 yang digunakan sebagai

kisi-kisi atau panduan dalam melacak dan memahami keberadaan keramik Bayat, dan keterkaitannya dengan teknik/alat putaran miring.

a. Method (metode)

Metode adalah interaksi antara peralatan, proses, dan bahan. Ada tiga unsur pokok pada method yaitu tools, materials, dan processes. Metode dapat berarti prosedur baku yang mampu memaksimalkan hasil yang diinginkan. Melalui pemilihan bahan baku (media), didukung oleh alat bantu yang sesuai, serta dengan proses yang tepat, akan menghasilkan produk yang baik. Setiap perubahan material yang digunakan, maka berimbas pada penyesuaian alat bantu dan proses yang dijalani, hal itu berarti terjadi perubahan pula metodanya.

Dalam kajian tentang keramik Bayat ini, maka “metode” yang dimaksud adalah sinergi antara bahan baku yang digunakan, alat/teknik putaran miring, serta proses khusus yang dijalani oleh para perajinnya.

(23)

b. Use (kegunaan)

Pengertian ‘guna’ dalam konteks kajian ini adalah sebuah benda yang diciptakan untuk menjadi berguna atau memiliki kegunaan. Use dalam teori the function complex memiliki tiga fungsi utama, yaitu: as tool, as communication, dan as symbol (sebagai perangkat, sebagai media komunikasi, dan sebagai pembawa simbol). Dalam konteks lebih luas, pengertian “kegunaan” dapat meliputi “kegunaan fisik” dan “kegunaan sosial”; untuk kegunaan fisik meliputi peralatan, serta perlengkapan hidup, dan untuk kegunaan sosial meliputi proses bersosialisasi, seperti komunikasi maupun penyertaan makna (symbol).

Dalam kajian ini, “guna” atau kegunaan yang dimaksud adalah nilai guna dari keramik Bayat dan putaran miring, yang meliputi keramik Bayat sebagai perangkat atau peralatan hidup keseharian, sebagai media interaksi sosial, dan sebagai benda atau perangkat yang mengandung nilai-nilai simbolik; termasuk teknik putaran miring di dalam prosesnya.

c. Need (kebutuhan atau keinginan)

Dalam setiap proses penciptaan ‘sesuatu’ pada umumnya dilatar-belakangi atau dimotivasi oleh “kebutuhan”. Need dalam teori the function complex memiliki batas pemahaman, yaitu:

survival, identity, dan goal formation (untuk keberlangsungan

(24)

rangkaian pencapaian). Pada sisi pragmatisnya, ‘kebutuhan’ juga memiliki ‘ruang gerak’, antara lain pada wilayah: ekonomi, psikologis, spiritual, dan intelektual.

Dalam kajian ini, keramik Bayat dan putaran miring adalah salah satu asset dari masyarakat perajin tersebut mampu mendukung kelangsungan kehidupan tradisinya, sebagai ‘identitas artefak budaya’ dari wilayah tersebut, dan harapan hidup atau cermin keberhasilan dari perjalanan budayanya.

d. Telesis (keberlanjutan)

Telesis adalah salah satu fungsi desain yang berusaha

mewadahi dimensi sosial dan budaya pada tempat desain tersebut dibutuhkan dan digunakan, singkatnya telesis adalah “rencana pengembangan” (planned progress) yang mengalir mengikuti alam. Pada dasarnya setiap benda yang sudah memenuhi persyaratan keberadaannya, yaitu sudah sesuai dengan fungsi, kegunaan, dan kebutuhan, maka dimungkinkan terus berlanjut dalam proses penggunaan atau cara menggunakan, serta pembuatan atau cara penciptaannya. Agar benda-benda tersebut berlanjut dalam proses pembuatannya maka dibutuhkan kecerdasaran dalam pengelolaan sumber daya alam dan manusia serta aplikasi usaha masyarakat tersebut. Dalam memahami ‘keberlanjutannya’, maka dapat dicermati dalam konteks nature, society, dan technological bias

(25)

(lingkungan alam, karakteristik kemasyarakatan, dan teknologi rekayasa).

