• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Adversity Quotient dengan Prestasi Akademik pada Mahasiswa BK FKIP UKSW Angkatan 2013 T1 132010060 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Adversity Quotient dengan Prestasi Akademik pada Mahasiswa BK FKIP UKSW Angkatan 2013 T1 132010060 BAB II"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Prestasi Akademik

2.1.1 Pengertian Prestasi Akademik

Tulus Tu’u (2004) mengemukakan bahwa prestasi adalah hasil

yang dicapai oleh seseorang ketika mengerjakan tugas atau kegiatan tertentu. Sedangkan prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan atau ketrampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka yang diberikan oleh guru.

Djamarah (2002) mendefinisikan prestasi akademik adalah hasil yang diperoleh berupa kesan-kesan yang mengakibatkan perubahan dalam diri individu sebagai hasil akhir dari aktivitas belajar. Sedangkan definisi prestasi akademik menurut Azwar (2002) adalah bukti peningkatan atau pencapaian yang diperoleh seorang siswa sebagai pernyataan ada tidaknya kemajuan atau keberhasilan dalam program pendidikan.

(2)

kegiatan belajar di Sekolah atau Perguruan Tinggi yang bersifat kognitif dan biasanya ditentukan melalui pengukuran dan penilaian.

Selanjutnya menurut Suryabrata (2006) prestasi akademik adalah hasil belajar terakhir yang dicapai oleh siswa dalam jangka waktu tertentu, yang mana di Sekolah prestasi akademik siswa biasanya dinyatakan dalam bentuk angka atau simbol tertentu. Kemudian dengan angka atau simbol tersebut, orang lain atau siswa sendiri akan dapat mengetahui sejauhmana prestasi akademik yang telah dicapai. Dengan demikian, prestasi akademik di Sekolah merupakan bentuk lain dari besarnya penguasaan bahan pelajaran yang telah dicapai siswa, dan rapor bisa dijadikan hasil belajar terakhir dari penguasaan pelajaran tersebut.

(3)

Dalam dunia pendidikan formal, pentingnya pengukuran prestasi akademik tidaklah dapat disangsikan lagi. Sebagaimana diketahui, proses pendidikan formal adalah suatu proses yang kompleks yang memerlukan waktu, dana dan usaha serta kerjasama berbagai pihak. Berbagai aspek dan faktor terlibat dalam proses pendidikan secara keseluruhan. Tidak ada pendidikan yang secara sendirinya berhasil mencapai tujuan yang digariskan tanpa interaksi berbagai faktor pendukung yang ada dalam sistem pendidikan tersebut. Betapa jelasnya pun suatu tujuan pendidikan telah digariskan, tanpa usaha pengukuran maka akan mustahil hasilnya dapat diketahui. Tidaklah layak untuk menyatakan adanya suatu kemajuan atau keberhasilan program pendidikan tanpa memberikan bukti peningkatan atau pencapaian yang diperoleh. Bukti peningkatan atau pencapaian inilah yang harus diambil dari pengukuran prestasi secara terencana (Arini, 2008).

2.1.2 Tujuh Kemampuan Para Peraih Prestasi dalam Mengubah Kegagalan Menjadi Batu Loncatan

Menurut Maxwell (2000) tujuh kemampuan para peraih prestasi yang membuat mereka bisa gagal, tetapi tidak memasukkannya dalam hati, dan terus maju, sebagai berikut :

1. Para Peraih prestasi menolak penolakan

(4)

diri sendiri atau menyalahkan peristiwa-peristiwa di luar diri kita. Orang yang menyalahkan peristiwa-peristiwa di luar dirinya tidak kehilangan harga dirinya ketika terjadi peristiwa-peristiwa buruk. 2. Para peraih prestasi melihat bahwa kegagalan bersifat sementara

Orang yang terlalu mengambil hati pada kegagalan memandang persoalan sebagai lubang yang menjebaknya. Namun para peraih prestasi melihat bahwa setiap kesusahan bersifat sementara bukan sebagai sesuatu yang sifatnya permanen.

3. Para peraih prestasi memandang kegagalan sebagai insiden yang berdiri sendiri

Jika para peraih prestasi gagal, mereka memandangnya sebagai peristiwa yang sementara sifatnya, bukan tragedi seumur hidup. Kegagalan tidak perlu dimasukkan ke dalam hati. Jika seseorang ingin sukses, jangan biarkan kejadian apapun merusak pandangannya terhadap dirinya sendiri.

