• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN K.H. MAHFUDZ MA’SHUM DALAM PERKEMBANGAN PONDOK PESANTREN IHYAUL ULUM DUKUNANYAR DUKUN GRESIK (1991-2012 M).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERANAN K.H. MAHFUDZ MA’SHUM DALAM PERKEMBANGAN PONDOK PESANTREN IHYAUL ULUM DUKUNANYAR DUKUN GRESIK (1991-2012 M)."

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memeperoleh Gelar Sarjana dalam Program Starta Satu (S1) Pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)

Oleh: Mega Dusturiyah NIM: A82212149

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS NEGERI ISLAM SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

xii

This thesis entitled "The Role K.H. Mahfudz Ma'shum In Progress Ihyaul Ulum Islamic Boarding Dukunanyar Dukun Gresik (1991-2012)". The formulation of the problem in this thesis are (1) How Profile K.H. Mahfudz Ma'shum?, (2) How Forms Development Ihyaul Ulum Islamic Boarding School under the leadership K.H. Mahfudz Ma'shum?, (3) How Role K.H. Mahfudz Ma'shum in development Ihyaul Ulum Islamic Boarding Dukunanyar Dukun Gresik?.

In this study, the authors use the method of history with sociological approach. This historical method used to identify or describe the events that happened in the past. Sociological approach is intended to explain the social role of the scholars who influenced the development of the school and community environmentin life. In this study, the authors also use a third theory of a different opinion, useless as a tool to analyze the symptoms of the events of the past, namely: the role of theory and the theory of social change (Prof. Dr. Soerjono Soekanto) and also the theory of leadership (Max Weber).

(7)

xii

Skripsi ini berjudul “Peranan K.H. Mahfudz Ma’shum Dalam Perkembangan Pondok Pesantren Ihyaul Ulum Dukunanyar Dukun Gresik (1991-2012)”. Adapun rumusan masalah dalam skripsi ini adalah (1) Bagaimana Profil K.H. Mahfudz

Ma’shum?, (2)Bagaimana Bentuk Perkembangan Pondok Pesantren Ihyaul Ulum

dibawah Kepemimpinan K.H. Mahfudz Ma’shum?, (3) Bagaimana Peranan K.H.

Mahfudz Ma’shum dalam Perkembangan Pondok Pesantren Ihyaul Ulum Dukunanyar

Dukun Gresik?.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode sejarah dengan pendekatan sosiologi. Metode sejarah ini digunakan untuk mengetahui atau mendiskripsikan peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Pendekatan sosiologi dimaksudkan untuk menjelaskan peranan sosial dari kiai yang mempengaruhi perkembangan pesantren dan dilingkungan kehidupam masyarakat. Dalam penelitian ini, penulis juga menggunakan 3 teori dari pendapat yang berbeda,gunanya sebagai alat bantu untuk menganalisis gejala-gejala tentang peristiwa masa lampau, yaitu: teori peranan dan teori perubahan sosial (Prof. Dr. Soerjono Soekanto) dan juga teori kepemimpinan (Max Weber).

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa (1) K.H. Mahfudz Ma’shum lahir pada

6 Mei 1942 di Desa Dukunanyar Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik. K.H. Mahfudz

Ma’shum putra ketiga dari K.H. Ma’shum Sufyan dan Nyai Hj. Masyrifah dan beliau memiliki garis keturunan dari Joko Tingkir, (2) Pondok Pesantren Ihyaul Ulum berdiri

pada tahun 1951 M dan didirikan oleh K.H. Ma’shum Sufyan. Berdirinya pondok ini

dilatarbelakangi oleh dorongan masyarakat sekitar yang ingin belajar agama Islam.

Setelah K.H. Ma’shum meninggal pada tahun 1991, maka kepemimpinan beralih ke K.H. Mahfudz Ma’shum atas penunjukan langsung dari K.H. Ma’shum Sufyan, tetapi juga dilakukan melalui musyawarah keluarga. Pada kepemimpinan K.H. Mahfudz Ma’shum

Pondok Pesantren Ihyaul Ulum mengalami banyak perkembangan, diantaranya; menambah bangunan pondok putra dan putri yang sebelumnya hanya 2 gedung, kini menjadi 4 gedung, mendirikan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ihyaul Ulum pada tahun 1998 M, dan mendirikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) pada tahun 2012,

(3) Peranan K.H. Mahfudz Ma’shum di dalam Pondok Pesantren Ihyaul Ulum antara

(8)

xiv DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

TRANSLITERASI ... vi

MOTTO ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... x

ABSTRAK ... xii

DAFTAR ISI ... xiv

BAB I: PENDAHULUAN ... 1

A. Latar belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan penelitian ... 6

D. Kegunaan penelitian ... 6

E. Pendekatan dan kerangka teori ... 6

F. Penelitian terdahulu ... 10

G. Metode penelitian ... 11

H. Sistematika pembahasan ... 17

BAB II: PROFIL K.H. MAHFUDZ MA’SHUM ... 19

A. Profil K.H. Mahfudz Ma’shum ... 19

B. Latar Belakang Sosial dan Pendidikan K.H. Mahfudz Ma’shum ... 24

C. Kiprah K.H. Mahfudz Ma’shum di Tengah Masyarakat... . 29

(9)

xiv

A. Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Ihyaul Ulum ... 33

B. Profil Para Pengasuh Pondok Pesantren Ihyaul Ulum ... 37

C. Perkembangan dari Aspek Gedung dan Lembaga Pendidikan ... 39

BAB IV: PERANAN K.H. MAHFUDZ MA’SHUM DALAM PERKEMBANGAN PONDOK PESANTREN IHYAUL ULUM DUKUNANYAR DUKUN GRESIK ... 53

A. Peran K.H. Mahfudz Ma’shum sebagai Pengumpul Dana ... 53

B. Peran K.H. Mahfudz Ma’shum sebagai Manajer Sumber Daya Manusia ... 59

C. Peran K.H. Mahfudz Ma’shum sebagai Inisiator Pendirian STAI dan SMK Ihyaul Ulum ... 65

BAB V: PENUTUP ... 68

A. Kesimpulan ... 68

B. Saran ... 70

(10)

1 A. Latar belakang

Indonesia sebagai salah satu negara yang penduduknya mayoritas

beragama Islam, memiliki salah satu sistem pendidikan yaitu pondok pesantren.

Pondok Pesantren adalah suatu lembaga pendidikan dan pengajaran Islam yang

sekaligus sebagai lembaga pengkaderan. Disamping itu juga merupakan pusat

pengembangan dan penyebaran ilmu-ilmu keislaman yang mempunyai lima

elemen dasar tradisi, yakni pondok, masjid, santri, pengajian kitab klasik dan

kiai.1

Dalam kamus besar bahas Indonesia, pesantren diartikan sebagai asrama,

tempat santri, atau tempat murid-murid belajar mengaji. Sedangkan secara istilah

pesantren adalah lembaga pendidikan Islam, dimana para santri biasanya tinggal

di pondok (asrama) dengan materi pengajaran kitab-kitab klasik dan kitab-kitab

umum, bertujuan untuk menguasai ilmu agama Islam secara detail, serta

mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian dengan menekankan

pentingnya moral dalam kehidupan bermasyarakat.

Kemunculan pondok pesantren di Indonesia mulai ada sejak zaman

walisongo yaitu pada sekitar abad ke 14 M, yang dipelopori oleh Syekh Maulana

Malik Ibrahim, yang kemudian dikembangkan oleh Raden Rahmatullah (Sunan

Ampel) dengan mendirikan sebuah pesantren yang bernama “Pesantren Ampel

1

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup

(11)

Dentho2” di Surabaya, dengan didirikan pesantren Ampel Dentho tersebut lahirlah

para mubaligh Islam yang tersebar di seluruhpenjurutanah air.3

Pesantren Ampel Dentho melahirkan kader-kader Da’i yang tangguh.

Mereka dibekali ilmu lahir sekaligus ilmu batin, untuk menjadi bekal strategi

dakwah islamiyah yang harus disampaikan dengan hikmah dan penuh

pesan-pesan yang baik sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Oleh karena, itu para

walisongo dalam melakukan dakwah islamiyah menggunakan sarana dakwah

yang bervariasi, seperti pertunjukan perwayangan.

Seiring berjalannya waktu banyak santri-santri yang sudah cukup ilmunya

kembali ke daerah masing-masing, dengan itu banyak berdirinya

pesantren-pesantren baru, diantaranya di daerah Gresik yaitu Pesantren Giri yang didirikan

Raden Ainul Yaqin (Sunan Giri) yang kemudian juga melahirkan santri-santri

yang juga pada akhirnya mendirikan pesantren-pesantren di daerahnya.

Gresik merupakan daerah pemula dengan berdirinya pesantren sejak abad

14M, karena sudah ada gerakan dakwah islamiyah oleh Maulana Malik Ibrahim

yang kemudian dilanjutkan oleh Raden Rahmatullah dan kader-kadernya. Gresik

juga merupakan pusat pengembangan Islam di Jawa Timur di bawah bimbingan

Sunan Giri dengan posisinya sebagai sentral keagamaan, sosial, maupun politik.

Oleh karena itu, Gresik telah berhasil mencetak para juru dakwah yang kemudian

2

Dalam kamus Jawa kuno Ampel Dentho itu berasal dari bahasa Jawa Kawi yang berarti “Ampeal”;

bambu dan “Dentho”; gading (berwarna kuning). Sebutan itu muncul karena di darah ampel dahulunya banyak ditumbuhi bambu yang berwarnakuning, dengan demikian sangat logis apabila arek-arek suroboyo pada zaman kolonial dulu menggunakan senjata bambu runcing yang dibentuk semacam tumbak. Abd. Rouf Djabir, “Dinamika Pondok Pesantren Qomaruddin Sampurnan Bungah Gresik (1775-2014)”, Gresik, penerbit YPPQ, 2014, 2.

