Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memeperoleh Gelar Sarjana dalam Program Starta Satu (S1) Pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)
Oleh: Mega Dusturiyah NIM: A82212149
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS NEGERI ISLAM SUNAN AMPEL
xii
This thesis entitled "The Role K.H. Mahfudz Ma'shum In Progress Ihyaul Ulum Islamic Boarding Dukunanyar Dukun Gresik (1991-2012)". The formulation of the problem in this thesis are (1) How Profile K.H. Mahfudz Ma'shum?, (2) How Forms Development Ihyaul Ulum Islamic Boarding School under the leadership K.H. Mahfudz Ma'shum?, (3) How Role K.H. Mahfudz Ma'shum in development Ihyaul Ulum Islamic Boarding Dukunanyar Dukun Gresik?.
In this study, the authors use the method of history with sociological approach. This historical method used to identify or describe the events that happened in the past. Sociological approach is intended to explain the social role of the scholars who influenced the development of the school and community environmentin life. In this study, the authors also use a third theory of a different opinion, useless as a tool to analyze the symptoms of the events of the past, namely: the role of theory and the theory of social change (Prof. Dr. Soerjono Soekanto) and also the theory of leadership (Max Weber).
xii
Skripsi ini berjudul “Peranan K.H. Mahfudz Ma’shum Dalam Perkembangan Pondok Pesantren Ihyaul Ulum Dukunanyar Dukun Gresik (1991-2012)”. Adapun rumusan masalah dalam skripsi ini adalah (1) Bagaimana Profil K.H. Mahfudz
Ma’shum?, (2)Bagaimana Bentuk Perkembangan Pondok Pesantren Ihyaul Ulum
dibawah Kepemimpinan K.H. Mahfudz Ma’shum?, (3) Bagaimana Peranan K.H.
Mahfudz Ma’shum dalam Perkembangan Pondok Pesantren Ihyaul Ulum Dukunanyar
Dukun Gresik?.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode sejarah dengan pendekatan sosiologi. Metode sejarah ini digunakan untuk mengetahui atau mendiskripsikan peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Pendekatan sosiologi dimaksudkan untuk menjelaskan peranan sosial dari kiai yang mempengaruhi perkembangan pesantren dan dilingkungan kehidupam masyarakat. Dalam penelitian ini, penulis juga menggunakan 3 teori dari pendapat yang berbeda,gunanya sebagai alat bantu untuk menganalisis gejala-gejala tentang peristiwa masa lampau, yaitu: teori peranan dan teori perubahan sosial (Prof. Dr. Soerjono Soekanto) dan juga teori kepemimpinan (Max Weber).
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa (1) K.H. Mahfudz Ma’shum lahir pada
6 Mei 1942 di Desa Dukunanyar Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik. K.H. Mahfudz
Ma’shum putra ketiga dari K.H. Ma’shum Sufyan dan Nyai Hj. Masyrifah dan beliau memiliki garis keturunan dari Joko Tingkir, (2) Pondok Pesantren Ihyaul Ulum berdiri
pada tahun 1951 M dan didirikan oleh K.H. Ma’shum Sufyan. Berdirinya pondok ini
dilatarbelakangi oleh dorongan masyarakat sekitar yang ingin belajar agama Islam.
Setelah K.H. Ma’shum meninggal pada tahun 1991, maka kepemimpinan beralih ke K.H. Mahfudz Ma’shum atas penunjukan langsung dari K.H. Ma’shum Sufyan, tetapi juga dilakukan melalui musyawarah keluarga. Pada kepemimpinan K.H. Mahfudz Ma’shum
Pondok Pesantren Ihyaul Ulum mengalami banyak perkembangan, diantaranya; menambah bangunan pondok putra dan putri yang sebelumnya hanya 2 gedung, kini menjadi 4 gedung, mendirikan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ihyaul Ulum pada tahun 1998 M, dan mendirikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) pada tahun 2012,
(3) Peranan K.H. Mahfudz Ma’shum di dalam Pondok Pesantren Ihyaul Ulum antara
xiv DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv
TRANSLITERASI ... vi
MOTTO ... vii
PERSEMBAHAN ... viii
KATA PENGANTAR ... x
ABSTRAK ... xii
DAFTAR ISI ... xiv
BAB I: PENDAHULUAN ... 1
A. Latar belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan penelitian ... 6
D. Kegunaan penelitian ... 6
E. Pendekatan dan kerangka teori ... 6
F. Penelitian terdahulu ... 10
G. Metode penelitian ... 11
H. Sistematika pembahasan ... 17
BAB II: PROFIL K.H. MAHFUDZ MA’SHUM ... 19
A. Profil K.H. Mahfudz Ma’shum ... 19
B. Latar Belakang Sosial dan Pendidikan K.H. Mahfudz Ma’shum ... 24
C. Kiprah K.H. Mahfudz Ma’shum di Tengah Masyarakat... . 29
xiv
A. Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Ihyaul Ulum ... 33
B. Profil Para Pengasuh Pondok Pesantren Ihyaul Ulum ... 37
C. Perkembangan dari Aspek Gedung dan Lembaga Pendidikan ... 39
BAB IV: PERANAN K.H. MAHFUDZ MA’SHUM DALAM PERKEMBANGAN PONDOK PESANTREN IHYAUL ULUM DUKUNANYAR DUKUN GRESIK ... 53
A. Peran K.H. Mahfudz Ma’shum sebagai Pengumpul Dana ... 53
B. Peran K.H. Mahfudz Ma’shum sebagai Manajer Sumber Daya Manusia ... 59
C. Peran K.H. Mahfudz Ma’shum sebagai Inisiator Pendirian STAI dan SMK Ihyaul Ulum ... 65
BAB V: PENUTUP ... 68
A. Kesimpulan ... 68
B. Saran ... 70
1 A. Latar belakang
Indonesia sebagai salah satu negara yang penduduknya mayoritas
beragama Islam, memiliki salah satu sistem pendidikan yaitu pondok pesantren.
Pondok Pesantren adalah suatu lembaga pendidikan dan pengajaran Islam yang
sekaligus sebagai lembaga pengkaderan. Disamping itu juga merupakan pusat
pengembangan dan penyebaran ilmu-ilmu keislaman yang mempunyai lima
elemen dasar tradisi, yakni pondok, masjid, santri, pengajian kitab klasik dan
kiai.1
Dalam kamus besar bahas Indonesia, pesantren diartikan sebagai asrama,
tempat santri, atau tempat murid-murid belajar mengaji. Sedangkan secara istilah
pesantren adalah lembaga pendidikan Islam, dimana para santri biasanya tinggal
di pondok (asrama) dengan materi pengajaran kitab-kitab klasik dan kitab-kitab
umum, bertujuan untuk menguasai ilmu agama Islam secara detail, serta
mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian dengan menekankan
pentingnya moral dalam kehidupan bermasyarakat.
Kemunculan pondok pesantren di Indonesia mulai ada sejak zaman
walisongo yaitu pada sekitar abad ke 14 M, yang dipelopori oleh Syekh Maulana
Malik Ibrahim, yang kemudian dikembangkan oleh Raden Rahmatullah (Sunan
Ampel) dengan mendirikan sebuah pesantren yang bernama “Pesantren Ampel
1
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup
Dentho2” di Surabaya, dengan didirikan pesantren Ampel Dentho tersebut lahirlah
para mubaligh Islam yang tersebar di seluruhpenjurutanah air.3
Pesantren Ampel Dentho melahirkan kader-kader Da’i yang tangguh.
Mereka dibekali ilmu lahir sekaligus ilmu batin, untuk menjadi bekal strategi
dakwah islamiyah yang harus disampaikan dengan hikmah dan penuh
pesan-pesan yang baik sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Oleh karena, itu para
walisongo dalam melakukan dakwah islamiyah menggunakan sarana dakwah
yang bervariasi, seperti pertunjukan perwayangan.
Seiring berjalannya waktu banyak santri-santri yang sudah cukup ilmunya
kembali ke daerah masing-masing, dengan itu banyak berdirinya
pesantren-pesantren baru, diantaranya di daerah Gresik yaitu Pesantren Giri yang didirikan
Raden Ainul Yaqin (Sunan Giri) yang kemudian juga melahirkan santri-santri
yang juga pada akhirnya mendirikan pesantren-pesantren di daerahnya.
Gresik merupakan daerah pemula dengan berdirinya pesantren sejak abad
14M, karena sudah ada gerakan dakwah islamiyah oleh Maulana Malik Ibrahim
yang kemudian dilanjutkan oleh Raden Rahmatullah dan kader-kadernya. Gresik
juga merupakan pusat pengembangan Islam di Jawa Timur di bawah bimbingan
Sunan Giri dengan posisinya sebagai sentral keagamaan, sosial, maupun politik.
Oleh karena itu, Gresik telah berhasil mencetak para juru dakwah yang kemudian
2
Dalam kamus Jawa kuno Ampel Dentho itu berasal dari bahasa Jawa Kawi yang berarti “Ampeal”;
bambu dan “Dentho”; gading (berwarna kuning). Sebutan itu muncul karena di darah ampel dahulunya banyak ditumbuhi bambu yang berwarnakuning, dengan demikian sangat logis apabila arek-arek suroboyo pada zaman kolonial dulu menggunakan senjata bambu runcing yang dibentuk semacam tumbak. Abd. Rouf Djabir, “Dinamika Pondok Pesantren Qomaruddin Sampurnan Bungah Gresik (1775-2014)”, Gresik, penerbit YPPQ, 2014, 2.
3
bermunculan di daerah-daerah, termasuk didalamnya ialah para juru dakwah
Pondok Pesantren Ihyaul Ulum.