4. Para peraih prestasi menjaga harapan tetap realistis

Semakin sulit prestasi yang ingin dicapai, semakin besar persiapan mental yang dibutuhkan untuk mengatasi hambatan-hambatan serta bertekun dalam jangka panjang. Dibutuhkan waktu, upaya, serta kemampuan untuk mengatasi kemunduran, serta mampu menjalani kehidupan ini dengan harapan yang masuk akal dan tidak membiarkan perasaan mengendalikan diri kita jika ada hal-hal yang tidak berjalan dengan baik.

5. Para peraih prestasi memfokuskan perhatian pada kekuatan-kekuatan mereka

Satu lagi cara peraih prestasi agar tidak memasukkan kegagalan ke dalam hati adalah dengan memfokuskan perhatian pada kekuatan-kekuatannya dengan mengembangkan serta memaksimalkan kekuatan-kekuatan yang ada dalam dirinya.

6. Para peraih prestasi menggunakan berbagai cara untuk meraih prestasi

Para peraih prestasi bersedia menggunakan berbagai cara untuk menghadapi persoalan. Itu penting dalam setiap bidang kehidupan. Menurut Brian dalam bukunya The Psychology of Achievement, para peraih prestasi terus mencoba dan menyesuaikan diri hingga menemukan sesuatu yang mendatangkan hasil bagi mereka.

7. Para peraih prestasi mudah bangkit kembali

(5)

Dengan demikian tujuh kemampuan para peraih prestasi dalam mengubah kegagalan menjadi batu loncatan adalah para peraih prestasi menolak penolakan, para peraih prestasi melihat bahwa kegagalan bersifat sementara, para peraih prestasi memandang kegagalan sebagai insiden yang berdiri sendiri, para peraih prestasi menjaga harapan tetap realistis, para peraih prestasi memfokuskan perhatian pada kekuatan-kekuatan mereka, para peraih prestasi menggunakan berbagi cara untuk meraih prestasi, dan para peraih prestasi mudah bangkit kembali.

2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Belajar di Perguruan Tinggi

Menurut Sudarman (2004) faktor lain yang tak kalah penting dalam mempengaruhi prestasi belajar, adalah sebagai berikut :

a. Sarana dan Prasarana yang Memadai

Hal ini menyangkut alat-alat belajar yang memadai, tempat belajar yang nyaman, serta biaya yang mencukupi. Belajar di Perguruan Tinggi membutuhkan biaya yang cukup besar. Bukan hanya biaya kuliah tetapi juga biaya-biaya lain, seperti biaya makan, transportasi, praktikum, serta sewa rumah dan biaya makan sehari-hari bagi yang berasal dari luar kota. Jika ada yang mengalami masalah biaya, maka kuliah pun akan terganggu. Tidak jarang mahasiswa yang drop out di tengah jalan karena faktor ini. Oleh karena itu sebelum memasuki Perguruan Tinggi alangkah bijaknya bila masalah biaya dimusyawarahkan dahulu bersama orang tua. Misalnya kalau masuk Perguruan Tinggi favorit pilihan, berapa biaya yang harus dipersiapkan untuk pendidikan, sewa rumah, biaya hidup sehari-hari (transportasi, makan, minum, pakaian, kesehatan). Kalau memang kondisi keuangan tidak memungkinkan, lebih efektif dan efisien untuk mengikuti kuliah di kota terdekat.

b. Lingkungan Belajar yang Mendukung

(6)

Tinggi. Oleh karena itu, jika seseorang memasuki program studi atau jurusan karena tekanan orang tua, atrau ikut-ikutan teman, maka tidak akan mendapatkan hasil yang maksimal. Lingkungan yang menyenangkan, yang sesuai dengan yang diinginkan, sangat membantu keberhasilan seseorang dalam belajar. Lingkungan yang menyenangkan tidak hanya yang berkaitan dengan akademik, tetapi juga lingkungan yang berkaitan dengan tempat tinggal. Jika seseorang tinggal di tempat baru, tempat kos misalnya, maka kenalilah lingkungannya. Dalam hal ini berlaku falsafah hidup “Dimana bumi di injak disitu langit dijunjung”, artinya hormatilah orang lain, jangan bersikap sombong dan angkuh terhadap orang lain. Lingkungan yang baik dan ramah akan membuat seseorang merasa nyaman, dan membantu seseorang dalam belajar. Lingkungan sekitar, baik secara geografis maupun psikologis akan sangat mempengaruhi keberhasilan belajar seseorang di Perguruan Tinggi. Lingkungan geografis misalnya lingkungan tempat tinggal yang tidak jauh dari kampus, dilalui kendaraan umum, dan sebagainya. Sedangkan lingkungan secara psikologis adalah lingkungan yang menyangkut hubungan seseorang dengan keluarga dan teman-teman. Lingkungan yang kondusif akan sangat mendukung keberhasilan seseorang. Sebaliknya lingkungan yang tidak kondusif seperti gaduh, kacau, banyak maksiat, akan sangat menganggu konsentrasi belajar seseorang.

c. Mengetahui tentang cara kerja otak

(7)

Jadi faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan seseorang belajar di Perguruan Tinggi adalah sarana dan prasarana yang memadai, lingkungan belajar yang mendukung, dan mengetahui tentang cara kerja otak.