3

(12)

bermunculan di daerah-daerah, termasuk didalamnya ialah para juru dakwah

Pondok Pesantren Ihyaul Ulum.

Pondok Pesantren Ihyaul Ulum Dukun Gresik adalah salah satu Pondok

Pesantren yang terletak di sebelah barat kota Gresik, kurang lebih 28 km dari

kota. Tepatnya di Desa Dukunanyar, Kecamatan Dukun, Kabupaten Gresik,

Propinsi Jawa Timur yang didirikan pada tahun 1951 M oleh K.H. Ma’shum

Sufyan.

PondokPesantrenIhyaulUlumadakarenadoronganmasyarakatDesaDukununtukmen

ghidupkandesanyapadasaatitu. Masyarakat meminta K.H. Mashum Sufyan untuk

membuat sebuah pengajian rutin di rumah beliau, karena perkembangan pengajian

belajar agama K.H. Ma’shum Sufyan semakin meluas di kalangan masyarakat,

akibatnya rumah beliau dipadati oleh masyarakat yang cinta ilmu agama.

Didorong situasi demikian, beliau bersama keluarganya utamanya Mbah

H. Rusydi (mertua beliau) memberi dukungan penuh baik moril maupun materil

untuk membangun langgar dengan beberapa gotha’an(kamar) di pekarangan

depan rumah beliau sebagai tempat mengaji dan istirahatnya para santri dan dari

langgar ini cikal bakal dimulailah sejarah Pondok Pesantren Ihyaul Ulum.

Ada tiga alasan mengapa pesantren harus meyediakan asrama para santri:

1. Kemasyhuran seorang kiai dan kedalaman pengetahuannya tentang Islam

menarik santri-santri dari tempat-tempat yang jauh untuk berdatangan.

(13)

3. Ada sikap timbal balik antara kiai dan santri, dimana santri menganggap

kiainya seolah-olah sebagai bapaknya sendiri, sedangkan kiai menganggap

para santri sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa dilindungi.4

Seiring berjalannya waktu sistem pendidikan di Pondok Pesantren Ihyaul

Ulum mengalami perkembangan yang pesat, sehingga mampu melahirkan

tokoh-tokoh yang ahli berbagai bidang, seperti kaagamaan, pendidikan dan politik yang

sesuai kebutuhan perkembangan zaman, karena pendidikan merupakan suatu

proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi

tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efesien.5 Pada tahun 1955 di Pondok

Pesantren Ihyaul Ulum ini ada beberapa lembaga pendidikan yang didirikan, yaitu

dari Madrasah Ibtida’iyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah.

Pada tahun 1991 Pondok Pesantren Ihyaul Ulum mengalami masa

pergantian pengasuh pondok, dari kepemimpinan K.H. Ma’shum Sufyan yang

beralih pada putranya sendiri, pergantian pengasuh itu dikarenakan K.H.

Ma’shum Sufyan telah pulang ke Rahmatullah. Pada saat itulah kepemimpinan

Pondok Pesantren Ihyaul Ulum beralih ke putranya yang ketiga, yaitu K.H.

Mahfudz Ma’shum dengan cara bermusyawarah keluarga.

Setiap mengalami pergantian pengasuh pondok (kiai), pasti ada

kemajuan-kemajuan, diantaranya dari kemajuan pendidikannya, infrastrukturnya, dan

bahkan metode pengajarannya, karena semua itu tidak lepas dari kewajiban peran

kiai. Kiaimerupakanelemen paling esensialdarisuatupesantren,

4

ZamakhsyariDhofier, TradisiPesantren, Jakarta; LP3ES, 2011, 82.

5

(14)

makadariitusudahsewajarnyabahwapertumbuhansuatupesantren

semata-matabergantungpadakemampuanpribadi kiainya.6

Disini penulis akan memfokuskan pada masa K.H. Mahfudz Ma’shum,

karena beliau banyak melakukan perkembangan yang sangat pesat di Pondok

Pesantren Ihyaul Ulum. Dilihat dari perkembangan para santri yang semakin

banyak dan juga kemajuan dibidang pendidikan, yaitu membangun Sekolah

Tinggi Agama Islam dan Sekolah Menengah Kejuruhan. K.H. Mahfudz Ma’shum

juga banyak melakukan perubahan-perubahan fisik yang menonjol di Pondok

Pesantren Ihyaul Ulum seperti penambahan bangunan pondok dan masjid. Peran

beliau juga tidak hanya di ruang lingkup pesantren, melainkan sebagai Rais

Syuriah NU Cabang Gresik dan berdakwah di berbagai pengajian di

daerah-daerah, sehingga penulis merumuskan sebuah judul “Peranan K.H. Mahfudz

Ma’shum dalam Perkembangan Pondok Pesantren Ihyaul Ulum

Dukunanyar Dukun Gresik (1991-2012 M).

B. Rumusan Masalah

Untuk mempermudah penulisan dalam membuat karya tulis yang

berbentuk skripsi, maka perlu bagi penulis untuk merumuskan masalah sebagai

langkah awal penelitian. Adapun rumusan masalahnya adalah:

1. Bagaimana profil K.H.MahfudzMa’shum?

2. Bagaimana bentuk perkembangan Pondok Pesanren Ihyaul Ulum pada saat

kepemimpinan K.H. Mahfudz Ma’shum?

6

(15)

3. Bagaimana peran K.H. MahfudzMa’shumdalam pengembangan Pondok

Pesantren IhyaulUlumDukun Gresik?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahuiprofilK.H.MahfudzMa’shum.

2. Untuk mengetahui perkembangan Pondok Pesantren IhyaulUlumpada masa.

K.H.MahfudzMa’shum dari tahun 1991 sampai sekarang.

3. Untuk mengetahui peran K.H.MahfudzMa’shum di Pondok Pesantren

IhyaulUlumDukunGresik

D. Kegunaan Penelitian

1. Sebagai karya ilmiah, penulis berharap karya ini bisa memberikan wawasan

baru kepada kalangan akademis yang lain, juga untuk masyarakat umum,

khususnya para alumni Pondok Pesantren Ihyaul Ulum.

2. Sebagai nilai guna bagi pihak Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel

Surabaya dapat digunakan sebagai sumber informasi dalam pengembangan

keilmuan di bidang Sejarah dan Kebudayaan Islam.

3. Hasilpenelitianinidiharapkandapatmenjadisalahsaturujukanbagipengembanga

n program

penelitianrencanaduniapesantrendandapatdijadikansebagaipertimbanganpeny

usunkarya ilmiah yang akanmendatang.

(16)

Dalam penelitian skripsi ini penulis menggunakan pendekatan Historis,

pendekatan ini digunakan untuk mengetahui atau mendeskripsikan peristiwa yang

terjadi pada masa lampau, yaitu tentang Peran K.H. Mahfudz Ma’shum dalam

perkembangan Pondok Pesantren Ihyaul Ulum Dukun. Selain pendekatan historis,

penulis juga menggunakan pendekatan sosiologi dengan disertai pesan-pesan dan

moral. Pendekatan ini didasari kenyataan bahwa setiap gerak sejarah dalam

masyarakat timbul karena adanya rangsangan untuk melakukan reaksi dengan

menetapkan tanggapan-tanggapan dan perubahan-perubahan.7

Dalam penelitian skripsi ini penulis juga menggunakan Teori, guna untuk

sebagai alat bantu untuk menganalisis gejala-gejala tentang peristiwa masa

lampau.8 Teori yang digunakan adalah Teori Peranan (role) merupakan proses

dinamiskedudukan (status).

Apabilaseseorangmelaksanakanhakdankewajibannyasesuaidengankedudukannya,

makadiamenjalankansuatuperanan.Perbedaanantarakedudukandenganperananadal

ahuntukkepentinganilmupengetahuan.9

Prof. Dr. SoerjonoSoekantojugamengatakanperananmencakuptigahal10,

antara lain:

1. Perananmeliputinorma-norma yang

dihubungkandenganposisiatautempatseseorangdalammasyarakat.

Peranandalamartiinimerupakanrangkaianperaturan-peraturan yang

membimbingseseorangdalamkehidupanbermasyarakat.

7

Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Ilmu Sejarah (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992), 154.

8

Ibid., 157.

9

SoerjonoSoekanto, SosiologiSuatuPengantar(Jakarta: EdisiBaru, RajawaliPers, 2009)., 212.

10

(17)

2. Perananmerupakansuatukonseptentangapa yang

dapatdilakukanolehindividudalammasyarakatsebagaiorganisasi.

3. Perananjugadapatdikatakansebagaiperilakuindividu yang

pentingbagistruktursosialmasyarakat.

Selain menggunakan teori peranan juga menggunakan teori perubahan

sosial. Perubahan sosial adalah semua perubahan pada lembaga kemasyarakatan

di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk

didalamnya nilai, sikap, dan pola perilaku di antara kelompok dalam

masyarakat.11PenyebabPerubahanSosial Prof. Dr.

Soerjono Soekantomenyebutkan, adaduafaktor yang

menyebabkanperubahansosialdalammasyarakat, yaitu :

1. Faktor Intern :

a. Bertambahdanberkurangnyapenduduk.

b. Adanyapenemuan-penemuanbaru yang meliputiberbagai proses, seperti

di bawahini :

1) Discovery, penemuanunsurkebudayaanbaru

2) Invention, pengembangandari discovery

3) Inovasi, proses pembaharuan

c. Konflikdalammasyarakatkonflik (pertentangan) yang

dimaksudadalahkonflikantara individudalammasyarakatnya,

antarakelompokdan lain-lain.

d. Pemberontakandalamtubuhmasyarakat.

11

(18)

2. FaktorEkstern

a. Faktor alam yang ada di sekitar masyarakat yang berubah, seperti bencana

alam .

b. Pengaruh kebudayaan lain dengan melalui adanya kontak kebudayaan

antara dua masyarakat atau lebih yang memiliki kebudayaan yang berbeda.

Akulturasidanasimilasikebudayaan.