Pondok Pesantren Ihyaul Ulum Dukun Gresik adalah salah satu Pondok
Pesantren yang terletak di sebelah barat kota Gresik, kurang lebih 28 km dari
kota. Tepatnya di Desa Dukunanyar, Kecamatan Dukun, Kabupaten Gresik,
Propinsi Jawa Timur yang didirikan pada tahun 1951 M oleh K.H. Ma’shum
Sufyan.
PondokPesantrenIhyaulUlumadakarenadoronganmasyarakatDesaDukununtukmen
ghidupkandesanyapadasaatitu. Masyarakat meminta K.H. Mashum Sufyan untuk
membuat sebuah pengajian rutin di rumah beliau, karena perkembangan pengajian
belajar agama K.H. Ma’shum Sufyan semakin meluas di kalangan masyarakat,
akibatnya rumah beliau dipadati oleh masyarakat yang cinta ilmu agama.
Didorong situasi demikian, beliau bersama keluarganya utamanya Mbah
H. Rusydi (mertua beliau) memberi dukungan penuh baik moril maupun materil
untuk membangun langgar dengan beberapa gotha’an(kamar) di pekarangan
depan rumah beliau sebagai tempat mengaji dan istirahatnya para santri dan dari
langgar ini cikal bakal dimulailah sejarah Pondok Pesantren Ihyaul Ulum.
Ada tiga alasan mengapa pesantren harus meyediakan asrama para santri:
1. Kemasyhuran seorang kiai dan kedalaman pengetahuannya tentang Islam
menarik santri-santri dari tempat-tempat yang jauh untuk berdatangan.
3. Ada sikap timbal balik antara kiai dan santri, dimana santri menganggap
kiainya seolah-olah sebagai bapaknya sendiri, sedangkan kiai menganggap
para santri sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa dilindungi.4
Seiring berjalannya waktu sistem pendidikan di Pondok Pesantren Ihyaul
Ulum mengalami perkembangan yang pesat, sehingga mampu melahirkan
tokoh-tokoh yang ahli berbagai bidang, seperti kaagamaan, pendidikan dan politik yang
sesuai kebutuhan perkembangan zaman, karena pendidikan merupakan suatu
proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi
tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efesien.5 Pada tahun 1955 di Pondok
Pesantren Ihyaul Ulum ini ada beberapa lembaga pendidikan yang didirikan, yaitu
dari Madrasah Ibtida’iyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah.
Pada tahun 1991 Pondok Pesantren Ihyaul Ulum mengalami masa
pergantian pengasuh pondok, dari kepemimpinan K.H. Ma’shum Sufyan yang
beralih pada putranya sendiri, pergantian pengasuh itu dikarenakan K.H.
Ma’shum Sufyan telah pulang ke Rahmatullah. Pada saat itulah kepemimpinan
Pondok Pesantren Ihyaul Ulum beralih ke putranya yang ketiga, yaitu K.H.
Mahfudz Ma’shum dengan cara bermusyawarah keluarga.
Setiap mengalami pergantian pengasuh pondok (kiai), pasti ada
kemajuan-kemajuan, diantaranya dari kemajuan pendidikannya, infrastrukturnya, dan
bahkan metode pengajarannya, karena semua itu tidak lepas dari kewajiban peran
kiai. Kiaimerupakanelemen paling esensialdarisuatupesantren,
4
ZamakhsyariDhofier, TradisiPesantren, Jakarta; LP3ES, 2011, 82.
5
makadariitusudahsewajarnyabahwapertumbuhansuatupesantren
semata-matabergantungpadakemampuanpribadi kiainya.6
Disini penulis akan memfokuskan pada masa K.H. Mahfudz Ma’shum,
karena beliau banyak melakukan perkembangan yang sangat pesat di Pondok
Pesantren Ihyaul Ulum. Dilihat dari perkembangan para santri yang semakin
banyak dan juga kemajuan dibidang pendidikan, yaitu membangun Sekolah
Tinggi Agama Islam dan Sekolah Menengah Kejuruhan. K.H. Mahfudz Ma’shum
juga banyak melakukan perubahan-perubahan fisik yang menonjol di Pondok
Pesantren Ihyaul Ulum seperti penambahan bangunan pondok dan masjid. Peran
beliau juga tidak hanya di ruang lingkup pesantren, melainkan sebagai Rais
Syuriah NU Cabang Gresik dan berdakwah di berbagai pengajian di
daerah-daerah, sehingga penulis merumuskan sebuah judul “Peranan K.H. Mahfudz
Ma’shum dalam Perkembangan Pondok Pesantren Ihyaul Ulum
Dukunanyar Dukun Gresik (1991-2012 M)”.
B. Rumusan Masalah
Untuk mempermudah penulisan dalam membuat karya tulis yang
berbentuk skripsi, maka perlu bagi penulis untuk merumuskan masalah sebagai
langkah awal penelitian. Adapun rumusan masalahnya adalah:
1. Bagaimana profil K.H.MahfudzMa’shum?
2. Bagaimana bentuk perkembangan Pondok Pesanren Ihyaul Ulum pada saat
kepemimpinan K.H. Mahfudz Ma’shum?
6
3. Bagaimana peran K.H. MahfudzMa’shumdalam pengembangan Pondok
Pesantren IhyaulUlumDukun Gresik?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahuiprofilK.H.MahfudzMa’shum.
2. Untuk mengetahui perkembangan Pondok Pesantren IhyaulUlumpada masa.
K.H.MahfudzMa’shum dari tahun 1991 sampai sekarang.
3. Untuk mengetahui peran K.H.MahfudzMa’shum di Pondok Pesantren
IhyaulUlumDukunGresik
D. Kegunaan Penelitian
1. Sebagai karya ilmiah, penulis berharap karya ini bisa memberikan wawasan
baru kepada kalangan akademis yang lain, juga untuk masyarakat umum,
khususnya para alumni Pondok Pesantren Ihyaul Ulum.
2. Sebagai nilai guna bagi pihak Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel
Surabaya dapat digunakan sebagai sumber informasi dalam pengembangan
keilmuan di bidang Sejarah dan Kebudayaan Islam.
3. Hasilpenelitianinidiharapkandapatmenjadisalahsaturujukanbagipengembanga
n program
penelitianrencanaduniapesantrendandapatdijadikansebagaipertimbanganpeny
usunkarya ilmiah yang akanmendatang.
Dalam penelitian skripsi ini penulis menggunakan pendekatan Historis,
pendekatan ini digunakan untuk mengetahui atau mendeskripsikan peristiwa yang
terjadi pada masa lampau, yaitu tentang Peran K.H. Mahfudz Ma’shum dalam
perkembangan Pondok Pesantren Ihyaul Ulum Dukun. Selain pendekatan historis,
penulis juga menggunakan pendekatan sosiologi dengan disertai pesan-pesan dan
moral. Pendekatan ini didasari kenyataan bahwa setiap gerak sejarah dalam
masyarakat timbul karena adanya rangsangan untuk melakukan reaksi dengan
menetapkan tanggapan-tanggapan dan perubahan-perubahan.7
Dalam penelitian skripsi ini penulis juga menggunakan Teori, guna untuk
sebagai alat bantu untuk menganalisis gejala-gejala tentang peristiwa masa
lampau.8 Teori yang digunakan adalah Teori Peranan (role) merupakan proses
dinamiskedudukan (status).
Apabilaseseorangmelaksanakanhakdankewajibannyasesuaidengankedudukannya,
makadiamenjalankansuatuperanan.Perbedaanantarakedudukandenganperananadal
ahuntukkepentinganilmupengetahuan.9
Prof. Dr. SoerjonoSoekantojugamengatakanperananmencakuptigahal10,
antara lain:
1. Perananmeliputinorma-norma yang
dihubungkandenganposisiatautempatseseorangdalammasyarakat.
Peranandalamartiinimerupakanrangkaianperaturan-peraturan yang
membimbingseseorangdalamkehidupanbermasyarakat.
7
Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Ilmu Sejarah (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992), 154.
8
Ibid., 157.
9
SoerjonoSoekanto, SosiologiSuatuPengantar(Jakarta: EdisiBaru, RajawaliPers, 2009)., 212.
10
2. Perananmerupakansuatukonseptentangapa yang
dapatdilakukanolehindividudalammasyarakatsebagaiorganisasi.
3. Perananjugadapatdikatakansebagaiperilakuindividu yang
pentingbagistruktursosialmasyarakat.
Selain menggunakan teori peranan juga menggunakan teori perubahan
sosial. Perubahan sosial adalah semua perubahan pada lembaga kemasyarakatan
di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk
didalamnya nilai, sikap, dan pola perilaku di antara kelompok dalam
masyarakat.11PenyebabPerubahanSosial Prof. Dr.
Soerjono Soekantomenyebutkan, adaduafaktor yang
menyebabkanperubahansosialdalammasyarakat, yaitu :
1. Faktor Intern :
a. Bertambahdanberkurangnyapenduduk.
b. Adanyapenemuan-penemuanbaru yang meliputiberbagai proses, seperti
di bawahini :
1) Discovery, penemuanunsurkebudayaanbaru
2) Invention, pengembangandari discovery
3) Inovasi, proses pembaharuan
c. Konflikdalammasyarakatkonflik (pertentangan) yang
dimaksudadalahkonflikantara individudalammasyarakatnya,
antarakelompokdan lain-lain.
d. Pemberontakandalamtubuhmasyarakat.
11
2. FaktorEkstern
a. Faktor alam yang ada di sekitar masyarakat yang berubah, seperti bencana
alam .
b. Pengaruh kebudayaan lain dengan melalui adanya kontak kebudayaan
antara dua masyarakat atau lebih yang memiliki kebudayaan yang berbeda.
