• Tidak ada hasil yang ditemukan

J00881

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan " J00881"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

MEMBANGUN MODEL PERPOLISIAN HUMANIS BERDASARKAN

REFLEKSI PEMIKIRAN

O. NOTOHAMIDJOJO

Oleh :

C. Maya Indah S.,dan Teguh Prasetyo.

Abstrac :

Humanist paradigm of law is the result of philosophical reflection thought of O.Notohamidjojo.The most essential purpose of law is to maintain that humans are treated as human beings.Policing humanists will accommodate people seeking justice in gaining acces to justice and fair treatment. Reality investigation shows that the model of policing still showing the form that is less humane , because less attenton to aspects of the protection of human rights offenders and protections of victims. The above perspective raises important aspect of accountability for criminal justice that has consequences for the controllability and responsivenss of the police institution towards more human policing. Reform the legal culture of police is a way to realize the humanistic policing.Civilian police use conscience , willl be a figure police humanist.

Keywords : Humanism, police, thinking of O.Notohamidjojo.

PENDAHULUAN

Model perpolisian humanis bermuara pada akuntabilitas Polisi dalam sistem peradilan. Model perpolisian humanis ini penting dalam pengembangan reformasi peradilan sebagai suatu kebijakan hukum pidana dalam lapangan pembangunan birokrasi hukum untuk memastikan keadilan dan perlindungan masyarakat.

Reformasi Polisi sekarang ini mengakomodasi. seperangkat nilai yang bersifat demokratis dan humanis. Tatanan hukum ini dikembalikan kepada sumbernya yaitu manusia rakyat, sehingga dengan demikian kepentingan dan orientasi kepada rakyat menjadi sasaran utama bagi tujuan perpolisian, serta menghendaki pelaksanaan hukum yang dilandasai oleh keadilan dan kemanusiaan.

Keprihatinan peneliti dalam mempersoalkan perlunya model perpolisian humanis, karena beberapa hal, antara lain :

1. Bagaimanakah mind set polisi selama ini. Apakah menempatkan diri sebagai penguasa keadilan dan bukan pelayan keadilan?

2. Bagaimanakah acces to justice and fair treatment bagi perlindungan hak asasi pelaku tindak pidana ataupun korban tindak pidana?

3. Mengapa masyarakat kurang memiliki kepercayaan pada Polisi.

(2)

hukum bukan untuk melayani dirinya sendiri, melainkan demi melayani keadilan, tata dan damai, dengan tujuan memanusiakan manusia dalam masyarakat (O.Notohamidjojo, 1975 : 72). Walaupun pemikiran O.Notohamidjojo tidak dikhususkan bagi Polisi, namun kajian filsafati O.Notohamidjojo merupakan ide dasar yang melandasi bekerjanya hukum termasuk para penegak hukum yang diistilahkan oleh O.Notohamidjojo sebagai penggembala hukum. Dalam konstelasi positivisme hukum, maka hukum melayani dirinya sendiri dengan semata menekankan pada aspek formal dan bukan pada hakekat hukum yakni keadilan dan kemanusiaan. Kekakuan, dogmatisme dan keterpisahan hukum dari moral, bisa mengakibatkan hukum terdegradasi dari perannya menjadi mesin yang tidak bernurani. Hukum kehilangan esensinya sebagai penjaga dan pembela kemanusiaan.

Masyarakat pencari keadilan dimungkinkan teralienasi dalam proses pencarian kebenaran oleh Polisi. Perlu direfleksi faktor-faktor yang melingkupi penegakan hukum oleh Polisi, yang memungkinkan munculnya celah bagi pendegradasian kemanusiaan. Walaupun proses hukum berjalan, tetapi belum tentu menandakan telah diakomodasinya keadilan dan kemanusiaan bagi pencari keadilan. Disinilah pentingnya membangun model perpolisian melalui perspektif yang lebih humanistik dan populis.

RUMUSAN MASALAH :

1. Mengapa perpolisian humanis perlu dibangun?

2. Bagaimana upaya membangun perpolisian humanis berdasarkan refleksi pemikiran O.Notohamidjojo ?

METODE PENELITIAN

1. Paradigma Penelitian

Penelitian ini adalah legal research, dengan pendekatan socio legal. Cara kerja dalam penelitian ini adalah sesuai paradigma alamiah (naturalistic paradigm). (Muhajir, 1996: 136-138). Melihat sifat realitas sebagai realitas yang bersifat ganda, hasil konstruksi dalam pengertian holistik, serta tidak bebas nilai. Dalam metode penelitian ini akan lebih dipentingkan interpretative understanding dengan metode verstehen terhadap berbagai fenomena yang berpengaruh pada pencapaian perpolisian humanis.

