• Tidak ada hasil yang ditemukan

REVOLUSI MENTAL MELALUI PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "REVOLUSI MENTAL MELALUI PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

REVOLUSI MENTAL MELALUI PEMBELAJARAN

BAHASA DAN SASTRA

Riyadi Santosa

FIB UNS Surakarta

PENDAHULUAN

Slogan ‗Revolusi Mental‘ yang didengungkan oleh pemerintahan Jokowi-Kala telah memperoleh sambutan dari rakyat bak gayung bersambut. Sambutan rakyat ada yang bersifat positif, setuju dengan slogan itu dan berharap diimplementasikan ke dalam program-program pemerintah. Sebaliknya, ada pula sambutan yang sinis dan ironis karena menurut mereka hanya berhenti pada slogan saja dan belum diimplementasikan dengan baik ke dalam program pemerintah. Salah satu sambutan yang baik terhadap slogan ‗Revolusi Mental‘ ini berasal dari dunia pendidikan. Salah satu sambutan baik dari dunia pendidikan ialah seminar nasional ini yang diselenggaran UNWIDHA Klaten dengan tema ‗Revolusi Mental melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‘.

Menurut saya, agak sedikit berlebihan dengan munculnya kata ‗revolusi‘, yang merupakan kata pinjaman dari Bahasa Inggris „revolution‟ yang salah satu artinya adalah „a sudden, vast change in a situation, discipline, or the way of thinking or behaving‟. Saya kira saya setuju kalau yang dimaksud istilah itu adalah perubahan suatu keadaan, pengetahuan, atau cara berpikir dan bertindak. Akan tetapi, istilah revolusi di dalam definisi itu „a sudden, vast change...‟ mengindikasikan perubahan yang cepat, mendadak dan berimplikasi luas. Dengan demikian, istilah revolusi ini tentu tidak seperti yang kita maksudkan di dalam diskusi kita ini. Apalagi yang ‗direvolusi‘ adalah mental. Tentu saja, hal ini sulit sekali untuk direalisasikan di dalam dunia pendidikan yang memerlukan proses yang terstruktur, intensif dan fokus. Oleh karena itu, pengertian istilah ‗Revolusi Mental‘ di dalam diskusi ini, menurut saya, intinya ialah pendidikan sikap mental anak didik melalui pendidikan terutama melalui pembelajaran bahasa dan sastra.

Menurut saya, pendidikan sikap harus dibarengi dengan pemahaman pengetahuan yang baik dan keterampilan yang memadai untuk mengekspresikan pengetahuan beserta sikapnya tersebut. Dengan kata lain, pendidikan sikap tidak dapat diajarkan secara diskrit atau terpisah dari pembelajaran pengetahuan dan keterampilan. Sikap tidak bisa diajarkan secara pasif dan terpisah, layaknya orang tua menasihati anak untuk harus begini dan tidak boleh begitu. Hasil pembelajaran seperti ini hanya akan menghasilkan pengetahuan tentang sikap yang baik, tetapi anak tidak tahu dalam hal atau kondisi apa dan mengapa mereka harus berbuat dan tidak boleh berbuat. Di samping itu, anak juga tidak mempunyai keterampilan yang tepat dan sesuai dengan hal dan kondisi tersebut. Oleh karena itu, bagi saya, pendidikan sikap harus dikemas di dalam pembelajaran literasi yang holistik yang melibatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan.

(2)

„REVOLUSI MENTAL‟ DALAM WADAH PENDIDIKAN LITERASI

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa revolusi mental dalam pembelajaran bahasa dan sastra harus diletakkan di dalam wadah pendidikan literasi. Mengubah mental siswa tidak dapat dilakukan melalui nasehat baik oleh guru secara langsung atau contoh-contoh di dalam pelajaran bahasa dan sastra saja. Akan tetapi mengubah mental siswa harus bersifat holistik dalam bentuk pendidikan literasi yang memuat pengetahuan, sikap dan keterampilan di dalam berperilaku sosial verbal. Untuk memperoleh konsep yang utuh mengenai literasi, perlu kiranya kita melihat kembali perkembangan konsep literasi seutuhnya.

Istilah literasi sudah menjalar ke pelbagai sudut kehidupan. Di dunia ilmu pengetahuan, tehnologi, dan seni, istilah literasi dengan kata sifatnya literate digunakan untuk menunjukkan pemahaman orang terhadap pengetahuan, tehnologi, dan seni. Di dalam pembelajaran bahasa, Kern (2000) melihat perjalanan konsep literasi dengan komprehensif. Literasi secara tradisional dipandang sebagai kemampuan untuk membaca dan menulis. Pandangan ini umumnya masih berfokus pada kemampuan memahami teks. Oleh karena itu, pandangan ini masih sangat bersifat ‗text-centered‟ yang berorientasi pada keakuratan dan konvensi. Topik yang sering digunakan di dalam pembelajaran literasi seperti ini sebetulnnya cukup bervariasi, seperti teks-teks iklan, laporan cuaca, jadwal, menu makanan, teks-teks berita dan lain sebagainya. Sayangnya, yang diajarkan di kelas umumnya sering terperangkap pada pengetahuan mengenai norma standar kebahasaan seperti tatabahasa, ejaan, aturan penggunaan yang sering bersifat mekanik. Dengan demikian, literasi seperti ini sering gagal mengajarkan tujuan komunikasi teks-teks yang dipakai sebagai materi ajar.

