1
ANALISIS VALUE CHAIN UNTUK PENINGKATAN NILAI TAMBAH INDUSTRI PENGOLAHAN PADA KOMODITAS PERIKANAN DI TARAKAN DENGAN
PENDEKATAN AHP DAN HOQ
Adinda Moizara Judi, Imam Baihaqi, Yudha Prasetyawan Jurusan Teknik Industri
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111
Email: adindamoizarajudi@gmail.comEmail: ibahaihaqi@gmail.com
Abstrak
Indonesia memiliki potensi yang besar dalam bidang perikanan karena wilayah perairan yang sangat luas. Salah satu wilayah yang memiliki potensi besar dalam bidang perikanan berada di Kota Tarakan, Kalimantan Utara. Kota Tarakan memiliki potensi besar untuk menghasilkan produk bernilai tambah yang berasal dari komoditas perikanan. Potensi ini dapat diidentifikasi dengan pendekatan value chain. Untuk mengetahui komoditas perikanan yang menjadi komoditas unggulan digunakan pemilihan terhadap alternatif komoditas unggulan di Kota Tarakan dengan menggunakan AHP. Dari hasil AHP didapatkan udang sebagai komoditas unggulan dengan bobot sebesar 0.251. Setelah diketahui komoditas unggulan yang terpilih maka dilakukan pemetaan terhadap value chain produk dan stakeholder. Kemudian dilakukan identifikasi masalah pada setiap elemen value chain serta peluang perbaikan yang mungkin untuk dilakukan. Elemen value chain pada komoditas udang terdiri dari supplier, nelayan atau petambak, pengepul, UKM dan cold storage, pasar ekspor, grosir, pengecer, supermarket, dan konsumen akhir.
Dalam peningkatan nilai tambah udang, elemen value chain yaitu industri pengolahan produk berupa UKM merupakan elemen yang memiliki peran terbesar untuk memberikan nilai tambah dengan melakukan pengolahan pada udang menjadi produk turunan. Identifikasi masalah yang ada pada UKM diperlukan untuk mengetahui apa saja yang dibutuhkan dan hal yang menjadi kendala UKM untuk mengembangkan usahanya. Melalui modifikasi metode House of Quality (HOQ) didapatkan tiga potensi perbaikan pada UKM yaitu akses informasi, proses pengolahan produk dan packaging.
Kata kunci : AHP, Value Chain, UKM, HOQ
Abstract
Indonesia has great potential in the fishing industry mainly due to its vast water territories. One of these many areas with great potential is the City of Tarakan, North Borneo. Tarakan has great potential in producing value-added products derived from fishery commodities.
This potential can be indentified through the value chain approach. To determine the fishery products to be the top commodities, the candidates can be selected using the AHP method. This method results in shrimps being the top commodity weighing in 0.251. After this has been identified, we proceed to the mapping of the
value chain products and stakeholders. The next step is the identification of the problem in each element of the value chain as well as opportunities for improvement that can be done. The value chain elements in the shrimp
commodity are suppliers, fishermen or farmers, traders, small medium business (SME) and cold storage, export market, wholesalers, retailers, supermarkets, and end user.
In the shrimp value adding process, SME’s food processing industry is the Value chain element with the most significant role in providing added value by processing shrimp into derivative products. Identification of the problems within SME is needed in order to see the needs and constrains that SME is facing and what is to be done to develop their business. Through a modification of the House of Quality (HOQ) method, three potentials field that can be improved are obtained: access to information, production process, and packaging.
2
1. PendahuluanValue chain analysis pertama kali dijelaskan
oleh M. E. Porter pada tahun 1985 dan model ini masih digunakan secara luas hingga saat ini. Value
chain mendeskripsikan tentang aktifitas-aktifitas
yang dibutuhkan menyeluruh dalam pengadaan produk atau servis melalui berbagai fase dari proses produksi yang meliputi kombinasi antara perubahan fisik dan berbagai produsen jasa (Kaplinsky & Morris, 2000).
Fokus pendekatan dalam value chain adalah supply chain management yang strategis atau kegunaan supply chain untuk menciptakan persaingan kompetitif dan meningkatkan peforma perusahaan (Ketchen et al , 2008). Istilah value
chain merujuk kepada fakta jika produk mula-mula
akan bertambah nilainya dengan adanya kombinasi dari sumber daya lain seperti alat, tenaga manusia, pengetahuan dan keahlian, bahan baku atau produk
awal (ILO, 2009)
.