Dalam kajian tentang keramik Bayat dan putaran miring, keduanya dapat dimengerti keberadaannya melalui lingkungan alam sebagai penyedia bahan baku, karakteristik lingkungan sosialnya, dan hasil rekayasa teknologi lokal (sederhana) yang mampu diciptakan oleh masyarakat tersebut.

e. Association (perkumpulan)

Perkumpulan secara harafiah dapat berarti kelompok orang yang bersifat struktur organisatoris, atau kelembagaan dalam suatu masyarakat. Dalam teori ini, maka ‘perkumpulan’ yang dimaksud adalah suatu lembaga sosial yang memiliki nilai (makna) dalam bentuk ‘ideologi’ yang dipertahankan dan dapat diwariskan kepada generasi berikutnya. Lembaga sosial tersebut meliputi family and early environment, education, dan culture (keluarga dan lingkungan terkecil, lembaga pendidikan, dan lokus budaya).

Implementasi Association dalam kajian ini adalah konteks keramik Bayat dan putaran miring dalam kehidupan keluarga dan lingkungan masyarakat dukuh Pagerjurang, nilai-nilai edukatif yang dapat diambil, dan keberadaan benda dan peralatan tersebut dalam budaya masyarakat Bayat.

(26)

f. Aesthetics

Estetika adalah segala sesuatu yang menyangkut bentuk indah, rasa indah, dan nilai indah, atau sering diartikan sebagai keindahan, juga merupakan faktor utama dalam menciptakan suatu karya. Benda seni selain memiliki fungsi guna serta transfer nilai, juga memiliki keindahan yang manjadi daya tarik utama. Dalam teori ini, banyak berhubungan dengan gestalt, perception,

eidetic and biosocial ‘givens’. Dalam kajian ini maka memposisikan

keramik Bayat dan putaran miring berdasar performa yang dimunculkan, persepsi yang terbangun, dan kebaikan yang dapat diberikan ke lingkup pengetahuan dan kehidupan sosial.

Dengan enam faktor tersebut maka keramik Bayat sebagai karya seni kerajinan yang memiliki nilai seni, dan perangkat putaran miring dapat dijabarkan potensi intrinsik dan ekstrinsiknya, sehingga dapat dipahami kompleksitasnya, khususnya keunikan, daya tahan, dan daya saingnya.

2. Teknologi Keramik

Ambar Astuti dalam bukunya Keramik, Ilmu, Dan Proses

Pembuatannya, memaparkan banyak hal tentang proses pembuatan keramik. Paparan itu mulai dari bahan baku, proses pembuatan, teknik pengerjaannya, serta dekorasi (hiasan) yang diaplikasikan pada permukaan badan keramik. Bahan baku

(27)

utama keramik adalah tanah liat, yaitu suatu material yang sebagiannya terbentuk dari kristal-kristal yang sangat kecil, sehingga sulit dilihat dengan mata telanjang. Kristal-kristal ini terdiri dari mineral-mineral yang disebut kaolinit, berbentuk segi enam dengan permukaan datar, dan apabila dicampur air maka tanah liat ini akan menjadi plastis. Dalam keadaan lembek karena kadar air sebagai pelumasnya cukup tinggi, menjadikan kristal-kristal tersebut mampu meluncur di antara satu dengan lainnya.35

Menurut Ambar Astuti, teknologi keramik dimulai dari (1) pengolahan tanah, (2) pembentukan (3) pengerjaan, (4) pengeringan, (5) pewarnaan dan dekorasi, (6) penempatan atau penyusunan keramik mentah di dalam tungku, terakhir (7) proses pembakaran. Jabaran dari ketujuh tahapan tersebut adalah:

a. Pengolahan tanah.