Setelah itu, literasi meningkat pada pemahaman pada level kultural. Pada konteks ini literasi mengantarkan pengetahuan kultural, perkembangan apresiasi estetis, serta sensitivitas terhadap masalah-maslah sosio-kultural. Oleh karena itu literasi seperti ini sering menggunakan karya sastra kanon untuk memasukkan pengetahuan kultural tersebut. Sering kali, konsep literasi ini dilanjutkan dengan ‗cognitive centered‟ yang memungkinkan siswa untuk mengembangkan analisis tekstual dan berpikir kritis terhadap masalah sosial dan budaya yang terdapat di dalam karya sastra tersebut. Dengan demikian, perkembangan konsep literasi dari „text-centered, cultural-centered dan cognitive-centered‟ digunakan untuk membedakan tingkat kesulitan di dalam pembelajaran.

Akan tetapi, ketiga jenis konsep literasi tersebut masih mempunyai kelemahan. Pertama, konsep literasi seperti ini masih melihat literasi sebagai produk akhir, bukan proses yang mestinya terkait dalam menghasilkan teks tersebut. Oleh karena itu, sering kali, para pendidik berusaha mencari batas yang tepat dan kriteria minimum untuk masing-masing level. Kedua, konsep literasi ini membatasi kita untuk melihat bahwa orang lain menggunakan teks secara berbeda. Hal ini disebabkan karena pendidik sibuk mencari keseragaman yang harus dipelajari siswa. Ketiga, sering kali pendidikan literasi seperti ini sering terjebak pada pengajaran bahasa secara preskriptif dan lupa akan pengajaran bahasa yang berfokus pada ‗appropriateness‘ peggunaan bahasa. Jadi, menurut Kern (ibid) di dalam konsep seperti ini literasi hanya dilihat sebagai proses pembelajaran pengetahuan kepada siswa yang bersifat

(3)

diskrit dan parsial, belum integratif. Mereka masih belum dibekali dengan sikap dan keterampilan yang digunakan untuk berproses soial dengan kelompok lain.

Saya setuju dengan pendapat Kern (ibid) bahwa literasi adalah proses pembelajaran proses sosial yang di dalamnya terdapat pengetahuan sekaligus sikap dan keterampilan yang diperlukan di dalam pengetahuan tersebut supaya siswa dapat bersikap dan bertindak dengan tepat dan seseuai tujuan proses sosial tersebut (ligat juga Cook-Gumperz, 1986). Di dalam konsep literasi ini siswa tidak hanya diberi penghetahuan tetapi mereka juga diajak untuk mengungkapkan sikap mereka terhadap realitas sosial dan alam demi perkembangan ilmu pengetahuan tersebut. Oleh karena itu, di dalam konsep ini siswa juga diajari keterampilan mengenai cara bersikap dan bertindak dengan tepat terhadap realitas sosial dan alam tersebut. Jadi, dalam konsep ini, literasi tidak hanya sekadar pengetahuan mengenai „text, cultural, maupun cognitive centered‟, yang bergelut dengan akurasi, konvensi, pengetahuan kultural, dan berpikir kritis saja. Akan tetapi, konsep ini juga memberikan pengalaman belajar bagaimana bersikap dan bertindak yang tepat dengan cara yang tepat sesuai dengan situasi atau keadaan di dalam suatu proses sosial. Oleh karena itu, yang diajarkan di dalam konsep literasi ini bukan semata-mata bahasa melainkan proses sosial itu sendiri dengan aspek pengetahuan, sikap dan keterampilannya.

Pengertian literasi ini pula yang diambil untuk mendasari Kurikulum Bahasa 2013 (K13) yang mengajarkan sikap (attitude) (agama dan sosial) yang dibungkus di dalam pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skills) (lihat Mahsun, 2014). Pengertian literasi yang diajukan oleh Cook-Gumperz (1986) ini searah dengan konsep kebahasaan yang dicetuskan oleh Halliday (1985; Halliday & Matthiessen, 2014) yang dilanjutkan oleh Martin (1992); Martin, Matthiessen, & Painter, (2010) dalam pendekatan Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) bahwa bahasa selalu hadir dalam bentuk teks (lisan maupun tulis) yang merealisasikan konteks situasi (register) dan konteks kultual (genre).