Value chain merupakan sebuahpendekatan yang dapat memberikan dampak pada perekonomian dan penurunan tingkat kemiskinan, dimana pendekatan ini memberikan peluang kepada para pelaku didalam rantai untuk menghasilkan produk yang lebih baik, memungkinkan adanya aliran informasi, membantu memperbaiki akses pasar dan memberikan nilai tambah pada produk. Dalam value chain terdapat beberapa proses inti seperti input, farmers, produksi, pengolahan, perdagangan dan konsumsi. Didalam memtakan suatu rantai terlebih dahulu dipilih komoditas yang akan dipetakan value chain-nya. Maka dari itu dilakukan pemilihan pada komoditas unggulan dengan menggunakan Analitycal Hierarchy
Process (AHP).
Untuk mengetahui bagaimana proses penambahan nilai dilakukan pemetaan pada produk dan stakeholder yang berada pada rantai. Didalam sebuah value chain, proses pengolahan merupakan proses yang paling berperan dalam menigkatkan nilai tambah produk sehingga penelitian ini akan mengidentifikasi permasalahan yang ada pada setiap elemen value chain dan memberikan peluang perbaikan khususnya pada elemen pengolahan yaitu UKM yang mengolah komoditas unggulan dengan melakukan modifikasi House of Quality (HOQ) untuk mengetahui aspek potensi yang dapat dikembangkan sebagai rekomendasi perbaikan. 1. Deskripsi Penelitian
Pada penelitian ini akan dilakukan pemilihan dari beberapa alternatif komoditas unggulan pada sektor perikanan yang berada di Tarakan dengan mengunakan Analitycal Hierarchy
Process (AHP). Pada komoditas unggulan sektor
perikanan yang telah terpilih akan dilakukan pemetaan value chain produk dan stakeholder. Dari pemtaan ini dilakukan identifikasi permasalahan dan peluang perbaikan yang dapat dilakukan melalui hasil diskusi, wawancara dan
brainstorming dengan pihak-pihak terkait. Pada
pemetaan value chain produk unggulan diperoleh dari produk yang diolah oleh UKM. Pemetaan ini akan dilakukan pada kondisi eksisting dan pemetaan produk rekomendasi. Pada elemen value
chain proses pengolahan merupakan elemen rantai
yang memiliki peran terbesar dalam penambahan nilai. Sehingga dilakukan identifikasi lebih dalam mengenai permasalahan atau kendala yang tedapat pada UKM dan apa potensi perbaikan yang dapat dilakukan. Untuk mengetahui potensi perbaikan dilakukan pemilihan atribut dan respon teknis yang kemudian diolah lebih lanjut dengan metode HOQ. 2. Pemilihan Komoditas Unggulan
Pemilihan komoditas unggulan dilakukan dengan memilih alternatif terbaik dari beberapa alternatif yang ada. Pada sektor perikanan Kota Tarakan terdapat tujuh alternatif produk unggulan yaitu udang, rumput laut, ikan kakap, ikan nomei, kepiting, ikan bandeng, dan ikan tuna. Untuk pemilihan komoditas unggulan ini terdapat lima kriteria yang digunakan yaitu volume produksi, potensi usaha, sumber daya, jumlah usaha, dan pangsa pasar. Langkah pertama dalam penyusunan AHP adalah pembuatan hierarki.
.
Gambar 2.1 Hierarki AHP
Dari hirarki dapat dilihat elemen dalam pengambilan keputusan. Karena pada pemilihan komoditas unggulan dengan menggunakan AHP ini terdapat lebih dari satu responden atau multi partisipan maka sebelum melakukan perhitungan pada matriks keterkaitan antar kriteria dan antar alternatif pada setiap kriteria dilakukan perhitungan rata-rata untuk jawaban responden dengan menggunakan geometricmean. Hasil dari geometric
mean diolah dengan menghitung keterkaitan yang
ada dan kemudian dilakukan normalisasi. Dari rata-rata pada normalisasi matrik ini akan didapatkan bobot pada masing-masing matrik keterkaitan.
