• Tidak ada hasil yang ditemukan

Untitled Document

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Untitled Document"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

Karya Ilmiah

PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN

Oleh :

Vera A. R. Pasaribu, S.Sos., MSP.

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN

(2)

KATA PENGANTAR

Pembangunan pedesaan merupakan faktor penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun dalam merencanakan maupun melaksanakan program pembangunan pedesaan tidak bisa dilakukan secara seragam melainkan harus sesuai dengan ciri khas dari masing-masing desa. Sebab setiap desa memiliki karakteristik yang berbeda dilihat dari segi mutu sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam (SDA), jumlah penduduk, keadaan sosial dan ekonomi, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, termasuk masalah dan kebutuhan pokok masyarakat yang berbeda pula. Pemerintah juga harus dapat mengatasi tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan pembangunan pedesaan, baik yang bersifat internal maupun eksternal agar tujuan pembangunan wilayah pedesaan dapat berhasil dicapai.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Penulis juga menerima kritikan yang membangun bagi kesempurnaan karya ilmiah ini kedepannya. Kiranya tulisan ini dapat berguna bagi setiap pembaca.

Medan, Juli 2007 Penulis

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Tujuan Penulisan 4

BAB II PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN 4

2.1.Masalah Pokok Masyarakat Desa 4

2.2.Kondisi Empiris Pembangunan Indonesia 8

2.3. Kewenangan Desa 15

BAB III PEMBAHASAN 21

3.1. Pembangunan Masyarakat Desa 21

3.2. Melepas Ketergantungan Desa Dari Luar 29 3.3. Agroindustri Dalam Membangun Pedesaan 31 3.4. Pembangunan Desa Yang Berkelanjutan 34 3.5. Industrialisasi Desa-Democratic Governance 35

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 38

4.1. Kesimpulan 38

4.2. Saran 40

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penduduk Indonesia diperkirakan berjumlah lebih dari 200 juta pada awal abad

ke-21, terbesar keempat di dunia setelah RRC, India, dan Amerika Serikat. Tersebar

pada 13.000 pulau, di mana 70 persen bermukim di desa dan bekerja pada sektor

pertanian. Setiap desa memiliki karakteristik yang berbeda dilihat dari segi mutu

sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam (SDA), jumlah penduduk, keadaan

sosial dan ekonomi, tingkat pendidikan, dan tingkat pendapatan. Masalah dan

kebutuhan pokok masyarakat pada setiap desa juga berbeda. Hal ini berarti bahwa

setiap program pembangunan pedesaan harus berbeda sesuai dengan ciri khas dari

masing-masing desa.

Sudah lama diakui bahwa pembangunan pedesaan merupakan faktor penting

dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ada manfaat langsung dan tidak langsung

dari pembangunan prasarana yang sangat signifikan, baik dalam penciptaan kesempatan

kerja maupun strategi yang efektif untuk mengentaskan kemiskinan. Pembangunan

pedesaan juga merupakan suatu strategi dalam mencapai tujuan-tujuan pembangunan.

Investasi dalam prasarana pedesaan berbasis sumber daya setempat dengan jelas

memberikan mamfaat yang signifikan bagi perekonomian dan kondisi sosial masyarakat

pedesaan. Berbagai indikator ekonomi seperti peningkatan penghasilan, kesempatan

kerja, produktifitas dan distribusi pendapatan yang lebih baik. Manfaat sosial meliputi

penghematan waktu, akses yang lebih mudah ke sekolah dan sarana kesehatan serta

(5)

Dalam upaya mencapai keberhasilan tujuan pembangunan wilayah pedesaan saat

ini, secara umum kita dihadapkan pada banyak tantangan yang sangat berbeda sifatnya

dibandingkan pada masa-masa yang lalu. Tantangan pertama berkaitan dengan kondisi

eksternal seperti perkembangan internasional yang berhubungan dengan liberalisasi arus

investasi dan perdagangan global. Sedangkan yang kedua bersifat internal, yaitu yang

berkaitan dengan perubahan kondisi makro maupun mikro dalam negeri. Tantangan

internal disini dapat meliputi transformasi struktur ekonomi, masalah migrasi spasial

dan sektoral, ketahanan pangan, masalah ketersediaan lahan pertanian, masalah

investasi dan permodalan, masalah iptek, SDM, lingkungan dan masih banyak lagi.

Proses transformasi suatu wilayah pedesaan menjadi suatu daerah agroindustri

secara ilmiah telah banyak diulas peneliti dan akademisi dan menjadi tuntutan nyata

dalam proses perkembangan modernisasi masyarakat pertanian, karena kegiatan

pertanian berada di wilayah pedesaan. Dengan melihat desa sebagai wadah kegiatan

ekonomi, kita harus merubah pandangan inferior atas wilayah ini, dan merubahnya

dengan memandang desa sebagai basis potensial kegiatan ekonomi melalui investasi

prasarana dan sarana yang menunjang keperluan pertanian, serta mengarahkannya

secara lebih terpadu. Sudah saatnya desa tidak dapat lagi dipandang hanya sebagai

wilayah pendukung kehidupan daerah perkotaan, namun seharusnya pembangunan

wilayah kota atau daerah pedesaan secara menyatu.

1.2. Tujuan Penulisan

Berdasarkan uraian di atas, maka tulisan ini penting untuk dilakukan terutama

bila dikaitkan dengan upaya pembangunan ekonomi masyarakat pedesaan yang saat ini

(6)

adalah untuk mengetahui dan memahami bagaimana pelaksanaan pembangunan desa,

yang meliputi cara melepas ketergantungan desa dari luar, agroindustri dalam

(7)

BAB II

PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN

2.1. Masalah Pokok Masyarakat Desa

Merebaknya kebutuhan akan suatu strategi besar ekonomi nasional baru (grand

strategy) sebenarnya telah lama dinantikan. Kini, setelah begawan ekonomi Prof

Sumitro Djojohadikusumo sendiri yang mengimbau para ekonom agar segera menyusun

strategi ekonomi pasca krisis yang berorientasi pada kepentingan masyarakat, barulah

masalah ini menjadi aktual dalam mengisi wacana publik di tingkat nasional. Ini

ditafsirkan sebagai pertanda awal bahwa para pakar ekonomi sudah mulai menyadari

tentang tidak akan mampunya utak-atik kebijakan lama membawa bangsa keluar dari

krisis. Merebaknya kebutuhan akan strategi besar ekonomi nasional baru, adalah

pernyataan yang mendambakan hadirnya suatu perubahan yang fundamental dalam

strategi dasar pembangunan ekonomi dengan sungguh-sungguh belajar dari krisis ini.

Sebagai konsekuensinya, kita pun dituntut agar mau meninggalkan pola pikir

dan pola tindak kita selama ini. Dalam kerangka itu, hal penting yang terlebih dahulu

harus dilakukan adalah menentukan ciri dari strategi baru yang hendak dibangun. Secara

sederhana, ciri itu haruslah menutupi kekurangan, meluruskan kekeliruan, dan

mengobati luka-luka bangsa yang pernah ditimbulkan di masa lampau.

Kalau pun ada satu ciri yang paling kuat mewarnai masa lampau, itu tidak lain adalah

ketidakadilan di semua matra kehidupan bangsa. Industri-pertanian,

perkotaan-perdesaan, Jawa-luar Jawa, penguasa/pengusaha-rakyat kecil/buruh, militer-sipil,

laki-laki- perempuan, dan mayoritas-minoritas, adalah beberapa di antara dikotomi

(8)

Strategi pembangunan yang didasarkan kepada doktrin pertumbuhan

“leading-sectors” telah membuat hancur banyak industri kecil di pedesaan. Doktrin pertumbuhan

sebagai adopsi pencangkokan sistem kapitalis, dan metode produksi modern ke dalam

masyarakat desa Indonesia, cenderung memarginalisasi masyarakat dari sistem produksi

dan proses pemanfaatan hasil-hasil produksi. Resikonya, hal ini tidak berhasil mengatasi

problem-problem pokok yang berada di tengah masyarakat

Sebut saja misalnya, penyerapan tenaga kerja secara massal, menurunnya hasil

produksi pertanian di pedesaan, menurunnya tingkat upah, dan sebagainya (Husken,

1998). Proses ini juga menyebabkan kemerosotan ekonomi golongan miskin di

pedesaan, yakni pembengkakan penduduk yang menggantungkan hidupnya dari

kegiatan-kegiatan usaha kecil. Pertumbuhan ekonomi yang timpang antara kawasan

perkotaan dan pedesaan telah menimbulkan apa yang disebut premature urbanization

bersamaan dengan terjadinya structural deformation dalam ekonomi (Sritua Arief,

1990).

Mengalirnya tenaga kerja dari desa ke kota secara massif ternyata tidak dapat

ditampung secara memadai dan berarti dalam struktur ekonomi perkotaan sebagai

manifestasi dari perekonomian modern. Inilah yang memicu terjadinya apa yang disebut

dengan deformasi struktural, wujudnya adalah terjadinya perluasan dan berkembangnya

secara drastis sektor jasa dalam penyerapan tenaga kerja. Keberadaan sektor jasa ini

bukan disebabkan oleh permintaan akan jasa-jasa oleh sektor modern, tetapi

semata-mata disebabkan oleh ketidaksanggupan sektor modern untuk menyerap tenaga kerja

dalam jumlah banyak.

