ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP GUGAT
CERAI KARENA PENDENGARAN SUAMI
TERGANGGU
(Studi atas Putusan Pengadilan Agama Bojonegoro Nomor.2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn)
SKRIPSI
Oleh Siti Khomsatun NIM.C01213081
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi (Hukum Keluarga)
Surabaya
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Analisis Hukum Islam terhadap Gugat Cerai Karena
Pendengaran Suami Terganggu (Studi atas Putusan Pengadilan Agama
Bojonegoro Nomor.2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn)” Penelitian ini bertujuan untuk
menjawab rumusan masalah : Bagaimana pertimbangan hukum Hakim dalam memutuskan perkara perceraian karena pendengaran suami terganggu? Dan Bagaimana analisis hukum Islam terhadap pertimbangan hukum Hakim tentang perceraian karena pendengaran suami terganggu?
Data penelitian ini di himpun dengan menggunakan teknik pengumpulan dokumentasi dan interview atau wawancara, selanjutnya data yang sudah terkumpul dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis dengan pola pikir deduktif yaitu teknik analisa dengan cara memaparkan data apa adanya kemudian dianalisa dengan menggunakan hukum Islam. Sedangkan pola pikir deduktif adalah pola pikir yang berangkat dari variable yang bersifat umum, dalam hal ini teori hukum Islam, kemudian diaplikasikan ke dalam variable yang bersifat khusus dalam hal ini dasar pertimbangan hukum hakim Pengadilan Agama Bojonegoro.
Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa yang menjadi dasar hakim dalam memutuskan perceraian dengan alasan cerai gugat karena pendengaran suami terganggu adalah Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi : “Antara
suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”. Pendengaran terganggu di
dalam Undang-undang tidak disebutkan sebagai alasan yang sah untuk mengajukan gugat cerai, tetapi pendengaran terganggu telah menjadi sebab perselisihan, oleh sebab itu, Majelis Hakim mengabulkan gugatan tersebut.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TRANSLITERASI ... xv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 9
C. Rumusan Masalah ... 10
D. Kajian Pustaka ... 11
E. Tujuan Penelitian ... 13
F. Kegunaan Hasil Peneltian ... 14
G. Definisi Operasional ... 15
H. Metode Penelitian ... 15
BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PERCERAIAN DALAM
KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN PERATURAN
PEMERINTAH NOMOR 9 TAHUN 1975 ... 20
A. Pengertian Perceraian ... 20
B. Alasan-alasan Perceraian ... 24
C. Bentuk-bentuk Perceraian ... 31
D. Akibat Perceraian ... 37
BAB III PUTUSAN PENGADILAN AGAMA BOJONEGORO NO. 2865/ Pdt.G/ 2013/PA.Bjn. TENTANG CERAI GUGAT KARENA PENDENGARAN SUAMI TERGANGGU ... 40
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Bojonegoro ... 40
B. Deskripsi Perkara Nomor 2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn. tentang Cerai Gugat Karena Pendengaran Suami Terganggu ... 48
C. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Memutuskan Perkara Nomor 2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn. ... 51
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA BOJONEGORO NOMOR 2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn. TENTANG CERAI GUGAT KARENA PENDENGARAN SUAMI TERGANGGU ... 57
B. Analisis Hukum Islam terhadap Putusan Nomor
2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn. tentang Cerai Gugat Karena
Pendengaran Suami Terganggu ... 60
BAB V PENUTUP ... 64
A. Kesimpulan ... 64
B. Saran ... 65
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama merupakan satu aturan dan ketentuan Tuhan untuk
mengatur kehidupan manusia yang harus dipatuhi, yakni dengan
menjalankan perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya dalam
rangka mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Perkawinan sendiri merupakan sunnatullah yang di antara
tujuannya adalah agar manusia mendapatkan ketenangan hidup dari
hidup berpasangan. Di samping itu agar terjadi perkembangbiakan
ummat manusia secara sah bagi kelanjutan generasi mendatang.
Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa
Arab disebut dengan dua kata, yaitu nika>h dan zawa>j. Kedua kata ini
yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang arab dan banyak
terdapat dalam Al-Quran dan hadis nabi. Kata na-ka-h}a banyak
terdapat dalam Al-Quran dengan arti kawin, seperti dalam surah
an-Nisa’ ayat 3:
َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َََ َ
Dan jika kamutakut tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim, maka
2
atau empat orang, dan jika kamu takut akan berlaku adil, cukup satu orang.1
Demikian pula banyak terdapat kata za-wa-ja dalam Al-Quran
dalam arti kawin2, seperti pada surah an-Nur ayat 32:
َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َََ َ
Dan kawinkanlah orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.
Para fuqaha mengartikan akad zawaj> sebagai pemilikan sesuatu
melalui jalan yang disyariatkan dalam agama. Dan pengertian ini telah
umum di kalangan para fuqaha. 3
Dalam Kompilasi Hukum Islam, pengertian perkawinan dan
tujuannya dinyatakan dalam Pasal 2 dan 3 sebagai berikut:
Pasal 2
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu
akad yang sangat kuat atau mi>tsa>qa>n ghali>zha>n untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Pasal 3
1
Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: t.p., 2002), 99.
2 Amir Syarifuddin., Hukum Perkawinan di Indonesia., (Jakarta: Kencana, 2006), 35-37.
3 Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih
3
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Sayyid Sabiq, lebih lanjut mengomentari: Perkawinan
merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk
Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan.
Perkawinan merupakan cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi
manusia untuk beranak-pinak, berkembangbiak, dan melestarikan
hidupnya setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya
yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan.4
Walaupun ada perbedaan pendapat tentang perumusan
perngertian perkawinan, tetapi dari semua rumusan yang dikemukakan
ada satu unsur yang merupakan kesamaan dari seluruh pendapat, yaitu
bahwa nikah itu merupakan suatu perjanjian perikatan antara seorang
laki-laki dan seorang wanita, perjanjian disini bukan sembarang
perjanjian jual beli atau sewa menyewa, tetapi perjanjian dalam nikah
adalah merupakan perjanjian suci untuk membentuk keluarga antara
seorang laki-laki dan seorang wanita. Suci disini dilihat dari segi,
keagamaannya dari suatu perkawinan.
Undang-undang perkawinan, dalam pasal 1 merumuskan
pengertian perkawinan sebagai berikut : “Perkawinan ialah ikatan lahir
batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
4
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kalau kita bandingkan
rumusan menurut hukum Islam di atas dengan rumusan dalam pasal 1
Undang-undang Perkawinan mengenai pengertian dari perkawinan
tidak ada perbedaan yang prinsipil”.5
Tujuan dari disyariatkannya perkawinan atas umat islam,
diantaranya adalah: pertama, untuk mendapatkan anak keturunan yang
sah bagi melanjutkan generasi yang akan datang. Keinginan untuk
melanjutkan keturunan merupakan naluri umat manusia bahkan juga
naluri bagi makhluk hidup yang diciptakan Allah. Untuk maksud itu
Allah menciptakan bagi manusia nafsu syahwat yang dapat
mendorongnya untuk mencari pasangan hidupnya untuk menyalurkan
nafsu syahwat tersebut. Untuk memberi saluran yang sah dan legal
bagi penyaluran nafsu syahwat tersebut adalah melalui lembaga
perkawinan. Kedua, untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh
ketenangan hidup dan rasa kasih sayang.6
Tujuan pernikahan tersebut memang sangat didambakan oleh
setiap pasangan, tetapi tidak selamanya kebahagiaan dan
keharmonisan didapatkan oleh setiap pasangan dalam kehidupan
berumah tangga sehingga banyak diantara mereka yang bercerai
dengan alasan yang berbeda-beda.
5 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 2007), 9.
5
Perceraian menurut Pasal 38 UU Nomormor. 1 Tahun 1974
adalah “putusnya perkawinan.” Jadi, perceraian adalah putusnya ikatan
lahir dan batin antara suami dan istri yang mengakibatkan berakhirnya
hubungan keluarga (rumah tangga) antara suami dan istri tersebut.
Pasal 39 UU Nomormor. 1 Tahun 1974 memuat ketentuan imperative
bahwa perceraian hanya dapat dilakukan dilakukan di depan
Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha
mendamaikan kedua belah pihak.
Perceraian menurut hukum Islam yang telah dipositifkan dalam
Pasal 38 dan Pasal 39 UU Nomormor. 1 Tahun 1974 yang telah
dijabarkan dalam PP Nomor. 9 Tahun 1975, mencakup antara lain
sebagai berikut.