Untuk teori yang terakhir, penulis menggunakan teori kepemimpinan Max

Weber seperti yang dikutip oleh Soerjono Soekanto mengklasifikasikan

kepemimpinan menjadi tiga jenis:

1. Otoritas Kharismatik yakni berdasarkan pengaruh dan kewibawaan pribadi.

2. Otoritas tradisional yang dimiliki berdasarkan pewarisan.

3. Otoritas legal-rasional yakni yang dimiliki berdasarkan jabatan serta

kemampuan.12

Jika dikaitkan dengan teori diatas K.H. Mahfudz Ma’shum memiliki peran

yang sangat besar bagi Pondok Pesantren Ihyaul Ulum, seperti halnya dalam

berperan membuka lembaga pendidikan untuk kebutuhan santri-santri dan

masyarakat sekitar. Oleh sebab itu, peran itu juga tidak lepas dari kedudukan yang

diemban oleh kiai yang juga berpengaruh perubahan-perubahan pada santri dan

lingkungan sekitarnya.

K.H. Mahfudz Ma’shum juga termasuk pemimpin yang otoritas

kharismatik, karena mempunyai kewibawaan yang tinggi didalam masyarakat,

12

(19)

semua itu terlihat dari cara beliau menyampaikan ajaran-ajaran agama Islam di

Pondok Pesantren Ihyaul Ulum dan diluar Pondok Pesantren Ihyaul Ulum.

F. Penelitian Terdahulu

Untuk menghindari adanya kesamaan dalam penelitian, maka penulis

perlu menampilkan hasil penelitian sebelumnya. Sebelum penulis membahas

tentang Peran K.H. Mahfudz Ma’shum dalam perkembangan Pondok Pesantren

Ihyaul Ulum Dukunanyar Dukun Gresik, sudah banyak pembahasan yang

berkaitan dengan Pondok Pesantren Ihyaul Ulum Dukun Gresik. Di antaranya

adalah;

1. NunungMawaddah, BO3302039, JurusanBimbinganKonseling Islam,

FakultasDakwah, IAIN SunanAmpel Surabaya, 2006, yang berjudul “Model

konseling KH. MahfudMa'shumdenganTerapiDzikir di

PondokPesantrenIhyaulUlumDukun Gresik”.

Skripsiinimenjelaskantentangdzikir yang dilakukan di

PondokPesantrenIhyaulUlumdengan model pendekatankonseling.

2. Moh. Ridwan, 088900064, Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, Fakultas

Adab, IAIN Sunan Ampel Surabaya, 1994, yang berjudul “Kiai H. Ma’shum

dan Pondok Pesantren Ihyaul Ulum Dukun Gresik: Studi Kesejarahan”.

Skripsiinimenjelaskantentangperan H.

Ma’shumdansejarahPondokPesantrenIhyaulUlumDukun Gresik.

3. Titin Arifaini, D02399286, Jurusan Pendidikan Bahasa Arab, Fakultas

Tarbiyah, IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2003, yang berjudul “Pengaruh

(20)

di Madrasah Aliyah IhyaulUlum Gresik”. Skripsiini

menjelaskantentangkeberhasilanpenggunaan media pengajarandalamBahasa

Arab di Madrasah Aliyah.

4. DewiAndrianaSusanti, E34209001, JurusanPolitik Islam,

FakultasUshuluddin, IAIN SunanAmpel Surabaya, 2013, yang berjudul

“Partisipasi Politik Perempuan Pesantren: Studi Kasus Partisipasi Politik

Perempuan Pesantren IhyaulUlum di Kabupaten Gresik”.

Skripsiinimembahastentangdimanaperempuan di

PondokPesantrenIhyaulUlumitusangatberperandalampolitik di daerah Gresik.

Dengan demikian judul yang diambil oleh penulis ini tentang Peranan

K.H. MahfudzMa’shumdalam PerkembanganPondok Pesantren

IhyaulUlumDukunanyar Dukun Gresik. Berbeda titik fokusnya, dalam penelitian

ini penulis lebih menitikberatkan pada peran kiai dalam perkembanganPondok

PesanrenIhyaulUlumDukunanyar Dukun Gresik.

G. Metode Penelitian

Secara sederhana bahwa metode berarti cara, jalan, petunjuk pelaksana

atau petunjuk teknis, sedangkan metodologi adalah science of methods, yakni ilmu

pengetahuan yang membicarakan tentang metode-metode.13 Metode adalah teknik

penelitian atau alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data, sedangkan

metodologi adalah falsafah tentang proses penelitian yang di dalamnyamencakup

13

(21)

asumsi-asumsi, nilai-nilai, standar atau kriteria yang digunakan untuk menafsirkan

data dan mencari kesimpulan.14

Secara lebih luas lagi Sugiyono menjelaskan bahwa metode penelitian

adalah cara-cara ilmiah untuk mendapatkan data yang valid, dengan tujuan dapat

ditemukan, dikembangkan dan dibuktikan, suatu pengetahuan tertentu sehingga

pada gilirannya dapat digunakan untuk memahami, memecahkan, dan

mengantisipasi masalah.

Menurut Nugroho Notosusanto, metode sejarah mempunyai empat

langkah kegiatan, yaitu Heuristik, Kritik Sumber (verifikasi), Interpretasi dan

Historiografi.

1. Heuristik

Heuristik adalah suatu proses yang dilakukan olehpeneliti untuk

mengumpulkan sumber-sumber, data-data atau jejak sejarah. Sejarah tanpa

sumber, tidak bisa bicara, maka sumber dalam penelitian sejarah merupakan

hal yang paling utama yang akan menentukan bagaimana aktualitas masa lalu

manusia bisa dipahami oleh orang lain.15

Heuristik merupakan tahapan mengumpulkan sebanyak-banyaknya

sumber sejarah yang relevan dengan tulisan yang akan dikaji. Sumber sejarah

merupakan bahan-bahan yang digunakan untuk mengumpulkan data atau

informasi yang nantinya digunakan sebagai instrumen dalam pengolahan

14

Ibrahim Alfian, Metodologi Sejarah; dalam Ibrahim dari Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis

(Yogjakarta: Gajah Mada University Press, 1992), 411.

15

(22)

datadan merekonstruksi sejarah.16 Pengumpulan data ini bisa dari sumber

primer dan sekunder.

Sumber primer adalah kesaksian seseorang yang melihat

danmerasakanlangsung kejadian tersebut. Sedangkan sumber sekunder adalah

kesaksian seseorang yang tidak melihat kejadian tersebut namun masih bisa

merasakan akibat dari kejadian tersebut. Sumber primer dan sekunder ini bisa

saja berupa buku-buku, dokumen maupun rekaman dimana buku–buku dan

dokumen tersebut hasil karya saksi mata yang dituangkan dalam tulisan.17

Pada tahapan pertamasumber primer, ini penulis akan mengumpulkan

beberapa rekaman wawancara dengan informant yaitu dengan beberapa saksi

mata yang langsung melihat dengan mata kepala sendiri, merasakan sendiri

kebijakan, pengambilan keputusan, perkembangan baik secara fisik maupun

pembelajaran K.H. MahfudzMa’shum, sekaligusmewawancarailangsungke

K.H. MahfudzMa’shumseputarperanbeliaudalamkemajuandanperkembangan

apa saja di PondokPesantrenIhyaulUlumsampaisaatini.

Penulis bisa menyebutkan beberapa saksi mata yang bisa

diwawancarai yaitu:

a. K.H. Afif Ma’shum (Anak dari K.H. Ma’shum Sufyan dan adik K.H.

Mahfudz Ma’shum)

b. K.H. Sa’dan Maftuh Ma’shum (Anak dari K.H. Ma’shum Sufyan dan

adik K.H. Mahfudz Ma’shum)

16

Ibid., 16.

17

(23)

c. K.H. Robbach Ma’shum (Anak dari K.H. Ma’shum Sufyan dan adik

K.H. Mahfudz Ma’shum)

d. Hj. Sakinah Ma’shum (Anak dari K.H. Ma’shum Sufyan dan adik K.H.

Mahfudz Ma’shum)

e. Hj. Robi’ah Ma’shum (Anak dari K.H. Ma’shum Sufyan dan adik K.H.

Mahfudz Ma’shum)

f. Hj. Wafiroh Ma’shum (Anak dari K.H. Ma’shum Sufyan dan adik K.H.

Mahfudz Ma’shum )

g. Hj. Maziyah Ma’shum (Anak dari K.H. Ma’shum Sufyan dan adik

K.H.Mahfudz Ma’shum)

h. Santri-santri seniorPondokPesantrenIhyaulUlum..

i. Dan beberapa guru-guru dan ustadz-ustadz yang mengajar di

lingkunganPondokPesantrenIhyaulUlum.

Untuk sumber sekunder, penulis akan

menyajikanfoto-fotopadaeranyadanmengambil buku-buku yang berkaitan dengan judul tersebut.

Untuk dokumen penulis akan menyajikan silsilah dari pengasuh pertama Pondok

Pesantren Ihyaul Ulum yaitu K.H. Ma’shum Sufyan hingga pada masa putranya

K.H. Mahfudz Ma’shum.

2. Kritik Sumber

Pada tahap kedua dari metode penelitian adalah kritik. Hal ini

dilakukan untuk menggolongkan sumber sesuai dengan kriteria

masing-masing. Selanjutnya dilakukan penilaian, pengujian dan penyeleksian

(24)

(keaslian sumber). Hal ini patut dilakukan agar kita terhindar dari sumber

palsu. Kritik sumber ini pun terdiri sari kritik intern dan ekstern.

a. Kritik Intern

Kritik intern adalah kritik sumber yang digunakan untuk meneliti

keaslian isi dokumen, rekaman atau tulisan tersebut. Kritik intern ini

lebih menekankan pada isi dari sebuah dokumen sejarah. Caranya adalah

dengan membadingkan dokumen satu dengan dokumen yang lainnya.

