• Tidak ada hasil yang ditemukan

M01329

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan " M01329"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

KOMITMEN PEMDA SEBAGAI

MODAL SOSIAL PEMBANGUNAN PENDIDIKAN1 Sebuah Refleksi dalam Konteks Implementasi Paradigma Baru Pendidikan

Wasitohadi

adi_wasito02@yahoo.co.id

Abstrak

Keberhasilan pengelolaan pendidikan di daerah, salah satunya ditentukan oleh adanya komitmen Pemda terhadap pendidikan. Komitmen Pemda sebagai modal sosial dalam pembangunan pendidikan daerah Kota Salatiga, dalam bentuk menjadikan Kota Salatiga sebagai kota pendidikan dan peningkatan perhatian Pemda terhadap pendidikan, misalnya berupa regulasi pembentukan dan penataan organisasi pendidikan yang sesuai dengan jiwa dan semangat otonomi, dukungan pendanaan pendidikan, dan kebijakan-kebijakan lain yang menguntungkan perkembangan pendidikan. Merefleksi apa yang dilakukan Pemda tersebut, Pemda Kota Salatiga mempunyai komitmen membangun sistem pendidikan yang bernuansa otonomi, dengan berusaha mengimplementasikan paradigma baru pendidikan dalam UU Sisdiknas. Meskipun demikian, pada tingkat praksis, regulasi tersebut belum dapat dilaksanakan secara konsisten dan optimal, terkendala oleh sejumlah faktor, seperti keterbatasan PAD, kualitas SDM yang kurang memadai, dan pengisian SDM yang bukan berdasarkan prinsip the right man on the right place, dengan memperhatikan mindset yang bernuansa otonomi.

Kata Kunci: Modal Sosial, Komitmen Pemda, Pembangunan Pendidikan.

A. Pendahuluan

Kota Salatiga sebagai salah satu daerah otonom di Indonesia, yang pengembangannya diarahkan sebagai kota pendidikan, telah berupaya melaksanakan otonomi pengelolaan pendidikan. Kebijakan era otonomi memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi pengelolaan pendidikan, dengan menerapkan prinsip-prinsip demokrasi, peranserta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Ini berarti, daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus persoalan pendidikan menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat di daerah, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kewenangan dan keleluasaan dimaksud mencakup: (a) kewenangan dan keleluasaan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan pendidikan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat setempat; dan (b) kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi.

Dalam rangka melaksanakan kedua kewenangan tersebut, berbagai kebijakan pendidikan dalam konteks otonomipun telah dirumuskan dan diimplementasikan. Tetapi, apakah substansi regulasi kebijakan pendidikan dan implementasinya tersebut sesuai dengan jiwa dan semangat paradigma baru pendidikan, belum pernah diteliti dan dievaluasi. Hingga kini penelitian sebagai “pendampingan” atas pelaksanaan otonomi pengelolaan pendidikan di Salatiga baru menyangkut masalah profil, persepsi, dan problematika otonomi daerah bidang pendidikan (Wasitohadi, 2003), dan sebatas upaya mengetahui sejauh mana pemahaman masyarakat Salatiga tentang makna, konsep, kesiapan dan persiapan dalam pelaksanaan otonomi daerah secara umum (Virna Mellani, 2001). Penelitian tersebut antara lain menyimpulkan bahwa otonomi daerah di Salatiga kurang disiapkan dan tidak diikuti dengan pemahaman yang benar dari masyarakat sehingga terkesan dipaksakan. Selain itu, ada persepsi yang beragam tentang otonomi daerah bidang pendidikan, di samping masih banyak problematika yang dihadapi.

Penelitian ini dibatasi pada upaya untuk mengetahui berbagai komitmen Pemda Kota Salatiga terhadap pembangunan pendidikan dan mengetahui apakah berbagai komitmen tersebut telah diimplementasikan sesuai dengan jiwa dan semangat paradigma baru pendidikan. Agar sistematis, tulisan akan dimulai dengan uraian singkat mengenai arti dan pentingnya modal sosial, unsur-unsur modal sosial (dimana komitmen menjadi salah satunya), baru dilanjutkan dengan membahas mengenai komitmen Pemda terhadap pendidikan dan refleksinya, serta diakhiri dengan kesimpulan.

B. Konsep Modal Sosial

Ada banyak konsep tentang modal sosial yang disampaikan para ahli. Modal dapat dipahami sebagai kekuatan, asset, dan juga sumber-sumber. Modal tak hanya berupa harta kekayaan seperti uang dan barang-barang bergerak dan tak bergerak: saham, tanah, rumah, mobil, pabrik, alat-alat teknologi, melainkan juga pengetahuan, budaya, jaringan hubungan sosial, adat kebiasaan, aktivitas sosial, dan lain sejenisnya (Suyata,

1

Makalah ini pernah dipresentasikan dalam Seminar Nasional dengan tema ”Pengembangan Masyarakat Berbasis Modal Sosial”, yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Pendidikan kerjasama dengan Program Studi S2 Pendidikan Luar Sekolah, Universitas Negeri Yogyakarta, Sabtu, 4 Mei 2013.

(2)

2010). Schuller, Baron & Field (2000) merujuk tiga pionir konsep modal sosial, yaitu Piere Bourdieu, James Coleman, dan R.D. Putnam, dari merekalah konsep modal sosial itu hadir, dikaji dan diterapkan. Konsep tersebut berkembang, produktif dan menyebar penggunaannya dari satu kawasan ke kawasan lain, dari medan kajian yang satu ke yang lain.

Bourdieu dapat disebut sebagai orang yang mengajukan konsep berbagai modal dan modal budayalah yang paling banyak dikembangkan olehnya, terutama di dalam menganalisis reproduksi budaya dan reproduksi sosial. Sementara itu, menurut James Coleman (2000:6), modal sosial dipahami sebagai jenis-jenis sumber yang tersedia bagi seorang aktor yang terdiri atas aneka ragam entitas berupa aspek tertentu dari struktur sosial dan fasilitasi mereka untuk bertindaknya para aktor baik mereka itu pribadi-pribadi maupun aktor korporasi. Modal sosial itu misalnya kepercayaan, kebutuhan mencari bantuan, tingkat kekayaan, perbedaan budaya, tingkat keterbukaan jaringan sosial, dan lain-lainnya. Coleman juga menekankan pentingnya hubungan kekerabatan dan kehidupan bertetangga sebagai modal sosial. Sedangkan Putnam memasukkan konsep modal sosial ke mainstream kajian politik. Putnam memberikan pengertian modal sosial sebagai “the resources embedded in social networks accessed and used by actors for actions” (Nan Lin, 2004: 25). Modal sosial oleh Putnam digambarkan sebagai corak kehidupan sosial seperti jejaring sosial (networks), norma-norma, dan trust yang dengan itu dapat menjadi dasar berpartisipasi untuk bertindak bersama secara lebih efektif dalam usaha mencapai tujuan bersama.