Paradigma yang digunakan adalah paradigma kualitatif. Melalui paradigma penelitian kualitatif ini akan didapat deskripsi luas dan berlandasan kokoh untuk memuat penjelasan tentang proses-proses yang terjadi dalam menggali makna gejala perilaku dari Polisi menuju cara berhukum humanis.

Kajian tersebut di atas akan mencakup suatu aspek ontologis, epistemologi, metodologi dan aksiologi yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yaitu :

- Aspek ontologis: Realitas humanisme dalam penyidikan dimaknai sebagai suatu hasil konstruksi sosial. Konstruksi sosial ini terbentuk karena adanya “intersubjektif meaning” cakrawala pandang Polisi terhadap humanisme secara hermeneutik dan dialektikal dengan masyarakat pencari keadilan sebagai suatu totalitas.

(3)

dogmatis dan memandang bahwa praktek perpolisian merupakan suatu konstelasi yang tidak bebas nilai.

- Aspek metodologi akan bersifat hermeneutikal /dialektikal antara informan yang terlibat dalam pemaknaan perpolisian humanis dengan mengkaji keseluruhan fenomena sosial ataupun hukum yang melatarbelakanginya.

- Aspek Aksiologi : Temuan fakta akan diarahkan pada keberpihakan peneliti pada nilai kemanusiaan atau memanusiakan manusia sebagaimana ide dasar yang diambil dari pemikiran O.Notohamidjojo.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Kota Salatiga dan Kota Semarang.

3. Jangka waktu penelitian :

Februari 2012 sampai Nopember 2012

4. Penentuan Responden

Responden diambil secara purposive dari para pencari keadilan yang berhadapan dengan Polisi di wilayah Polda Jateng, yakni :

- Pelaku tindak pidana /tersangka/terpidana yang ada di Rutan Salatiga. - Korban atau LSM Pendamping Korban.

- Advokat/penasehat hukum yang berasal dari LSM.

Melalui Lembaga Sosial Masyarakat dikaji pengalaman maupun perhatian LSM pada kinerja Polisi. LSM yang dipilih adalah LBH Semarang, LRC KJHAM, Central Java Police Watch.

Polisi : (Polda Jateng maupun Polres Salatiga), dikaji program birokrasi Polisi yang relevan dengan ide membangun perpolisian humanis pada aras wilayah Polda Jateng dan Polres Salatiga khususnya dalam menggambarkan perpolisian humanis. Key informan diperoleh dari satuan-satuan kerja yakni : Humas, Polmas, Bina Program, reserse kriminal.

5. Jenis/ Sumber Data.

Pengumpulan data diperoleh dari data primer maupun data sekunder. Data primer diperoleh dari responden, dan data sekunder diperoleh dari berbagai dokumen, kebijakan-kebijakan instansional Polisi.

6. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data peneliti dilakukan melalui teknik wawancara mendalam (depth interview).

7. Teknik Pengecekan Keabsahan Data

(4)

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

Menurut O.Notohamidjojo, Hukum ialah komplex peraturan yang tertulis dan tidak tertulis yang bersifat memaksa bagi kelakukan manusia dalam masyarakat, yang berlaku dalam berjenis lingkungaan hidup dan masyarakat-negara (antar negara) yang mengarah kepada keadilan, demi tata serta damai, dengan tujuan memanusiakan manusia dalam masyarakat.

Keadilan sendiri adalah suatu konsep yang dinamis, senantiasa berubah. Tujuan hukum untuk mendatangkan tata dan damai dalam masyarakat merupakan segi regular sebagai tujuan hukum yang lahiriah. Tujuan hukum lebih mantap apabila tidak hanya tercantum segi regular ini, namun juga segi keadilan, justitia. Dari segi regular ke segi justitia makin didalami esensia tujuan hukum. Tegas dinyatakan oleh O.Notohamidjojo bahwa tujuan hukum yang paling dalam dan paling esensiil ialah menjaga supaya manusia diperlakukan sebagai manusia…Memanusiakan manusia dalam segala hakekat dan relasinya merupakan tujuan yang terakhir dan yang paling mulia bagi hukum O.Notohamidjojo, 1975 : 89-90).

Artinya, institusi hukum tidak menjadi sesuatu yang dogmatis dan tertutup kepada pencerahan demi harkat dan martabat kemanusiaan itu sendiri. Singkatnya, cara berhukum yang humanis akan lebih memiliki karakter yang “openmindednes” yang memungkinkan karakter manusia menjalankan dialog dengan dunia, sesama dan Tuhan dalam penjiwaan hukum itu.

