• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di Jemaat Gereja Masehi Injili Timor Kodya Kupang T1 712006027 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di Jemaat Gereja Masehi Injili Timor Kodya Kupang T1 712006027 BAB IV"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

TRADISI PENJUALAN ANAK

DALAM PANDANGAN SOSIO-TEOLOGIS KRISTEN

Tradisi penjualan atau penyingkiran anak adalah suatu tradisi dalam upaya mendapatkan keselamatan atau kesehatan dan perubahan watak dari sang anak yang memiliki kemiripan wajah yang identik dengan salah satu orang tuanya. Jika anak tersebut tidak dijual atau dalam masyarakat Meto (Timor) disingkirkan, dalam arti benar-benar dipisahkan dari keluarga, maka akan selalu timbul pertengkaran dan ketidakharmonisan hubungan serta akibat terburuk adalah kematian bagi orang tua. Penjualan yang dimaksudkan di sini bukanlah penjualan dalam pengertian transaksi bisnis untuk mendapatkan keuntungan berupa uang, tetapi dalam pengertian adat, sang anak diserahkan, diberikan atau dalam pengertian yang “kasar” disingkirkan demi keselamatan sang anak dan orang tua.

Mengintegrasikan tradisi ini dengan teori Pertukaran yang dibahas dalam Bab II, Mauss berpendapat bahwa dalam masyarakat primitif, pemberian kepada sesama manusia dan kepada dewa-dewa atau penguasa tertinggi mempunyai tujuan yang lebih jauh untuk membeli perdamaian. 1 Mengacu pada pendapat Mauss, tradisi penjualan anak dalam budaya masyarakat Timor, sekilas terlihat mempunyai motif yang sama, yakni menjual, menyingkirkan atau menukar sang anak untuk ‘membeli sesuatu’ dari ’wujud tertinggi’ yang mengatur kehidupan manusia. Sesuatu dapat berupa kedamaian, keselamatan, kesehatan, keamanan, perubahan watak dan umur panjang bagi si anak yang dijual. Dengan kata lain, pihak keluarga menjual atau menukar sang anak untuk ‘membeli dan mendapatkan’ watak baik bagi sang anak dan keselamatan atau kesehatan bagi sang anak dan orang tua yang mirip wajahnya.

1

(2)

Terlihat jelas bahwa faktor ekonomi atau bisnis bukan merupakan alasan utama penjualan anak di kalangan masyarakat Timor, termasuk di tengah-tengah jemaat Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT). Tradisi ini kedengaran sangat tidak masuk akal, tetapi tetap dipertahankan karena faktor kesehatan atau keselamatan, faktor agama, faktor budaya, adat atau tradisi dan faktor sosial. Faktor yang paling dominan menjadi alasan dipertahankannya tradisi ini adalah faktor kuatnya tradisi turun-temurun untuk keselamatan sebagaimana yang telah dilakukan oleh para leluhur sebelumnya. Tradisi untuk mendapatkan keselamatan lebih kuat dari faktor sosial, ekonomi dan faktor-faktor lain karena keluarga telah merasakan adanya “masalah” akibat kemiripan wajah sang anak dan juga telah melihat bagaimana tradisi ini membuahkan hasil positif dalam keluarga turun temurun.

(3)

hubungan antara tradisi penjualan anak dan implikasi yang dihasilkan dari pemberlakuan tradisi ini di tengah-tengah masyarakat dan jemaat Kristen.

A. Pandangan Iman Kristen tentang Tradisi Penjualan Anak

Untuk dapat memperoleh pemahaman yang menyeluruh tentang pandangan iman Kristen terhadap tradisi penjualan anak, perlu untuk mengkaji pemikiran-pemikiran yang terkait tradisi ini dikaitkan dengan Firman Tuhan sebagai tolok ukur bagi kehidupan kekristenan.

1. Pembelian atau Pertukaran yang dilakukan Allah melalui Kematian Yesus.

Jika dicermati dengan lebih mendalam, tindakan penjualan atau penyingkiran anak pada dasarnya adalah menukarkan nyawa sang anak kepada penguasa tertinggi dengan kesehatan atau keselamatan dan pendamaian untuk mendapatkannya kembali. Mendapatkan kembali di sini adalah memperoleh kembali essensi dan eksistensi sang anak yang berbeda dari sebelumnya. Anak dipertukarkan atau disingkirkan agar jiwanya terselamatkan, didapatkan kembali dalam keadaan sehat, selamat, dan dengan watak yang telah “didamaikan”.