Konteks Kultural

(Gambar 1: Bahasa dalam Konsep Literasi Konstruksi Sosial ) Sistem

Kepercayaan: nilai dan norma kultural

Proses Sosial (Genre) (Genre)

Konteks Situasi (Register)

Bahasa Sebagai Teks:

(4)

Berdasarkan model bahasa dalam konsep literasi konstruksi sosial ini, bahasa tidak berdiri sendiri. Keberadaannya yang berupa simbol selalu di dalam konteks penggunaan untuk merealisasikan konteks situasi (register) dan sekaligus konteks kultural. Di dalam konteks kultural terdapat sistem kepercayaan yang mempercayai adanya sesuatu serta nilai-nilai benar-salah, baik-buruk, serta norma mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Di dalam konteks kultural inilah pengetahuan dan sikap dibangun oleh masyarakat. Sistem kepercayaan tentang sesuatu dengan nilai dan normanya ini menghasilkan prototipe proses sosial yang berorientasi pada tujuan yang dicapai secara bertahap, yang disebut genre (Martin, 1992).

Genre masih berupa cetak biru proses sosial, yang berisi tahapan yang harus ditempuh dan tahapan yang bersifat pilihan untuk mencapai tujuan sosial dengan aspek pengetahuan dan sikapnya. Melalui konteks situasi, yang merupakan konfigurasi kontekstual atau konfigurasi makna yang berasal dari pergayutan antara aspek medan (field), pelibat (tenor), dan sarana (mode), proses sosial atau genre tersebut direalisasikan ke dalam bahasa dalam bentuk teks. Jadi, jelas sekali bahwa yang diajarkan bukan semata-mata bahasa, melainkan proses sosial itu sendiri. Akan tetapi, sistem kepercayaan, nilai, norma, dan tujuan sosial dan tahapannya tersebut tidak bisa diajarkan tanpa melalui bahasa yang merealisasikannya. Ini disebabkan seluruh sistem semiotika pada tataran kultural dan situasi tersebut seluruhnya direalisasikan di dalam sistem dan fungsi kebahasaan melalui metafungsi bahasa (ideasional, interpersonal, dan tekstual) serta melalui sistem bahasanya itu sendiri (semantik wacana, leksikogramatika, fonologi/grafologi). Setiap titik pertemuan antara tataran sistem dan metafungsi tersebut menghasilkan sistem dan struktur sendiri-sendiri yang merealisasikan pengetahuan dan sikap.

Register Field Tenor Mode

FungsiBahasa Ideasional Interpersonal Teksual

SemantikWacana Ideasi/CR Appraisal Periodisitas

Tatabahasa Transitiviti/Cl.Comp Mood Tema/OldNew

Leksis Deskriptif Atitudinal Kongruen&Inkongruen

Fonologi/ Grafologi

Urutan tone emoticons, warna, tonaliti tonisiti tone, voice, dll. Tandabaca,dll (diadaptasidari Martin Mattiiessen, Painter, 2010: 295)

(Gambar 2: Titik potong sistem dan Struktur Dan Metafungsi Bahasa)

Metafungsi bahasa ideasional yang merepresentasikan makna pengalaman /pengetahuan dan logika direalisasikan berbeda-beda pada setiap tataran sistemiknya. Makna ideasional ini pada tataran semantik wacana direalisasikan dengan sistem ideasi dan sistem hubungan konjungtif. Di tingkat tatabahasa, makna ideasional direalisasikan melalui transitivitas, klausa kompleks, kelompok kata. Kemudian di tingkat leksis, makna ideasional

(5)

direalisasikan dengan sistem leksis deskriptif sedangkan di tingkat fonologi/grafologi direalisasikan dengan urutan suara. Sementara itu, metafungsi interpersonal yang merepresentasikan realitas sosial dengan segala nilai-nilainya direalisasikan ke dalam sistem appraisal di tingkat semantik wacana. Kemudian, makna interpersonal juga direalisasikan ke dalam sistem dan struktur mood ke dalam tatabahasa, serta ke dalam sistem leksis atitudinal pada tataran leksis. Akhirnya, makna interpersonal ini direalisasikan ke dalam emotikon,warna suara dan lainnya di dalam sistem fonologinya. Makna tekstual yang merepresentasikan sistem simbol direalisasikan ke dalam sistem periodisitas pada semantik wacana, struktur tema dan struktur informasi di dalam tatabahasa, dan sistem kongruensi di dalam sistem leksisnya, serta tonaliti dan tonisiti dan lain-lain di dalam sistem fonologinya.

Berdasarkan pendekatan ini, pendidikan literasi juga melibatkan pembelajaran pada tataran tekstual, kultural, kognitif, serta tujuan komunikatif / sosial, yang melibatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan.

