• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN DELIK ADUAN DALAM PERUNDANG-UNDANGAN PIDANA DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN DELIK ADUAN DALAM PERUNDANG-UNDANGAN PIDANA DI INDONESIA"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN DELIK ADUAN DALAM PERUNDANG-UNDANGAN PIDANA DI INDONESIA

Oleh :

DENNY SAPUTRA

Menurut hukum yang berlaku di Indonesia, pada hakikatnya hak untuk melakukan penuntutan ada pada jaksa dan hak tersebut dilaksanakan sepenuhnya tidak tergantung pada adanya bantuan dan izin dari orang yang terhadapnya kejahatan itu telah dilakukan. Namun dengan demikian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memuat suatu pengeculian yakni menyertakan adanya suatu pengaduan untuk melakukan tuntutan pidana bagi beberapa kejahatan yang penuntutannya digantungkan kepada adanya suatu pengaduan disebut delik aduan. Pendangan masyarakat mengenai penentuan delik aduan selama ini mendorong untuk dilakukan evaluasi dan reformasi kebijakan penentuan delik aduan. Permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah Bagaimanakah kebijakan penentuan delik aduan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)? Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi dalam penentuan delik aduan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)?

Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif, data yang digunakan adalah data sekunder, pengumpulan data dengan wawancara, studi pustaka, dan studi dokumen. Sedangkan pengolahan data melalui tahap pemeriksaan data, penandaan data, rekonstruksi data, dan sistematisasi data. Data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk uraian, lalu dintreprestasikan atau ditafsirkan untuk dilakukan pembahasan dan dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk selanjutkan ditarik suatu kesimpulan.

(2)
(3)

A. Tinjauan Umum Tentang Kebijakan

1. Pengertian Kebijakan

Kebijakan merupakan serangkaian kegiatan yang disusun dan dilaksanakan oleh suatu organisasi atau lembaga dalam rangka menghadapi permasalahan tertentu. Kebijakan memiliki pengertian yang beragam sesuai dengan konteks dan situasi yang dihadapi suatu organisasi atau lembaga.

Menurut Hasibuan (1994 ; 64), kebijakan adalah proses penyusunan secara sistematis mengenai kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kebijakan adalah kegiatan memilih dan menghubungkan fakta juga membuat serta menggunakan asumsi-asumsi mengenai masa yang akan datang dengan jalan menggambarkan dan merumuskan kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Dengan perencanaan manajemen yang baik, maka organisasi dapat melihat keadaan dan membuat urutan prioritas utama yang ingin dicapai organisasi.

(4)

pelaksanaan pekerjaan, kepemimpinan, cara bertindak, pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Sementara itu Mustopawijaya (2004 ; 16-17), merumuskan kebijakan sebagai keputusan suatu organisasi, baik publik atau bisnis, yang dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan tertentu atau mencapai tujuan tertentu berupa ketentuan-ketentuan yang berisikan pedoman perilaku dalam:

a. Pengambilan keputusan lebih lanjut yang harus dilakukan baik kelompok sasaran atau unit organisasi pelaksana kebijakan

b. Penerapan atau pelaksanaan dari suatu kebijakan yang telah ditetapkan, baik dalam hubungan dalam unit organisasi atau pelaksana maupun kelompok sasaran dimaksud.

2. Kategori Kebijakan

Istilah kebijakan dewasa ini telah digunakan untuk menjelaskan hal yang beragam. Menurut Wahab (1998 ; 22), penggunaan istilah kebijakan dapat dikategorikan dalam sepuluh kelompok, yaitu sebagai berikut:

a. Kebijakan sebagai label bagi suatu bidang kegiatan tertentu. Dalam konteks ini, kata kebijakan digunakan untuk menjelaskan bidang kegiatan pemerintahan atau bidang kegiatan di mana pemerintah terlibat didalamnya, seperti kebijakan ekonomi atau kebijakan luar negeri.