Lebih lanjut, Zamroni (2007:118) menyatakan bahwa modal sosial menunjuk pada “kemampuan dan kemauan untuk bekerja sama yang didasarkan pada kejujuran, toleransi dan kebersamaan”. Dikatakan bahwa modal sosial merupakan suatu jalinan kerjasama di antara warga yang saling menguntungkan dan didasarkan pada trust. Dengan modal sosial ini muncul berbagai asosiasi di masyarakat yang kuat, yang menjadi simbol-simbol kebebasan, dan sekaligus menjadi perisai yang dapat menjamin kelangsungan kebebasan dan melawan ancaman atas kebebasan baik yang datang dari negara maupun dari ”pasar”. Sementara itu, Sastrapratedja (2004:16), menempatkan modal sosial sebagai bagian yang harus dipupuk oleh pendidikan. Menurutnya, disamping dimensi individualitas, pendidikan juga berfungsi untuk membangun sosialitas manusia sejak dini. Pendidikan harus memupuk ”modal sosial”, yaitu serangkaian nilai dan norma sosial yang harus dihayati oleh setiap anggota kelompok, seperti keadilan sosial, tenggang rasa, dan saling percaya. Sementara itu, menurut Ridell (Edi Suharto, 2007:4 ), ada tiga parameter modal sosial, yaitu kepercayaan (trust), norma-norma (norms)

dan jaringan-jaringan (networks).

Dari berbagai pendapat di atas, tampak ada perbedaan rumusan mengenai modal sosial beserta unsur-unsurnya. Namun, apapun rumusannya, semua menekankan pada kuasa jaringan (networks), yang secara umum membawa pengaruh positif, dapat mewujudkan banyak hal. Grootaert, C.& van Bastelaer, T., dalam buku mereka berjudul The role of social capital in development, menegaskan dimensi-dimensi dari modal sosial sebagaimana tampak dalam gambar berikut.

Gambar 1.

Dimensions of social capital Macro

Institutions of the state, rule of law

Governance

Structural Cognitive

Local institutions, networks

Trust, local norms, and values

(3)

Modal sosial merupakan energi pembangunan yang sangat dahsyat. Modal sosial diyakini sebagai salah satu komponen utama dalam menggerakkan kebersamaan, mobilitas ide, kesalingpercayaan dan kesalingmenguntungkan untuk mencapai kemajuan bersama. (Jousairi Hasbullah, 2006: 3). Masing- masing entitas sosial memiliki tidak saja tipologi, melainkan juga konfigurasi nilai dan norma yang sangat menentukan derajat kerekatan sosial dan kolaborasi sosial dalam masyarakat. Dimensi ini akan berpengaruh kuat pada karakteristik perilaku masyarakat dan respon yang mereka tunjukkan terhadap setiap kebijakan pembangunan yang dibuat oleh pemerintah. Apapun rencana atau proyek yang dirancang akan senantiasa berhadapan dengan faktor-faktor yang telah disebutkan. Faktor tersebut dapat memperlancar atau bahkan menggerogoti pembangunan itu sendiri. Di sini peran modal sosial yang sangat menentukan. Sementara itu, Francis Fukuyama (1999) menyatakan bahwa modal sosial memegang peranan yang sangat penting dalam memfungsikan dan memperkuat kehidupan masyarakat modern. Modal sosial sebagai sine qua non bagi pembangunan manusia, pembangunan ekonomi, sosial, politik dan stabilitas demokrasi.

Modal sosial yang lemah akan meredupkan semangat gotong royong, memperparah kemiskinan, meningkatkan pengangguran, kriminalitas dan menghalangi setiap upaya untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. Sedangkan modal sosial yang kuat akan menumbuhkan kerja sama dan komitmen yang kuat untuk mencapai tujuan bersama. Komitmen yang kuat adalah sebuah kehendak bersama yang kuat. Komitmen semacam itu membutuhkan motivasi yang kuat, motivasi untuk mewujudkan cita-cita kehidupan masyarakat Indonesia dalam kebersamaan. Komitmen tersebut mestinya dimiliki oleh setiap warga bangsa, apapun tugas dan kewajibannya, termasuk pada pemerintah yang sehari-hari menjalankan roda pemerintahan.

C.Metode Penelitian

Sesuai fokus masalah yang diteliti, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data kualitatif diperoleh dari informan-informan kunci serta berbagai dokumen terkait melalui wawancara dan studi dokumen. Data dokumen yang dibutuhkan, misalnya, kebijakan-kebijakan pendidikan yang tertuang dalam perda tentang penyelenggaraan pendidikan Kota Salatiga, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Master Plan bidang pendidikan Kota Salatiga, renstra Dinas Pendidikan, dan lain-lain. Sedangkan teknik wawancara dilakukan terhadap informan-informan kunci yang dipandang paling tahu tentang data yang dibutuhkan tersebut, misalnya: orang-orang di Pemda, DPRD, Dinas Pendidikan yang mengurusi ke-SD-an, dan lain-lain.

Mengenai siapa ”informan-informan kunci” yang dijadikan sebagai subyek penelitian, ditentukan dengan menggunakan teknik snowball sampling. Teknik snowball sampling adalah teknik pengambilan sumber data, yang pada awalnya berjumlah sedikit, lama-lama menjadi besar. Hal ini dilakukan karena dari jumlah sumber data yang sedikit itu belum mampu memberikan data yang lengkap, maka peneliti mencari aktor atau orang lain lagi yang dapat digunakan sebagai sumber data. Dengan demikian jumlah sumber data akan semakin besar dalam upaya untuk mendapatkan informasi yang maksimum.

Mengenai siapa ”aktor” yang menjadi informan kunci, ditentukan dengan memilih sumber data yang dianggap paling mengetahui masalah yang sedang diteliti, dan pilihannya dapat terus berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kemantapan peneliti dalam mengumpulkan data di lapangan. Dengan demikian, keputusan untuk menambah jumlah sumber data dapat muncul begitu peneliti memandang data yang dikumpulkan belum lengkap/jenuh, sehingga menuntut perlunya pendalaman dan perluasan data. Data kualitatif yang dikumpulkan merupakan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dari dokumen misalnya atau lisan dari orang-orang sebagai sumber data. Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan pendekatan induktif. Hasil analisis tersebut direfleksi lebih lanjut melalui upaya pemaknaan menggunakan berbagai teori yang relevan, sehingga penyimpulan dapat diberikan.

D. Hasil Penelitian dan Pembahasan

1. Komitmen Pemda terhadap Pendidikan

Keberhasilan pengelolaan pendidikan di daerah sangat ditentukan oleh adanya komitmen Pemerintah Daerah terhadap pendidikan. Komitmen Pemda Kota Salatiga diawali dengan penetapan visi dan misi. Visi Kota Salatiga adalah “terwujudnya Salatiga yang lebih maju dan harmonis, dengan tata kelola pemerintahan yang baik” (Perda, 2007). Untuk mewujudkan visi tersebut, salah satu misi pembangunan Kota Salatiga adalah meningkatkan pelayanan pendidikan kepada masyarakat. Pendidikan menjadi salah satu prioritas utama (Perda, 2009). Sasaran pembangunan Kota Salatiga salah satunya diarahkan agar berfungsi sebagai kota pendidikan. Visi menjadikan Kota Salatiga sebagai kota pendidikan diputuskan secara partisipatif, ditetapkan oleh Pemerintah bersama-sama dengan DPRD Kota Salatiga, dan telah tertuang dalam berbagai produk perencanaan daerah, bahkan tercantum dalam Perda (Perda, 1997) yang mengatur tentang makna, filosofi dan cita-cita lambang daerah Salatiga. Komitmen tersebut semakin diperkuat dasarnya, karena ditegaskan secara eksplisit dalam Perda (Perda, 2009) tentang penyelenggaraan pendidikan Kota Salatiga.