2.1.4 Pengukuran Prestasi Akademik

Penilaian akhir prestasi mahasiswa dinyatakan dengan lambang nilai berupa aksara A, AB, B, BC, CD, D, dan E yang dikaitkan dengan angka kualitas (Sistem Penilaian UKSW, 2009).

Berdasarkan Keputusan Rektor Universitas Kristen Satya Wacana Nomor : 002/Kep/Rek/I/2009. Tata cara penggolongan nilai pada ayat (4) pasal ini mengacu kepada Lampiran 02 dan Tabel 03 dalam peraturan ini.

Lambang, nilai, arti, dan angka kualitas nilai adalah sebagai berikut :

A = Bagus sekali, dengan angka kualitas 4,0 per sks AB = Lebih dari bagus, dengan angka kualitas 3,5 per sks B = Bagus, dengan angka kualitas 3,0 per sks

BC = Lebih dari cukup, dengan angka kualitas 2,5 per sks C = Cukup, dengan angka kualitas 2,0 per sks

CD = Kurang dari cukup, dengan angka kualitas 1,5 per sks D = Kurang, dengan angka kualitas 1,0 per sks

E = Gagal/tidak lulus, dengan angka kualitas 0 per sks L = Lulus, tanpa angka kualitas

(8)

Pengukuran prestasi akademik dalam penelitian ini yaitu dengan mengambil data nilai IPK dari mahasiswa Bimbingan dan Konseling angkatan 2013 dengan berdasarkan predikat lulus didasarkan IPK mahasiswa (Buku Peraturan Penyelenggara Kegiatan Akademik Dalam Sisten Kredit Semester UKSW, 2009) yang dinyatakan sebagai berikut : 2,00 – 2,74 = Lulus dengan predikat BAIK

2,75 – 2,99 = Lulus dengan predikat MEMUASKAN

3,00 – 3,49 = Lulus dengan predikat SANGAT MEMUASKAN 3,50 – 4,0 = Lulus dengan predikat TERPUJI (CUMLAUDE)

asal memenuhi persyaratan

2.1.5 Ciri-Ciri Individu Yang Berprestasi

Setiap individu yang telah terpenuhi kebutuhan pokoknya pastilah sedikit banyak memiliki keinginan mencapai prestasi dalam bidang akademis. Namun yang membedakan antara individu yang memiliki keinginan mencapai prestasi yang tinggi dan rendah adalah keinginan dirinya untuk dapat menyelesaikan sesuatu dengan baik (Rola, 2006).

Sobur (2006) menyatakan bahwa ciri individu yang memiliki keinginan berprestasi yang rendah adalah ;

1 Berprestasi dihubungkan dengan seperangkat standar. Seperangkat standar tersebut dihubungkan dengan prestasi orang lain, prestasi diri sendiri yang sudah pernah diraih.

2 Tidak memiliki tanggung jawab peribadi terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan.

3 Tidak adanya kebutuhan untuk mendapatkan umpan balik atas pekerjaan yang dilakukan sehingga dapat diketahui dengan cepat hasil yang diperoleh dari kegiatannya, lebih baik atau lebih buruk.

(9)

Sebaliknya individu yang memiliki keinginan mencapai prestasi akademik yang tinggi adalah :

1 Individu yang memiliki standar berprestasi, memiliki tanggung jawab pribadi atas apa yang dilakukannya, individu lebih suka bekerja pada situasi dimana dirinya mendapat umpan balik sehingga dapat diketahui seberapa baik tugas yang telah dilakukannya.

2 Individu tidak menyukai keberhasilan yang bersifat kebetulan atau karena tindakan orang lain.

3 Individu lebih suka bekerja pada tugas yang tingkat kesulitannya menengah dan realisitis dalam pencapaian tujuannya.

4 Individu bersifat inovatif dimana dalam melakukan tugas selalu dengan cara yang berbeda, efisien dan lebih baik dari yang sebelumnya, dengan demikian individu merasa lebih dapat menerima kegagalan atas apa yang dilakukannya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri individu yang memiliki keinginan mencapai prestasi akademik dibedakan menjadi dua, yaitu individu yang berkeinginan mencapai prestasi akademik yang rendah dan individu yang berkeinginan mencapai prestasi akademik yang tinggi.