(5)

kondisi yang dituju, seperti pernyataan tentang tujuan pembangunan di bidang SDM untuk mewujudkan aparatur yang bersih.

c. Kebijakan sebagai bidang proposal tertentu. Dalam konteks ini kebijakan berupa proposal, seperti misalnya usulan RUU di Bidang Perkawinan.

d. Kebijakan sebagai sebuah keputusan yang dibuat oleh pemerintah. Sebagai contoh adalah keputusan untuk melakukan perombakan terhadap suatu sistem administrasi negara.

e. Kebijakan sebagai sebuah pengesahan formal. Disisni kebijakan tidak lagi dianggap sebagai usulan, namun telah sebagai keputusan yang sah. Sebagai contohnya adalah UU nomor 32 Tahun 2004 yang merupakan keputusan sah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.

f. Kebijakan sebagai sebuah program. Kebijakan adalah program yang akan dilaksanakan. Sebagai contoh adalah peningkatan pendaya gunaan aparatur negara, yang menjelaskan kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan, termasuk cara pengorganisasiannya.

g. Kebijakan sebagai out put atau apa yang ingin dihasilkan. Yang dimaksud kebijakan di sini adalah out put yang akan dihasilkan dari suatu kegiatan, seperti misalnya pelayanan yang murah dan cepat atau pegawai negeri sipil yang profesional.

h. Kebijakan sebagai out come. Kebijakan di sini digunakan untuk menyatakan dampak yang diharapkan dari suatu kegiatan, seperti misalnya pemerintahan yang efektif dan efisien.

(6)

dinaikkan x % maka revenue diperkirakan akan naik y % atau kalau x dilakukan maka yang terjadi adalah y.

j. Kebijakan sebagai proses atau tahapan yang akan dilalui untuk mencapai hasil yang diharapkan.

3. Ciri-Ciri Kebijakan

Sebagai serangkaian upaya yang dilakukan dengan langkah-langkah secara logis untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan pada masa mendatang, maka kebijakan yang disusunharus mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dan menggunakan sumber daya yang tersedia.

Menurut Azwar (1996 ; 23-24), kebijakan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: a. Bagian dari sistem administrasi

Kebijakan adalah bagian dari fungsi administrasi yang sangat penting, sehingga kebijakan harus dalam kerangka administrasi, artinya kebijakan dibuat harus dilaksanakan dan dievaluasi.

b. Dilaksanakan secara berkesinambungan

Kebijakan merupakan bagian dari siklus pemecahan masalah (problem solving circle) yang juga merupakan fungsi manajemen. Kebijakan akan kembali pada kebijakan berikutnya setelah langkah-langkah dalam siklus dilalui. Namun siklus tersebut bukan bersifat statis namun dinamis, sehingga akan berbentuk suatu spiral siklus yang tidak mengenal titik akhir.

c. Berorientasi pada masa depan

(7)

d. Mampu menyelesaikan masalah

Siklus kebijakan adalah pemecahan masalah artinya penyusunan kebijakan didasarkan pada masalah artinya penyusunan kebijakan didasarkan pada masalah yang dihadapi dan penyusunannya harus berdasarkan pada langkah-langkah siklus pemecahan masalah.

e. Mempunyai tujuan

Tujuan harus ditetapkan berdasarkan pada tujuan yang paling umum atau tujuan yang lebih berorientasi dampak (impact) dan hasil (out put) serta perlu dijabarkan kepada tujuan yang khusus atau yang berorientasi padaout putatau uraian yang lebih spesifik.

f. Bersifat mampu kelola

Kebijakan harus bersifat realistis, logis, objektif, runtut, fleksibel yang disesuaikan dengan sumber daya yang tersedia.

4. Kebijakan Formulasi

Istilah kebijakan seiring dipertukarkan dengan tujuan program, undang-undang, ketentuan-ketentuan, usulan-usulan dan rancangan-rancangan besar. Kebijakan adalah arah tindakan yang mempunyai tujuan yang diambil oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah persoalan-persoalan (Budi Winarno, 2007 ; 36).