(4)

mempertukarkan anak-Nya yang tunggal, Yesus Kristus untuk memberikan keselamatan kekal dan kesejahteraan hidup kepada manusia di bumi. Paulus mengatakan kepada jemaat di Korintus, “Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar” (1 Korintus 6:20a). Selanjutnya Petrus mengatakan, “Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat (1 Petrus 1:18-19).

Gambaran ini menunjukkan bahwa Allah sendiri merelakan atau menyerahkan anak-Nya yang paling berharga agar manusia ciptaan-anak-Nya mendapatkan kembali keselamatan dan kesejahteraan hidup yang telah direbut oleh Iblis. Gambaran ini menunjukkan bahwa Allah sendiri adalah sumber dan pemilik keselamatan dan kesejahteraan hidup, termasuk sumber dari watak atau karakter yang baik.

(5)

keselamatan, kesehatan dan perubahan karakter sang anak adalah sebuah cara yang tidak sesuai dengan pemahaman iman Kristen.

Pandangan iman Kristen ini menjadi “filter” bagi setiap keluarga yang melakukan penjualan atau pertukaran anak demi keselamatan sang anak. Sebuah pertanyaan yang patut direnungkan oleh para orang tua yang menjual anaknya adalah, “Kepada kuasa siapakah nyawa sang anak diperjualkan atau ditukarkan? Kepada Allah yang benar di dalam Yesus Kristus sebagai sumber keselamatan dan kesejahteraan hidup, atau kepada kuasa-kuasa leluhur dan nenek moyang keluarga yang bersangkutan?”.

2. Pandangan Iman Kristen tentang Hubungan dengan Leluhur dalam Ritual

Penjualan Anak

Untuk menjawab kedua pertanyaan mendasar di atas, perlu melihat kembali latar belakang sejarah dan konteks awal terjadinya penjualan anak. Tradisi ini mulai dilakukan pada zaman di mana nenek moyang atau leluhur keluarga masih hidup dalam “zaman kegelapan”, jauh dari pengenalan akan Injil keselamatan dan wahyu Yesus Kristus. Kondisi ini seperti dikatakan Rasul Paulus, “Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu. Kamu hidup di dalamnya, karena kamu mengikuti jalan dunia ini, karena kamu mentaati penguasa kerajaan angkasa, yaitu roh yang sekarang sedang bekerja di antara orang-orang durhaka” (Efesus 2:1-2).

(6)

kepercayaan turun temurun bahwa keselamatan dan kesejahteraan hidup bersumber dari penguasa tertinggi yakni ilah-ilah dan roh-roh nenek moyang, sehingga para leluhur mencari jawaban atas kesakitan dan keselamatan dari roh-roh nenek moyang tersebut melalui ritual-ritual yang dikehendaki oleh arwah-arwah atau roh-roh leluhur sebelumnya.

Ritual yang dilakukan para leluhur keluarga yang melakukan pembelian dan penjualan anak untuk meminta persetujuan dari roh-roh nenek moyang adalah salah satu bukti adanya ikatan kontak dan perjanjian antara roh-roh nenek moyang dan keturunan keluarga itu turun-temurun. Pada saat pihak pembeli datang ke kuburan pada jam 2.00 subuh untuk bercakap-cakap dengan para leluhur, meminta persetujuan, dan menyembelih babi atau ayam untuk melihat kondisi hati binatang tersebut sebagai tanda penjualan direstui atau tidak; pada saat itulah terjadi kontak transaksi “jual-beli nyawa sang anak” dari keturunan demi keturunan dalam keluarga penjual dengan roh-roh leluhur sebelumnya. Karena itu sampai zaman sekarang tradisi penjualan anak terus berlangsung dan dilakukan dalam keluarga-keluarga yang orang tuanya pernah melakukan tradisi ini sebelumnya, karena ikatan perjanjian yang sejak awal dilakukan telah mengikat keturunan demi keturunan dalam keluarga itu tanpa sebuah pemutusan. Perjanjian di kuburan telah mewakili perjanjian yang mengikat seluruh keturunan; walaupun pada zaman modern ini, banyak keluarga yang melakukan tradisi ini tidak lagi harus pergi ke kuburan, tetapi ikatan sumpah dan janji antara leluhur dan anak-anak dari keturunan keluarga yang mengikat perjanjian ini tidak dapat terlepas dari tradisi ini. Ketua adat Bapak Ruben Klonel menegaskan hal ini, “... bagi keluarga yang sudah pernah melakukan tradisi ini secara turun temurun maka tradisi ini akan dilakukan terus menerus dalam keluarga”.2