1. Perceraian dalam pengertian cerai talak, yaitu perceraian yang
diajukan permohonan cerainya oleh dan atas inisiatif suami kepada
Pengadilan Agama, yang dianggap terjadi dan berlaku beserta
segala akibat hukumnya sejak saat perceraian itu dinyatakan
(diikrarkan) di depan sidang Pengadilan Agama (vide Pasal 14
sampai dengan Pasal 18 PP Tahun 1975).
2. Perceraian dalam pengertian cerai gugat, yaitu perceraian yang
diajukan gugatan cerainya oleh dan atas inisiatif istri kepada
Pengadilan Agama, yang dianggap terjadi dan berlaku beserta
6
yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (vide Pasal 20
sampai dengan Pasal 36).7
Perceraian walaupun diperbolehkan tetapi agama Islam tetap
memandang bahwa perceraian adalah sesuatu yang bertentangan
dengan asas-asas Hukum Islam. Ibnu ‘Umar meriwayatkan dari Nabi
bahwa beliau bersabda :
َ عَدلاخَ بَد حَا ثدحَديَبعَ بٌَر كَا ثّدح
َ ِراَح َ عَلِصاَ َ بَفَِع
قَاََطلاَِهَّلاَىَلِاَِلََاَحْاَضَغْبَاَلاقَِيِب لاَ عَََ عَ باَ عَراَثِدَ ب
َ
ََد ادَ باَ ا رُ
Telah menceritakan kepada kami Katsir ibn ‘Ubaid, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibn Khalid, telah menceritakan
kepada kami Mua’arrif ibn wa>shil dari Muha>rib ibn Ditsar dari Ibn ‘Umar dari Nabi Muhammad Saw, beliau bersabda: "Tidaklah Allah
menghalalkan sesuatu yang lebih Dia benci daripada perceraian." (H.R
Abu Dawud)8
Dan diriwayatkan dari Tsauban bahwa Rasulullah saw bersabda :
ِبَأَْ َعََةَباَِقَيِبَأَْ َعََ يَأَْ َعٌَدا َحَاََثدَحَ ْ َحَ ْبَُ اَ ْيَسَاََثدَح
َْ َعََءاَ ْسَأَي
اَقََ اَبْ َث
لَ
َاَ َجْ ََْتَلَأَسَ َأَْاَاَ يَأََ ََسَ َِهْيََعَهَلاَىََصَِهَلاَُل سَرََلاَق
اَ ْيََعٌَاََحَفَ ْأَبَاََِْيَغَيِفَاًقاََط
َ
ِة َجْلاَُةَحِئاَر
َ
ََد ادَ باَ ا رُ
Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb, telah menceritakan kepada kami Hammad dari Ayyub dari Abu Qilabah dari Abu Asma` dari Tsauban, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapapun wanita yang meminta cerai kepada
suaminya bukan karena kesalahan, maka haram baginya bau surga.”
(H.R. Abu Dawud)9
7 Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 18-20. 8Abu Dawud Sulaiman Ibnu As’ad, Sunan Abi Dawud Juz 2, (Beirut: Kutub Al-Ilmiah, 1996),120.
7
Dengan melihat isi kedua hadist Nabi tersebut di atas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa talak itu walaupun diperbolehkan oleh
agama, tetapi pelaksanaanya harus berdasarkan suatu alasan yang kuat
dan merupakan jalan yang terakhir yang ditempuh oleh suami isteri,
apabila cara-cara lain yang telah diusahakan sebelumnya tetap tidak
dapat mengembalikan keutuhan kehidupan rumah tangga suami isteri
tersebut.10
Untuk dapat mengajukan perceraian ke pengadilan, harus
terpenuhi dulu alasan-alasan perceraian yang dibenarkan. Secara jelas
pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menjelaskan
bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar dalam pengajuan
perceraian adalah :
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, dan
lain sebagainya yang sukar di sembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain di luar kemampuanya.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak lain.
10
8
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan badan atau penyakit dengan
akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.
6. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.11
Kemudian dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 116 terdapat
penambahan 2 (dua) alasan yang disesuaikan dengan hukum Islam,
yaitu :
7. Suami melanggar taklik talak.
8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidak rukunan dalam rumah tangga.12
Dengan demikian, jika seseorang telah mempunyai alasan
seperti yang dijelaskan di atas maka ia bisa mengajukan perceraian ke
pengadilan. Seperti yang terjadi di Pengadilan Agama Bojonegoro
perkara gugat cerai Nomor.2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn tentang perkara
perceraian karena pendengaran suami terganggu. Pada saat semula
rumah tangga penggugat dan tergugat berjalan dengan baik, rukun dan
harmonis. Kemudian rumah tangga penggugat dan tergugat tidak
harmonis lagi dikarenakan Penggugat tidak mencintai tergugat karena
pendengaran Tergugat terganggu.
11
9
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum
Islam tidak menyebutkan secara jelas bahwa pendengaran terganggu
bisa dijadikan alasan mengajukan gugat cerai, tetapi Majlis Hakim
Pengadilan Agama Bojonegoro pada tahun 2013 memutuskan perkara
perceraian dengan alasan pendengaran terganggu.
Dengan kenyataan di atas peneliti tertarik untuk meneliti apa
sebenarnya yang menjadi dasar hukum dan pertimbangan hakim
Pengadilan Agama Bojonegoro, sehingga hakim menerima
permohonan gugat cerai karena alasan pendengaran suami terganggu.
B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan, maka dapat
diidentifikasi masalah sebagai berikut :
1. Kemudahan Hakim dalam mempertimbangkan masalah perceraian.
2. Ijtihad Hakim yang digunakan, dalam kasus ini yang mana belum di
atur di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
3. Bentuk dan jenis hukum yang dipakai hakim Pengadilan Agama
Bojonegoro dalam memutuskan perkara Nomor.
2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn tentang perceraian karena pendengaran
suami terganggu.
4. Dasar dan Pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara cerai
gugat karena pendengaran suami terganggu dalam putusan Nomor.
10
5. Analisis hukum Islam terhadap pertimbangan hukum hakim
Pengadilan Agama Bojonegoro dalam memutus perkara cerai gugat
karena pendengaran suami terganggu dalam putusan
Nomor.2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn.
Dari identifikasi masalah tersebut, maka penulis akan membatasi
yang akan di teliti pada dua masalah saja, yaitu :
1. Dasar dan Pertimbangan hukum hakim dalam memutuskan perkara
cerai gugat karena pendengaran suami terganggu dalam putusan
Nomor.2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn.
2. Analisis hukum Islam terhadap pertimbangan hukum hakim dalam
memutus perkara cerai gugat karena pendengaran suami terganggu
dalam putusan Nomor.2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn.
C. Rumusan Masalah
Masalah yang telah dibatasi di atas berkaitan putusan Pengadilan
Agama Bojonegoro perkara Nomor.2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn, dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam memutuskan perkara
perceraian karena pendengaran suami terganggu dalam putusan
Nomor.2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn?
2. Bagaimana analisis hukum islam terhadap pertimbangan hukum
hakim dalam putusan Nomor.2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn tentang
11
D. Kajian Pustaka
Pembahasan tentang masalah perceraian telah banyak dilakukan
oleh para penulis lain. Pembahasan ini berkaitan dengan penyebab
perceraian yang banyak dibahas dalam kitab-kitab fikih dan buku-buku
yang menyangkut perundang-undangan perkawinan. Disamping itu,
penelitian beberapa kasus perceraian di beberapa pengadilan juga
banyak dilakukan, di antaranya yaitu :
Pertama, skripsi yang berjudul “Telaah hukum Islam terhadap
putusan tentang perceraian dengan alasan cemburu” (Studi kasus PA
Surabaya tahun 2001) Oleh Khoirun Nasik. Skripsi tersebut
memfokuskan pembahasan pada alasan cemburu yang berlebih kepada
pasangan, karena kecemburuan itu menimbulkan kesenjangan dan
ketidak harmonisan sehingga mempengaruhi timbulnya perceraian
antara suami istri.13
Kedua, Skripsi yang berjudul “Analisis hukum Islam terhadap
putusan PA Malang Nomor.1106/Pdt.G/2011/PA Mlg tentang
perceraian karena suami waria” oleh M. Lutfi Afandi. Skripsi tersebut
memfokuskan pembahasanya pada istri yang merasa tertipu karena
suami waria. Sehingga menimbulkan permasalahan keharmonisan
13Khoirun Nasik, “Telaah Hukum Islam terhadap Putusan tentang Perceraian karena
12
dalam berumah tangga yang pada akhirnya menjadi penyebab
terjadinya perceraian antara keduanya.14
Ketiga, Skripsi yang berjudul “Analisis hukum Islam terhadap
putusan PA Lamongan Nomor.2360/Pdt.G/2010/PA Lmg tentang
perceraian karena suami Mafqud (Ghaib)” oleh Moh. Hafid Nasrullah.