(8)

a. Pedoman untuk bertindak, yakni suatu deklarasi mengenai suatu dasar/pedoman bertindak, arah tindakan tertentu, program mengenaiaktivitas-aktivitas tertentu atau suatu rencana.

b. Perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu.

c. Tindakan berpola yang mengarah pada suatu tujuan tertentu dan bukan sekedar keputusan untuk melakukan sesuatu.

d. Langkah/tindakan yang dilakukan oleh seorang atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang dihadapi.

Kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Sebuah ketetapan yang berlakuyang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang baik dari yang membuatnya maupun yang mentaatinya (Ealau dan Prewitt, 1983 ;78 ).

B. Tinjauam Umum Tentang Tindak Pidana

1. Pengertian Perbuatan Pidana dan Unsur Pidana

(9)

Perbuatan pidana dapat diwujudkan dengan kelakuan aktif (positif) sesuai dengan uraian delik yang mensyaratkannya, seperti mencuri sebagaimana dalam Pasal 362 KUHP, yang disebutdelictum commissionis. Ada juga perbuatan pidana yang diwajibkan dengan kelakuan pasif (negatif) sesuai dengan uraian delik yang mensyaratkannya, misalnya pelanggaran terhadap orang yang memerlukan pertolongan sebagaimana dalam Pasal 531 KUHP dinamakandelictum omissionis. Di samping itu ada delik yang dapat diwujudkan dengan berbuat negatif dinamakan delicta commissinis per omnissionem commisa, misalnya ketentuan dalam Pasal 341 KUHP dimana seorang Ibu yang bisa saja menghilangkan nyawa anaknya dengan cara tidak memberinya makanan.

Berdasarkan beberapa rumusan tentang pengertian perbuatan pidana tersebut di atas, Moeljatno (1993:63) menyebutkan bahwa mengenai unsur atau elemen yang harus ada dalam suatu perbuatan pidana adalah sebagai berikut:

a. Kelakuan dan akibat (perbuatan);

b. Hal atau keadaan yang menyertai perbuatan; c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana; d. Unsur melawan hukum yang objektif;

e. Unsur melawan hukum yang subjektif.

Kelima unsur atau elemen tersebut di atas pada dasarnya dapat diklasifikasikan ke dalam 2 (dua) unsur pokok, yaitu unsur pokok objektif dan unsur pokok subjektif. a. Unsur pokok objektif

(10)

a) Actadalah perbuatan aktif yang disebut perbuatan positif dan;

b) Omnission, adalah tidak aktif berbuat dan disebut juga perbuatan negatif.

2) Akibat perbuatan manusia. Hal ini erat hubungannya dengan kausalitas. Akibat yang dimaksud adalah membahayakan atau menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik/harta benda, atau kehormatan. 3) Keadaan-keadaan. Pada umumnya keadaan-keadaan dibedakan atas:

a) Keadaan pada saat perbuatan dilakukan dan; b) Keadaan setelah perbuatan dilakukan.

4) Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum. Sifat dapat dihukum itu berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan terdakwa dari hukuman. Sikap melawan hukum bertentangan dengan hukum yakni berkenaan dengan larangan atau perintah.

b. Unsur Pokok Subjektif. Asas pokok hukum pidana adalah “tidak ada hukuman kalau tak ada kesalahan”. Kesalahan dimaksud di sini adalah sengaja dan kealpaan (Leden Marpaung, 1989 ; 6-7).

1) Kesengajaan. Menurut para pakar, ada 3 (tiga) bentuk kesengajaan yaitu: a) Sengaja sebagai maksud;

b) Sengaja sebagai kepastian; dan c) Sengaja sebagai kemungkinan.