2

(7)

Dalam kaitan dengan ikatan janji dan kerja sama dengan roh-roh para leluhur ini, sebuah pertanyaan yang penting untuk dpertanyakan adalah, “Bagaimanakah iman Kristen memandang hubungan atau kontak spiritual dengan roh-roh nenek moyang atau arwah-arwah leluhur?” Sebuah teguran Tuhan bagi bangsa Israel melalui nabi Yesaya mengatakan, “Dan apabila orang berkata kepada kamu: "Mintalah petunjuk kepada arwah dan roh-roh peramal yang berbisik-bisik dan komat-kamit," maka jawablah: "Bukankah suatu bangsa patut meminta petunjuk kepada allahnya? Atau haruskah mereka meminta petunjuk kepada orang-orang mati bagi orang-orang hidup?" (Yesaya 8:19). Ayat ini mengindikasikan bahwa orang-orang yang hidup seharusnya tidak meminta petunjuk kepada orang-orang mati atau arwah-arwah. Dengan kata lain Alkitab tidak membenarkan adanya kontak atau hubungan dengan orang-orang mati atau arwah para leluhur; sedangkan dalam sejarah tradisi penjualan anak, keluarga haruslah datang menjumpai para leluhur di kuburan dan bercakap-cakap meminta petunjuk tentang penjualan tersebut. Dengan meminta petunjuk dari para leluhur di kuburan, maka telah terjadi ikatan perjanjian antara keturunan keluarga itu turun temurun dengan roh-roh para leluhur.

(8)

tindakan praktis penjualan yang menghubungkan dengan gereja, hanyalah persoalan teknis yang tidak dapat membatalkan esensi janji sebelumnya dengan para leluhur. Menyimak paparan di atas, para keluarga yang terus melaksanakan tradisi penjualan anak perlu mempertanyakan, “Apakah tradisi ini benar-benar mengikatkan sang anak dan keluarga kepada Allah yang benar di dalam Yesus Kristus sebagai sumber keselamatan, atau tradisi ini semakin meneguhkan ikatan perjanjian yang pernah diadakan orang tua terdahulu dengan roh-roh nenek moyang atau leluhur yang telah meninggal?”. Jika mengamati penegasan Yesaya 8:19, secara esensi, di dalam dimensi spirit, sesungguhnya nyawa sang anak tidak diserahkan atau ditukarkan kepada Allah yang benar di dalam Yesus Kristus tetapi dijual dan diserahkan kepada roh-roh leluhur berdasarkan persetujuan terdahulu dengan nenek moyang.”

3. Pandangan Iman Kristen tentang Budaya, Adat dan Tradisi

Tradisi penjualan anak telah menjadi adat atau kebiasaan yang diterima baik dan membudaya dalam masyarakat. Untuk melihat pandangan iman Kristen terhadap tradisi ini, maka perlu melihat pandangan Firman Allah tentang kebudayaan, atau bagaimana Alkitab menyikapi kebudayaan. Allah sendiri menciptakan manusia yang hidup dalam adat kebiasaan dan budaya untuk kemuliaan-Nya. Manusia hidup dalam adat istiadat dan budaya; tetapi dalam dunia yang dikuasai dosa, banyak bentuk adat istiadat dan budaya telah dicemari dosa.

(9)

di mana yang menjadi pikiran inti adalah adanya suatu tata tertib kosmos (alam semesta) yang mengatur segala sesuatu di dalam kosmos dan yang mengatur sifat dan kelakuan tumbuh-tumbuhan, binatang, sungai-sungai, suku-suku dan lain-lain. Adat-istiadat suku ialah suatu kumpulan peraturan-peraturan yang harus memelihara dan melindungi hubungan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Adat-istiadat itu dianggap sebagai “pedoman hidup” yang mengatakan kepada manusia bagaimana harus bertindak, agar tata tertib kosmos jangan sampai tersinggung atau terlanggar. Oleh karena itu adat-istiadat melingkupi suatu persekutuan suku tertentu dengan segala larangan-larangan pantang dan tabu yang bermaksud melindungi masyarakat terhadap pelanggaran batas-batas dan pelanggaran tata tertib. Dapatkah adat-istiadat menjadi sumber pengetahuan yang sesungguhnya tentang baik dan jahat? Verkuyl mengatakan,