Margono Slamet (1978) mengemukakan bahwa masalah, ditinjau dari segi

(9)

yang diinginkan. Adanya suatu situasi baru yang diinginkan tetapi tidak tercapai juga

menimbulkan ada masalah. Masyarakat desa menginginkan produksi usaha tani

meningkat, tetapi tidak tercapai, tentu ada masalah. Indonesia menginginkan gerakan

reformasi dapat menciptakan stabilitas sosial dan ekonomi, tetapi tidak berhasil, tentu

ada masalah. Di dalam kegiatan pembangunan desa, masalah akan muncul secara terus

menerus dan dalam bentuk yang bermacam-macam. Penyebabnya, juga berbeda

sehingga diperlukan proses identifikasi masalah untuk menentukan mana yang prioritas,

yang mudah dipecahkan dan yang sulit dipecahkan.

Prioritas adalah masalah yang benar-benar berat dan mengganggu kehidupan

masyarakat desa sehingga seluruh masyarakat desa merasakan perlu pemecahan segera.

Pengalaman empiris menunjukkan bahwa masalah rumit di desa ternyata mudah

dipecahkan oleh masyarakat, karena faktor penyebabnya secara dini sudah diketahui

masyarakat. Sering terjadi ada kasus-kasus kecil yang sebenarnya penting untuk

mendapat perhatian tetapi masyarakat baru bertindak setelah keadaan semakin

memburuk. Hal yang sama dapat terjadi pada masalah yang dianggap ringan. Ada

masalah yang benar-benar sulit, tetapi masyarakat desa tidak dapat bertindak, karena

pemecahannya berada di luar kemampuan mereka, sehingga diperlukan bantuan para

ahli dari luar masyarakat itu.

Dorodjatun Kuncoro-Jakti (1994) mengemukakan bahwa masalah-masalah pokok

masyarakat desa terdiri dari keterbelakangan dan kemiskinan, atau lebih tepat disebut

masalah struktur yang menampilkan diri dalam wujud makin buruknya perbandingan

antara luas tanah dan jumlah individu dan pola pemilikan atas tanah. Hal ini

mendorong meningkatnya jumlah pengangguran baik terselubung maupun terbuka, serta

(10)

dikalangan petani. Di sisi lain, semakin kuat kekuasaan birokrasi negara yang bersifat

nepotistik dan feodal, dan makin meluas korupsi dalam birokrasi. Masalah lain adalah

membesarnya kekuasaan golongan minoritas termasuk orang asing di sektor

perdagangan dan penanaman modal, dan adanya dualisme sosial, ekonomi, dan

teknologi.

Di Indonesia, terdapat beberapa masalah nasional mendasar yang menjadi

pangkal problema pembangunan pedesaan yang perlu mendapat perhatian, yaitu:

a. Pemikiran mendasar tentang dua titik tolak strategi pembangunan desa yang

berlawanan yaitu pola strategi yang bersifat perencanaan dari atas dengan pola

strategi perencanaan dari bawah

b. Masyarakat desa menghadapi masalah kemiskinan, keterbelakangan, dan

ketidaktahuan

c. Masalah kepemilikan tanah yang semakin sempit dan terbatasnya peluang

kesempatan kerja di luar sektor pertanian yang mendorong tingginya tingkat

pengangguran dan urbanisasi

d. Potensi pembangunan Indonesia yang terdapat di desa, yang apabila

dilaksanakan dengan konsisten, maka pembangunan desa akan mampu

mendorong akselerasi pemecahan masalah nasional yang multidimensi.

Sayangnya, telah terjadi dekadensi kehidupan ekonomi dan sosial budaya di

pedesaan, akibat kesalahan strategi pembangunan yang berorientasi pada

pemusatan pembangunan industri di kota-kota yang menggunakan bahan baku

(11)

2.2. Kondisi Empiris Pembangunan Indonesia

Kondisi empiris yang terjadi di Indonesia sejauh ini menunjukkan terjadinya

pola pembangunan dengan strategi pertumbuhan tersebut. Mulai jaman Orde Baru

sampai era reformasi, watak itu masih demikian kental membaluti proses pembangunan.

Bahkan, secara sistematik skema pembangunan ini juga merambah ke desa, dengan

berbagai resiko. Jika kita klasifikasikan, setidaknya ada tiga skema besar dalam

pembangunan desa sejauh ini.

Pertama, pembangunan desa yang dibimbing langsung oleh negara. Sebagai

aktor utama, negara telah melancarkan pembangunan dan pemberdayaan melalui skema

“pembangunan nasional” dan “pembangunan daerah”, sebagai “master plan” yang

direncanakan secara sentralistik (terpusat), birokratis (dikendalikan oleh institusi dan

prosedur birokrasi) dan teknokratis (dirancang oleh para ahli). Partisipasi masyarakat

(dalam katagori kritis) tidak dikenal sebagai menu utama perencanaan. Namun hanya

diperlakukan sekadar bumbu pelengkap cita-rasa perencanaan semata. Negara, dengan

demikian telah memonopoli kewenangan perumusan kebijakan, regulasi, informasi dan

dana untuk memobilisasi agenda kegiatan pembangunan.

Tercatat, untuk rentang waktu empat dekade terakhir dari pemerintahan, melalui

skema pembangunan nasional dan daerah, sangat giat melancarkan berbagai program

yang dimaksudkan untuk melancarkan transformasi ekonomi desa. Sebut saja mulai dari

pembangunan desa terpadu sampai dengan penanggulangan kemiskinan desa. Melalui

pembangunan itulah, pemerintah mengusung sejumlah tujuan yang mulia di desa.

Diantaranya, memberbaiki kondisi fisik, membuka lapangan kerja, meningkatkan

pendapatan dan taraf hidup masyarakat, memerangi kebodohan dan keterbalakangan,

(12)

Dalam konteks itu, pembangunan desa terpadu (integrated rural development)

merupakan master plan orde baru yang didukung lembaga-lembaga internasional seperti

Bank Dunia. Model ini ditempuh dengan skema perbaikan prasarana fisik spasial desa

(perhubungan, ekonomi, sosial, dan pemasaran), peningkatan produksi pertanian

melalui revolusi hijau, maupun pembangunan sektoral (berorientasi pada pertumbuhan

ekonomi dan layanan sosial semacam pendidikan dan kesehatan). Pembangunan

prasarana fisik spasial desa (perhubungan, ekonomi, sosial, dan pemasaran) itulah yang

menjadi ikon utama pembangunan desa, yang notabene didanai secara terpusat melalui

Inpres Bandes, mulai tahun 1969 sampai 1999. Jika pembangunan prasarana fisik yang

berskala kecil ini melibatkan partisipasi (swadaya) masyarakat, maka pembangunan

sektoral lebih menempatkan masyarakat desa sebagai obyek atau kelompok penerima

manfaat (beneficiares). Pembangunan sektoral dikemas menjadi rangkaian “proyek

berkelanjutan” yang didanai oleh APBN dan ditangani langsung oleh birokrasi negara

baik di pusat maupun daerah (yang membantu pusat). Waktu itu para kepala desa selalu

mengatakan bahwa semua departemen pemerintah, kecuali Departemen Luar Negeri,

pasti mempunyai proyek pembangunan sektoral ke wilayah desa. Karena itu yang

terjadi bukanlah daerah dan desa yang membangun, melainkan pembangunan yang

dilancarkan di daerah dan desa oleh pemerintah pusat. Kebijakan ini merupakan skema

sentralisme pembangunan yang belum memperkenalkan desentralisasi pembangunan

secara otentik, meski sejak 1982 sudah dikenal perencanaan pembangunan dari bawah

(bottom-up planning).

Kedua, pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat. Di satu sisi warga

masyarakat, orang per orang, mengembangkan prakarsa dan potensi dirinya

(13)

mengembangkan pertanian, ada yang berbisnis, ada yang berdagang, ada yang

membangun industri rumah tangga, ada yang bersekolah, ada yang merantau ke kota,

dan seterusnya. Banyak warga masyarakat desa yang sukses mendongkrak mobilitas

sosial, karena usaha mereka sendiri atau karena memanfaatkan dampak positif

pembangunan yang digerakkan negara. Ketersediaan sarana perhubungan dan pasar,

misalnya, memungkinkan warga desa bisa melakukan transaksi ekonomi atau

hilir-mudik ke kota dengan lancar dan mudah.