Proses ini dimulai dengan penyaringan tanah liat. Ada dua macam teknik yang digunakan, yaitu: ‘saring kering’ untuk tanah liat dalam bentuk serbuk, dan ‘saring basah’ untuk tanah liat adonan lembek. Keduanya sama-sama diayak (disaring) untuk memisahkan tanah butiran halus (serbuk lembut) dan butiran kasar (partikel besar), tetapi untuk tanah basah harus diperbanyak kadar airnya guna mempermudah menyaringannya. Dari dua jenis hasil penyaringan itu, langkah selanjutnya adalah

(28)

pengulian, yaitu proses pengolahan tanah liat menjadi ‘adonan

plastis’ dengan cara menambah atau mengurangi kadar air sesuai kadar keplastisan yang dibutuhkan.

b. Pembentukan Tanah.

Pembentukan tanah ialah proses awal membentuk tanah liat menjadi draft bentuk bakal keramik. Proses ini dibedakan menjadi dua, yaitu pembentukan dengan menggunakan tangan dan mesin, tetapi juga ada teknik-teknik pendukung lain yang digunakan. Proses pembentukan dengan tangan (manual) dibagi menjadi tiga yaitu: dipijit (pinch), dipilin (coil), dan dilempeng atau dibuat lembaran dengan cara menge-roll (slab). Untuk yang menggunakan mesin, biasanya membuat putaran yang digerakkan oleh dinamo. Ada juga yang menciptakan teknologi putaran sederhana, yaitu digerakkan dengan kayuhan tangan atau kaki. Pada tahapan pembentukan itulah, alat/teknik putaran miring mulai digunakan.

c. Pengerjaan.

Proses pengerjaan dari draft bentuk bakal menjadi bentuk rupa keramik. Ada beberapa teknik yang dapat digunakan sesuai dengan bentuk artistik yang diinginkan, yaitu: (1) teknik pengerjaan dengan tangan (hand-made), (2) teknik putaran, (3) teknik tekan/pres, (4) teknik cetak (manual atau mesin), dan (5)

(29)

teknik cetak tuang, tanah liat dalam keadaan sangat lembek atau adonan cair.36 Sebagai jabarannya adalah:

(1) Teknik pengerjaan dengan menggunakan tangan (hand-made), meliputi pinch, coil, dan slab. Teknik ini biasanya untuk membuat karakter yang detail, seperti bentuk binatang, karakter daun, karakter tali, ukiran, lobangan, dan sebagainya. Teknik cetak juga termasuk pengerjaan dengan menggunakan tangan, terutama untuk pembuatan master-nya dari bahan gips.

(2) Teknik putaran, biasanya digunakan untuk membuat benda-benda keramik dalam format silindris, seperti piring, mangkuk, gelas, pot, bejana kecil, serta bentuk-bentuk yang berdasar silindris lainnya. Pada teknik ini, alat putaran miring juga dapat digunakan.

(3) Teknik tekan/pres, adalah teknik mengerjakan tanah liat menjadi bentuk rupa keramik melalui proses menekan dengan kuat bahan tersebut pada lempengan besi, untuk mendapatkan bentuk permukaan yang datar dan halus. Teknik ini menggunakan jenis tanah liat yang agak keras atau tidak terlalu lembek.

(4) Teknik cetak, adalah pengerjaan keramik dengan cara dicetak atau replikasi dari rongga cetakan (master). Teknik ini dapat menggunakan tangan atau mesin, untuk cetak tangan biasanya

(30)

menggunakan gips yang sebelumnya sudah dibentuk dengan pola cetak tertentu, sedangkan untuk cetak mesin maka pola cetakannya dibuat lebih kuat karena untuk memproduksi dalam jumlah banyak, contoh produknya antara lain: ubin, piring, mug, dan sebagainya.

(5) Teknik cetak tuang, adalah teknik manual yang digunakan untuk memproduksi keramik dalam bentuk yang sama dan berjumlah banyak, tetapi mampu mempertahankan kesan

handmade-nya. Tanah liat yang digunakannya dalam keadaan

agak cair, karena mempermudah proses penuangannya untuk memenuhi seluruh rongga cetakan.

d. Pengeringan.