“Dipandang dari sudut iman Kriten, maka jawab pertanyaan itu ialah : tidak! ... karena di dalam kompleks adat-istiadat kuno itu tidak tampak batas-batas antara Tuhan dan kosmos. Segala agama suku adalah naturalistis. Di dalam agama-agama itu yang dikenal dan dimuliakan bukanlah Tuhan yang hidup, tetapi makhluklah yang dimuliakan : alam, bapa suku, kepala-kepala suku, tradisi suku, roh-roh orang yang mendirikan kampung itu dsb” 3

Bagaimanakah orang Kristen menyikapi dan hidup dalam adat istiadat dan kebudayaan untuk kemuliaan Allah? Ada lima cara orang Kristen menyikapi kebudayaan, yakni : (1) Sikap antagonis atau menentang adalah sikap menolak dan menghindari kebudayaan dengan semua bentuk pengungkapannya. (2) Sikap akomodasi dan kapitulasi adalah sikap menyesuaikan diri dengan kebudayaan. (3) Sikap dominasi, yang dimaksud adalah gereja mendominasi kebudayaan yang ada (4) Sikap dualistis adalah sikap menduakan, (5) Sikap pengudusan usaha kebudayaan adalah sikap

3

(10)

penyucian usaha dalam kebudayaan sesuai Firman Tuhan sehingga adat dan budaya tidak menentang kehendak Tuhan. 4

Menurut Verkuyl, Perjanjian Lama mengungkapkan teguran para nabi Tuhan jika bangsa Israel bergaul dan membuka diri terhadap bangsa-bangsa kafir, seperti Moab dan Edom dengan segala adat-istiadatnya yang memuja kehormatan, kemegahan, kekuasaan suku dan negeri sendiri serta memuja dan tunduk bukan kepada Pencipta langit dan bumi. Pada hakekatnya itulah yang terdapat di dalam kompleks adat-istiadat itu. Di sini yang terdengar menggema bukanlah suara Allah yang hidup, tetapi suara darah, suara alam, suara nenek moyang dan lain-lain.

“Adat-istiadat itu tidak dapat menjadi sumber pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat, karena adat-istiadat itu penuh takhyul dan guna-guna... Oleh sebab itu adat-istiadat adalah suatu sumber yang keruh, dan dari sumber itu kita tidak dapat tahu apa yang baik dan apa yang jahat itu”5

Dalam konteks adat-istiadat dan budaya seperti ini, di mana menyangkal hakekat Pencipta langit dan bumi dan mengarahkan kepada pemujaan alam, bapa suku, kepala-kepala suku, tradisi suku, roh-roh orang yang sudah meninggal; maka orang Kristen harus bersikap antagonis atau menolak adat-istiadat tersebut dalam segala bentuk pengungkapannya.

Ada juga adat-istiadat dan budaya yang telah dipengaruhi Hukum Taurat dan Injil. Norma-norma Hukum Taurat dan Injil telah mengadakan banyak perubahan di dalam adat-istiadat kuno, adat-istiadat itu diperbaharui, sebagian dihapuskan dan sebagian diganti. “Air anggur yang baru (Injil dan Hukum Taurat) telah dikenal dan orang telah mendapatkan “kantong kulit yang baru” (bentuk-bentuk adat yang baru), sebagai

4

Ibid, Etika Kristen dan Kebudayaan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979), 37-52

(11)

pengganti kantong kulit yang lama (adat-istiadat yang lama) (bandingkan Mat.9:17, Mrk 2:22; Luk.5:37) 6

Dalam praktek pelaksanaan tradisi penjualan anak zaman sekarang, memang orang yang melaksanakannya tidak lagi melakukan ritual kuburan, juga mengawali dan mengakhiri pelaksanaannya dengan doa, dan uang pembelian dipakai sebagai nazar ke gereja. Jika dicermati dengan mendalam, pelaksanaan tradisi ini sudah “dikemas” dalam cara Kristen, dengan kata lain, “kantong kulitnya telah diperbarui” tetapi esensinya adalah esensi yang lama, atau “air anggurnya masih tetap air anggur yang lama”. Inti dari pelaksanaan tradisi ini adalah menyerahkan sang anak kepada perjanjian dengan para leluhur untuk mendapatkan keselamatan, kesehatan dan perubahan karakter. Ini adalah “air anggur yang lama”, yang dilaksanakan dengan cara-cara Kristen atau “kantong kulit yang baru.” Yesus berkata bahwa anggur yang baru hendaklah diisikan dalam kantong kulit yang baru agar kedua-duanya terpelihara (Matius 9:17).