Akulturasidanasimilasikebudayaan.
Untuk teori yang terakhir, penulis menggunakan teori kepemimpinan Max
Weber seperti yang dikutip oleh Soerjono Soekanto mengklasifikasikan
kepemimpinan menjadi tiga jenis:
1. Otoritas Kharismatik yakni berdasarkan pengaruh dan kewibawaan pribadi.
2. Otoritas tradisional yang dimiliki berdasarkan pewarisan.
3. Otoritas legal-rasional yakni yang dimiliki berdasarkan jabatan serta
kemampuan.12
Jika dikaitkan dengan teori diatas K.H. Mahfudz Ma’shum memiliki peran
yang sangat besar bagi Pondok Pesantren Ihyaul Ulum, seperti halnya dalam
berperan membuka lembaga pendidikan untuk kebutuhan santri-santri dan
masyarakat sekitar. Oleh sebab itu, peran itu juga tidak lepas dari kedudukan yang
diemban oleh kiai yang juga berpengaruh perubahan-perubahan pada santri dan
lingkungan sekitarnya.
K.H. Mahfudz Ma’shum juga termasuk pemimpin yang otoritas
kharismatik, karena mempunyai kewibawaan yang tinggi didalam masyarakat,
12
semua itu terlihat dari cara beliau menyampaikan ajaran-ajaran agama Islam di
Pondok Pesantren Ihyaul Ulum dan diluar Pondok Pesantren Ihyaul Ulum.
F. Penelitian Terdahulu
Untuk menghindari adanya kesamaan dalam penelitian, maka penulis
perlu menampilkan hasil penelitian sebelumnya. Sebelum penulis membahas
tentang Peran K.H. Mahfudz Ma’shum dalam perkembangan Pondok Pesantren
Ihyaul Ulum Dukunanyar Dukun Gresik, sudah banyak pembahasan yang
berkaitan dengan Pondok Pesantren Ihyaul Ulum Dukun Gresik. Di antaranya
adalah;
1. NunungMawaddah, BO3302039, JurusanBimbinganKonseling Islam,
FakultasDakwah, IAIN SunanAmpel Surabaya, 2006, yang berjudul “Model
konseling KH. MahfudMa'shumdenganTerapiDzikir di
PondokPesantrenIhyaulUlumDukun Gresik”.
Skripsiinimenjelaskantentangdzikir yang dilakukan di
PondokPesantrenIhyaulUlumdengan model pendekatankonseling.
2. Moh. Ridwan, 088900064, Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, Fakultas
Adab, IAIN Sunan Ampel Surabaya, 1994, yang berjudul “Kiai H. Ma’shum
dan Pondok Pesantren Ihyaul Ulum Dukun Gresik: Studi Kesejarahan”.
Skripsiinimenjelaskantentangperan H.
Ma’shumdansejarahPondokPesantrenIhyaulUlumDukun Gresik.
3. Titin Arifaini, D02399286, Jurusan Pendidikan Bahasa Arab, Fakultas
Tarbiyah, IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2003, yang berjudul “Pengaruh
di Madrasah Aliyah IhyaulUlum Gresik”. Skripsiini
menjelaskantentangkeberhasilanpenggunaan media pengajarandalamBahasa
Arab di Madrasah Aliyah.
4. DewiAndrianaSusanti, E34209001, JurusanPolitik Islam,
FakultasUshuluddin, IAIN SunanAmpel Surabaya, 2013, yang berjudul
“Partisipasi Politik Perempuan Pesantren: Studi Kasus Partisipasi Politik
Perempuan Pesantren IhyaulUlum di Kabupaten Gresik”.
Skripsiinimembahastentangdimanaperempuan di
PondokPesantrenIhyaulUlumitusangatberperandalampolitik di daerah Gresik.
Dengan demikian judul yang diambil oleh penulis ini tentang “Peranan
K.H. MahfudzMa’shumdalam PerkembanganPondok Pesantren
IhyaulUlumDukunanyar Dukun Gresik”. Berbeda titik fokusnya, dalam penelitian
ini penulis lebih menitikberatkan pada peran kiai dalam perkembanganPondok
PesanrenIhyaulUlumDukunanyar Dukun Gresik.
G. Metode Penelitian
Secara sederhana bahwa metode berarti cara, jalan, petunjuk pelaksana
atau petunjuk teknis, sedangkan metodologi adalah science of methods, yakni ilmu
pengetahuan yang membicarakan tentang metode-metode.13 Metode adalah teknik
penelitian atau alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data, sedangkan
metodologi adalah falsafah tentang proses penelitian yang di dalamnyamencakup
13
asumsi-asumsi, nilai-nilai, standar atau kriteria yang digunakan untuk menafsirkan
data dan mencari kesimpulan.14
Secara lebih luas lagi Sugiyono menjelaskan bahwa metode penelitian
adalah cara-cara ilmiah untuk mendapatkan data yang valid, dengan tujuan dapat
ditemukan, dikembangkan dan dibuktikan, suatu pengetahuan tertentu sehingga
pada gilirannya dapat digunakan untuk memahami, memecahkan, dan
mengantisipasi masalah.
Menurut Nugroho Notosusanto, metode sejarah mempunyai empat
langkah kegiatan, yaitu Heuristik, Kritik Sumber (verifikasi), Interpretasi dan
Historiografi.
1. Heuristik
Heuristik adalah suatu proses yang dilakukan olehpeneliti untuk
mengumpulkan sumber-sumber, data-data atau jejak sejarah. Sejarah tanpa
sumber, tidak bisa bicara, maka sumber dalam penelitian sejarah merupakan
hal yang paling utama yang akan menentukan bagaimana aktualitas masa lalu
manusia bisa dipahami oleh orang lain.15
Heuristik merupakan tahapan mengumpulkan sebanyak-banyaknya
sumber sejarah yang relevan dengan tulisan yang akan dikaji. Sumber sejarah
merupakan bahan-bahan yang digunakan untuk mengumpulkan data atau
informasi yang nantinya digunakan sebagai instrumen dalam pengolahan
14
Ibrahim Alfian, Metodologi Sejarah; dalam Ibrahim dari Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis
(Yogjakarta: Gajah Mada University Press, 1992), 411.
15
datadan merekonstruksi sejarah.16 Pengumpulan data ini bisa dari sumber
primer dan sekunder.
Sumber primer adalah kesaksian seseorang yang melihat
danmerasakanlangsung kejadian tersebut. Sedangkan sumber sekunder adalah
kesaksian seseorang yang tidak melihat kejadian tersebut namun masih bisa
merasakan akibat dari kejadian tersebut. Sumber primer dan sekunder ini bisa
saja berupa buku-buku, dokumen maupun rekaman dimana buku–buku dan
dokumen tersebut hasil karya saksi mata yang dituangkan dalam tulisan.17
Pada tahapan pertamasumber primer, ini penulis akan mengumpulkan
beberapa rekaman wawancara dengan informant yaitu dengan beberapa saksi
mata yang langsung melihat dengan mata kepala sendiri, merasakan sendiri
kebijakan, pengambilan keputusan, perkembangan baik secara fisik maupun
pembelajaran K.H. MahfudzMa’shum, sekaligusmewawancarailangsungke
K.H. MahfudzMa’shumseputarperanbeliaudalamkemajuandanperkembangan
apa saja di PondokPesantrenIhyaulUlumsampaisaatini.
Penulis bisa menyebutkan beberapa saksi mata yang bisa
diwawancarai yaitu:
a. K.H. Afif Ma’shum (Anak dari K.H. Ma’shum Sufyan dan adik K.H.
Mahfudz Ma’shum)
b. K.H. Sa’dan Maftuh Ma’shum (Anak dari K.H. Ma’shum Sufyan dan
adik K.H. Mahfudz Ma’shum)
16
Ibid., 16.
17
c. K.H. Robbach Ma’shum (Anak dari K.H. Ma’shum Sufyan dan adik
K.H. Mahfudz Ma’shum)
d. Hj. Sakinah Ma’shum (Anak dari K.H. Ma’shum Sufyan dan adik K.H.
Mahfudz Ma’shum)
e. Hj. Robi’ah Ma’shum (Anak dari K.H. Ma’shum Sufyan dan adik K.H.
Mahfudz Ma’shum)
f. Hj. Wafiroh Ma’shum (Anak dari K.H. Ma’shum Sufyan dan adik K.H.
Mahfudz Ma’shum )
g. Hj. Maziyah Ma’shum (Anak dari K.H. Ma’shum Sufyan dan adik
K.H.Mahfudz Ma’shum)
h. Santri-santri seniorPondokPesantrenIhyaulUlum..
i. Dan beberapa guru-guru dan ustadz-ustadz yang mengajar di
lingkunganPondokPesantrenIhyaulUlum.
Untuk sumber sekunder, penulis akan
menyajikanfoto-fotopadaeranyadanmengambil buku-buku yang berkaitan dengan judul tersebut.
Untuk dokumen penulis akan menyajikan silsilah dari pengasuh pertama Pondok
Pesantren Ihyaul Ulum yaitu K.H. Ma’shum Sufyan hingga pada masa putranya
K.H. Mahfudz Ma’shum.
2. Kritik Sumber
Pada tahap kedua dari metode penelitian adalah kritik. Hal ini
dilakukan untuk menggolongkan sumber sesuai dengan kriteria
masing-masing. Selanjutnya dilakukan penilaian, pengujian dan penyeleksian
(keaslian sumber). Hal ini patut dilakukan agar kita terhindar dari sumber
palsu. Kritik sumber ini pun terdiri sari kritik intern dan ekstern.
a. Kritik Intern
Kritik intern adalah kritik sumber yang digunakan untuk meneliti
keaslian isi dokumen, rekaman atau tulisan tersebut. Kritik intern ini
lebih menekankan pada isi dari sebuah dokumen sejarah. Caranya adalah
dengan membadingkan dokumen satu dengan dokumen yang lainnya.