2.2 Adversity Quotient

2.2.1 Definisi Adversity Quotient

Hasil riset selama 19 tahun dan penerapannya selama 10 tahun merupakan terobosan penting tentang apa yang dibutuhkan untuk mencapai kesuksesan. Adversity quotient disusun berdasarkan hasil riset penting lusinan ilmuwan kelas atas dan lebih dari 500 kajian di seluruh dunia. Dengan memanfaatkan tiga cabang ilmu pengetahuan : psikologi kognitif, psikoneuroimunologi, dan neurofisiologi. Adversity quotient

(10)

yang disajikan disini telah diasah selama bertahun-tahun dengan menerapkannya pada ribuan orang dari perusahaan-perusahaan di seluruh dunia (Stoltz, 2000).

Menurut Stoltz (2000), suksesnya seseorang bergantung pada adversity quotient, yaitu pertama adversity quotient memberitahu

seberapa jauh seseorang mampu bertahan menghadapi kesulitan dan kemampuan untuk mengatasinya. Kedua, adversity quotient meramalkan siapa yang mampu mengatasi kesulitan dan siapa yang akan hancur. Ketiga, adversity quotient meramalkan siapa yang akan melampaui harapan-harapan atas kinerja dan potensinya, serta siapa yang akan gagal. Keempat, adversity quotient meramalkan siapa yang akan bertahan.

Adversity quotient juga memiliki tiga bentuk, pertama, adversity

quotient adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Kedua, adversity quotient adalah suatu ukuran untuk mengetahui respon anda terhadap

kesulitan. Terakhir, adversity quotient adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respons anda terhadap kesulitan.

Adversity quotient menunjukkan apakah seseorang mampu berdiri

(11)

(Stoltz 2000). Stoltz juga mengungkapkan adanya kecenderungan manusia yang memiliki keinginan berkembang, mendapatkan yang lebih untuk mengembangkan dirinya sebagai suatu bentuk aktualisasi diri dalam bekerja. Selain itu, individu tersebut senantiasa termotivasi dalam bekerja, memiliki keuletan, daya tahan yang baik terhadap pekerjaan, dan memiliki tanggung jawab yang tinggi untuk mengembangkan diri.

Jadi dapat disimpulkan bahwa adversity quotient menunjukkan apakah seseorang mampu berdiri teguh, tidak goyah, kemudian dapat bertumbuh sewaktu diharapkan dengan kesulitan.

2.2.2 Teori Adversity Quotient

Dalam mewujudkan kompetensi, seseorang perlu melakukan langkah-langkah yang memungkinkan individu tersebut mencapai tujuannya. Menurut Stoltz (2000) seseorang dapat sukses dalam pekerjaan dan hidup terutama ditentukan oleh adversity quotient. Penemuan terhadap adversity quotient didasarkan pada hasil riset penting ilmuwan selama 19

tahun dan penerapannya selama 10 tahun, serta lebih dari 500 kajian di seluruh dunia. Dengan memanfaatkan tiga cabang ilmu pengetahuan yaitu, psikologi kognitif, psikoneuroimunologi, dan neurofisiologi.

1 Psikologi Kognitif

(12)

2 Psikoneuroimunologi

Berhubungan langsung dengan mata rantai antara respon seseorang pada kesulitan dengan kesehatan mental dan kesehatan fisik atau jasmani.Juga respon seseorang terhadap kesulitan fungsi-fungsi kekebalan, kesembuhan dari operasi, kerawanan terhadap penyakit yang mengancam jiwa.Jika pola respon terhadap adversity ini lemah, ini dapat menyebabkan depresi.

3 Neurofisiologi

Menjelaskan bagaimana otak idealnya diperlengkapi untuk membentuk kebiasaan-kebiasaan. Kebiasaan-kebiasaan dapat secara mendadak dihentikan dan diubah. Jika diganti, kebiasaan-kebiasaan lama akan lenyap, sementara kebiasaan-kebiasaan baru akan berkembang.

Jadi, jika individu memiliki respon yang positif terhadap kesulitan-kesulitan dalam belajar atau untuk mencapai prestasi belajar, maka respon tersebut akan mempengaruhi kesehatan fisiknya, dimana individu tersebut tidak menjadi stres atau depresi. Sehingga individu itu akan menciptakan kebiasaan-kebiasaan positif, sebagai hasil dari kerja otak yang merespon kesulitan secara positif.

2.2.3 Tipe Individu dalam Adversity Quotient

Stoltz (2000) mengungkapkan bahwa adversity quotient memiliki tiga tipe individu, hal ini digambarkan oleh Stoltz sebagai seorang pendaki, yang mendaki sebuah gunung hingga sampai pada tujuan. Pendakian yang dimaksudkan oleh Stoltz adalah menggerakkan tujuan hidup ke depan. Itulah sebabnya Stoltz membagi tiga tipe Individu dalam menuju kesuksesan.