Dalam Perjanjian Baru, Yesus mengecam ahli-ahli Taurat dan orang Farisi karena melanggar perintah Allah demi adat-istiadat nenek moyang. Dalam Matius 15:4-6, Yesus memberi salah satu contoh bahwa orang-orang Yahudi, ahli-ahli Taurat dan orang Farisi melanggar perintah Allah dalam hal menghormati orang tua dengan jalan menggunakan materi atau uang yang seharusnya dipakai untuk pemeliharaan orang tua, tetapi digunakan untuk persembahan kepada Allah, sesuai adat-istiadat nenek moyang Israel. Menurut Yesus, tindakan mereka yang mengutamakan persembahan kepada Allah menurut adat-istiadat nenek moyang menyebabkan perintah Allah untuk menghormati orang tua bukan lagi menjadi satu kewajiban. “Orang itu tidak wajib lagi menghormati bapanya atau ibunya. Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadatmu sendiri” (Matius 15:6). Bandingkan juga teguran Yesus yang serupa

6

(12)

dalam Markus 7:9,13, "Sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Allah, supaya kamu dapat memelihara adat istiadatmu sendiri”. “Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadat yang kamu ikuti itu”.

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Allah memberikan manusia hidup dan berkembang dalam adat-istiadat dan budaya, tetapi perintah Allah haruslah menjadi dasar utama dari kehidupan manusia. Esensi dari setiap perintah dan aturan-aturan adat seharusnya bukan pada setiap pantangan dan larangan-larangan yang lahiriah atau ketaatan kepada leluhur dan nenek moyang, tetapi pada ketaatan akan perintah dan kehendak Allah, serta pemujaan dan penghormatan akan Allah. Verkuyl berpendapat bahwa di daerah-daerah yang telah mendengar Injil sekalipun, adat istiadat belum merupakan sumber yang murni buat pengetahuan tentang kehendak Tuhan. Tiap-tiap bentuk adat harus diuji dengan perintah-perintah Tuhan, dan manusia harus belajar mengambil keputusan di hadirat Tuhan. “... kita sama sekali tak boleh berpendirian bahwa kehendak Tuhan dapat kita ketahui dari adat-istiadat. Kehendak Tuhan itupun tidak dapat kita ketahui dari adat-istiadat kuno sebelum agama Kristen”7

Jika dikaitkan dengan tradisi penjualan anak di Timor, beberapa pertanyaan yang perlu direnungkan adalah : apakah adat-istiadat ini mengarahkan sang anak dan keluarga pada pemujaan atau penyembahan kepada Allah yang benar di dalam Yesus Kristus atau mengarahkan pada pemujaan dan penundukan diri pada roh-roh leluhur yang sudah meninggal? Apakah tradisi penjualan anak adalah salah satu bentuk ketaatan kepada perintah Allah atau bentuk ketaatan kepada adat-istiadat dan tradisi turun-temurun yang telah berlaku dalam keluarga yang orang tuanya telah melakukan tradisi ini sebelumnya? Jika mencermati dengan mendalam, esensi tradisi penjualan atau penyingkiran anak yang dilakukan masyarakat Timor dengan cara menyingkirkan atau memisahkan anak

7

(13)

dari keluarganya (walaupun sekarang dikatakan dipisahkan hanya dalam pengertian pisah secara adat), dapatlah dikatakan bahwa tradisi ini lebih mengutamakan adat-istiadat nenek moyang dari pada perintah Allah, karena Firman Allah tidak pernah memerintahkan orang tua untuk melepaskan atau menyingkirkan anaknya sendiri demi mendapatkan kesehatan, keselamatan dan perubahan karakter. Firman Allah memerintahkan agar anak-anak dibawa kepada Tuhan untuk diberkati dan mendapatkan keselamatan dari Tuhan sendiri.