Tahap kedua penulis akan membandingkan isi dari rekaman dari saksi
mata satu dengan yang lain.
Hal ini dilakukan untuk mensingkronkan urutan kejadian
sehingga tidak ada pembahasan yang terputus. Jika ada satu kejadian
yang berbeda antara penjelasan saksi mata, maka akan dilakukan
wawancara dengan saksi mata yang lain, sehingga penulis akan
mengambil pendapat yang paling banyak dan penulis juga akan melihat
dari realitas sosial bahwa K.H. Mahfudz Ma’shum merupakan kiai yang
banyak melakukan progresif dalam segi pendidikan maupun infrastruktur
di Pondok Pesantren Ihyaul Ulum Dukun Gresik.
b. Kritik ekstern
Kritik ekstern adalah penentuan asli atau tidaknya suatu sumber
atau dokumen. Oleh karena itu, penulis akan meneliti betul silsilah para
kerabat K.H. Mahfudz Ma’shum yang akan diwawancarai dan peneliti
juga akan mengkaji betul dokumen-dokumen yang didapat. Hal ini
3. Interpretasi
Interpretasi adalah upaya sejarawan untuk melihat kembali tentang
sumber-sumber yang didapatkan apakah sumber-sumber yang didapatkan dan
yang telah diuji autentisnya terdapat saling hubungan atau satu dan yang lain.
Dengan demikian sejarawan memberikan penafsiran terhadap sumber yang
telah didapatkan.18
Penulis akan menginterpretasikan atau menafsirkan sumber-sumber
yang telah didapat dengan membandingkan sumber satu dengan sumber yang
lain. Baik sumber itu berupa wawancara maupun berupa dokumen-dokumen
dan beberapa buku. Langkah ini penulis membandingkan hasil wawancaranya
dengan beberapa buku yang terkait dengan Pondok Pesantren Ihyaul Ulum,
banyak persamaan didalamnya, sehingga penulis mampu menafsirkan bahwa
peranan K.H. Mahfudz Ma’shum dalam mengembangkan Pondok Pesantren
Ihyaul Ulum sangat menonjol hasilnya, semua itu terbukti dengan
perkembangan infrastruktur pondok dan pendidikannya.
4. Historiografi
Historiografi adalah penulisan hasil penelitian. Historiografi adalah
rekonstruksi yang imajinatif dari masa lampau berdasarkan data yang diperoleh
dengan menempuh proses.19 Historiografi adalah menyusun atau
merekonstruksi fakta-fakta yang telah tersusun yang didapatkan dari
18
Ibid., 17.
19
penafsiransejarawan terhadap sumber-sumber sejarah dalam bentuk
tulisan.20Dalamhaliniadaduacarayaitu:
a. Informasideskriptifyaitumenerangkansebagaimana data yang
adasepertidalambentukkutipan-kutipanlangsungbaikbersumberdariliteratureatauhasildariwawancara.
b. Informasianalisisyaitumenyajikan data
darianalisispenulisdenganmenerangkandalambentukkesimpulan-kesimpulan.
Dalam tahapan terakhir ini penulis akan memaparkan hasil penelitian
yang sudah dilakukan dengan cara sistematis atau berurutan.
H. Sistematika Pembahasan
Dalam pembuatan skripsi ini haruslah ditulis dan disusun secara sistematis
oleh penulis, untuk mempermudah pemahaman yang akan dibahas. Untuk itu
penulis akan memaparkan sistematika penelitian sebagaimana yang akan
diuraikan dibawah ini.
Bab pertama, bab ini berisi Latar belakang masalah, Rumusan masalah,
Tujuan penelitian, Kegunaan penelitian, Pendekatan dan Kerangka teoritis,
Penelitian terdahulu, Metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua, pada bab ini penulis akan membahas tentang profil
K.H.MahfudzMa’shum. Profil ini akan dimulai dari K.H. Mahfudz Ma’shum
20
dilahirkan, pendidikan hingga beliau menjadi pengasuh Pondok Pesantren Ihyaul
Ulum Dukun.
Bab ketiga, penulis akan memaparkan sekilas tentang profil dan Pondok
Pesantren Ihyaul Ulum. Hal ini dilakukan supaya pembaca mengetahui bagaimana
pondok tersebut bisa berdiri, dan juga untuk mengetahui perkembangan pondok
tersebut.
Bab keempat, pembatasan masalah yang sudah dilakukan oleh penulis
akan diteruskan dalam bab ini, sehingga penulis menyajikan peranan K.H.
Mahfudz Ma’shum dalam perkembangan Pondok Pesantren Ihyaul Ulum. Dengan
harapan pembaca mampu memahami perubahan apa saja yang dilakukan oleh
K.H. MahfudzMa’shum.
Bab kelima, babini akan berisi tentang kesimpulan dari hasil penelitian
untuk menjawab dari rumusan masalah yang sudah dijabarkan terlebih dulu dan
19 A. Profil K.H. Mahfudz Ma’shum
K.H. Mahfudz Ma’shum adalah seorang kiai dan sarjana muda yang
sempat menimbah ilmu di Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Sunan
Ampel Surabaya. Beliau adalah putra ke 3 dari K.H. Ma’shum Sufyan dan Nyai
Hj. Masrifah yang lahir tepat pada 6 Mei 1942 M di Desa Dukunanyar Kecamatan
Dukun Kabupaten Gresik Jawa Timur.
Kiai merupakan elemen paling esensial dari suatu pesantren, seringkali
bahkan merupakan pendirinya. Sudah sewajarnya bahwa pertumbuhan suatu
pesantren semata-mata bergantung pada kemampuan pribadi kiainya.1 Kiai
merupakan cikal-bakal dan elemen yang paling pokok dari sebuah pesantren,
karena kelangsungan hidup sebuah pesantren sangat bergantung pada kemampuan
pesantren untuk memperoleh seorang kiai pengganti yang berkembang cukup
tinggi pada waktu ditinggal mati kiai yang terdahulu.2
K.H. Mahfudz Ma’shum memiliki 13 saudara kandung diantaranya yang
sudah wafat 5 dan yang masih hidup ada 8. Hal tersebut sebagaimana penuturan
informan (Nyai Sakinah Ma’shum, 63 tahun) kepada peneliti sebagai berikut:
“Pak yai Fud punya saudara banyak, totalnya 13 tapi yang masih hidup
tinggal 8, semuanya meninggal ketika masih bayi. Kalau tanya tahunnya
kapan saya tidak ingat.”3
Berikut adalah nama-nama dari saudara K.H. Mahfudz Ma’shum:
1
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta; LP3ES, 2011), 93.
2
Ibid., 95.
3Sakinah Ma’shum,
1. Mahfud Ma’shum (Almarhum)
2. Ma’mun Ma’shum (Almarhum)
3. K.H. Mahfudz Ma’shum (Pengasuh Pondok Pesantren Ihyaul Ulum dari 1991
sampai sekarang)
4. Sakina (Almarhum)
5. K.H. Abdullah Afif Ma’shum, M.M.(Adik K.H. Mahfudz Ma’shum dan Ketua
Umum Pengurus Perkumpulan Pondok Pesantren Ihyaul Ulum)
6. K.H. Robbach Ma’shum, M.M. (Adik K.H. Mahfudz Ma’shum dan Pengawas 1
Pengurus Perkumpulan Pondok Pesantren Ihyaul Ulum)
7. Muhammad (Almarhum)
8. K.H. Sa’dan Maftuh Ma’shum (Adik K.H. Mahfudz Ma’shum dan Ketua
Umum 1 Pengurus Perkumpulan Pondok Pesantren Ihyaul Ulum)
9. Dra. Hj. Sakinah Ma’shum (Adik K.H. Mahfudz Ma’shum dan Sekretaris
Pengurus Perkumpulan Pondok Pesantren Ihyaul Ulum)
10. Ahmad Mutammam (Almarhum)
11. Dra. Hj. Robi’ah Ma’shum(Adik K.H. Mahfudz Ma’shum)
12. Hj. Maziyah Ma’shum, S.Pd. I. (Adik K.H. Mahfudz Ma’shum)
13. Dra. Hj. Wafiroh Ma’shum (Adik K.H. Mahfudz Ma’shum dan Bendahara
Pengurus Perkumpulan Pondok Pesantren Ihyaul Ulum).
Berdasarkan garis silsilah dan nasab K.H. Mahfudz Ma’shum merupakan
kiai yang memiliki garis keturunan Joko Tingkir Sultan Panjang. Hal ini dilihat
dari nenek moyang K.H. Ma’shum Sufyan yaitu Mbah Kiai Onggoyudo, beliau
Ma’shum Sufyan menikah dengan Nyai Masrifah, beliau juga kalau dirunut dari
keturunan ibu, nasabnya pun bertemu di Pangeran Somoyudo, itu adalah gelar
dari Mbah Kiai Abdul Jabbar Jojogan, yang terakhir adalah cucu Joko Tingkir.
Bisa ditarik kesimpulan kalau K.H. Mahfudz Ma’shum memiliki garis keturunan
dari Sultan Panjang Joko Tingkir.4
K.H. Mahfudz Ma’shum dari keturunan ayah terlahir dari keluarga yang
sangat kental dengan warna ke-Nahdlatul Ulama’. Dari warisan religius itulah
K.H. Mahfudz menjadi pribadi yang sangat menjunjung norma-norma agama.