Tahap kedua penulis akan membandingkan isi dari rekaman dari saksi

mata satu dengan yang lain.

Hal ini dilakukan untuk mensingkronkan urutan kejadian

sehingga tidak ada pembahasan yang terputus. Jika ada satu kejadian

yang berbeda antara penjelasan saksi mata, maka akan dilakukan

wawancara dengan saksi mata yang lain, sehingga penulis akan

mengambil pendapat yang paling banyak dan penulis juga akan melihat

dari realitas sosial bahwa K.H. Mahfudz Ma’shum merupakan kiai yang

banyak melakukan progresif dalam segi pendidikan maupun infrastruktur

di Pondok Pesantren Ihyaul Ulum Dukun Gresik.

b. Kritik ekstern

Kritik ekstern adalah penentuan asli atau tidaknya suatu sumber

atau dokumen. Oleh karena itu, penulis akan meneliti betul silsilah para

kerabat K.H. Mahfudz Ma’shum yang akan diwawancarai dan peneliti

juga akan mengkaji betul dokumen-dokumen yang didapat. Hal ini

(25)

3. Interpretasi

Interpretasi adalah upaya sejarawan untuk melihat kembali tentang

sumber-sumber yang didapatkan apakah sumber-sumber yang didapatkan dan

yang telah diuji autentisnya terdapat saling hubungan atau satu dan yang lain.

Dengan demikian sejarawan memberikan penafsiran terhadap sumber yang

telah didapatkan.18

Penulis akan menginterpretasikan atau menafsirkan sumber-sumber

yang telah didapat dengan membandingkan sumber satu dengan sumber yang

lain. Baik sumber itu berupa wawancara maupun berupa dokumen-dokumen

dan beberapa buku. Langkah ini penulis membandingkan hasil wawancaranya

dengan beberapa buku yang terkait dengan Pondok Pesantren Ihyaul Ulum,

banyak persamaan didalamnya, sehingga penulis mampu menafsirkan bahwa

peranan K.H. Mahfudz Ma’shum dalam mengembangkan Pondok Pesantren

Ihyaul Ulum sangat menonjol hasilnya, semua itu terbukti dengan

perkembangan infrastruktur pondok dan pendidikannya.

4. Historiografi

Historiografi adalah penulisan hasil penelitian. Historiografi adalah

rekonstruksi yang imajinatif dari masa lampau berdasarkan data yang diperoleh

dengan menempuh proses.19 Historiografi adalah menyusun atau

merekonstruksi fakta-fakta yang telah tersusun yang didapatkan dari

18

Ibid., 17.

19

(26)

penafsiransejarawan terhadap sumber-sumber sejarah dalam bentuk

tulisan.20Dalamhaliniadaduacarayaitu:

a. Informasideskriptifyaitumenerangkansebagaimana data yang

adasepertidalambentukkutipan-kutipanlangsungbaikbersumberdariliteratureatauhasildariwawancara.

b. Informasianalisisyaitumenyajikan data

darianalisispenulisdenganmenerangkandalambentukkesimpulan-kesimpulan.

Dalam tahapan terakhir ini penulis akan memaparkan hasil penelitian

yang sudah dilakukan dengan cara sistematis atau berurutan.

H. Sistematika Pembahasan

Dalam pembuatan skripsi ini haruslah ditulis dan disusun secara sistematis

oleh penulis, untuk mempermudah pemahaman yang akan dibahas. Untuk itu

penulis akan memaparkan sistematika penelitian sebagaimana yang akan

diuraikan dibawah ini.

Bab pertama, bab ini berisi Latar belakang masalah, Rumusan masalah,

Tujuan penelitian, Kegunaan penelitian, Pendekatan dan Kerangka teoritis,

Penelitian terdahulu, Metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab kedua, pada bab ini penulis akan membahas tentang profil

K.H.MahfudzMa’shum. Profil ini akan dimulai dari K.H. Mahfudz Ma’shum

20

(27)

dilahirkan, pendidikan hingga beliau menjadi pengasuh Pondok Pesantren Ihyaul

Ulum Dukun.

Bab ketiga, penulis akan memaparkan sekilas tentang profil dan Pondok

Pesantren Ihyaul Ulum. Hal ini dilakukan supaya pembaca mengetahui bagaimana

pondok tersebut bisa berdiri, dan juga untuk mengetahui perkembangan pondok

tersebut.

Bab keempat, pembatasan masalah yang sudah dilakukan oleh penulis

akan diteruskan dalam bab ini, sehingga penulis menyajikan peranan K.H.

Mahfudz Ma’shum dalam perkembangan Pondok Pesantren Ihyaul Ulum. Dengan

harapan pembaca mampu memahami perubahan apa saja yang dilakukan oleh

K.H. MahfudzMa’shum.

Bab kelima, babini akan berisi tentang kesimpulan dari hasil penelitian

untuk menjawab dari rumusan masalah yang sudah dijabarkan terlebih dulu dan

(28)

19 A. Profil K.H. Mahfudz Ma’shum

K.H. Mahfudz Ma’shum adalah seorang kiai dan sarjana muda yang

sempat menimbah ilmu di Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Sunan

Ampel Surabaya. Beliau adalah putra ke 3 dari K.H. Ma’shum Sufyan dan Nyai

Hj. Masrifah yang lahir tepat pada 6 Mei 1942 M di Desa Dukunanyar Kecamatan

Dukun Kabupaten Gresik Jawa Timur.

Kiai merupakan elemen paling esensial dari suatu pesantren, seringkali

bahkan merupakan pendirinya. Sudah sewajarnya bahwa pertumbuhan suatu

pesantren semata-mata bergantung pada kemampuan pribadi kiainya.1 Kiai

merupakan cikal-bakal dan elemen yang paling pokok dari sebuah pesantren,

karena kelangsungan hidup sebuah pesantren sangat bergantung pada kemampuan

pesantren untuk memperoleh seorang kiai pengganti yang berkembang cukup

tinggi pada waktu ditinggal mati kiai yang terdahulu.2

K.H. Mahfudz Ma’shum memiliki 13 saudara kandung diantaranya yang

sudah wafat 5 dan yang masih hidup ada 8. Hal tersebut sebagaimana penuturan

informan (Nyai Sakinah Ma’shum, 63 tahun) kepada peneliti sebagai berikut:

“Pak yai Fud punya saudara banyak, totalnya 13 tapi yang masih hidup

tinggal 8, semuanya meninggal ketika masih bayi. Kalau tanya tahunnya

kapan saya tidak ingat.”3

Berikut adalah nama-nama dari saudara K.H. Mahfudz Ma’shum:

1

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta; LP3ES, 2011), 93.

2

Ibid., 95.

3Sakinah Ma’shum,

(29)

1. Mahfud Ma’shum (Almarhum)

2. Ma’mun Ma’shum (Almarhum)

3. K.H. Mahfudz Ma’shum (Pengasuh Pondok Pesantren Ihyaul Ulum dari 1991

sampai sekarang)

4. Sakina (Almarhum)

5. K.H. Abdullah Afif Ma’shum, M.M.(Adik K.H. Mahfudz Ma’shum dan Ketua

Umum Pengurus Perkumpulan Pondok Pesantren Ihyaul Ulum)

6. K.H. Robbach Ma’shum, M.M. (Adik K.H. Mahfudz Ma’shum dan Pengawas 1

Pengurus Perkumpulan Pondok Pesantren Ihyaul Ulum)

7. Muhammad (Almarhum)

8. K.H. Sa’dan Maftuh Ma’shum (Adik K.H. Mahfudz Ma’shum dan Ketua

Umum 1 Pengurus Perkumpulan Pondok Pesantren Ihyaul Ulum)

9. Dra. Hj. Sakinah Ma’shum (Adik K.H. Mahfudz Ma’shum dan Sekretaris

Pengurus Perkumpulan Pondok Pesantren Ihyaul Ulum)

10. Ahmad Mutammam (Almarhum)

11. Dra. Hj. Robi’ah Ma’shum(Adik K.H. Mahfudz Ma’shum)

12. Hj. Maziyah Ma’shum, S.Pd. I. (Adik K.H. Mahfudz Ma’shum)

13. Dra. Hj. Wafiroh Ma’shum (Adik K.H. Mahfudz Ma’shum dan Bendahara

Pengurus Perkumpulan Pondok Pesantren Ihyaul Ulum).

Berdasarkan garis silsilah dan nasab K.H. Mahfudz Ma’shum merupakan

kiai yang memiliki garis keturunan Joko Tingkir Sultan Panjang. Hal ini dilihat

dari nenek moyang K.H. Ma’shum Sufyan yaitu Mbah Kiai Onggoyudo, beliau

(30)

Ma’shum Sufyan menikah dengan Nyai Masrifah, beliau juga kalau dirunut dari

keturunan ibu, nasabnya pun bertemu di Pangeran Somoyudo, itu adalah gelar

dari Mbah Kiai Abdul Jabbar Jojogan, yang terakhir adalah cucu Joko Tingkir.

Bisa ditarik kesimpulan kalau K.H. Mahfudz Ma’shum memiliki garis keturunan

dari Sultan Panjang Joko Tingkir.4

K.H. Mahfudz Ma’shum dari keturunan ayah terlahir dari keluarga yang

sangat kental dengan warna ke-Nahdlatul Ulama’. Dari warisan religius itulah

K.H. Mahfudz menjadi pribadi yang sangat menjunjung norma-norma agama.

Walaupun K.H. Mahfudz hidup di lingkungan masyarakat yang kental

Muhammadiyahnya, tetapi beliau tidak perna membedakan golongan-golongan

dan sangat menghargai perbedaan tersebut. Hal tersebut sebagaimana penuturan

informan (Nyai Sakinah Ma’shum, 63 tahun) kepada peneliti sebagai berikut:

“Pada tahun 60-an, aba saya sakit sehingga pondok dipegang oleh kakak saya

sendiri, karena pak yai Fud adalah anak paling tua.”5

Pada tahun 1959, awal dari dipilihnya K.H. Mahfudz Ma’shum menjadi

direktur Pondok Pesantren Ihyaul Ulum karena pada saat itu kondisi ayahnya

yang lagi sakit dan harus beristirahat untuk tidak mengajar dalam waktu yang

lama, oleh karena itu semua urusan pondok pesantren yang biasanya di pegang

oleh K.H Ma’shum menjadi tanggung jawab K.H. Mahfudz. Pada saat itu K.H.