4. Pandangan Iman Kristen tentang Makna Anak dan Kondisi Psikologis Anak yang

Dipisahkan atau Disingkirkan

Setiap manusia yang terlahir di dunia mempunyai sebuah kebutuhan dasar yang sama yaitu kebutuhan untuk dicintai dan memberikan cinta, diinginkan dan menginginkan, dimiliki dan memiliki, diterima dan menerima. Abraham Maslow mendaftarkan kebutuhan cinta, penerimaan dan memiliki sebagai salah satu kebutuhan dasar, being needs (B-needs) dalam hierarki kebutuhannya.8Being needs berkaitan dengan kebutuhan seseorang untuk membentuk diri seseorang menjadi manusia seutuhnya. Setiap anak yang terlahir dan bertumbuh dalam satu keluarga sangat membutuhkan keyakinan bahwa dirinya diinginkan, dinanti-nantikan dan diterima di tengah-tengah keluarga. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi atau sang anak merasa bahwa dirinya tidak diinginkan, tidak diterima oleh orang-orang yang dikenalnya sebagai keluarga, maka akan berdampak kekosongan dalam jiwanya. Kesadaran sang anak bahwa dirinya tidak diinginkan dan disingkirkan dari tengah-tengah keluarga karena ada hal-hal dalam dirinya yang dapat mendatangkan malapetaka bagi salah satu orang tua yang mirip dengannya, akan menimbulkan luka secara psikologis dalam diri sang anak.

8

(14)

Ketika seorang anak lahir dan bertumbuh, sangat penting baginya untuk merasakan kenyamanan secara fisik dan perlindungan secara psikologis untuk pembentukan konsep dirinya. Ia akan mengalami proses attachement atau kelekatan dengan orang-orang dekat di sekelilingnya. Kelekatan dengan orang-orang yang mengasihinya akan membentuk konsep diri yang kuat dalam diri sang anak. Anak akan bertumbuh menjadi pribadi yang merasa nyaman (secure) dengan dirinya sendiri karena mengetahui bahwa dirinya diinginkan dan dikasihi. Sebaliknya perasaan tidak diinginkan dan penolakan akan menanamkan konsep diri yang salah, menguatkan pembentukan pribadi yang tidak nyaman, anak akan membenci diri sendiri dan bertumbuh menjadi pribadi yang hidup dalam rasa tertolak dan terluka.

Seorang anak yang lahir sangat membutuhkan ada di tengah-tengah keluarganya, karena keluarga adalah suatu sistem, suatu kesatuan yang dibentuk oleh bagian-bagian yang saling berhubungan dan berinteraksi. Hubungan yang tidak hanya berlangsung satu arah, tetapi suatu hubungan timbal balik yang berlangsung dua arah di mana orang tua berinteraksi dengan anak dan sebaliknya anak berinteraksi dengan orang tua,. 9 Interaksi dan hubungan timbal balik antara anak dan orang tua karena kasih, akan membentuk pribadi anak menjadi seorang dengan konsep diri dan kepribadian yang stabil dalam emosi, pemikiran dan spirit. Pola pengasuhan dan penerimaan seperti ini sejalan dengan ajaran Tuhan Yesus untuk menerima dan menyambut seorang anak kecil dengan penuh kasih, memberkati anak-anak, bukan menyesatkan mereka.

Alkitabmemberi penghargaan istimewa kepada anak-anak, sebagaimana ditemui dalam beberapa bagian kitab Mazmur dan contoh-contoh dalam Perjanjian Baru. Mazmur 127:3-5 mengatakan, “Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada TUHAN, dan buah kandungan adalah suatu upah. Seperti anak-anak panah di tangan

9

(15)

pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda. Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya dengan semuanya itu. Ia tidak akan mendapat malu, apabila ia berbicara dengan musuh-musuh di pintu gerbang”10

Dalam Perjanjian Baru, Yesus memberikan penghargaan dan penghormatan terhadap anak-anak, memeluk dan sambil meletakkan tangan-Nya atas mereka Ia memberkati mereka. Yesus mengatakan bahwa siapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil yang percaya kepada-Nya, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ditenggelamkan ke dalam laut. “Barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku." (Matius 18:5). Ayat-ayat dalam pasal ini menunjukkan perintah Allah tentang bagaimana seharusnya memperlakukan seorang anak, yakni tidak menyesatkannya tetapi menyelamatkannya dengan jalan membawanya kepada Tuhan. Yesus mengajarkan agar tidak memandang rendah dan menyesatkan seorang anak kecil, karena anak-anak mempunyai malaikat mereka di Sorga yang selalu memandang wajah Allah Bapa. Yesus menyatakan isi hati Allah tentang anak-anak dalam pernyataan-Nya, “Demikian juga Bapamu yang di sorga tidak menghendaki supaya seorangpun dari anak-anak ini hilang." (Matius 18: 14).11