Walaupun K.H. Mahfudz hidup di lingkungan masyarakat yang kental
Muhammadiyahnya, tetapi beliau tidak perna membedakan golongan-golongan
dan sangat menghargai perbedaan tersebut. Hal tersebut sebagaimana penuturan
informan (Nyai Sakinah Ma’shum, 63 tahun) kepada peneliti sebagai berikut:
“Pada tahun 60-an, aba saya sakit sehingga pondok dipegang oleh kakak saya
sendiri, karena pak yai Fud adalah anak paling tua.”5
Pada tahun 1959, awal dari dipilihnya K.H. Mahfudz Ma’shum menjadi
direktur Pondok Pesantren Ihyaul Ulum karena pada saat itu kondisi ayahnya
yang lagi sakit dan harus beristirahat untuk tidak mengajar dalam waktu yang
lama, oleh karena itu semua urusan pondok pesantren yang biasanya di pegang
oleh K.H Ma’shum menjadi tanggung jawab K.H. Mahfudz. Pada saat itu K.H.
Mahfudz Ma’shum belum bisa dikatakan menjadi pengasuh Pondok Pesantren
Ihyaul Ulum, beliau bisa dikatakan menjadi direktur yang mengatur semua
4Mahfudz Ma’shum,
Grissee Tempo Doelo “Pesantren Keturunan Joko Tingkir” (Gresik: Pemerintahan kabupaten Gresik 2004), 74.
5
kepentingan dan kegiatan pondok pesantren, karena pengasuh dan pendiri pondok
pesantren K.H. Ma’shum Sufyan masih ada.
Pada akhirnya tahun 1960 dimana masa tersulit di Pondok Pesantren
Ihyaul Ulum tu terjadi yaitu semakin sedikit santri yang menempati pondok. Para
santri pun satu per satu meninggalkan pondok sehingga jumlahnya berkurang.
K.H. Mahfudz sampai mengurungkan keberangkatannya untuk menuntut ilmu di
Mesir karena tidak dapat restu dari ayahnya yang masih sakit. Melihat kondisi
pondok seperti itu K.H. Mahfudz mendatangi pengurus pondok dan madrasah
yang pada saat itu dipegang oleh tokoh masyarakat, untuk meminta izin agar
membongkar dua bangunan yang rusak untuk direnovasi. Namun, pengurus tidak
mengizikannya, karena mereka tidak yakin kalau K.H. Mahfudz mampu
membangun kembali.
Akhirnya K.H. Mahfudz melakukan musyawarah dengan ayahnya, karena
tanah dan bangunan tersebut merupakan hasil wakaf dari mertua K.H. Ma’shum.
K.H. Mahfudz diberi izin oleh ayahnya untuk membongkar kedua bangunan
tersebut untuk diperbaiki kembali, agar wakaf tanah dan bangunan itu dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar. K.H. Mahfudz dibantu beberapa orang
yang ingin perbaikan pendidikan di desanya, akhirnya membongkar bangunan
tersebut. Dalam waktu yang cukup singkat, atas izin Allah berdirilah kembali
sebuah gedung dengan dua lantai, yang awalnya hanya sebuah langgar dengan
dua gota’an (kamar) yang kemudian menjadi bangunan dengan 2 lantai. Lantai
satu dipersiapkan untuk tempat belajar atau kelas dan lantai dua untuk asrama,
Dari semua alur kejadian, pasang surut Pondok Pesantren Ihyaul Ulum ini
kepengurusan pondok pun mengalami perubahan sebagai konsekuensi proses
regenerasi. Dengan mempercayakan K.H. Mahfudz Ma’shum sebagai seorang
direktur di pondok, sedangkan pengasuh pondok masih dipegang oleh ayah K.H.
Ma’fudz Ma’shum sendiri, yaitu K.H. Ma’shum Sufyan. Program dan aktivitas
madrasah berjalan dengan baik dan jumlah santri atau pelajarnya pun bertambah
banyak. Pada saat itu, beberapa tokoh masyarakat Desa Dukunanyar juga meminta
pada K.H. Mahfudz untuk membuka madrasah putri, namun pengasuh pondok
atau K.H. Ma’shum tidak memberi izin karena K.H. Mahfudz masih bujangan,
belum menikah, belum punya istri.
Para tokoh masyarakat terus mendesak K.H. Mahfudz agar membuka
madrasah putri, karena banyak putri mereka yang terlantar tidak bisa sekolah lagi
setelah ditarik keluar dari Madrasah Lil Banat (sekolah khusus perempuan)
Maskumambang6, yang pada saat itu terjadi perubahan paham dan tidak diikuti
oleh beberapa wali murid yang masih mengikuti paham kiai-kiai lama.
Pada tahun 1962 K.H. Mahfudz Ma’shum menikah dengan Nyai Hj. Tika
yang kebetulan adalah tetangga rumahnya sendiri. Beliau dikaruniai 11 anak, 8
laki-laki dan 3 perempuan. Berikut nama-namanya: H. Ahmad Najib Mahfudz,
Lc., SH., Drs. H. Ahmad Hilal Mahfudz, Ahmad (wafat), Hj. Dzurroh Khumairoh,
SQ., Drs. H. Ahmad Wafa Mahfudz., H. Daniel., H. Fairuz Zabadi, Hj. Fitrotin
6
Pondok Pesantren Maskumambang merupakan pondok yang masih ada garis silsilah keluarga dengan Pondok Pesantren Ihyaul Ulum. Pondok Maskumambang terletak di Dusun Maskumambang Dukun. Pendiri dari Pondok Maskumambang adalah Kiai Abdul Jabbar yang kemudian di teruskan oleh kiai salaf bernama Kiai Abdul Faqih. Kiai abdul Faqih juga merupakan guru dari Kiai Ma’shum Dukun.
Nufus, Hj. Zulfaroh S.Kom, H.Khalif Afnaf, dan H.Fahim Rusdi. Anak beliau
rata-rata lulusan UIN Sunan Ampel Surabaya.7
Seiring berjalan waktu, kharisma dari K.H. Mahfudz semakin terpancar,
oleh karena itu Pondok Pesantren Ihyaul Ulum semakin banyak santri yang
berdatangan. Tidak hanya masyarakat sekitar namun dari luar Kabupaten Gresik
seperti Kabupaten Lamongan dan sekitarnya.
B. Latar Belakang Sosial dan Pendidikan K.H. Mahfudz Ma’shum
Desa Dukun tempat K.H. Mahfudz Ma’shum dilahirkan merupakan suatu
kesatuan sebagain desa, akan tetapi setelah kemerdekaan Desa Dukun dibagi
menjadi dua bagian Desa Dukun dan Desa Dukunanyar. Sebelum berdirinya
Pondok Pesantren Ihyaul Ulum di Desa Dukunanyar sudah ada Pondok Pesantren
milik Kiai Achyat, akan tetapi pondok tersebut hanyut karena ada banjir yang
sangat besar pada saat itu. Hal tersebut sebagaimana penuturan informan (K.H.
Mahfudz Ma’shum, 74 tahun) kepada peneliti sebagai berikut:
“Ketika waktu saya masih kecil, suasana di Desa Dukun tidak seperti
sekarang, karena dulu masih belum ada lampu dan listrik, televisi aja masih jarang yang punya, tapi saya tidak merasa sedih atau gimana memang pada saat itu prasarana dari negara masih belum nyampek desa ini.”8
Kehidupan K.H. Mahfudz ketika waktu kecil bersifat normatif
sebagaimana anak kecil lainnya. Ia sangat menikmati masa kecilnya yang indah,
sebagaimana anak-anak seusianya. Di awal tahun 45-an, dimana K.H. Mahfudz
melalui masa kanak-kanaknya sangatlah berbeda kondisi sosial masyarakatnya
7K.H. Mahfudz Ma’shum,
Wawancara, Dukunanyar, 28 Mei 2016.
8
dengan masa sekarang. Indonesia yang pada itu masih memperjuangkan
kemerdekaan belum memiliki prasarana kehidupan yang memadai. Listrik baru
ada di Jakarta dan beberapa kota besar saja. Teknologi dan informasi masih
terbatas, begitu pula jalan-jalan masih belum diaspal. Keterbatasan sarana dan
prasarana keadaan ini memberikan efek positif bagi Desa Dukunanyar yaitu
menjadikan suasana pedesaan kondusif, yang paling penting yaitu suasana
religiusitas Desa Dukun masih sangat terjaga karena belum ada pengaruh negatif
dari dunia luar. Salah satu bentuk religiusitas itu terlihat dari kebiasaan anak-anak
yang rajin mengaji di pondok pesantren yang pada saat itu sudah ada. Kondisi
sosial masyarakat yang demikian membawa dampak positif pada diri K.H.
Mahfudz semasa kecil. Dampak negatif dari suasana Desa Dukunanyar kala itu
adalah masyarakat masih terbelenggu oleh tradisi yang terbelakang dan belum
berani melangkah menuju perubahan yang signifikan, seperti menyekolahkan
anak ke kota.