Mahfudz Ma’shum belum bisa dikatakan menjadi pengasuh Pondok Pesantren

Ihyaul Ulum, beliau bisa dikatakan menjadi direktur yang mengatur semua

4Mahfudz Ma’shum,

Grissee Tempo Doelo Pesantren Keturunan Joko Tingkir” (Gresik: Pemerintahan kabupaten Gresik 2004), 74.

5

(31)

kepentingan dan kegiatan pondok pesantren, karena pengasuh dan pendiri pondok

pesantren K.H. Ma’shum Sufyan masih ada.

Pada akhirnya tahun 1960 dimana masa tersulit di Pondok Pesantren

Ihyaul Ulum tu terjadi yaitu semakin sedikit santri yang menempati pondok. Para

santri pun satu per satu meninggalkan pondok sehingga jumlahnya berkurang.

K.H. Mahfudz sampai mengurungkan keberangkatannya untuk menuntut ilmu di

Mesir karena tidak dapat restu dari ayahnya yang masih sakit. Melihat kondisi

pondok seperti itu K.H. Mahfudz mendatangi pengurus pondok dan madrasah

yang pada saat itu dipegang oleh tokoh masyarakat, untuk meminta izin agar

membongkar dua bangunan yang rusak untuk direnovasi. Namun, pengurus tidak

mengizikannya, karena mereka tidak yakin kalau K.H. Mahfudz mampu

membangun kembali.

Akhirnya K.H. Mahfudz melakukan musyawarah dengan ayahnya, karena

tanah dan bangunan tersebut merupakan hasil wakaf dari mertua K.H. Ma’shum.

K.H. Mahfudz diberi izin oleh ayahnya untuk membongkar kedua bangunan

tersebut untuk diperbaiki kembali, agar wakaf tanah dan bangunan itu dapat

dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar. K.H. Mahfudz dibantu beberapa orang

yang ingin perbaikan pendidikan di desanya, akhirnya membongkar bangunan

tersebut. Dalam waktu yang cukup singkat, atas izin Allah berdirilah kembali

sebuah gedung dengan dua lantai, yang awalnya hanya sebuah langgar dengan

dua gota’an (kamar) yang kemudian menjadi bangunan dengan 2 lantai. Lantai

satu dipersiapkan untuk tempat belajar atau kelas dan lantai dua untuk asrama,

(32)

Dari semua alur kejadian, pasang surut Pondok Pesantren Ihyaul Ulum ini

kepengurusan pondok pun mengalami perubahan sebagai konsekuensi proses

regenerasi. Dengan mempercayakan K.H. Mahfudz Ma’shum sebagai seorang

direktur di pondok, sedangkan pengasuh pondok masih dipegang oleh ayah K.H.

Ma’fudz Ma’shum sendiri, yaitu K.H. Ma’shum Sufyan. Program dan aktivitas

madrasah berjalan dengan baik dan jumlah santri atau pelajarnya pun bertambah

banyak. Pada saat itu, beberapa tokoh masyarakat Desa Dukunanyar juga meminta

pada K.H. Mahfudz untuk membuka madrasah putri, namun pengasuh pondok

atau K.H. Ma’shum tidak memberi izin karena K.H. Mahfudz masih bujangan,

belum menikah, belum punya istri.

Para tokoh masyarakat terus mendesak K.H. Mahfudz agar membuka

madrasah putri, karena banyak putri mereka yang terlantar tidak bisa sekolah lagi

setelah ditarik keluar dari Madrasah Lil Banat (sekolah khusus perempuan)

Maskumambang6, yang pada saat itu terjadi perubahan paham dan tidak diikuti

oleh beberapa wali murid yang masih mengikuti paham kiai-kiai lama.

Pada tahun 1962 K.H. Mahfudz Ma’shum menikah dengan Nyai Hj. Tika

yang kebetulan adalah tetangga rumahnya sendiri. Beliau dikaruniai 11 anak, 8

laki-laki dan 3 perempuan. Berikut nama-namanya: H. Ahmad Najib Mahfudz,

Lc., SH., Drs. H. Ahmad Hilal Mahfudz, Ahmad (wafat), Hj. Dzurroh Khumairoh,

SQ., Drs. H. Ahmad Wafa Mahfudz., H. Daniel., H. Fairuz Zabadi, Hj. Fitrotin

6

Pondok Pesantren Maskumambang merupakan pondok yang masih ada garis silsilah keluarga dengan Pondok Pesantren Ihyaul Ulum. Pondok Maskumambang terletak di Dusun Maskumambang Dukun. Pendiri dari Pondok Maskumambang adalah Kiai Abdul Jabbar yang kemudian di teruskan oleh kiai salaf bernama Kiai Abdul Faqih. Kiai abdul Faqih juga merupakan guru dari Kiai Ma’shum Dukun.

(33)

Nufus, Hj. Zulfaroh S.Kom, H.Khalif Afnaf, dan H.Fahim Rusdi. Anak beliau

rata-rata lulusan UIN Sunan Ampel Surabaya.7

Seiring berjalan waktu, kharisma dari K.H. Mahfudz semakin terpancar,

oleh karena itu Pondok Pesantren Ihyaul Ulum semakin banyak santri yang

berdatangan. Tidak hanya masyarakat sekitar namun dari luar Kabupaten Gresik

seperti Kabupaten Lamongan dan sekitarnya.

B. Latar Belakang Sosial dan Pendidikan K.H. Mahfudz Ma’shum

Desa Dukun tempat K.H. Mahfudz Ma’shum dilahirkan merupakan suatu

kesatuan sebagain desa, akan tetapi setelah kemerdekaan Desa Dukun dibagi

menjadi dua bagian Desa Dukun dan Desa Dukunanyar. Sebelum berdirinya

Pondok Pesantren Ihyaul Ulum di Desa Dukunanyar sudah ada Pondok Pesantren

milik Kiai Achyat, akan tetapi pondok tersebut hanyut karena ada banjir yang

sangat besar pada saat itu. Hal tersebut sebagaimana penuturan informan (K.H.

Mahfudz Ma’shum, 74 tahun) kepada peneliti sebagai berikut:

“Ketika waktu saya masih kecil, suasana di Desa Dukun tidak seperti

sekarang, karena dulu masih belum ada lampu dan listrik, televisi aja masih jarang yang punya, tapi saya tidak merasa sedih atau gimana memang pada saat itu prasarana dari negara masih belum nyampek desa ini.”8

Kehidupan K.H. Mahfudz ketika waktu kecil bersifat normatif

sebagaimana anak kecil lainnya. Ia sangat menikmati masa kecilnya yang indah,

sebagaimana anak-anak seusianya. Di awal tahun 45-an, dimana K.H. Mahfudz

melalui masa kanak-kanaknya sangatlah berbeda kondisi sosial masyarakatnya

7K.H. Mahfudz Ma’shum,

Wawancara, Dukunanyar, 28 Mei 2016.

8

(34)

dengan masa sekarang. Indonesia yang pada itu masih memperjuangkan

kemerdekaan belum memiliki prasarana kehidupan yang memadai. Listrik baru

ada di Jakarta dan beberapa kota besar saja. Teknologi dan informasi masih

terbatas, begitu pula jalan-jalan masih belum diaspal. Keterbatasan sarana dan

prasarana keadaan ini memberikan efek positif bagi Desa Dukunanyar yaitu

menjadikan suasana pedesaan kondusif, yang paling penting yaitu suasana

religiusitas Desa Dukun masih sangat terjaga karena belum ada pengaruh negatif

dari dunia luar. Salah satu bentuk religiusitas itu terlihat dari kebiasaan anak-anak

yang rajin mengaji di pondok pesantren yang pada saat itu sudah ada. Kondisi

sosial masyarakat yang demikian membawa dampak positif pada diri K.H.

Mahfudz semasa kecil. Dampak negatif dari suasana Desa Dukunanyar kala itu

adalah masyarakat masih terbelenggu oleh tradisi yang terbelakang dan belum

berani melangkah menuju perubahan yang signifikan, seperti menyekolahkan

anak ke kota.

K.H. Mahfudz Ma’shum dibesarkan di lingkungan Pondok Pesantren

Ihyaul Ulum yang berideologi Nahdlatul Ulama’, karena ayah beliau adalah

pendiri Pondok Pesantren Ihyaul Ulum Dukunanyar Dukun Gresik. Beliau belajar

mengaji dibawah naungan pondok pesantren ayahnya sendiri, yaitu di langgar

yang didirikan oleh ayahnya dan kakeknya, yang bernama K.H. Ma’shum Sufyan

dan H. Rusdi. Langgar ini didirikan pada tahun 1951 dan langgar ini masih

disebut dengan Pondok Langgar Ihyaul Ulum, belum resmi menjadi Pondok

(35)

sebagaimana penuturan informan (K.H. Mahfudz Ma’shum, 74 tahun) kepada

peneliti sebagai berikut:

“Di Desa Dukun ini perna ada banjir bandang, itu dari air bengawan solo

yang sekarang sudah ada jembatan besarnya. Pas banjir itu, pondok pak yai Ahyat hanyut terbawa banjir, akibatnya masyarakat tidak ada tempat

mengajih lagi.”9

Pondok langgar ini didirikan berkat dorongan masyarakat Dukunanyar

yang saat itu berharap menghidupkan kembali kegiatan belajar ilmu agama di

Desa Dukunanyar, karena sebelumnya sudah ada pondok yang berdiri di kawasan

Dukun yaitu pondok Kiai Achyat. Sekitar tahun 1942, pada masa pendudukan

Jepang kawasan Dukun diterjang luapan air sungai Bengawan Solo. Pondok Kiai

Achyat yang menjadi tumpuan masyarakat Dukun terhempas oleh banjir bandang.