Skripsi tersebut memfokuskan pembahasannya pada perginya suami
dari tempat tinggal bersama tanpa alasan yang jelas dan dalam waktu
yang lama. Sehingga menimbulkan permasalahan keharmonisan dalam
berumah tangga yang pada akhirnya menjadi penyebab terjadinya
perceraian antara keduanya.15
Ke empat, Skripsi yang berjudul “Perselingkuhan sebagai
alasan Perceraian (Studi Putusan pada Pengadilan Agama Sleman
tahun 2006)” Oleh Kamilaini. Skripsi tersebut memfokuskan
pembahasannya karena perselingkuhan sebagai sebab timbulnya
permasalahan keharmonisan dalam berumah tangga yang pada
akhirnya terjadi perceraian antara keduanya.16
Ke lima, Skripsi yang berjudul “Kawin Paksa sebagai alasan
Perceraian (Analisa Putusan PA Tangerang Perkara
Nomor.940/Pdt.G/2009/PA.Tng)” Oleh Nuraida. Skripsi tersebut
14 Lutfi Afandi, “Analisis Hukum Islam terhadap Putusan PA Malang tentang
Perceraian karena suami waria” (Skripsi--UIN Sunan Ampel Surabaya, 2013). 15Moh. Hafid Nasrullah, “Analisis Hukum Islam terhadap Putusan PA Lamongan tentang Perceraian karena suami Mafqud”, (Skripsi—UIN Sunan Ampel Surabaya, 2012).
13
menjelaskan perkawinan yang dipaksakan oleh orang tuanya
menimbulkan permasalahan keharmonisan dalam berumah tangga yang
pada akhirnya menjadi penyebab terjadinya perceraian antara
keduanya.17
Persamaan penelitian di atas dengan penelitian ini sama-sama
berkaitan dengan perceraian, namun penelitian di atas berbeda dalam
segi faktornya, adakalanya dari segi perselingkuhan, suami mafqud
(Ghaib), suami waria, alasan cemburu dan karena kawin paksa yang
menyebabkan perceraian, sedangkan dalam penelitian ini lebih fokus
pada faktor pendengaran suami terganggu sehingga istri tidak
mencintai suaminya lagi dan berakhir dengan perceraian.
E. Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan apa yang sudah menjadi suatu rumusan
masalah penelitian ini, maka ada beberapa tujuan dalam penelitian,
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam memutuskan
perkara perceraian karena pendengaran suami terganggu dalam
Putusan Nomor.2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn.
2. Untuk mengetahui analisis hukum islam terhadap pertimbangan
hukum hakim dalam memutuskan perkara perceraian karena
14
pendengaran suami terganggu dalam Putusan
Nomor.2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Kegunaan hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan
bagi setiap umat serta dapat memberi wawasan kepada seluruh
masyarakat khususnya penulis sendiri. Adapun kegunaan hasil
penelitian ini sekurang-kurangnya dapat digunakan untuk dua aspek,
sebagai berikut:
1. Aspek teoretis, hasil penelitian ini dapat menambah khasanah
keilmuan yaitu untuk dijadikan bahan acuan dalam rangka
mengembangkan teori hukum kekeluargaan khususnya dalam
perceraian Islam.
2. Aspek praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan
bahan dan pedoman bagi para masyarakat khususnya para tokoh
agama, ulama dan praktisi hukum dalam rangka program
pembinaan serta pemantapan kehidupan berguna khususnya dalam
hukum perceraian sesuai dengan ajaran Islam, serta sebagai
motivator bagi penulis secara pribadi untuk lebih giat dalam
mengembangkan keilmuan dan lebih berkarya khususnya dibidang
15
G. Definisi Operasional
Untuk menghindari adanya interpretasi yang tidak sesuai dengan
judul penelitian ini, maka disini ada beberapa istilah yang perlu
didefinisikan secara operasional. Adapun istilah-istilah yang dimaksud
adalah:
1. Hukum Islam yang dimaksud di dalam penelitian ini adalah
Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 huruf (f) dan Pasal 19 huruf (f)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.18
2. Cerai gugat : Perceraian yang disebabkan oleh adanya suatu
gugatan lebih dahulu oleh salah satu pihak kepada pengadilan dan
perceraian itu terjadi dengan suatu putusan pengadilan.19
3. Pendengaran terganggu : Kesulitan mendengarkan perkataan orang
lain secara jelas, khususnya ketika berdiskusi dengan banyak orang
atau dengan keramaian.