(13)

sekedar untuk hidup. Semangat kerja yang minim, tidak berani mengambil resiko dan cenderung tidak kreatif, menolak kesempatan, mengabaikan. Menutupi atau meninggalkan dorongan inti yang memanusiawi untuk mendaki, meninggalkan hal yang ditawarkan oleh kehidupan, tidak memiliki visi dan misi yang jelas serta berkomitmen rendah ketika menghadapi tantangan didepan.

2. Campers (pekemah) adalah tipe individu yang berhenti dan tinggal di tengah pendakian, mendaki secukupnya dan berhenti kemudian mengakhiri pendakiannya. Sekalipun tipe ini berbeda dengan tipe quitters, namun pendakian yang tidak selesai ini selalu dianggap sebagai “kesuksesan", sehingga tidak ada lagi keinginan untuk mencapai kesuksesan yang sesungguhnya. Fokusnya berpaling untuk kemudian menikmati kenyamanan dari hasil yang sudah dicapai sebagai tempat persembunyian dari situasi yang tidak bersahabat. 3. Climbers (pendaki) tipe individu yang tidak menghiraukan latar

belakang, keuntungan atau kerugian, masib buruk atau nasib baik, melainkan terus mendaki. Climber adalah pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan dan tidak pernah membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat fisik atau mental, atau hambatan lainnya menghalangi pendakian.

Dengan demikian, tiga tipe kepribadian dari adversity quotient adalah quitter (pecundang), campers (pekemah), climbers (pendaki).

2.2.4 Dimensi-dimensi Adversity Quotient

Stoltz (2000) menyatakan bahwa adversity quotient manusia terdiri

atas empat dimensi yang singkat dengan CO₂RE yaitu control (kendali),

origin (asal-usul) dan ownership (pengakuan), reach (jangkauan), endurance (daya tahan).

1) Control

(14)

mereka yangadversity quotientnya lebih tinggi cenderung melakukan berhenti.

2) Origin dan Ownership

Dimensi ini mempertanyakan sejarah dimana individu mengendalikan diri untuk memperbaiki situasi yang dihadapi, tanpa memperdulikan penyebabnya. Individu yang memiliki skor Ownership yang tinggi akan mengambil tanggung jawab untuk memperbaiki keadaan, apapun penyebabnya. Adapun individu yang memiliki skor Ownership sedang memiliki tanggung jawab atas kesulitan yang terjadi, tetapi mungkin akan menyalahkan diri sendiri atau orang lain ketika ia lelah. Sedangkan individu yang memiliki skor Ownership yang rendah akan menyangkal tanggung jawab orang lain atas kesulitan yang terjadi.

3) Reach

Dimensi ini mempertanyakan sejauh manakah kesulitan akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan seseorang? Individu yang memiliki skor R yang rendah maka, semakin besar kemungkinannya menganggap peristwa buruk sebagai bencana, dengan membiarkannya meluas sehingga mengambil kebahagiaan dan ketenagan pikiran seseorang. Sebaliknya, semakin tinggi skor R, semakin besar kemungkinan membatasi jangkauan masalahnya pada peristiwa yang sedang dihadapi.

4) Endurance

Dimensi terakhir ini mempertanyakan dua hal yang berkaitan berapa lamakah kesulitan akan berlangsung dan berapa lamakah penyebab kesulitan akan berlangsung. Jika skor E seseorang rendah, semakin besar kemungkinan orang tersebut menganggap kesulitan atau penyebab-penyebabnya akan berlangsung lama. Sebaliknya, semakin tinggi skor E seseorang, akan memperbesar kemungkinan seseorang menganggap kesulitan yang dihadapinya akan berlangsung dalam waktu singkat atau sementara.Berdasarkan penilitian Seligman, riset tentang teori atribusi, sebagaimana dilakukan oleh Johnson dan Biddle (dalam Stoltz, 2000) yang diterapkan di dalam olahraga, ditemukan bahwa individu yang melihat kemampuan mereka sebagai penyebab kegagalan (penyebab yang stabil), cenderung kurang bertahan bila dibandingkan dengan orang yang mengaitkan kegagalan dengan usaha (penyebab yang sifatnya sementara).