Kota pendidikan adalah kota yang menjadikan pendidikan sebagai roh utama kehidupannya (Bambang Suteng, 2003:18). Dengan mencanangkan diri sebagai kota pendidikan, diharapkan urusan pendidikan menjadi urusan semua warga Kota Salatiga. Pendidikan bukan saja menjadi agenda utama kinerja pemerintah kota

(4)

maupun para wakil rakyat, melainkan juga menjadi acuan utama kinerja ataupun performance baik wakil rakyat, aparat pemerintah daerah, para pengusaha, rakyat biasa maupun terlebih lebih para praktisi pendidikan. Dimensi “mendidik” diharapkan menjadi acuan setiap sikap, perilaku, ucapan maupun tindakan/kebijakan setiap warga Kota Salatiga.

Ditetapkannya Kota Salatiga sebagai kota pendidikan menunjukkan adanya kesadaran dan komitmen untuk menjadikan pendidikan sebagai strategi dalam mengembangkan dan memajukan Kota Salatiga. Penyusun renstra Kota Salatiga memberi alasan fenomenologis ditetapkannya Salatiga sebagai kota pendidikan, dengan menyatakan bahwa “denyut nadi aktivitas Kota Salatiga selama ini sangat terkait dengan keberadaan dan aktivitas pendidikan baik pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah” (Renstra, 2002). Selain visi menjadikan Kota Salatiga sebagai kota pendidikan (Perda, 2009), komitmen tersebut juga berupa peningkatan perhatian Pemda terhadap pendidikan, misalnya dalam pembentukan dan penataan organisasi pendidikan, dukungan pendanaan pendidikan, dan kebijakan lain yang menguntungkan perkembangan pendidikan.

a. Pembentukan dan penataan organisasi pendidikan

Dari segi pembentukan dan penataan organisasi, pada era otonomi telah ditetapkan perda yang mengatur tentang pembentukan organisasi, struktur organisasi serta tugas dan fungsi dinas sebagai unsur pelaksana Pemerintah Daerah. Salah satu unsur pelaksana pemerintah daerah adalah Dinas Pendidikan yang dibentuk dengan tugas melaksanakan kewenangan otonomi daerah di bidang pendidikan. Dinas Pendidikan merupakan hasil penggabungan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Perda, 2001). Dalam perkembangannya, karena tuntutan kebutuhan, organisasi Dinas Pendidikan tersebut diubah menjadi Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga (Disdikpora). Disdikpora mempunyai tugas pokok membantu Walikota melaksanakan urusan pemerintahan daerah di bidang pendidikan, pemuda dan olah raga berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Dalam rangka menjalankan tugas pokok tersebut, Disdikpora mengkoordinasikan keseluruhan program dan kegiatan yang ada agar pelaksanaannya dapat berjalan secara menyeluruh dan terpadu sesuai dengan perencanaan yang telah disusun. Selain itu, untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Disdikpora menyelenggarakan fungsi (Perda, 2008):

1. perumusan kebijakan teknis di bidang pendidikan, pemuda dan olah raga;

2. penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum di bidang pendidikan, pemuda dan olah raga;

3. pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang pendidikan, pemuda dan olah raga yang meliputi prasekolah dan pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan nonformal, dan pendidik dan tenaga kependidikan, pemuda dan olah raga;

4. pelaksanaan pelayanan kesekretariatan Dinas; dan pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Walikota sesuai dengan tugas dan fungsinya.

Dalam peraturan Walikota tersebut ditegaskan bahwa untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi tersebut, susunan organisasi Disdikpora terdiri atas: Kepala Dinas, Sekretariat, bidang Pendidikan Dasar, bidang Pendidikan Menengah, bidang Pendidikan non Formal, bidang Pendidik dan Tenaga Kependidikan, bidang Pemuda dan Olah Raga, Unit Pelaksana Teknis Dinas, dan Kelompok Jabatan Fungsional, yang masing-masing mempunyai uraian tugas dan fungsi pokok tertentu. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, masing-masing wajib menerapkan prinsip “koordinasi, sinkronisasi, integrasi dan simplifikasi” secara vertikal dan horisontal baik dalam lingkungan masing-masing maupun dengan instansi lain sesuai dengan tugas pokoknya.

Di samping itu, sebagai bagian dari upaya penataan organisasi dibentuk pula Dewan Pendidikan sebagai wadah partisipasi masyarakat Salatiga dalam bidang pendidikan. Dewan Pendidikan dibentuk atas inisiatif Dinas Pendidikan Kota Salatiga. Pembentukannya dimotivasi oleh keinginan untuk menggalang dukungan dan peran serta masyarakat yang lebih optimal dalam penyelenggaraan pendidikan. Dalam penyelenggaraan pendidikan, masyarakat dapat berperanserta dalam peningkatan mutu, pemerataan, efisiensi penyelenggaraan pendidikan, dan tercapainya demokrasi pendidikan, dengan memberi pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana serta pengawasan pendidikan. Di samping itu, pembentukannya juga didorong agar memperoleh bantuan dana dari pemerintah, yang usulannya mengharuskan mendapat persetujuan dari Dewan Pendidikan Kota Salatiga.

(5)

pembentukannya tetap memberi kemungkinan bagi orang-orang di luar yang diundang, yang dianggap layak menjadi anggota Dewan Pendidikan.

Dewan Pendidikan sebagai wadah peran serta masyarakat yang bersifat mandiri, tidak mempunyai hubungan hierarkhis dengan lembaga pemerintah daerah. Tata hubungan antara Dewan Pendidikan dengan Pemerintah Daerah, DPRD, Dinas Pendidikan serta Komite-Komite Sekolah di Kota Salatiga bersifat koordinatif. Peran Dewan Pendidikan adalah: (a) memberi pertimbangan dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan, (b) mendukung, baik yang berwujud finansial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan, (c) mengontrol dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan, dan (d) sebagai mediator antara pemerintah dan DPRD (legislatif) dengan masyarakat.

Fungsi Dewan Pendidikan meliputi: (a) mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu, (b) melakukan kerjasama dengan masyarakat (perorangan/organisasi), pemerintah, dan DPRD berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu, (c) menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat, (d) memberikan masukan, pertimbangan dan rekomendasi kepada pemerintah daerah/ DPRD mengenai: kebijakan dan program pendidikan, dan melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan dan keluaran pendidikan.

