• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN PENYIDIK DALAM PENANGANAN PERKARA PELANGGARAN HAK CIPTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERANAN PENYIDIK DALAM PENANGANAN PERKARA PELANGGARAN HAK CIPTA "

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PERANAN PENYIDIK DALAM PENANGANAN PERKARA PELANGGARAN HAK CIPTA

(STUDI KASUS DI DIT.RESKRIMSUS POLDA SULSEL)

OLEH

DEDY CAHYONO B 111 12 673

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2018

(2)

HALAMAN JUDUL

PERANAN PENYIDIK DALAM PENANGANAN PERKARA PELANGGARAN HAK CIPTA

(STUDI KASUS DI DIT.RESKRIMSUS POLDA SULSEL)

OLEH

DEDY CAHYONO B 111 12 673

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Tugas Akhir Dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana Pada Bagian Hukum Pidana

Program Studi Ilmu Hukum

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2018

(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

DEDY CAHYONO (B11112673), Peranan Penyidik Dalam Penangananan Perkara Pelanggaran Hak Cipta (Studi Kasus di Dit. Reskrimsus Polda Sulsel) di bawah bimbingan H.M. Said Karim sebagai pembimbing I dan Hj. Nur Azisa sebagai pembimbing II.

Hak Kekayaan Intelektual merupakan bagian hukum yang berkaitan dengan perlindungan usaha-usaha kreatif. Salah satu contoh bidang Hak Kekayaan Intelektual yang penuh dengan usaha kreatif yaitu mengenai Hak Cipta. UU No. 28 Tahun 2014 adalah undang- undang hak cipta dan merupakan suatu bentuk upaya perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah kepada kreator (pencipta) maupun pemegang hak cipta untuk melindungi hasil ciptaannya agar tidak disalahgunakan oleh pihak- pihak yang tidak bertanggung jawab yang akan menimbulkan kerugian bagi pencipta baik dari segi moral maupun materi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran penyidik serta kendala yang dihadapi dalam mengungkap tindak pidana pelanggaran hak ciptadi wilayah hukum Kepolisan Daerah Sulawesi Selatan.

Penelitian ini dilakukan di Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan.

Penelitian ini dilakukan dengan cara pengambilan data dan wawancara dengan pihak-pihak yang berkompeten dalam hal ini anggota Polri selaku penyidik pada Ditreskrimsus Kepolisian Daerah Sulsel yang pernah menangani kasus yang berkaitan dengan tindak pidana pelanggaran hak cipta.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pemberantasan tindak pidana dibidang hak cipta pihak Kepolisian pada Subdit Industri dan Perdagangan Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan belumlah berperan secara aktif dalam melakukan pemberantasan terhadap pelanggaran hak cipta walaupun pihak dari penyidik tersebut mengakui bahwa perlunya penindaklanjutan persoalan yang berhubungan dengan tindak pidana dibidang hak cipta. Apabila mendapatkan laporan atau menemukan sendiri pelanggaran tersebut penyidik kepolisian dapat melakukan penindakan. Oleh karena Polisi merupakan salah satu penegak hukum yang menjadi tumpuan utama dalam melakukan pemberantasan terhadap pelanggaran hak cipta. Diharapkan lebih proaktif lagi dalam memberantas pelaku pelanggar hak cipta. UUHC telah memberikan kewenangan kepada pihak Kepolisian buat melakukan penyidikan apabila pihak atau badan hukum yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana dibidang hak cipta.

(7)

UCAPAN TERIMAH KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala limpahan karunia dan berkahnya yang telah diberikan kepada penulis , serta shalawat dan salam kepada Rasulullah Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang bejudul “PERANAN PENYIDIK DALAM PENANGANAN PERKARA PELANGGARAN HAK CIPTA (STUDI KASUS DI DIT.RESKRIMSUS POLDA SULSEL)”. Penulis skripsi ini dimaksudkan sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

Penulis menyadari bahwa dalam penelitian skripsi ini masih terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis. Olehnya itu penulis selalu menbuka diri untuk menerima koreksi atau kritik yang konstruktif dari berbagai pihak sebagai upaya penyelesaian skripsi ini.

Penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya dan rasa hormat kepada :

1. Orang tua dan segenap keluarga, istri dan anak-anakku atas segala pengorbanan dan dukungannya kepada penulis.

2. Bapak Prof. H.M. said Karim S.H.,M.H., dan Dr. Hj. Nur Azisa S.H.,M.H. selaku pembimbing, terima kasih atas segala bimbingannya selama ini memberikan saran dan kritikan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi.

3. Dosen Tim penguji, terimakasih atas masukan dan saran-saranya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir.

4. Segenap dosen pengajar di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin atas ilmu dan pengetahuan yang diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin 5. Staf akademik Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, terkhusus

Pak Bunga, atas bantuannya melayani segala kebutuhan penulis selama perkuliahan hingga penulisan skripsi ini.

6. Terima kasih kepada seluruh pihak yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Semoga segala bantuan amal kebaikan di sisi Allah SWT.

Makassar, Maret 2018

(8)

DAFTAR ISI

SAMPUL... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

DAFTAR ISI... iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana... 9

1. Pengertian Tindak Pidana ... 9

2. Jenis-jenis Delik atau Tindak Pidana... 14

B. Tinjauan Umum tentang Hak Cipta ... 19

1. Pengertian Hak Cipta ... 19

2. Prinsip Dasar Hak Cipta ... 20

3. Subjek Hak Cipta : Pencipta dan Pemegang Hak Cipta ... 22

4. Perlindungan Hak Cipta... 27

5. Hak Moral dan Hak Ekonomi……… 32

BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian ... 39

B. Jenis Dan Sumber Data ... 39

C. Teknik Pengumpulan Data... 40

1. Wawancara... 40

2. Studi Dokumen ... 40

D. Analisa Data ... 40

(9)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Peran Penyidik Kepolisian dalam Penerapan Delik

Biasa Atas Pelanggaran Hak Cipta... 42 B. Kendala yang dihadapi dalam proses Tindak

Pidana Pelanggaran Hak Cipta... 46 C. Pemberlakuan Ketentuan Pidana pada Kasus

Pelanggaran Hak Cipta terhadap Rumah Bernyanyi

Karaoke di Kota Makassar ... 51 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 69 B. Saran ... 71

DAFTAR PUSTAKA……… ....

(10)

BAB I

PENDAHALUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara hukum. Hal ini telah dinyatakan dengan tegas dalam penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 bahwa “Negara Republik Indonesia berdasar atas hukum “(rechstaat)”, tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machstaat).

Cita-cita filsafat yang telah di rumuskan para pendiri kenegaraan dalam konsep “Indonesia adalah negara hukum”, mengandung arti, bahwa dalam hubungan antara hukum dan kekuasaan, bahwa kekuasaan tunduk pada hukum sebagai kunci kestabilan politik dalam masyarakat.

Dalam negara hukum, hukum merupakan tiang utama dalam menggerakkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Salah satu ciri utama dari suatu negara hukum terletak pada kecendrungannya untuk menilai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh masyarakat atas dasar peraturan-peraturan hukum. Pembicaraan mengenai hukum selalu berkaitan dengan masalah penegakan hukum (law enforcement) dalam pengertian luas juga merupakan penegakan keadilan. Apabila dikongkritkan lagi, akan terarah pada aparat penegak hukum, yaitu mereka yang secara langsung terlibat dalam memperjuangkan penegakan hukum dan keadilan.

(11)

Negara Indonesia sebagai Negara hukum yang dijalankan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar sebagaimana diatur dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945 Amandemen ke-4 Pasal 1 Ayat (3) menyatakan bahwa Indonesia sebagai negara hukum. Sebagai konsekuensinya segala sesuatu yang berkaitan dengan hukum harus memiliki dasar hukum tertulis yang sah.

Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang merupakan suatu bentuk pengakuan terhadap kepemilikan hak seseorang. Untuk itu diperlukan dasar hukum untuk dapat mempertanggungjawabkannya, yang diperoleh dengan cara mendaftarkannya ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dengan memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Undang- undang yang berlaku. Untuk menghindari terjadinya saling klaim kepemilikan atas suatu hak kekayaan intelektual atau bahkan adanya tindakan plagiat maupun pembajakan terhadap Hak Kekayaan Intelektual.