Titik berat O.Notohamidjojo pada manusia karena O.Notohamidjojo beranggapan bahwa apapun kajian seperti tujuan pendidikan, hukum, politik, dan sebagainya ditentukan oleh pandangan seseorang tentang manusia. Pandangan seseorang tentang manusia mendasari segala sikap dan tingkah lakunya. Pandangan manusia /antropologi itu motif dasar yang menentukan ideologi dan perbuatan politik, cita-cita dan tindakan sosial, ekonomi, dan kebudayaan, dan menentukan pula semua kerja kita di perguruan tinggi di bidang ilmu, pendidikan, pembinaan dan pelayanan. Jadi, kearifan manusia dalam memperlakukan hukum merupakan entry point penting.

Hati nurani ini bahkan dinyatakan oleh O.Notohamidjojo sebagai salah satu ukuran untuk taat atau melawan hukum positif. (O.Notohamidjojo, 1975 : 81). Tegas disampaikan oleh O.Notohamidjojo bahwa hukum itu tergantung pada sebuah keputusan budi nurani. Inilah karakter humanis yang berpedoman bahwa pemberlakukan hukum memerlukan suatu kesadaran diri dan hati nurani manusia.

(5)

Visi dan misi Kepolisian RI dapat dikaji dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam Pasal 4 dinyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi HAM. Dalam Pasal 5 ayat (1) bahwa Polisi disebut sebagai alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

Adapun tugas POLRI dinyatakan pada Pasal 13 bahwa Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah :

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. Menegakkan hukum;

c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Dalam KUHAP, Polisi memiliki tugas sebagai penyelidik dan penyidik. Penyelidik artinya orang yang melakukan penyelidikan. Penyelidikan berarti serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan sesuai dengan cara yang diatur oleh KUHAP (Pasal 1 butir 5). Sedangkan Penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan penyidikan. Oleh karena itu penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.

Dalam konteks pengukuhan humanisme yang menunjang akuntabilitas Polisi, maka perlu ditegaskan dan didiseminasikan sebagai nilai dalam korps Kepolisian hasil Symposium On The Role of The Police In The Protection of Human Rights 1990 di Den Haag yang merekomendasi supaya Polisi mengutamakan “The Police were a part of and not separate from the community and than the mayority of policemen’s time was spent on service oriented task rather than on law enforcement duties. “(WarsitoHadi,2005: 173).

Dengan demikian, dalam penelitian ini dielaborasi bagaimana Polisi merealisasikan aspek humanisme dalam melakukan pekerjaannya khususnya dalam penanggulangan kejahatan. Baik melalui penyidikan sebagai sarana represif maupun upaya Polisi dalam membangun citra birokrasi humanis. Hal ini akan dikaitkan dengan keseluruhan konteks pembangunan masyarakat yang demokratis dan penghormatan hak asasi manusia.

Berdasarkan hasil penelitian dapat diperoleh deskripsi mengenai kinerja perpolisian dari sudut pencari keadilan maupun dari sudut polisi itu sendiri.

I. Masyarakat pencari keadilan : LSM dan / korban, dan tersangka :

a. Proses intimidasi sewaktu proses penyidikanmasih mewarnai kinerja perpolisian. b. Polisi sangat bersifat dogmatis dan positivistic, semata menerapkan

(6)

diskresi dengan tetap mengedepankan hak-asasi manusia dan konteks keadilan masyarakat.

c. Dalam pelayanan kepada masyarakat, polisi masih mengedepankan pemikiran dogmatis. Misalnya polisi menolak memberikan salinan BAP Korban kepada korban dengan alasan tidak ada kewajiban polisi menyerahkan salinan BAP kepada korban. d. Dalam beberapa pendampingan hukum, hukum seringkali diterapkan secara tajam

bagi masyarakat bawah, namun tumpul apabila berhadapan dengan masyarakat kelas atas atau memiliki status social ekonomi yang tinggi.

e. Integritas sebagian Polisi masih dipertanyakan misalnya dengan penanganan kasus yang berlarut-larut.

f. Penyelesaian kasus tindak pidana kekerasan terhadap perempuan dan anak sering dilakukan dengan cara kompromistis antara pelaku dengan penegak hukum, dengan melalaikan hak korban untuk didengar pendapatnya

g. Polisi melakukan penjeratan pasal yang tidak sesuai dengan fakta hukum yang ada, supaya dapat dipaksakan model penyelesaian secara perdamaian. Yakni seharusnya delik biasa menjadi delik aduan yang bisa dicabut dan masuk kategori tindak pidana ringan saja.

