ABSTRAK
Muhammad Ulil Absor (B53213055), Efektivitas Cognitive Behaviour Therapy
dalam Meningkatkan Self-Regulated Learning
Santri KelasIsti’dadUlyaB (Kelas Persiapan) di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya.
Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya menyediakan kelasisti’dad sebagai jenjang kelas persiapan untuk masuk ke jenjang kelas satu Madrasah Aliyah. Kelas ini dibentuk untuk mempersiapkan para santri yang secara standar kemampuan masih kurang untuk masuk di kelas satu madrasah aliyah. Tolak ukur yang dijadikan pedoman adalah kemampuan membaca Al-Qur’an dan kemampuan baca kitab kuning. Faktanya, ditemukan beberapa permasalahan dari para santri dalam mencapai tujuan yang ditetapkan dari kelas isti’dad yang berhubungan dengan proses kemandirian belajar mereka selama di kelasisti’dad. Permasalahan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yang berhubungan, diantaranya minimnya motivasi, kesalahan persepsi, dan kemampuan diri dalam mengatur diri.
Berangkat dari permasalahan tersebut, peneliti terpanggil untuk melakukan suatu tindakan nyata untuk berkonstribusi dalam membantu meningkatkan kemampuan pengelolaan diri santri kelas isti’dad kaitannya dengan proses kemandirian belajar (self-regulated learning) mereka di kelas dan di pesantren. Fokus permasalahan yang diteliti dalam penelitian skripsi ini ada dua, yaitu bagaimana proses Cognitive Behaviour Therapy dalam Meningkatkan Self-Regulated LearningSantri KelasIsti’daddi Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya, serta bagaimana Efektivitas Cognitive Behaviour Therapy dalam MeningkatkanSelf-Regulated Learning Santri KelasIsti’daddi Pondok Pesantren Assalafi Al-Fitrah Surabaya. Untuk menjawab permasalahan proses dan efektivitas tersebut, peneliti menggunakan Treatment dan tahapan bimbingan dan konseling secara umum.
Sementara metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif jenis pre-experimentdengan desainone group pre-test post-test. Adapun pengumpulan data yang dipilih oleh peneliti adalah berupa observasi, wawancara dan pemberian
quosioner. Pasca pengujian T-Tes dilakukan taraf signifikan 5%, hasil menunjukan bahwa Cognitive Behaviour Therapy Memiliki Efektivitas dalam Meningkatkan
Self-Regulated Learning Santri Kelas Isti’dad di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fitrah.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
PENGESAHAN ... iii
MOTTO ... iv
PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN OTENTITAS SKRIPSI ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR BAGAN ... xiii
DAFTAR DIAGRAM ... xiv
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah... 7
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 8
E. Metode Penelitian ... 9
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian... 9
2. Populasi dan Sampel ... 10
3. Variabel dan Indikator Penelitian... 12
4. Definisi Operasional... 15
5. Teknik Pengumpulan Data... 20
6. Teknik Analisis Data... 22
F. Sistematika Pembahasan... 23
BAB II: COGNITIVE BEHAVIOUR THERAPY, SELF REGULATION, SELF-REGULATED LEARNING A. Cognitive Behaviour Therapy... 28
1. PengertianCognitive Behaviour Therapy... 28
2. Konsep DasarCognitive Behaviour Therapy... 30
3. Tujuan TerapiCognitive Behaviour Therapy... 32
4. Metode dan TeknikCognitive Behaviour Therapy... 33
5. Prinsip-PrinsipCognitive Behaviour Therapy... 35
6. Merencanakan Proses dan Sesi KonselingCognitive Behaviour Therapy... 37
B. Regulasi Diri dalam Proses Belajar (Self-Regulated Learning)... 43
1. Pengertian Regulasi Diri(Self Regulation)... 44
2. Teori-Teori Regulasi Diri(Self Regulation)... 46
3. Aspek-Aspek Regulasi Diri(Self Regulation)... 49
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Regulasi Diri ... 52
5. Pembagian Regulasi Diri(Self Regulation)... 54
7. ProsesSelf-Regulated Learning... 57
8. Aspek-AspekSelf-Regulated Learning... 59
C. Kerangka Berpikir Penelitian... 62
1. Implementasi Pendekatan Perilaku-Kognitif dalam Proses Regulasi Diri(Self Regulation)... 62
2. Pentingnya Kemandirian Belajar bagi Peserta Didik... 65
D. Hasil Penelitian Terdahulu yang Relevan... 67
E. Hipotesis Penelitian ... 70
BAB III: PENYAJIAN DATA A. Deskripsi Umum Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya ... 71
1. Profil Pondok Pesantren... 71
2. Gambaran Umum Geografis Pondok Pesantren ... 72
3. Data Pendidik dan Pegawai Pondok Pesantren ... 73
4. Lembaga Formal ... 74
5. Lembaga Informal ... 74
6. Fasilitas dan Inventaris... 75
7. Kegiatan-Kegiatan Pesantren ... 76
8. Kegiatan Ekstrakurikuler ... 79
9. KelasIsti’dadPondok Pesantren Assalafi Al Fithrah ... 80
B. Deskripsi Penilaian, Indikator, dan Responden ... 80
1. Penilaian Angket ... 81
2. Indikator dan Deskripsi Angket ... 82
3. Responden Penelitian ... 83
C. Deskripsi Hasil Penelitian... 84
1. ProsesCognitive Behaviour Therapydalam Meningkatkan Self-Regulated LearningSantri KelasIsti’dadUlyaB di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya ... 85
2. EfektivitasCognitive Behaviour Therapydalam Meningkatkan Self-Regulated LearningSantri KelasIsti’dadUlyaB di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya ... 96
D. Uji Keabsahan Instrument ... 97
1. Uji Validitas Data... 98
2. Uji Relaiabilitas Data ... 100
E. Pengujian Hipotesis ... 102
BAB IV: ANALISIS DATA A. Analisis ProsesCognitive Behaviour Therapydalam MeningkatkanSelf-Regulated LearningSantri Kelas Isti’dadUlyaB di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah 103 1. Menciptakan Hubungan yang sangat Dekat antara Konselor dan Klien ... 104
3. Menetapkan Target Perubahan... 106
4. Penerapan Teknik Kognitif-Behavioural ... 107
5. Memonitor Perkembangan ... 107
6. Mengakhiri dan Merancang Program Lanjutan ... 108
B. Analisis Pengujian HipotesisCognitive Behaviour Therapy dalam MeningkatkanSelf-Regulated LearningSantri Kelas Isti’dadUlyaB di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah 115 1. Uji Prasayarat Analisis ... 115
a. Uji Normalitas ... 115
b. Uji Homogenitas... 116
2. Pengujian Hipotesis... 116
BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ... 130
B. Saran ... 132
BAB I
PEBDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan aspek penting yang harus diperhatikan dan dicermati oleh setiap individu. Di Indonesia khususnya, dunia pendidikan sendiri mewajibkan warganya untuk wajib belajar selama 9 tahun. Hal ini membuktikan bahwa negara indonesia berkeinginan dan bercita-cita untuk memiliki generasi yang unggul dalam aspek pendidikan. Hampir semua orang dikenai pendidikan dan melaksanakan pendidikan. Sebab pendidikan tidak pernah terpisah dari kehidupan manusia. Tidak dibedakan apakah sudah tua atau anak-anak, dewasa atau remaja, sudah uzur atau balita. Semuanya sama. Sama-sama dilibatkan atau melibatkan diri dalam pendidikan.
Pendidikan sendiri tidak akan terlepas dari yang namanya proses belajar. Semua individu pasti mengelami fase dimana ia harus berproses dalam kegiatan belajar. Proses belajar sendiri identik terjadi dan dilaksanakan dalam ruang lingkup lembaga pendidikan, seperti di sekolah, perguruan tinggi, dan lain sebagainya. Proses belajar individu juga melibatkan beberapa aspek, seperti aspek kognitif, aspek regulasi diri, aspek pemahaman diri, dan lain sebagainya.