Tidak lama kemudian setelah kejadian banjir itu, Kiai Achyat wafat. Saat itu juga

masyarakat Dukun mulai berdatangan ke rumah Kiai Ma’shum untuk meminta

agar beliau menjadi kiai di Dukun. Dari peristiwa itulah yang mendorong K.H.

Ma’shum Sufyan mendirikan Pondok Pesantren Ihyaul Ulum.

Pada saat itu ilmu pengetahuan umum mungkin belum seberapa ada

disekitar Pondok Pesantren Ihyaul Ulum, hanya ada Madrasah Lil Banin (sekolah

khusus laki-laki) dan itu pun masih belum seberapa ada pelajaran umum, semua

pelajaran hanya berkaitan dengan mengaji kitab-kitab kuning. Oleh karena itu,

sampai K.H. Mahfudz Ma’shum beranjak dewasa beliau hanya sekolah di

lingkungan Pondok Pesantren ayahnya sendiri. Hal tersebut sebagaimana

penuturan informan (K.H. Mahfudz Ma’shum, 74 tahun) kepada peneliti sebagai

berikut:

9

(36)

“Saya sempat mondok di Kerapyak Jogja, di pondoknya pak yai Ali. Saya disana tidak seberapa lama, karena aba saya sakit dan pas waktu itu saya mendapat beasiswa sekolah ke mesir, tapi tidak saya ambil karena saya harus

mengurus pondok di rumah dan tidak dapat restu dari orang tua.”10

Saat K.H. Mahfudz Ma’shum beranjak dewasa, beliau di pondokkan

ayahnya di Pondok Pesantren Al-Munawwir yang pada saat itu kiainya bernama

Kiai Ali Maksum, yang berada di daerah Kerapyak Yogyakarta. Pondok Pesantren

Kiai Ali Maksum itu juga sangat kental dengan haluan Nahdlatul Ulama’. Cukup

lama beliau di Pondok Pesantren Kiai Ali sampai beliau mendapat beasiswa untuk

meneruskan pendidikannya di Mesir. K.H. Mahfudz Ma’shum adalah santri yang

cerdas, beliau terpilih diantara ratusan santri yang mengikuti tes untuk

mendapatkan beasiswa tersebut dan K.H. Mahfudz adalah dua diantara santri yang

terpilih mendapatkan beasiswa tersebut, akan tetapi keadaan saat itu tidak

memungkinkan beliau untuk tetap berangkat ke Mesir, karena kondisi K.H

Ma’shum Sufyan ayahnya sedang sakit dan beliau juga tidak mendapatkan izin

dari ayahnya karena khawatir akan kondisi Pondok Pesantren Ihyaul Ulum ini

tidak ada yang mengurusi.

Pada saat K.H. Mahfudz Ma’shum masih berumur 18 tahun keadaan

Pondok Pesantren Ihyaul Ulum mengalami penurunan yang drastis, karena

santri-santri banyak yang meninggalkan pondok sehingga jumlahnya berkurang, dengan

sikap kegigihan K.H. Mahfudz Ma’shum melakukan musyawarah dengan

ayahnya, agar pendidikan di desanya itu tetap hidup dan semakin banyak santri

yang berminat untuk mengembangkan ilmunya, maka K.H. Mahfudz dengan

tekadnya yang sudah bulat membangun kembali pondok dan madrasah lagi.

10

(37)

Semua itu dilakukan K.H. Mahfudz Ma’shum dengan sungguh-sungguh sampai

berbuah hasil dengan semakin banyak santri yang berminat untuk belajar ilmu

agama.

Sampai pada tahun 1962, K.H. Ma’shum Sufyan mendadak menikahkan

K.H. Mahfudz Ma’shum dengan tetangga rumahnya sendiri yaitu Nyai Hj. Tika,

meskipun masih terlalu muda. Semua itu dilakukan karena desakan masyarakat

untuk mendirikan Madrasah Lil Banat (sekolah khusus perempuan), karena

menurut K.H. Ma’shum Sufyan kurang pantas bagi laki-laki yang masih

bujangan, belum nikah dan belum punya istri itu membuka madrasah khusus

perempuan.

Setahun kemudian direktur baru diberi izin oleh pengasuh pondok untuk

membuka Madrasah Lil Banat yang dituntut masyarakat. Izin ini menjadikan

K.H. Mahfudz Sufyan bersama para pengurus pondok untuk mempersiapkan

tenaga pengajar, pengadaan perlengkapan dan sarana penunjang untuk madrasah,

baru pada awal 1965 M madrasah putri itu dapat diresmikan.

Selain menjadi seorang direktur di Pondok Pesantren Ihyaul Ulum, K.H.

Mahfudz Ma’shum juga sebagai pengajar di madrasah maupun di pengajian

kitab-kitab kuning yang biasanya dilakukan secara rutin di pondok. Tidak terlepas dari

peran beliau yang sangat fokus mengembangkan kemajuan Pondok Pesantren

Ihyaul Ulum, K.H. Mahfudz Ma’shum juga sempat melanjutkan pendidikannya di

Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya, beliau termasuk mahasiswa yang

pandai sampai mendapat gelar sarjana muda. Setelah itu beliau kembali lagi ke

(38)

C. Kiprah K.H. Mahfudz Ma’shum di Tengah Masyarakat

Kepribdian K.H. Mahfudz Ma’shum adalah sosok yang sangat disiplin,

tekun dan dekmokratis. Beliau adalah seorang yang gigih memperjuangkan

keinginannya ketika sudah ada keinginan. Beliau adalah tipe orang yang

demokratis dalam membangun hubungan sosial yang erat dengan masyarakat,

memberikan pemahaman tentang kesetaraan gender, membentuk kehidupan

pesantren secara integratif antara nilai spiritual, moral dan material, dan

mempunyai kharisma yang luar biasa.11

K.H. Mahfudz Ma’shum adalah sosok yang sederhana, aktif, berwawasan

luas, berfikiran modern, teguh pendirian dan istiqomah dalam beribadah, kosisten

mendidik santri dan mengolah pesantren, sampai ada tawaran untuk menjadi

anggota dewan atapun pejabat. Meskipun sangat aktif dibeberapa organisasi yang

masih berwarna Nahdlatul Ulama’ dan sempat menduduki kursi Dewan

Perwakilan Rakyat 2 periode dari tahun 1982-1992, beliau tetap konsisten dan

fokus juga mengelola Pondok Pesantren Ihyaul Ulum.

Kiai bukan hanya me“manage”, “teach” dan “lead” secara spesial,

melainkan secara total “mendidik kehidupan secara utuh”, dan melibatkan diri

dengan konsekuen, lillahi ta’ala sekuat-kuatnya. Kepedulian terhadap

peningkatan manajemen mutlak dilakukan secara sadar dan aktif, meskipun

terkadang harus terjun langsung, turut campur sebagai contoh keteladanan dengan

segala resiko pengorbanan yang kebanyakan tidak tertulis. Pesantren tidak banyak

mempertimbangkan untung-rugi, tapi benar-salah, manfaat-madarat atas dasar

11

Miftakhul Muthoharoh,“Peran Pesantren Ihyaul Ulum dalam membentuk civil society“

(39)

halal-haram. Menjadi prioritas utama adalah mengelola minat dan bakat serta

kesejahteraan lahir-batin dengan bersandar pada jiwa kebersamaan.12

Beliau juga sosok tauladan bagi santri, guru dan masyarakat. Shalat

Tahajjud, shalat dhuha, puasa sunnah telah menjadi kebiasaan beliau sejak

beranjak dewasa dari beliau mengenyam pendidikan di pesantren ayahnya sendiri

sampai terbawa saat beliau nyantri di Pondok Pesantren Al-Munawwir Kerapyak

Yogjakarta. Setiap hari beliau menularkan ilmu, pemikiran dan pengalaman

kepada santri-santriwati, baik dalam forum pengajian maupun pengajaran formal

di kelas.

Awal-awal K.H. Mahfudz Ma’shum pulang dari Kerapyak Yogyakarta

disamping membangun lagi pesantren yang pada saat itu mengalami penurunan

jumlah santri yang sangat drastis, beliau juga sering aktif di organisasi-organisasi

desanya. Disaat itu usia K.H. Mahfudz masih tergolong sangat muda 18 tahun

untuk menjadi seorang pengelola pondok pesantren, namun keadaan yang

mengharuskan K.H. Mahfudz untuk menjadi pengelola pondok pesantren karena

saat itu ayahnya sakit. Banyak masyarakat yang pada saat itu meragukan beliau,

akan tetapi keoptimisan K.H. Mahfudz dalam menghidupkan kembali pesantren

sangatlah keras, sehingga dalam waktu yang cukup singkat K.H. Mahfudz

membuktikan itu.

K.H. Mahfudz menginginkan santri-santriwati Pondok Pesantren Ihyaul

Ulum bisa menjadi orang-orang yang saleh shaleha, berilmu, taat, bermanfaat,

sukses dan maju sebagaimana isi doa yang selalu beliau panjatkan. Sejak awal

12

(40)

baliau menjadi pengelola pesantren tahun 1959 sampai sekarang, beliau selalu

memperhatikan penanaman nilai keIslaman, jiwa kepondokan, kedisiplinan,

kemandirian, ketrampilan, pengalaman berorganisasi dan pembelajaran ilmu-ilmu

umum. Beliau selalu mengingatkan para guru dan santri tentang pentingnya

penguasahan keterampilan, ilmu umum dan bahasa yang menjadi kunci bagi

mengusahan ilmu agama Islam, sains modern dan komunikasi global.