Untuk mengetahui apakah jawaban dari responden dapat digunakan atau tidak dilakukan pehitungan konsistensi. Perhitungan konsitensi dilakukan dengan menghitung nilai consistency
index (CI), random index (RI) dan consistency ratio
(CR). Consistency index digunakan untuk
mengetahui kesalahan penilaian yang dilakukan. Semakin mendekati nol maka penilaian semakin konsisten dan consistency ratio digunakan untuk melihat konsisten atau tidak jawaban responden. Apabila jawaban responden mempunyai nilai CR >
3
0,1 maka jawaban tersebut dianggap gugur, atau tidak konsisten. Perhitungan pada nilai CI, RI, dan CR pada matrik keterkaitan antar kriteria diperoleh hasil sebagai berikut:Tabel 2.2 Tabel CR keterkaitan antar kriteria
Sedangkan pada matrik keterkaitan antar alternatif pada tiap kriteria diperoleh nilai CI,RI, dan CR sebagai berikut:
Tabel 2.2 Tabel CR keterkaitan antar alternatif
Baik pada matrik keterkaitan antar kriterian maupun matrik keterkaitan antar alternatif pada tiap kriteria nilai CI yang didapatkan mendekati nol, sehingga penilaian yang dilakukan adalah konsisten. Nilai RI merupakan random
index yang nilainya telah ditentukan. Sedangkan
pada nilai CR tidak terdapat nilai CR > 0.1 sehingga jawaban responden dikatakan konsisten. Oleh karena itu tidak perlu dilakukan pengisian kuesioner ulang, maka bobot yang telah diperoleh
dapat dijadikan bobot untuk memilih alternatif
.
Hasil bobot pada perbandingan antar kriteria adalah:
Tabel 2.3 Tabel Bobot Kriteria
Sedangkan pada perbandingan antar alternatif pada setiap kriteria didapatkan bobot sebagai berikut: Tabel 2.3 Tabel Bobot Alternatif Pada Tiap Kriteria
Melalui perkalian bobot pada perbandingan antar kriteria dan perbandingan antar alternatif pada setiap kriteria didapatkan hasil pemilihan komoditas unggulan seperti pada tabel dibawah ini. Tabel 2.3 Tabel Bobot Alternatif Pada Tiap Kriteria
Udang terpilih sebagai komoditas unggulan sektor perikanan di Kota Tarakan. Untuk mengetahui apakah komoditas udang tetap terpilih sebagai komoditas unggulan ketika terjadi perubahan pada kriteria, maka dilakukan analisa sensitivitas terhadap prioritas pemilihan alternatif komoditas unggulan. Analisa ini dilakukan dengan cara trial dan error pada masing-masing kriteria. Setelah dilakukan trial dan error pada kriteria, udang tetap memiliki bobot tertinggi, sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil pemelihan alterntif tersebut konstan.
Udang menjadi komoditas yang paling unggul diantara komoditas sektor perikanan yang lain antara lain disebabkan oleh tingginya devisa yang diperoleh oleh Kota Tarakan melalui hasil ekspor udang. Data yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Tarakan pada tahun 2012 menunjukkan bahwa volume udang yang digunakan untuk ekspor mencapai 8.703.332,10 Kg.
3. Pemetaan Value Chain
Setelah komoditas unggulan telah teridentifikasi maka langkah selanjutnya adalah melakukan pemetaan produk dan stakeholder yang berada di sepanjang rantai pasok (supply chain) dimana didalam pemetaan ini terdapat proses penambahan nilai. Dalam proses pengolahan udang hingga udang berada di tangan konsumen terdapat enam proses inti yaitu yaitu (1) input (2) Produksi (3) Pengumpulan (4) Pengolahan (5) Perdagangan (6) Konsumsi. Didalam struktur rantai nilai pada komoditas udang di Kota Tarakan terdapat elemen-elemen pelaku usaha atau stakeholder berdasarkan proses inti yang dilakukan. Pemetaan stakeholder dibagi menjadi dua karena adanya perbedaan pada aliran value chain.
Gambar 3.1 Pemetaan stakeholder Kotak A merupakan value chain pada pemangku kepentingan cold storage. Dimana pemangku kepentingan ini terdiri atas supplier, nelayan dan petambak, pengusaha cold storage, eksportir dan konsumenn akhir berupa pasar ekspor. Kotak B merupakan value chain yang menjelaskan tentang pemetaan pemangku kepentingan untuk hasil udang yang dijual lokal baik di Tarakan maupun antar pulau dan hasil produk olahan udang. Pemetaan
value chain juga dilakukan pada produk eksisting,
dimana produk ini telah diproduksi oleh UKM pengolahan udang di Kota Tarakan.