2
meyakini arti penting isi materi pelajaran, dan aplikasinya serta menyerap nilai-nilai yang terkandung dalam materi tersebut. Dengan kata lain strategi pembelajaran yang digunakan merupakan hal yang sangat oenting agar proses belajar dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Strategi belajar yang digunakan tidak sekedar strategi belajar aktif, tetapi harus strategi yang betul-betul dapat membawa siswa pada pencapaian indikator yang telah ditetapkan, strategi yang membawa siswa pada pemahaman materi secara interanl (internalisasi nilai materi pelajaran).
Unsur-unsur yang mempengaruhi proses pembelajaran agar menjadi efektif strategi dalam menentukan tujuan belajar, mengetahui kapan strategi yang digunakan dan memonitor keefektifan strategi belajar tersebut. Dalam proses pembelajaran baik di tingkat dasar maupun di tingkat lanjutan, regulasi diri dalam belajar (self-regulated learning) merupakan sebuah pendekatan yang penting. Kemampuan individu untuk meregulasi diri dalam proses belajar sangat menentukan keberhasilan individu itu sendiri dalam proses belajarnya. Oleh karena itu, perlu adanya arahan dan bimbingan agar terciptanya konsep dan strategi yang bagus dan efektif dalam meregulasi diri ketika proses belajar, hal ini bertujuan untuk menumbuhkan sikap kemandirian dalam belajar dan mampu menetapkan tujuan untuk kedepannya serta menentukan usaha-usaha apa saja yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut.
3
kegiatan belajarnya karena mereka menyadari bahwa hanya usaha mereka sendirilah dapat mencapai tujuan belajar dengan efektif. Fungsi self-regulated learning sendiri adalah merencanakan proses belajar, memantau kemajuan belajar, dan menentukan tujuan (target yang harus dicapai) dalam proses belajar.
Permasalahan muncul ketika proses self-regulated learning tidak bisa berjalan dengan baik dan sesuai yang diharapkan karena beberapa faktor. Hal ini berimplikasi terhadap proses belajar individu itu sendiri. Mereka kurang bisa merencanakan proses belajar yang baik bagi dirinya, kurang bisa memantau kemajuan belajar, serta tidak bisa menetukan target yang ingin dicapai untuk kedepannya.
Allah senantiasa memperingatkan manusia agar mengatur dan mengontrol diri dalam bertingkah laku yang disesuaikan dengan tujuan hidupnya, kemudian menyerahkan semua hasilnya kepada Allah. Sebagaimana yang dijelaskan dalam surat Al-Baqoroh 281 berikut:
“Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan)”.2
Sesuai dengan firman Allah diatas yang selalu memerintahkan agar manusia berbuat kebaikan kemudian berserah diri kepada-Nya, iscaya tidak ada
4
kekwatiran dalam hidup mereka karena mereka sudah berikhtiar yang dalam konteks self regulatad learning. Mereka telah mengatur dan mengontrol dirinya dalam bertingkah laku yang disesuaikan dengan tujuan hidupnya, kemudian menyerahkan semua hasilnya pada Allah, sehingga apapun hasil yang diperoleh dari pengaturan diri tersebut diterima dengan ikhlas. Allah juga menjelaskan Self-Regulated Learning tersebut dalam surat ar-Ra’d ayat 11 sebagai berikut:
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya;dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”.3
Sesuai dengan firman Allah dengan ayat diatas yang menyebutkan bahwa Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dalam hal ini dapat dipetik pelajaran bahwa apabila seorang individu mau menampilkan serangkaian tindakan yang ditujukan pada pencapaian target, maka Allah akan membantu individu tersebut mendapatkan target yang ingin dicapai.
Salah satu lembaga yang menyediakan layanan pendidikan adalah lembaga pesantren. Di indonesia khususnya, ada banyak sekali pesantren yang
5
menawarkan pengajaran pendidikan baik keilmuan umum maupun keilmuan agam pada khususnya. Seperti di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah surabaya misalnya, peneliti menemukan fakta bahwa di pesantren tersebut terdapat layanan pendidikan dari jenjang paling bawah sampai jenjang perguruan tinggi. Di pesantren tersebut juga banyak anak yang belajar keilmuan agama maupun keilmuan umum, atau mereka yang belajar di pesantren biasa disebut dengan istilah santri. Santri juga sebagaimana manusia pada umunya dituntut agar bisa mengatur dan mengelola kegiatan belajarnya di pesantren dengan baik. Proses regulasi diri dalam belajar juga penting untuk diperhatikan dan dilaksanakan bagi seorang santri, agar proses belajarnya dipesantren bisa berhadil dan berjalan sesuai dengan yang diinginkan.
6
belajar seorang individu tergantung dengan pengelolaan dan kontrol dirinya sendiri dalam kegiatan belajar yang ia laksanakan.
Pengaturan diri menjadi kata penting dalam upaya memenuhi tugas perkembangan. Pengaturan diri atau regulasi diri pada remaja pada dasarnya telah terbentuk dan mencapai tungkat yang stabil sekitar usia 13 tahun. Kemampuan seseorang untuk meregulasi diri dipengaruhi oleh umpan balik yang diberikan oleh lingkungan sehingga hasil dari proses tersebut terinternalisasi dalam diri seorang individu yang menjadi sumber pedoman dalam berperilaku. Kemampuan untuk mengatur diri perlu dikembangkan untuk membantu individu mengatasi situasi yang menekan. Individu yang mampu melakukan regulasi diri akan mampu mencapai tujuannya dengan cara-cara yang baik dan dapat diterima secara-cara sosial. Kegagalan seseorang dalam melakukan pengaturan diri dapat menyebabkan seseorang tidak mampu mencapai tujuan dan rentan mengalami resiko psikologis.4
Regulasi diri sendiri merujuk pada pikiran, perasaan dan tindakan yang terencana oleh diri dan secara siklis disesuaikan dengan upaya pencapaian tujuan pribadi. Kunci utama dari proses regulasi diri ini adalah penentuan tujuan dan perencaaan strategis. Dalam bimbingan dan konseling, dapat digunakan pendekatan cognitive behaviour therapy (CBT) karena berorientasi pada tindakan, pikiran, dan perasaan sebagai upaya agar klien dapat menginternalisasikan dirinya.
4 Chairani, Lisya & Subandi, M.A, Psikologi Santri Penghafal Al-Qur’an Peran Regulasi
7
Konseling dengan cognitive behaviour therapy (CBT) mengajak individu untuk belajar mengubah perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik, berpikir lebih jelas dan membantu membuat keputusan yang tepat. Strategi penerapan konseling cognitive behaviour therapy (CBT) sejalan dengan prinsip yang ada self-regulated learning karena mampu menyentuh aspek kognisi, motivasi, dan perilaku individu. Oleh karena itu, dalam meningkatkan aspek self-regulated learning santri kelas isti’dad (kelas persiapan) di Pondok Pesantren Assalafi Al fithrah Surabaya, peneliti menggunakan pendekatan cognitive behaviour therapy. Sehingga judul yang peneliti ambil dalam penelitian ini adalah “Efektifitas Cognitive Behaviour Therapy dalam Meningkatkan Self-Regulated Learning (Kemandirian Belajar) Santri Kelas Isti’dad Ulya B (Kelas Persiapan) Di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya”.
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah yang bisa dimunculkan dalam penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana proses cognitive behaviour therapy (CBT) dalam meningkatkan self-regulated learning (kemandirian belajar) santri kelas isti’dad Ulya B (persiapan) di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah
Surabaya?
2. Apakah cognitive behaviour therapy (CBT) efektif dalam meningkatkan
8
C.Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat proses dan efektivitas penggunaan cognitive behaviour therapy dalam meningkatkan self- regulated learning (kemandirian belajar) santri kelas isti’dadUlya B di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya.