Di sisi lain pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat sangat tampak dari

sisi swadaya dan gotong-royong masyarakat secara kolektif. Jika ditinjau dari sudut

pemerintahan lokal, swadaya dan gotong-royong masyarakat merupakan ciri khas dan

basis “otonomi asli” desa, yang ada sejak dulu. Sementara jika dilihat dari konteks

pembangunan desa di era Orde Baru, swadaya dan gotong-royong masyarakat

merupakan komponen utama dalam pembangunan prasarana fisik spasial desa, yang

dikombinasikan dengan bantuan dari pemerintah. Pemerintah selalu mengatakan bahwa

bantuan desa merupakan stimulan yang membangkitkan swadaya. Ini adalah upaya

lokalisasi pembangunan, bahwa masyarakat hanya diberi ruang yang sempit untuk

mengelola pembangunan prasarana fisik yang berskala sangat kecil, sehingga

masyarakat desa tidak perlu berpikir dan menyentuh pembangunan desa yang berskala

lebih besar

Ketiga, pembangunan yang digerakkan oleh modal, sering kita sebut kapitalisasi

atau industrialisasi desa. Negara memang memberikan lisensi dan akses permodalan

kepada para pengusaha (pemilik modal), baik nasional maupun internasional, untuk

melancarkan industrialisasi di kawasan pedesaan. Memang ada industrialisasi yang

(14)

konveksi, keramik tanah, kain, batu-bata, makanan lokal, genting, agro-industri, dan

masih banyak lagi. Model industri ini lebih bersifat padat karya ketimbang padat modal,

yang sering dikatakan sebagai kekuatan penyangga ekonomi rakyat desa. Tetapi yang

lebih krusial untuk kita cermati adalah industri padat modal berskala besar yang

betul-betul melakukan eksploitasi terhadap tanah maupun sumberdaya alam di wilayah

pedesaan. Kita bisa menyebut industri pariwisata, pengolahan hasil

pertanian-perkebunan (gula, kayu lapis, rokok, minyak goreng, makanan, tepung terigu, dll),

pengolahan tanah-batu (genting, batu bata, keramik, dan sebagainya), pengolahan

sampah, pengolahan air minum, real estate (perumahan mewah), pertokoan besar (mall),

pertambangan, dan manufaktur, yang semuanya beroperasi di wilayah dan komunitas

desa.

Ketiga skema pembangunan di atas juga disertai dengan pembangunan politik

yang dikendalikan negara. Tetapi pembangunan politik yang dijalankan Orde Baru

bukanlah sebagai upaya transformasi politik (melalui desentralisasi dan demokratisasi),

melainkan merupakan bentuk “rekayasa politik” melalui negaranisasi (sentralisasi,

birokratisasi, korporatisasi, regimentasi, depolitisasi dan represi) untuk mengendalikan

masyarakat dan menciptakan stabilitas politik. Sejak awal pemerintah, melalui doktrin

Trilogi Pembangunan (stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan), selalu menegaskan

bahwa stabilitas politik merupakan prasyarat pembangunan (pertumbuhan ekonomi) dan

pemerataan. Namun negaranisasi ini secara empirik melakukan marginalisasi politik

terhadap desa, sehingga desa telah kehilangan harga diri, otonomi dan demokrasi.

Menengok perjalanannya sejauh ini, keterpurukan desa erat kaitannya dengan

penerapan kebijakan eksploitatif dan represif (otoriter) pada rentang waktu di bawah

(15)

tersebut terlegitimasikan dalam bentuk regulasi UU No.5/79 (IRE, 2005). Watak aturan

itu diantaranya, pertama, korporatisasi-birokratisasi, yakni manajemen politik atas desa

yang ditandai oleh semangat kontrol dari atas (top down), penyelenggaraan sistem

politik dominatif dengan menghilangkan ruang partisipasi dari bawah. Kedua,

homogenisasi berupa penyeragaman dari sekian pluralitas (komunitas dan asosiasi sipil

setingkat desa), tanpa menghargai perbedaan, dan ketiga, eksploitatif yakni

memanfaatkan sumberdaya atau kekayaan desa yang diolah tetapi hanya dimanfaatkan

demi keuntungan negara semata, tentu mengabaikan peruntukan kepentingan warga

desa.

Secara mendasar, kebijakan dan regulasi tersebut mengandung semangat suatu

konstruksi atau pemaknaan negara atas desa yang menggeser statusnya secara

struktural, dari kesatuan hukum (adat) menjadi teritorial-administratif. Desa, dengan

demikian, dipaksa untuk membuat preferensi yang sama (dalam hal format, struktur dan

orientasi) yang pada substansinya cenderung bias Jawa sesuai skenario pemerintah

(pusat). Maksudnya adalah mengintegrasikan arah pengembangan dan eksistensi desa

ke dalam arus utama, atau ideologi negara.

Dengan keadaan semacam itulah, dalam perspektif sejarah, regulasi pengaturan

desa menjadi titik awal terjadinya reduksi atas otonomi desa, dengan dampak

lama-kelamaan desa makin “terbonsai”, pembiakan aspirasi lokal tidak memperoleh lahan

berkembang, dan stagnasi menjadi sulit dielakkan. Jika ditelusur dari alasan kebijakan

itu muncul, pemerintah Orde Baru nampaknya memandang bahwa keberadaan

desa-desa dengan kesatuan hukum beragam dari corak dan sifatnya, serta posisi yang sangat

(16)

Disamping itu, kemajemukan struktur berbasis karakter kultur lokal dan

perangkat sistem pemerintahan desa yang berlaku di dalamnya itu, dianggap akan

menghambat pembangunan. Menggunakan kacamata pemerintah Orde Baru, desa-desa

ditempatkan sebagai bagian organis dari keseluruhan sistem yang ada pada negara. Oleh

karena itulah, untuk menempatkan desa dalam kedudukan dan peran terintegrasi

kekuasaan pemerintah pusat, maka desa-desa tersebut akhirnya diseragamkan. Apabila

mungkin, penyeragaman bukan hanya dalam sistem pemerintahan dan

ketatanegaraannya saja, melainkan dalam sistem sosial budayanya. Selain untuk

memudahkan pengawasan dan kendali, juga agar mempermudah pemerintah

melaksanakan fungsi-fungsi pelayanan.

Homogenisasi dalam pola desa, dengan demikian tentu bukan sebatas makna

kultural (menghilangkan pluralisme etnisitas), tetapi juga pada aras politik, yang berarti

kontrol negara atas sumberdaya desa dapat dijalankan. Pola yang semacam itu

berdampak pada keadaan kapasitas desa yang terus merosot dan bahkan hancur, dimana

desa pada umumnya relatif gagal menghidupi dirinya secara mandiri, demi mewujudkan

pertumbuhan dan kesejahteraan ekonomi warganya.

Apa yang terjadi dengan tiga skema pembangunan ekonomi yang ditopang

dengan pembangunan politik di atas? Pembangunan tentu menjanjikan perbaikan

kemajuan, pertumbuhan, kemakmuran, dan juga kesejahteraan. Di atas kertas,

industrialisasi selalu menjanjikan peningkatan devisa negara, pendapatan asli daerah,

penyediaan lapangan pekerjaan, maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat desa.

Tetapi sejarah telah mencatat bahwa industrialisasi yang tumbuh dengan pesat telah

menciptakan marginalisasi masyarakat lokal, pemiskinan dan kerusakan lingkungan.

(17)

yang menghadapi perlawanan dari masyarakat setempat, sehingga industrialisasi sering

menimbulkan trauma sosial-ekonomi bagi masyarakat.

Secara umum pembangunan dan industrialisasi desa memang telah menciptakan

mobilitas sosial (kemajuan dan kemakmuran) warga desa. Mobilitas sosial bisa kita

ukur dari indikator perubahan wajah fisik desa, perbaikan perumahan penduduk,

peningkatan derajat pendidikan, perubahan struktur okupasi, perbaikan sarana dan

prasarana transformasi penduduk desa, peningkatan kepemilikan perlengkapan modern

(televisi, motor, mobil, telepon selular, parabola, mesin cuci, lemari es, dan masih

banyak lagi), dan sebagainya. Jika melihat indikator ini, desa jauh lebih maju dan

makmur, karena pembangunan dan industrialisasi desa. Berdasarkan oral history dari

para orang tua yang telah melewati 2-3 zaman, kondisi sosial-ekonomi desa yang lebih

baik (maju) itu baru mulai dirasakan sejak dekade 1970-an.

Tetapi ledakan pertumbuhan dan mobilitas sosial itu belum menjadi fondasi

yang kokoh bagi human well being, kesejahteraan dan keadilan di desa. Ketimpangan

jauh lebih besar dan serius ketimbang kemajuan dan kemakmuran yang dihasilkan oleh

pembangunan. Setiap hari kita prihatin dengan balada yang menimpa para petani,

mayoritas penghuni desa. Para petani di sektor lain (tembakau, jeruk, apel, kakao,

cengkeh, lada, mangga, dan lain-lain) selalu tidak berdaya bila bernegosiasi harga

dengan para cukong pemilik modal. Jumlah penduduk miskin dan tingkat kemiskinan di

Indonesia telah mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Pada tahun 1970,

sekitar 68% penduduk Indonesia dikategorikan miskin. Berbagai upaya pembangunan

selama lebih dari dua dekade berhasil menekan persentase penduduk miskin menjadi

11% pada tahun 1996. Namun jumlah penduduk miskin kembali meningkat setelah

(18)

jumlah orang miskin menjadi 47,9 juta orang (23,4% dari total penduduk). Sekitar 15,6

juta orang berada di kawasan perkotaan, dan 32,3 juta orang di perdesaan. Pada tahun

2002 angka kemiskinan mengalami peningkatan, tercatat sejumlah 25,08 juta (21,1%)

penduduk pedesaan yang tergolong sebagai kaum miskin.