Perlindungan terhadap Hak Kekayaan Intelektual (HKI) perlu dilakukan agar penghargaan terhadap kekayaan intelektual semakin besar. Maka dari itu pemerintah dapat memberikan perlindungan maupun memberikan pemahaman yang lebih intensif dengan mensosialisasikan sehingga mampu memacu pengembangan inovasi di berbagai bidang. Hal ini dikarenakan tidak hanya pemerintah atau penegak hukum saja yang harus memahami, Individu dan badan hukum sebagai subjek hukum yang berada di Indonesia perlu mengetahui tentang Hak Kekayaan Intelektual (HKI), diantaranya terkait pengertian, syarat-syarat, keuntungan yang

(12)

diperoleh, bahkan mengenai pelanggaran-pelanggaran yang memiliki ancaman pidana yang diatur dalam Undang-undang Hak Kekayaan Intelektual tersebut.

Pemahaman mengenai Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah hak atas kekayaan yang timbul dari kemampuan intelektual manusia itu sendiri. Hak Kekayaan Intelektual dapat dikategorikan dalam 2 kelompok yaitu Hak Cipta (Copy Rights) dan Hak milik Perindustrian (Industrial Property Rights) yang terdiri dari Paten (Patent), Merk (Trademerk), Desain Industri (Industrial Design), Rahasia Dagang (Trade Secret) dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Intergrated Circuit Lay Out Design) dan perlindungan informasi yang dirahasiakan (Protection on Un disclose Information). Hak Kekayaan Intelektual merupakan bagian hukum yang berkaitan dengan perlindungan usaha-usaha keatif. Salah satu contoh bidang Hak Kekayaan Intelektual yang penuh dengan usaha kreatif yaitu mengenai Hak Cipta.

UU No. 28 Tahun 2014 adalah undang- undang hak cipta dan merupakan suatu bentuk upaya perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah kepada kreator (pencipta) maupun pemegang hak cipta untuk melindungi hasil ciptaannya agar tidak disalahgunakan oleh pihak- pihak yang tidak bertanggung jawab yang akan menimbulkan kerugian bagi pencipta baik dari segi moral maupun materi. Tindakan penyalahgunaan hak cipta dapat dikatakan sebagai bentuk pelanggaran hak cipta. Wujud pelanggaran hak cipta yang sering terjadi adalah dengan memproduksi

(13)

dan mendistribusikan produk bajakan, yaitu dengan cara memperbanyak karya cipta orang lain tanpa seizin dari pemegang hak cipta yang kemudian didistribusikan dengan tujuan yang bersifat komersial.

Permasalahan mengenai Hak Cipta akan menyentuh berbagai aspek seperti aspek teknologi, industri, sosial, budaya dan berbagai aspek lainnya. Namun aspek yang terpenting jika dihubungkan dengan perlindungan bagi karya intelektual adalah aspek hukum. Hukum diharapkan mampu mengatasi berbagai permasalahan yang timbul berkaitan dengan Hak Cipta tersebut. Hukum harus dapat memberikan perlindungan bagi karya intelektual, sehingga mampu mengembangkan daya kreasi masyarakat yang pada akhirnya bertujuan untuk berhasilnya perlindungan Hak Cipta.

Aturan main yang ada di dalam UU hak cipta sebenarnya sudah menetapkan sanksi yang berat bagi para pelaku pelanggaran hak cipta.

Akan tetapi kelemahannya terletak pada aparat penegak hukumnya.

Aparat penegak hukum masih kurang tegas dan konsisten dalam menerapkan sanksi hukum yang berlaku, sehingga banyak pelaku pelanggaran hak cipta yang tetap berani melakukan praktik pembajakan karya cipta. Banyak hal yang menyebabkan banyaknya aksi pembajakan di Indonesia. Salah satunya, vonis hakim yang ringan pada tersangka aksi ilegal itu di Indonesia. Selama ini Indonesia dikenal sebagai daerah pemasaran dan pusat produksi barang bajakan.

(14)

Selain lemahnya penegakan hukum yang dilakukan oleh hakim, tanggung jawab dalam hal penegakan hukum juga melibatkan polisi sebagai aktor yang berperan dalam penyidikan kasus. Peran polisi sangat berpengaruh karena polisi adalah aktor yang pertama kali mengungkap adanya kasus kejahatan melalui upaya penyelidikan yang dilakukan.

Secara universal peran polisi dalam masyarakat dirumuskan sebagai penegak hukum (law enforcement officer), dan pemeliharaan ketertiban (order enforcement officer). Dalam pengertian itu termasuk di dalamnya peran sebagai pembasmi kejahatan (crime fighter). Terbongkarnya suatu kasus kejahatan bergantung pada upaya penyelidikan dan proses penanganan selanjutnya yang dilakukan oleh polisi. Sebagai aktor yang berperan dalam upaya penyelidikan terhadap suatu perkara, polisi harus bekerja secara profesional yaitu melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan peran yang dimiliki dan berdasarkan aturan yang berlaku.

Dalam hal pemberantasan kejahatan pada masyarakat khususnya yang berkaitan dengan pelanggaran hak cipta, polisi telah melakukan beberapa upaya untuk membasmi atau setidaknya meminimalisir praktik pelanggaran hak cipta di Indonesia. Upaya yang dilakukan oleh pihak kepolisian salah satunya adalah dengan melakukan razia produk bajakan dari para distributor, akan tetapi pada kenyataannya yang terjadi sampai saat ini adalah praktik pelanggaran hak cipta melalui distribusi produk bajakan masih banyak terjadi. Banyaknya kasus pelanggaran hak

(15)

kekayaan intelektual, terutama hak cipta dan merk di Indonesia, disebabkan ketidakoptimalan peran polisi selaku penyidik terhadap pelaku pembajakan.

Optimalisasi peran polisi dalam menangani kasus pelanggaran hak cipta sangat dibutuhkan sebagai upaya untuk membasmi/ meminimalisir praktik pelanggaran hak cipta. Polisi jangan sampai menyalahgunakan tugas dan wewenangnya dalam penanganan suatu kasus. Ketika polisi menyalahgunakan atau tidak melaksanakan tugas dan wewenangnya secara optimal, maka tindakan polisi ini justru akan menyebabkan suatu kejahatan semakin sulit diberantas dalam hal ini adalah kasus pelanggaran hak cipta.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dipilih dan diangkat permasalahan tersebut kedalam bentuk skripsi dengan judul :

“PERANAN PENYIDIK DALAM PENANGANAN PERKARA

PELANGGARAN HAK CIPTA ”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian-uraian pada latar belakang di atas, maka ada beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini yakni :

1. Bagaimanakah peranan penyidik serta kendala yang dihadapi dalam mengungkap tindak pidana pelanggaran hak cipta ?

(16)

2. Bagaimana Pemberlakuan ketentuan pidana terhadap kasus pelanggaran hak cipta lagu yang dilakukan oleh rumah bernyanyi karaoke di Kota Makassar?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penulisan yang hendak dicapai dalam tulisan ini, yaitu :

1. Untuk mengetahui peranan penyidik serta kendala yang dihadapi dalam mengungkap tindak pidana pelanggaran hak cipta;

2. Untuk mengetahui sejauhmana pemberlakuan ketentuan pidana pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta terhadap kasus pelanggaran hak cipta lagu yang dilakukan oleh rumah bernyanyi karaoke di Kota Makassar.

D. Manfaat Penelitian.

Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut:

1. Sebagai sumbangan bagi mahasiswa Fakultas Hukum pada umumnya dan bagi penulis sendiri untuk perkembangan ilmu hukum tindak pidana khususnya mengenai perlindungan hak cipta sesuai undang undang No.28 tahun 2014;

2. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi, sumber informasi dan sumbangan pemikiran yang diharapkan

(17)

berguna bagi mahasiswa dan mereka yang ingin mengetahui dan meneliti lebih lanjut tentang tindak pidana perjudian;

3. Sebagai bahan literatur bagi para pembaca dan sebagai masukan bagi para peneliti lain dalam melakukan penelitian pada bidang yang sama terutama melihat dari sisi yang lain dari penelitian ini.

(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak pidana

Pengertian tentang tindak pidana dalam Kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah Strafbaarfeit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana.