APA DAN BAGAIMANA PROSES PEMBELAJARAN LITERASI

Jelas sekali yang diajarkan di dalam pembelajaran literasi ini meliputi pengetahuan (sistem kultural: kepercayaan, tata nilai, norma, tujuan sosial, dan tahapannya), sikap terhadap tata nilai dan norma, serta keterampilan (menginternalisasikan pengetahuan dan sikap menjadi perilaku). Tetapi kemudian pertanyaannya adalah materi apa yang tepat yang dapat mengajarkan ketiga aspek literasi tersebut. LSF menyarankan materi pembelajaran yang berbasis genre.

Mengapa pembelajaran berbasis genre? Jawabannya bahwa genre merupakan sistem semiotika yang merepresentasikan prototipe proses sosial yang mampu membawa pengetahuan, sikap dan keterampilan secara integral ke dalam teks. Dengan pembelajaran berbasis genre, pembelajar dapat memperoleh pengetahuan tentang berbagai tipe proses sosial yang ada di dalam masyarakat. Oleh karena itu, mereka juga dapat merespons tipe-tipe proses sosial tersebut melalui sikap dan tindakan yang tepat sesuai dengan harapan masyarakat. Dengan demikian pembelajaran sikap dan keterampilan dapat terpenuhi.

Akan tetapi, konsep literasi ini memerlukan desain mengenai apa dan bagaimana pengetahuan, sikap, dan keterampilan itu diajarkan.

 Genre yang diajarkan

Banyak saran dari berbagai linguis pendidik mengenai genre apa yang tepat yang diajarkan kepada siswa. Akan tetapi, K13 sudah memilih materi pengetahuan, sikap, dan keterampilan melalui genre mikro dan genre makro. Genre mikro bersifat generik dan genre makro merupakan genre kompleks, gabungan dari beberapa genre mikro untuk merealisasikan satu tujuan sosial (Santosa, 2010; 2011). Genre mikro umumnya diberikan kepada siswa kelas rendah mulai dari sekolah dasar, menengah pertama dan menengah atas berdasarkan kompleksitas tahapan dan tujuan sosial genrenya. Genre makro umumnya diberikan kepada siswa sekolah menengah atas.

Genre mikro dapat dibedakan menjadi dua, faktual dan cerita. Genre faktual dapat dibagi menjadi delapan jenis genre: rekon, laporan, deskripsi, prosedur, eksplanasi, eksposisi,

(6)

diskusi, dan eksplorasi. Masing-masing genre mempunyai fungsi sosial, urutan aktivitasnya, serta nilai-nilai yang melekat pada genre tersebut.

Tabel 1: Genre Faktual generalisasi +generalisasi: dokumen menjelaskan/ memecahkan debat aktivitas tak terstruktur

deskripsi Laporan eksposisi diskusi aktivitas

terstruktur rekon Prosedur eksplanasi eksplorasi (Diambil dari Martin 1992 dengan Modifikasi)

Genre deskripsi menggambarkan sesuatu, baik itu benda hidup maupun mati. secara unik. Dengan demikian, genre ini tidak digunakan untuk menggeneralisasikan benda sejenis yang lain. Ini berarti bahwa deskripsi tidak hanya menggambarkan fakta tetapi juga dapat melibatkan opini penulis atau pembicara terhadap objek yang dideskripsikan. Dengan demikian, genre ini dapat menyuguhkan pendapat siswa terhadap objek yang dideskripsikannya, misalnya suka-tidak suka, keindahan, dan kualitas objek. Hal ini berbeda dengan genre laporan yang menggambarkan sesuatu baik yang punah atau yang masih hidup yang digunakan untuk menggeneralisasikan sesuatu itu secara umum. Kegiatan di dalam laporan ini utamanya adalah mendokumentasikan keadaan dan peristiwa alam atau sosial. Oleh karena itu, di dalam genre laporan hanya ada fakta, tidak ada opini. Hanya fakta yang dapat digeneralisasikan sementara opini tidak dapat digeneralisasikan. Hasil laporan ini biasanya menjadi dokumen yang bersifat generik. Oleh karena itu, nilai kejujuran dan komitmen akan kebenaran yang menempel lekat pada genre ini dapat digunakan untuk mengajarkan sikap mental siswa.

Sementara itu, genre rekon digunakan untuk menceriterakan kejadian yang telah berlalu; kejadian ini bersifat unik. Oleh karena itu, genre ini dapat digali nilai-nilai tentang suka-tidak suka, baik buruk suatu kejadian, dan lain sebagainya. Sebaliknya, genre prosedur digunakan untuk menjelaskan urut-urutan aktivitas yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuannya. Dengan demikian, prosedur merupakan dokumen langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan. Tidak ada opini dalam genre ini, maka kejujuran dan komitmen akan kebenaran yang bersifat generik yang diutamakan.