D.Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
a. Menjadi rujukan bagi para konselor di lingkungan pesantren khususnya bagi para asatidz atau guru yang mengajar di lingkungan pesantren dalam meningkatkan kemandirian belajar siswa-siswinya di sekolah/pesantren.
b. Menjadi rujukan bagi siswa maupun remaja, khususnya bagi santri yang masuk kelas persiapan (isti’dad) yang mengalami kesulitan dalam proses regulasi diri dan kemandirian dalam proses belajarnya.
9
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian ini diharapkan mampu secara praktis untuk meningkatkan kemandirian belajar (self-regulated learning) siswa di kelas isti’dad (persiapan) di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya
b. Penelitian ini diharapkan menjadi sumber rujukan dan pijakan munculnya penelitian-penelitian selanjutnya yang masih berkaitan dengan penelitian ini, agar materi yang dikaji menjadi lebih sempurna dan lengkap.
E.Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan kuantitatif. Penelitian kuantitatif merupakan sebuah paradigma dalam penelitian yang memandang kebenaran sebagai sesuatu yang tunggal, objektif, universal dan dapat diverifikasi. Kebenaran itu dicapai dengan menggunakan metode tertentu.5
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian kuantitatif ini adalah jenis penelitian pre-experimental designs. Dikatakan pre-experimental designs, karena masih terdapat variabel luar yang ikut berpengaruh terhadap terbentuknya variabel dependen. Jadi hasil eksperimen yang merupakan variabel dependen itu bukan semata-mata
5 Purwanto, Metodologi Penelitian Kuantitatif (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2008), hal.
10
dipengaruhi oleh variabel independen. Hal ini dapat terjadi karena tidak adanya variabel kontrol, dan sampel tidak dipilih secara random.6
Bentuk desain pre-experimental designs yang dipakai peneliti adalah dengan one-group pretest-posttest design. Dalam desain ini terdapat pretest, sebelum diberikan perlakukan (treatment). Dengan demikian hasil perlakuan dapat diketahui lebih akurat, karena dapat membandingkan keadaan sebelum diberi perlakuan (treatment).7 Peneliti berusaha
menemukan hasil treatment dengan konseling cognitive behaviout therapy
dalam meningkatkan self-regulated learning santri kelas isti’dad. Oleh karena dilakukan pre-test untuk mengetahui skor hasil tes sebelum diadakannya treatment dan dilakukan post-test untuk mengetahui persentase perubahan setelah dilakukan treatment terhadap subjek penelitian.
2. Populasi dan Sampel a. Populasi
Populasi merupakan keseluruhan dari subyek/obyek penelitian, wilayah generalisasi yang terdiri dari obyek atau subyek yang menjadi kuantitas dan karasteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti. Populasi menggambarkan berbagai karakteristik subjek penelitian untuk kemudian menentukan pengambilan sampel.8 Berdasarkan definisi tersebut, maka populasi subyek penelitian ini adalah para santri atau siswa kelas isti’dad
6 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, Dan R&D,
(Bandung: Alfabeta, 2015), Hal. 109.
7 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, Dan R&D,
hal. 110-111.
8 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, Dan R&D,
11
Ulya B (persiapan) di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya yang berjumlah 30 santri. Alasan peneliti memilih kelas isti’dad ulya B adalah berlandaskan pada hasil wawancara dengan salah satu penanggung jawab kelas isti’dad yaitu ustadz Hermansyah, bahwa kelas
isti’dad ulya B merupakan kelas yang secara kemampuan yang dimiliki
oleh anak-anak relatif sama. Usia para santri yang duduk di kelas isti’dad
ulya B juga relatif sama. Sehingga bisa dikatakan sampel populasi yang peneliti pilih ini bersifat homogen. Hal ini tentunya mempermudah peneliti dalam melakukan penelitian. Selain itu, para santri kelas isti’dad
ulya B secara kemandirian belajar juga masih kurang maksimal dibanding dengan kelas isti’dad ulya A dan kelas isti’dad yang ada pada santri putri. Menurut penuturan ustadz Hermansyah, hal ini dibuktikan dengan hasil belajar mereka selama satu tahun di kelas isti’dad, hasil yang mereka dapatkan masih kurang maksimal. Sehingga dibutuhkan usaha dan pendampingan dari para asatidz yang lebih intens dari yang lain.
b. Sampel
12
hasil penelitiannya, artinya mengenakan kesimpulannya kepada obyek, kejadian, gejala, atau peristiwa yang lebih luas.9
Sampel adalah bagian dari populasi yang diharapkan mampu mewakili populasi dalam penelitian. Apa yang dipelajari dan diteliti dari sempel itu, kesimpulannya akan dapat diberlakukan untuk populasi.10 adapun dalam metode pengambilan sampel dalam penelitian ini, peneliti berpedoman pada pernyataan Suharsimi Arikunto yang berbunyi: “apabila subyek penelitian kurang dari 100 orang, lebih baik diambil
semuanya, sehingga penelitiannya adalah populasi. akan tetpai subyeknya lebih dari 100 orang, maka diperbolehkan mengambil sampel 10 % - 15 % atau lebih 20 % - 25 % atau lebih.11 Jadi, karena jumlah santri yang ada di kelas isti’dad ulya B berjumlah 30 anak, maka peneliti mengambil semua santri untuk menjadi subyek penelitian. Sehingga dalam penelitian ini, sampel yang digunakan adalah sampel populasi dengan tanpa menggunakan teknik sampling.
3. Variabel dan Indikator Penelitian a. Variabel Penelitian
Variabel adalah gejala yang dipersoalkan, gejala yang bersifat membedakan satu unsur populasi dengan unsur yang lain. Oleh karena variabel bersifat membedakan maka variabel harus mempunyai nilai
9 Masyhuri Dan M. Zainuddin, Metodologi Penelitian Pendekatan Praktis dan Aplikatif
(Bandung: PT Refika Aditama, 2008), hal. 159.
10 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D,
hal. 118.
13
yang bervariasi.12 Menurut Prof. Dr. Sugiono, variabel penelitian adalah suatu atribut atau atau sifat atau nilai dari orang, obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.13 Variabel dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu variabel bebas atau variabel
independen (x) dan variabel terikat atau variabel dependen (y). Dengan demikian, kedua variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Variabel bebas (x) : Cognitive Behaviour Therapy
2) Variabel terikat (y) : Self-Regulated Learning
b. Indikator Penelitian
Dalam hal ini, indikator penelitian ditentukan sesuai dengan sub variabel atau aspek dari variabel terikat. Selanjutnya, peneliti menentukan sub variabel dari varibel self-regulated learning.
Berdasarkan pendapat Zimmerman (1986) yang mengatakan bahwa self-regulated learning terdiri atas pengaturan tiga aspek umum pembelajaran akademis, yaitu kognisi, motivasi, dan perilaku. Selanjutnya Wolters (2003) menjelaskan secara rinci penerapan strategi dalam dimensi self-regulated learning. Maka peneliti menjabarkan beberapa indikator varibel yaitu (a) Reherseal (mengingat dan mengulang), (b) Elaboration (menggunakan kalimatnya untuk merangkum materi), (c) Mastery self talk (memuaskan keingintahuan menjadi lebih kompeten), (d) Extrinsic self talk (berfikir untuk memperoleh prestasi lebih tinggi), (e) Relative
12 Purwanto, Metodologi Penelitian Kuantitatif, hal. 85.
13 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, Dan R&D,
14
ability self talk (melakukan usaha yang lebih baik), (f) Relevance enhancement (meningkatkan keterhubungan tugas dengan kehidupan), (g) Situasional interest enhancement (meningkatkan motivasi), (h) Effort regulation (meregulasi usaha), (i) Time/study environment (mengatur waktu untuk mempermudah proses belajar), (j) Help seeking (mencoba mendapatkan bantuan dari teman sebaya, guru, dan orang lain).