Istilah tindak pidana dalam Bahasa Indonesia berasal dari Bahasa Belanda yaitu “strafbaar feit”. Pembentuk undang- undang menggunakan kata “strafbaar feit” untuk menyebut apa yang dikenal sebagai “Tindak Pidana” tetapi dalam Undang- Undang hukum Pidana tidak memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan

“strafbaar feit”

Perkataan “feit” itu sendiri dalam bahasa Belanda berarti

“sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeeltevan werkelijkheid”. Sedang “strafbaar” berati “dapat dihukum”, sehingga secara harafiah perkataan “strafbaar feit” itu dapat

(19)

diterjemahkan sebagai “ sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum” yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan maupun tindakan.

Selain istilah “strafbaar feit” dalam bahasa Belanda juga dipakai istilah lain yaitu “delict” yang berasal dari bahasa Latin

“delictum” dan dalam bahasa Indonesia dipakai istilah “delik”.

Dalam bahasa Indonesia dikenal juga dengan istilah lain yang ditemukan dalam beberapa buku dan undang-undang hukum pidana yaitu peristiwa pidana, perbuatan pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum dan pelanggaran pidana.

Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengankesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa ayang kongkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.

(20)

Pakar asing hukum pidana menggunakan istilah Tindak Pidana atau Perbuatan Pidana atau Peristiwa Pidana, dengan istilah :

a) Strafbaar Feit adalah peristiwa pidana

b) Strafbare Handlung diterjemahkan dengan Perbuatan Pidana, yang digunakan oleh para sarjana Hukum Pidana Jerman; dan

c) Criminal Act diterjemahkan dengan istilah Perbuatan kriminal. Delik yang dalam bahasa Belanda disebut Strafbaarfeit, terdiri atas tiga kata, yaitu straf, baar, feit. Yang masing-masing memiliki arti

1. Straf diartikan sebagai pidana dan hukum 2. Baar diartikan sebagai dapat dan boleh

3. Feit diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.

Jadi istilah Strafbaarfeit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan yang dapat dipidana, sedangkan delik dalam bahasa asing disebut Delict yang artinya suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman (pidana). Andi Hamzah dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana memberikan defnisi mengenai delik yakni :

(21)

“Delik adalah suatu perbuatan atau tindakan yang terlarang dan diancam dengan hukuman oleh undang- undang (pidana).”

Lanjut Moeljatno mengartikan Strafbaarfeit sebagai berikut:

“Strafbaarfeit itu sebenarnya adalah 6suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang- undangan.

Sementara Jonkers merumuskan bahwa :

“Strafbaarfeit sebagai peristi-a pidana yang diartikannya sebagai6suatu perbuatan yang mela-an hukum (- ederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukanoleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.”

Strafbaarfeit juga diartikan oleh Pompe sebagaimana dikutip dari buku karya Lamintang, sebagai:

“Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja telah dilakukan olehseorang pelaku" dimana penjatuhan hukuman terhadap pelakutersebut adalah pelu demi terpeliharanya tertib hukum.”

Adapun Simons masih dalam buku yang sama dan juga dikutib dalam buku karya Lamintang merumuskan Strafbaarfeit adalah:

“Suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungja-abkan atastindakannya dan yang oleh undang$undang telah dinyatakan sebagaisuatu tindakan yang dapat dihukum.”

H.J. Van Schranvendijk mengartikannya delik sebagai perbuatan yang boleh dihukum, sedangkan Utrecht lebih menganjurkan pemakaian istilah peristiwa pidana, karena istilah pidana menurut beliau dalam buku Amir Ilyas, meliputi perbuatan

(22)

(Andelen) atau Doen positif atau melainkan (Visum atau nabetan atau met doen, negatif/maupun akibatnya).

Andi Zainal Abidin dalam buku yang sama mengemukakan pada hakikatnya istilah yang paling tepat adalah

“delik” yang berasal dari bahasa latin “delictum delicta” karena:

1. Bersifat universal,semua orang di dunia ini mengenalnya;

2. Bersifat ekonomis karena singkat;

3. Tidak menimbulkan kejanggalan seperti “Peristiwa Pidana", “Perbuatan pidana” (bukan peristiwa perbuatan yang dipidana, tetapi pembuatnya); dan 4. Luas pengertiannya sehingga meliputi juga delik-delik

yang diwujudkan oleh korporasi orang tidak kenal menurut hukum pidana ekonomi Indonesia.

Dari beberapa istilah yang dipergunakan oleh sarjana- sarjana tersebut sebagai terjemahan delik (Strafbaarfeit)

menurut Amir Ilya, tidaklah mengikat. Utuk istilah mana yang ingin dipergunakan asalkan tidak merubah makna Strafbaarfeit, merupakan hal yang wajar-wajar saja tergantung dari pemakaianny, misalnya saja Wirjono Prodojikoro menggunakan istilah peristiwa pidana dalam bukunya Hukum Acara Pidana Indonesia cetakan ke V 1962 sedangkan selama kurang lebih dua puluh tahun beliau menggunakan istilah “tindak pidana”.

(23)

2. Jenis-jenis Delik atau Tindak Pidana

Membagi kelompok benda atau manusia dalam jenis-jenis tertentu atau mengklasifikasikan dapat sangat beraneka ragam sesuai dengan kehendak yang mengklasifikasikan, menurut dasar apa yang diinginkan, demikian pula halnya dengan jenis-jenis tindak pidana. KUHP telah mengklasifikasikan tindak pidana ke dalam 2 (dua) kelompok besar, yaitu dalam buku kedua dan ketiga masing-masing menjadi kelompok kejahatan dan pelanggaran.

a. Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan yang dimuat dalam buku II dan pelanggaran yang dimuat dalam buku III. Alasan pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran adalah jenis pelanggaran lebih ringan dibandingkan kejahatan. Hal ini dapat diketahui dari ancaman pidana pada pelanggaran tidak ada yang diancam dengan pidana penjara, tetapi berupa pidana kurungan dan denda, sedangkan kejahatan dengan ancaman pidana penjara.

b. Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil dan tindak pidana materil. Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa larangan yang dirumuskan adalah melakukan suatu perbuatan tertentu. Perumusan tindak pidana formil tidak memerlukan dan/atau tidak

(24)

memerlukan timbulnya suatu akibat tertentu dari perbuatan sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan hanya pada perbuatannya. Tindak pidana materil adalah menimbulkan akibat yang dilarang. Oleh karena itu, siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana.

c. Berdasarkan bentuk kesalahan, dibedakan antara tindak pidana sengaja (dolus) dan tindak pidana tidak dengan sengaja (culpa). Tindak pidana sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan, sedangkan tindak pidana tidak sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya mengandung culpa.

d. Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana aktif dan dapat juga disebut tindak pidana komisi dan tindak pidana pasif disebut juga tindak pidana omisi. Tindak pidana aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan aktif. Perbuatan aktif adalah perbuatan yang untuk mewujudkannya diisyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang berbuat. Bagian terbesar tindak pidana yang dirumuskan dalam KUHP adalah tindak pidana aktif. Tindak pidana pasif ada 2 (dua), yaitu tindak pidana pasif murni dan tindak pidana pasif yang tidak

(25)

murni.Tindak pidana pasif murni adalah tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya semata-mata unsur perbuatannya adalah berupa perbuatan pasif. Sementara itu, tindak pidana pasif yang tidak murni berupa tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat aktif atau tindak pidana yang mengandung suatu akibat terlarang, tetapi dilakukan dengan tidak berbuat atau mengabaikan sehingga akibat itu benar-benar timbul.

e. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya,dapat dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama atau berlangsung terus menerus. Tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk terwujudnya atau terjadinya dalam waktu seketika atau waktu singkat saja, disebut juga dengan aflopende delicten. Sebaliknya, ada tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga terjadinya tindak pidana itu berlangsung lama, yakni setelah perbuatan dilakukan, tindak pidana itu masih berlangsung terus menerus yang disebut dengan voordurende delicten. Tindak pidana ini juga dapat disebut sebagai tindak pidana yang menciptakan suatu keadaan yang terlarang.

(26)

f. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus. Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materil (Buku II dan Buku III). Sementara itu, tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat di luar kodifikasi KUHP.

g. Dilihat dari segi subjeknya, dapat dibedakan antara tindak pidana communia (tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang) dan tindak pidana propria (tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu).