Agar peran dan fungsi tersebut dapat terwujud, pemerintah daerah wajib memberikan hibah pendanaan kepada Dewan Pendidikan sesuai ketentuan yang berlaku (Perda,2009). Adanya regulasi itu menunjukkan adanya komitmen Pemerintah Daerah terhadap pendidikan. Selain itu, dalam rangka menjalankan peran dan fungsinya, Dewan Pendidikan mengadakan pertemuan rutin. Kendala yang dihadapi adalah sulitnya mengumpulkan anggota untuk pertemuan, terutama anggota yang berasal dari unsur birokrasi. Umumnya mereka hanya berpartisipasi ketika ada acara keluar, seperti studi banding misalnya, sedangkan apabila sekedar rapat mereka jarang hadir dengan alasan kesibukan. Oleh karenanya, praktis kinerja Dewan Pendidikan lebih banyak digerakkan oleh sebagian anggota yang memiliki kemampuan, komitmen dan kepedulian yang tinggi untuk melakukan perubahan di bidang pendidikan.

b. Dukungan pendanaan pendidikan

Komitmen Pemerintah Daerah lainnya adalah dalam bentuk dukungan pendanaan pendidikan. Dalam Perda (Perda, 2007) disebutkan bahwa arah kebijakan umum pembangunan pendidikan Kota Salatiga adalah bahwa ”pelayanan pendidikan akan diberikan melalui anggaran yang proporsional sebagai bentuk perhatian terhadap pentingnya pendidikan bagi masyarakat”. Sementara itu, dalam Perda (Perda, 2009) disebutkan bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Ditetapkan bahwa Pemerintah Daerah menjamin terselenggarakannya kegiatan wajib belajar pendidikan dasar sesuai standar pelayanan minimal tanpa memungut biaya bagi sekolah yang diselenggarakan pemerintah. Sementara bagi satuan pendidikan yang mengembangkan mutu pendidikan di atas standar pelayanan minimal, dapat menggali sumber daya pendidikan dari partisipasi masyarakat, kecuali bagi masyarakat miskin. Selain itu, pemerintah daerah diwajibkan memberikan subsidi bagi terselenggaranya kegiatan wajib belajar pendidikan dasar bagi sekolah yang diselenggarakan masyarakat dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah.

Ada pula regulasi yang mengatur prinsip pengalokasian dan pengelolaan dana pendidikan bahwa dana pendidikan dialokasikan minimal 20% (dua puluh perseratus) dari APBD, yang pemenuhannya dilakukan secara bertahap. Sementara itu mengenai dukungan pendanaan pendidikan ke sekolah ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan dan berkelanjutan. Yang dimaksud adalah bahwa dukungan pendanaan pendidikan ditentukan dengan memperhatikan status atau kategori sekolah, jumlah rombongan belajar dan atau jumlah peserta didik, serta sarana dan prasarana atau fasilitas sekolah yang ada. Berikut adalah gambaran perkembangan presentase alokasi anggaran fungsi pendidikan dalam APBD Kota Salatiga, yang menggambarkan tingkat komitmen pemerintah daerah terhadap penyelenggaraan pendidikan pasca reformasi.

(6)

Gambar 2.

Alokasi Anggaran Fungsi Pendidikan dalam APBD Kota Salatiga Pasca Reformasi

Lain dari itu, pemerintah daerah juga memiliki komitmen pendanaan pendidikan bagi anak usia sekolah dari keluarga miskin (pasal 69-71 Perda, 2009). Anak usia sekolah dari keluarga miskin berhak untuk mendapatkan layanan pendidikan dasar yang bermutu dan pemenuhan kebutuhan biaya pendidikan oleh pemerintah daerah. Bahkan anak usia sekolah dari keluarga miskin yang berprestasi berhak mendapatkan bantuan biaya pendidikan dari pemerintah daerah sampai jenjang pendidikan tinggi. Biaya pendidikan bagi anak usia sekolah dari keluarga miskin, meliputi biaya pribadi peserta didik dan pungutan satuan pendidikan. Sementara biaya pendidikan anak dari keluarga miskin yang menempuh pendidikan tinggi sesuai dengan ketentuan yang berlaku di perguruan tinggi yang bersangkutan.

Sebagai bentuk komitmen untuk mewujudkan pendanaan pendidikan bagi anak usia sekolah dari keluarga miskin, diatur skema tindakan pembiayaan pendidikan sebagai berikut (pasal 72 Perda, 2009): (a) pemerintah daerah melakukan pendataan siswa dan atau anak usia sekolah dari keluarga miskin secara periodik; (b) data siswa dan/atau anak usia sekolah dari keluarga miskin diverifikasi kebenarannya oleh Tim Verifikasi, (c) data siswa dan atau anak usia sekolah dari keluarga miskin yang telah diverifikasi ditetapkan oleh Walikota, (d) perangkat daerah terkait bertugas menyalurkan biaya pendidikan, bantuan dan/atau beasiswa kepada siswa dari keluarga miskin sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing. Dalam hal ini, masyarakat berperan serta dalam pelaksanaan skema pembiayaan pendidikan bagi siswa dari keluarga miskin mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan.

c. Perumusan kebijakan yang menguntungkan perkembangan pendidikan.

Komitmen lainnya adalah dalam bentuk perumusan kebijakan yang menguntungkan perkembangan pendidikan. Pada masa reformasi, telah dirumuskan kebijakan umum, kebijakan pelaksanaan, dan kebijakan teknis pendidikan. Kebijakan umum pendidikan menunjuk pada kebijakan Pemda tentang pendidikan sebagai pelaksanaan asas desentralisasi, yang merupakan ketentuan yang bersifat makro dan strategis daerah, yang produknya berupa peraturan daerah. Kebijakan umum tersebut memuat arah kebijakan dan program pembangunan pendidikan, digunakan sebagai pedoman bagi pemerintah daerah dan segenap anggota masyarakat Kota Salatiga dalam melaksanakan pembangunan pendidikan di daerah. Sementara kebijakan pelaksanaan dan teknis pendidikan dibuat oleh Dinas Pendidikan sebagai operasionalisasi dari kebijakan umum tersebut.

Kebijakan umum pendidikan ditetapkan bersama oleh Pemerintah Daerah dengan DPRD, yang substansinya dapat mengalami perubahan dan perkembangan dari waktu ke waktu. Dalam Perda Nomor 4 Tahun 2007 tentang RPJMD Kota Salatiga tahun 2007-2012, ditegaskan mengenai arah kebijakan umum pembangunan Kota Salatiga khususnya pada fungsi pendidikan, bahwa:

kebijakan pada fungsi pendidikan diarahkan pada upaya-upaya pemenuhan pelayanan dasar dalam rangka pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas melalui peningkatan kualitas pendidikan berupa penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi agar menjadi dinamis, serta peningkatan profesionalisme.

(7)

sektor pendidikan secara sistematis dalam mencapai visi dan misi Kota Salatiga. Masterplan tersebut memuat pentahapan pengembangan pendidikan Kota Salatiga, yang dalam implementasinya terbagi menjadi 4 periode dengan penekanan masing-masing, sebagaimana tampak dalam gambar sebagai berikut.