2) Kealpaan, adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan daripada kesengajaan, ada 2 (dua) bentuk kealpaan yaitu:

(11)

b. Tidak menduga-duga akibat perbuatan itu.

c. Unsur melawan hukum. Salah satu unsur perbuatan pidana adalah unsur sifat melawan hukum. Unsur itu merupakan suatu penilaian objektif terhadap perbuatan dan bukan terhadap si pembuat. Umumnya para ahli hukum membagi sifat melawan hukum itu kedalam dua macam yaitu:

1) Sikap melawan hukum formal. Menurut ajaran sifat melawan hukum formal, yang dikatakan melawan hukum apabila suatu perbuatan telah mencocoki semua unsur yang termuat dalam rumusan delik. Jika ada alasan-alasan pembenar, alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang. Jadi, menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan melawan undang-undang (hukum tertulis); dan

2) Sikap melawan hukum material. Menurut ajaran sifat melawan hukum material, disamping memenuhi syarat-syarat formal, yaitu mencocoki semua unsur yang tercantum dalam rumusan delik, perbuatan itu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela. Karena itu pula ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar diluar undang-undang. Dengan perkataan lain, alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak tertulis.

2. Syarat-syarat Perbuatan Pidana

(12)

tanpa harus melihat apakah dia mempunyai kesalahan atau tidak. Ajaran (aliran) dualisme, memandang bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap seseorang, maka pertama terlebih dahulu harus dilihat apakah perbuatan yang telah dituduhkan itu telah memenuhi unsur-unsur rumusan delik. Apabila telah dipenuhi kemudian masuk pada tahap kedua yaitu melihat apakah ada kesalahan, kemudian ketiga melihat apakah pembuat itu mampu bertanggung jawab. A. Zainal Abidin (1962 ; 38) merumuskan kedua ajaran (aliran) tersebut di dalam satu rumusan syarat-syarat pemidanaan yaitu:

a. Ajaran (aliran) monisme atau klasik:

c=ab Keterangan: c berarti syarat-syarat pemidanaan ab berarti seluruh unsur-unsur darifeit

b. Ajaran (aliran) dualisme atau modern:

c=a + b Keterangan: c berarti syarat-syarat pemidanaan a + b berarti dua kelompok unsurfeitdandader

Berdasarkan ajaran ini, dibutuhkan dalam syarat-syarat pemidanaan harus dipenuhi unsur-unsur dari tindak pidana. Selain itu, dalam poin b ditambahkan satu unsur lagi adalah adanya pelaku (dader).

C. Teori Pertanggungjawaban Pidana

(13)

walaupun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, yaitu bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt).

Menurut Romli Atmasasmita (1989 ; 79), pertanggungjawaban atau liability diartikan sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dan seseorang yang dirugikan. Sedangkan menurut Roeslan Saleh (1982 ; 33), berpendapat bahwa tanggung jawab atas sesuatu perbuatan pidana yang bersangkutan secara sah dapat dikenai pidana karena perbuatan itu.

D. Tinjauan Umum Tentang Delik Aduan

1. Pengertian Delik Aduan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat asas hukum pidana yakni hukum pidana sebagai “hukum publik” dimana ditentukan bahwa “untuk menuntut sesuatu delik, baik yang berupa kejahatan maupun pelanggaran, hak untuk melakukan penuntutan itu diletakkan pada penuntut umum dan pada umumnya permintaan dari pihak orang yang menderita atau melakukan penuntutan tidak mempunyai pengaruh terhadap penuntutan ini (Barda Nawawi Arief, 1993 : 127).

(14)

(bijzondere belangen) dari pada individu. Oleh sebab itu penuntutan peristiwa pidana tersebut tidak dapat diserahkan kepada individu yang dirugikan oleh peristiwa pidana itu, tetapi penuntutan tersebut harus dijalankan oleh pemerintah.