Proses dimaksudkan untuk mengurangi kadar air dalam badan keramik ‘mentah’ hasil dari proses pengerjaan. Efek dari proses ini dapat menyebabkan penyusutan pada beratnya. Tujuan utama dari pengeringan adalah mengurangi resiko kerusakan keramik pada saat pembakaran disebabkan oleh letupan partikel air yang tersisa di badan keramik, atau perubahan bentuk keramik akibat pelepasan kandungan air di dalam struktur tanah liatnya. Proses ini dapat dilakukan dengan cara diangin-anginkan di ruang terbuka, dipanaskan atau dijemur dalam kadar panas tertentu, atau sekedar dibungkus dengan kain untuk mengurangi

(31)

kelembaban secara pelan-pelan dan merata,37 terutama untuk

keramik yang memikili variasi ketebalan, dengan tujuan agar proses pengeringan berlangsung lambat, sehingga tidak menimbulkan keretakan pada badan keramik.

e. Pewarnaan dan dekorasi.

Proses menghias pada badan keramik untuk menambah nilai estetik. Teknik pewarnaan pada badan keramik, ada dua macam, yaitu: engobe (polesan dari adonan khusus) dan gelasir (polesan dari formula kimia). Teknik engobe banyak diaplikasikan secara langsung pada badan keramik, dapat juga digunakan untuk lapisan awal sebelum digelasir (underglaze).38 Pengertian

“gelasir” adalah semacam cairan ‘biang gelas’ khusus hasil formulasi secara kimiawi, yang dapat dipoleskan pada permukaan tanah liat dan melekat atau menyatu (melebur) ke badan keramik pada waktu pembakaran.39 Keunggulan dari keramik bergelasir ini

menjadikannya resistan terhadap air, awet, serta mudah dibersihkan. Dekorasi atau penambahan elemen estetik juga dapat memperindah penampilan keramik, antara lain dengan teknik ukir (cukil), cap, inclay, outclay, gores, dan lainnya.

37 Ambar Astuti, 2008 (b), 48-51. 38 Ambar Astuti, 2008 (b), 56-62. 39 Ambar Astuti, 2008 (b), 87.

(32)

f. Penempatan atau penyusunan keramik mentah di dalam tungku.

Proses ini merupakan salah satu proses yang memerlukan pengalaman dan perhitungan khusus karena berkaitan dengan titik nyala api, penyebaran panas, dan sirkulasi udara. Akurasi penataan ini dapat mengurangi resiko retak dan pecah pada badan keramik, serta runtuhnya susunan.

g. Pembakaran.

Tahapan terakhir dalam proses pembuatan keramik ialah pembakaran. Beberapa tujuan pokok dari tahapan ini adalah: (1) untuk menghilangkan kandungan air yang masih tersisa pada keramik mentah, (2) memperkuat ikatan struktur tanah badan keramik, (3) meleburkan polesan gelasir ke permukaan badan keramik. Ada berbagai tingkatan suhu api yang digunakan, hal itu tergantung dari jenis tanah liat yang dibakar, serta jenis keramik yang diinginkan.

Dengan dilaluinya tujuh tahap ini, tanah liat yang awalnya lembut berubah menjadi keramik yang sempurna, berpori-pori rapat, kuat dan tahan air, serta dapat digunakan sesuai dengan tujuan awal diciptakan.

