• Tidak ada hasil yang ditemukan

M01663

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan " M01663"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

PROMOSI KESEHATAN MENTAL DAN PREVENSI GANGGUAN MENTAL PADA ANAK DAN REMAJA

Aloysius L.S. Soesilo

Fakultas Psikologi – UKSW Salatiga

ABSTRACT

Public health improvement can be seen as a continuum from health promotion dan ill health prevention to timely and appropriate clinical care. Good public health practice creates a community benefit. It is delivered in a social, cultural, and economic context that affects quality of life and health in general. Prmotion and prevention have to go hand in hand, and complement each other. Increasing problems of truancy, violence, substance abuse, teen pregnancy, sexually transmitted diseases, and other psychological and social problems among our students should be seen as an alarming sign of the seriousness of any promotion and prevention strategies. This articles attempts to raise awareness of the importance of an integrated and multifaceted approach to health promotion and mental health problem prevention.

Keywords: health, promotion, prevention, primary education

PENDAHULUAN

(2)

sanggup untuk bertindak meningkatkan kesejahteraan psikologis (psychological well-being) mereka dan mencegah kesejahteraan ini terpuruk oleh karena masalah dan tantangan kehidupan. Oleh karena itu, mencermati keadaan mereka, memahami bagaimana berkomunikasi dengan mereka, dan mengerti signifikansi dari apa yang mereka katakan dan perbuat serta bagaimana kita bertindak ketika pertolongan dibutuhkan adalah hal yang penting. Daripada melakukan intervensi setelah anak bermasalah lebih baik, perhatian dan upaya kita dicurahkan pada promosi dan prevensi. Implikasinya adalah jelas bahwa semua pihak berusaha menciptakan lingkungan di mana orang-orang muda ini dapat bertumbuh-kembang dan memperoleh pendidikan yang mendukung kesejahteraan hidup mereka.

Gangguan-gangguan mental pada anak dan remaja adalah hal yang umum terjadi. Banyak gangguan yang dialami pada masa dewasa bermula dari faktor-faktor resiko pada masa anak-anak. Maraknya banyak persoalan bertautan dengan emosi dan perilaku kelompok usia muda dewasa ini telah memberkan beban yang besar pada penderitaan semua pihak dan biaya penanganan yang besar, kalau masih beruntung mendapatkannya. Beban ini harus dikurangi dan perhatian serius harus diarahkan pada upaya-upaya promosi dan prevensi kesehatan baik fisik maupun mental.

(3)

PROMOSI KESEHATAN

Promosi kesehatan mental bertujuan untuk meningkatkan atau memperbaki kapasitas bagi kesehatan mental individu, keluarga, organisasi dan komunitas. Telah banyak dipahami orang bahwa makna sehat bukan sekedar tidak adanya gangguan atau penyakit. Kesehatan berpengaruh atas kapasitas orang untuk membentuk relasi interpersonal dan sosial, untuk berkomunikasi, berperasaan dan berpikir, untuk koping dengan kehilangan dan perubahan, hidup yang produktif dan sejahtera.

Menurut Mental Health Foundation di Amerika, (1999, dalam Dwivedi & Harper, 2004), anak yang sehat secara mental mempunyai kemampuan untuk

 Berkembang secara psikologis, emosional, kreatif, intelektual, dan spiritual

 Mengambil inisiatif, mengembangkan dan mempertahankan kelangsungan relasi personal yang memuaskan

 Memanfaatkan kesendirian (solitude) dan menikmatinya  Menjadi sadar akan orang lain dan berempati dengan mereka  Bermain dan belajar

 Mengembangkan rasa benar dan salah

 Menghadapi problem dan kemalangan serta belajar dari peristiwa-peristiwa ini, dalam cara-cara yang selaras dengan tingkat usia mereka (hal. 17)

(4)

belajar dan keprilakuan, perilaku beresiko, dan penelantaran serta kekerasan (abuse) (Dwipedi & Harper, 2004).