Pada umumnya tindak pidana itu dibentuk dan dirumuskan untuk berlaku pada semua orang. Akan tetapi, ada perbuatan yang tidak patut yang khusus hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu saja, misalnya: pegawai negeri (pada kejahatan jabatan) dan nakhoda (pada kejahatan pelayaran).

h. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka dibedakan antara tindak pidana biasa dan tindak pidana aduan. Tindak pidana biasa yang dimaksudkan ini adalah tindak pidana yang untuk dilakukannya penuntutan terhadap pembuatnya dan tidak diisyaratkan adanya pengaduan dari yang berhak. Sementara itu, tindak aduan adalah tindak pidana yang dapat dilakukan penuntutan

(27)

pidana apabila terlebih dahulu adanya pengaduan oleh yang berhak mengajukan pengaduan.

i. Berdasarkan berat-ringannya pidana yang diancamkan, dapat dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok, tindak pidana diperberat dan tindak pidana yang diperingan. Dilihat dari berat ringannya, ada tindak pidana tertentu yang dibentuk menjadi :

1. Dalam bentuk pokok disebut juga bentuk sederhana atau dapat juga disebut dengan bentuk standar;

2. Dalam bentuk yang diperberat;

3. Dalam bentuk ringan.

Tindak pidana dalam bentuk pokok dirumuskan secara lengkap, artinya semua unsurnya dicantumkan dalam rumusan.

Sementara itu, pada bentuk yang diperberat dan/atau diperingantidak mengulang kembali unsur-unsur bentuk pokok, melainkan sekedar menyebut kualifikasi bentuk pokoknya atau pasal bentuk pokoknya, kemudian disebutkan atau ditambahkan unsur yang bersifat memberatkan atau meringankan secara tegas dalam rumusan. Adanya faktor pemberat atau faktor peringan menjadikan ancaman pidana terhadap bentuk tindak pidana yang diperberat atau yang diperingan itu menjadi lebih berat atau lebih ringan dari pada bentuk pokoknya.

(28)

B. Tinjauan Umum Tentang Hak Cipta 1. Pengertian Hak Cipta

Dalam sejarah perkembangan istilah hak cipta (bahasa Indonesia yang lazim dipakai sekarang) pada awal mulanya istilah yang dikenal adalah hak pengarang sesuai dengan terjemahan harfiah bahasa Belanda, Auteursrecht. Baru pada Kongres Kebudayaan Indonesia ke-2, Oktober 1951 di Bandung, penggunaan istilah hak pengarang dipersoalkan karena dipandang menyempitkan pengertian hak cipta. Jika istilah yang dipakai adalah hak pengarang, seolah-olah yang diatur hak cipta hanyalah hak-hak dari pengarang saja dan hanya bersangkut paut dengan karangmengarang saja, sedangkan cakupan hak cipta jauh lebih luas dari hak-hak pengarang.

Kongres lalu memutuskan untuk mengganti istilah hak pengarang dengan istilah hak cipta. Istilah ini merupakan istilah yang diperkenalkan oleh ahli bahasa, Soetan Moh. Syah dalam suatu makalah pada waktu kongres. Menurutnya terjemahan Auteursrecht adalah hak pencipta, tetapi untuk penyederhanaan dan kepraktisan disingkat menjadi hak cipta.

Menurut bahasa Indonesia, istilah hak cipta berarti hak seseorang sebagai miliknya atas hasil penemuannya yang berupa tulisan, lukisan dan sebagainya yang dilindungi oleh undang-undang. Dalam bahasa Inggris disebut copy right yang

(29)

berarti hak cipta. Adapun pengertian secara yuridis menurut UUHC, pada Pasal1 angka (1) menyatakan hak cipta adalah hak ekslusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suat ciptaan diwujudkan kedalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Prinsip Dasar Hak Cipta

Dalam kerangka ciptaan yang mendapatkan hak cipta setidaknya harus memperhatikan beberapa prinsip-prinsip dasar hak cipta, yakni:

a) Yang dilindungi hak cipta adalah ide yang telah berwujud dan asli. Salah satu prinsip paling fundamental dari perlindungan hak cipta adalah konsep bahwa hak cipta hanya berkenaan dengan bentuk perwujudan dari suatu ciptaan misalnya karya tulis sehingga tidak berkenaan atau tidak berurusan dengan substansinya. Dari prinsip dasar ini telah melahirkan dua sub prinsip, yaitu:

1) Suatu ciptaan harus mempunyai keaslian (originality) untuk dapat menikmati hak-hak yang diberikan undang-undang. Keaslian sangat erat hubungannya dengan bentuk perwujudan suatu ciptaan;

(30)

2) Suatu ciptaan, mempunyai hak cipta jika ciptaan yang bersangkutan diwujudkan dalam bentuk nyata. Ini berarti bahwa suatu ide atau pikiran atau gagasan atau belum merupakan suatu ciptaan;

3) Karena hak cipta adalah eksklusif dari pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya (Pasal 1 angka (1) UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta) berarti tidak ada orang lain yang boleh melakukan hak itu kecuali dengan izin pencipta.

b) Hak cipta timbul dengan sendirinya (otomatis).

Suatu hak cipta eksis pada saat seorang pencipta mewujudkan idenya dalam suatu bentuk yang berwujud. Dengan adanya wujud dari suatu ide, suatu ciptaan lahir. Ciptaan yang dilahirkan dapat diumumkan (to make public/openbaarmaken) dan dapat tidak diumumkan. Suatu ciptaan yang tidak diumumkan, hak ciptanya tetap ada pada pencipta.

c) Hak cipta suatu ciptaan merupakan suatu hak yang diakui hukum (legal right) yang harus dipisahkan dan harus dibedakan dari penguasaan fisik suatu ciptaan.

d) Hak cipta bukan hak mutlak (absolut). Menurut Pasal 1 angka (1) UUHC, menyebutkan bahwa hak cipta

(31)

merupakan hak eksklusif bagi pencipta, yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tidak mengurangi pembatasan pembatasan menurut perundang-undangan yang berlaku. Dari ketentuan ini perlu dikemukakan bahwa hak cipta bukanlah suatu hak yang berlakunya secara absolut dan bukan hanya mengenai hak saja. Hak cipta juga berkenaan dengan kewajiban sebagaimana dapat dibaca dalam Pasal 1 angka (1) UUHC tentang hak cipta yang tersebut di atas, yaitu bahwa hak cipta dibatasi Undang-Undang.

Hak cipta bukan merupakan suatu monopoli mutlak melainkan hanya suatu limited monopoly. Hal ini dapat terjadi karena hak cipta secara konseptual tidak mengenal konsep monopoli penuh, sehingga mungkin saja seorang pencipta menciptakan suatu ciptaan yang sama dengan ciptaan yang telah tercipta lebih dahulu.

3. Subjek Hak Cipta : Pencipta dan Pemegang Hak Cipta.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan pencipta adalah seseorang atau beberapa orang yang secara bersama-sama melahirkan suatu ciptaan. Selanjutnya dapat pula diterangkan bahwa yang mencipta suatu ciptaan

(32)

menjadi pemilik pertama dari hak cipta atas ciptaan bersangkutan.

Pasal 1 angka (2) UUHC mendefinisikan pencipta secara rinci sebagai berikut:

“Pencipta adalah seseorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi”.

Pengertian pemegang hak cipta dinyatakan dalam Pasal 1 angka (4) UUHC yaitu:

“Pemegang hak cipta adalah pencipta sebagai pemilik hak cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut secara sah”

Dengan demikian, pencipta hak cipta otomatis menjadi pemegang hak cipta, yang merupakan pemilik hak cipta, sedangkan yang menjadi pemegang hak cipta tidak harus penciptanya, tetapi bisa pihak lain yang menerima hak tersebut dari pencipta atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak tersebut dari pencipta atau pemegang hak cipta yang bersangkutan.

Pada BAB IV UUHC mengatur orang-perorangan dan badan hukum yang dapat menjadi pencipta dalam penggolongan:

a. Seorang tertentu (Pasal31-32);

b. Dua atau lebih orang (Pasal33);

(33)

c. Seorang karyawan (Pasal 35-36);

d. Badan hukum (Pasal37).

Pembedaan pencipta dalam beberapa golongan memiliki implikasi yang sangat penting terhadap hak dan kewajiban pencipta, pendaftaran ciptaan, lama berlaku hak cipta dan pertanggungjawaban dalam hal terjadinya pelanggaran hak cipta.