Genre eksplanasi digunakan untuk menjelaskan proses suatu kejadian atau suatu fenomena. Ini sama seperti genre laporan dan prosedur mempunyai nilai generisitas. Hasilnya juga berupa dokumen mengenai penjelasan suatu fenomena alam atau sosial. Sementara itu, genre eksposisi digunakan untuk mengajukan suatu pendapat secara sepihak. Dengan demikian, jelas bahwa genre ini merupakan salah satu genre yang digunakan untuk membangun sikap atau karakter. Karena argumennya hanya satu sisi, maka kekuatan sikap

(7)

atau karakter ditentukan melalui argumennya yang kuat. Artinya, kuat atau lemahnya sikap yang dibangun tergantung pada kuat atau lemahnya argumen. Oleh karena itu, genre eksposisi ini juga dapat digunakan menyelesaikan masalah sosial atau masalah alam. Namun, genre ini sering juga digunakan untuk menunjukkan keberpihakan yang hanya satu sisi.

Genre diskusi digunakan untuk membahas suatu isu sosial atau alam yang sedang terjadi dengan dua sisi atau berbagai sudut pandang. Oleh karena itu, dengan menggunakan genre diskusi ini, siswa diajak untuk melihat fenomena sosial atau alam ini secara proporsional sebelum mereka memutuskan sesuatu untuk berpihak. Dengan melihat kelemahan atau kekurangan di salah satu sisi serta melihat keunggulan atau kelebihan di sisi yang lain, siswa diajak menentukan sikap dan tindakan yang harus diambil. Yang terakhir, eksplorasi berfungsi untuk mencari sesuatu yang masih dalam teoretis oleh karena itu di dalam genre ini harus ada rencana yang matang sebagai hasil diskusi yang kuat sebelum siswa menjelajah untuk mengeksplorasi alam atau masyarakat yang belum diketahui.

Demikian halnya genre cerita juga mempunyai keunikan sendiri di dalam menampilkan nilai atau sikap yang kita inginkan untuk diajarkan. Genre cerita adalah genre yang digunakan untuk bercerita baik itu berdasarkan kenyataan maupun benar-benar fiksi.

Tabel 2: Genre Cerita

Jenis Genre Urutan Aktifitas

Rekon Orientasi rekaman kejadian Anekdot Orientasi krisis reaksi Eksemplum Orientasi insiden interpretasi

Narasi Orientasi komplikasi evaluasi resolusi (Diambil dari Martin 1992 dengan Modifikasi)

Rekon umunya berupa rekaman kejadian atau suatu fenomena sosial. Bedanya dengan yang lain: anekdot, eksemplum, dan narasi, rekon tidak mempunyai kejadian yang tak lazim di dalam kejadian tersebut. Dengan demikian, rekon sama seperti genre faktual dapat digunakan untuk mengeksplorasi nilai-nilai umum tentang suatu cerita. Sementara itu, genre cerita yang lain mempunyai kejadian yang lazim terjadi.

Di dalam anekdot kejadian yang tak lazim tersebut dilihat sebagai suatu krisis yang kemudian diberi reaksi afektif. Reaksi afektif tersebut dapat berupa rasa tidak ada kesesuaian, tidak aman, frustasi, kepuasan, aman, terpenuhi kebutuhannya, rasa simpati, antipati, termasuk di dalamnya reaksi yang menimbulkan humor. Eksemplum melihat sesuatu yang tak lazim tersebut sebagai suatu insiden atau kejadian buruk yang menimpa. Kemudian insiden tersebut diinterpretasi sebagai sesuatu atau kejadian yang mungkin perlu atau tidak perlu terjadi. Sementara itu, narasi melihat kejadian yang tak lazim tersebut sebagai komplikasi yang menimbulkan masalah untuk direnungkan atau dievaluasi sebelum akhirnya dicari jalan keluarnya atau resolusi (Martin, 1992). Secara gamblang Martin menggambarkan makna interpersonal dan sikap diambil dari genre cerita ini dalam Tabel 3 sebagai berikut.

(8)

Tabel 3: Makna Interpersonal di dalam Genre Cerita

Modalisasi Modulasi Sikap

Rekon Anekdot Eksemplum Narasi usuality unsuality unsuality unsuality - - obligasi inklinasi afek prosodi variasi afek afek negatif dari afek negatif

ke positif (Diambil dari Martin, 1992 dengan Modifikasi)

Sementara itu, genre makro mempunyai tatanan tersendiri. Genre makro dalam dunia jurnalistik, misalnya, mempunyai genre kompleks yang berbeda-beda. Berita, pada dasarnya berupa rekon. Akan tetapi, dalam perkembangannya, berita juga dapat berupa eksposisi dengan mengelompokkan fakta-fakta dalam kelompok argumen satu sisi. Sementara itu, lead-nya merepresentasikan sebuah pendapat. Dengan demikian, berita tidak lagi berupa rekaman kejadian, melainkan sebuah argumen dari jurnalisnya (lihat Santosa, 2011; Santosa et al, 2011).