K.H. Mahfudz Ma’shum di masyarakat merupakan sebagai suri tauladan

bagi masyarakat sekitar, karena sebagian orang menganggap beliau itu orang yang

berwawasan dan berilmu. Semua orang tahu bahwa K.H. Mahfudz biasa dibuat

contoh terutama dalam hal akhlaq ibadah, dan beliau juga memiliki keturunan

istimewa yaitu K.H. Ma’shum Sufyan, ayahnya yang dari sekitar umur 6-7 tahun

sudah fasih dan terampil membaca ayat-ayat al-Qur’an dan waktu 12 tahun sudah

hafal semua ayat suci Al-Qur’an dalam waktu 3 bulan saja, semua masyarakat

sudah mengetahui. Hal tersebut sebagaimana penuturan informan (Abdul Malik,

40 tahun) kepada peneliti sebagai berikut:

“Pak yai Fud adalah sosok kiai yang sangat bisa dicontoh dari kebiasaan

beliau sehari-hari dan ibadahnya beliau yang sangat tekun, semangatnya beliau sangat tinggi sampai saya kalah.”13

Sebagian besar orang mengetahui termasuk Ihyaul Ulum maju bukan

karena dari iklan-iklan tetapi mutu alumni dan keteladanan kiainya, jadi K.H.

Mahfudz merupakan kiai yang benar-benar bisa dicontoh buat santri-santrinya

karena setiap hari ada di pondok dan setiap subuh ada mengisi ceramah dan ngaji,

hidupnya selalu ada buat pondoknya. Orang bisa melihat langsung bahwa

13

(41)

bagaimana model kiai sehari-hari termasuk masyarakat Dukunanyar. Disamping

itu beliau juga masih tetap mengajar, dulunya mengajar banyak mata pelajaran

sekarang mulai dikurangi karena umurnya sudah mulai tua.

Disela-sela kesibukan mengelola pondok pesantren, beliau juga aktif

menjalin hubungan silaturrahmi dengan banyak orang. Sehingga beliau dekat

dengan berbagai kalangan, baik masyarakat biasa, pendidikan, politisi, pejabat

maupun kalangan lainnya. K.H. Mahfudz Ma’shum dalam kiprahnya di

masyarakat sebagai da’i di Dukunanyar, juga jadi Rois Syuriah Nahdlatul Ulama’

di Kabupaten Gresik. K.H. Mahfudz Ma’shum ternyata melihat dengan kritis

semua fenomena yang terjadi di Indonesia. Walaupun beliau dalam kesehariannya

mengasuh santri di Pondok Pesantren Ihyaul Ulum, namun beliau juga mampu

(42)

33

MAHFUDZ MA’SHUM

A. Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Ihyaul Ulum

Pondok Pesantren adalah suatu lembaga pendidikan dan pengajaran Islam

yang sekaligus sebagai lembaga pengkaderan.1 Disamping itu juga merupakan

pusat pengembangan dan penyebaran ilmu-ilmu keIslaman yang mempunyai lima

elemen dasar tradisi, yakni pondok, masjid, santri, pengajian kitab klasik dan

kiai.2

Pada masa kolonial Belanda, di Desa Dukunanyar, Kecamatan Dukun,

sudah ada beberapa pendirian pondok pesantren salah satunya adalah pondok

pesantren yang dipimpin oleh Kiai Muhammad Sholeh. Kepemimpinan Kiai

Sholeh dilanjutkan Kiai Achyat, paman K.H. Ma’shum Sufyan. Pesantren Kiai

Achyat itu berada di timur jalan menuju Kecamatan Bungah. Selain pondok

tersebut, di daerah Dukun di Desa Sembung Kidul juga berdiri pondok pesantren

yang terkenal dengan nama Maskumambang, berjarak kurang lebih 900 meter dari

Pondok Pesantren Ihyaul Ulum yang berdiri dan dipimpin oleh Kiai Abdul Jabbar,

yang selanjutnya diteruskan oleh putranya sendiri yaitu Kiai Faqih, yang juga

masih memiliki hubungan darah dengan K.H. Ma’shum Sufyan.

Pada tahun 1942 terjadi bencana banjir yang sangat besar sehingga pondok

yang dipimpin oleh Kiai Achyat hancur berantakan. Sejak itu Desa Dukunanyar

1

Dapertemen Pendidikan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,. 1990), 117.

2

(43)

tidak ada tempat pendidikan, baik pondok pesantren maupun madrasah. Tidak

lama kemudian setelah terjadi bencana banjir, Kiai Achyat wafat, begitu pula Kiai

Faqih juga ikut menyusul ke rahmatullah. Hal tersebut sebagaimana penuturan

informan (K.H. Mahfudz Ma’shum, 74 tahun) kepada peneliti sebagai berikut:

“Dulu pondok ini hanya berupa langgar terbuat dari kayu jati. Orang-orang Ndukun lumayan banyak yang mengaji kesini dan akhirnya dibangun pondok

lagi karena santrine bertambah banyak.”3

Pada tahun 1950 sebagian orang Desa Dukunanyar dan sekitarnya banyak

yang berdatangan ke rumah K.H. Ma’shum untuk mengaji atau belajar ilmu

agama. Semakin hari santri yang mengaji semakin banyak hingga pada tahun

1951 oleh H. Rusdi mertua dari K.H. Ma’shum bersama keluarganya memberi

dukungan penuh baik moril maupun materiil untuk membangun langgar dengan

beberapa gotha’an (kamar) di pekarangan depan rumah beliau sebagai tempat

mengaji dan istirahatnya para santri. Langgar itu terletak tepat di depan seberang

rumah beliau, terbuat dari kayu jati dengan lantai kayu jati pula tapi terpisah

dengan tanah, layaknya bangunan panggung. K.H. Ma’shum kemudian pindah

tempat mengajarnya dari rumah ke langgar tersebut, disamping juga menjadi

imam sholat jamaah setiap waktu. Di langgar itu juga disediakan meja tulis kecil

sederhana yang mudah diangkat untuk dipindah-pindah untuk fasilitas belajar

mengaji para santri.

Atas dorongan masyarakat Desa Dukunanyar dan sekitarnya, pada tanggal

1 Januari 1951 K.H. Ma’shum Sufyan meresmikan langgar tersebut sebagai

madrasah yang diberi nama Ihyaul Ulum, yang berarti menghidupkan ilmu

3Mahfudz Ma’shum,

(44)

terutama ilmu agama. Pondok Pesantren Ihyaul Ulum terletak di sebelah barat laut

kota Gresik, sekitar ±28 km dari kota Gresik, tepatnya di Desa Dukunanyar

Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik.

Semetara pada saat itu pondok masih menyediakan madrasah yang hanya

menerima santri putra. Dengan kesungguhan K.H. Ma’shum dibantu tokoh

masyarakat mengelola Pondok Pesantren Ihyaul Ulum berkembang pesat. Santri

berdatangan tidak hanya dari daerah Kecamatan Dukun saja, tapi juga dari luar

Kecamatan Dukun, bahkan ada yang berasal dari Kabupaten Lamogan.

Akibatnya, Pondok Pesantren Ihyaul Ulum harus menyediakan tempat

pemondokan atau asrama.

Dua tahun kemudin, K.H. Mahfudz Ma’shum bersama dengan pengurus

pondok dibantu masyarakat Dukunanyar mendirikan sebuah bangunan di sebelah

timur madrasah sebagai tempat pemondokan. Bangunan tersebut juga terdiri atas

bahan kayu dengan lantai yang terbuat dari bambu yang terpisah oleh tanah.

Dengan dibangunnya asrama tersebut, santri yang menetap semakin banyak,

begitu juga santri yang tidak menetap. Madrasah yang semula hanya diisi

pelajaran ilmu-ilmu agama, juga diajarkan pengetahuan umum seperti Bahasa

Indonesia, Matematika, dan lain-lain.

Pondok Pesantren Ihyaul Ulum terus berkembang hingga saat masa

regenerasi, antar ayah dan putranya yaitu K.H. Ma’shum Sufyan yang asal

mulanya menjadi pengasuh pondok menyerahkan segala kegiatan pondok kepada

anaknya yaitu K.H. Mahfudz Ma’shum. Akan tetapi pada saat itu pengasuh

(45)

Ma’shum sudah sakit sehingga semua kegiatan, kepentingan dan semua yang

berurusan dengan pondok diurus oleh K.H. Mahfudz Ma’shum. Bisa dikatakan

K.H. Mahfudz Ma’shum adalah direktur dari Podok Pesantren Ihyaul Ulum pada

saat itu.

Pada tahun 1959 Pondok Pesantren Ihyaul Ulum mengalami ujian yang

sangat berat, dimana Kiai Ma’shum sakit dan kondisi pondok yang semakin

sedikit santrinya sampai pondok itu tidak ada yang menempati. Akan tetapi semua

itu ditepis oleh kesungguhan K.H. Mahfudz Ma’shum dibantu tokoh masyarakat

dengan berbagai cara agar Pondok Pesanren Ihyaul Ulum itu tetap hidup di tengah

masyarakat Dukunanyar, sampai akhirnya pada tahun 1965 dibangunlah madrasah

khusus putri.

Pada masa itu juga banyak santri-santri yang berdatangan, sehingga

mengharuskan membangun sejumlah tempat pemondokan lagi karena jumlah

santri yang semakin hari semakin bertambah. Usaha K.H. Mahfudz Ma’shum juga

tidak berhenti disitu saja, dengan mendirikan beberapa lembaga pendidikan dari

berbagai jenjang mulai dari TK, Madrasah Ibtidaiyah (SD), Madrasah Tsanawiyah

(SMP), Madrasah Aliyah (SMA) dengan beberapa jurusan, Sekolah Tinggi

Agama Islam (STAI) program S1 dan S2, dan baru 5 tahun yang lalu mendirikan

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

Hingga pada 14 Oktober 1990, Pondok Pesantren Ihyaul Ulum kehilangan

sosok kiai yang sangat berkharisma yaitu pendiri Pondok Pesantren Ihyau’ul

(46)

pengasuh Pondok Pesantren Ihyaul Ulum berlanjut ke putranya sendiri yaitu K.H.