K.H. Mahfudz Ma’shum dibesarkan di lingkungan Pondok Pesantren
Ihyaul Ulum yang berideologi Nahdlatul Ulama’, karena ayah beliau adalah
pendiri Pondok Pesantren Ihyaul Ulum Dukunanyar Dukun Gresik. Beliau belajar
mengaji dibawah naungan pondok pesantren ayahnya sendiri, yaitu di langgar
yang didirikan oleh ayahnya dan kakeknya, yang bernama K.H. Ma’shum Sufyan
dan H. Rusdi. Langgar ini didirikan pada tahun 1951 dan langgar ini masih
disebut dengan Pondok Langgar Ihyaul Ulum, belum resmi menjadi Pondok
sebagaimana penuturan informan (K.H. Mahfudz Ma’shum, 74 tahun) kepada
peneliti sebagai berikut:
“Di Desa Dukun ini perna ada banjir bandang, itu dari air bengawan solo
yang sekarang sudah ada jembatan besarnya. Pas banjir itu, pondok pak yai Ahyat hanyut terbawa banjir, akibatnya masyarakat tidak ada tempat
mengajih lagi.”9
Pondok langgar ini didirikan berkat dorongan masyarakat Dukunanyar
yang saat itu berharap menghidupkan kembali kegiatan belajar ilmu agama di
Desa Dukunanyar, karena sebelumnya sudah ada pondok yang berdiri di kawasan
Dukun yaitu pondok Kiai Achyat. Sekitar tahun 1942, pada masa pendudukan
Jepang kawasan Dukun diterjang luapan air sungai Bengawan Solo. Pondok Kiai
Achyat yang menjadi tumpuan masyarakat Dukun terhempas oleh banjir bandang.
Tidak lama kemudian setelah kejadian banjir itu, Kiai Achyat wafat. Saat itu juga
masyarakat Dukun mulai berdatangan ke rumah Kiai Ma’shum untuk meminta
agar beliau menjadi kiai di Dukun. Dari peristiwa itulah yang mendorong K.H.
Ma’shum Sufyan mendirikan Pondok Pesantren Ihyaul Ulum.
Pada saat itu ilmu pengetahuan umum mungkin belum seberapa ada
disekitar Pondok Pesantren Ihyaul Ulum, hanya ada Madrasah Lil Banin (sekolah
khusus laki-laki) dan itu pun masih belum seberapa ada pelajaran umum, semua
pelajaran hanya berkaitan dengan mengaji kitab-kitab kuning. Oleh karena itu,
sampai K.H. Mahfudz Ma’shum beranjak dewasa beliau hanya sekolah di
lingkungan Pondok Pesantren ayahnya sendiri. Hal tersebut sebagaimana
penuturan informan (K.H. Mahfudz Ma’shum, 74 tahun) kepada peneliti sebagai
berikut:
9
“Saya sempat mondok di Kerapyak Jogja, di pondoknya pak yai Ali. Saya disana tidak seberapa lama, karena aba saya sakit dan pas waktu itu saya mendapat beasiswa sekolah ke mesir, tapi tidak saya ambil karena saya harus
mengurus pondok di rumah dan tidak dapat restu dari orang tua.”10
Saat K.H. Mahfudz Ma’shum beranjak dewasa, beliau di pondokkan
ayahnya di Pondok Pesantren Al-Munawwir yang pada saat itu kiainya bernama
Kiai Ali Maksum, yang berada di daerah Kerapyak Yogyakarta. Pondok Pesantren
Kiai Ali Maksum itu juga sangat kental dengan haluan Nahdlatul Ulama’. Cukup
lama beliau di Pondok Pesantren Kiai Ali sampai beliau mendapat beasiswa untuk
meneruskan pendidikannya di Mesir. K.H. Mahfudz Ma’shum adalah santri yang
cerdas, beliau terpilih diantara ratusan santri yang mengikuti tes untuk
mendapatkan beasiswa tersebut dan K.H. Mahfudz adalah dua diantara santri yang
terpilih mendapatkan beasiswa tersebut, akan tetapi keadaan saat itu tidak
memungkinkan beliau untuk tetap berangkat ke Mesir, karena kondisi K.H
Ma’shum Sufyan ayahnya sedang sakit dan beliau juga tidak mendapatkan izin
dari ayahnya karena khawatir akan kondisi Pondok Pesantren Ihyaul Ulum ini
tidak ada yang mengurusi.
Pada saat K.H. Mahfudz Ma’shum masih berumur 18 tahun keadaan
Pondok Pesantren Ihyaul Ulum mengalami penurunan yang drastis, karena
santri-santri banyak yang meninggalkan pondok sehingga jumlahnya berkurang, dengan
sikap kegigihan K.H. Mahfudz Ma’shum melakukan musyawarah dengan
ayahnya, agar pendidikan di desanya itu tetap hidup dan semakin banyak santri
yang berminat untuk mengembangkan ilmunya, maka K.H. Mahfudz dengan
tekadnya yang sudah bulat membangun kembali pondok dan madrasah lagi.
10
Semua itu dilakukan K.H. Mahfudz Ma’shum dengan sungguh-sungguh sampai
berbuah hasil dengan semakin banyak santri yang berminat untuk belajar ilmu
agama.
Sampai pada tahun 1962, K.H. Ma’shum Sufyan mendadak menikahkan
K.H. Mahfudz Ma’shum dengan tetangga rumahnya sendiri yaitu Nyai Hj. Tika,
meskipun masih terlalu muda. Semua itu dilakukan karena desakan masyarakat
untuk mendirikan Madrasah Lil Banat (sekolah khusus perempuan), karena
menurut K.H. Ma’shum Sufyan kurang pantas bagi laki-laki yang masih
bujangan, belum nikah dan belum punya istri itu membuka madrasah khusus
perempuan.
Setahun kemudian direktur baru diberi izin oleh pengasuh pondok untuk
membuka Madrasah Lil Banat yang dituntut masyarakat. Izin ini menjadikan
K.H. Mahfudz Sufyan bersama para pengurus pondok untuk mempersiapkan
tenaga pengajar, pengadaan perlengkapan dan sarana penunjang untuk madrasah,
baru pada awal 1965 M madrasah putri itu dapat diresmikan.
Selain menjadi seorang direktur di Pondok Pesantren Ihyaul Ulum, K.H.
Mahfudz Ma’shum juga sebagai pengajar di madrasah maupun di pengajian
kitab-kitab kuning yang biasanya dilakukan secara rutin di pondok. Tidak terlepas dari
peran beliau yang sangat fokus mengembangkan kemajuan Pondok Pesantren
Ihyaul Ulum, K.H. Mahfudz Ma’shum juga sempat melanjutkan pendidikannya di
Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya, beliau termasuk mahasiswa yang
pandai sampai mendapat gelar sarjana muda. Setelah itu beliau kembali lagi ke
C. Kiprah K.H. Mahfudz Ma’shum di Tengah Masyarakat
Kepribdian K.H. Mahfudz Ma’shum adalah sosok yang sangat disiplin,
tekun dan dekmokratis. Beliau adalah seorang yang gigih memperjuangkan
keinginannya ketika sudah ada keinginan. Beliau adalah tipe orang yang
demokratis dalam membangun hubungan sosial yang erat dengan masyarakat,
memberikan pemahaman tentang kesetaraan gender, membentuk kehidupan
pesantren secara integratif antara nilai spiritual, moral dan material, dan
mempunyai kharisma yang luar biasa.11
K.H. Mahfudz Ma’shum adalah sosok yang sederhana, aktif, berwawasan
luas, berfikiran modern, teguh pendirian dan istiqomah dalam beribadah, kosisten
mendidik santri dan mengolah pesantren, sampai ada tawaran untuk menjadi
anggota dewan atapun pejabat. Meskipun sangat aktif dibeberapa organisasi yang
masih berwarna Nahdlatul Ulama’ dan sempat menduduki kursi Dewan
Perwakilan Rakyat 2 periode dari tahun 1982-1992, beliau tetap konsisten dan
fokus juga mengelola Pondok Pesantren Ihyaul Ulum.
Kiai bukan hanya me“manage”, “teach” dan “lead” secara spesial,
melainkan secara total “mendidik kehidupan secara utuh”, dan melibatkan diri
dengan konsekuen, lillahi ta’ala sekuat-kuatnya. Kepedulian terhadap
peningkatan manajemen mutlak dilakukan secara sadar dan aktif, meskipun
terkadang harus terjun langsung, turut campur sebagai contoh keteladanan dengan
segala resiko pengorbanan yang kebanyakan tidak tertulis. Pesantren tidak banyak
mempertimbangkan untung-rugi, tapi benar-salah, manfaat-madarat atas dasar
11
Miftakhul Muthoharoh,“Peran Pesantren Ihyaul Ulum dalam membentuk civil society“
halal-haram. Menjadi prioritas utama adalah mengelola minat dan bakat serta
kesejahteraan lahir-batin dengan bersandar pada jiwa kebersamaan.12
Beliau juga sosok tauladan bagi santri, guru dan masyarakat. Shalat
Tahajjud, shalat dhuha, puasa sunnah telah menjadi kebiasaan beliau sejak
beranjak dewasa dari beliau mengenyam pendidikan di pesantren ayahnya sendiri
sampai terbawa saat beliau nyantri di Pondok Pesantren Al-Munawwir Kerapyak
Yogjakarta. Setiap hari beliau menularkan ilmu, pemikiran dan pengalaman
kepada santri-santriwati, baik dalam forum pengajian maupun pengajaran formal
di kelas.
Awal-awal K.H. Mahfudz Ma’shum pulang dari Kerapyak Yogyakarta
disamping membangun lagi pesantren yang pada saat itu mengalami penurunan
jumlah santri yang sangat drastis, beliau juga sering aktif di organisasi-organisasi
desanya. Disaat itu usia K.H. Mahfudz masih tergolong sangat muda 18 tahun
untuk menjadi seorang pengelola pondok pesantren, namun keadaan yang
mengharuskan K.H. Mahfudz untuk menjadi pengelola pondok pesantren karena
saat itu ayahnya sakit. Banyak masyarakat yang pada saat itu meragukan beliau,
akan tetapi keoptimisan K.H. Mahfudz dalam menghidupkan kembali pesantren
sangatlah keras, sehingga dalam waktu yang cukup singkat K.H. Mahfudz
membuktikan itu.