Karena itu kesimpulan sementaranya adalah, bahwa pembangunan ekonomi dan

industrialisasi desa yang ditopang oleh rekayasa politik di atas lebih banyak

menciptakan ketimpangan, kemiskinan dan marginalisasi sehingga belum mengarah

pada kesejahteraan dan keadilan di desa.

2.3. Kewenangan Desa

PP No. 72 /2005 tentang Desa ternyata dinilai lebih longgar dalam melakukan

desentralisasi kekuasaan terhadap desa. PP tersebut kembali menghidupkan peran BPD

sebagai parlemen desa untuk melakukan pengawasan terhadap kebijakan desa.

Meskipun demikian, tentu saja sebagai suatu peraturan pelaksanaan dari UU No.

32/2004, PP itu tidak banyak mampu menawarkan paradigma baru dalam

menghidupkan kembali demokrasi di desa. Garis sub ordinasi kewenangan BPD di

bawah eksekutif masih dapat dilacak jejaknya dalam PP tentang desa itu, yang pada

pasal 29 menyebutkan kedudukan BPD sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan

desa. Padahal, pasal 202 ayat (1) UU No. 32/2004 memberikan pengertian pemerintah

desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa.

Seperti dilansir dari sinar harapan beberapa waktu lalu menurut Persada Girsang

Dirjen Pemdes Depdagri mengungkapkan banyak hal dalam tuntutan kepala desa yang

sebenarnya masuk akal dan memang harus dipenuhi. Ada juga tuntutan yang sebenarnya

(19)

kegiatan politik partai dan keinginan memperpanjang masa jabatan. Jika keinginan

terlibat dalam politik diizinkan, bukan tidak mungkin akan terjadi benturan kepentingan

dan bisa merugikan rakyat. Girsang menyatakan otonomi yang sesungguhnya bukan di

kabupaten melainkan di desa. Tapi yang terjadi sekarang karena otonom itu berpusat di

kabupaten, maka untuk izin mendirikan pasar di desa saja harus ada izin dari kabupaten.

Sudah menjadi pemahaman umum bahwa Otonomi Daerah sebagaimana dimaksudkan

dalam Undang-Undang Nomor 32/2004 memberi kesempatan kepada Pemerintah

Kabupaten untuk mengoptimalkan potensi yang ada di daerah masing-masing. Otonomi

daerah itu sendiri merupakan pemberian kewenangan Kepada Daerah untuk mengatur

anggaran daerahnya sendiri, tapi tidak lepas dari pengawasan Pemerintah Pusat.

Berkaitan dengan Otonomi Daerah, bagi Pemerintah Desa; dimana

keberadaannya berhubungan langsung dengan masyarakat dan sebagai ujung tombak

pembangunan. Desa semakin dituntut kesiapannya baik dalam hal merumuskan

Kebijakan Desa (dalam bentuk Perdes), merencanakan pembangunan desa yang

disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta dalam memberikan pelayanan rutin kepada

masyarakat. Demikian pula dalam menciptakan kondisi yang kondusif bagi tumbuh dan

berkembangnya kreativitas dan inovasi masyarakat dalam mengelola dan menggali

potensi yang ada sehingga dapat menghadirkan nilai tambah ekonomis bagi

masyarakatnya. Dengan demikian, maka cepat atau lambat desa-desa tersebut

diharapkan dapat menjelma menjadi desa-desa yang otonom, yakni masyarakat desa

yang mampu memenuhi kepentingan dan kebutuhan yang dirasakannya.

Salah satu ukuran keberhasilan pelaksanaan Otonomi Desa adalah Pemerintah Desa

semakin mampu memberikan pelayanan kepada masyarakatnya dan mampu membawa

(20)

Namun demikian, realitas yang terjadi pada era otonomi dan desentralisasi yang

muatannya sarat akan nilai-nilai demokrasi dan transparansi ini cenderung sering

menghadirkan permasalahan yang kompleks di desa. Dimana pada era tersebut, proses

politik berjalan seperti lebih cepat daripada kemampuan untuk mengelola manajemen

pemerintahan desa yang otonom.

Masyarakat atau kelompok masyarakat diperkenalkan dengan hal baru dalam

konteks politik, yakni kebebasan menentukan sikap dan pendapat serta meniru

demokrasi ala barat, dan demokrasi diartikan sebagai kebebasan tanpa batas. Beberapa

kendala lain yang pantas menjadi bahan pemikiran dan perlu dicari jalan keluarnya,

antara lain: Pertama, merubah mentalitas aparatur, baik di tingkat Desa, Kecamatan

maupun Kabupaten yang terbiasa bersikap sentralistis menuju mentalitas pemberdayaan

daerah. Sehingga untuk melaksanakan suatu kebijakan terkadang masih harus

menunggu Juklak, Juknis dan segala tuntunan dari atas (Tuntas).

Kedua, usulan-usulan tentang prioritas program pembangunan di desa yang

disampaikan kepada Pemerintah Kabupaten setelah melalui Musbang di tingkat desa

dan kecamatan sering terkesan hanya formalitas dan kurang diperhatikan dengan

sungguh-sungguh oleh Pemerintah Kabupaten. Hal itu dapat dilihat dari usulan tentang

prioritas program pembangunan di desa dan kecamatan yang “itu-itu saja” dari tahun ke

tahun. Ironisnya, usulan-usulan itu sering terbentur pada ketidakmampuan daerah dalam

hal pendanaan, atau bahkan terperangkap dalam jaring KKN model baru yang

menyebabkannya terlantar dan hanya menjadi arsip dalam laci. Bukan rahasia lagi

bahwa bagi desa atau kecamatan yang mempunyai orang yang memiliki akses di

pemerintahan, baik di legislatif maupun eksekutif, sangat memudahkan desa atau

(21)

Ketiga, jika Otonomi Desa benar-benar dapat diwujudkan, barangkali cukup

menguntungkan bagi desa-desa yang memiliki aset dan sumber daya alam yang

memadai, namun justru mempersulit untuk desa-desa yang kurang strategis dalam

masalah sumber daya alam dan tidak memiliki aset yang cukup.

Keempat, sikap ambigu Pemerintah Kabupaten dalam penanganan aset kabupaten yang

ada di desa. Di satu sisi aset tersebut dituntut untuk menjadi mata air bagi PAD yang

harus selalu mengalir deras. Di sisi lain, desa yang memiliki aset dan banyak menerima

imbas dari keberadaan aset tersebut kurang dilibatkan penanganannya dan hanya

menerima penyisihan hasil yang sangat jauh dari pantas, apalagi cukup. Contoh yang

mudah mengenai hal ini adalah keberadaan pasar milik Pemerintah Kabupaten yang ada

di desa. Ada satu wacana, bahwa untuk terwujudnya keadilan atau keseimbangan dalam

pemanfaatan Dana Alokasi Umum (DAU) Kabupaten, desa-desa mesti tergabung dalam

asosiasi atau paguyuban agar memiliki kekuatan untuk berembug dan tawar-menawar

dalam hal pemanfaatan DAU Kabupaten.

PP No. 72 /2005 tentang Desa ternyata dinilai lebih longgar dalam melakukan

desentralisasi kekuasaan terhadap desa. PP tersebut kembali menghidupkan peran BPD

sebagai parlemen desa untuk melakukan pengawasan terhadap kebijakan desa.

Meskipun demikian, tentu saja sebagai suatu peraturan pelaksanaan dari UU No.

32/2004, PP itu tidak banyak mampu menawarkan paradigma baru dalam

menghidupkan kembali demokrasi di desa. Garis subordinasi kewenangan BPD di

bawah eksekutif masih dapat dilacak jejaknya dalam PP tentang desa itu, yang pada

pasal 29 menyebutkan kedudukan BPD sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan

desa. Padahal, pasal 202 ayat (1) UU No. 32/2004 memberikan pengertian pemerintah

(22)

Reduksi sistematis terhadap kedudukan dan peranan BPD terlihat

sekurang-kurangnya dalam 2 (dua) hal, yaitu: (1). Tidak ditegaskannya kedudukan BPD sebagai

parlemen/legislatif desa; (2). Mekanisme pengisian keanggotaan BPD yang semula

dalam UU No. 22/1999 “dipilih” berdasarkan mekanisme demokratis, kini dalam UU

No. 32/2004 ditetapkan secara musyawarah dan mufakat dengan basis perwakilan

wilayah.

Ditinjau dari sudut aliran pertanggungjawaban (legal accountabi-lity)

penyelenggaraan pemerintahan desa oleh Kepala Desa versi UU No. 32/2004 maupun

PP No. 72/2005, terlihat sangat kentara adanya tarikan ke atas. Pasal 15 ayat (2) PP No.

72/2005 menyebutkan bahwa Kepala Desa mempunyai kewajiban untuk memberikan

laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada Bupati/Walikota. Tanggung jawab

Kepala Desa kepada BPD hanya dalam bentuk penyampaian laporan keterangan

pertanggungjawaban, dan kepada masyarakat hanya menginformasikan laporan

penyelenggaraan pemerintahan desa.

Rumusan aturan dalam pasal 15 ayat (2) PP desa itu tentu saja terlihat

kontradiktif dengan pasal 35 huruf b PP desa, yang mengatur bahwa BPD memiliki

salah satu wewenang untuk melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan

desa dan peraturan kepala desa. Meskipun pada pasal 35 huruf c PP Desa BPD

diberikan kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala

desa kepada Bupati/walikota, namun mengacu pada rumusan pasal 15 ayat (2) PP Desa

di atas, sangat jelas terlihat ambiguitas pe-ngaturan kewenangan pengawasan BPD.