2. Polisi

Menurut Polisi, Polisi humanis adalah Polisi yang tidak arogan, menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia, tidak melakukan kekerasan. Polisi humanis juga diartikan sebagai Polisi yang murah senyum, tidak arogan dan simpatik.

Menurut Polda Jateng, sudah ada pelaksanakan Rencana strategis tahun 2010 -2012 ini antara lain dengan beberapa program, yakni:

- penuntasan kasus menonjol

- program khusus untuk memantapkan kemitraan dengan masyarakat (tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, dll).

- perubahan mind set/culture set guna perubahan perilaku melalui pelatihan-pelatihan, kampanye/promosi integritas melalui banner, maupun program terobosan kreatif yang diserahkan pada masing-masing satuan kerja.

- penekanan pada transparansi dan akuntabilitas - penataan sumberdaya manusia /assesment individu. - penataan mekanisme pengawasan.

- pembinaan perubahan perilaku.

- mewujudkan pelayanan prima dengan prinsip justice for all, keadilan bagi korban/restorative justice, dengan model penyelesaian secara ADR (alternative dispute resolution) pada tindak pidana tipiring ataupun delik-delik aduan.Contoh di aras Polres ada program berteman.

(7)

- pada kinerja penyidik /reserse diprogramkan transparansi penyidikan yakni dengan profesionalisasi penyidikan, proporsional, objektif dan transparan, penyerahan SP2HP (Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan) yaitu dengan pelaporan kepada pelapor tentang tahapan proses penyidikan sejak penilaian laporan sampai dengan penyerahan berkas perkara. Atau apabila ada SP3. Penyidik juga memberikan contact person kepada pelapor/saksi dalam rangka kelancaran komunikasi untuk mengetahui perkembangan sidik perkara. Dilakukan pula upaya memberdayakan pengawasan penyidikan dalam rangka pengendalian penyidikan dan pengawasan pemberian SP2HP sesuai tahapan.

- program “Neuro associative conditioning yakni dengan pelatihan perubahan

mind set (semacam ESQ).

- penataan Polmas Desa.Polmas sebagai wadah ADR(alternative dispute resolution) dengan syarat mengutamakan kepentingan korban dan menggali kearifan lokal (penggalian mekanisme sosial masyarakat) dan diawasi pelaksanaan Polmas supaya tidak disalahgunakan (int egritas polmas).

- peningkatan kualitas penyidik juga dilakukan oleh Polda dengan cara :

 Melakukan pendidikan kejuruan reserse bagi penyidik dan penyidik pembantu.  pelatihan perubahan mind set dan culture set (Pelatihan Out bound, pelatihan NAC).  Penerbitan SP2HP setiap penyidik pembantu yang melakukan penyidikan wajib

membuat dan mengirimkan SP2HP kepada pelapor atau korban.

 Penyidik membuat lapju penyidikan secara periodic yaitu laporan kemajuan penyidikan kasus yang ditangani

 penyidik wajib melakukan gelar perkara. Penyidik Polda memiliki PIN pelayanan prima anti KKN dan kekerasan untuk mengingatkan anggota dalam melaksanakan tugas tidak melakukan penyimpangan dan tidak melakukan kekerasan kepada tersangka.

 Pemberlakuan SOP /Standar operasional prosedur. Apabila ada pelanggaran SOP akan dikenakan sanksi mielalui sidang kode etik profesi Profesi Polri, sesuai dengan tingkat kesalahannya.

Berdasarkan elaborasi dari refleksi pemikiran O.Notohamidjojo tersebut di atas, maka daat dikemukakan analisis terhadap rumusan masalah yang dikaitkan dengan hasil penelitian dan kerangka teoretik yang ada.

1. Perpolisian dengan cara berhukum humanis merupakan suatu kebutuhan hukum.

Berdasar hasil penelitian, dapat diketemukan adanya praktek-praktek adanya kerawanan-kerawanan ketidakhumanisnya Polisi, yakni dengan gejala-gejala sosial sebagai berikut :

a. Polisi melakukan kekerasan dalam penyidikan.

b. Polisi melakukan ketidakprofesionalan dalam penyidikan, dan semata-mata mencari pengakuan tersangka.

c. Polisi diduga menerima suap (pólice corruption).

d. Polisi yang berlarut-larut menangani penyidikan suatu perkara dengan tidak ada kejelasannya,

(8)

mewadahi kepentingan dan hak korban, namun pada sisi lain bentuk perdamaian ini sebenarnya dikondisikan sebagai hasil kompromi antara Polisi dan pelaku.