Lebih lanjut E. Utrecht mengemukakan mengapa hukum pidana dikatakan sebagai hukum publik, karena hukum pidana itu mengatur perhubungan antara individu dengan masyarakat sebagai masyarakat, hukum pidana dijalankan untuk kepentingan masyarakat dan juga hanya dijalankan dalam hal kepentingan masyarakat itu benar-benar memerlukannya. Sifat hukum pidana itu ternyata khusus dalam hal sering suatu tindakan tertentu tetap menjadi peristiwa pidana, biarpun tindakan itu dilakukan dengan persetujuan yang dikenai akibat tindakan tersebut, dan ternyata dalam hal umumnya dituntut tidaknya sesuatu peristiwa pidana tidak tergantung pada kehendak dari yang dirugikan oleh peristiwa pidana itu. Penuntutan suatu peristiwa pidana terletak dalam tangan suatu alat negara, yaitu dalam tangan kejaksaan (Utrecht, 1994 ; 58).

Menurut Sianturi (1982 ; 416), hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hal ini berarti bahwa kepentingan umum lebih diutamakan. Karenanya penuntutan suatu delik pada dasarnya dibebankan kepada penguasa karena jabatannya, tidak tergantung pada orang-orang yang menderita sebagai akibat dari suatu delik, bahkan juga andaikan ada keberatan dari penderita, tidak merupakan penghalang bagi usaha penuntutan.

(15)

kapada suatu Pengadilan/Mahkamah diajukan suatu delik aduan tanpa dilengkapi dengan pengaduan(tertulis atau lisan yang dicatat oleh petugas penerima aduan), harus dinyatakan sebagai tidak dapat diterima (niet ontvangkelijk verklaard).

Tindak pidana seperti itu disebut “klacht delicten” yakni sebagai lawan dari apa yang disebut “gewone delicten” yakni tindak pidana-tindak pidana yang dapat dituntu tanpa diperlukan adanya suatu pengaduan. Delik-delik yang hanya dapat dituntut apabila ada suatu pengaduan dari orang yang merasa dirugikan itu di dalam bahasa Belanda disebut “delicten op klachte vervolgbaar” atau dalam bahasa Jerman disebut juga “antragsdelikte”, yakni sebagai lawan apa yang disebut “delicten van ambtswege vervolgbaar” atau delik-delik yang dituntut sesuai dengan jabatan (P.A.F. Lamintang, 1990 ; 207).

Menurut Memorie Van Theolichting, disyaratkannya suatu pengaduan pada beberapa delik tertentu itu adalah berdasarkan pertimbangan bahwa ikut campurnya penguasa di dalam suatu kasus tertentu itu mungkin akan mendatangkan kerugian yang lebih besar bagi kepentingan-kepentingan tertentu dari orang yang telah dirugikan daripada kenyataan, yakni jika penguasa telah tidak ikut campur di dalam kasus tersebut, sehingga kepentingan apakah seseorang yang telah merugikan itu perlu dituntut atau tidak oleh penguasa, hal tersebut diserahkan kepada pertimbangan orang yang telah merasa dirugikan (Barda Nawawi Arief, 1994 ; 209).

(16)

penuntut umum tidak berwajib untuk memberi akibat pada pengaduan yang diajukan. Hal ini disebabkan karena adanya asas opportuniteit, asas tentang kefaedahan penerapan undang-undang, yang merupakan dasar daripada tuntutan pidana pada hukum positif, tetap dipertahankan, sehingga dalam delik-delik pengaduan penguasa yang menuntut, berhak untuk tidak meneruskan perkara demi kepentingan umum. Pernyataan yang benar ialah apakah badan penuntut umum, selama belum diajukan pengaduan, masih berhak untuk mengadakan tindakan-tindakan pengusutan.

Mengenai pengertian dari pengaduan itu sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990 ; 8)dimuat pengertian antara lain sebagai berikut :

“Mengadukan, mengajukan perkara dan sebagainya (kepada hakim, orang yang berkuasa);……. Pengaduan 1. penyambungan; 2. aduan (hal atau perkara yang diadukan); 3. Proses, perbuatan, cara mengadu 4. Ungkapan rasa tidak senang atau tidak puas akan hal-hal yang tidak begitu penting, tetapi perlu diperhatikan”.