Di dalam model transasksional organisme dan interaksinya denganlingkungan, apa yang dialami oleh anak pada suatu waktu dalam kehidupannya bukanlah fungsi dari keadaan internal anak sendiri dan bukan pula sekedar kondisi lingkungan,melainkan dampak dari interaksi yang kompleks antara anak dan lingkungan. Baik pada diri individu sendiri dan lingkungan terdapat faktor-faktor resiko dan sekaligus faktor-faktor protektif atau resiliensi. Selanjutnya, faktor-faktor ini bisa menimbun efek kumulatif baik pada diri individu, keluarga, maupun lingkungan sekitarnya. Oleh sebab itu, inisiatif-inisiatif promosi perlu mencakup perhatian pada individu sendiri sehingga dia bisa memiliki kesanggupan untuk menghadapi kesulitannya, dan pada pihak lain, keterlibatan lingkungan, termasuk struktur-struktur yang memfasilitasi perencanaan dan pengambilan keputusan dalam pengadaan dan pelaksanaan layanan.

Literatur telah menunjukkan adanya garis penghubungan yang jelas antara ketidak-setaraan, ketidak-adilan, disintegrasi relasi sosial, dan merosotnya modal sosial dan kesejahteraan lahir dan batin dengan problem-problem kesehatan. Maka apabila kesehatan mental ditempatkan sebagai hal yang kunci dalam keseluruhan kesehatan komunitas (sekolah, lingkungan tempat tinggal sekitar, dan lingkup yang lebih luas), maka program-program promosi, termasuk membangun modal sosial, harus mendapatkan prioritas. Pemberdayaan dimaksudkan terumtama untuk memperbear kemungkingan-kemungkinan bagaimana orang dapat memiliki kendali atas hidupnya sendiri.

(5)

pada faktor-faktor resiko, dibandingkan dengan mereka yang tidak rentan. Dalam realitas, sering tidak mudah menentukan secara lebih spesifik faktor-faktor resiko apa yang memberikan kontribusi real dan ini benar untuk berbagai gangguan, bergantung pada tahap perkembangan anak juga.

PREVENSI

Ada tiga tahapan yang dikenal dalam prevensi yang awalnya dikemukakan oleh Leavell dn Clark pada tahun 1950s (Dwivedi & Harper, 2010), yakni primer, sekunder dan tersier. Leavell dan Clark mendeskripsikan prensi primer sebagai measures applicable to a particular disease or group of diseases in order to

intercept the causes of disease before they involve man in the form of specific

immunization, attention to personal hygiene, use of environmental sanitation,

protection against accupational hazards, protecttion from accidents, use of specific

nutrients, protection from carcinogens, and avoidance of allergens (dalam Cohen & Chehimi, 2007, p. 5).

(6)

Prevensi sekunder terdiri dari seperangkat pengukuran yang digunakan untuk deteksi dini dan intervensi segera guna mengontrol suatu problem atau penyakit dan meminimalkan konsekuensi ang terjadi. Prevensi sekunder ini berupaya menurunkan angka gangguan dalam populasi. Sedangkan prevensi tersier menurunkan derajat disabilitas karena adanya gangguan tertentu, berfokus pada reduksi lebih lanjut komplikasi yang berkembang dari suatu penyakit atau problem, melalui tritmen dan rehabilitasi. Dalam perkembangan selanjutnya Gordon (1987) mengajukan nomenklatur yang lain dalam intervensi preventif sebagai berikut: universal, selektif, dan terindikasi. Bagan berikut bisa membantu kita untuk melihat keseluruhan spektruk intervensi:

 Prevensi : universal, selektif, terindikasi

 Tritmen: identifikasi kasus; tritmen standar untuk gangguan-gangguan yang diketahui

 Maintenance : pelaksanaan tritmen jangka panjang (reduksi relaps); after care (rehabilitasi)

Untuk kejelasannya, penggunaan kata ‘prevensi’ hanya untuk intervensi -intervensi yang dilakukan sebelum awal terjadi suatu gangguan (initial onset). Intervensi preventif universal (misalnya, prenatal care untuk semua ibu baru) ditargetkan pada publik umum atau keseluruhan kelompok populasi. Prevensi selektif (contohnya, kunjungan rumah day care untuk bayi yang mempunyai berat badan di bawah normal saat lahir) ditargetkan untuk individu-individu atau sub-kelompok yang mempunyai resiko lebih tinggi dari sub-kelompok lainnya untuk mengalami gangguan. Yang terakhir, intervensi preventif terindikasi (contohnya, program pelatihan menenai interaksi orangtua-anak untuk anak-anak berkebutuhan khusus) ditargetkan untuk individu dengan resiko tinggi dengan penanda (marker) biologis yang tidak memenuhi kriteria diagnostik formal dan karena itu merupakan kasus-kasus sub-klinis.