f. Rekayasa Polisi bahwa kasus yang dilaporkan adalah bukan tindak pidana dalam kategori delik biasa, tetapi delik aduan yang nanti akan diproses dalam sidang tipiring (tindak pidana ringan).

g. Polisi bersikap diskriminatif. Polisi terlalu memihak pada kepentingan pelaku tindak pidana yang sebenarnya tidak sesuai dengan fakta hukum.

h. Polisi kurang peka terhadap aspek sosial masyarakat yang seharusnya menjadi bahan-bahan pertimbangan hukum oleh Polisi dalam menentukan kebijakannya.

i. Pelayanan polisi kepada korban hanya semata berlandaskan kewajiban pada KUHAP yang sebenarnya memiliki keterbatasan dalam mengakomodsi perlindungan korban. Misalnya hak korban untuk didengar pendapatnya, acces to justice and fair treatment.

Berangkat dari data-data penelitian, maka dapat diketemukan karakter realitas Polisi yang tidak humanis di kalangan perpolisian yakni :

a. Adanya pólice brutality/ pólice violence

b. adanya crimes of the pólice sehingga memunculkan victim of abuses of power.

c. Adanya police misconduct yang meliputi : pelanggaran prosedur yang berlaku di Kepolisian /pelanggaran standard of profession/violations of pólice procedures, ilegal use of forcé, atau illegal abuses of public power).

Berangkat dari pemahaman tersebut, maka dapat dielaborasi lebih mendalam lagi mengapa masih ada sikap/perilaku Polisi yang tidak berlandaskan pada humanisme? Polisi memiliki peran ganda yang diembannya sekaligus. Yakni sebagai penegak hukum dan sebagai pelayan. Pada paradigma pelayanan, maka sikap Polisi diharapkan protagonis yang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat akan mengedepan. Paradigma pelayanan ini, menjadikan bekerjanya Polisi tidak semata-mata menjalankan prosedur UU, seperti menahan, dan menangkap. Pada tataran ini, menegakkan hukum bukan berarti otomatis menegakkan keadilan.

Apabila mengkaji latar belakang sosial yang menggambarkan mengapa masih saja terjadi fenomena Polisi yang tidak humanis, maka dapat dikemukakan dalam beberapa kajian sebagai berikut :

a. Fenomena police corruption ataupun police malpractice terjadi karena akibat dari suatu situasi yang tentu berkorelasi dengan hubungan antara Polisi dan masyarakat (the result of particular encounters between the pólice and citizens). Birokrasi Polisi sebagai birokrasi yang rentan pengaruh lingkungan.

Kepolisian merupakan bagian dari sistem peradilan pidana merupakan “open system”, dan bukan sebagai lembaga steril yang tidak terpengaruh berbagai interest, sebab besarnya pengaruh lingkungan. Hukum bekerja dalam suatu konteks sosial. Dengan demikian secara sosiologis, Kepolisian tidak bisa mengklaim dirinya sebagai badan yang sepenuhnya bebas dan mandiri.

b. Adanya penyalahgunaan profesi hukum. Kecenderungan yang ada profesi hukum menjadi profesi bisnis. Perilaku pengemban profesi hukum yang tidak sadar dan tidak memiliki kepedulian moral.

c. Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap praktek judicial corruption. d. Rendahnya kualitas penegak hukum itu sendiri.

(9)

tuntutan masyarakat agat polisi lebih bersifat protagonis dan dialogis dengan masyarakat. Praktek perpolisian masih diwarnai paradigma positivisme legisme yang berhenti pada prosedur dan peraturan, melepaskan aspek sosial dan moral dari hukum, terlepas dari kebutuhan sosial masyarakat.

Mengacu pada hasil penelitian, program reformasi birokrasi Polisi memang sudah menunjukkan adanya perubahan orientasi perpolisian menuju perpolisian yang lebih humanis. Program-program seperti Quick Win, SOP (standard Operating Procedure) dalam penyidikan, Program ESQ merupakan program yang cukup bagus. Namun, realitas implementasi akan hal inipun sangat dipengaruhi oleh integritas petugas polisi di lapangan.

Legal spirit” bagi Polisi selain self regulation dalam kode etik, bersumber pula standar moral yang tercermin dalam hukum nasional dan aspirasi hukum internasional. Due Process of law sebagai prinsip yang ada dalam prose peradilan yang adil dan layak dan berkaitan dengan etika antara lain juga diacu KUHAP, UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI. Tetapi aturan ini dalam beberapa kasus hanya ditempatkan “di luar manusia sana “, dan belum masuk dalam pribadi pengemban profesi. Peranan manusia polisi memegang titik central dalam mengartikulasikan visi dan misi organisasi penegak hukum.