Melihat pengertian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut, nampak persepsi tentang “pengaduan” masih belum jelas, masih kabur bahkan pengertian “mengajukan perkara dan sebagainya” bukan membuat pengertian “pengaduan” semakin jelas. Menurut Mr. M.H. Tirtamidjaja (1997 ; 89), sebagaimana dikemukakan dalam bukunnya Leden Marpuang, diutarakan antara lain :

“Suatu pengaduan adalah suatu pernyataan tegas dari orang yang berhak untuk mengadu bahwa ia menghendaki penuntutan orang yang telah melakukan pelanggaran pidana itu”.

(17)

tersebut belum jelas apakah lisan atau tertulis. Jika tidak berbentuk tertulis, akan sulit dipergunakan karena tanggal pengajuan maupun waktu untuk mencabut akan sulit ditentukan. Dengan demikian maka suatu pengaduan adalah pernyataan tertulis dari orang yang berhak untuk mengadu bahwa ia menghendaki penuntutan pelaku suatu kejahatan atau tindak pidana.

Orang yang “mengadu”, jika yang menderita atau korban kejahatan suatu tindak pidana, sudah dewasa maka tidak menimbulkan permasalahan karena korban itulah yang berhak mengadu. Masalah timbul, jika korban suatu tindak pidana aduan, belum dewasa. Hal ini merupakan bagian dari kebijakan formulasi dalam hal menyangkut tindak pidana yang dikualifikasikan sebagai delik aduan yang akan dibahas pada bab selanjutnya.

Pengertian “pengaduan” sebagai unsur dari tindak pidana yang dikualifikasikan sebagai delik aduan, maka perlu dibedakan “pengaduan” dengan “laporan”. Menurut Nico Ngani (1984 ; 28) perbedaan antara pengaduan dan laporan adalah sebagai berikut :

1. Pelaporan dapat diajukan terhadap semua perbuatan pidana, sedang pengaduan hanya mengenai kejahatan-kejahatan untuk mana adanya pengaduan itu menjadi syarat/unsur.

2. Setiap orang dapat melaporkan suatu kejadian, sedangkan pengaduan hanya dapat diajukan oleh orang-orang yang berhak mengajukannya.

(18)

2. Jenis-jenis Delik aduan

Pada umumnya delik aduan terbagi atas delik aduan yang absolut dan delik aduan yang relatif (nisbi).

1. Delik Aduan Absolut

Delik aduan absolut adalah delik aduan yang dalam keadaan apapun tetap merupakan delik aduan. Atau menurut kata-kata Vos : “Absolute zijn die, welke als regel allen op klchte vervolgbaar zijn ….”. Tindakan pengaduan di sini diperlukan untuk menuntut peristiwanya, sehingga semua yang bersangkutan dengan itu harus dituntut (Barda Nawawi Arief, 1984 ; 27).

Delik aduan absolut terdapat pada beberapa pasal yang tersebar, antara lain delik penghinaan (Pasal 310 sampai dengan Pasal 319) dengan catatan bahwa penghinaan terhadap pejabat pada waktu ia sedang melakukan jabatan yang sah, dapat dituntut oleh Jaksa, beberapa delik kesusilaan (Pasal 284, 287, 293, dan 332) dan kejahatan membuka rahasia (Pasal 322 KUHP).

2. Delik Aduan Relatif

(19)

Adapun yang menjadikan alasan delik aduan relatif, sebagaimana yang ditetapkan dalamWetboek van StrafrechtBelanda, Modderman, Menteri Kehakiman Belanda mengemukakan alasannya, yakni :

a. Alasan Susila, yaitu mencegah terjadinya pemerintah terpaksa menempatkan orang-orang yang mempunyai hubungan yang sangat dalam (intim) antara yang satu dengan yang lain berhadapan muka di depan Hakim Pidana.

b. Alasan Materiil (stoffelijk), yaitu de facto (feitelijk) ada semacam kondominium antara suami dan istri.