Selain itu, menyangkut sistem perencanaan di desa terlihat pula belum adanya kehendak

negara untuk membangun pola local self planning di desa. Pasal 63 PP Desa masih

(23)

kesatuan dengan sistem perencanaan pembangunan daerah kabupaten/kota. Sementara

itu, pasal 150 UU No. 32/2004 telah menegaskan bahwa sistem perencanaan daerah

merupakan satu kesatuan dengan perencanaan pembangunan nasional. Apabila ditarik

garis lurus untuk menghubungkan substansi pengaturan mengenai perencanaan di desa,

daerah dan pusat, terlihat sangat jelas yang dibangun adalah model perencanaan terpusat

(centralized planning). Sentralisasi perencanaan semacam itu sebenarnya justru

mengingkari hakekat otonomi daerah, yang seharusnya terus mengalir menjadi otonomi

(24)

BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Pembangunan Masyarakat Desa

Prasyarat yang perlu diketahui untuk memberdayakan masyarakat desa adalah

realita kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan masyarakat desa itu. Adapun

kekuatan-kekuatan masyarakat desa meliputi :

a. Secara kuantitas desa kaya akan SDM dan SDA

b. Masyarakat desa memiliki jiwa kekeluargaan dan kegotongroyongan yang kuat,

menjunjung tinggi semangat kebersamaan berdasarkan prinsip musyawarah dan

mufakat

c. Masyarakat desa sangat religius, berperilaku sesuai dengan norma-norma agama

yang dianut sehingga mereka lebih jujur, sabar dan ulet

d. Menghargai atau patuh terhadap pimpinan baik formal maupun nonformal

e. Menjunjung tinggi dan mempertahankan tradisi sehingga mereka kurang terbuka

terhadap perubahan

f. Masyarakat desa mudah diajak kerja sama untuk membangun desa, terutama

pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan memecahkan

masalah-masalah keseharian mereka.

K

Keelleemmaahhaann--kkeelleemmaahhaannmmaassyyaarraakkaattppeeddeessaaaanniittuummeelliippuuttii::

(

(11)) Kelemahan yang mendasar adalah rendahnya kualitas SDM. Tingkat pendidikan

mereka sangat rendah. Akibatnya, masyarakat desa menjadi tidak berdaya

memanfaatkan atau memobiliser SDA untuk meningkatkan kesejahteraannya.

(25)

kunci untuk membekali masyarakat desa dengan pengetahuan yang praktis, sikap

mental yang baik, dan keterampilan yang handal sehingga mereka mampu

melaksanakan pembangunan secara efektif. Sisi lain yang berkaitan dengan

penyebab rendahnya kualitas SDM di pedesaan adalah terjadinya arus urbanisasi

angkatan kerja muda yang memiliki pola pikir dinamis dan rasional untuk bekerja

pada industri-industri yang dipusatkan di kota. Akibatnya, SDM yang tinggal di

desa adalah mereka yang pola pikirnya statis, tradisional, dan sulit mengadopsi

inovasi. Masalah urbanisasi yang tinggi di Indonesia terjadi akibat pemerintah

kurang mengutamakan pembangunan industri pedesaan yang berbasis pada sektor

pertanian. Tentu saja solusi yang tepat adalah pendekatan desentralisasi, yaitu

pembangunan industri pedesaan yang sekaligus mampu meningkatkan pendapatan

dan membuka peluang kerja baru di pedesaan. Korea Selatan dan RRC mampu

membangun industri maju, setelah mereka berhasil mengubah kemiskinan menjadi

kesejahteraan di pedesaan melalui pembangunan industri pedesaan.

(2) Kemiskinan primer, yaitu suatu keadaan di mana penghasilan yang mereka peroleh

dari hasil usaha tani tidak cukup memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok untuk

hidup sebagai manusia yang layak. Kesempatan kerja di luar sektor pertanian

hampir tidak ada di pedesaan. Jumlah anak putus sekolah dan masyarakat yang

tidak bisa baca tulis semakin besar seiring dengan rendahnya pendapatan.

Diversifikasi di bidang pertanian tidak terlaksana karena rendahnya penguasaan

teknologi, tidak ada modal, kontak dengan sumber informasi dalam meningkatkan

pengetahuanadalah sangat jarang, dan harga yang tinggi dari sarana produksi

(26)

(3) Posisi tawar masyarakat desa sangat lemah terutama waktu menjual hasil produsi

usaha tani. Mereka selalu di dalam posisi yang dirugikan dan menjadikan mereka

semakin miskin dan tidak berdaya.

(4) Masyarakat desa tidak mau atau sering menolak inovasi, kalaupun ada hanya

terbatas pada beberapa orang saja. Hal ini berhubungan dengan kehidupan mereka

yang terikat pada tradisi. Mereka lebih yakin bahwa apa yang mereka miliki adalah

yang terbaik. Pola pikir mereka sangat lokalit.

Arthur Dunham (1958) merumuskan pembangunan masyarakat desa sebagai

“organized efforts to improve the conditions of community life, primarily through the

enlistment of self-help and cooperative effort from the villagers, but with technical

assistance from government or voluntary organization.”

Terdapat tiga ciri pokok pembangunan masyarakat desa, yaitu: pertama, adanya

usaha-usaha yang terorganisir untuk memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat;

kedua, adanya peningkatan usaha kerjasama dan gotong royong dalam melaksanakan

pembangunan; ketiga, pembangunan masyarakat desa memerlukan bantuan teknis dari

pemerintah dan organisasi sukarela.

Lebih lanjut Dunham mengemukakan empat unsur pembangunan masyarakat

desa yaitu: a) a plan program with a focus on the total needs of the village community;

b) technical assistance; c) integrating various specialties for the help of the

commnunity; and d) a major emphasis upon self-help and participation by the residents

of the community.

Keempat unsur di atas menekankan bahwa pembangunan masyarakat desa

adalah suatu program yang terencana, berfokus pada kebutuhan masyarakat,

(27)

kegiatan-kegiatan gotong royong untuk menumbuhkan partisipasi aktif masyarakat

dalam pembangunan.

Pembangunan masyarakat desa menjadi penting pada saat ini, karena Indonesia

adalah negara agraris, mayoritas penduduk tinggal di desa, di mana kehidupan sosial

dan ekonominya tergantung pada usaha tani tradisional. Modernisasi pertanian perlu

mendapat prioritas untuk meningkatkan produksi pertanian dan kualitas hidup

masyarakat desa.

Bertitik tolak dari tujuan pembangunan masyarakat desa di atas, Einsidiel (1968)

mengemukakan beberapa kriteria dari proyek-proyek pembangunan masyarakat desa

yang berhasil dan efektif sebagai berikut.

(1) that the project was a choice of the people, based on their felt needs;

(2) that the project involved the active participation of the people in working toward a

solution of these needs;

(3) that the project enhanced the lives of the people and the whole community;

(4) that the project initiated and established good working relationship among the

technical field worker;

(5) that the project developed positive and favorable attitudes among the people

toward the government;

(6) that the project generated community spirit in the process;

(7) that the project encouraged the people toward self-reliance and self-help.

Hakikat otonomi daerah adalah mendidik masyarakat agar lebih berdaya, mampu

bersaing dalam konteks kerjasama, dan profesional. Masyarakat desa harus

memperoleh kesempatan yang seluas-luasnya untuk melaksanakan pembangunan. Hal

(28)

dapat dilaksanakan oleh masyarakat perlu segera diserahkan pelaksanaannya kepada

masyarakat. Yang belum dapat dilakukan masyarakat dilakukan oleh pemerintah,

dengan tetap berpedoman bahwa suatu saat harus dapat dan segera dilakukan sendiri

oleh masyarakat”.

Membangun desa dengan karakteristik yang berbeda bukanlah masalah yang

sederhana. Membangun desa adalah membangun manusia dengan segala hak dan

kewajibannya yang perlu mendapat perhatian. Karena itu, untuk mencapai tujuan, maka

pembangunan desa perlu berpedoman pada visi yang jelas.

Echols dan Shadily (1990) mengemukakan arti visi atau vision sebagai

penglihatan, daya lihat, pandangan, melihat ke depan dengan pikiran yang jernih.

Pengertian visi dalam konteks pembangunan desa adalah segala sesuatu yang dapat

diwujudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan

desa. Sebagai program yang terorganisasi, visi pembangunan masyarakat desa adalah

usaha untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera baik sosial maupun ekonomi,

memiliki potensi untuk mengorganisasikan sumber daya yang ada guna meningkatkan

mutu hidup yang lebih baik berdasarkan prinsip swadaya dan swakarsa, mendorong

tumbuh dan berkembangnya suatu masyarakat desa yang mandiri dalam arti mampu

mendidik dan menolong diri sendiri, dan membangun suatu sistem kepemimpinan

pedesaan yang demokratis.