Jadi dimensi adversity quotient baik itu control (kendali), origin dan ownership (asal-usul dan pengakuan), maupun reach (jangkauan), endurance

(15)

2.2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi adversity quotient

Menurut Stoltz (2000), faktor-faktor yang mempengaruhi adversity quotient atau faktor-faktor kesuksesan mencakup semua yang diperlukan

untuk mendaki, adalah 1 Daya saing

Jason Sattefield dan Martin Seligman (dalam Stoltz, 2000), menemukan individu yang merespon kesulitan secara lebih optimis dapat diramalkan akan bersifat lebih agresif dan lebih mengambil banyak resiko, sedangkan reaksi yang lebih pesimis terhadap kesulitan menimbulkan lebih banyak sikap pasif dan hati-hati. Individu yang secara konstruksi terhadap kesulitan lebih tangkas dalam memelihara energi fokus dan tenang yang diperlukan supaya berhasil dalam persaingan. Persaingan sebagian besar berkaitan dengan harapan, kegesitan, dan keuletan yang sangat ditentukan oleh cara seseorang menghadapi tantangan dan kegagalan dalam kehidupan.

2 Produktivitas

Penelitian yang dilakukan Stoltz, menemukan korelasi yang kuat antara kejernihan dan cara-cara pegawai merespon kesulitan. Selingman (2006) membuktikan bahwa orang yang tidak merespon kesulitan baik produksi, dan kinerjanya lebih buruk daripada mereka yang merespon kesulitan dengan baik.

3 Kreativitas

Joel Barker (dalam Stoltz, 2000), kreativitas muncul dalam keputusan, kreativitas menuntut kemapuan untuk mengatasi kesulitan yang ditimbulkan oleh hal-hal yang tidak pasti. Joel Barker menemukan orang-orang yang tidak mampu menghadapi kesulitan menjadi tidak mampu bertindak kreatif. Oleh karena itu, kreativitas menuntut kemampuan untuk mengatasi kesulitan oleh hal-hal yang tidak pasti. 4 Motivasi

Stoltz (2000) melakukan penelitian untuk mengukur motivasi karyawan perusahaan farmasi dalam semua pekerjaan yang dilakukan. Stoltz menemukan bahwa mereka yang adversity quotientnya tinggi dianggap sebagai orang-orang yang memiliki motivasi.

5 Mengambil Resiko

Sattrerfield dan Seligman (dalam Stolz, 2000) menemukan bahwa individu yang merespon kesulitan secara lebih konstruktif, yang bersedia mengambil banyak resiko . Resiko merupakan aspek esensial pendakian.

6 Perbaikan

(16)

7 Ketekunan

Ketekunan merupakan inti pendakian dari adversity quotient. Ketekunan adalah kemampuan untuk terus-menerus berusaha, bahkan manakala dihadapkan pada kemunduran atau kegagalan.

8 Belajar

Inti abad informasi ini adalah kebutuhan untuk terus-menerus mengumpulkan dan memproses arus pengetahuan yang tidak ada hentinya. Dweck (dalam Stoltz, 2000) membuktikan bahwa anak-anak dengan respon yang pesimistis terhadap kesulitan tidak akan banyak belajar dan berprestasi jika dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki pola-pola yang lebih optimis.

9 Merangkul Perubahan

Perubahan adalah bagian dari hidup sehingga setiap individu harus menentukan sikap untuk menghadapinya. Stoltz (2000), menemukan individu yang memeluk perubahan cenderung merespon dan secara lebih konstruktif. Dengan memanfaatkannya untuk memperkuat niat, individu merespon dengan mengubah kesulitan menjadi peluang. Orang-orang yang hancur dalam perubahan akan hancur oleh kesulitan.

10 Keuletan, Stress, Tekanan, Kemunduran

Stres dan tekanan seringkali dihadapkan pada setiap manusia setiap harinya, dan orang yang tidak mampu mengelola situasi itu akan mengalami kemunduran. Seorang climbers pun dapat jatuh jika dihadapkan dengan tekanan yang terus-menerus dihadapkan padanya, namun keuletan menungkinkan tiap orang untuk bangkit kembali.Suzanne Oulette (dalam Stoltz, 2000) memperlihatkan bahwa orang-orang yang merespon kesulitan dengan sifat tahan banting, pengendalian, tantangan, dan komitman akan tetap ulet dalam menghadapi kesulitan.

Jadi faktor-faktor yang mempengaruhi adversity quotient seseorang adalah daya saing, produktivitas, motivasi, kreativitas, mengambil resiko, perbaikan, ketekunan, belajar, merangkul perubahan dan keuletan.

2.3 Mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling

(17)

membantu individu agar mampu mengembangkan dirinya dan mengatasi masalahnya, melalui hubungan face to face atau melalui media, baik secara perorangan maupun kelompok (Yusuf, 2005). Jadi dapat disimpulkan bahwa Bimbingan dan Konseling bertujuan untuk membantu individu agar memperoleh pencerahan diri (intelektual, emosional, sosial, dan moral-spiritual) sehingga mampu menyesuaikan diri secara dinamis dan konstruktif, dan mampu mencapai kehidupannya yang bermakna (produktif dan kontributif), baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.

Mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling angkatan 2013 termasuk dalam usia dewasa awal yaitu antara usia 18-40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif (Hurlock, 1999). Menurut Kenniston (dalam Santrock, 2002) masa dewasa awal merupakan periode transisi antara masa remaja dan masa dewasa yang merupakan masa perpanjangan kondisi ekonomi dan pribadi yang sementara. Kriteria penting untuk menunjukkan permulaan dari masa dewasa awal, yaitu kemandirian ekonomi dan kemandirian dalam membuat keputusan, serta mampu bertanggung jawab pada diri sendiri.

(18)

awal individu mulai melakukan penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Penyesuaian diri ini menjadikan periode sulit dari rentang kehidupan seseorang, pada masa dewasa awal ini biasanya individu menemui banyak kesulitan dan banyak anak muda dalam kategori ini merasakan tahun-tahun awal masa dewasa yang sedemikian sulit, sehingga mencoba memperpanjang ketergantungan dengan mempertahankan status mahasiswanya.

Menjadi mahasiswa bukanlah hal yang mudah bagi sebagian remaja yang telah lulus dari SMA dan melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi. Menjadi mahasiswa mengharuskan remaja yang bersangkutan untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian diri dengan situasi dan tuntutan yang baru. Mahasiswa tahun kedua dan ketiga akan mengalami gangguan-gangguan pada bulan-bulan sibuk mengumpulkan tugas dan menjelang ujian tengah semester maupun ujian akhir. Kekurangmampuan dalam menjalankan peranannya sebagai mahasiswa akan mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya individu tersebut selama menjalani studi maupun kehidupan selanjutnya (Siswanto, 2007).

(19)

a. Masalah pertama yang perlu diperhatikan adalah mengenai cara belajar. Pelajar SMA biasanya memiliki cara belajar yang lebih pasif bila dibanding dengan mahasiswa. Ini disebabkan oleh cara pembelajaran yang memang berbeda. Hampir semua materi pelajaran SMA diberikan oleh guru. Asalkan siswa menyimak baik-baik materi yang diberikan dan belajar hanya dari materi tersebut, biasanya itu sudah cukup. Berbeda dengan perguruan tinggi yang menuntut mahasiswa untuk lebih aktif dalam mempelajari dan memahami materi. Materi yang diberikan dosen biasanya bersifat sebagai pengantar, sedangkan pendalaman lebih lanjut diserahkan kepada mahasiswa yang bersangkutan. Ini menyebabkan kedalaman dalam memahami suatu materi tergantung dari keaktifan mahasiswa dengan usahanya mencari referensi-referensi yang berkaitan dengan materi yang diajarkan. Belum lagi perbedaan sistem paket yang diterapkan di SMA dan sistem SKS yang berlaku di Perguruan Tinggi, yang betul-betul menuntut mahasiswa untuk lebih akif kalau ingin lulus dengan nilai yang memuaskan dan dalam jangka waktu yang singkat.

(20)

Misalnya dari lingkungan desa ke kota besar, tempat biasanya Perguruan Tinggi yang baik berada. Perpindahan tempat semacam ini membutuhkan energi yang besar untuk melakukan penyesuaian diri pada awalnya.

(21)

pilihan-pulihan sendiri, seksualitas bisa muncul menjadi masalah yang serius.

d. Masalah keempat berhubungan dengan perubahan relasi. Relasi dengan orang tua, saudara dan teman sewaktu tinggal dalam keluarga merupakan relasi yang lebih bersifat pribadi. Namun relasi-relasi tersebut berubah menjadi lebih bersifat fungsionil ketika menjadi mahasiswa. Relasi orang tua-anak, antar saudara, antar teman sepermainan diganti dengan relasi dosen-mahasiswa, mahasiswa-mahasiswa dan sebagainya. Perubahan relasi itu juga dapat menjadi kesulitan tersendiri bagi mahasiswa.

e. Masalah kelima berkaitan dengan pengaturan waktu. Menjadi mahasiswa untuk sebagian besar berarti bebas mengatur waktu menurut kehendaknya sendiri, karena tidak ada orang lain yang mengontrol. Ketidakmampuan dalam mengatur waktu antara kegiatan kuliah, belajar, bermain dan aktifitas lainnya dapat mengakibatkan munculnya masalah-masalah lain yang terutama berkaitan dengan tugas belajarnya.