Genre makro feature juga merupakan sebuah genre kompleks yang dapat terdiri dari deskripsi, rekon, eksplanasi, dan sering ditambah dengan argumentasi. Oleh karena itu, feature ini juga sangat bagus sebagai materi ajar menggali sikap dan perilaku yang yang diharapkan masyarakat (Santosa, 2011).

Masih banyak lagi genre makro yang dapat digunakan untuk menggali sikap dan perilaku siswa untuk menanggapi dan bertindak dengan tepat sesuai dengan harapan masyarakat. Editorial, interview (Santosa, et al 2014), seminar, negosiasi, dan lain sebagainya sangat memungkinkan untuk ‗merevolusi‘ mental anak didik untuk menjadi manusia yang berkarakter kuat, jujur, berkomitmen tinggi, bervisi masa depan, berorientasi pada prestasi, kerjasama, bahkan kewirausahaan, dan lain sebagainya. Namun, yang penting untuk diperhatikan ialah ‗apa yang diajarkan‘ memiliki implikasi terhadap ‗bagaimana cara mengajarkannya‘. Materi ajar berbasis genre tidak mungkin diajarkan dengan cara mengajar yang hanya berorientasi pada pengetahuan ‗text-centered, cultural-centered, atau cognitive-centered‟ saja. Ini hanya memenuhi aspek pengetahuan saja belum termasuk membangun sikap serta mengajarinya dengan bertindak dengan tepat. Oleh karena itu, pembelajaran berbasis genre ini menyarankan pembelajaran berdasarkan siklus pemodelan, membangun teks bersama, serta membangun teks mandiri (MEDSP, 1989; Rothery, 1996; Rose & Martin, 2012; Martin, 2015).

 Proses Pembelajaran berbasis Genre

Pembelajaran berbasis seperti ini sering lebih tepat disebut dengan program pengenalan literasi bukan sekadar pembelajaran bahasa biasa. Berdasarkan siklus pemodelan, membangun teks bersama, dan membangun teks mandiri ini, para pendidik menamakan proses scaffolding.

(9)

Tabel 4: Proses Scaffolding dalam Pembelajaran Literasi Berbasis Genre

Pemodelan Membangun Teks Bersama Membangun Teks Mandiri Kegiatan membantu siswa

mengenal pengetahuan dan sikap melalui dekonstruksi tekstual (tujuan sosial, struktur teks dan tekstur),

dekonstruksi kultural dan kognitif.

Kegiatan membantu siswa membangun pengetahuan dan sikap melalui

rekonstruksi tekstual, kultural, dan kognitif bersama teman dan guru di kelas maupun observasi di lapangan

Kegiatan membantu siswa membangun ilmu pengetahuan dan melalui rekontruksi

tekstual, kultural, dan kognitif secara mandiri berdasarkan observasi di lapangan dan belajar mandiri

 Pemodelan

Pemodelan adalah proses scaffolding atau membantu siswa mengenal pengetahuan dan sikap seperti yang direpresentasikan secara tekstual, kultural, dan kognitif di dalam bahasa melalui tujuan sosial, struktur teks, dan teksturnya.

Pemodelan merupakan tahap awal pengenalan model teks yang diberikan. Biasanya, siswa diperkenalkan model genre atau tipe teks tertentu yang ideal, lengkap dengan tujuan sosial (termasuk nilai dan norma sosialnya), struktur teks, dan teksturnya (ciri-ciri kebahasaan). Di dalam tahap ini pemodelan dilaksanakan dalam sejumlah kegiatan dekonstruksi tujuan sosial, tahapan, dan ciri kebahasaan untuk teks ini. Kegiatan dekonstruktif ini bersifat top-down dari level teks, semantik wacana, gramatika, leksis, dan fonologi/grafologi. Sebagian metode ilmiah dapat diterapkan: mengamati, menanya, menganalisis, menyimpulkan.

Metode ilmiah yang dapat diterapkan pada tahap ini termasuk mengamati sikap, pengetahuan, dan bahasa yang digunakan (struktur teks, kohesi, konjungsi, kalimat, kelompok kata, kata) di dalam teks yang diajarkan. Kedua, menanyakan sikap, pengetahuan, dan bahasa yang digunakan di dalam teks yang diajarkan. Ketiga, menganalisis sikap, pengetahuan, dan bahasa yang digunakan di dalam teks yang diajarkan. Keempat, menyimpulkan sikap, pengetahuan, dan bahasa yang digunakan sebagai pengetahuan menyeluruh mengenai teks yang diajarkan.