Pernyataan ini menunjukkan bahwa anak-anak kecil mempunyai makna yang berharga di mata Tuhan. Allah menghendaki keselamatan setiap anak.12. Allah memperhatikan kebutuhan dasar dari sang anak, yakni penerimaan, penyambutan, penghargaan, cinta kasih dan keselamatan. Allah tidak saja memperhatikan kebutuhan jasmani yakni sandang, pangan dan papan bagi sang anak, tetapi memperhatikan kebutuhan psikologis, dan keselamatan jiwa dan roh sang anak. Yesus sendiri berkata, “Biarkanlah anak-anak itu datang kepada-Ku, dan jangan kamu menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah” (Lukas 18:16, Matius 19:14).

10

Alkitab Terjemahan Baru, (LAI, Jakarta: 2000), Mazmur 127:3-5

11

Alkitab Terjemahan Baru, (Jakarta: LAI,2000),Matius 18:5,14

12

(16)

Tradisi penjualan anak mengatakan bahwa ada anak (yang memiliki kemiripan yang identik dengan orang tuanya) yang bisa mendatangkan masalah, percekcokan, sakit penyakit dan kematian di tengah keluarga, sehingga harus disingkirkan, dan dijual atau diserahkan kepada orang lain, tetapi Firman Allah mengatakan bahwa setiap anak adalah suatu upah atau reward, milik pusaka Tuhan, yang harus diterima, disambut, dikasihi, dihargai dan dibawa kepada Tuhan, sumber keselamatannya.

Dilihat dari motif dan tujuannya, benar bahwa menjual atau menyingkirkan anak didasari semata-mata oleh tujuan untuk keselamatan sang anak, tetapi jika melihat esensi yang lebih mendalam dari tradisi ini, sesungguhnya orang tua sedang menyerahkan jiwa dan roh sang anak dalam pengasuhan para leluhur yang ikatan perjanjian telah disepakati sebelumnya oleh para leluhur terdahulu. Dalam tradisi penjualan atau penyingkiran anak, orang tua bermaksud menunjukkan kasih dan tanggung jawab terhadap anak, tetapi tidak menyadari konsekuensi terdalam bagi jiwa dan roh sang anak.

(17)

luka seumur hidup dalam jiwanya karena mengetahui bahwa dirinya adalah pembawa sial dan mendatangkan malapetaka atau kutukan di tengah-tengah keluarga. Luka secara psikologis karena tidak diinginkan, penolakan dan penyingkiran dari keluarga lebih berkuasa mematikan masa depan sang anak dari pada sakit fisik yang dialami.

Mengacu dari paparan di atas tentang pandangan Alkitab tentang makna anak kondisi psikologis anak yang disingkirkan, dapat disimpulkan bahwa tradisi penjualan dan penyingkiran anak dengan segala motif dan alasannya, bukanlah sebuah cara yang tepat untuk menunjukkan kasih kepada sang anak.

B. Implikasi Etis-Teologis dalam Jemaat-jemaat Gereja Masehi Injili di Timor

(GMIT)

Setelah mengkaji tradisi penjualan atau penyingkiran anak dan menganalisanya dari sudut pandang iman Kristen, disimpulkan beberapa implikasi etis yang dihasilkan dari pemberlakuan tradisi ini. Tradisi penjualan atau penyingkiran anak menunjukkan besarnya kasih keluarga atau orang tua terhadap sang anak yang ditunjukkan dengan kerelaan melepaskan atau menyerahkan anaknya kepada orang lain demi mendapatkan kembali keselamatan sang anak. Motivasi kasih orang tua terhadap anak dalam pemberlakuan tradisi ini adalah sebuah contoh yang perlu dimiliki oleh semua orang tua.