Tabel 1.1 Indikator Penelitian
No Sub Variabel/Aspek Indikator Penelitian
1 Kognisi Reherseal (mengingat dan
mengulang)
Elaboration (menggunakan kalimatnya untuk merangkum materi)
Mastery self talk (memuaskan keingintahuan menjadi lebih kompeten
Extrinsic self talk (berfikir untuk memperoleh prestasi lebih tinggi) 2 Motivasi Relative ability self talk (melakukan
usaha yang lebih baik)
Relevance enhancement
(meningkatkan keterhubungan tugas dengan kehidupan),
Situasional interest enhancement (meningkatkan motivasi)
Effort regulation (meregulasi usaha) 3 Perilaku Time/study environment (mengatur waktu untuk mempermudah proses belajar)
Help seeking (mencoba
15
4. Definisi Operasional
a. Cognitive behaviour therapy
1) Konsep dasar Cognitive behaviour therapy
Teori cognitive behaviour therapy pada dasarnya meyakini bahwa pola pemikkiran manusia terbentuk melalui rangkaian stimulus – kognisi – respon (SKR), yang saling berkait dan membentuk
semacam jaringan SKR dalam otak manusia, dimana proses kognitif akan menjadi faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia berpikir, merasa dan bertindak.
Sementara dengan adanya keyakinan bahwa manusia memiliki potensi untuk menyerap pemikiran yang rasional dan irasional, dimana pemikiran yang irasional dapat menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku, maka terapi cogntive behaviour diarahkan kepada modifikasi fungsi berfikir, merasa dan bertindak, dengan menekankan peran otak dalam menganalisa, memutuskan, bertanya, berbuat, dan memutuskan kembali. Dengan merubah status pikiran dan perasannya, klien diharapkan dapat merubah tingkah lakunya dari negatif menjadi positif.14
Bukti ilmiah menunjukan bahwa CBT efektif dengan sendirinya. Terapis memberikan pendampingan dalam bidang teknik dan keterampilan, yang kemudian dapat dipraktekkan secara mandiri, sehingga mampu mengurangi perlunya perawatan yang bisa memakan
14 A. Kasandra Oemarjoedi, Pendekatan Cognitive Behaviour dalam Psikoterapi (Jakarta:
16
waktu lama dan mahal. CBT dianggap sebagai metode yang efektif untuk penanganan serangkaian masalah emosi dan psikologi. CBT sejak lama biasa ditawarkan oleh psikologis dan psikoterapis, tetapi kahir-kahir ini dilaksanakan oleh konselor yang terlatih. Struktur yang kuat dan partisipasi aktif menjadi penentu suksesnya terapi.15
Gagasan dasar CBT dapat disimpulkan dalam ungkapan “apa
yang kita pikirkan menentukan apa yang kita rasakan”. CBT adalah
model teoritis yang menghubungkan pikiran dengan emosi dan perilaku kita. Sebagai model teoritis, CBT adalah kombinasi dari berbagai teori kognitif dan eksperimen perilaku. Gagasan-gagasan dalam psikologi (psikoterapi, psikoanalisis dan konseling) adalah sebuah rangkaian dan gagasan baru seringkali dilibatkan ke dalam teori atau praktik psikologi. CBT kaya akan teknik, strategi dan aplikasi. Klien dapat bereksperimen dengan menggunakan teknik yang berbeda-beda, dan melihat sendiri bagaimana kinerja teknik-teknik tersebut pada diri mereka. Pekerjaan rumah disetujui oleh klien dan terapis, sebagai cara untuk memperkuat apa yang telah dipelajari klien selama mengikuti sesi terapi.16
b. Self-Regulated learning
1) Pengertian
Albert Bandura mendefinisikan Self-Regulated learning
sebagai suatu keadaan dimana individu yang belajar sebagai
17
pengendali aktivitas belajarnya sendiri, memonitor motivasi dan tujuan akademik, mengelola sumber daya manusia dan benda, serta menjadi perilaku dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksana dalam proses belajar. Lebih lanjut Zimmerman (2004) mendefinisikan
Self-Regulated learning sebagai kemampuan belajar untuk berpartisipasi aktif dalam proses belajarnya, baik secara metakognitif, secara motivasional dan secara behavioral.17
Para ahli kognitif dan juga psikologi kognitif mulai menyadari bahwa untuk menjadi pembelajar yang benar-benar efektif, siswa harus terlibat dalam beberapa aktifitas mengatur diri (self regulated activities). Dalam kenyataannya tidak hanya bahwa siswa harus mengatur perilakunya sendiri, melainkan juga mereka harus mengatur proses-proses mental mereka sendiri. Self regulated learning
(pembelajar yang diatur sendiri) adalah pengaturan terhadap proses-proses kognitif sendiri agar belajar semakin sukses.18
2) Faktor-faktor yang mempengaruhi self-regulated learning
Faktor-faktor yang mempengaruhi Self Regulated Learning,
diantaranya:19 a) Individu
Faktor individu ini meliputi hal-hal di bawah ini:
17 Irma Alfina, “Hubungan Self-Regulated Learning Dengan Prokrastinasi Akademik Pada Siswa Akselerasi”, Ejournal Psikologi, Vol.2, No. 2 (Februari, 2014), hal. 229.
18 Jeanne Ellis Ormrod, Psikologi Pendidikan (Membantu Siswa Tumbuh Dan
Berkembang), Edisi Keenam, Penerjemah Amitya Kumara (Jakarta: Erlangga, 2008), hal. 38-39
19 Jeanne Ellis Ormrod, Psikologi Pendidikan: Membantu Siswa Tumbuh Dan
18
Pengetahuan individu, semakin banyak dan beragam
pengetahuan yang dimiliki individu akan semakin membantu individu dalam melakukan pengelolaan
Tingkat kemampuan metakognisi yang dimiliki individu yang
semakin tinggi akan membantu pelaksanaan pengelolahan diri dalam individu
Tujuan yang ingin dicapai, semakin banyak dan kompleks
tujuan yang ingin diraih, semakin besar kemungkinan individu melakukan pengelolahan diri
Daya ingat, seseorang yang berusaha sungguh-sungguh untuk
mengingat-ingat, akan memperoleh tingkat ingatan yang lebih besar
b) Perilaku
Perilaku mengacu kepada upaya individu menggunakan kemampuan yang dimiliki, semakin besar dan optimal upaya yang dikerahkan individu dalam mengatur dan menggorganisasi suatu aktifitas akan meningkatkan pengelolaan atau regulation pada diri individu.
c) Lingkungan
Pengaruh social dan pengalaman individu bergantung pada bagaimana lingkungan itu mendukung atau tidak mendukung.20
20 Nur Ghufron dan Rini Risnawati S, Teori-Teori Psikologi (Yogyakarta: Ar Ruzz, 2012),
19
c. Santri Isti’dad(Kelas Persiapan)
Santri secara sederhana dimaknai dengan orang yang mendalami agama Islam.21 Umumnya kata santri diidentikan bagi seseorang yang tinggal di pondok pesantren yang kesehariannya mengkaji kitab-kitab salafi atau kitab kunign, dengantubuh diungkus sarung, peci, serta pakaian koko menjadi peelengkap atau menambah ciri khas tersendiri bagi mereka. Asal-usul kata santri sendiri menurut Nur Kholis Majid sekurang-kurangnya ada dua pendapat yang dapat dijadikan bahan acuan. Pertama berasal dari bahasa sansekerta, yaitu sastri, yang berarti orang yang melek huruf. Kedua berasal dari bahasa jawa, yaitu “cantrik” yang berarti seseorang yang mengikuti kyai di manapun ia pergi dan menetap untuk menguasai keahlian tersendiri. Berbeda menurut Dr. KH. MA Sahal Mahfud yang justru kata santri dijadikan menjadi bahasa arab, yaitu dari kata “santaro” yang mempunyai jama’ (plural) sanaatir
(beberapa santri).22
Sedangkan kata isti’dad berasal dari bahasa arab asal kata ista’adda - yasta’iddu, yang artinya siab atau bersiab. Sedangkan isti’dad
bentuk maf’ul dari fi’il “ista’adda - yasta’iddu” yang berarti persiapan atau yang dipersiabkan. Di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah sendiri istilah isti’daddigunakan dalam penamaan salah satu jenjang kelas yang ada di jenjang Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah. Maksud dari kelas isti’dad ini sendiri artinya kelas persiapan, yang mana kelas ini diisi
21 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
22 Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah, Buku Kumpulan Tanya Jawab dan Diskusi Keagamaan
20
oleh para santri atau siswa yang ketika tes masuk pertama kali kurang memenuhi ketentuan batas syarat kemampuan dan kompetensi yang ditetapka oleh pihak pondok, sehingga minimal selama satu tahun mereka harus berada di kelas persiapan guna mempersiabkan masuk kelas awal di setiap jenjang pendidikan pada tahun berikutnya. Hal ini dilakukan agar bibit santri yang telah masuk pada jenjang kelas awal di lembaga pendidikan benar-benar memenuhi syarat dan kriteria yang telah ditetapkan oleh pihak lembaga pondok pesantren.
5. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian, teknik pengumpulan data merupakan salah satu unsur yang penting demi kesuksesan penelitian itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan cara mengumpulkan data, siapa sumbernya, dan alat apa yang digunakan dalam proses pengumpulan data.
21
atau instrumen penelitian.23 Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, dokumentasi, dan kuesioner (angket).
Peneliti melakukan wawancara dengan beberapa narasumber yang mendukung dalam pengumpulan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, diantaranya yaitu wali kelas, guru BK, dan lain sebagainya. Observasi yang dilakukan adalah dengan bertatap muka dengan subyek penelitian, atau setiap melakukan pretest, posttest dan treatment. Tujuan dari observasi ini adalah untuk mengamati kegiatan sehari-hari subyek penelitian, seperti kegiatan belajar-mengajar, kegiatan ekstra kulikuler, atau kegiatan di pesantren yang mendukung dalam proses pengumpulan data.
Dokumentasi diperoleh dari dari pihak-pihak sekolah terkait, seperti kepala sekolah untuk memperoleh data tentang sejarah dan perkembangan sekolah, dan tata usaha untuk memperoleh data-data sarana dan prasarana sekolah, keadaan siswa dan guru serta masalah-masalah yang berhubungan dengan administrasi sekolah yaitu berupa arsip dan table-tabel yang didapat dari kantor Tata Usaha MA Assalafi Al-Fithrah.
Selanjutnya kuesioner (angket) adalah teknik pengumpulan data dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis yang akan dijawab oleh subyek penelitian.24 Dalam penelitian ini, angket yang digunakan dalam bentuk skala psikologi untuk mengukur variabel terikat
23 Purwanto, Metodologi Penelitian Kuantitatif (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2008), hal.
212.
24 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D,
22
(dependen) yaitu skala angket self-regulated learning karena self-regulated learning menjadi variabel terikat dalam penelitian ini.
Skala angket self-regulated learning disusun berdasarkan alternatif jawaban dengan metode skala psikologi yaitu metode yang digunakan untuk mengukur perilaku dengan menyatakan sikap, pendapat, dan persepsi seseorangatau kelompok orang tentang suatu objek sosial.25 Skala angket ini terdiri dari empat alternatif jawaban subyek penelitian, yaitu sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), dan sangat tidak sesuai (STS). Angket diberikan kepada seluruh subyek penelitian yang berjumlah 30 orang. Angket disebarkan sebanyak dua kali, yaitu pada saat pre-test dan post-test. 6. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian kuantitatif, analisis data merupakan kegiatan setelah data dari seluruh responden atau sumber data lain terkumpul. Kegiatan dalam analisis data adalah mengelompokkan data berdasarkan variabel dan jenis responden, mentabulasi data berdasarkan variabel dari seluruh responden, menyajikan data tiap variabel yang diteliti, melakukan perhitungan untuk menjawab rumusan masalah, dan melakukan perhitungan untuk menguji hipotesis yang telah diajukan. Teknik analisis data dalam penelitian kuantitatif menggunakan statistik. Terdapat dua macam statistik yang digunakan untuk analisis data dalam penelitian, yaitu statistik deskriptif dan statistik inferensial.26
25 Saifuddin Azwar, Penyusunan Skala Psikologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),
hal. 5.
26 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D,
23
Teknik analisis data merupakan cara yang digunakan untuk menguraikan keterangan atau data-data yang diperoleh agar dapat dipahami. Data yang diperoleh dari hasil angket, selanjutnya diolah dengan menggunakan rumus statistik deskriptif seperti menghitung mean (nilai rata-rata), median, modus, mencari deviasi standar (simpangan baku), dan lain-lain.27
Setelah data diolah dengan rumus statistik deskriptif, selanjutnya data diolah dengan rumus statistik inferensi untuk menguji hipotesis. Pengujian hipotesis dalam penelitian ini melalui teknik analisis statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis tersebut adalah rumus t-test.
F. Sistematika Pembahasan
1. BAB I PENDAHULUAN: berisi tentang pengantar bagi pembaca untuk dapat mengetahui masalah apa yang akan diteliti, untuk apa, dan mengapa penelitian ini dilakukan.
a. Latar Belakang Masalah: berisi tentang pemaparan masalah yaitu proses self-regulated learning siswa, mengapa harus teknik cognitive behaviour therapy yang dipakai, dan ketertarikan peneliti untuk melakukan penelitian mengenai efektivitas teknik cognitive behaviour therapy dalam meningkatkan self-regulated learning siswa.
b. Rumusan Masalah: berisi tentang pertanyaan yang lengkap dan rinci mengenai runag lingkup masalah yang diteliti berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah. Dalam hal ini, peneliti menentukan rumusan
27 Singgih Santoso, Menguasai Statisktik Parametrik Konsep dan Aplikasi dengan SPSS,
24
masalah yang dikemukakan dalam penelitian mengenai efektivitas teknik cognitive behaviour therapy dalam meningkatkan self-regulated learning siswa.
c. Tujuan Penelitian: berisi tentang sasaran yang ingin dicapai dalam penelitian. Dalam hal ini, tujuan penelitian yang dikemukakan peneilti mengenai proses pelaksanaan dan keefektivan cognitive behaviour therapy dalam meningkatkan self-regulated learning santri.
d. Manfaat Penelitian: berisi tentang penjelasan secara tegas untuk apa penelitian dilakukan, baik secara teoritik dan praktis sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian ini yaitu efektivitas teknik
cognitive behaviour therapy dalam meningkatkan self-regulated learning siswa
e. Metode Penelitian: berisi tentang penjelasan secara rinci dan operasional tentang metode dan teknik yang digunakan untuk mengkaji objek penelitian dalam penelitian ini.
1) Pendekatan dan Jenis Penelitian: berisi tentang pendeketan, jenis, dan desain penelitian yang dipakai pada penelitian ini. Pendekatan penelitian dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan jenis desain penelitian pre-experimental design dengan bentuk desain one group pretest-posttes
25
3) Variabel dan Indikator Penelitian: berisi tentang penjelasan secara rinci mengenai variabel penelitian yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah cognitive behaviour therapy, sedangkan variabel terikat dalam penelitian ini adalah self-regulated learning. Dalam poin ini juga dibahas mengenai indikator penelitian yang dikembangkan dan disusun dari variabel terikat.
4) Definisi Operasional: berisi tentang pengertian secara operasional yang mudah difahami dari variabel penelitiandalam penelitian ini, yaitu definisi dari teknik cognitive behaviour therapy dan self-regulated learning.
5) Teknik Pengumpulan Data: berisi tentang pemaparan mengenai teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini. Teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah teknik wawancara, observasi, serta menggunakan quesioner (angket). 6) Teknik Analisis Data: berisi tentang penjelasan secara rinci
mengenai teknik yang dipakai dalam menganalisis data penelitian. Ada dua teknik analisis data yang dipakai dalam penelitian ini yaitu memakai rumus statistik deskriptif dan statistik inferensi.