(22)

kehidupan mahasiswa yang bersangkutan menjadi tidak menentu dan membawa dampak yang negatif bagi kesejahteraannya.

Bila mahasiswa berhasil menangani masalah-masalah yang dihadapinya dengan sukses, maka yang bersangkutan akan dapat menjalani kehidupan dan peranannya sebagai mahasiswa dengan baik dan lancar. Namun bila mahasiswa tersebut gagal menangani masalah-masalah yang ada, maka peranannya sebagai mahasiswa dan kehidupannya pribadinya akan mengalami gangguan dan hambatan.

2.4 Penelitian yang relevan

(23)

lebih kecil dari 0.05) maka dapat diartikan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara kedua variabel yang diteliti. Presentase adversity quotient mempengaruhi prestasi belajar sebesar 2,34 %, hal ini berarti terdapat faktor-faktor lain di luar adversity quotient memberi pengaruh terhadap prestasi belajar sebesar 97,66 %. Dengan munculnya hasil tersebut maka H0 ditolak dan H1 diterima sehingga dikatakan adanya korelasi yang positif signifikan antara adversity quotient dengan prestasi belajar siswa-siswi SMA Kristen Kalam Kudus Sukoharjo.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Hutasoit (2009), dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan yang positif signifikan antara adversity quotient dan prestasi belajar pada ranah kognitif siswa. Artinya

adversity quotient yang tinggi akan diikuti dengan prestasi belajar pada

ranah kognitif yang tinggi pula. Sedangkan dalam konteks penelitian yang dilakukan pada SMA Negeri 2 Ambon diperoleh korelasi antara adversity quotient dengan prestasi belajar pada ranah kognitif adalah sebesar 0,309

(24)

ranah kognitif siswa. Adversity quotient siswa SMA Negeri 2 Ambon memiliki rata-rata sebesar 114.0222 yang masuk ke dalam kategori tinggi. Dengan kata lain, siswa SMA Negeri 2 Ambon memiliki adversity quotient yang tergolong baik. Prestasi belajar pada ranah kognitif siswa

SMA Negeri 2 Ambon juga termasuk dalam kategori tinggi dengan rata-rata sebesar 83.3089. Sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat prestasi belajar siswa SMA Negeri 2 Ambon pada ranah kognitif tergolong baik.

2.5 Hubungan Antara Adversity Quotient dengan Prestasi Akademik

Perbedaan antara orang yang prestasinya biasa-biasa saja dengan orang yang berprestasi adalah pandangan dan respons nereka terhadap kegagalan atau kesulitan (Maxwell, 2000). Adversity quotient menurut Stoltz (2000) adalah suatu kemampuan yang menentukan apakah seseorang tetap menaruh harapan dan terus memegang kendali dalam situasi yang sulit. Stoltz juga mengungkapkan bahwa siswa yang memiliki adversity quotient tinggi akan mengarahkan segala potensi yang dimiliki

untuk meraih prestasi atau dapat memberikan hasil yang terbaik, serta akan selalu termotivasi untuk berpretasi.

(25)

seorang siswa sebagai pernyataan ada tidaknya kemajuan atau keberhasilan dalam program pendidikan.

Kesimpulannya adversity quotient mempengaruhi proses dan hasil belajar seseorang, orang-orang yang memiliki adversity quotient tinggi akan menghasilkan prestasi belajar yang tinggi.

2.5 Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diungkapkan sebelumnya, maka penulis mengajukan hipotesis sebagai berikut :

Referensi

Dokumen terkait

FIK-LINY Kampus Wates perlu menetapkan Dosen FIK dan Dosen antar Fakultas yang diberi tugas mengajar dan menguji pada Program D-lI dan S I PGSD Penjas Swadana.. Bahwa

Hulu Palik proses Pengadaan Langsung untuk Pekerjaan Belaqia Modal Pengadaan Konstruksi Balai. Penyuluhan adalah sebagai berikut

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

Melihat dari hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa para WBP memiliki minat dan motivasi untuk mengikuti pembinaan pendidikan, sehingga dapat dikatakan bahwa program

efektivitas dari manajemen waktu dan menggambarkan perubahan yang dialami oleh siswa terhadap anak yang mengalami kesulitan belajar akademik.. Penelitian ini adalah studi

(3) Pemberhentian anggota DPRD yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada Menteri Dalam Negeri

Setelah mengikuti mata kuliah ini, mahasiswa mempunyai pengetahuan dan pemahaman di bidang kimia dan kimia kosmetik, yaitu konsep unsur dan senyawa; campuran; ikatan kimia;

Pembuktian Kualifikasi ini sampai dengan waktu yang telah ditetapkan, maka penyedia. tersebut