 Membangun Teks Bersama

Tujuan utama tahap membangun teks bersama ialah membantu siswa merangkai elemen-elemen pengetahuan dan sikap yang masih berserakan di dalam pemahaman siswa sehingga membentuk konstruk pengetahuan dan sikap yang utuh.

Pada tahap ini siswa diajak merekonstruksi pengetahuan dan sikap melalui teks dengan tujuan sosial, struktur teks, dan ciri-ciri kebahasaan dari level semantik wacana sampai dengan fonologi/grafologi. Yang tidak kalah pentingnya ialah siswa diajak menentukan sikapnya di dalam teks tersebut. Kegiatan ini sangat sulit terutama untuk menangkap struktur teks dan ciri-ciri kebahasaan yang sesuai yang merepresentasikan

(10)

pengetahuan dan sikap. Oleh karena itu, untuk membangun teks bersama ini, siswa perlu dibantu melalui kelompok-kelompok siswa yang disupervisi guru (Christie, 2005).

Kegiatan pembelajarannya harus lebih produktif untuk membangun teks secara bersama-sama. Yang paling penting di dalam kegiatan ini adalah proses bagaimana siswa mengalami cara membangun teks secara bersama-sama dengan teman dan gurunya. Di dalam kegiatan ini terdapat kegiatan ‗learning how to learn‟ atau belajar strategi belajar agar siswa nantinya dapat membangun teks secara mandiri.

Oleh karena itu, kegiatan membangun teks bersama ini harus dikerjakan secara berulang mencari sumber di perpustakaan, media, internet, observasi lapangan, dan wawancara dengan narasumber secara kelompok. Kegiatan ini akan menghasilkan catatan kepustakaan, catatan lapangan, dan wawancara yang akan ditulis menjadi sebuah teks dengan genre yang utuh serta sikap religius dan sosial di dalamnya.

Di dalam tahap ini terjadi apa yang disebut ―discovery learning‖ yang dibangun secara induktif dengan metode ilmiah: observasi (mengamati, menanya, mencoba), mengolah data (menentukan domin, mengklasifikasi), menyajikan (menghubungkan antar ketegori), menyimpulkan dan mencipta teks (membuat laporan) untuk bersikap dan bertindak dengan tepat.

 Membangun Teks Mandiri

Membangun teks mandiri ini merupakan puncak dari seluruh kegiatan yang mengakumulasikan antara kegiatan-kegiatan membangun teks dengan segala isinya. Secara prosedural ini merupakan kegiatan yang sama dengan kegiatan membangun teks bersama, hanya kali ini siswa diminta untuk bekerja secara mandiri. Siswa akan bekerja secara mandiri mulai mencari sumber di perpustakaan, media, internet, observasi di lapangan, interview nara sumber untuk memperoleh data yang akurat untuk membangun teks secara mandiri ini. Kemudian, catatan kepustakaan, catatan lapangan, dan hasil interview ditulis menjadi sebuah teks dengan genre yang utuh secara mandiri. Proses belajar dengan metode ilmiah berjalan secara mandiri. Demikian pula, siswa juga diminta untuk mempunyai sikap dan tindakan yang tepat terhadap lingkungan sosial maupun alam sebelum dituangkan ke dalam bentuk teks.

Proses scaffolding pemodelan, membangun teks bersama, dan membangun teks mandiri ini memerlukan waktu jauh lebih banyak dari waktu yang umumnya digunakan untuk menyelesaikan satu pelajaran bahasa. Umumnya, untuk menyelesaikan pengenalan satu genre ini membutuhkan 10 sampai dengan 12 jam pelajaran @ 45 menit. Dengan demikian satu tahun kurang lebih hanya menyelesaikan lima sampai enam jenis genre.

PENUTUP

Yang perlu digarisbawahi dalam diskusi ini ialah perubahan sikap mental siswa yang kita inginkan tidak akan pernah tercapai dengan seketika. Kemudian perubahan sikap mental melalui pembelajaran bahasa dan sastra juga tidak bisa dicapai hanya dengan memberikan saran atau contoh sikap mental yang baik saja, melainkan, perubahan itu harus dicapai secara terencana dan terstruktur di dalam proses pembelajaran mulai dari pemodelan pengetahuan dan sikap, merekonstruksi pengetahuan dan sikap serta keterampilan bersama guru dan murid.

(11)

Kemudian, siswa juga diajak untuk merekonstruksi pengetahuan, sikap dan keterampilan secara mandiri. Supaya mereka dapat bersikap dan bertindak dengan tepat dan sesuai seperti harapan kita semua. Dengan demikian, mereka suatu saat nanti akan membangun ‗stance‟ atau sudut pandang dan ‗voice‘ pilihan sikap (Guinda & Hyland, 2012) yang didasari kebenaran dan kesantunan. Jika dapat berjalan seperti yang direncanakan maka rata-rata angka literasi kita di tingkat internasional akan merangkak naik dari sekadar tingkat literasi hafalan dengan nilai 3. ‗Revolusi Mental‘ yang dicita-citakan juga akan tercapai melalui pembelajaran bahasa dan sastra.