Beberapa penggolongan mengenai pencipta di atas menjelaskan bahwa pada dasarnya secara konvensional yang digolongkan sebagai pencipta adalah seseorang yang melahirkan suatu ciptaan untuk pertama kali sehingga ia adalah orang pertama yang mempunyai hak-hak sebagai pencipta yang sebutan ringkasnya untuk kepraktisannya disebut hak pencipta, dan lebih ringkas lagi menjadi hak cipta.

Pada mulanya, untuk menentukan siapa yang menjadi pencipta pertama dari suatu ciptaan tertentu tidaklah terlalu sulit.

Misalnya: pencipta suatu ciptaan karangan ilmiah adalah seorang yang menulis tulisan ilmiah tersebut; pencipta suatu ciptaan musik adalah komposer; dan pencipta suatu ciptaan potret adalah fotografer.

Meskipun demikian, dengan semakin berkembangnya teknologi canggih pada akhir-akhir ini, untuk menentukan siapa yang menjadi pencipta pertama dari suatu ciptaan tertentu,

(34)

memerlukan penjelasan dengan suatu pendekatan yang agak berbeda. Terutama dalam menentukan pencipta dari ciptaan- ciptaan yang tergolong sebagai hak-hak yang berkaitan dengan hak cipta, misalnya: pencipta dari suatu pergelaran musik klasik adalah seorang pelaku (Performer); pencipta dari rekaman suara suatu lagu dalam bentuk compact disc atau pita seluloid adalah produser rekaman suara; dan pencipta dari tayangan pertunjukan/ pergelaran musik melalui siaran televisi adalah lembaga penyiaran.

Mengetahui siapa yang merupakan pencipta pertama suatu ciptaan adalah sangat signifikan, karena:

a. Hak-hak yang dimiliki seorang pencipta pertama sangat berbeda dengan hak-hak pencipta terhadap hak terkait dengan hak cipta;

b. Masa berlakunya perlindungan hukum bagi pencipta pertama biasanya lebih lama dari mereka yang bukan pencipta pertama;

c. Pengidentifikasian pencipta pertama secara benar merupakan syarat bagi keabsahan pendaftaran ciptaan (Pasal31 UUHC), walaupun pendaftaran tidak mutlak harus dilakukan.

Untuk menjelaskan tentang siapakah yang disebut sebagai pencipta, UUHC menentukan bahwa pencipta

(35)

adalah orang yang membuat atau melahirkan suatu ciptaan. Akan tetapi, perkecualian dari pedoman umum tersebut ditentukan sebagai berikut:

1) Dalam hal ciptaan terdiri atas beberapa bagian tersendiri yang diciptakan oleh dua orang atau lebih, yang dianggap sebagai pencipta ialah orang yang memimpin serta mengawasi penyelesaian seluruh ciptaan itu (Pasal 33 ayat (1)), atau dalam hal tidak ada orang memimpin dan mengawasi ciptaan tersebut, yang dianggap sebagai pencipta adalah orang yang menghimpunnya dengan tidak mengurangi hak cipta masing-masing atas bagian ciptaannya itu (Pasal 33 ayat (2));

2) Dalam hal suatu ciptaan yang dirancang oleh seseorang serta diwujudkan dan dikerjakan oleh orang lain dibawah pimpinan dan pengawasan orang yang merancang, yang dianggap pencipta adalah orang yang merancang ciptaan itu (Pasal34);

3) Kecuali diperjanjikan lain pemegang hak cipta atas ciptaan yang dibuat oleh pencipta dalam hubungan dinas, yang dianggap pencipta yaitu instansi pemerintah (Pasal 35 ayat (1));

(36)

4) Kecuali diperjanjiakan lain, pencipta dan pemegang hak cipta atas ciptaan yang dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan pesanan yaitu pihak yang membuat ciptaan (Pasal 36). Lebih lanjut penjelasan Pasal 36 “yang dimaksud dengan

‘hubungan kerja atau berdasarka pesanan’ adalah ciptaan yang dibuat atas dasar hubungan kerja di lembaga swasta atau atas dasar pesanan pihak lain.”;

5) Kecuali terbukti sebaliknya dalam hal badan hukum melakukan pengumuman, pendistribusian, atau komunikasi atas ciptaan yang berasal dari badan hukum tersebut, dengan tanpa menyebut seseorang sebagai pencipta, yang dianggap sebagai pencipta yaitu badan hukum (Pasal 37).

4. Perlindungan Hak Cipta

Ciptaan atau karya cipta atau “works” adalah hasil setiap karya pencipta dalam bentuk yang khas dan menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, dan sastra.

Bandingkan dengan arti kata “works” di dalam Pasal 102 UUHC Amerika Serikat bahwa yang dimaksud dengan “works” dalam lingkup ciptaan adalah karya cipta sastra, ciptaan musik termasuk kata-kata yang menyertainya, karya cipta drama

(37)

termasuk setiap musik yang menyertainya, pantomin dan tari, majalah menggambar (pictorical), yang berkaitan dengan tulisan tangan (graphic), dan karya patung (sculptural), karya cipta film dan ciptaan audiovisual lainnya, rekaman suara, dan karya cipta arsitektur.

a. Jenis-Jenis Ciptaan Yang Dilindungi Menurut Pasal 1 angka (3) UUHC,

“Ciptaan adalah hasil setiapkarya pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan" seni atau sastra”.

Lebih lanjut ditentukan, ciptaan-ciptaan yang dilindungi berdasarkan UUHC adalah ciptaan di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, yang mencakup :

1) Buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan dan semua hasil karya tulis lain;

2) Ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan yang sejenis dengan itu;

3) Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;

4) Lagu atau musik dengan atau tanpa teks;

5) Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan dan pantomim;

(38)

6) Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, seni pahat, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase dan seni terapan;

7) Arsitektur;

8) Peta;

9) Seni batik;

10) Fotografi;

11) Sinematografi;

12) Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database dan karya lainnya dari hasil pengalihwujudan.

Menurut L. J. Taylor yang dilindungi hak cipta adalah ekspresi dari sebuah ide, jadi bukan melindungi idenya itu sendiri. Dengan demikian yang dilindungi adalah bentuk nyata dari sebuah ciptaan dan bukan yang masih merupakan sebuah gagasan atau ide. Bentuk nyata ciptaan tersebut bisa berwujud khas dalam bidang kesusastraan, seni maupun ilmu pengetahuan .

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 dalam Penjelasannya menyatakan bahwa :

“Perlindungan Hak Cipta tidak diberikan kepada ide atau gagasan karena karya cipta harus memiliki bentuk yang khas, bersifat pribadi dan menunjukkan keaslian sebagai Ciptaan yang lahir berdasarkan

(39)

kemampuan, kreativitas, atau keahlian sehingga Ciptaan itu dapat dilihat, dibaca, atau didengar”.

Yang tidak mendapatkan perlindungan Hak Cipta terdapat Pasal 3 UUHC yaitu:

1) Hasill rapat terbuka lembaga-lembaga negara Peraturan perundang-undangan.

2) Pidato kenegaraan atau pidato pejabat pemerintah

3) Putusan pengadilan atau penetapan hakim, atau 4) Keputusan hadan arbitrase atau keputusan

badan-badan sejenis lainnya.

b. Lamanya Perlindungan

Dasar filosofi berlakunya hak cipta adalah sesuai dengan konsepsi hak milik yang bersifat immaterial yang merupakan hak kebendaan. Hak kebendaan yang mempunyai sifat droit de suit, senantiasa mengikuti dimana benda tersebut berada, sehingga pemilik boleh melakukan tindakan hukum apa saja terhadap haknya.

UUHC membedakan jangka waktu perlindungan bagi ciptaan-ciptaan yang dilindungi oleh hak cipta. Bagi hak cipta atas ciptaan buku, ceramah, alat peraga, lagu, drama, tari, seni rupa, arsitektur, peta, seni batik, terjemahan, tafsir, saduran, diberikan jangka waktu

(40)

selama hidup pencipta ditambah 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia.

Selanjutnya hak cipta atas ciptaan program komputer, sinematografi, fotografi, database, dan karya hasil pengalihwujudan diberikan perlindungan selama 50 tahun sejak pertama kali diumumkan. Ciptaan yang dimilki atau dipegang oleh badan hukum, berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali diumumkan.