(33)

3. Latar Belakang Penciptaan Seni Kriya

Kebudayaan adalah segala sesuatu yang merupakan hasil belajar atau pembelajaran, atau hasil pola pikir manusia dalam beradaptasi dengan lingkungannya. Menurut Swander dalam Uinchol Kim menyatakan bahwa melalui budayalah manusia berfikir, merasakan, berprilaku, dan mengelola realitasnya.40

Budaya adalah sebuah sistem yang memiliki koherensi. Bentuk-bentuk simbolis berupa kata, benda, laku, mite, sastra, lukisan, nyanyian, musik, kepercayaan memiliki kaitan erat dengan konsep-konsep epistimologi dari sistem pengetahuan masyarakatnya.41

Semakin maju kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat, maka semakin banyak dan beragam pula produk budaya yang dihasilkan. Produk ini adalah cermin keadaan sosial masyarakatnya, seperti yang dinyatakan oleh J. J. Honigmann dalam Koentjaraningrat, bahwa produk budaya berupa artefacts tidak akan lepas ideas, dan activities.42 Sebagai jabarannya: (1) Artefacts adalah fakta bendawi dari kebudayaan; artifacts juga

dapat digunakan untuk melacak ulang konsepsi kebudayaan pada saat diciptakan. (2) Activities adalah sistem (keteraturan) yang

40 Uinchol Kim, Kuo-Shu Yang, dan Kwang-Kuo Hwang, (ed), (Swander

dalam Kim). Indigenouse and Cultural Psychology, Memahami Orang dalam

Konteksnya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 16-19.

41 Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, (Yogyakarta: Tiara Wacana,

2008), xi.

(34)

digunakan oleh masyarakat tersebut, contohnya: sistem penanggalan, sistem bercocok tanam, sistem hukum adat, dan semacamnya, (3) Idea atau ideologi, yang merupakan paham, teori, keyakinan, dan tujuan yang dimiliki oleh suatu masyarakat; konsep bersistem yang dijadikan sebagai landasan pendapat yang memberikan arah dan tujuan hidup.43

Berkaitan dengan artefak di atas, maka keberadaan kreator, seniman, perajin, kriyawan, dan semacamnya adalah salah satu ‘agen budaya’ yang penting. Dari keahlian dan kreativitas merekalah tercipta benda-benda budaya yang memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakatnya. Menurut SP. Gustami, bahwa dalam proses penciptaan ‘produk budaya’ itu, seorang kreator atau kriyawan akan dipengaruhi oleh tiga hal utama yaitu 1) tersedianya bahan baku, 2) keahlian atau keterampilan teknik, 3) kemampuan ekspresi estetik.44

a. Ketersediaan bahan baku

Pengertian bahan baku dalam konteks artefak adalah material dasar, bahan pokok, atau media utama yang digunakan oleh wilayah budaya dalam menciptakan karyanya. Implementasi dalam kajian ini, yang dimaksud ‘ketersediaan bahan baku’ bagi budaya keramik Bayat adalah ketersediaan tanah liat yang memiliki karakter khusus di wilayah tersebut. Kekhususan tanah

43 Koentjaraningrat, 1990, 186-189. 44 SP. Gustami, 2007, 127-134

(35)

liat yang disediakan oleh alam sekitar itulah yang menyebabkan masyarakat Bayat memiliki naluri budaya untuk membuat keramik.

Alam lingkungan Bayat memiliki tanah liat kualitas unggul yang berlimpah sebagai bahan baku untuk membuat keramik. Hal itu yang menjadikan masyarakat Bayat memiliki budaya keramik turun-temurun atau dari generasi ke generasi. Karena alam seakan menyediakan bahan bakunya tanpa batas dan tidak pernah habis. Tingkat keberlimpahan bahan baku yang ada di wilayah budaya itu juga menyebabkan ‘pewarisan membuat keramik’ dapat berlangsung dengan baik. Pada akhirnya menjadi kebiasaan turun-temurun atau menjadi “tradisi”.

b. Keahlian atau keterampilan teknik

Keberlimpahan alam dalam menyediaan ‘media kreasi budaya’, juga dapat memotivasi masyarakatnya untuk membuat teknologi sederhana sebagai cara adaptasinya. Sebagaimana masyarakat perajin keramik Bayat pada kurun waktu tertentu juga menciptakan alat untuk mempermudah dan mempercepat pembuatan keramik. Alat itu adalah “putaran miring” yang berbahan dasar dari alam sekitar, cukup mudah pemakaiannya, dan relatif dapat dibuat oleh sebagian besar dari masyarakat tersebut. Dengan begitu, alat/teknik putaran miring juga merupakan hasil keahlian dari masyarakat tersebut, dan tentunya

(36)

dalam menjalankan alat tersebut juga membutuhkan keahlian khusus.