Menurut A.S. Hornby et. al. (1963), mengemukakan pengertian misi atau

mission sebagai organized efforts; business or purpose inlife; massage; charge ; duty;

trust. Dalam konteks pembangunan desa, pengertian misi adalah segala sesuatu yang

berhubungan dengan kegiatan-kegiatan yang teroganisasi bertujuan untuk meningkatkan

(29)

maka misi pembangunan masyarakat desa antara lain adalah melaksanakan kegiatan

pembangunan desa guna meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat.

Dilaksanakan melalui kegiatan gotong-royong (self-help), usaha bersama (cooperative

effort), dan mengutamakan potensi-potensi yang dimiliki masyarakat, memberdayakan

masyarakat desa melalui jalur pendidikan nonformal sehingga mereka memiliki

pengetahuan dan keterampilan dan sikap mental positip untuk melaksanakan

pembangunan, dan melaksanakan pembangunan SDM yang berkualitas melalui

kegiatan pendidikan nonformal. Pemberdayaan masyarakat akan efektif jika

pembangunan dilakukan bersama antara masyarakat dan aparat pemerintah sesuai

dengan metode kerja doing with the people, dan membina suatu sistem kepemimpinan

yang efektif di pedesaan.

Di desa ada pemimpin formal dan informal. Permasalahannya adalah

kemampuan untuk memerankan tugas-tugas kepemimpinan pedesaaan yang menjadi

teladan sangat kurang, dan karenanya perlu dilakukan pembinaan. Pembinaan ini

memerlukan kegiatan pendidikan formal dan nonformal guna meningkatkan kualitas

kepemimpinan pedesaan. Margono Slamet (1978) mengemukakan ciri-ciri

kepemimpinan pedesaan yang baik, sebagai berikut:

(1) Empati

Pemimpin di pedesaan perlu memiliki kemampuan untuk menempatkan dirinya

pada kedudukan orang lain. Memberikan pekerjaan atau tugas kepada seseorang

harus sesuai dengan kemampuan orang itu. Pemimpin yang empati selalu bertindak

sesuai dengan prinsip demokrasi, menghargai dan menerima pendapat orang lain,

dapat berdiskusi atau berdialog bertitik tolak dari sudut pandang pendapat orang

(30)

(2) Anggota Masyarakat

Berasal dari masyarakat desa itu sendiri yang kualitas atau prestasinya di masa lalu

dapat diterima sebagai pemimpin.

(3) Penuh pertimbangan

Pemimpin di pedesaan harus arif dan bijaksana, memperhatikan orang lain, dan

harus mempertimbangkan semua akibat dari suatu kebijakan atau tindakan,

termasuk melihat dan menerima kenyataan-kenyataan yang ada di dalam

masyarakat.

(4) Lincah

Harus proaktif, penggembira, memiliki semangat yang tinggi, terbuka, suka bicara

dengan siapa saja untuk membicarakan kepentingan masyarakat, serta dinamis.

(5) Memiliki emosi yang stabil

Memiliki pola perilaku baku, konsisten, dan pola pikirnya dapat diikuti orang lain.

(6) Berkeinginan memimpin

Dipilih dari tokoh masyarakat yang memiliki keinginan menjadi pemimpin.

Walaupun banyak ide, pandai, tetapi tidak ada keinginan memimpin, tidak akan

menjadi pemimpin yang baik.

(7) Memiliki kompetensi menjadi pemimpin

Kompetensi ini menyangkut kemampuan, kecakapan, serta keinginan untuk

memimpin. Di desa banyak orang yang ambisius menjadi pemimpin, tetapi tidak

mampu untuk memimpin. Orang seperti ini tidak akan menjadi pemimpin yang

baik.

(31)

Artinya dia harus memiliki kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional yang

baik. Dia harus mampu mengidentifikasi dan menganalisis masyarakat yang

dipimpinnya dan sekaligus menentukan tujuan apa yang akan dicapai untuk

kepentingan masyarakat desa.

Dia juga harus memiliki pola pikir kosmopolitan broad-minded dan bukan pola

pikir lokalit narrow-minded. Mampu menjadikan masalah yang rumit menjadi

sederhana, dan tidak sebaliknya menjadikan masalah yang sederhana menjadi

rumit.

(9) Berkeyakinan serta konsisten

Harus memiliki rasa percaya diri yang kuat serta konsisten di dalam mengambil

keputusan. Tidak mudah terbawa arus masyarakat dan malah harus mampu

mengarahkan arus keinginan masyarakat desa untuk melaksanakan pembangunan.

(10) Memiliki rasa percaya terhadap diri sendiri.

Harus memiliki self of confidence agar dapat menempatkan dirinya sebagai teladan

dan panutan bagi masyarakat desa. Rasa percaya diri diperlukan untuk

memecahkan permasalahan-permasalahan yang timbul karena adanya perbedaan

persepsi terhadap pembangunan di dalam masyarakat.

(11) Kemampuan membagi kepemimpinan

Harus mampu membagi tugas kepemimpinan sesuai dengan porsi dan wewenang

masing-masing. Mana tugas atau wewenang yang sudah dapat dikerjakan oleh

orang lain atau kelompok-kelompok di dalam masyarakat desa harus dilimpahkan.

Idealnya, pimpinan desa bertindak sebagai fasilitator atau mitra kerja masyarakat,

(32)

3.2. Melepas Ketergantungan Desa Dari Luar

Untuk menelaah hubungan ekonomi antara suatu wilayah, kita bisa mengutip

pendapat seorang pemikir strukturalis, Galtung (1971). Ia membedakan antara centre

yang merupakan pusat pertumbuhan dengan daerah pinggiran (periphery) yang

terkebelakang. Hal ini berlaku untuk hubungan keluar ataupun didalam suatu negara.

Hubungan yang dihasilkan tersebut digambarkan telah menguntungkan masyarakat di

pusat-pusat secara keseluruhan, dan merugikan mayoritas masyarakat di daerah

pinggiran. Tanpa disadari, sejak lama kondisi pembangunan desa-kota kita

menggambarkan konstruksi mengenai tata hubungan ekonomi domestik yang timpang.

Desa telah menjadi komoditas empuk bagi penghisapan surplus ekonomi pusat-pusat

pembangunan di kota. Prospek ekonomi rakyat pedesaan sangat dikhawatirkan akan

bertambah suram pada masa yang akan datang, jika perilaku elit kekuasaan di seluruh

tingkatan tidak mengalami perubahan pola pikir pemihakan terhadap rakyat di desa.

Dalam tulisannya Arief (1995) mengemukakan bahwa urbanisasi penduduk dari

sektor pertanian di pedesaan berlangsung akibat adanya investasi dari sektor manufaktur

dan jasa yang selama ini masih terfokus di kota/pusat. Ketika kegiatan di kota

memberikan tawaran imbalan tinggi kepada penduduk desa yang berpindah, sementara

itulah sektor pertanian akan mengalami kelangkaan relatif pekerja. Seiring dengan itu

pula, interaksi antar aktor-aktor ekonomi, antar maupun intra sektor, telah menambah

keruh keadaan dengan adanya pengambilan keputusan politik yang tidak berpihak

kepada rakyat di desa. Sehingga, sektor pertanian, dimana sebagian besar bangsa kita

menggantungkan hidupnya, jauh dari perannya sebagai pondasi pembangunan yang

sesungguhnya. Dilain sisi, sektor manufaktur semakin tidak memiliki linkage dengan

(33)

barang primer Indonesia yang semakin meningkat sejak awal 70-an sampai saat ini.

Justru ketergantungan kita akan produk barang primer dari luar negri bertambah tinggi.

Pergeseran sistem perdagangan internasional komoditas pertanian menuntut

kemampuan sektor pertanian kita untuk mampu bersaing menghadapi kekuatan

agribisnis multinasional yang selama ini telah menguasai pasar. Dimana dari hasil studi

yang dilakukan oleh FAO tahun 1995 terungkap bahwa perdagangan hasil-hasil

pertanian masih didominasi oleh negara-negara maju seperti USA, Uni Eropa, Australia

dan Kanada dengan pangsa pasar sekitar 86% sedangkan total dari negara-negara

berkembang termasuk Indonesia baru berkontribusi 14%. Saat ini kita dihadapkan

kenyataan tingkat pertumbuhan sektor pertanian yang sangat rendah dan meluasnya

jumlah penduduk yang menggantungkan hidup di sektor informal musiman, akhirnya

menyebabkan efek kemiskinan sosial meluas. Situasi shared poverty atau involusi

seperti yang digambarkan oleh Geertz (1983) yang terjadi sejak lama di pedesaan kita

sekarang ini makin nyata. Bila kita tidak memiliki strategi yang jelas dalam

pengembangan potensi pedesaaan jangka panjang, hal ini sangat membahayakan.

Penerapan ideologi liberalisasi perdagangan internasional yang disertai liberarisasi arus

investasi asing dalam kerangka WTO, APEC ataupun organisasi internasional lainnya

dalam situasi likuiditas internasional Indonesia yang belum sehat seperti sekarang, dapat

membawa pengaruh negatif dalam pengembangan industri lokal dan menambah beban

ekonomi rakyat khususnya di desa. Kekuatan ekonomi domestik, secara substansial,

akan tergeser keluar. Rakyat di desa dan Indonesia secara keseluruhan akan memasuki

fase ketergantungan yang lebih dahsyat kepada orang luar, atau secara sistematis akan

(34)

3.3. Agroindustri Dalam Membangun Pedesaan

Integrasi antara konsep agroindustri dan pembangunan desa menjadi penting

keterkaitannya dalam penyediaan dan penyaluran sarana produksi, penyediaan dana dan

investasi, teknologi, serta dukungan sistem tataniaga dan perdagangan yang efektif.