(7)

selektif secara tipikal difokuskan pada anak dan remaja yang mulai memperlihatkan peningkatan resiko untuk mengalami problem kesehatan mental sebagai akibat dari terpaparnya mereka pada faktor-faktor resiko yang diketahui. Sedangkan program prevensi terindikasi menargetkan anak dan remaja yang memperlihatkan simptom-simptom awal problem/gangguan kesehatan mental (Sawyer, dkk., 2010).

Setiap upaya serius untuk mereduksi problem/kesulitan keprilakuan harus memprioritaskan usaha-usaha preventif dengan kelompok yang menunjukkan “tanda-tanda peringatan” (warning signs) tentang perilaku problematik. Tujuan (goals) harus mencakup baik promosi dampak perkembangan yang positif dan prevensi kesulitan/gangguan, melalui pengembangan apa yang oleh Greenberg dan Weissberg (2001, dalam Poulou, 2005) disebut mediator kompetensi (competency mediators). Kompotensi ini dimaksudkan sebagai mediator dalam intervensi, misalnya, pengenalan-diri yang efektif sebagai mediator bagi perilaku oposisional. Setiap definisi tentang kompetensi harus mencakup elemen-elemen ketrampilan seperti kesadaran-diri (self-awareness), kontrol impulsivitas, kooperasi (bekerja bersama) serta caring pada diri dan orang lain (Elias, Hoover & Poedubicky, 1997, dalam Poulou, 2005).

(8)

keprilakuan. Dari sudut pandang guru, ketrampilan yang dianggap penting adalah sebagai berikut:

Ketrampilan emosional:

1. Mengenali dan mengidentifikasikan emosi 2. Ekspresi emosi

3. Asesmen intensitas emosi 4. Manipulasi emosi

5. Kontrol atas ketidaksabaran 6. Kontrol atas impulsivitas 7. Reduksi kecemasan

8. Pengakuan akan adanya perbedaan antara emosi dan tindakan

Ketrampilan kognitif:

1. Dialog dengan diri sendiri (internal monologue)

2. Persepsi dan interpretasi mengenai tanda-tanda sosial (pengertian mengenai efek pengaruh sosial atas perilaku

3. Menggunakan tahap-tahap pemecahan masalah 4. Memahami pandangan orang lain

5. Memahami aturan-aturan yang menyangkut perilaku 6. Mengadopsi perilaku positif dan asertif dalam kehidupan 7. Mengembangkan kesadaran-diri (self-awareness)

Ketrampilan keprilakuan – Komunikasi efektif

1. Ketrampilan non-verbal (kontak mata, ekspresi fasial, gestur, suara) 2. Ketrampilan verbal (mengekspresikan keinginan, mendengarkan

dengan hati-hati, melindungi diri terhadap pengaruh negatif, menolong orang lain, berpartisipasi dalam kelompok) (Sumber: Poulou, 2005, hal. 44)

(9)

yang diakibatkan oleh hilangnya produktivitas dan pembiayaan untuk disabilitas, kompensasi bagi pekerja, aau corak-corak jaminan sosial lainnya.

Strategi prevensi yang efektif haruslah tanggap terhadap tantangan-tantangan seperti telah dikemukakan di atas, dan menargetkan tidak hanya perilaku kesehatan perseorangan tetapi juga lingkungan di mana perilaku tersebut terjadi. Fokus yang terbatas pada perubahan perilaku personal pada akhirnya akan menggagalkan kita sebagai masyarakat karena fokus yang sempit juga mempersempit kemungkinan-kemungkinan solusi secara tidak tepat. Harus ada pergeseran dari fokus pada program dengan skopa sempit dan jangka pendek ke fokus yang berjangkauan luas dan jangka panjang. Oleh karena itu, lingkungan tidak sekedar persoalan air dan udara bersih, melainkan konteks sosial dan environmental di mana gerak kehidupan seharian terjadi. Maka tidaklah berlebihan bila kita berharap bahwa orang akan mengubah perilakunya dengan mudah ketika begitu banyak kekuatan-kekuatan dalam lingkungan fisik, sosial dan budaya bergerak bersama mendukung perubahan (faktor-faktopr protektif). Sebaliknya sangat tidak beralasan kita berharap orang berubah, apabila kekuatan-kekuatan ini berkonspirasi melawan perubahan (faktor-faktor resiko).