Teknologi sederhana ini adalah hanyalah alat bantu dalam menciptakan keramik. Hal yang lebih penting bahwa masyarakat perajin keramik Bayat tentunya memiliki keahlian khusus dalam membuat keramik. Keahlian itu dikuasai secara turun-temurun serta dikembangkan sesuai dengan karakter zaman. Tingkat keahlian itulah yang menentukan keberlangsungan produksi ‘benda budaya’ dari wilayah tersebut.

c. Kemampuan ekspresi estetik

Tampaknya, keberlimpahan bahan baku dan tuntutan keahlian tidak cukup menjamin ‘budaya keramik Bayat’ mampu bertahan dalam menghadapi zaman. Tuntutan artistik dan estetik juga hal penting agar keramik Bayat tetap memiliki peminat. Dalam arti bahwa benda budaya keramik dibuat juga bertujuan sebagai ‘karya unik yang artistik’, serta ‘karya indah yang estetik. Hal itu sebagai dasar bahwa untuk mengkaji keramik Bayat juga harus dipertimbangkan sisi artistik dan estetiknya.

Tiga faktor utama yang menjadi penentu keberlangsungan seni kerajinan keramik Bayat di atas, adalah tiga persoalan pokok yang dikaji dalam penelitian ini.

(37)

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Berdasar permasalahan yang dikaji adalah fenomena artefak, peralatan pendukung pembuatan benda seni, pola pikir, dan norma suatu masyarakat yang tidak lepas dari persoalan sosial-budaya, maka metode yang digunakan lebih condong pada jenis penelitian kualitatif. Tujuan dari penelitian ini terfokus pada upaya pemaparan (deskriptif) dan penelusuran makna yang lebih dalam dari perilaku kekaryaan suatu masyarakat, maka menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif eksploratif.

Tujuan utama menggunakan penelitian kualitatif adalah ‘menangkap proses’ untuk ‘menemukan makna’. Apa yang dicari peneliti kualitatif adalah bagaimana melakukan penelitian dan bagaimana memaknai hasilnya dengan bertumpu pada rumusan masalah, tujuan penelitian, dan landasan teori yang digunakan. Sebagai batasan ruang bergeraknya, penelitian ini bernuansa sosial-budaya dan estetika, hal itu sesuai dengan karakteristik permasalahan yang diteliti yaitu keunikan keramik Bayat dan teknik putaran miring.

2. Tahapan Penelitian

Berdasarkan jenis masalah dan objek penelitian yang dikaji, maka “tahapan penelitian” yang digunakan merujuk pada tulisan

(38)

H.B. Sutopo yang berjudul Metodologi Penelitian Kualitatif Dasar

Teori dan Terapannya dalam Penelitian,45 meliputi:

a. Lokasi penelitian

Lokasi yang dijadikan objek utama penelitian ini terpusat pada dukuh Pagerjurang, desa Melikan, kecamatan Bayat Klaten Jawa Tengah, yang didukung oleh dukuh-dukuh penghasil keramik di seputarnya.

b. Sumber data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) Tempat dan Peristiwa, (2) Dokumen dan pustaka, (3) Informan. Tempat dan peristiwa, yaitu pusat-pusat produksi seni kerajinan keramik di Bayat Klaten, khususnya dukuh Pagerjurang. Dokumen yang digunakan terdiri dari berbagai sumber pustaka berupa tulisan, buku literatur, naskah, dokumen, dan foto-foto tentang keramik Bayat dan teknologi yang digunakan, khususnya alat putaran miring. Terakhir adalah informan, dipilih berdasarkan keterkaitan dengan permasalahan yang dikaji, yaitu: para perajin dari Pagerjurang dan seputar Bayat, pengamat dan seniman keramik, budayawan, dan tokoh-tokoh masyarakat yang terkait dengan keberadaan putaran miring dan keramik Bayat.