4
Gambar 3.2 Value Chain Udang EksistingTerdapat lima produk turunan udang yang telah diproduksi oleh UKM di Kota Tarakan yaitu ebi, udang beku, terasi, abon udang, dan pastel abon udang. Untuk pembahasan lebih lanjut akan dilakukan studi literatur dan studi lapangan tentang pengembangan hasil produk olahan udang.
Penambahan nilai value chain pada produk dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3.1 Penambahan Nilai Value Chain Eksisting
4.1 Identifikasi Masalah dan Peluang Perbaikan Pada Value Chain
Melalui wawancara dan pengamatan yang dilakukan diidentifikasi permasalahan yang ada pada value chain dan peluang perbaikan yang dapat dilakukan pada setiap elemen yang ada pada
value chain yang terdiri dari supplier, nelayan atau
petambak, pengepul, industri pengolahan (UKM), pedagang dan konsumen akhir.
Tabel 4.1.1 Permasalahan dan Peluang Perbaikan Pada Supplier
Tabel 4.1.2 Permasalahan dan Peluang Perbaikan Pada Nelayan dan Petambak
Tabel 4.1.3 Permasalahan dan Peluang Perbaikan Pada Pengepul
Tabel 4.1.4 Permasalahan dan Peluang Perbaikan Pada UKM Pengolah Hasil Udang
Tabel 4.1.5 Permasalahan dan Peluang Perbaikan Pada UKM Pasar, Grosir, Pengecer dan Supermarket
5
4.2 Peningkatan Nilai Tambah Pada Komoditas UnggulanTahap selanjutnya yang dilakukan adalah
melakukan peningkatan nilai tambah pada
komoditas unggulan. Peningkatan nilai tambah pada komoditas unggulan dilakukan dengan menambah variasi hasil produk olahan udang dengan memanfaatkan bukan hanya daging udang melainkan juga kulit dan kepala udang. Melalui hasil studi literatur dan studi lapangan didapatkan 14 produk turunan udang serta 4 produk hasil dari bahan dasar kulit dan kepala udang.
Gambar 4.2.1 Value Chain Rekomendasi Sedangkan untuk kulit dan kepala udang dapat dimanfaatkan menjadi produk seperti dibawah ini:
Gambar 4.2.1 Value Chain Rekomendasi Kepala dan Kulit
Kondisi industri pengolahan udang masih belum dapat berkembang karena masih minimnya pengetahuan terhadap produk olahan yang dapat dibuat dari bahan dasar udang dan. Kurangnya minat sumber daya manusia di Kota Tarakan untuk berwirausaha juga masih perlu ditingkatkan. Value
chain produk yang direkomendasikan ini telah
terlebih dahulu divalidasi pada pihak-pihak terkait.
Value chain produk yang direkomendasikan ini
telah terlebih dahulu divalidasi pada pihak-pihak terkait
3.3 Permasalahan dan Potensi Perbaikan Pada Sektor Pengolahan (UKM)
Melalui permasalahan pada UKM yang ada pada Tabel 4.1.4 dilakukan perhitungan nilai potensi untuk mengetahui potensi perbaikan yang dapat dilakukan. Didapatkan sepuluh atribut yaitu efisiensi sistem, kualitas produk, diferensisasi produk, peningkatan lingkungan sosial, peningkatan lingkungan bisnis, harga, fasilitas, produktifitas, pemasaran dan modal usaha. Dari sepuluh atribut diberikan competitive advantage bagi tiap atribut. Terdapat enam belas respon teknis yaitu akses informasi, ketersediaan bahan baku, proses pengolahan bahan baku, packaging, variasi produk, meminimumkan lead time, ketersediaan K3, jaminan kesehatan, SOP, regulasi hokum, kredit mikro, teknologi pengolahan udang, value
added pada komoditas udang, pelatihan pengolahan
bahan baku pelatihan pemasaran produk dan pelatihan peningkatan mutu produk. Melalui atribut dan respon teknis yang telah didapatkan dilakukan perhitungan nilai potensi dengan persamaan sebagai berikut :
𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁 𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑁𝑁 = 𝑅𝑅𝑗𝑗� 𝐶𝐶𝑁𝑁𝐼𝐼𝑁𝑁𝑗𝑗
dengan Rj adalah besar pengaruh pada setiap
respon teknis, Ci adalah tingkat kepentingan pada
setiap competitive advantage dan Iij adalah korelasi
atau interaksi antara competitive advantade ke-i dengan respon teknis ke-j. Melalui perhitungan nilai potensi didapatkan tiga Aspek yang paling berpotensi untuk perbaikan pada UKM yaitu akses informasi dengan nilai potensi 6056, proses pengolahan bahan baku 5848 dan packaging sebesar 4600.