Pengembangan agroindustri pada dasarnya diharapkan selain memacu pertumbuhan

tingkat ekonomi, juga sekaligus diarahkan untuk meningkatkan kesempatan kerja dan

pendapatan petani. Wibowo (1997) mengemukakan perlunya pengembangan

agroindustri di pedesaan dengan memperhatikan prinsip-prinsip dasar diantaranya: (1)

memacu keunggulan kompetitif produk/komoditi serta komparatif setiap wilayah, (2)

memacu peningkatan kemampuan suberdaya manusia dan menumbuhkan agroindustri

yang sesuai dan mampu dilakukan di wilayah yang dikembangkan, (3) memperluas

wilayah sentra-sentra agribisnis komoditas unggulan yang nantinya akan berfungsi

sebagai penyandang bahan baku yang berkelanjutan, (4) memacu pertumbuhan

agribisnis wilayah dengan menghadirkan subsistem-subsistem agribisnis, (5)

menghadirkan berbagai sarana pendukung berkembangnya industri pedesaan.

Untuk mengaktualisasikan secara optimal strategi tersebut di atas, perumusan

perencanaan pembangunan ekonomi pedesaan, perlu disesuaikan dengan karakteristik

wilayah dan ketersediaan teknologi tepat guna. Sehingga alokasi sumberdaya dan dana

yang terbatas dapat menghasilkan output yang optimal, yang pada gilirannya akan

berdampak positif terhadap pembangunan wilayah. Pengalaman yang sangat berharga

bagi kita selama ini menjelaskan bahwa program pembangunan desa kurang

terkoodinasi dalam suatu sistem yang baik dalam konteks sumberdaya maupun secara

fungsional seringkali kurang menjamin dalam tiga hal endurance (daya tahan), integrity

(35)

Pembangunan ekonomi pedesaan haruslah sinergi dari pembangunan wilayah

pedesaaan dimana memiliki tujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan sosial dan

ekonomi masyarakat. Berdasarkan poin tersebut, dapat dipaparkan bahwa industrialisasi

pertanian seharusnya membawa cakrawala baru dalam pembangunan pedesaan.

Meningkatkan produktivitas pertanian harus diikuti oleh peningkatan investasi dalam

pertanian modern beserta industri pengolahan dan sektor jasa lainnya di desa.

Pengembangan kawasan potensial dengan basis pedesaan sebagai pusat pertumbuhan

akan mentransformasikan pedesaan menjadi kota-kota pertanian (agropolitan).

Perkotaan pertanian ini diharapkan dapat mengimbangi interaksi antar wilayah secara

sehat yang dapat menimbulkan aspek positif lainnya yaitu mengurangi arus urbanisasi

penduduk. Di samping nilai tambah produksi pedesaan akan meningkat, industrialisasi

juga akan mencegah berkembangnya pengangguran terdidik di desa, dan mendorong

mereka untuk tetap bekerja dan berpartisipasi dalam pembangunan daerahnya, yang

juga sebagai pusat-pusat pertumbuhan.

Apa yang dapat dijelaskan mengenai kecenderungan pembangunan ekonomi di

desa sejauh ini? Strategi pembangunan yang ditandai, sentralisasi, birokratisasi dan

eksploitasi yang diterapkan ke desa tersebut menumbuhkan pengusaha-pengusaha kecil

dengan beberapa ciri negatifnya (Anne Booth, 1990). Pertama, sikap dasar pengusaha

dalam perusahaan kecil dan menengah ditandai oleh pendekatan otokratik. Hal ini dapat

dilihat dari pimpinan perusahaan yang mempunyai kebutuhan sangat rendah akan

informasi dari orang lain, mutu kepemimpinan dan inisiatif dari rekan kerja, dan

memberikan ruang partisipasi bagi rekan kerja dalam pengambilan keputusan. Ini

merupakan bentuk dari sikap paternalistik yang masih sangat menonjol, dan bahkan

(36)

Kedua, kurangnya ketrampilan dasar yang diperlukan untuk mengelola suatu

usaha agar berhasil. Dalam industri kecil, dapat dikatakan terdapat kekurangan

“know-how” usaha. Kekurangan ini di semua bidang dunia usaha, tetapi bukan pengetahuan

yang baik mengenai produk, atau metode pembuatannya karena kedua hal inilah

sebenarnya yang mendorong pengusaha untuk berdiri sendiri. Ketiadaan atau

kekurangan pengetahuan ini dapat dilihat di bidang-bidang seperti tata buku, aspek

keuangan, aspek pemasaran, aspek distribusi, pengelolaan sumber daya, dan sebagainya.

Lebih lanjut hal ini akan membuat pihak investor atau bank tidak bersedia menyediakan

kredit. Artinya pengusaha kecil akan tetap kesulitan dalam usahanya meningkatkan

modal untuk perluasan dan pembesaran modal dan produksi

Ketiga, keengganan pengusaha kecil untuk mencari informasi tentang

lembaga-lembaga yang dapat membantunya. Inilah penyebab mengapa kunjungan-kunjungan

tidak dilakukan pada lembaga-lembaga keuangan dan juga tidak ada usaha mencari

informasi mengenai lembaga-lembaga itu. Juga keengganan pengusaha-pengusaha kecil

menjadi anggota atau himpunan produsen dan perserikatan-perserikatan bebas lainnya

dalam ekonomi, atau sekedar meminta nasehat kepada mereka. Bahkan juga untuk

mengikuti pelatihan-pelatihan baik niaga maupun yang teknis.

Ciri-ciri industri kecil di Indonesia yang seperti ini hampir merata ada di seluruh

desa-desa yang ada. Walaupun struktur industri di Indonesia mempunyai

perbedaan-perbedaan antar daerah atau provinsi. Misalnya di Jawa Tengah, juga di daerah

Yogyakarta, jumlah kerajinan rumah tangga terhadap jumlah penduduk relatif sangat

besar. Sedangkan di Jawa Barat dan Jawa Timur menunjukkan angka yang jauh lebih

(37)

3.4. Pembangunan Desa Yang Berkelanjutan

Dalam situs Walhi tentang pembangunan berkelanjutan, dipaparkan bahwa

bahwa pembangunan yang berkelanjutan dapat diartikan secara luas sebagai

kegiatan-kegiatan di suatu wilayah untuk memenuhi kebutuhan pembangunan di masa sekarang

tanpa membahayakan daya dukung sumberdaya bagi generasi mendatang untuk

memenuhi kebutuhannya. Tantangan pembangunan berkelanjutan adalah menemukan

cara untuk meningkatkan kesejahteraan sambil menggunakan sumberdaya alam secara

bijaksana.

Arus globalisasi yang semakin kuat perlu diimbangi dengan kesadaran bahwa

mekanisme pasar tidak selalu mampu memecahkan masalah ketimpangan sumberdaya.

Kebijakan pembangunan harus memberi perhatian untuk perlunya menata kembali

landasan sistem pengelolaan aset-aset di wilayah pedesaan. Penataan kembali tersebut

lebih berupa integrasi kepada pemanfaatan ganda, yaitu ekonomi dan

lingkungan/ekosistem. Walaupun wawasan agroekosistem merupakan sesuatu

pengelolaan yang kompleks dan rumit, akan tetapi keberhasilannya dapat dilihat dan

dirumuskan dengan melihat indikator-indikator antara lain: kontribusi terhadap

keberlanjutan lingkungan lokal, kontribusi terhadap keberlanjutan penggunaan

sumberdaya alam, kontribusi terhadap peningkatan lapangan kerja, kontribusi terhadap

keberlanjutan ekonomi makro, efektifitas biaya dan kontribusi terhadap kemandirian

teknis.

Wibowo (1997) mengungkapkan empat aspek umum ciri-ciri spesifik terpenting

mengenai konsep agroekosistem. Empat aspek umum tersebut adalah: kemerataan

(equitability), keberlanjutan (sustainability), kestabilan (stability) dan produktivitas

(38)

hasil suatu lingkungan sumberdaya didistribusikan diantara masyarakatnya.

Sustainability dapat diberi pengertian sebagai kemampuan sistem sumberdaya

mempertahankan produktivitasnya, walaupun menghadapi berbagai kendala. Stability

merupakan ukuran tentang sejauh mana produktivitas sumberdaya bebas dari

keragaman yang disebabkan oleh fluktuasi faktor lingkungan. Productivity adalah

ukuran sumberdaya terhadap hasil fisik atau ekonominya. Dimasa yang akan datang,

dalam konteks pembangunan pedesaan yang berkelanjutan, pengelolaan sumberdaya di

desa haruslah dilaksanakan dalam satu pola yang menjamin kelestarian lingkungan

hidup, menjaga keseimbangan biologis, memelihara kelestarian dan bahkan

memperbaiki kualitas sumberdaya alam sehingga dapat terus diberdayakan, serta

menerapkan model pemanfaatan sumberdaya yang efisien.