26
2. BAB II TINJAUAN PUSTAKA: berisi tentang tinjauan pustaka dari objek penelitian yang dikaji yaitu mengenai efektivitas cognitive behaviour therapy dalam meningkatkan self-regulated learning santri dari segi kajian teoritiknya, hasil penelitian terdahulu yang relevan, serta hipotesis penelitian.
a. Kajian Teoritik: berisi tentang argumentasi atas hipotesis yang diajukan peneliti dengan menginterpretasikan teori yang dipilih sebagai landasan dalam penelitian.
b. Hasil Penelitian Terdahulu Yang Relevan: berisi tentang penjelasan secara singkat, padat dan jelas mengenai hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan.
c. Kerangka berfikir penelitian: berisi tentang gambaran implementasi penerapan cognitive behaviour therapy dalam meningkatkan self-regulated learning santri kelas isti’dad ulya B, serta pentingnya kemandirian belajar bagi santri
d. Hipotesis Penelitian: berisi tentang hipotesis penelitian atau dugaan sementara terhadap masalah penelitian yang secara teoritis dianggap paling mungkin dan paling tinggi tingkat kebenarannya. Adapun hipotesis penelitian yang diajukan terbagi menjadi dua, yaitu hipotesis kerja dan hipotesis nol.
3. BAB III PANYAJIAN DATA
27
penelitian dalam penelitian ini adalah self-regulated learning pada siswa kelas isti’dad Ulya B (kelas persiapan) di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fitroh Surabaya.
b. Deskripsi Hasil Penelitian: memaparkan data dan fakta variabel-variabel penelitian yang sudah diolah dan dianalisis. Dalam penelitian ini, data diperoleh hanya dari hasil kuesioner (angket).
c. Pengujian Hipotesis: menguji hipotesis yang sudah diajukan sesuai dengan hasil penghitungan statistik data penelitian. Dalam pengujiannya, hipotesis terlebih dahulu dituliskan dalam bentuk nol yang biasa disebut hipotesis nihil.
4. BAB IV ANALISIS DATA: bab ini menerangkan tentang proses pelaksanaan konseling dari awal hingga tahap akhir. Setelah itu analisis data juga berisi argumentasi teoritis terhadap hasil pengujian hipotesis disertai dengan memberikan alasan mengapa hipotesis bisa diterima atau ditolak. 5. BAB V PENUTUP:
a. Kesimpulan: berisi simpulan penelitian yang bersifat konseptual, singkat dan jelas serta terkait langsung dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian.
BAB II
COGNITIVE BEHAVIOUR THERAPY, SELF REGULATION,
SELF-REGULATED LEARNING
A. COGNITIVE BEHAVIOUR THERAPY (CBT)
1. Pengertian Cognitive Behaviour Therapy
Yaitu teknik modifikasi perilaku dan mengubah keyakinan
maladaptif. Ahli terapi membantu individu mengganti interpretasi yang
irasional terhadap suatu peristiwa dengan interpretasi yang lebih realistik,
atau membantu pengendalian reaksi emosional yang terganggu, seperti
kecemasan dan depresi dengan mengajarkan mereka cara yang lebih efektif
untuk menginterpretasikan pengalaman mereka.28
Terapi kognitif behavioral adalah terapi yang mempergunakan
gabungan antara tiga pendekatan yaitu biomedik, intrapsikik dan lingkungan.
Dalam melakukan terapi dengan teknik ini banyak mempergunakan prosedur
dasar untuk melakukan perubahan kognitif dan perilaku, misal seperti:
pengamatan diri, kontrak dengan di ri sendiri, dan artian lebih luas teknik ini
mengajarkan keterampilan kepada klien dalam menghadapi suasana yang
menimbulkan kegoncangan dikemudian hari.Terapi ini didasarkan pada teori
bahwa efek keadaan emosi, perasaan dan tindakan seseorang, sebagian besar
ditentukan oleh bagaimana seseorang tersebut membentuk dunianya, jadi
bagaimana seseorang berfikir, menentukan bagaimana perasaan dan
28 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam (Jakarta: PT Raja
29
reaksinya. Pikiran seseorang memberikan gambaran tentang rangkaian
kejadian didalam kesadarannya. Gejala perilaku yang berkelainan atau
menyimpang, berhubungn erat dengan isi pikiran, misalnya seorang
menderita ansiestas atau gangguan kecemasan, ketakutan, kekuwatiran yang
kuat karena mengantisipasi akan mengalami hal-hal yang tidak enak pada
dirinya. Dalam hal seperti ini, kognitif behavioral dipergunakan untuk
mengidentifikasi, memperbaiki perilaku yang sesuai, dan fungsi kognisi yang
terhambat, yang mendasari aspek kognitifnya yang ada. Terapis dengan
pendekatan kognitif behavior mengajar klien agar berpikir lebih realistic dan
sesuai sehingga dengan demikian akan mengilangkan atau mengurangi gejala
yang berkelainan yang ada.29
Sehingga bisa disimpulkan bahwa cognitive behaviour therapy
merupakan perpaduan antara aspek kognitif dengan behaviour dalam
sebuah pendekatan terapi. Sehingga dalam pandangan peneliti, cognitive behaviour therapy menawarkan lebih banyak teknik dalam proses penyelesaian masalah. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
perpaduan teknik dalam cognitive behaviour therapy dalam meningkatkan
self-regulated learning beberapa santri dari kelas isti’dad (kelas persiapan) di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya.
29 Singgih D. Gunarsah, Konseling dan Psikoterapi (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia,
30
2. Konsep Dasar Cognitive Behaviour Therapy (CBT)
Teori cognitive behavior pada dasarnya meyakini bahwa pola pemikiran manusia terbentuk melalui proses rangkaian stimulus – kognisi -
respon (SKR), yang saling berkait dan membentuk semacam jaringan
semacam SKR dalam otak manusia, dimana proses kognitif akan menjadi
faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia berpikir, merasa dan
bertindak.
Sementara dengan adanya keyakinan bahwa manusia memiliki
potensi untuk menyerap pemikiran yang rasional dan irasional, dimana
pemikiran yang irasional dapat menimbulkan gangguan emosi dan tingkah
laku, maka terapi cognitive behavior diarahkan kepada modifikasi fungsi
berpikir, merasa dan bertindak, dengan menekankan peran otak dalam
menganalisa, memutuskan, bertanya, berbuat, dan memutuskan kembali.
Dengan merubah status pikiran dan perasaannya, klien diharapkan dapat
merubah tingkah lakunya, dari negatif menjadi positif.30
Terapi ini didasarkan pada teori bahwa efek keadaan emosi, perasaan
dan tindakan seseorang, sebagian besar ditentukan oleh bagaimana seseorang
tersebut membentuk dunianya, jadi bagaimana seseorang berfikir,
menentukan bagaimana perasaan dan reaksinya. Pikiran seseorang
memberikan gambaran tentang rangkaian kejadian di dalam kesadarannya.
Gejala perilaku yang berkelainan atau menyimpang, berhubungan erat
30 Kasandra Oemarjoedi, Pendekatan Cognitive Behavior Therapy (Jakarta: Kreatif Media,
31
dengan isi pikiran, misalnya seseorang mengalami gangguan kecemasan,
ketakutan, kekhawatiran yang kuat karena mengantisipasi akan mengalami
hal-hal yang tidak enak pada dirinya. Dalam hal ini, kognitif behavioral
dipergunakan untuk mengidentifikasi, memperbaiki perilaku yang sesuai, dan
fungsi kognisi yang terhambat, yang mendasari aspek kognitifnya yang ada.
Terapis dengan pendekatan kognitif behavior mengajarkan kepada klien agar
berpikir lebih realistis dan sesuai sehingga dengan demikian akan
menghilangkan atau mengurangi gejala yang berkelainan yang ada.31
Cognitive behaviour therapy (CBT) sekarang adalah treatment psikologi yang menjadi pilihan untuk berbagai gangguan psikologis.