H. Metode Penelitian
1. Data yang dikumpulkan
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berkaitan tentang:
Pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara perceraian
karena pendengaran suami terganggu di Pengadilan Agama
Bojonegoro dan data analisa hukum Islam.
18
Mohamad Daud Ali , Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), 42.
16
2. Sumber data
Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah
dari mana data dapat diperoleh. Berdasarkan data yang telah
dihimpun, maka sumber data penelitian ini adalah :
a. Sumber data primer, sumber data primer penelitian ini adalah :
1. Dokumen putusan Pengadilan Agama Bojonegoro
Nomor.2865/Pdt.G/PA.Bjn.
2. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
b. Sumber data sekunder, sumber data sekunder penelitian ini
adalah Hakim dan Panitera di Pengadilan Agama Bojonegoro
yang memutus kasus tersebut.
3. Teknik pengumpulan data
Dalam penelitian ini pengumpulan data menggunakan metode
sebagai berikut:
a. Dokumentasi
Pengumpulan data dengan metode dokumentasi
adalah cara mencari data dengan cara menelaah dokumen
dalam hal ini dokumen Putusan Pengadilan Agama
Bojonegoro Nomor.2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn. digunakan
untuk memperoleh data tentang perkara perceraian karena
17
b. Wawancara
Wawancara atau interview adalah percakapan
dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua
pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan
pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang
memberikan jawaban atas pertanyaan itu.20
Wawancara itu diperoleh dari hakim dan panitera di
PA Bojonegoro yang dapat digunakan untuk memperoleh
data tentang perkara perceraian karena pendengaran suami
terganggu dalam Putusan Pengadilan Agama Bojonegoro
Nomor.2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn.
c. Kepustakaan
Kepustakaan adalah bahan yang menjadi acuan atau
bacaan dalam menghasilkan atau menyusun tulisan baik
berupa artikel, karangan buku, laporan dan sejenisnya. Di
dalam penelitian ini bahan yang menjadi acuan adalah
Kompilasi Hukum Islam.
4. Teknis analisis data
Setelah data terkumpul langkah selanjutnya adalah
menganalisis data, Untuk menganalisis data yang diperoleh dalam
penelitian ini, teknik yang digunakan adalah deskriptif analisis,
18
dengan pola pikir deduktif yaitu teknik analisis data dengan cara
memaparkan data apa adanya dalam hal ini data pertimbangan
hukum hakim dalam putusan Nomor.2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn.
Kemudian dianalisa dengan Hukum Islam dalam hal ini Kompilasi
Hukum Islam dan Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975. Sedangkan pola pikir deduktif adalah pola pikir yang
berangkat dari variabel data yang bersifat umum, dalam hal ini
Kompilasi Hukum Islam dan Pasal 19 huruf (f) Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, kemudian diaplikasikan kepada
variabel data yang bersifat khusus dalam hal ini pertimbangan
hukum hakim dalam putusan Nomor. 2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn.
I. Sistematika Pembahasan
Supaya pembahasan dari penelitian ini terarah sesuai dengan tujuan
penelitian, maka penulis menggunakan sistematika pembahasan sebagai
berikut :
Bab Pertama:Pendahuluan, merupakan keseluruhan isi skripsi yang
terdiri dari; latar belakang, identifikasi masalah dan batasan masalah,
rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil
penelitian, definisi operasional. Metode penelitian (meliputi data yang
dikumpulkan, sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisis
19
Bab Kedua : Menjelaskan kajian teoretis tentang perceraian dalam
Kompilasi Hukum Islam dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975, meliputi pengertian perceraian, alasan-alasan perceraian,
bentuk-bentuk perceraian dan akibat perceraian.