3.5. Industrialisasi Desa-Democratic Governance

Terlihat jelas bahwa Indonesia saat ini sedang dalam tahap awal dari proses

industrialisasi. Sehingga tidak sepenuhnya ada struktur industri yang jelas. Dampak

yang lain adalah terjadinya luapan tenaga kerja yang membutuhkan penampung, dalam

hal ini industri kecil mempunyai kemampuan akan hal tersebut. Desa yang secara

sumber daya, manusia dan alam tersedot secara luar biasa oleh pola pembangunan

tersebut. Dampaknya bagi desa tidak hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga dalam

bidang politik, sosial dan budaya. Lebih jauh lagi adalah tata kelola pemerintahan dan

kelembagaan di desa. Sehingga kajian tentang industrialisasi desa sangat erat terkait

dengan proses demokratisasi di desa, apakah akan mengarah pada sisi negatif atau sisi

(39)

Pertama, penguatan transformasi politik dalam bentuk demokrasi dan otonomi desa

tampaknya mengalami keterbatasan dan kesulitan jika tidak ditopang oleh basis

ekonomi desa yang kuat. Jika demokrasi dan otonomi desa tidak mampu menjawab

tuntutan kesejahteraan sosial-ekonomi maupun pengurangan kemiskinan, maka program

demokratisasi dan desentralisasi secara lambat-laun akan mengalami delegitimasi dan

distrust di hadapan rakyat desa, dan dalam jangka panjang akan semakin mempersulit

kedua agenda transformasi politik itu. Karena itu diyakini bahwa industrialisasi desa

merupakan alternatif untuk menjawab ketegangan antara desentralisasi-demokratisasi

dengan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat desa. Industrialisasi desa merupakan

alternatif untuk memperkuat program APBDes yang baik (transparan, akuntabel,

responsif dan partisipatif) maupun Alokasi Dana Desa (ADD), memperlancar demokrasi

dan otonomi desa, memperkuat basis ekonomi bagi otonomi desa, mengurangi

kemiskinan, menekan laju urbanisasi, serta meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi

masyarakat desa.

Kedua, keberadaan desa hampir tidak lepas dari kebijakan pemerintah maupun kaitan

(linkage) ekonomi antara desa dan kota. Program pembaharuan desa, termasuk

desentralisasi dan demokratisasi desa, hampir tidak pernah menyentuh isu kaitan

desa-kota itu. Sejarah telah membuktikan bahwa pembangunan ekonomi, termasuk

industrialisasi desa, selalu bias kota, yang tidak berpihak pada desa. Meski kapitalisasi

dan industrialisasi masuk ke wilayah desa, tetapi hanya menjadikan desa sebagai obyek

eksploitasi yang hasilnya dibawa dan dinikmati oleh kota. Desa menjadi tempat

produksi, sementara kota menjadi tempat perdagangan, distribusi dan konsumsi.

Ekonomi desa tidak memperoleh nilai tambah (value added) yang proporsional akibat

(40)

arus komoditas primer dari desa. Dalam konteks demikian, wajar apabila terjadi

pengurasan sumber daya (backwash effect) oleh kota terhadap desa secara sistematis

dan kota hanya mengambil keuntungan dari jasa distribusi semata, sehingga seringkali

terjadi kebocoran wilayah (regional leakages) yang merugikan pertumbuhan ekonomi

daerah.

Ketiga, industrialisasi desa tentu bukan fenomena baru. Sebagaimana sudah dipaparkan

dalam bagian sebelumnya, dan akan diperkuat dalam argumen di bawah, tata kelola

industrialisasi desa telah berjalan lama tanpa sentuhan governance reform, melalui

demokratisasi (partisipasi masyarakat) dan desentralisasi (kewenangan desa). Keputusan

untuk membuka hadirnya investasi (industrialisasi) ke desa merupakan kewenangan

pemerintah supradesa, sementara desa hanya menjadi wilayah (lokasi) proyek

industrialisasi. Desa secara kelembagaan tidak mempunyai kewenangan untuk

mengambil keputusan dalam proses awal masuknya investasi ke desa, dan masyarakat

tidak memperoleh ruang partisipasi untuk mengontrol proses ekonomi-politik yang

sangat elitis itu. Karena tidak adanya governance reform dalam tata kelola

industrialisasi desa, maka yang terjadi kemudian adalah bahwa industrialisasi tidak

menguntungkan desa, bahkan malah menimbulkan kerugian besar bagi desa,

meminggirkan dan memiskinkan masyarakat desa, dan tidak jarang memunculkan

konflik antara masyarakat setempat dengan perusahaan (industri).

Dalam kaitan peta problem dan kecenderungan perubahan yang tengah terjadi

itulah, pergerakan industrialisasi desa tentu perlu dipahami sebagai tantangan mendasar

yang perlu dijawab secara antisipatif-kritis saat ini dan di masa-masa mendatang.

(41)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Memandang desa sebagai basis potensial kegiatan ekonomi haruslah menjadi

paradigma baru dalam program pembangunan ekonomi Indonesia secara keseluruhan.

Perubahan kondisi internal dan ekternal yang terjadi menuntut kebijakan yang tepat dan

matang dari para pembuat kebijakan dalam upaya pengembangkan potensi wilayah

pedesaan. Sudah saatnya menjadikan desa sebagai pusat-pusat pembangunan dan

menjadikan daerah ini sebagai motor utama penggerak roda perekonomian melalui

sektor pertanian.

Pembangunan daerah pedesaan yang berkelanjutan diharapkan dapat

menyediakan lebih banyak kesempatan kerja dan meningkatkan penghasilan. Hal ini

akan mendorong para pekerja di pedesaan untuk tetap tinggal dan bekerja di desa

mereka. Hal ini dalam jangka panjang akan lebih menguntungkan perekonomian

perkotaan dan pedesaan.

Pembangunan desa adalah suatu proses pendidikan nonformal yang

dilaksanakan sebagai suatu rangkaian kegiatan yang terorganisasi, terencana,

berkesinambungan, dan bertujuan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosial dan

ekonomi masyarakat. Melalui pembangunan desa, diharapkan tumbuh dan berkembang

potensi individu atau kelompok untuk memobilisasikan sumber-sumber yang ada di

dalam masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya -- real needs, felt-needs,

(42)

Pengembangan agroindustri sebagai pilihan model modernisasi pedesaan

haruslah dapat meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan petani. Untuk itu

perumusan perencanaan pembangunan pertanian, perlu disesuaikan dengan karakteristik

wilayah dan ketersediaan teknologi tepat guna. Sehingga alokasi sumberdaya dan dana

yang terbatas, dapat menghasilkan output yang optimal, yang pada gilirannya akan

berdampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat. Agar model pembangunan

pedesaan yang berkelanjutan dapat terwujud diperlukan pedoman pengelolaan

sumberdaya melalui pemahaman wawasan agroekosistem secara bijak, yaitu

pemanfaatan asset-aset untuk kegiatan ekonomi tanpa mengesampingkan aspek-aspek

pelestarian lingkungan.

Pengalaman menunjukkan bahwa kekurangberhasilan program pembangunan

masyarakat desa seringkali disebabkan oleh banyak hal, yang antara lain sebagai

berikut.

(a) Pendekatan kegiatan pembangunan masyarakat seringkali dilaksanakan melalui

top down intervention dan yang sifatnya sangat sentralistik, mengabaikan

bottom-up intervention.

(b) Pembangunan masyarakat seringkali dilaksanakan dengan pendekatan proyek .

Kelemahan pendekatan ini adalah: pertama, kurang memperhatikan kegiatan

tindak lanjut pasca proyek; kedua, lebih berorientasi pada kepuasan pelaksana,

dan bukan kepada manfaatnya bagi masyarakat; dan ketiga, lebih

mengutamakan target fisik jangka pendek, dibandingkan dengan manfaat dan

dampaknya terhadap kemandirian masyarakat untuk pembangunan yang

berkelanjutan (sustainable self propelling development ).

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Based on the formulation, the objective of the research is to describe the seventh grade students’ ability in writing procedure text at SMPN 1 Wuluhan Jember in 2013/2014

[r]

Dengan telah melakukan evaluasi, klarifikasi dan pembuktian kualifikasi oleh Panitia Pengadaan Jasa Konsultansi Kegiatan Dilingkungan Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten

Karena itulah, tradisi dan budaya Jawa seperti itu sebenarnya tidak sesuai dengan ajaran Islam dan perlu diluruskan atau sekalian

Sebagai akibat dari berbagai kejahatan, kemaksiatan, dan pelanggaran yang dilakukan selama lebih dari 32 tahun, bolehlah kiranya dikatakan bahwa generasi Orde Baru adalah

Tim monitoring penyusunan RUK harus membuat feed back kegiatan paling lambat 1 minggu setelah pelaksanaan kegiatan kepada penanggung jawab program dan laporan

Dokumen kualifikasi perusahaan asli yang diupload atau dokumen yang dilegalisir oleh pihak yang berwenang dan menyerahkan 1 (satu) rangkap rekaman (foto copy).

A descriptive Study of Vocabulary Achievement Through Picture ofthe Fifth Year Students ofSDN Gempolan Gurah Kediri m the 2003/2004 Academic Year. Thesis, English Education