Batasan-batasan CBT secara konsisten terus diperluas dan dikembangkan, sementara
prinsip dasarnya tidak berubah. CBT digunakan secara luas dalam NHS
(National Health Service) di Inggris dan dikenal sebagai pemecah masalah yang cepat dan efektif, serta sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas
kehidupan.32
Kaitannya dengan dunia pembelajaran dan pendidikan, pendekatan
cognitive behaviour menekankan pemikiran pada perilaku dengan teknik-teknik untuk mengubah perilaku, mengubah miskonsepsi, memperkuat
kemampuan mencontoh, meningkatkan self control, dan membangun refleksi
mandiri yang konstruktif. cognitive behaviour therapy adalah penekanan modifikasi pada monitoring, mengatur, dan meregulasikan perilaku siswa,
31 Singgih D. Gunarsa, Konseling dan Psikoterapi (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2000),
hal. 227.
32
bukan dengan mengontrol faktor eksternal.33 Sehingga menurut peneliti, CBT
tepat jika digunakan dalam kaitannya dengan setting pendidikan dan
pembelajaran di kelas.
3. Tujuan Terapi Cognitive Behaviour Therapy (CBT)
Tujuan terapi Cognitive Behaviour Therapy adalah untuk mengajak klien untuk menentang pikiran (dan emosi) yang salah dengan menampilkan
bukti-bukti yang bertentangan dengan keyakinan mereka tentang masalah
yang dihadapi. Terapis diharapkan mampu menolong klien untuk mencari
keyakinan yang sifatnya dogmatis dalam diri klien dan secara kuat mencoba
menguranginya. Terapis harus waspada terhadap munculnya pemikiran yang
tiba-tiba yang mungkin dapat dipergunakan untuk merubah mereka.
Dalam proses ini, beberapa ahli Cognitive Behaviour Therapy
memiliki pendapat bahwa masa lalu tidak perlu menjadi fokus penting dalam
terapi, karenanya Cognitive Behaviour Therapy lebih banyak nekerja pada status kognitif masa kini untuk dirubah dari negatif menjadi positif.
Sementara sebagian ahli lain berusaha menghargai masa lalu sebagai bagian
dari hidup klien dan mencoba membuat klien menerima masa lalunya, untuk
tetap melakukan perubahan pada pola pikir masa kini demi mencapai
perubahan untuk masa yang akan datang.34
33 Khoe Yao Tung, Pembelajaran dan Perkembangan Belajar (Jakarta: PT Indeks, 2015),
hal. 174.
34 Kasandra Oemarjoedi, Pendekatan Cognitive Behavior Therapy (Jakarta: Kreatif Media,
33
4. Metode dan Teknik Cognitive Behaviour Therapy (CBT)
Pendekatan kognitif-behavioral kurang memerhatikan pemahaman
dan lebih berorientasi kepada tindakan klien yang menghasilkan perubahan.
Walaupun tiap praktisi memiliki gaya yang berbeda satu dengan yang lain,
namun kecenderungan dalam kognitif-behavioral adalah dilaksanakannya
pendekatan ini dalam sebuah program yang terstruktur langkah demi langkah.
Program seperti ini dapat mencakup:
1) Menciptakan hubungan yang sangat dekat antara konselor dan klien,
menjelaskan dasar pemikiran dari penanganan yang akan diberikan.
2) Menilai masalah, mengidentifikasi, mengukur frekuensi, intensitas dan
kelayakan masalah perilaku dan kognisi.
3) Menetapkan target perubahan. Hal ini seharusnya dipilih oleh klien, dan
harus jelas, spesifik dan dapat dicapai.
4) Penerapan teknik kognitif-behavioral (perilaku)
5) Memonitor perkembangan, dengan menggunakan penilaian berjalan
terhadap perilaku sasaran.
6) Mengakhiri dan merancang program lanjutan untuk menguatkan
generalisasi dari apa yang didapat.
Konselor kognitif-behavioral biasanya akan menggunakan berbagai
teknik intervensi untuk mendapatkan kesepakatan perilaku sasaran dengan
klien. Teknik yang dapat digunakan adalah:
34
2) Membingkai kembali isu; misalnya menerima kondisi emosional internal
sebagai sesuatu yang menarik ketimbang sesuatu yang menakutkan
3) Mengulang kembali penggunaan beragam pernyataan diri dalam role play dengan konselor
4) Mencoba penggunaan berbagai pernyataan diri yang berbeda dalam
situasi riil
5) Mengukur perasaan, misalnya dengan menempatkan perasaan cemas
yang ada saat ini dalam skala 0-100.
6) Menghentikan pikiran. Ketimbang membiarkan pikiran cemas atau
obsesional mengambil alih, lebih baik klien belajar untuk menghentikan
mereka dengan cara seperti menyabetkan karet ke pergelangan tangan.
7) Disensitisasi sistematis. Digantinya respon takut dan cemas dengan
respon relaksasi yang telah dipelajari. Konselor membawa klien
melewati tingkatan hierarki situasi untuk melenyapkan rasa takut.
8) Pelatihan keterampilan sosial atau asertifikasi.
9) Penugasan pekerjaan rumah. Mempraktikan perilaku baru dan strategi
kognitif antara sesi terapi.
10) In vivo exposure. Memasuki situasi paling menakutkan dengan didampingi oleh konselor. Peran konselor adalah memotivasi klien
menggunakan teknik kognitif-behavioral untuk mengatasi situasi
tersebut.35
35 John Mcleod, Pengantar Konseling:Teori dan Studi Kasus (Jakarta: Kencana, 2006), hal.
35
5. Prinsip-Prinsip Cognitive Behaviour Therapy (CBT)
Meskipun dalam pelaksanaan proses konseling harus disesuaikan dengan
karakteristik dan permsalahan yang terjadi pada konseli, namun tentunya
konselor harus memahami prinsip-prinsip yang ada pada Cognitive Behaviour Therapy (CBT). Hal ini dengan harapan konselor lebih memahami konsep dasar dan prinsip-prinsip yang ada pada Cognitive Behaviour Therapy, serta mempermudah dalam perencanaan proses konseling dari setiap sesi serta dalam menentukan teknik-teknik yang akan digunakan dalam
proses konseling.
Adapun prinsip-prinsip yang ada pada Cognitive Behaviour Therapy
(CBT) adalah sebagai berikut :
1) Prinsip 1: Cognitive Behavior Therapy berdasarkan pada formulasi yang
terus berkembang dari permasalahan konseli dan konseptualisasi kognitif
konseli.
2) Prinsip 2: Cognitive Behavior Therapy didasarkan pada pemahaman yang sama antara konselor dan konseli terhadap permasalahan yang
dihadapi konseli.
3) Prinsip 3: Cognitive Behavior Therapy memerlukan kolaborasi dan partisipasi aktif.
4) Prinsip 4: Cognitive Behavior Therapy berorientasi pada tujuan dan berfokus pada permasalahan.
36
6) Prinsip 6: Cognitive Behavior Therapy merupakan edukasi, bertujuan mengajarkan konseli untuk menjadi terapis bagi dirinya sendiri, dan
menekankan pada pencegahan.
7) Prinsip 7: Cognitive Behavior Therapy berlangsung pada waktu yang terbatas.
8) Prinsip 8: Sesi Cognitive Behavior Therapy yang terstruktur.
9) Prinsip 9: Cognitive Behavior Therapy mengajarkan konseli untuk
mengidentifikasi, mengevaluasi, dan menanggapi pemikiran
disfungsional dan keyakinan mereka.
10) Prinsip 10: Cognitive Behavior Therapy menggunakan berbagai teknik
untuk merubah pemikiran, perasaan, dan tingkah laku.36
Berdasarkan pemaparan prinsip-prinsip dalam cognitive behaviour therapy di atas, peneliti merasa bahwa semua prinsip sesuai dan relevan dengan penelitian yang kami lakukan. Pada prinsip nomor 10 menjelaskan
bahwa cognitive behaviour therapy menggunakan berbagai teknik untuk mengubah pemikiran, perasaan dan tingkah laku. Hal ini sesuai dengan
konsep penelitian yang kami lakukan, dimana dalam proses treatmentnya
peneliti melakukan beberapa teknik yang tujuannya adalah mampu
manyentuh aspek kognisi (pemikiran), emosi, dan perilaku klien. Peneliti
berusaha melakukan perbaikan dan penyusunan ulang terhadap pemikiran
klien yang masih kurang sesuai atau irasional, dan tidak realistik. Selain
36 Kasandra Oemarjoedi, Pendekatan Cognitive Behavior dalam Psikoterapi, (Jakarta:
37
itu, peneliti juga berusaha menciptakan dan melakukan monitoring
terhadap perilaku dari klien agar tercipta perilaku yang lebih baik dari
sebelumnya melalui konsep modifikasi perilaku.