Upaya melakukan penjualan atau penyingkiran anak adalah salah satu bentuk antisipasi untuk menolak bahaya yang akan datang menimpa keluarga akibat kemiripan tersebut. Implikasinya menggambarkan rasa tanggung jawab keluarga atau orang tua terhadap masalah atau bahaya yang dirasakan sedang dihadapi oleh sang anak dan oleh salah satu orang tua yang mirip dengan sang anak.

(18)

keluarga yang dahulu pernah melakukan tradisi ini, maka keturunannya pun akan terus melakukan tradisi ini turun-temurun. Hal ini menunjukkan adanya rasa hormat dan ketaatan dari keluarga terhadap tradisi atau adat kebiasaan yang telah dilakukan di tengah-tengah keluarga turun-temurun. Suatu bukti bahwa anak-anak atau keturunan dari keluarga yang pernah melakukan tradisi ini sebelumnya menghormati kesepakatan yang telah diikat oleh orang-orang tua terdahulu dengan para leluhur.

Pelaksanaan tradisi penjualan atau penyingkiran anak pada zaman dulu melibatkan ritual khusus di kuburan untuk meminta persetujuan para leluhur, berbeda dengan pelaksanaannya pada zaman sekarang, di mana cara-cara Kekristenan ikut diterapkan, misalnya didahului dan diakhiri dengan doa, juga uang pembelian dipakai sebagai nazar ke gereja. Implikasi dari perubahan yang terlihat adalah masyarakat adat tidak menutup diri terhadap unsur Kekristenan dalam adat dan kebudayaan, sekalipun terlihat kesan bahwa iman sedang dicampurbaurkan dengan adat dan tradisi, namun sikap keterbukaan masyarakat adat dalam proses pelaksanaan yang “dikemas” dengan cara Kristen, adalah sebuah awal yang menjanjikan bagi pembaharuan yang lebih mendalam bagi kehidupan spiritual.

(19)

ini menunjukkan bahwa jiwa dan roh sang anak telah terjual kepada para leluhur. Mereka menerima jiwa dan roh sang anak lalu mengembalikan kesehatannya, sesuai perjanjian terdahulu.

Untuk menyikapi tradisi penjualan atau penyingkiran anak, gereja perlu melihat hati Tuhan terhadap anak-anak, pandangan Alkitab tentang makna seorang anak, dan perintah firman Tuhan tentang memperlakukan seorang anak. Gereja perlu mempertanyakan, apakah tradisi penjualan dan penyingkiran anak adalah budaya yang menjunjung tinggi Firman Allah atau budaya yang menentang kehendak Tuhan? Jika menjual atau menyingkirkan anak adalah tradisi atau budaya yang bertentangan dengan perintah dan kehendak Allah, maka gereja perlu melakukan usaha “pengudusan kebudayaan”.

“Pengudusan sebagai kesaksian iman Kristiani dalam kehidupan berbudaya 13 Sikap pengudusan yaitu umat beriman harus menggunakan firman Tuhan untuk menguduskan kebudayaan itu sehingga terjadi transformasi budaya ke arah memuliakan Allah, tidak menduakan Allah, tidak menyembah berhala dan mengasihi manusia dan kemanusiaan”14

Faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah faktor psikologis yang dialami anak yang dijual atau disingkirkan. Sekalipun anak diberitahu bahwa penjualan atau penyingkirannya semata-mata dimotivasi oleh kasih demi keselamatannya dan kebaikan seluruh keluarga, namun kesadaran bahwa dirinya adalah anak yang mendatangkan masalah, sakit penyakit dan percekcokan, bahkan kematian bagi salah satu orang tuanya, dapat menumbuhkan rasa tertolak dan luka psikologis dalam diri sang anak. Kenyataan bahwa sang anak harus diserahkan kepada orang lain dan memiliki orang tua yang baru, dapat membuat sang anak mengalami kebingungan dalam proses penemuan jati dirinya yang sesungguhnya. Gereja perlu mengkaji pelaksanaan tradisi ini dengan mempertimbangkan dampak psikologis yang dialami oleh seorang anak yang dijual atau disingkirkan dari tengah-tengah keluarga.

13

Ema Yunita Amelia Dima, “Bayar Tulang Kepala” (Suatu Kajian Sosio-Teologis terhadap Upacara Kematian di Jemaat Siloam Bitobe Kecamatan Amfoang Selatan, (Salatiga, 2008) dikutip dalam www.yabina.org/Tanyajawab/Feb_02.htm

14

(20)

Referensi

Dokumen terkait