Bab Ketiga : Menjelaskan tentang dasar pertimbangan Hukum
Hakim dalam menangani perkara Gugat cerai karena pendengaran
suami terganggu sebagai alasan perceraian dan dalam bab ini juga
menguraikan tentang data hasil penelitian yang berisi gambaran umum
Pengadilan Agama Bojonegoro.
Bab Keempat : Analisis terhadap pertimbangan-pertimbangan
hukum yang dipakai oleh hakim dalam kasus gugat cerai karena
pendengaran suami terganggu.
BAB II
KAJIAN TEORITIS TENTANG PERCERAIAN DALAM
KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 9 TAHUN 1975
A. Pengertian Perceraian
Suatu perkawinan dapat putus dan berakhir karena berbagai hal,
antara lain karena terjadinya talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap
istrinya, atau karena perceraian yang terjadi antara keduanya, atau karena
sebab-sebab lain. Untuk lebih jelasnya akan dipaparkan berikut ini:
Perceraian menurut Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam adalah
“Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama
setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak”.
Dalam Pasal 117 Kompilasi Hukum Islam mendefinisikan Talak
adalah “Ikrar suami dihadapan Sidang Pengadilan Agama yang menjadi
salah satu sebab putusnya perkawinan”.1
Sehubungan dengan Pasal di atas, Wahyu Ernaningsih dan Putu
Samawati menjelaskan bahwa walaupun perceraian adalah urusan pribadi,
baik itu atas kehendak satu diantara dua pihak yang seharusnya tidak
perlu campur tangan pihak ketiga, dalam hal ini pemerintah, tetapi demi
menghindari tindakan sewenang-wenang, terutama dari pihak suami
(karena pada umumnya pihak yang superior dalam keluarga adalah suami)
1
21
dan juga untuk kepastian hukum, maka perceraian harus melalui saluran
lembaga peradilan.2
Lebih lanjut, Wahyu Ernanigsih dan Putu Samawati menjelaskan
bahwa dengan adanya ketentuan yang menyatakan bahwa perceraian
harus dilakukan di depan sidang pengadilan, maka ketentuan ini berlaku
untuk seluruh warga Negara Indonesia, termasuk juga bagi mereka yang
beragama Islam. Walaupun pada dasarnya hukum Islam tidak
mengharuskan perceraian dilakukan di depan sidang pengadilan, namun
karena ketentuan ini lebih banyak mendatangkan kebaikan bagi kedua
belah pihak pada khususnya, seluruh warga negara, termasuk warga
negara yang beragama Islam, wajib mengikuti ketentuan ini. Selain itu,
sesuai dengan asas dalam hukum positif Indonesia yang menyatakan
bahwa peraturan itu berlaku bagi seluruh warga negara, kecuali peraturan
menentukan lain. Sedangkan dalam UU perkawinan tidak menyebutkan
ketentuan lain menyangkut masalah perceraian ini.3
Perceraian menurut Pasal 38 UU Nomor. 1 Tahun 1974 adalah
“Putusnya Perkawinan”. Adapun yang dimaksud putusnya perkawinan
adalah menurut Pasal 1 UU Nomor.1 Tahun 1974 adalah “Ikatan lahir
batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami
istri dengan tujuan menbentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi, perceraian adalah
2
Wahyu Ernaningsih dan Putu Samawati, Hukum Perkawinan Indonesia, (Palembang: PT Rambang Palembang, 2006), 110.
22
putusnya ikatan lahir batin antara suami dan istri yang mengakibatkan
berakhirnya hubungan keluarga (rumah tangga) antara suami dan istri
tersebut.
Pengertian perceraian dapat dijelaskan dari beberapa perspektif
hukum sebagai berikut :
a. Perceraian menurut hukum Islam yang telah dipositifkan dalam Pasal
38 dan Pasal 39 UU Nomor. 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan
dalam PP Nomor. 9 Tahun 1975, mencakup antara lain sebagai
berikut:
1. Pengertian dalam cerai talak, yaitu perceraian yang diajukan
permohonan cerainya oleh dan atas inisiatif suami kepada
Pengadilan Agama, yang dianggap terjadi dan berlaku beserta
segala akibat hukumnya sejak saat perceraian dinyatakan
(diikrarkan) di depan sidang Pengadilan Agama (vide Pasal 14
sampai dengan Pasal 18 PP Nomor. 9 Tahun 1975).