Spectrum of Prevention

(10)

The Spectrum of Prevention menawarkan suatu kerangka-kerja yang sistematik untuk mengembangkan program-program prevensi primer yang efektif dan sustainable (lihat Bagan 1)

Bagan 1. The Spectrum of Prevention (Sumber; Cohen & Chehimi, 2005)

Enam tahapan atau aras dalam program ini memungkinkan kita untuk beroperasi lebih dari sekedar pendekatan penyebaran brosur dengan merumuskan berbagai area di mana prevensi bisa diimplementasikan. Setiap tahap dalam prgoram ini bersifat saling menunjang atau saling melengkapi. Apabila digunakan bersamaan, masing-masing tahap menguatkan yang lainnya, mengarah kepada efektivitas yang lebih besar.

Aras pertama, “Memperkuat pengetahuan dan ketrampilan perorangan”, menekankan peningkatan skills individual yang esensila dalam perilaku kesehatan. Berbagai layanan yang tengah dilaksanakan oleh pemerintah atau swasta merupakan satu kesempatan yang umum untuk pengembangan skills ini, misalnya memberikan ASI untuk ibu baru, dukungan sosial sebelum dan sesudah anak dilahirkan agar pemberian ASI bisa dilakukan dan dijaga kelangsungannya.

Aras kedua, “Mempromosikan edukasi komunitas,” berupaya menjangkau omasyarakat dengan informasi dan sumber-sumber yang tersedia untuk mempromosikan kesehatan dan keselamatan mereka. Secara tipikal, pendidikan

THE SPECTRUM OF PREVENTION

Mempengaruhi policy dan legislasi

Mengubah praktek-praktek kelembagaan/organisasi

Mengembangkan koalisi dan jejaring kerja

Mengedukasi penyedia layanan

Mempromosikan edukasi komunitas

(11)

kesehatan banyak berfokus pada pengadaan brosur, penyelenggaraan seminar atau forum sejenis. Memang kegiatan-kegiatan semacam ini membuat orang terpapar atau membuka akses pada informasi penting, namun seringkali tidak selalu memberikan dampak yang besar. Pada era sekarang media massa juga menjadi sumber utama untuk edukasi bagi setiap orang.

Aras ketiga, “Edukasi penyedia layanan”, menekankan peranan penting yang dimainkan oleh kelompok sebagai sumer yang dipercaya, sebagai kelompok inti dalam strategi prevensi. Guru dan pejabat layanan kesehatan masyarakat sering diidentifikasikan sebagai kelompok kunci untuk mendisiminasikan informasi dan metode baru. Namun, pengertian mengenai kelompok kunci ini perlu diperluas daripada sekedar pelayan kesehatan dan guru, karena kelompok ini bisa dibangun dari berbagai unsur dalam masyarakat, dari pemuka adat, pemimpin agama, kalangan bisnis, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, dsb.

Aras keemapt, “Membangun/mengembangkan koalisi dan jejaring kerja,” berfokus pada kolaborasi dan organisasi komunitas. Melalui pendekatan kolaboratif, akan membawa bersama berbagai partisipan untuk menjamin keberhasilan program dan meningkatkan “critical mass” di balik upaya-upaya komunitas/masyarakat. Kolaborasi bukan merupakan tujuan itu sendiri, melainkan sarana untuk mencapai tujuan. Seringkali cara yang terbaik untuk menjamin strategi yang komprehensif adaalah membangun koaliasi dengan berbagai pihak dengan latar belakang yang majemuk. Kolaborasi bisa dibangun pada berbagai tingkatan, dari akar rumput hingga kelembagaan.

(12)

Aras yang keenam dan terakhir adalah “Mempengaruhi kebijakan dan legislasi.” Kebijakan (policy) dapat dipandang sebagai seperangkat aturan yang menjadi penuntun atau pedoman bagi aktivitas pemerintah maupun non-pemerintah. Dengan begitu, kebijakan menentukan fondasi atau kerangka kerja bagi tindakan. Dengan memandatkan apa yang diharapkan atau dipersyaratkan, maka kebijakan yang baik akan mempengaruhi rentang luas perilaku dan perubahannya dalam skala masyarakat luas yang pada gilirannya menjadi norma sosial. Walaupun kebijakan sering dimengerti sebagai berasal dari negara atau pemerintah, namun kebijakan prevensi yang efektif dapat saja dikembangkan pada level komunitas atau lokal yang kemudian dapat diintegrasikan dengan kebijakan yang lainnya.