Sementara itu, berdasarkan kebijakan umum tersebut, kemudian dijabarkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang merupakan dokumen perencanaan teknis operasional bagi aparatur pemerintah dalam melaksanakan pembangunan untuk kurun waktu satu tahun. Mencermati substansi kebijakan pendidikan dan program dalam RKPD selama lima tahun terakhir (2007-2011), tampak bahwa peningkatan kualitas pendidikan selalu menjadi prioritas kebijakan. Dalam pelaksanaannya, kebijakan tersebut diimplementasikan melalui program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, program peningkatan kualitas pendidik dan tenaga kependidikan sehingga dapat menunjang proses pendidikan, dan program manajemen pelayanan pendidikan

Selain itu, sebagai wujud komitmen Pemda terhadap pendidikan tercermin dari dukungannya untuk mewujudkan “manajemen pendidikan satu payung”, yang dapat mengintegrasikan peran pemerintah, masyarakat dan orang tua dalam penyelenggaraan pendidikan. Ketiga pihak tersebut berperan dan bertanggung jawab secara profesional dalam penyelenggaraan pendidikan. Aspirasi ini, meskipun sempat tenggelam, tetapi akhirnya menjadi semacam “embrio” bagi adanya Raperda tentang penyelenggaraan pendidikan di Kota Salatiga. Raperda ini merupakan usulan inisiatif para pelaku pendidikan di Kota Salatiga yang menyadari perlunya landasan yang kuat bagi stakeholders dalam penyelenggaraan pendidikan.

Lebih lanjut, sebagai wujud komitmen Pemda terhadap pendidikan, Walikota berpendapat bahwa: pembentukan Raperda Penyelenggaraan Pendidikan Kota Salatiga yang merupakan tindak lanjut penyelesaian Raperda inisiatif DPRD Kota Salatiga pada tahun 2002 yang sempat terhenti karena menunggu diundangkannya UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sangatlah tepat karena dengan adanya landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan pendidikan diharapkan akan mampu mewujudkan layanan pendidikan yang bermutu, transparan, akomodatif dan akuntabel, serta partisipatif. Lebih lanjut, ia berpendapat bahwa dengan dibentuknya Raperda tersebut diharapkan dapat menopang perwujudan visi dan misi Kota Salatiga sebagai Kota Pendidikan sebagaimana tertuang

Periode 4: 2024-2028: Puncak dari bangunan sistem

pendidikan Kota Salatiga: memiliki daya saing di tingkat

global (internasional)

Periode 3: 2019-2023: Kemampuan menghadapai dan

memenangkan daya saing di kawasan regional dan nasional

Periode 2: 2014-2018: Penguatan pelayanan yang

kompetitif, penguatan semua pondasi bangunan sistem

pendidikan Kota Salatiga

Periode 1: 2008-2013: Optimalisasi pelayanan dan

modernisasi sebagai pondasi bagi bangunan sistem

pendidikan Kota Salatiga secara menyeluruh

Gambar 3.

Masterplan Pendidikan Kota Salatiga

(8)

dalam Perda No. 4 Tahun 2007 tentang RPJM Kota Salatiga Tahun 2007- 2012. Untuk itu, ia berharap agar dalam pembentukan perda ini memperhatikan amanat UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas mengenai beberapa hal pokok dalam penyelenggaraan pendidikan, yaitu peningkatan mutu pendidikan, aksesibilitas pendidikan, perbaikan tata kelola pendidikan, dan desentralisasi serta dekonsentrasi penyelenggaraan pendidikan.

Selanjutnya, Walikota memerintahkan Tim Asistensi Penyusunan Raperda dan perangkat daerah terkait untuk bersama-sama dengan Panitia Khusus DPRD segera melakukan pembahasan dalam rangka kesatuan pola pikir dan pola tindak sehingga harmonisasi dan finalisasi penyusunan Raperda penyelenggaraan pendidikan dapat diselesaikan dengan baik. Atas pendapat Walikota tersebut, semua fraksi menyetujui dan menyarankan agar supaya eksekutif segera melakukan pembahasan-pembahasan dengan pihak-pihak yang terkait. Oleh karena itu, guna mendapatkan masukan materi atas Raperda tersebut, diadakan studi banding ke berbagai Pemda. Selain itu, juga dilakukan public hearing yang dihadiri para stakeholders bidang pendidikan Kota Salatiga. Dalam

public hearing tersebut ditekankan bahwa Kota Salatiga sebagai kota pendidikan sudah selayaknya memiliki dasar hukum penyelenggaraan pendidikan.

Sementara itu, dilaksanakan pula kegiatan workshop dalam rangka finalisasi, harmonisasi, dan penyelarasan terhadap Raperda penyelenggaraan pendidikan. Selanjutnya, diadakan rapat paripurna DPRD dalam rangka persetujuan bersama terhadap Raperda tersebut. Menurut pendapat fraksi:

dengan diterapkannya perda tentang penyelenggaraan pendidikan, diharapkan dapat lebih meningkatkan kuantitas dan kualitas pendidikan di Salatiga, serta terjangkaunya pendidikan bagi orang yang kurang mampu, sehingga mendukung terwujudnya Kota Salatiga sebagai Kota Pendidikan. Sebagai kota pendidikan, Kota Salatiga sudah seharusnya memiliki Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan, sebagai pedoman bagi pemerintah dan para pemangku kepentingan dalam pengelolaan pendidikan.

Dalam rapat paripurna DPRD tersebut, Walikota menyatakan bahwa Perda tersebut merupakan karya yang monumental dan strategis. Melalui Perda tentang penyelenggaraan pendidikan, diharapkan dapat: (1) mendorong dan memperkuat kepastian hukum dalam penyelenggaraan pendidikan di Kota Salatiga, (2) mendorong tumbuh dan berkembangnya penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas, (3) mendorong terciptanya pencitraan publik dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan, (4) memperjelas dan mempertegas wewenang dan kewajiban pemerintah daerah, (5) mempertegas dan memperjelas hak dan kewajiban masyarakat, dan (6) mendorong terwujudnya tertib penyelenggaraan pendidikan di sekolah sejak dari proses penerimaan, proses pembelajaran, sampai tamat sekolah.

Dalam kebijakan umum mengenai penyelenggaraan pendidikan tersebut, ditegaskan mengenai prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan yang merupakan operasionalisasi sekaligus modifikasi atas prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan yang tertuang dalam UU Sisdiknas. Berbeda dengan UU Sisdiknas, dalam Perda tentang penyelenggaraan pendidikan Kota Salatiga ditambahkan satu prinsip berkenaan dengan good governance, sehingga selain yang tercantum dalam pasal 4 UU Sisdiknas, juga menyebutkan bahwa ”Pendidikan diselenggarakan berdasarkan asas-asas umum pemerintahan yang baik yang mencakup asas kepastian hukum, tertib penyelenggara, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas” (Perda, 2009).

Berdasarkan kebijakan umum pendidikan tersebut, Disdikpora sebagai salah satu unsur pelaksana pemerintah daerah merumuskan kebijakan pelaksanaan dan teknis pendidikan sebagai operasionalisasi dari kebijakan umum tersebut. Kebijakan umum pendidikan dipakai sebagai dasar dan pedoman dalam melaksanakan tugas sebagai penanggungjawab utama teknis penyelenggaraan pendidikan di daerah. Dalam rangka melaksanakan tugasnya, Disdikpora merumuskan rencana strategis bidang pendidikan pada tingkatan yang lebih operasional, dan membentuk kebijakan-kebijakan pelaksanaan dan teknis pendidikan di beberapa aspek (Renstra Dinas Pendidikan, 2002-2006; Renstra Disdikpora, 2009-20012).