4. Kesimpulan
Berikut adalah kesimpulan yang didapat dari penelitian ini:
1. Melalui hasil pemilihan alternatif komoditas unggulan sektor perikanan Kota Tarakan dengan menggunakan AHP didapatkan bobot tertinggi berada pada komoditas udang dengan bobot sebesar 0.251.
2. Melalui studi lapangan diketahui hingga saat ini produk olahan udang di Kota Tarakan hanya terdiri dari lima jenis
6
produk yaitu ebi, udang beku, terasi, abon udang dan pastel abon udang. Dimana produk ini hanya memanfaatkan bagian inti dari udang. Dari hasil studi lapangan dan studi literatur didapatkan 14 produk turunan dari udang yang dapat di produksi untuk skala UKM dan juga produk sampingan3. Permasalahan utama dalam value chain
pada supplier adalah kurangnya
persediaan bibit unggul yang dapat dipasok pada petambak yang menyebabkan kurangnya pasokan benur dan belum adanya sistem kontrak dengan pembudidaya. Pada petambak tidak adanya control pada yang tambak menyebabkan berkurangnya jumlah tambak yang berdampak pada penurunan jumlah udang. Sedangkan permasalahan pada petambak dan juga nelayan adalah adanya praktek tokeh atau pengepulan yang tidak sehat sehingga nelayan dan petambak mengalami kesulitan untuk menentukan harga. Pada pasar dan grosir permasalahan yang teridentifikasi adalah harga udang yang relatif masih tinggi, sedangkan pada supermarket yang menjual hasil olahan udang permasalahan yang teridentifikasi adalah produk olahan udang tidak selalu tersedia. Permasalahan pada UKM adalah kurangnya pengetahuan akan pengolahan produk baik untuk variasi maupun standar kualitas yang harus dipenuhi, mahalnya harga bahan baku maupun bahan pendukung dan pemasaran produk yang masih terbatas, 4. Kebutuhan untuk perbaikan industri pengolahan komoditas unggulan yaitu UKM dapat dilakukan dengan memperbaiki tiga aspek yang telah teridentifikasi pada HOQ. Perbaikan untuk akses informasi dapat dilakukan dengan memanfaatkan situs pemerintah maupun media sosial sebagai media pemasaran yang dapat diakses oleh masyarakat untuk mengetahui informasi tentang produk hasil olahan udang dan dimana dapat memperoleh produk tersebut. Perbaikan pada proses
pengolahan bahan baku dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan mengenai variasi produk olahan udang, melakukan pemrosesan produk sesuai dengan standar pemerintah dan pemanfaatan teknologi tepat guna yang dapat membantu proses pengolahan udang menjadi produk olahan.
Perbaikan pada packaging dapat
dilakukan dengan adanya pelatihan desain kemasan dan mengadakan mass
order untuk kemasan produk
DAFTAR PUSTAKA
Akintoye, A., McIntosh, G., & Fitzgerald, E. (2000). A survey of supply chain collaboration and management in the UK construction industry. European Journal of
Purchasing & Supply Management 6 ,
159-168.
Herr, M. (2007). An operational guide to Local
Value Chain Development Combining Local Economic Development (LED) with Value Chain Development (VCD). Colombo, Sri
Lanka: International Labour Organisation. ILO. (2009). ILO: Value Chain Development for
Decent Work: A Guide for Practitioners, Government, and Private Sector Initiatives.
Geneva: ILO Job Creation and Small Enterprise Development.
J. S Shin et.al. (2002). Consistency check of a house of quality chart. International Journal
of Quality & Reliability Management Vol. 19 No. 4Chen, L. &.-d.-M. (2010). .
Kaplinsky, R., & Morris, M. (2000). A Handbook
For Value Chain Research
Pujawan, I., & ER, M. (2010). Supply Chain
Management. Surabay: Tim Guna Widya.
Ulrich, K., & Eppinger, S. (2003). Product Design
and Development. New York:
McGraw-Hill/Irwin.
Vaidya, O., & Kumar, S. (2004). Analytic Hierarchy Process : An overview of
applications. European Journal of
Operational Research 169 (2006) 1-29