(20)

A. Kesimpulan

Secara keseluruhan kesimpulan yang diperoleh dari penelitian dan pembahasan terhadap dua masalah pokok di atas adalah sebagai berikut :

(21)

69 mengajukan pengaduan berhak menarik kembali pengaduannya dalam jangka waktu 3 bulan setelah pengaduan diterima oleh pejabat yang berwenang.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam penentuan delik aduan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bersifat sebagai delik aduan atau bukan didasarkan pada pertimbangan masalah yang lebih melindungi kepentingan tertentu dari orang yang terkena perbuatan itu, jika dilakukan penuntutan, daripada kepentingan untuk melindungi kepentingan umum jika terhadap perbuatan itu dilakukan penuntutan. Permasalahan yang mempengaruhi penentuan delik aduan antara lain:

a. Masalah Kebijakan Penentuan Delik Aduan. b. Masalah Subjek Delik Aduan.

c. Masalah Pengajuan Pengaduan dan Penarikan Pengaduan kembali. d. Masalah Pejabat yang Berwenang.

B. Saran

Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang dikemukakan diatas maka beberapa saran yang dapat penulis ajukan adalah sebagai berikut :

(22)

70 diganti dengan delik aduan relatif yang berorientasi pada kepentingan umum, begitu pula delik-delik yang berkaitan dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual yang dimaksudkan untuk menciptakan iklim ekonomi kearah peningkatan dan kemajuan pembangunan.

2. Perlu berhati-hati dalam menentukan dan memformulasikan apakah suatu delik merupakan delik aduan atau bukan apalagi terhadap delik yang dikualifikasikan sebagai delik aduan absolut.

(23)

Oleh :

DENNY SAPUTRA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(24)

(Skripsi)

Oleh : Denny Saputra

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(25)

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang………...……… 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup………. 4

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ..………. 4

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ………. 7

E. Sistematika Penulisan ………. 12

DAFTAR PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Kebijakan ... 12

1. Pengertian Kebijakan ... 12

2. Kategori Kebijakan ... 13

3. Ciri-Ciri Kebijakan ... 15

4. Kebijakan Formulasi ... 16

B. Tinjauam Umum Tentang Tindak Pidana ... 17

1. Pengertian Perbuatan Pidana dan Unsur Pidana ... 17

2. Syarat-syarat Perbuatan Pidana ... 20

C. Teori Pertanggungjawaban Pidana ... 21

D. Tinjauan Umum Tentang Delik Aduan………... 22

1. Jenis-jenis Delik aduan………. 22

(26)

B. Sumber dan Jenis Data………..………. 29 C. Penentuan Populasi dan Sampel………..……….. 30 D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data………..……..……….. 31 E. Analisis Data………..………. 32 DAFTAR PUSTAKA

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden ………..……….. 33 B. Kebijakan Penentuan Delik Aduan dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP).……….……..….……... 35 C. Hal-hal yang Mempengaruhi dalam Kebijakan Penentuan Delik

Aduan Dalam Perundang-undangan Pidana DiIndonesia ..…..….... 55

IV. PENUTUP

A. Kesimpulan………..………. 68

(27)

Moh.Mahfud, MD, 1999, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta.

Nawawi Arief, Barda, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bhakti, Bandung.

_________________, 1996,Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sudarto, 1981,Hukum dan Hukum Pidana,Alumni, Bandung.

Soekanto, soerjono. 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta.

Utrecht, 1994,Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya.

(28)

Lamintang, P.A.F., 1990, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung.

Moh.Mahfud, MD, 1999, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta.

Nawawi Arief, Barda, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bhakti, Bandung.

_________________, 1996,Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Ngani, Nico, 1984,Sinerema Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta.

Sianturi dan E.Y. Kanter, 1982,Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,Alumni, Jakarta.

(29)

Hasan, Sanusi. 1999. Penuntun Praktis Penulisan Skripsi. Fakultas Hukum Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Moeljatno, 1986.Asas-Asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia. Yogyakarta.