6. Merencanakan Proses dan Sesi Konseling Cohnitive Behaviour Therapy
Perencanaan proses konseling merupakan salah satu tahap yang
penting untuk diperhatikan dan dilakukan sebelum proses konseling
dilaksanakan. Hal ini dimaksudkan agar proses konseling yang akan
dilakukan berjalan dengan efektif dan efisien. Meskipun dalam prakteknya
proses konseling menyesuaikan dengan kebutuhan atau permasalahan klien,
namun persiapan perencanaan proses konseling sangat penting untuk
dilakukan agar proses konseling berjalan seefektif mungkin dan tidak
memerlukan waktu yang cukup lama atau dalam banyak sesi.
Konseling Cohnitive Behaviour Therapy menawarkanrumusan dalam merencanakan proses konseling yang akan dilakukan bersama klien. Hal ini
sesuai dengan prinsip-prinsip yang ada dalam Cohnitive Behaviour Therapy,
serta didasarkan pada gejala-gejala yang ditunjukan oleh konseli,
konseptualisasi konselor, kerjasama yang baik antara konselor dan konseli,
serta evaluasi tugas rumah yang dilakukan oleh konseli.
38
12 sessi pertemuan. Setiap langkah disusun secara sistematis dan terencana.
[image:47.595.140.516.168.537.2]Berikut akan disajikan proses konseling Cognitive Behavior.37
Tabel 2.1: Proses Konseling Berdasarkan Konsep Aaron T. Back
No Proses Sesi
1 Assesmen dan diagnosa 1-2
2 Pendekatan kognitif 2-3
3 Formulasi status 3-5
4 Fokus konseling 4-10
5 Intervensi tingkah laku 5-7
6 Perubahan core beliefs 8-11
7 Pencegahan 11-12
Melihat kultur yang ada di Indonesia, penerapan sesi yang berjumlah
12 sessi pertemuan dirasakan sulit untuk dilakukan. Oemarjoedi
mengungkapkan beberapa alasan tersebut berdasarkan pengalaman,
diantaranya:
1) Terlalu lama, sementara konseli mengharapkan hasil yang dapat segera
dirasakan manfaatnya.
2) Terlalu rumit, di mana konseli yang mengalami gangguan umumnya
datang dan berkonsultasi dalam kondisi pikiran yang sudah begitu
berat, sehingga tidak mampu lagi mengikuti program konseling yang
merepotkan, atau karena kapasitas intelegensi dan emosinya yang
terbatas.
3) Membosankan, karena kemajuan dan perkembangan konseling menjadi
sedikit demi sedikit.
37 Kasandra Oemarjoedi, Pendekatan Cognitive Behavior dalam Psikoterapi, (Jakarta:
39
4) Menurunnya keyakinan konseli akan kemampuan konselornya, antara
lain karena alasan-alasan yang telah disebutkan di atas, yang dapat
berakibat pada kegagalan konseling.38
Berdasarkan beberapa alasan di atas, penerapan konseling Cognitive
Behavior di Indonesia sering kali mengalami hambatan, sehingga
memerlukan penyesuaian yang lebih fleksibel. Jumlah pertemuan konseling
yang tadinya memerlukan sedikitnya 12 sesi bisa saja diefisiensikan menjadi
kurang dari 12 sesi.
Sebagai perbandingan berikut akan disajikan efisiensi konseling
menjadi 5 sessi, dengan harapan dapat memberikan bayangan yang lebih jelas
dan mengundang kreativitas yang lebih tinggi. Berikut akan dipaparkan
[image:48.595.136.513.266.672.2]tahapan proses konseling cognitive behaviour therapy yang dijelaskan oleh kasandra oemarjoedi.
Tabel 2.2: Proses Konseling Kognitif-Perilaku (Cognitive Behavior)
yang Telah Disesuaikan dengan Kultur di Indonesia
No. Proses Sesi
1 Assesmen dan diagnosa 1
2 Mencari akar permasalahan yang bersumber dari emosi negatif, penyimpangan proses berfikir dan keyakinan utama yang berhubungan dengan gangguan.
2
3 Konselor bersama konseli menyusun rencana intervensi dengan memberikan konsekuensi positif-negatif kepada konseli.
3
4 Formulasi status, fokus terapi, intervensi tingkah laku. 4
5 Pencegahan relapse dan training self-help 5
38 Kasandra Oemarjoedi, Pendekatan Cognitive Behavior dalam Psikoterapi (Jakarta:
40
Sesi 1: asesmen dan diagnosa awal
Dalam sesi ini, terapis (konselor) diharapkan mampu:
1) Melakukan asesmen, observasi, anamnese, dan analisa gejala, demi
menegakkan diagnosa awal mengenai gangguan yang terjadi
2) Memberikan dukungan dan semangat kepada klien untuk melakukan
perubahan
3) Memperoleh komitmen dari klien untuk melakukan terapi dan
pemecahan masalah melalui proses konseling yang akan dilakukan
terhadap gangguan yang dialami
4) Menjelaskan kepada klien formulasi masalah dan situasi kondisi yang
dihadapi
Sessi 2: Mencari emosi negatif, pikiran otomatis, dan keyakinan utama yang berhubungan dengan gangguan
Beberapa tokoh meyakini bahwa sessi ini sebaiknya dilakukan di sessi
(paling tidak) 8-10. Namun pada prakteknya sesi ini lebih mudah dilakukan
segera setelah asesmen dan diagnosa, selain karena tuntutan klien akan
gambaran yang lebih jelas dalam waktu yang singkat, klien juga menuntut
adanya manfaat terapi yang dapat segera dirasakan dalam pertemuan kedua,
dalam sesi ini, terapis diharapkan mampu:
1) Memberikan bukti bagaimana sistem keyakinan dan pikiran otomatis
sangat erat hubungannya dengan emosi dan tingkah laku, dengan cara
menolak pikiran negatif secara halus dan menawarkan pikiran positif
41
2) Memperoleh komitmen klien untuk melakukan modifikasi secara
menyeluruh, mulai dari pikiran, perasaan sampai perbuatan, dari negatif
menjadi positif.
Pada umumnya, dalam sessi ini klien cukup dapat menerima
penjelasan terapis dan tertarik untuk mencoba bereksperimen dengan pikiran
dan perasaannya. Namun seringkali, mereka melaporkan kesulitan dalam
menerapkan teknik-teknik modifikasi pikiran dan perasaan, karena sistem
keyakinan meeka sudah membentuk semacam rajutan yang kokoh dalam
ingatannya. Semakin negatif pikiran seseorang semakin gelap dan tebal pula
rajutan distorsi kognitifnya. Oleh karena itu, hipnoterapi sudah dapat
dilkukan dalam sessi ini, karena umumnya klien akan dapat langsung
merasakan manfaat hipnoterapi segera setelah menyelesaikan sessi ini,
terutama terhadap perasaanya. Klien juga diberikan rekomendasi untuk
melakukan latihan di rumah, demi mencapai keterampilan “auto hypnose”
yang diharapkan dapat meningkatkan potensi keberhasilan terapi.
Sessi 3: Menyusun rencana intervensi dengan memberikan konsekuensi positif-konsekuensi negatif kepada klien dan kepada “significant persosns”
Pada dasarnya terapis diharapkan mampu menerapkan prinsip-
prinsip teori belajar dengan memberikan penguatan (reinforcement) dan hukuman (punishment) secara kreatif kepada klien dan keluarganya sbagai orang-orang yang signifikan dalam hidupnya. Terapis juga diharapkan dapat
42
merubah situasi. Namun seringkali terjadi, istilah hukuman dan hadiah
kurang dapa