Mahfudz Ma’shum.

B. Profil Para Pengasuh Pondok Pesantren Ihyaul Ulum

Dalam usia pondok yang cukup tua yaitu 65 tahun, kepemimpinan Pondok

Pesantren Ihyaul Ulum ini masih ada 2 generasi yang ditetapkan atau dipilih

secara kekeluargaan. Hal tersebut sebagaimana penuturan informan (K.H.

Mahfudz Ma’shum, 74 tahun) kepada peneliti sebagai berikut:

“Usia Pondok ini sudah sekitar 65 tahun, masih tua umur saya. Pondok ini didirikan ayah saya, lalu saya dipercaya untuk meneruskan mengasuh

pondok ini oleh ayah saya.”4

Dalam tradisi Pondok Pesantren Ihyaul Ulum, masa pergantian

kepemimpinan dilakukan ada saat pengasuh pulang ke Rahmatullah (meninggal

dunia). Pemilihan pengasuh dan pengurus yayasan pondok pesantren sudah

dilaksanakan secara demokratis dengan cara dipilih langsung oleh warga

pesantren. Pemilihan pengasuh atau pengasuh pesantren masih menggunakan

sistem kekeluargaan yang lebih didahulukan, sedangkan untuk pemilihan

pengurus pesantren sudah dipilih secara demokratis, keputusan siapa yang

menjadi pemimpin benar-benar berada di tangan masyarakat pesantren.

Sampai saat ini pengasuh pondok masih mengalami pergantian sekali, dari

Ayah turun ke putranya, yaitu:

1. K.H. Ma’shum Sufyan, pendiri Pondok Pesantren Ihyaul Ulum pada tahun

1951-1991 M.

2. K.H. Mahfudz Ma’shum mengasuh pada tahun 1991-sekarang.

4

(47)

Dari satu generasi ke generasi penerusnya, para kiai selalu menaruh

perhatian istimewa terhadap putra putrinya. Dari tradisi pesantren sudah memiliki

cara praktis yang mereka tempuh untuk mengembangkan suatu tradisi bahwa

keluarga yang terdekat harus menjadi calon kuat pengganti kepemimpinan

pesantren. Disamping itu juga mengembangkan tradisi transmisi pengetahuan dan

rantai transmisi intelektual antar sesama kiai, keluarga dan generasi kebawahnya.5

Pada saat K.H. Ma’shum Sufyan masih hidup beliau sudah memberikan

beberapa tanggung jawab kepentingan pesantren terhadap K.H. Mahfudz

Ma’shum, akan tetapi setiap keputusan yang mau diambil K.H. Mahfudz masih

harus dapat persetujuan izin dari ayahnya. Baru pada saat K.H. Ma’shum Sufyan

sudah wafat pada 14 Oktober 1990, semua tanggung jawab kepentingan pondok

sudah beralih kepada K.H. Mahfudz Ma’shum. Peralihan pengasuh pondok ini

disetujui oleh semua kerabat pesantren, karena dirasa K.H. Mahfudz Ma’shum

sudah menjadi tangan kanan dari ayahnya sewaktu ayahnya masih sakit-sakitan

dulu.

Setiap mengalami pergantian pengasuh pondok, pasti ada

kemajuan-kemajuan, diantaranya dari kemajuan pendidikannya, infrastrukturnya, dan

bahkan metode pengajarannya, karena semua itu tidak lepas dari kewajiban peran

K.H. Mahfudz Ma’shum. Kiai merupakan elemen paling esensial dari suatu

pesantren, maka dari itu sudah sewajarnya bahwa pertumbuhan suatu pesantren

semata-mata bergantung pada kemampuan pribadi kiainya.6

5

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pensantren: Studi Tenteng Pandangan Hidup Kiai, 101.

6

(48)

C. Perkembangan dari Aspek Gedung dan Lembaga Pendidikan

Pondok Pesantren Ihyaul Ulum adalah salah satu lembaga pendidikan

Islam yang hadir berkat dorongan masyarakat untuk mendalami ilmu agama

Islam. Pondok Pasantren Ihyaul Ulum didirikan pada tanggal 12 Januari 1951 oleh

K.H. Ma’shum Sufyan yang tak lain adalah ayahanda dari K.H. Ma’fudz

Ma’shum. Hal tersebut sebagaimana penuturan informan (Abdul Malik, 40 tahun)

kepada peneliti sebagai berikut:

“Pondok ini didirikan atas keinginan masyarakat, demikian mbah yai (K.H.

Ma’shum Sufyan) merasa memiliki kewajiban untuk memberi wadah kepada penduduk sekitar agar mengenal lebih dalam agama Islam.”7

Sosok pendidik yang kharismatik dan penuh tauladan perlu kita ambil

sebagai pelajaran. Dengan kemampuan yang ada, K.H. Ma’shum telah berhasil

menanamkan benih kehidupan yang cerdas dan berwawasan luas dengan

mendirikannya sebuah pondok pesantren. Perjuangan beliau dalam mendirikan

pondok pesantren tidaklah mudah, dengan dibantu K.H. Mahfudz Ma’shum

anaknya, Pondok Pesantren Ihyaul Ulum berkembang semakin maju sampai

sekarang.

Seiring dengan perkembangan zaman yang banyak berbagai bidang

keilmuan yang telah berkembang lebih maju lagi dari sebelumnya terutama dalam

bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, maka begitu juga dengan pesantren

dalam mempertahankan nilai-nilai Islam yang berpegang pada kaidah islamiyah,

karena sejak awal pertumbuhannya tujuan utama pondok pesantren adalah

menyiapkan santri dalam mendalami dan menguasai ilmu agama Islam atau lebih

7

(49)

dikenal dengan Tafaqquh Fiddin (memahami ilmu agama), yang diharapkan

dalam mencetak kader-kader ulama’ yang mencerdaskan masyarakat, dakwah

dalam ikut serta menyebarkan agama Islam dan benteng pertahanan umat dalam

bidang akhlaqnya.8 Dengan berpedoman suatu kaidah tersebut, Pondok Pesantren

Ihyaul Ulum Dukunanyar Dukun Gresik menciptakan generasi santri berilmu,

beramal dan berakhlaq.

Disamping tujuan Pondok Pesantren Ihyaul Ulum sebagaimana yang telah

penulis paparkan diatas, dilihat dari segi pertumbuhan dan perkembangannya,

Pondok Pesantren Ihyaul Ulum telah menampakkan prospek yang cemerlang, baik

sebagai lembaga Islam maupun sebagai lembaga pendidikan, yang eksistensi dan

peranannya mampu mewarnai masyarakat lingkungannya maupun diluar

daerahnya.

Perkembangan suatu pesantren pada umumnya sangat dipengaruhi oleh

kemampuan internal pesantren tersebut, utamanya kiai dalam merespon

perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, jika dilihat dari

dinamika perkembangannya yang terjadi di dunia pesantren, maka lembaga

pendidikan ini dapat digolongkan menjadi tiga corak secara garis besar:

1. Pesantren Tradisional (salaf), yaitu yang masih mempertahankan

tradisi-tradisi lama, seperti pengajian kitab-kitab kuning dengan metode weton dan

sorogan, serta belum memasukkan unsur pembaruan dalam sistem

pendidikannya. Weton adalah sistem pengajaran sekelompok santri atau

murid dengan cara mendengarkan seorang guru atau ustadz atau kiainya

8

(50)

dalam pembelajaran, menerjemah, dan menerangkan. Pada sistem ini guru

atau ustadz yang lebih aktif, dari pada murid atau santrinya. Sedangkan

sorogan adalah sistem pembelajaran dimana santri atau murid lebih aktif dari

pada ustadz atau gurunya.

2. Pesantren Modern (Kholaf), yaitu pesantren yang sudah memasukkan

unsur-unsur modern dalam pendidikannya, seperti mengajarkan ilmu-ilmu umum

dan keterampilan, menggunakan sistem pengajaran klasikal

(madrasah/sekolah) memiliki sarana dan fasilitas pendidikan yang lebih

lengkap, serta secara kelembagaan dikelola dengan manajemen yang lebih

modern.9

3. Pesantren Terpadu, yaitu pesantren yang semi salaf sekaligus semi modern.

Pesantren ini bercirikan corak tradisionalis yang masih kental, sebab

disamping kiai masih menjadi figur sentral, budaya klasik masih menjadi

standar pola relasi keseharian s

Gambar

Jadwal PengajiTabel 1.3 an Ba’da Sholat Pondok Pesantren Ihyaul Ulum

Referensi

Dokumen terkait

APP telah berkomitmen terhadap penilaian HCVF yang independen sebagai bagian dari komitmen ini dan dengan konsultasi dengan para pemangku kepentingan, akan mengembangkan

Dalam usaha memperbaiki fragmentasi batuan untuk memperoleh batuan hasil ledakan pada ukuran • 100 cm dengan persentase di bawah 15% (Koesnaryo, 2001) maka akan dibahas

Pertimbangan tersebut yaitu jenis bunga krisan yang digunakan dalam penelitian harus memiliki kriteria sesuai dengan parameter yang akan digunakan untuk melihat

Dari pendasaran di atas, keyakinan atas apa yang terjadi pada karamah wali seperti misalnya pada Manaqib Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani atau pada cerita-cerita Sunan

Kegunaan praktis dari penelitian ini adalah sebagai bahan referensi untuk Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) dan pemerintah kota (Pemkot) Surabaya untuk

Tiga Serangkai Surakarta can be optimized through the determination of inventory policy, applying a model minimum and maximum inventory that considers the safety stock in

Lihat pada transkip dokumentasi dalam lampiran penelitian ini, Kode 06/W/05-III/2018.. 9) Pantang tidak berdisiplin, tidak bersemangat dan tidak berkomitmen terhadap

Judul : Pola Aktivitas dan Perilaku Nyeri Rheumatoid Arthritis pada Lansia di Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat.. Nama : Dendi