Adanya batasan waktu pemilikan hak cipta dalam jangka waktu selama hidup ditambah 50 tahun, diharapkan hak cipta tidak tertahan lama pada tangan seseorang pencipta sebagai pemiliknya. Sehingga setelah si pencipta meninggal dan ditambah dengan 50 tahun, selanjutnya haknya dapat dinikmati oleh masyarakat luas secara bebas sebagai milik umum (Public domain), artinya masyarakat boleh mengumumkan atau mernperbanyak tanpa harus minta izin kepada si pencipta atau si pemegang hak dan tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta.

Pembatasan jangka waktu hak cipta yang tercantum pada UUHC, dikenal juga pada aturan Belanda yaitu Auterswet 1912. Ketentuan auterswet ini

(41)

merupakan pengambilalihan dari ketentuan Internasional Konvensi Bern.

Pembatasan hak cipta mempunyai makna supaya hak pencipta sebagai pemilik suatu ciptaan senantiasa benar-benar dihormati sebagai hak individu, dengan jangka waktu yang relatif panjang akan tercipta keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat yang dikenal dengan konsepsi hak milik yang berfungsi sosial. Walaupun demikian dalam praktik ternyata batasan kepemilikan hak cipta ini justru sering menguntungkan pihak lain yaitu pihak prosedur dalam hal karya lagu serta karya seni lainnya dan pada pihak penerbit dalam hal karya cipta berupa buku. Hal ini tidak terlepas dari hak cipta yang mengandung sifat komersial, yaitu ada unsur ekonomis dalam rangka mencari keuntungan.

5. Hak Moral dan Hak Ekonomi a. Hak Moral

Teks Konvensi Bern yang ditandatangani di Roma tahun 1928 mencoba mengatur masalah hak moral dalam dua hal, yaitu paternity right dan integrity. Di dalam teks yang ditandatangani di Brussels tahun 1948 diatur juga mengenai perbuatan yang merusak, memotong-motong

(42)

atau memodifikasi sehingga merusak reputasi ciptaannya.

Pada Stochholm teks yang ditandatangani tahun 1967 dijamin bahwa hak moral akan berlangsung paling tidak sampai dengan daluwarsanya hak ekonomi.

Definisi hak moral merujuk pada hak pencipta untuk melindungi reputasi dan integritas ciptaannya dari penyalahgunaan dan penyelewengan hak moral bersifat personal dan berbeda dengan hukum hak cipta. Hak moral adalah bentuk hak cipta yang non ekonomi. Setelah pencipta menjual hak ciptanya ia akan menerima dua hak yang spesifik yang tidak dapat dihapus atau dijual yaitu pertama, hak untuk dicantumkan namanya pada ciptaan bersangkutan dan kedua, hak untuk tujuan setiap perlakuan terhadap ciptaan bahwa setiap tindakan yang merugikan atau berakibat merugikan kehormatan dan reputasi artis.

Hak moral merupakan perwujudan dari hubungan yang terus berlangsung antara si pencipta dengan hasil karya ciptanya walaupun si penciptanya telah kehilangan atau telah memindahkan hak ciptanya kepada orang lain, sehingga apabila pemegang hak menghilangkan nama pencipta, maka pencipta atau ahli warisnya berhak untuk

(43)

menuntut kepada pemegang hak cipta supaya nama pencipta tetap dicantumkan dalam ciptaannya.

Dengan demikian sekalipun hak moral itu sudah diserahkan baik seluruhnya maupun sebagian kepada pihak lain, namun penciptanya atau ahli warisnya tetap mempunyai hak untuk menggugat seseorang yang tanpa persetujuannya :

(a) meniadakan nama pencipta yang tercantum dalam ciptaan;

(b) mencantumkan nama pencipta pada ciptaannya;

(c) mengganti atau mengubah judul ciptaan; dan (d) mengubah isi ciptaan.

Menurut Desbois dalam bukunya Le Droit D Auteur (1966) berpendapat bahwa sebagai suatu elektrin mengandung empat makna, yaitu:

1. Droit Depublication: hak untuk melakukan atau tidak melakukan pengumuman ciptaanya;

2. Droit De Repentier: hak untuk melakukan perubahan- perubahan yang dianggap perlu atas ciptaannya dan hak untuk menarik dari peredaran atas ciptaan yang telah diumumkan;

(44)

3. Droit Au Respect: hak untuk tidak menyetujui dilakukannya perubahan-perubahan atas ciptaannya oleh pihak lain

4. Droit A La Patemite: hak untuk mencantumkan nama pencipta: hak untuk tidak menyetujui perubahan atas nama pencipta yang akan dicantumkan: dan hak untuk mengumumkan sebagai pencipta setiap waktu yang diinginkan.

Pada dasarnya hak moral pencipta itu adalah tindakan yang berkaitan dengan perubahan ciptaan yang menghina dan dapat merugikan kehormatan atau nama baik si pencipta. Keberadaan hak moral dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu: (1) attribution right, yang bertujuan untuk meyakinkan nama pencipta dicantumkan di dalam ciptaannya; dan (2) integrity right, yang bertujuan untuk melindungi ciptaan pencipta dari penyimpangan, pemenggalan atau pengubahan yang merusak integritas pencipta.

b. Hak Ekonomi

Apabila memahami pasal-pasal yang ada di dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2002, maka pencipta memiliki hak eksklusif (eksklusif right) yang tersebar di dalam Pasal 2, Pasal 26, dan Pasal 45. Pasal 2 UUHC

(45)

menentukan, bahwa: (1) Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku; dan (2) pencipta dan/atau penerima hak cipta atas karya film dan program komputer memiliki hak untuk memberi izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial.

Hak Ekonomi (Economy Right) adalah hak yang dimiliki oleh seorang pencipta untuk mendapatkan keuntungan atas ciptaannya. Hak ekonomi ini merupakan hak khusus bagi pencipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya dan memberi izin untuk itu.

Hak ekonomi ini dapat dialihkan kepada pihak lain. Hak ekonomi tersebut diantaranya adalah:

(a) Hak pengadaan atas ciptaan

Bentuk penggandaan atau perbanyakan ini bisa di lakukan secara tradisional maupun melalui peralatan modern Hak penggandakan ini juga mencakup perubahan bentuk ciptaan satu keciptaan lainnya

(46)

misalnya: karya tulis, rekaman musik, pertunjukan drama dan film.

(b) Hak adaptasi

Hak untuk mengadakan adaptasi, dapat berupa penerjemahan dari bahasa satu ke bahasa lainnya, aransemen musik, dramatisasi dari non dramatik, merubah menjadi cerita fiksi dari karangan non fiksi atau sebaliknya hak ini diatur baik dalam Konvensi Bern maupun Konvensi Universal.

Karya cetak berupa buku, misalnya novel, mempunyai hak turunan (derivative) yaitu diantaranya hak film (film rights), hak dramatisasi (dramatitation), hak menyimpan dalam media elektronik (electronic rights). Hak film dan hak-hak dramatisasi adalah hak yang timbul bila si novel tersebut dirubah menjadi isi sekenario film, atau sekenario drama yang bisa berupa opera, balet maupun drama musikal.

(c) Hak distribusi

Hak distribusi adalah hak dimiliki pencipta untuk menyebarkan kepada masyarakat setiap hasil ciptaannya. Penyebaran tersebut dapat berupa bentuk penjualan, penyewaan, atau bentuk lain yang

(47)

maksudnya agar ciptaan tersebut dikenal oleh masyarakat. Dalam hak ini termasuk pula bentuk dalam UUHC, disebut dengan pengumuman yaitu pembacaan penyuaraan, penyiaran atau penyebaran sesuatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun dan dengan cara sedemikian rupa sehingga ciptaan dapat dibaca, didengar atau dilihat oleh orang lain.

(d) Hak penampilan

Hak ini dimiliki para pemusik, dramawan, maupun seniman lainnya yang karyanya dapat terungkap dalam bentuk pertunjukan. Pengaturan tentang hak pertunjukan ini dikenal dalam Konvensi Bern maupun Konvensi Universal.

(48)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Untuk memperoleh data dan informasi yang di perlukan berkaitan dengan permasalahan dan pembahasan penulisan ini, maka penulis melakukan penelitian dengan memilih lokasi penelitian di kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu tepatnya di Mapolda Sulsel (Direktorat Reserse Kriminal Khusus Subdit I Industri dan Perdagangan). Tempat penelitian tersebut dipilih oleh Penulis karena dianggap berkesesuaian dengan judul yang di angkat oleh penulis.