2. Upaya Membangun Perpolisian Humanis Berdasarkan Refleksi Pemikiran O.Notohamidjojo.

Paradigma baru yang sedang dikembangkan Polri saat ini berorientasi kepada pemecahan masalah-masalah masyarakat (problem solver oriented), dengan berbasis pendekatan pada masyarakat yang lebih manusiawi (humanistic approach). Dengan paradigma baru ini diharapkan lahirnya Polisi sipil yang humanis. Mengacu pada refleksi pemikiran O.Notohamidjojo, maka karakter memanusiakan manusia, merupakan segi esensiil tujuan hukum, dan bukannya segi regular untuk semata-mata menegakkan Pasal-pasal di dalam KUHP. Ini artinya, Polisi humanis bukanlah Polisi yang mengekslusifkan hukum, tetapi tetap menginklusifkannya dalam konteks kenyataan kemasyarakatan dan pada akhirnya memanusiakan manusia.

Ciri-ciri Polisi humanis berdasat penelitian di atas, yang sesuai harapan O.Notohamidjojo untuk dikedepankan sebagai penggembala hukum adalah :

1. Respect for human rights and human dignity.Dengan demikian tidak ada lagi sinyalemen sebagaimana penelitian di atas yakni intimidasi, penahanan yang tidak sah, pengumpulan alat bukti yang dianggap tidak sah, dan sebagainya. Tidak ada pula yang disebut ”unfair investigation”. Oleh karena itu, perlu ditegakkanya ”the prevention of torture and Other forms cruel, Inhuman or degrading treatment or punishment.

Dengan demikian, Polisi menjadi sosok yang selalu berusaha menjamin ” the greater security and protection of the rights of all people or the fundamental human rights.

(10)

3. Perhatian pada hak-hak korban bahkan hak tersangka dengan memberikan ’acces to justice and fair treatment”.

4. Dalam pencitraan Polisi humanis, maka aspek “services oriented task „ lebih diutamakan daripada “law enforcement duties”. Dengan demikian, sebagai orientasi perpolisian humanis, maka hasus diingat bahwa Polisi adalah hukum yang hidup dalam masyarakat. Pekerjaan Polisi tidak hanya sekedar membaca peraturan, namun juga membaca dinamika masyarakat. Sehingga pekerjaan Polisi sarat dengan pilihan. Roger Cotterel mengutip Alderson mengungkapkan bahwa sosok Polisi adalah sebagai “as a social diagnosticians“ /pendiagnosis social. Dikatakan bahwa secara objektif, fungsi utama Polisi bukanlah menegakkan hukum. Pada Polisi modern, tugas Polisi diemergensikan pada menjaga perdamaian dan ketertiban social. Menegakkan hukum dan menjaga ketertiban adalah dua scope yang berbeda. Menegakkan hukum yakni menerapkan bunyi peraturan, dan menjaga ketertiban bukanlah selalu berarti menerapkan prosedur hukum acara pidana, seperti menahan, dsb. Tugas Kepolisian sebagai pekerja social berorientasi pada aspek sosial atau aspek kemasyarakatan yang bersifat pelayanan dan pengabdian sebenarnya jauh lebih banyak dalam mengedepankan aspek ketertiban dalam masyarakat. Hanya sebagian kecil saja tugas Polisi di bidang juridis sebagai penegak hukum di bidang peradilan pidana.

5. Karakter Polisi humanis adalah karakter Polisi yang menjadikan dirinya friends, partners and defenders of citizens. Bukannya karakter Polisi yang “cold and distant representatives of authority (anggota penguasa yang acuh dan tidak ramah).

6. Polisi humanis memiliki karakter kejujuran yakni tidak melakukan perbuatan yang koruptif. Polisi harus menentang dan melawan perbuatan yang mengarah pada police corruption.

Dengan demikian, tindakan Polisi yang humanis, tidak mengarah semata pada aspek prosedur untuk mengurangi secara kuantitas terjadinya kejahatan, namun dalam menjalankan pekerjaannya Polisi mengedepankan aspek keadilan substansial. Repression of crime atau pemberantasan kejahatan memang menjadi bentuk artikulasi dari perlindungan masyarakat. Namun, dengan karakter humanis aspek perlindungan masyarakat dari kejahatan juga diarahkan pada penerapan perspektif penghormatan akan nilai nilai humanistic dalam penegakannya. Dalam konteks konsepsi modern, maka karakter humanis ini muncul dalam format “the modern conception of social defence “yakni “the prevention of crime and the treatment of offenders”.