Pendidikan Life Skills Melalui Sekolah

Ilustrasi lain di samping model The Spectrum of Prevention adalah Life Skills Education Program yang dikembangkan oleh WHO pada tahun 1997, dan mengarah pada kompetensi psikososial anak-anak dan remaja dan bisa diselenggarakan dalam berbagai setting, termasuk sekolah. Data menunjukkan bahwa program menghasilkan berbagai perbaikan dalam relasi guru-siswa, kesehatan dan kesejahteraan, prestasi akademik, kehadiran sekolah, relasi – orangtua-anak, kepercayaan-diri, harga-diri, prevensi perundungan (bullying) dan problem perilaku, penyalahgunaan substansi, kehamilan remaja, HIV/AIDS, dsb. (Coley & Dwivedi, 2004). LSEP ini merupakan program yang fleksibel yang didasarkan pada seperangkat prinsip yang bisa disesuaikan dengan keadaan dan waktu.

(13)

seperti pengambilan keputusan dan pemecahan masalah, berpikir kreatif dan kritis, komunikasi dan relasi interpersonal, kesadaran-diri (self-awareness) dan empati, hingga koping dengan emosi dan stressor. Muatan program ini direncanakan diberikan pada tiga tahap. Tahap pertama berisi pengajaran komponen-komponen dasar mengenai life skills, dipraktekkan dalam hubungannya dengan situasi-situasi kehidupanan sehari-hari. Pada tahap kedua, fokus diberikan pada aplikasi life skills pada tema-tema yang berkaitan dengan berbagai problema kesehatan dan sosial. Pada tahap ketiga, ada aplikasi life skills dalam hubungan dengan situasi-situasi beresiko spesifik yang dapat berpengaruh pada kesehatan dan problem kesehatan dan sosial. Kekuatan dari program ini adalah fleksibilitas dalam implementasinya. Program ini juga bisa diaplikasikan dalam kurikulum ekstra kurikular (misalnya, inisiatif promosi kesehatan mental) ataupun terintegrasi dalam kurikulum (misalnya sebagai pelajaran pendidikan personal, sosial dan kesehatan (PSHE) dan/atau dileburkan sebagai bagian dari suatu mata pelajaran (misalnya, ketrampilan berkomunikasi sebagai bagian pelajaran bahasa).

Yang amat penting dalam program ini adalah kegiatan latihan dalam kelompok yang sifatnya eksperiensial dengan mempertimbangkan cara-cara untuk lebih lanjut mengembangkan dan mengimplementasikan masing-masing topik dalam kehidupan sekolah. Dalam pengembangan program dari sisi konten dan metode, para ahli dalam bidang yang dipandang relevan bisa dilibatkan untuk menyusun program. Dukungan dan konsultasi dengan para ahli di luar sekolah tetap bisa dijaga selama dan sesudah pelatihan berakhir. Mekanisme semacam ini akan mendorong dan menyemangati para guru untuk lebih lanjut mengembangkan life skills di dalam kelas mereka, dan dalam sekolah secara keseluruhan.

(14)

apabila si remaja menjadi hamil atau kecanduan narkoba atau terlibat dalam tindak kriminal, dia tidak bisa mengikuti remedy dalam satu tahun seperti anak yang gagal matematika. Pengalaman semacam ini tentunya akan menimbulkan dampak yang bertahan lama pada anak, keluarga, dan sekolah.