Renstra Disdikpora memuat arah dan tujuan sebagai acuan dan pedoman bagi seluruh jajaran penyelenggara pendidikan di Kota Salatiga, baik pemerintah maupun masyarakat. Renstra dibuat secara bersama-sama, melibatkan subbagian-subbagian dan bidang-bidang dan seksi-seksi yang ada. Tiap subbagian, bidang, dan seksi membuat konsep awal berkaitan dengan kewenangan dan tanggung jawab masing-masing, berdasarkan masukan dari stakeholders. Konsep awal tersebut kemudian direkap oleh “Tim Perumus Renstra ” untuk mengolah lebih lanjut bahan awal tersebut. Tim perumus terdiri atas unsur kepala Dinas Pendidikan, kepala-kepala subbagian dan bidang, baik bidang pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan non formal, bidang pendidik dan tenaga kependidikan, bidang pemuda dan olah raga, unit pelaksana teknis dinas dan kelompok jabatan fungsional. Hasil kerja tim kemudian dikirim ke pemerintah daerah untuk mendapatkan tanggapan, setelah itu direvisi dan disahkan.

(9)

pengamalan ajaran pendidikan agama, IMTAQ dalam kehidupan sehari-hari, mewujudkan sekolah bertaraf internasional pada masing-masing jenjang minimal 1 sekolah, meningkatkan pencapaian kesempatan memperoleh pendidikan dan memperluas akses pendidikan, dan meningkatkan akuntabilitas dan pencitraan publik di bidang pendidikan.Untuk mewujudkan visi dan misi tersebut, ditetapkan tujuan dan sasaran. Salah satu tujuannya adalah “tercapainya peningkatan kualitas akademik dan non akademik pada semua jenjang pendidikan”. Sedangkan sasarannya, antara lain: penuntasan Wajar Diknas 9 tahun yang bermutu, tersedianya sarana dan prasarana pendidikan, menekan angka putus sekolah dan tinggal kelas, peningkatan kualifikasi tenaga pendidik dan kependidikan, peningkatan prestasi siswa, pengembangan kurikulum, peningkatan mutu pendidikan dan kecakapan hidup, dan terwujudnya pelajar yang berakhlak mulia.

2. Pembahasan Hasil Penelitian

Dari deskripsi hasil penelitian, jelas bahwa jauh sebelum era otonomi daerah, telah ditetapkan visi untuk menjadikan Kota Salatiga sebagai kota pendidikan. Sejalan dengan berlakunya otonomi daerah, komitmen tersebut semakin diperkuat dasarnya, karena ditegaskan secara eksplisit dalam Perda (Perda, 2009) tentang penyelenggaraan pendidikan. Merefleksi apa yang dilakukan Pemda di era otonomi, ada beberapa bentuk komitmen Pemda terhadap pendidikan, yaitu berupa regulasi penataan organisasi pendidikan, dukungan pendanaan pendidikan dan kebijakan lain yang menguntungkan perkembangan pendidikan. Dari segi penataan organisasi, telah dibentuk Dinas Pendidikan, yang dalam perkembangannya karena tuntutan kebutuhan, diubah menjadi Disdikpora, dengan tugas melaksanakan otonomi daerah di bidang pendidikan. Dalam istilah Edward Deming (Syafaruddin, 2002:32), telah terjadi transformasi organisasi sebagai salah satu dasar bagi perbaikan mutu berkelanjutan, karena organisasi tersebut merupakan hasil penggabungan dari organisasi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang berlaku sebelum otonomi.

Dari segi struktur organisasinya, tampak telah ada upaya untuk membuat struktur organisasi pendidikan yang sesuai dengan jiwa dan semangat otonomi. Struktur organisasi dibuat cukup sederhana, ramping, dengan jenjang birokrasi sependek mungkin sehingga diharapkan organisasi dapat bergerak dengan lincah dan gesit (Sumarno, 2000:6). Bentuk organisasi berubah dari “organisasi hierarkhis” menuju “organisasi datar” (Slamet P.H., 2000:10), yang memudahkan organisasi lebih responsif, beradaptasi dan mengantisipasi terhadap perubahan-perubahan terhadap isu-isu strategis yang dihadapi maupun perubahan-perubahan sosial secara umum.

Menurut Syaiful Sagala (2008), organisasi pendidikan yang dibutuhkan dalam era otonomi adalah organisasi pendidikan yang lebih profesional, dinamis, dan berdaya yang mengedepankan pelayanan pada sekolah. Dalam hal ini, jajaran birokrasi kependidikan dan unsur-unsur lainnya lebih sebagai unit pelayanan pendukung, yang membantu dan mendorong sekolah untuk berkembang. Sekolah bersifat otonom, bukan subordinasi, dan mendudukkannya sebagai unit utama kegiatan pendidikan (Depdiknas, 2001:28; Cotton,1992:5; Slamet P.H., 2002:12). Agar organisasi sekolah lebih berdaya, maka diperlukan perubahan mendasar dalam organisasi yang memberikan pelayanan kepadanya. Perubahan itu antara lain adalah perubahan dari pola birokratis sebagai pemberi petunjuk, menjadi pola pelayanan menerima masukan (input) dengan mengukuhkan organisasi pendidikan sebagai lembaga pelayanan pendidikan yang profesional.

Namun, di situlah masalahnya di Kota Salatiga. Transformasi organisasi belum diikuti dengan perubahan nilai-nilai yang dianut organisasi, dan perubahan pola pikir dari orang-orang dalam organisasi tersebut. Pola pikir manajemen lama yang lebih menekankan pada subordinasi, pengarahan, pengaturan, pengontrolan, dan one man show dalam pengambilan keputusan dari orang-orang yang mengisi dan menggerakkan organisasi tersebut, belum diganti dengan pola pikir manajemen baru yang lebih memandirikan dan memberdayakan sekolah. Pengisian orang-orang pada organisasi Dinas Pendidikan selama ini tidak terutama didasarkan pada prinsip the right man on the right place, dengan memperhatihan pola pikir yang bernuansa otonomi, tetapi lebih didasarkan pada selera pihak yang berkuasa. Selain itu, pergantian dari orang-orang yang mengisi organisasi tersebut relatif cukup sering dilakukan, sehingga kurang memberi kesempatan pada yang bersangkutan untuk belajar memahami perubahan-perubahan pendidikan yang terjadi dan implikasi-implikasi bagi pekerjaannya.

Sesuai dengan tuntutan kebutuhan era otonomi, telah dibentuk pula Dewan Pendidikan sebagai wadah partisipasi masyarakat Salatiga dalam bidang pendidikan. Ini sesuai dengan semangat pasal 54 UU Sisdiknas yang menekankan pentingnya peranserta masyarakat dalam pendidikan. Namun, pembentukannya tidak sesuai dengan panduan dalam Keputusan Mendiknas Nomor 044/U/2002. Dinas Pendidikan langsung mengundang orang-orang yang dinilai mempunyai kemampuan dan kepedulian untuk meningkatkan mutu pendidikan, dengan mempertimbangkan unsur-unsur yang dipersyaratkan dalam keanggotaan Dewan Pendidikan. Dari segi kinerjanya, fungsi sebagai badan pertimbangan, pendukung dan penghubung dapat terlaksana, sementara fungsi sebagai badan pengontrol belum dapat dilakukan (Nurhasanah, 2005). Lagi pula, kinerja Dewan Pendidikan Kota Salatiga terlalu tergantung pada figur ketua dan beberapa anggota yang mempunyai komitmen dan kepedulian terhadap kemajuan pendidikan, sehingga ketika mereka diganti kinerja Dewan Pendidikan juga mengalami penurunan.