45 HB. Sutopo. Metodologi Penelitian Kualitatif, Dasar Teori dan

(39)

c. Teknik pengumpulan data

Sesuai dengan bentuk penelitian dan sumber datanya, maka teknik pengumpulan data terdiri dari:

1)Pengumpulan dokumen dan sumber pustaka, yaitu pengumpulan data yang bersumber dari dokumen-dokumen, jurnal, artikel, buku teks, literatur, gambar-gambar, dan lain sebagainya yang dipilih berdasar keterkaitannya dengan keramik Bayat dan teknik putaran miring.

2)Observasi langsung, yaitu: peneliti terjun ke kancah penelitian, dan berhadapan langsung dengan tempat–tempat produksi keramik Bayat terutama yang menggunakan teknik putaran miring.

3)Wawancara mendalam (in-depth interviewing), dilakukan kepada semua informan. Wawancara itu bersifat flexible (lentur), terbuka, dan tidak terstruktur ketat, bukan dalam suasana formal, pertanyaan semakin memfokus, dan dapat diulangi menurut keperluan. Hal itu memungkinkan pertanyaan-pertanyaan dapat berkembang melampaui kisi-kisi pertanyaan-pertanyaan yang dipersiapkan ketika hendak memasuki lapangan penelitian. Dalam wawancara ini, menggunakan langkah-langkah, yaitu: menentukan siapa yang diwawancarai, persiapan sebelum wawancara, strategi pendekatan awal terhadap yang diwawancarai, menjaga agar wawancara tetap

(40)

bersifat produktif, dan menghentikan wawancara menurut situasi pelaksanaannya.

4)Untuk menentukan informan menggunakan teknik

criterion-based selection, yaitu memilih informan (bukan responden) yang

dianggap paling mengetahui permasalahan dari tema yang dikaji. Untuk efisiensi kerja juga menentukan informan yang dipilih untuk mewakili informasinya (internal sampling) bukan mewakili jumlah populasinya. Harapan lain dari informan tersebut juga dapat mengembangkan informasinya tentang pilihan informan lain/berikutnya yang harus ditemui oleh peneliti, sehingga pilihan informan akan berkembang sesuai kebutuhan, yaitu teknik snowball sampling.

d. Validitas data

Guna menjamin dan meningkatkan validitas data yang diperoleh, dilakukan dengan Triangulasi Data (Data Triangulation): yaitu mengumpulkan data sejenis dari sumber data yang berbeda, yaitu data dari informan, tempat, dan peristiwa, serta dokumen diklarifikasi dan di-cross check antar data temuan.46

e. Teknik analisis

Dalam proses analisis ada tiga komponen utama, yaitu: (1). Reduksi Data, (2). Sajian Data, dan (3), Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi. Seperti yang diterapkan oleh Miles & Huberman

(41)

dalam Sutopo, dari tiga komponen tersebut dapat digunakan untuk analisis data, yaitu dengan Model Analisis Interaktif, dengan skema sebagai berikut:

Gambar 1. Model Analisis Interaktif

(Sumber: H.B Sutopo, Metodologi Penelitian Kualitatif Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian, 2006: 120)

Analisis Interaktif itu pada dasarnya adalah proses pasca-pengumpulan data. Karena analisis sebagai suatu proses siklus, maka bukan berarti tertutup kemungkinan untuk kembali ke kancah pengumpulan data jika dirasa perlu.47 Dalam proses ini

peneliti bergerak di antara komponen analisis (termasuk pengumpulan data selama proses analisis data berlangsung). Analisis di antara ketiga komponen tersebut bersifat “interaktif”, dan jika data atau hasil interaksi dirasa kurang, maka dapat kembali ke komponen analisis sebelumnya. Setelah itu kembali lagi ke komponen semula, dan berlanjut ke komponen berikutnya.