K.H. Mahfudz menginginkan santri-santriwati Pondok Pesantren Ihyaul
Ulum bisa menjadi orang-orang yang saleh shaleha, berilmu, taat, bermanfaat,
sukses dan maju sebagaimana isi doa yang selalu beliau panjatkan. Sejak awal
12
baliau menjadi pengelola pesantren tahun 1959 sampai sekarang, beliau selalu
memperhatikan penanaman nilai keIslaman, jiwa kepondokan, kedisiplinan,
kemandirian, ketrampilan, pengalaman berorganisasi dan pembelajaran ilmu-ilmu
umum. Beliau selalu mengingatkan para guru dan santri tentang pentingnya
penguasahan keterampilan, ilmu umum dan bahasa yang menjadi kunci bagi
mengusahan ilmu agama Islam, sains modern dan komunikasi global.
K.H. Mahfudz Ma’shum di masyarakat merupakan sebagai suri tauladan
bagi masyarakat sekitar, karena sebagian orang menganggap beliau itu orang yang
berwawasan dan berilmu. Semua orang tahu bahwa K.H. Mahfudz biasa dibuat
contoh terutama dalam hal akhlaq ibadah, dan beliau juga memiliki keturunan
istimewa yaitu K.H. Ma’shum Sufyan, ayahnya yang dari sekitar umur 6-7 tahun
sudah fasih dan terampil membaca ayat-ayat al-Qur’an dan waktu 12 tahun sudah
hafal semua ayat suci Al-Qur’an dalam waktu 3 bulan saja, semua masyarakat
sudah mengetahui. Hal tersebut sebagaimana penuturan informan (Abdul Malik,
40 tahun) kepada peneliti sebagai berikut:
“Pak yai Fud adalah sosok kiai yang sangat bisa dicontoh dari kebiasaan
beliau sehari-hari dan ibadahnya beliau yang sangat tekun, semangatnya beliau sangat tinggi sampai saya kalah.”13
Sebagian besar orang mengetahui termasuk Ihyaul Ulum maju bukan
karena dari iklan-iklan tetapi mutu alumni dan keteladanan kiainya, jadi K.H.
Mahfudz merupakan kiai yang benar-benar bisa dicontoh buat santri-santrinya
karena setiap hari ada di pondok dan setiap subuh ada mengisi ceramah dan ngaji,
hidupnya selalu ada buat pondoknya. Orang bisa melihat langsung bahwa
13
bagaimana model kiai sehari-hari termasuk masyarakat Dukunanyar. Disamping
itu beliau juga masih tetap mengajar, dulunya mengajar banyak mata pelajaran
sekarang mulai dikurangi karena umurnya sudah mulai tua.
Disela-sela kesibukan mengelola pondok pesantren, beliau juga aktif
menjalin hubungan silaturrahmi dengan banyak orang. Sehingga beliau dekat
dengan berbagai kalangan, baik masyarakat biasa, pendidikan, politisi, pejabat
maupun kalangan lainnya. K.H. Mahfudz Ma’shum dalam kiprahnya di
masyarakat sebagai da’i di Dukunanyar, juga jadi Rois Syuriah Nahdlatul Ulama’
di Kabupaten Gresik. K.H. Mahfudz Ma’shum ternyata melihat dengan kritis
semua fenomena yang terjadi di Indonesia. Walaupun beliau dalam kesehariannya
mengasuh santri di Pondok Pesantren Ihyaul Ulum, namun beliau juga mampu
33
MAHFUDZ MA’SHUM
A. Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Ihyaul Ulum
Pondok Pesantren adalah suatu lembaga pendidikan dan pengajaran Islam
yang sekaligus sebagai lembaga pengkaderan.1 Disamping itu juga merupakan
pusat pengembangan dan penyebaran ilmu-ilmu keIslaman yang mempunyai lima
elemen dasar tradisi, yakni pondok, masjid, santri, pengajian kitab klasik dan
kiai.2
Pada masa kolonial Belanda, di Desa Dukunanyar, Kecamatan Dukun,
sudah ada beberapa pendirian pondok pesantren salah satunya adalah pondok
pesantren yang dipimpin oleh Kiai Muhammad Sholeh. Kepemimpinan Kiai
Sholeh dilanjutkan Kiai Achyat, paman K.H. Ma’shum Sufyan. Pesantren Kiai
Achyat itu berada di timur jalan menuju Kecamatan Bungah. Selain pondok
tersebut, di daerah Dukun di Desa Sembung Kidul juga berdiri pondok pesantren
yang terkenal dengan nama Maskumambang, berjarak kurang lebih 900 meter dari
Pondok Pesantren Ihyaul Ulum yang berdiri dan dipimpin oleh Kiai Abdul Jabbar,
yang selanjutnya diteruskan oleh putranya sendiri yaitu Kiai Faqih, yang juga
masih memiliki hubungan darah dengan K.H. Ma’shum Sufyan.
Pada tahun 1942 terjadi bencana banjir yang sangat besar sehingga pondok
yang dipimpin oleh Kiai Achyat hancur berantakan. Sejak itu Desa Dukunanyar
1
Dapertemen Pendidikan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,. 1990), 117.
2
tidak ada tempat pendidikan, baik pondok pesantren maupun madrasah. Tidak
lama kemudian setelah terjadi bencana banjir, Kiai Achyat wafat, begitu pula Kiai
Faqih juga ikut menyusul ke rahmatullah. Hal tersebut sebagaimana penuturan
informan (K.H. Mahfudz Ma’shum, 74 tahun) kepada peneliti sebagai berikut:
“Dulu pondok ini hanya berupa langgar terbuat dari kayu jati. Orang-orang Ndukun lumayan banyak yang mengaji kesini dan akhirnya dibangun pondok
lagi karena santrine bertambah banyak.”3
Pada tahun 1950 sebagian orang Desa Dukunanyar dan sekitarnya banyak
yang berdatangan ke rumah K.H. Ma’shum untuk mengaji atau belajar ilmu
agama. Semakin hari santri yang mengaji semakin banyak hingga pada tahun
1951 oleh H. Rusdi mertua dari K.H. Ma’shum bersama keluarganya memberi
dukungan penuh baik moril maupun materiil untuk membangun langgar dengan
beberapa gotha’an (kamar) di pekarangan depan rumah beliau sebagai tempat
mengaji dan istirahatnya para santri. Langgar itu terletak tepat di depan seberang
rumah beliau, terbuat dari kayu jati dengan lantai kayu jati pula tapi terpisah
dengan tanah, layaknya bangunan panggung. K.H. Ma’shum kemudian pindah
tempat mengajarnya dari rumah ke langgar tersebut, disamping juga menjadi
imam sholat jamaah setiap waktu. Di langgar itu juga disediakan meja tulis kecil
sederhana yang mudah diangkat untuk dipindah-pindah untuk fasilitas belajar
mengaji para santri.
Atas dorongan masyarakat Desa Dukunanyar dan sekitarnya, pada tanggal
1 Januari 1951 K.H. Ma’shum Sufyan meresmikan langgar tersebut sebagai
madrasah yang diberi nama Ihyaul Ulum, yang berarti menghidupkan ilmu
3Mahfudz Ma’shum,
terutama ilmu agama. Pondok Pesantren Ihyaul Ulum terletak di sebelah barat laut
kota Gresik, sekitar ±28 km dari kota Gresik, tepatnya di Desa Dukunanyar
Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik.
Semetara pada saat itu pondok masih menyediakan madrasah yang hanya
menerima santri putra. Dengan kesungguhan K.H. Ma’shum dibantu tokoh
masyarakat mengelola Pondok Pesantren Ihyaul Ulum berkembang pesat. Santri
berdatangan tidak hanya dari daerah Kecamatan Dukun saja, tapi juga dari luar
Kecamatan Dukun, bahkan ada yang berasal dari Kabupaten Lamogan.
Akibatnya, Pondok Pesantren Ihyaul Ulum harus menyediakan tempat
pemondokan atau asrama.
Dua tahun kemudin, K.H. Mahfudz Ma’shum bersama dengan pengurus
pondok dibantu masyarakat Dukunanyar mendirikan sebuah bangunan di sebelah
timur madrasah sebagai tempat pemondokan. Bangunan tersebut juga terdiri atas
bahan kayu dengan lantai yang terbuat dari bambu yang terpisah oleh tanah.
Dengan dibangunnya asrama tersebut, santri yang menetap semakin banyak,
begitu juga santri yang tidak menetap. Madrasah yang semula hanya diisi
pelajaran ilmu-ilmu agama, juga diajarkan pengetahuan umum seperti Bahasa
Indonesia, Matematika, dan lain-lain.
Pondok Pesantren Ihyaul Ulum terus berkembang hingga saat masa
regenerasi, antar ayah dan putranya yaitu K.H. Ma’shum Sufyan yang asal
mulanya menjadi pengasuh pondok menyerahkan segala kegiatan pondok kepada
anaknya yaitu K.H. Mahfudz Ma’shum. Akan tetapi pada saat itu pengasuh
Ma’shum sudah sakit sehingga semua kegiatan, kepentingan dan semua yang
berurusan dengan pondok diurus oleh K.H. Mahfudz Ma’shum. Bisa dikatakan
K.H. Mahfudz Ma’shum adalah direktur dari Podok Pesantren Ihyaul Ulum pada
saat itu.