B. Jenis dan Sumber Data

Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder antara lain :

1. Data Primer

Jenis data primer yang digunakan dengan melakukan wawancara secara langsung dengan pihak-pihak yang berhubungan dengan pembahasan masalah dalam skripsi ini.

2. Data Sekunder

Jenis data sekunder yang digunakan yaitu data yang diperoleh melalui literatur atau studi kepustakaan yang relevan dengan masalah yang diteliti. Mencakup buku-buku, putusan pengadilan (yurisprudensi)

(49)

atau peraturan-peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen yang terkait dengan permasalahan yang berfungsi sebagai pelengkap atau pendukung dari data primer.

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah :

1. Wawancara

Penulis mengadakan penelitian secara langsung dengan wawancara dan tanya jawab secara langsung yang dianggap dapat memberikan keterangan yang diperlukan dalam pembahasan objek penelitian .

2. Studi Dokumen

Penelitian Pustaka dilaksanakan untuk mengumpulkan sejumlah data meliputi bahan pustaka yang bersumber dari buku-buku, terhadap dokumen perkara serta peraturan-peraturan yang berhubungan dengan penelitian ini.

D. Analisis Data

Data yang diperoleh atau data yang berhasil dikumpulkan selama proses penelitian dalam bentuk data primer maupun data sekunder dianalisis secara kualitatif kemudian disajikan secara deskriptif yaitu menjelaskan, menguraikan dan menggambarkan sesuai dengan permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian yang dilakukan oleh

(50)

penulis. Sehingga hasil dari penelitian ini nantinya diharapkan mampu memberikan gambaran secara jelas dan konkrit terhadap objek yang dibahas secara kualitatif dan selanjutnya data tersebut disajikan secara deskriptif yaitu menjelaskan, menguraikan, dan menggambarkan sesuai dengan permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian ini.

(51)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Peran Penyidik Kepolisian dalam Penerapan Delik Biasa atas Pelanggaran Hak Cipta

Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia dari masa kemasa selalu menjadi bahan pembicaraan berbagai kalangan, mulai dari praktisi hukum maupun akademisi hukum bahkan masyarakat. Upaya pengupasan masalah kepolisian itu dikarenakan adanya faktor kecintaan dari berbagai pihak kepada Lembaga Kepolisian dan ditaruhnya harapan yang begitu besar, agar fungsinya sebagai aparat penegak hukum bisa berjalan sebagaimana mestinya.

Berdasarkan tugas pokoknya, sebagai penegak hukum dan pembina keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas), maka terdapat tiga fungsi utama Polri yaitu bimbingan masyarakat, preventif dan represif. Fungsi bimbingan masyarakat (Bimmas) merupakan upaya untuk menggugah perhatian (attention) dan menanamkan pengertian (understanding) pada masyarakat untuk melahirkan sikap penerimaan (acceptance) sehingga secara sadar mau berperan serta (participation) dalam upaya pembinaan Kamtibmas pada umumnya dan ketaatan pada hukum (law abiding citizen) khususnya. Fungsi preventif (pencegahan) merupakan upaya ketertiban atau perencanaan termasuk memberikan perlindungan dan pertolongan (search and rescue atau SAR). Fungsi

(52)

represif merupakan upaya penindakan dalam bentuk penyelidikan dan penyidikan gangguan Kamtibmas atau kriminalitas.

Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan merupakan pelaksana tugas dan wewenang Polri di wilayah Sulawesi Selatan yang berada di bawah Kapolri. Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan bertugas melaksanakan tugas pokok Polri yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat serta melaksanakan tugas-tugas Polri lainnya dalam daerah hukum Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Susunan organisasi Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan yang terdiri dari unsur pemimpin, unsur pengawasan dan pembantu pimpinan/pelayanan, unsur pelaksana tugas pokok, unsur pendukung, dan unsur pelaksana tugas kewilayaan.

Penanganan kasus pelanggaran dibidang Hak Kekayaan Intelektual oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan Sulsel sebelum tahun 2011 hanyalah ditangani oleh penyidik pada Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan. Pada tahun 2011 barulah dibentuk subdit-subdit pada Reserse Kriminal Khusus yang penanganan perkara di setiap subdit berbeda. Subdit I khusus menangani perkara dibidang Industri dan Perdagangan, Subdit II khusus menangani perkara Tindak Perbankan, Subdit III khusus menganani perkara Pidana Korupsi,

(53)

dan Subdit IV khusus menangani perkara dibidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan.

Dalam hal hubungannya dengan penelitian Penulis, subdit yang khusus menangani kasus pelanggaran terhadap hak cipta adalah Subdit I yaitu Sub Direktorat Industri dan Perdagangan Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan. Subdit I ini tidak hanya menangani tindak pidana hak kekayaan intelektual tetapi juga tindak pidana pada industri dan perdagangan, perfilman, asuransi, investasi, perlindungan konsumen, karantina, penyiaran, dan juga tindak pidana telekomunikasi/pengawasan frekuensi.

Pada tindak pidana di bidang hak kekayaan intelektual khususnya hak cipta, Penyidik pada Subdit I Reskrimsus Polda Sulsel berperan dalam menindaklanjuti setiap persoalan yang berhubungan dengan tindak pidana di bidang hak cipta. Apabila mendapat laporan atau menemukan sendiri pelanggaran tersebut petugas kepolisian dapat melakukan penindakan. Hal ini pula telah Penulis jelaskan bahwa Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta memberikan klasifikasi delik sebagai delik biasa sehingga para pelaku pelanggar dapat dituntut berdasarkan ketentuan pidana yang terdapat dalam undang-undang tersebut. Karena UUHC telah memberikan kewenangan kepada Penyidik untuk melakukan pemeriksaan terhadap pihak atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang hak cipta.

(54)

Menurut keterangan yang diberikan oleh AKBP Amiruddin, Kasubdit Indag Dit Krimsus Polda Sulsel mengatakan seperti halnya Penyidik yang lain, Penyidik pada Subdit I Reskrimsus Polda Sulsel melakukan proses penyidikan terhadap kasus pelanggaran hak cipta berdasarkan Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP, Undang-Undang RI No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Perkap 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

Adapun kasus yang telah ditangani oleh Subdit Industri dan Perdagangan Reskrimsus Polda Sulsel dalam bidang hak cipta sejak 2011 hingga 2012 ada 2 (dua) kasus. Kasus dengan Laporan Polisi LPB/176/IV/2012 TGL 17 April 2012 dan Laporan Polisi LPB/399/VIII/2012 TGL 15 Agustus 2012 yang kelengkapan berkas kasus tersebut telah dinyatakan P21.

Pada masa sekarang bentuk kejahatan sudah berubah, disamping bentuk kejahatan konvensional, kejahatan terhadap ekonomi memiliki modus operandi yang sulit dalam pengungkapannya dan dilakukan oleh orang berpendidikan tinggi. Kejahatan dilakukan tidak lagi oleh orang miskin, para pejabat maupun pengusaha yang tidak miskin melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat. Kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari kelas sosial ekonomi tinggi yang melakukan pelanggaran terhadap hukum yang dibuat untuk mengatur

(55)

pekerjaannya. Karena itu, sudah menjadi kenyataan bahwa semakin maju suatu negara akan semakin banyak pula muncul bentuk kejahatan di negara tersebut. Modus operandinya pun semakin canggih melalui teknik- teknik yang tidak mudah dilacak, melakukan pemalsuan dokumen yang sangat rapi dengan penyalahgunaan komputer, termasuk di dalamnya kasus pelanggaran hak Kekayaan Intelektual.

Ditreskrimsus merupakan unsur pelaksana pokok yang berada di bawah Kapolda. Ditreskrimsus bertugas menyelenggarakan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana khusus, koordinasi, pengawasan operasional, dan administrasi penyidikan PPNS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam melaksanakan tugasnya Ditreskrimsus menyelenggarakan fungsi penyelididkan dan penyidikan tindak pidana khusus antara lain tindak pidana ekonomi, korupsi, dan tindak pidana tertentu di daerah hukum Kepolisian Daerah Sulsel serta menganalisis kasus beserta penanganannya, mempelajarinya dan mengkaji efektivitas pelaksanaan tugas Ditreskrimsus.