(10)

Agar Dewan Pendidikan dapat berfungsi secara optimal, dan mengalami peningkatan kinerja dari waktu ke waktu, pembentukan Dewan Pendidikan secara bottom-up dan partisipatif sesuai dengan panduan perlu diupayakan. Asumsi yang ada dibalik cara pandang yang demikian adalah agar dapat menemukan orang yang tepat, yang memiliki komitmen, perhatian dan kepedulian yang tinggi terhadap kemajuan pendidikan (pasal 1 ayat (24) dan (27) UU Sisdiknas, 2003). Dengan demikian, yang diutamakan bukan sekedar terpenuhinya unsur-unsur yang dipersyaratkan dalam Dewan Pendidikan, tetapi pertimbangan bahwa dengan keanggotaan orang-orang semacam itu, semua fungsi Dewan Pendidikan dapat dijalankan secara lebih optimal. Demikian pula, peran sebagai advokasi bagi stakeholders pendidikan tentang berbagai isu dan inovasi pendidikan sebagai dampak perubahan paradigma pendidikan pasca reformasi tetap dapat dilakukan.

Dari segi dukungan pendanaan pendidikan, telah dibuat regulasi dalam Perda bahwa “pelayanan pendidikan akan diberikan melalui anggaran yang proporsional sebagai bentuk perhatian terhadap pentingnya pendidikan bagi masyarakat”. Selain itu, ada regulasi yang mengatur prinsip pengalokasian dan pengelolaan dana pendidikan bahwa “dana pendidikan dialokasikan minimal 20% (dua puluh perseratus) dari APBD, yang pemenuhannya dilakukan secara bertahap”, sesuai dengan semangat pasal 31 ayat (4) UUD 1945 dan pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas. Sedangkan mengenai dukungan pendanaan pendidikan ke sekolah ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan dan berkelanjutan. Dalam implementasinya, meskipun ketentuan tersebut belum terpenuhi, namun diketahui bahwa presentase alokasi anggaran fungsi pendidikan dalam APBD Kota Salatiga, memang cenderung semakin tinggi dari tahun ke tahun, meskipun peningkatannya sangat kecil, dan merupakan yang tertinggi jika dibandingkan dengan sektor lain.

Dari segi lain, sebagai bentuk komitmen, Pemda juga sudah mengatur secara khusus mengenai pendanaan pendidikan bagi anak usia sekolah dari keluarga miskin. Sesuai dengan semangat pasal 31 ayat (2) UUD 1945, anak usia sekolah dari keluarga miskin berhak untuk mendapatkan layanan pendidikan dasar yang bermutu dan pemenuhan kebutuhan biaya pendidikan oleh pemerintah daerah. Bahkan anak usia sekolah dari keluarga miskin yang berprestasi berhak mendapatkan bantuan biaya pendidikan dari pemerintah daerah sampai jenjang pendidikan tinggi. Biaya pendidikan bagi anak usia sekolah dari keluarga miskin, meliputi biaya pribadi peserta didik dan pungutan satuan pendidikan. Sementara biaya pendidikan anak dari keluarga miskin yang menempuh pendidikan tinggi sesuai dengan ketentuan yang berlaku di perguruan tinggi yang bersangkutan. Sebagai upaya mewujudkan hal tersebut, dalam perda juga diatur sistem tindakan pembiayaan pendidikan. Selain itu, telah diatur pula dalam aturan yang lebih operasional, dalam Peraturan Walikota Nomor 11 Tahun 2009 tentang bantuan bea siswa bagi keluarga kurang mampu. Dengan demikian, komitmen Pemda berupa dukungan pendanaan pendidikan sudah diatur dalam regulasi dalam berbagai Perda. Namun, pada tingkat praksis, meskipun telah terjadi perubahan dan peningkatan, tetapi implementasinya belum sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini terkendala oleh berbagai permasalahan yang dihadapi, seperti belum dibuatnya peraturan pelaksanaan, keterbatasan PAD, dan keterbatasan kemampuan SDM.

Komitmen lainnya tampak dalam pembentukan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan perkembangan pendidikan. Pada era reformasi telah dirumuskan kebijakan umum pendidikan yang memuat arah, landasan, kebijakan dan program pembangunan pendidikan sebagai pedoman bagi Pemda dan segenap anggota masyarakat Kota Salatiga dalam melaksanakan pembangunan pendidikan di daerah. Dari segi cara pembentukannya, kebijakan tersebut dibuat secara partisipatif, bottom-up, dengan memperhatikan prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedangkan dari segi substansinya, meskipun setiap kebijakan mempunyai substansi yang berbeda-beda, dan mengalami perubahan dari waktu ke waktu, namun ada benang merah yang mengkaitkan di antara berbagai kebijakan tersebut. Berbagai kebijakan tersebut merupakan upaya operasionalisasi dan implementasi untuk mewujudkan visi “Salatiga yang lebih maju dan harmonis, dengan tata kelola pemerintahan yang baik” di bidang pendidikan. Terwujudnya prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), dengan demikian, menjadi target yang harus diwujudkan dalam pembangunan di semua sektor, termasuk sektor pendidikan.

Oleh sebab itulah, dalam Perda tentang penyelenggaraan pendidikan dicantumkan berbagai prinsip penyelenggaraan pendidikan dengan mengakomodasi semua prinsip penyelenggaraan pendidikan dalam UU Sisdiknas, ditambah prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Dengan demikian, sebagai daerah otonom yang pengembangannya diarahkan sebagai kota pendidikan, Kota Salatiga telah berkomitmen menciptakan sistem pendidikan yang bernuansa otonomi, dengan mengimplementasikan paradigma baru penyelenggaraan pendidikan dalam UU Sisdiknas, paling tidak dalam kebijakan-kebijakan pendidikan yang dibentuknya, baik berkenaan dengan cara pembentukannya maupun substansinya. Sedangkan pada tingkat praksis, beberapa kebijakan modernisasi sistem pembelajaran, seperti penetapan kawasan learning centre

sebagai pilot project kawasan pendidikan terpadu dan terintegrasi, yang menjadi hot spot area, belum dilakukan secara optimal.

(11)

E. Simpulan

Dari refleksi hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa keberhasilan pengelolaan pendidikan di daerah, salah satunya ditentukan oleh adanya komitmen Pemda terhadap pendidikan. Komitmen Pemda sebagai modal sosial dalam pembangunan pendidikan di daerah Kota Salatiga, terwujud dalam bentuk menjadikan Kota Salatiga sebagai kota pendidikan dan peningkatan perhatian Pemda terhadap pendidikan, misalnya berupa

Gambar 4.