Semua yang bekerja bersama anak dalam profesinya menyadari bahwa banyak anak yang bersekolah, dari jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi bahkan, kurang memiliki life skills. Ketergantungan/kecanduan pada games dan telepon selular mencerminkan relasi interpersonal yang tidak berkembang. Di rumah, anak mendapatkan perhatian dari orangtua justru hanya ketika anak berulah, dan apabila dia duduk tenang manis dengan HP atau komputernya, dia tidak mendapatkan perhatian dari orangtua. Inilah contoh kecil dari sedemikian banyak hal yang dari awalnya anak memang tidak mendapatkan peluang untuk memperoleh life (social) skills. Dengan begitu, intervensi promotif danpreventif serta peluang pada tingkat pendidikan prasekolah dan dasar dapat mememberikan pengaruh pad aperkembangan emosional dan kesejahteraan mental mereka. Intervensi dini bersifat krusial bagi keberhasilan pengembangan dan pembentukan kompetensi sosial yang efektif. Apabila anak sebagai pembelajar memandang dirinya sebagai mampu berhasil dalam menyelesai tugas yang dihadapi, maka dia memiliki peluanglebih besar dalam menguasai ketrampilan, dan keberhasilan ini juga akan meluas pada ketrampilan-ketrampilan yang dia butuhkan untuk menjadi insan yang dia cita-citakan. Aktualisasi diri mendekatkan diri yang real (real self) kepada diri ideal (ideal self), dan ini amat bergantung pada dimilikinya harga-diri dan akuisisi life skills (Coley & Dwivedi, 2004).

(15)

Orangtua perlu terlibat dan komunikasi dengan orangtua hendaknya mencakup life skills yang juga dilakukan di sekolah. Keterlibatan orangtua bisa berarti dukungan bagi guru dan kedua pihak bisa berbagi strategi untuk koping dengan stres, kesehatan, dan kebutuhan serta persoalan yang aktual dan yang potensial. Apabila anak merasakan bahwa sekolah memperhatikan isu dan persoalan yang mereka anggap penting di dalam kehidupan mereka, atau dalam kehidupan teman-teman mereka, maka sekolah menjadi bagian yang relevan dari hidup mereka, sebagai bagian penting yang dirasakan memberikan kontriobusi berarti bagi hidup mereka. Perasaan begini akan mereduksi perilaku membolos dan ketidak-pedulian antar teman dan terhadap nilai pendidikan.

KESIMPULAN

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Dwivedi, K.N., & Harper, P.B. (2004). Promoting the emotional well-being of children and adolescent and preventing their mental ill health. London: Jessica Kingsley.

Cohen, L., & Chehimi, S. (2007). Beyond brochures – The imperative for primary prevention. Dalam L. Cohen, V. Chavez, & S Chehimi (Eds.), Prevention is primary: Strategies for community well-being (pp. 3-24). San Francisco, CA: Jossey-Bass.

Coley, J., & Dwivedi, K.N. (2004). Life skills education through schools. Dalam K.N. Dwivedi & P.B. Harper (Eds.), Promoting the emotional well-being of children and adolescent and preventing their mental ill health (pp. 132-148). London: Jessica Kingsley.

Poulou, M. (2005). The prevention of emotional and behavioral difficulties in schools: Teachers’ suggestions. Educational psychology in practice, 21, 37-52.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Calculator dalam Aspen dapat digunakan untuk melakukan perhitungan sesuai dengan keinginan kita, misalnya mengubah satuan atau menghitung besaran- besaran yang belum

Apakah KEHORMATAN, KELUHURAN MARTABAT, SERTA PERILAKU HAKIM satu frasa sehingga diartikan menjadi satu kesatuan, atau makna yang terpisah satu sama lain sehingga harus diartikan

 sifat-sifat semen dental seperti strength, solubility, dan ketahanan terhadap kondisi mulut kurang baik jika dibandingkan dengan bahan restorasi lain seperti amalgam, komposit

Ebook ini akan mengingatkan dan membantu pemahaman Anda dalam bentuk soal Bahasa Indonesia, sehingga Anda dapat lebih mudah dalam menjawab soal-soal

5. menyelenggarakan kegiatan ketatausahaan. Dinas Pendidikan Kabupaten Kulon Progo terbagi menjadi dua Unit Kerja.Unit I beralamat di Jl. Unit I terdiri dari: Kantor

Latar belakang dari permasalahan ini yaitu dengan melihat dari tugas dan fungsi yang diemban oleh setiap individu dalam organisasi maka dituntut kinerja yang

KAJIAN POLA PERILAKU DAN PEMANFAATAN RUANG PUBLIK DI KAMPUNG TEPI SUNGAI WINONGO.. KASUS STUDI : KAMPUNG SERANGAN, GENDINGAN DAN TEJOKUSUMAN

Hasil dan kesimpulan dari penelitian ini adalah pembangunan BIJB merupakan suatu kebijakan pemerintah dalam upaya peningkatan sarana transportasi udara serta