Adapun upaya untuk membangun perpolisian humanis, apabila dikoherensikan dengan pemikiran O.Notohamidjojo, maka tak lepas dari norma-norma yang harus ditegakkan oleh penegak hukum. Yakni :kemanusiaan, keadilan, kepatutan, dan kejujuran.

Dalam konteks membangun perpolisian humanis, maka keempat norma tersebut haruslah menjiwai karakter Polisi. Dengan menjunjung keadilan, kepatutan, dan kejujuran, di samping juga norma kemanusiaan merupakan keempat norma yang pada akhirnya menjunjung keadilan substansial yang pada akhirnya memenuhi harkat dan martabat manusia untuk memperoleh perlindungan hukum.

(11)

Penting pula dalam kontkes mengelaborasi pemikiran O.Notohamidjojo bahwa manusia juga harus hidup tidak hanya sebagai makhluk individu, tetapi juga makhluk sosial, dan juga makhluk rohani yang memiliki Tuhan. Sebagaimana dikemukakan oleh O.Notohamidjojo bahwa manusia menurut O.Notohamidjojo pada satu pihak mewujudkan objek,dan pada pihak lain mewujudkan subjek yang lebih hakiki. Segi lain manusia ialah bahwa ia mempunyai relasi aku-engkau. Relasi aku-engkau mempunyai pihak bawah (alam semesta), fihak atas (Tuhan), dan pihak samping (sesama manusia dalam masyarakat). Lihat pula C.A.Van Peursen , 1988: 220-225).

Mengeliminir perilaku individual Polisi yang tidak mencerminkan refleksivitas hati nurani, merupakan langkah terciptanya Polisi humanis. Bagaimanakah lalu aplikasi dari sebuah keputusan hati nurani untuk memanusiakan manusia dalam hukum? lalu Para penggembala hukum menurut O.Notohamidjojo dituntut untuk menunaikan tanggung jawabnya sebagai jurist dalam lima asas yakni (O.Notohamidjojo, 1975: 64-66), (O.Notohamidjojo,1970 : 83-86).

1. Melakukan justitialisasi (mengadilkan) hukum. Keputusan jurist yang dalam prakteknya memperhitungkan kemanfaatan (doelmatigheid) perlu diadilkan, dan dijustitiakan.

2. Penjiwaan hukum atau merohanikan hukum. Pejabat hukum harus taat dan kasih akan Allah sebagai sumber segala nomos. Berhukum tidak boleh morosot menjadi suatu adat yang hampa tiada berjiwa.

3. Pengintegrasian hukum. Keputusan hukum tidak hanya perlu diadilkan, dan dijiwakan melainkan juga perlu diintegrasikan dalam system hukum yang sedang berkembang oleh perundang-undangan, peradilan dan kebiasaan.

4. Totalisasi Hukum. Menempatkan hukum dalam keseluruhan kenyataan. Jurist melihat ke bawah segi hukum, kenyataan ekonomi dan social, di atasnya ia melihat segi moral dan religi yang menuntut nilai kebaikan dan kesucian.

5. Personalisasi hukum. Mengkhususkan keputusan pada persona (kepribadian) daripada pihak-pihak yang mencari keadilan dalam proses.

Oleh karena itu, polisi memiliki akuntabilitas memuncak sebagai pelindung dari manusia pencari keadilan yang memiliki “dignity of man”. Hukum tidak bernurani cenderung mengadopsi kesalahan dari pemikiran positivisme/ legisme/dogmatisme. Menurut Scholten adalah bahwa positivisme hanya melihat undang-undang, peraturan-peraturan. Ia melupakan bahwa di belakang bahan-bahan positif ini terdapat sesuatu yang lain, yang juga demikian pentingnya, bahwa hukum adalah bagian dari kehidupan spiritual (rokhaniah, kejiwaan) manusia, individual dan dalam dalam kebersamaan. (Paul Scholten, 2005: 18).

Seyogyanya juga harus dikaji kendala/evaluasi terhadap pelaksanaan program refomasi birokrasi Polisi menuju Polisi humanis Mengingat sebenarnya yang terpenting dalam membangun perpolisiian bukanlah hanya sekedar program melainkan action dari program tersebut guna lebih menunjukkan akuntabilitas polisi. Ini berarti membangun perpolisian humanis dimulai dengan membangun manusia-manusia yang bertugas di kepolisian untuk mewujudkan tugas polisi untuk to serve and to protect dengan berbasis pada nilai memanusiakan manusia.