47 HB. Sutopo, 2006, 102. Sajian Data (2) Pengumpulan Data Penarikan Kesimpulan/ Verifikasi (3) Reduksi Data (1)

(42)

Begitu seterusnya dan bersiklus sampai pada tahap Verifikasi atau disederhanakan ke arah makna yang diinginkan. Jika dipandang sudah memungkinkan munculnya makna temuan, maka dilakukan Penarikan Kesimpulan sebagai kegiatan terakhir dalam Analisis Data.48

H. Sistematika Penulisan

BAB I, menjelaskan tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB II, menjelaskan dua hal pokok yang menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi kompleksitas fungsi keramik Bayat. Pertama, adalah ide dasar pembuatan keramik Bayat, mencakup faktor alam, sumber daya perajin, potensi estetiknya. Kedua, penjabaran hasil penelitian lapangan dan pelacakan pustaka yang dipandu oleh sebagian teori the function complex, yaitu faktor need,

use, dan telesis.

BAB III, menjelaskan metoda penciptaan, fungsi sosial dan estetik keramik Bayat. Jabaran ini menekankan pada potensi teknik putaran miring dan keunggulan karya keramik yang

(43)

dihasilkannya, dengan tetap berdasar pada teori the function

complex, yaitu faktor method, assosiation, dan aesthetics.

BAB IV, merupakan hasil analisis dari jabaran sebelumnya, yaitu: (1) faktor-faktor yang memperngaruhi keberlangsungan dan kompleksitas gerabah (keramik) Bayat, terutama karya sebagai refleksi lingkungan alam dan semangat kebersamaan masyarakatnya. (2) Fungsi teknik putaran miring sebagai ciri khas dan kekuatan lokal. (3) Potensi teknik putaran miring yang mampu menjadikan keramik Bayat sebagai karya tradisi yang unggul, serta sebagai cerminan spirit kaum perempuannya.

BAB V berfungsi sebagai Penutup dari seluruh kajian, yang berisi kesimpulan dan saran.

Bagian akhir akan berisi Kepustakaan, Glosarium, dan Lampiran.

Gambar

Gambar 1. Model Analisis Interaktif

Referensi

Dokumen terkait

Pendidikan adalah salah satu proses memanusiakan manusia. Upaya pendidikan untuk memberikan solusi perkembangan dan perubahan kemanusiaan secara dinamik berkaitan erat

Gaya bermain kita yang menyesuaikan kenyamanan kita dalam bermain dan rasa bangga kita bermain skateboard, sampai munculnya rasa untuk unjuk diri.. Banyak skateboarder menjadi

Adapun hasil penelitian ini adalah Setelah mengurai tentang dasar-dasar hukum dalam menentukan pertimbangan perawatan bagi pelaku tindak pidana yang sakit jiwa, hakim

Penggunaan suhu yang lebih rendah dari titik didih pelarut akan menyebabkan proses ekstraksi berjalan dengan lambat dan kurang efisien, sedangkan penggunaan suhu yang lebih

Federal Communication Commission Interference Statement 

Dari hasil penetapan didapatkan empat karakter yang memiliki variabilitas genetis dan fenotipik sempit, yaitu tinggi tanaman, jumlah buku subur, jumlah biji per

Kemampuan bahasa pada anak dalam teori multiple intilegen yang dikemukan oleh Howarnd Gardner masuk dimensi kecerdasan linguistik, Gardner dalam Suparno (2007, p. 3)

Pada saat kanopi hutan telah menutup dan tanaman semusim tidak dapat tumbuh dengan baik, tanaman suweg atau iles-iles ditanam sebagai tanaman sela diantara pepohonan... Umbi,