Pada tahun 1959 Pondok Pesantren Ihyaul Ulum mengalami ujian yang
sangat berat, dimana Kiai Ma’shum sakit dan kondisi pondok yang semakin
sedikit santrinya sampai pondok itu tidak ada yang menempati. Akan tetapi semua
itu ditepis oleh kesungguhan K.H. Mahfudz Ma’shum dibantu tokoh masyarakat
dengan berbagai cara agar Pondok Pesanren Ihyaul Ulum itu tetap hidup di tengah
masyarakat Dukunanyar, sampai akhirnya pada tahun 1965 dibangunlah madrasah
khusus putri.
Pada masa itu juga banyak santri-santri yang berdatangan, sehingga
mengharuskan membangun sejumlah tempat pemondokan lagi karena jumlah
santri yang semakin hari semakin bertambah. Usaha K.H. Mahfudz Ma’shum juga
tidak berhenti disitu saja, dengan mendirikan beberapa lembaga pendidikan dari
berbagai jenjang mulai dari TK, Madrasah Ibtidaiyah (SD), Madrasah Tsanawiyah
(SMP), Madrasah Aliyah (SMA) dengan beberapa jurusan, Sekolah Tinggi
Agama Islam (STAI) program S1 dan S2, dan baru 5 tahun yang lalu mendirikan
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Hingga pada 14 Oktober 1990, Pondok Pesantren Ihyaul Ulum kehilangan
sosok kiai yang sangat berkharisma yaitu pendiri Pondok Pesantren Ihyau’ul
pengasuh Pondok Pesantren Ihyaul Ulum berlanjut ke putranya sendiri yaitu K.H.
Mahfudz Ma’shum.
B. Profil Para Pengasuh Pondok Pesantren Ihyaul Ulum
Dalam usia pondok yang cukup tua yaitu 65 tahun, kepemimpinan Pondok
Pesantren Ihyaul Ulum ini masih ada 2 generasi yang ditetapkan atau dipilih
secara kekeluargaan. Hal tersebut sebagaimana penuturan informan (K.H.
Mahfudz Ma’shum, 74 tahun) kepada peneliti sebagai berikut:
“Usia Pondok ini sudah sekitar 65 tahun, masih tua umur saya. Pondok ini didirikan ayah saya, lalu saya dipercaya untuk meneruskan mengasuh
pondok ini oleh ayah saya.”4
Dalam tradisi Pondok Pesantren Ihyaul Ulum, masa pergantian
kepemimpinan dilakukan ada saat pengasuh pulang ke Rahmatullah (meninggal
dunia). Pemilihan pengasuh dan pengurus yayasan pondok pesantren sudah
dilaksanakan secara demokratis dengan cara dipilih langsung oleh warga
pesantren. Pemilihan pengasuh atau pengasuh pesantren masih menggunakan
sistem kekeluargaan yang lebih didahulukan, sedangkan untuk pemilihan
pengurus pesantren sudah dipilih secara demokratis, keputusan siapa yang
menjadi pemimpin benar-benar berada di tangan masyarakat pesantren.
Sampai saat ini pengasuh pondok masih mengalami pergantian sekali, dari
Ayah turun ke putranya, yaitu:
1. K.H. Ma’shum Sufyan, pendiri Pondok Pesantren Ihyaul Ulum pada tahun
1951-1991 M.
2. K.H. Mahfudz Ma’shum mengasuh pada tahun 1991-sekarang.
4
Dari satu generasi ke generasi penerusnya, para kiai selalu menaruh
perhatian istimewa terhadap putra putrinya. Dari tradisi pesantren sudah memiliki
cara praktis yang mereka tempuh untuk mengembangkan suatu tradisi bahwa
keluarga yang terdekat harus menjadi calon kuat pengganti kepemimpinan
pesantren. Disamping itu juga mengembangkan tradisi transmisi pengetahuan dan
rantai transmisi intelektual antar sesama kiai, keluarga dan generasi kebawahnya.5
Pada saat K.H. Ma’shum Sufyan masih hidup beliau sudah memberikan
beberapa tanggung jawab kepentingan pesantren terhadap K.H. Mahfudz
Ma’shum, akan tetapi setiap keputusan yang mau diambil K.H. Mahfudz masih
harus dapat persetujuan izin dari ayahnya. Baru pada saat K.H. Ma’shum Sufyan
sudah wafat pada 14 Oktober 1990, semua tanggung jawab kepentingan pondok
sudah beralih kepada K.H. Mahfudz Ma’shum. Peralihan pengasuh pondok ini
disetujui oleh semua kerabat pesantren, karena dirasa K.H. Mahfudz Ma’shum
sudah menjadi tangan kanan dari ayahnya sewaktu ayahnya masih sakit-sakitan
dulu.
Setiap mengalami pergantian pengasuh pondok, pasti ada
kemajuan-kemajuan, diantaranya dari kemajuan pendidikannya, infrastrukturnya, dan
bahkan metode pengajarannya, karena semua itu tidak lepas dari kewajiban peran
K.H. Mahfudz Ma’shum. Kiai merupakan elemen paling esensial dari suatu
pesantren, maka dari itu sudah sewajarnya bahwa pertumbuhan suatu pesantren
semata-mata bergantung pada kemampuan pribadi kiainya.6
5
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pensantren: Studi Tenteng Pandangan Hidup Kiai, 101.
6
C. Perkembangan dari Aspek Gedung dan Lembaga Pendidikan
Pondok Pesantren Ihyaul Ulum adalah salah satu lembaga pendidikan
Islam yang hadir berkat dorongan masyarakat untuk mendalami ilmu agama
Islam. Pondok Pasantren Ihyaul Ulum didirikan pada tanggal 12 Januari 1951 oleh
K.H. Ma’shum Sufyan yang tak lain adalah ayahanda dari K.H. Ma’fudz
Ma’shum. Hal tersebut sebagaimana penuturan informan (Abdul Malik, 40 tahun)
kepada peneliti sebagai berikut:
“Pondok ini didirikan atas keinginan masyarakat, demikian mbah yai (K.H.
Ma’shum Sufyan) merasa memiliki kewajiban untuk memberi wadah kepada penduduk sekitar agar mengenal lebih dalam agama Islam.”7
Sosok pendidik yang kharismatik dan penuh tauladan perlu kita ambil
sebagai pelajaran. Dengan kemampuan yang ada, K.H. Ma’shum telah berhasil
menanamkan benih kehidupan yang cerdas dan berwawasan luas dengan
mendirikannya sebuah pondok pesantren. Perjuangan beliau dalam mendirikan
pondok pesantren tidaklah mudah, dengan dibantu K.H. Mahfudz Ma’shum
anaknya, Pondok Pesantren Ihyaul Ulum berkembang semakin maju sampai
sekarang.
Seiring dengan perkembangan zaman yang banyak berbagai bidang
keilmuan yang telah berkembang lebih maju lagi dari sebelumnya terutama dalam
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, maka begitu juga dengan pesantren
dalam mempertahankan nilai-nilai Islam yang berpegang pada kaidah islamiyah,
karena sejak awal pertumbuhannya tujuan utama pondok pesantren adalah
menyiapkan santri dalam mendalami dan menguasai ilmu agama Islam atau lebih
7
dikenal dengan Tafaqquh Fiddin (memahami ilmu agama), yang diharapkan
dalam mencetak kader-kader ulama’ yang mencerdaskan masyarakat, dakwah
dalam ikut serta menyebarkan agama Islam dan benteng pertahanan umat dalam
bidang akhlaqnya.8 Dengan berpedoman suatu kaidah tersebut, Pondok Pesantren
Ihyaul Ulum Dukunanyar Dukun Gresik menciptakan generasi santri berilmu,
beramal dan berakhlaq.
Disamping tujuan Pondok Pesantren Ihyaul Ulum sebagaimana yang telah
penulis paparkan diatas, dilihat dari segi pertumbuhan dan perkembangannya,
Pondok Pesantren Ihyaul Ulum telah menampakkan prospek yang cemerlang, baik
sebagai lembaga Islam maupun sebagai lembaga pendidikan, yang eksistensi dan
peranannya mampu mewarnai masyarakat lingkungannya maupun diluar
daerahnya.
Perkembangan suatu pesantren pada umumnya sangat dipengaruhi oleh
kemampuan internal pesantren tersebut, utamanya kiai dalam merespon
perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, jika dilihat dari
dinamika perkembangannya yang terjadi di dunia pesantren, maka lembaga
pendidikan ini dapat digolongkan menjadi tiga corak secara garis besar:
1. Pesantren Tradisional (salaf), yaitu yang masih mempertahankan
tradisi-tradisi lama, seperti pengajian kitab-kitab kuning dengan metode weton dan
sorogan, serta belum memasukkan unsur pembaruan dalam sistem
pendidikannya. Weton adalah sistem pengajaran sekelompok santri atau
murid dengan cara mendengarkan seorang guru atau ustadz atau kiainya
8
dalam pembelajaran, menerjemah, dan menerangkan. Pada sistem ini guru
atau ustadz yang lebih aktif, dari pada murid atau santrinya. Sedangkan
sorogan adalah sistem pembelajaran dimana santri atau murid lebih aktif dari
pada ustadz atau gurunya.
2. Pesantren Modern (Kholaf), yaitu pesantren yang sudah memasukkan
unsur-unsur modern dalam pendidikannya, seperti mengajarkan ilmu-ilmu umum
dan keterampilan, menggunakan sistem pengajaran klasikal
(madrasah/sekolah) memiliki sarana dan fasilitas pendidikan yang lebih
lengkap, serta secara kelembagaan dikelola dengan manajemen yang lebih
modern.9
3. Pesantren Terpadu, yaitu pesantren yang semi salaf sekaligus semi modern.
Pesantren ini bercirikan corak tradisionalis yang masih kental, sebab
disamping kiai masih menjadi figur sentral, budaya klasik masih menjadi
standar pola relasi keseharian s