B. Kendala Yang Dihadapi dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Pelanggaran Hak Cipta

Adapun kendala yang dihadapi oleh pihak kepolisian pada Subdit I Reskrimsus Polda Sulsel dalam menyelidiki kasus pelanggaran hak cipta,

(56)

terutama yang menyangkut pelanggaran hak cipta lagu yaitu Ahli yang sulit didatangkan dari Jakarta serta pencipta lagu yang sulit ditemukan.

Dalam praktiknya tindak pidana hak cipta tidak tepat dimasukkan dalam kategori delik biasa. Oleh karena itu, tindak pidana hak cipta harus diubah dari delik biasa menjadi delik aduan. Setidak-tidaknya ada tiga alasan mengapa saya berpendapat demikian, yaitu pertama, aparat penegak hukum tidak akan bisa menentukan apakah telah terjadi tindak pidana hak cipta tanpa membandingkan barang hasil pelanggaran hak cipta dengan ciptaan aslinya. Hanya pencipta atau pemegang hak ciptanya-lah yang memegang dan mengetahui dengan pasti ciptaan yang asli tersebut. Oleh karena itu, seharusnya tidak mungkin aparat penegak hukum dapat bergerak sendiri tanpa adanya pengaduan terlebih dahulu dari pencipta atau pemegang hak cipta yang merasa dirugikan atas tindak pidana tersebut. Kedua, dalam melakukan proses hukum, aparat penegak hukum tidak mungkin langsung mengetahui apakah suatu pihak telah mendapat izin untuk mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan. Oleh karena itu, pasti ada pengaduan terlebih dahulu dari pencipta atau pemegang hak cipta yang mengetahui dengan pasti bahwa suatu pihak telah melanggar hak ciptanya karena tidak memiliki izin untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya.

Ketiga, dalam praktik, apabila terjadi pelanggaran hak cipta, pihak yang hak ciptanya dilanggar lebih menginginkan adanya ganti rugi dari pihak yang melanggar hak cipta ketimbang pelanggar hak cipta tersebut

(57)

dikenakan sanksi pidana penjara atau denda. Oleh karena itu, penyelesaiannya diupayakan secara damai di luar pengadilan. Namun, karena tindak pidana hak cipta adalah delik biasa, sering kali aparat penegak hukum yang mengetahui adanya pelanggaran hak cipta terus melanjutkan proses hukum pidana meski sudah ada kesepakatan damai antara pihak yang dilanggar hak ciptanya dengan pihak yang melanggar hak cipta. Hal ini tentu saja akan menyulitkan posisi para pihak yang telah berdamai tersebut. Indonesia telah memiliki beberapa undang-undang di bidang HKI, yaitu tentang paten, merek, hak cipta, desain industri, rahasia dagang dan desain tata letak sirkuit terpadu. Kecuali undang-undang tentang hak cipta, undang-undang di bidang HKI lainnya menentukan bahwa tindak pidana yang diatur didalamnya merupakan delik aduan.

Sangat aneh ketika tindak pidana hak cipta diatur berbeda dengan tindak pidana dibidang HKI lainnya. Dengan demikian, seharusnya tindak pidana hak cipta diatur sama dengan tindak pidana di bidang HKI, yaitu merupakan delik aduan.

Tetapi apabila ciptaan tersebut ingin digunakan dalam suatu usaha atau mengomersialkan materi hak cipta maka sebagai pelaku usaha yang beritikad baik terlebih dahulu pelaku usaha ini meminta izin kepada pencipta dari ciptaan tersebut. Apabila berhubungan dengan penggunaan ciptaan lagu, pelaku usaha ini dapat meminta izin pengalihan hak ekonomi kepada produser rekaman atau suatu asosiasi yang diberi kuasa oleh pencipta untuk mewakilinya dalam pengalihan hak. Disaat pelaku usaha

(58)

ini telah memperoleh pengalihan izin penggunaan lagu dalam bentuk pengumuman, Yayasan Karya Cipta Indonesia yang selanjutnya disingkat YKCI selaku salah satu wadah perantara antara pencipta dan pelaku usaha memberikan sertipikat penggunaan lagu sesuai dengan syarat- syarat tertentu dan dalam jangka waktu tertentu. Jikalau pelaku usaha ini meminta pengalihan izin langsung kepada penciptanya maka bentuk pengalihannnya berbentuk perjanjian lisensi yang selanjutnya lisensi tersebut didaftarkan pada dirjen haki.

Jadi kalau alasannya penegak hukum berkendala dalam menemukan alat bukti sebagaimana alasan beliau di atas bahwa pencipta dan pemegang hak ciptalah yang memegang dan mengetahui dengan pasti ciptaan aslinya, pihak penyidik dapat menanyakan keberadaan lisensi pengalihan hak tersebut atau sertipikat pengalihan hak yang telah mereka peroleh sebelumnya disaat pengurusan izin tersebut atau kalau diperlukan cek lisensi yang terdaftar pada direktorat haki. Apabila pelaku usaha itu tidak memilikinya maka dapat dipastikan pelaku usaha tersebut telah melanggar hak pencipta.

Kedua, apabila alasannya adalah tidak akan mungkin mengetahui apakah suatu pihak telah mendapat izin untuk mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan. Penulis dapat menganalogikan bahwa penggunaan narkoba tanpa resep dari dokter yang telah mengikuti pelatihan di rumah sakit ketergantungan obat merupakan suatu perbuatan yang dilarang, ada pun jenis yang hanya diperbolehkan adalah

(59)

psikotropika golongan III dan golongan IV. Hal ini barulah dapat diketahui jika Polisi melakukan penggerebekan atau razia terhadap pelaku yang melakukan perbuatan yang melanggar hukum tersebut. Hal semacam ini pula dapat diberlakukan pada kasus pelanggaran hak cipta. Jadi para pelaku usaha dapat dirazia oleh pihak kepolisian tanpa adanya aduan terlebih dahulu kepada Polisi.

Ketiga, apabila alasannya karena seringkali pencipta lebih menginginkan ganti rugi daripada sanksi pidana diberlakukan terhadap pihak yang melanggar. Penulis berpendapat UUHC telah memberikan hak kepada pencipta untuk dapat melakukan gugatan perdata pada pengadilan negeri dan juga penuntutannya. Delik biasa pada UUHC ini diberikan karena selain kepentingan pribadi pencipta yang dirugikan juga hal ini berimplikasi pada pemasukan negara dari sektor perpajakan. Telah diketahui bahwa sebagian besar pelaku usaha menginginkan perolehan keuntungan dengan cara yang mudah. Jadi untuk alasan menyulitkan para pihak yang ingin berdamai Penulis rasa bukanlah suatu alasan yang tepat karena pelanggaran hak cipta tidak hanya berbicara mengenai pencipta dan pelaku usaha tetapi juga negara yang dalam hal ini turut merasakan kerugian yang ditimbulkan oleh para pelanggar hak cipta.

Potensi kerugian negara dari 60 kasus pelanggaran hak cipta yang telah ditangani oleh Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual diperkirakan mencapai sekitar Rp 100 miliar. Seandainya royalti yang diterima oleh pencipta sebesar peredaran ciptaanya di lapangan maka pencipta akan

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Karakterisasi isolat dengan menggunakan HPLC menunjukkan kromatogram yang mirip dengan kuersetin sebagai senyawa standar.. Kata kunci: isolasi, Moringa oleifera lamk.,

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai pedoman konselor dalam memberikan program bimbingan dan konseling yang tepat terhadap siswa yang mempunyai persepsi negatif

Tujuan dari penelitian yaitu untuk menganalisis, mengevaluasi sistem informasi akuntansi persediaan CV Liem San pada siklus pengeluaran, penyimpanan, pemesanan

Pada konteks ini lebih mengacu pada pemahaman lama seperti yang dijelaskan diatas di nomer tiga yakni kiai sebagai pemimpin pesantren dan memiliki pesantren. Kiai

Usulan konektivitas transportasi terdiri dari optimalisasi jaringan jalan yang menghubungkan Kecamatan Tanggunggunung - Kecamatan Besuki, Kecamatan Tanggunggunung – Kecamatan

Dari analisis capaian IKK, pada tahun 2020 BP PAUD dan Dikmas Provinsi Sulawesi Barat menetapkan target kinerja pemetaan mutu dengan indikator persentase

[r]

IMPEMENTASI PENDEKATAN OPEN-ENDED DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA PADA SISWA KELAS V Studi Multi Kasus di MI Miftahul Ulum Kota Batu dan