Komitmen Pemda Terhadap Pendidikan, Sistem dan Praksisnya

Kebijakan Pemerintah

Daerah berwenang mengatur dan mengurus persoalan pendidikan menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat di daerah sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Visi menjadikan Kota yang sesuai dengan jiwa dan

semangat otonomi.

Transformasi organisasi belum diikuti oleh perubahan dalam nilai-nilai yang dianut organisasi, juga belum ada perubahan pola pikir orang-orang yang mengisi organisasi.

Telah dibentuk Dewan Pendidikan sebagai wadah partisipasi masyarakat dalam

pendidikan

•Pembentukannya kurang sesuai dengan panduan.

•Fungsi sebagai badan pengontrol belum dilakukan.

•Kinerjanya terlalu tergantung pada figur ketua dan beberapa anggota.

•Presentase alokasi anggaran pendidikan dalam APBD cenderung semakin tinggi. •Alokasi anggaran pendidikan merupakan

yang tertinggi dibandingkan sektor lain. •Telah terjadi perubahan/ peningkatan,

tetapi implementasinya belum sesuai dengan yang diharapkan.

Komitmen Pemda terhadap Pendidikan

Komitmen Sistem Praksis

•Diputuskan secara partisipatif •Ditetapkan oleh Pemerintah Kota dan

DPRD

•Tertuang dalam berbagai produk perencanaan daerah

•Tercantum dalam Perda tentang makna, filosofi dan cita-cita lambang daerah

•Arah kebijakan pembangunan pendidikan •Disusun Master Plan Pendidikan •Penetapan kawasan learning centre

•Dibentuk Perda No. 4 Tahun 2009 tentang penyelenggaraan pendidikan.

(12)

regulasi pembentukan dan penataan organisasi pendidikan yang sesuai dengan jiwa dan semangat otonomi, dukungan pendanaan pendidikan, dan kebijakan-kebijakan lain yang menguntungkan perkembangan pendidikan. Merefleksi apa yang dilakukan Pemda tersebut, Pemda Kota Salatiga mempunyai komitmen membangun sistem pendidikan yang bernuansa otonomi, dengan berusaha mengimplementasikan paradigma baru pendidikan dalam UU Sisdiknas. Meskipun demikian, pada tingkat praksis, regulasi tersebut belum dapat dilaksanakan secara konsisten dan optimal, terkendala oleh sejumlah faktor, seperti keterbatasan PAD, kualitas SDM yang kurang memadai, dan pengisian SDM yang bukan berdasarkan prinsip the right man on the right place, dengan memperhatikan mindset yang bernuansa otonomi.

DAFTAR PUSTAKA

Bambang Suteng S. (2003). Menjadikan Salatiga kota pendidikan, bagaimana? Buletin Hati Beriman,1, 18-20.

Bappeda. (2008). Perencanaan masterplan pendidikan kota Salatiga. Semarang: Mitra Muda Rekayasa.

Depdiknas. (2002). Mengembangkan kebijakan pendidikan tingkat Kabupaten/Kota.

Field, J. (2010). Modal sosial. Bantul: Kreasi Wacana Offset.

Grootaert, C.& van Bastelaer, T. (2002). The role of social capital in development. New York: Cambridge University Press.

Hauberer, J. (2011). Social capital theory. Germany: Springer.

Jousairi Hasbullah. (2006). Social capital. Jakarta: Penerbit MR-United Press.

Nan Lin. (2004). Social capital. New York: Cambridge University Press.

Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 5 Tahun 2001, tentang Pembentukan Organisasi Dinas Daerah Kota Salatiga.

Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 1 Tahun 2002, tentang Rencana Strategis Pembangunan Kota Salatiga Tahun 2002 – 2006.

Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 8 Tahun 2004, tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kota Salatiga.

Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 4 Tahun 2007, tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Salatiga, Tahun 2007 – 2012.

Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 10 Tahun 2008, tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kota Salatiga. Peraturan Walikota Salatiga Nomor 17 Tahun 2006, tentang Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kota Salatiga.

Peraturan Walikota Salatiga Nomor 40 Tahun 2007, tentang Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kota Salatiga Tahun 2008.

Peraturan Walikota Salatiga Nomor 17 Tahun 2008, tentang Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kota Salatiga Tahun 2009

Peraturan Walikota Salatiga Nomor 42 Tahun 2009, tentang Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kota Salatiga Tahun 2010.

Peraturan Walikota Salatiga Nomor 12 Tahun 2010, tentang Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kota Salatiga Tahun 2011.

Rencana Strategis Bidang Pendidikan Kota Salatiga Tahun 2002 – 2006 Dinas Pendidikan Kota Salatiga

(13)

Sumarno. (2000). Menuju manajemen pendidikan berbasis sekolah. Pusat Studi Kebijakan Pendidikan Lembaga Penelitian UNY.

Suyata. (2011). Memanfaatkan dan mengembangkan modal budaya dan modal sosial di sekolah: pemetaan dan implikasinya. Makalah disampaikan dalam Workshop Strenght Based Leadership and Social Capital di program studi S3 IP, UNY.

Syafaruddin. (2002). Manajemen mutu terpadu dalam pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Syaiful Sagala.(2008). Budaya dan reinventing organisasi pendidikan. Bandung: Alfabeto.

Virna Mellani. et al. (2001). Otonomi daerah, studi persepsi masyarakat terhadap pelaksanaan otonomi daerah di Salatiga. Salatiga: Pusat Studi Pembangunan & Otonomi Daerah Program Pasca Sarjana UKSW.

Wasitohadi. (2003). Otonomi daerah bidang pendidikan di kota Salatiga (Profil, Problematika dan Strategi Mengatasinya). Tesis magister, tidak diterbitkan, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.

Gambar

Gambar 1. Dimensions of social capital
Gambar 2.
  Gambar 3. Masterplan Pendidikan Kota Salatiga
  Gambar 4. Komitmen Pemda Terhadap Pendidikan, Sistem dan Praksisnya

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Implementasi kebijakan pendidikan kewirausahaan di SKB Pacitan dilaksanakan mengacu kebijakan pemerintah pusat (UU, PP,

Menurut Slameto (2010: 2) belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil

Pengkajian kapasitas pengelola perpustakaan UK/UPT lingkup Badan Litbang Pertanian dalam aplikasi TIK dilakukan terhadap peserta pelatihan peningkatan kapasitas pengelola

Proses pengajaran yang terintegrasi akan menolong para siswa untuk mengembangkan keterampilan dalam mengekspresikan dan merealisasikannya dalam kehidupan nyata sehari-hari,

Hierarki dibuat dengan menggunakan 5 tingkat yaitu tingkat pertama yaitu fokus yang merupakan tujuan utama yaitu pengentasan kemiskinan di perdesaan melalui usaha budidaya

Berpijak pada beberapa pengertian di atas, maka yang dimaksud dengan implementasi manajemen kelas adalah suatu upaya guru dalam menerapkan sebuah pengelolaan

Perpustakaan dan arsip Daerah Kota Salatiga adalah salah satu lembaga Perpustakaan dan Arsip yang dikelola di bawah Pemda Kota Salatiga. Dalam menjalankan

Dalam konteks tersebut, menentukan pilihan hidup adalah hak bagi setiap orang, tidak mengenal jenis kelamin juga kasta dalam masyarakat.. Dengan kata lain, Telaga