BIBLIOGRAFI

Christie, Francis (2005) Science and Apprenticeship: Pedagogic Discourse, in Martin and Veel (Eds.), Reading Science: Critical and Functional Perspective on Discourse of Science, Taylor & Francis e-Library

Cook-Gumperz, J. 1986 the Social Construction of Literacy, Cambridge: Cambridge University Press.

Guinda, C.S. & Hyland, K. 2012. Introduction: A Context-Sensitive Approach to Stance and Voice. In Hyland, K. & Guinda, S.C. Stance and Voice in Written Academic Genres. New York: Palgrave McMillan.

Halliday, M.A.K. 1985. Introduction to Functional Grammar. London: Edward Arnold. Halliday, M.A.K & Matthiessen, C.M.M. 2014. Halliday‟s Introduction to Functional

Grammar, London and New York: Routledge.

Kern, Richard. 2000 Literacy and Language Teaching, Oxford: Oxford University Press. Mahsun. 2014 Teks dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Kurikulum 2013. Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada.

Martin, J.R. 1992. English Text: System and Structure. Amsterdam: John Bejamins Co. Ltd. Martin, J.R. (2015) Modeling and Mentoring:Genre-based Literacy Program and ―The

Sydney School‖, power point dipresentasikan di dalam Seminar and Workshop on Genre Based Literacy Program UPI Bandung.

MEDSP, (1989). A Brief Introduction to Genre: Example of Six Factual Genres and Their Generic Structure. Sydney.

Martin, J.R., Matthiessen, C.M.I.M. 2010. Deploying Functional Grammar. Beijing The Commercial Press.

Santosa, Riyadi. 2010. Posisi semiotik genre Mikro dan Makro. Hasil penelitian belum dipublikasikan. Surakarta: Fakultas Sastra dan Senirupa UNS.

Santosa, Riyadi. 2011. Logika Wacana: Analisis Hubungan Konjungtif dengan Pendekatan Linguistik Sistemik Fungsional. Surakarta: UNS Press.

(12)

Santosa, R., Priyanto, A.D., Nuraeni. 2011. Bahasa Demokratis di Media Masa Indonesia. Lingua, Volume 6, Nomor 3, p.p 227-240.

Santosa, R. Priyanto, A.D., Nuraeni, A. 2014. Genre and Register of Antagonist Language in Media: An Appraisal Study of Indonesian Newspapers. Kata Volume 16, Nomor 1, p.p 23- 36.

Rose, David & Martin, J.R. (2012) Learning to Write, Reading to Learn, Bristol: Equinox Publishing Ltd.

Rothery, Joan (1996) Making Changes: Developing an Educational Linguistics, in Hasan and Williams (Eds.), Literacy in Society, London and New York: Longman.

Gambar

Tabel 1: Genre Faktual
Tabel 2: Genre Cerita
Tabel 3: Makna Interpersonal di dalam Genre Cerita
Tabel 4: Proses Scaffolding dalam Pembelajaran Literasi Berbasis Genre

Referensi

Dokumen terkait

dilakukan bahwa keadan ibu baik, tanda- tanda vital dalam batas normal dan kehamilannya sudah 37 minggu lebih, keadaan bayi baik, letak janin normal, jantung janin

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan hasil belajar siswa kelas VIII antara yang diajarkan dengan model Advance Organizer berbasis peta konsep

mengagungkan fashion, mungkin paradigma konstruktivisme, Metode ini mirip dengan tipe maskulin yang digunakan karena peneliti ingin mengetahui ada di tahun 1980-an,

Oleh karena itu, penulis membuat game edukasi yang berbasis sistem operasi Android dengan harapan anak-anak dapat langsung menggunakan aplikasi permainan tersebut dan memperoleh

Dalam teknologi packet-switching,koneksi ke jaringan hanya dilakukan pada saat ada data yang dikirim sekaligus dalam satu ´paket´ sehingga lebih efisien dibanding koneksi

Indikator-indikator untuk tujuan kemampuan perilaku di atas, dapat membantu kita dalam memetakan strategi yang tepat dan sesuai dengan tuntutan model. Penentuan

Program Peningkatan Kualitas Desain Produk Alas Kaki, sebagai kegiatan tahunan, lomba desain BPIPI 2015 akan mengambil tema ‘transportation’ sudah menjadi agenda

Mengapa terjadi pergeseran peran pemuda, pemuda tidak lagi menjadi pelopor dalam segala bentuk kegiatan masyarakat, hal ini terjadi di desa Bumi Kencana Kecamatan