KESIMPULAN

(12)

a. Polisi bertindak sebagai “agents of the publik”, yang memiliki karakter institusi responsif untuk menunjukkan Polisi yang lebih humanis dalam pelayanan pada masyarakat .

b. Polisi bertindak sebagai pelayan masyarakat dan bukan penguasa ( c i v i l i a n police). cara berhukum humanis menganjurkan to learn from the people, mengajak para pengkaji hukum agar juga menggali dan meneliti makna-makna hukum dari perspektif para pencari keadilan, guna mencari hakekat hukum demi keadilan substansial dan kemanusiaan.

c. cara berhukum dari Polisi yang lebih humanis dan responsif, dengan pertimbangan hati nurani dan respect kepada “the dignity of man”..

d. Polisi menafsirkan ketentuan perundang-undangan dengan mengkoherensikan implementasi ketentuan perundangan dengan pemenuhan nilai nilai keadilan substansial demi memajukan harkat dan martabat manusia.

Oleh karena itu, membangun perpolisian humanis yang dielaborasi dari pemikiran O.Notohamidjojo pada hakekatnya mereformasi Polisi melalui mereformasi reputasi Polisi ke arah fairness, civility, and integrity untuk lebih respek pada harapan masyarakat akan tercitranya polisi yang humanis.

SARAN:

1. Dalam kerangka membangun perpolisian humanis, perlu dieleminir karakter paramiliteristik yang masih mewarnai perpolisian, dan digantikan dengan paradigma sipil yang mengedepankan pelayanan.

2. Dalam menafsirkan hukum, polisi perlu merefleksi bahwa hukum bukanlah institusi yang tidak bernurani. Hukum merupakan suatu institusi yang bermoral, yaitu moral kemanusiaan dan keadilan. Hukum yang bercita rasa keadilan adalah hukum yang bukan melayani dirinya sendiri, melainkan berusaha mencapai makna hukumnya yang esensiil yaitu demi menjunjung harkat kemanusiaan itu sendiri,dan bukan pada dehumanisasi manusia.

DAFTAR PUSTAKA

(13)

Indah . C.Maya ,Refleksi Pemikiran O.Notohamidjojo Untuk Mewujudkan Cara berhukum Humanis, seminar Nasional Refleksi Pemikiran O.Notohamidjojo Terhadap Perkembangan Hukum di Indonesia, 24 Nopember 2011, BU-UKSW, Salatiga

Moleong, Lexy, 1996, Metodologi Penelitian Kualitatif, , Bandung, Remaja Rosdakarya.

Muhajir, Noeng, 1996, Metodologi Penelitian Kualitatif, ed. III, Yogyakarta, Rakesarasin.

Notohamidjojo, O, 1975, Soal-soal Pokok Filsafat Hukum,Jakarta Pusat, BPK Gunung Mulia,

Notohamidjojo,O, 1975, Demi Keadilan Dan Kemanusiaan, Jakarta Pusat, BPK Gunung Mulia.

Skolnick, Jerome H, 1966, Justice Without Trial, Law Enforcement In Democratic Society, New York, John wiley & sons Inc, New York.

Van Peursen, C.A.1988, Orientasi Di Alam Filsafat, terj. dari Filosofische Orientatie, Jakarta, Gramedia.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Dengan menggunakan kriteria ini, maka delik aduan yang dimaksud dalam Pasal 367 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah jenis delik aduan relatif ,

Delik aduan relatif adalah delik yang pada dasarnya merupakan delik biasa, namun karena pelakunya memiliki hubungan keluarga dengan korban maka delik itu menjadi delik

Dalam praktiknya tindak pidana hak cipta tidak tepat dimasukkan dalam kategori delik biasa. Oleh karena itu, tindak pidana hak cipta harus diubah dari delik biasa menjadi

BAB II PROSES PENANGANAN DAN PENCABUTAN LAPORAN KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA .... Tindak Pidana Kekerasan Yang Berkaitan Dengan Delik

penggugat harus dilaporkan menjadi delik aduan dalam peristiwa pidana. Di samping itu, gugatan penggugat ini menunjukkan penderitaan yang dialaminya akibat ulah suami. Keputusan

Adanya masalah hukum yang muncul dari penerapan delik biasa maupun delik aduan membuat penulis tertarik mengkaji lebih dalam dari ke dua delik tersebut (delik

Dengan menggunakan kriteria ini, maka delik aduan yang dimaksud dalam Pasal 367 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah jenis delik aduan relatif ,

Tindak pidana terhadap kepentingan agama untuk menyebut delik- delik/tindak pidana agama dalam KUHP (selanjutnya disingkat/untuk praktisnya disebut TINDAK PIDANA