Singarimbun, Masri dan Sofian Efendi, 1989. Metode Penelitian Survei (Edisi Revisi). LP3ES, Jakarta.

(30)

Arief, Barda Nawawi, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bhakti, Bandung.

_________________, 1993, Pembaharuan Hukum Pidana dan Masalah Delik Aduan, Lokakarya Pembaharuan Hukum Pidana.

_________________, 1996,Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.

(31)

…jangan pernah berhenti ketika kau sedang Berjaya Dan lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali…

(32)

-Penulis-1. Tim Penguji

Ketua : Firganefi, S.H., M.H. ...

Sekretaris/Anggota : Tri Andrisman, S.H., M.H. ...

Penguji

Bukan Pembimbing : Safruddin, S.H., M.H. ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heriyandi, S.H., M.S. NIP 196211091987031003

(33)

Dengan ketulusan dan kerendahan hati kupersembahkan karya kecil ini kepada orang-orang yang terkasih dan mengasihiku :

Kedua orang tuaku tercinta, untuk tiap tetes keringat yang keluar untuk keberhasilanku dan untuk semangat, nasihat, dorongan dan doa disetiap shalat dan sujudnya.

(34)

Nama Mahasiswa : Denny Saputra No. Pokok Mahasiswa : 0642011129 Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Firganefi, S.H., M.H. Tri Andrisman, S.H., M.H.

NIP 196312171988032003 NIP 196112311989031023

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

(35)

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, pada tanggal 19 januari 1988. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Amril Bamim, dan Ibu Sinayah.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) I Way Halim yang diselesaikan tahun 2000, kemudian melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 25 Bandar Lampung yang diselesaikan tahun 2003, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum (SMU) YP UNILA Bandar Lampung yang diselesaikan tahun 2006.

(36)

Bismillahirrohmanirrohim.

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi dengan judul “Analisis Kebijakan Penentuan Delik Aduan dalam Perundang-undangan Pidana di Indonesia” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Heriyandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung;

3. Ibu Firganefi, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, dan masukan-masukan yang membangun, memotifasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

(37)

menyempurnakan skripsi ini;

6. Bapak Dona Raisa M., S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas II atas waktu, saran, masukan dan kritik membangunnya kepada penulis untuk dapat menyempurnakan skripsi ini;

7. Bapak Dr. Heriyandi, S.H., M.S. Selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis;

8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah mendidik, membimbing serta memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis;

9. Teman-temanku di Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas persahabatannya;

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.Amin.

Bandar Lampung, 20 Februari 2012 Penulis

Referensi

Dokumen terkait

antara blok yang satu dengan blok setelahnya, sehingga blok-blok ini disebut sebagai blok overlapping. Uji Serial yang dibahas di sini dikhususkan untuk pengujian keacakan

Status gizi balita akan termanifestasi pada tingkat masing-masing individu yang dipengaruhi oleh asupan makanan serta status kesehatan (penyakit), yang keduanya merupakan

PDAM Boyolali, baru melayani sebesar 12,3 % penduduk di Kabupaten Boyolali, dengan rincian di perkotaan (30,05 %) dan di perdesaan (5,23 %) penduduk.. Namun demikian masih

Penelitan ini mereplikasi penelitian Rachmayani dan Suyono (2007) yang berjudul pengaruh ketidakamanan kerja, kepuasan kerja dan komitmen organisasional terhadap pengunduran

To understand the role of histone H3.3 and HIRA in the progression of tubulointerstitial fibrosis, we first examined the gene expression and protein levels of histone H3.3 and HIRA

IMPEMENTASI PENDEKATAN OPEN-ENDED DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA PADA SISWA KELAS V Studi Multi Kasus di MI Miftahul Ulum Kota Batu dan

Wajib retribusi izin usaha perikanan adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi,

Dari hasil yang didapat, maka dapat disimpulkan bahwa adanya kebutuhan sistem antrian untuk mengatasi rasa bosan, kebebasan ruang tunggu dan kebebasan dalam melakukan kegiatan lain