2. Perceraian dalam pengertian cerai gugat, yaitu perceraian yang
diajukan gugatan cerainya oleh dan atas inisiatif istri kepada
Pengadilan Agama, yang dianggap terjadi dan berlaku beserta
segala akibat hukumnya sejak jatuhnya putusan Pengadilan
Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (vide
Pasal 20 sampai dengan Pasal 36).
b. Perceraian menurut hukum agama selain hukum Islam, yang telah
23
dalam PP Nomor. 9 Tahun 1975, yaitu perceraian yang gugatan
cerainya diajukan oleh dan atas inisiatif suami atau istri kepada
Pengadilan Negeri, yang dianggap terjadi beserta segala akibat
hukumnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan
oleh Pegawai Pencatat di kantor catatan sipil (vide Pasal 20 dan Pasal
34 ayat (2) PP Nomor. 9 Tahun 1975).4
Perceraian dalam istilah ahli fiqih yang berasal dari bahasa arab
yaitu kata “َقَاْطِا “\\ artinya lepasnya suatu ikatan perkawinan dan
berakhirnya hubungan perkawinan. Menurut istilah syarak talak adalah:
ةيِجَْ َ ْلاَِةَقََاَعْلاَُءاَ ْنِاََ َِ َاَ َ لاَِةَطِبَاَرََلَح
Melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri
Jadi, talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga
setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi
suaminya. Ini terjadi dalam talak ba>’in, sedangkan arti mengurangi
pelepasan ikatan perkawinan adalah berkurangnya hak talak bagi suami
yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami
dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu, dan dari satu menjadi hilang
hak dan dalam talak raj’i>.5
4
Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 18.
5
24
B. Alasan-Alasan Perceraian
Pengertian alasan-alasan hukum perceraian dapat ditelusuri dari
pengertian “alasan” dan kata “hukum” yang merupakan dua kata
kuncinya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “alasan” berarti:
1. Dasar, hakikat dan asas.
2. Dasar bukti (keterangan) yang dipakai untuk menguatkan pendapat
(sengketa) tuduhan, dan sebagainya.
3. Yang menjadi pendorong (untuk berbuat).
4. Yang membenarkan perlakuan tindak pidana dan menghilangkan
kesalahan terdakwa.
Selanjutnya, kata “hukum” berarti peraturan perundang-undangan
yang merupakan sumber hukum formal perceraian, yaitu peraturan tertulis
yang memuat Nomorrma hukum yang mengikat secara umum dan
dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga Negara atau pejabat yang
berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan (vide Pasal UU Nomor. 12 Tahun 2011).
Dengan memperhatikan arti kata “alasan” dan “hukum”
sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat dibangun pengertian “alasan
-alasan hukum perceraian”, yaitu alas atau dasar bukti (keterangan) yang
digunakan untuk menguatkan tuduhan dan atau gugatan atau permohonan
dalam suatu sengketa atau perkara perceraian yang telah ditetapkan
dalam hukum nasional, yaitu peraturan perundang-undangan, khususnya
25
1975, hukum Islam yang kemudian telah dipositivikasi dalam Kompilasi
Hukum Islam, dan Hukum adat.6
Perceraian harus disertai dengan alasan-alasan hukum
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam
sebagai berikut :
1. Zina, pemabuk, pemadat, penjudi, dan tabiat buruk lainya yang sukar
disembuhkan
Pasal 39 ayat (2) UU Nomor.1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan
dalam Pasal 19 huruf a PP Nomor.9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf a
Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa salah satu pihak berbuat
zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya
yang sukar disembuhkan dapat menjadi alasan hukum perceraian.
Selanjutnya, keseluruhan alasan-alasan hukum perceraian tersebut
dapat dijelaskan dibawah ini.
Perzinaan atau perbuatan zina seringkali bermula dari
perselingkuhan yang menghianati kesucian dan kesetiaan dalam
perkawinan. Kesucian dan kesetiaan sangat diperlukan untuk
terjalinnya ikatan lahir batin yang kuat antara suami dan istri sebagai
pondasi bagi terbentuknya rumah tangga yang bahagia dan kekal.
Oleh karena itu, jika kesucian dan kesetiaan sudah tidak ada lagi
dalam perkawinan, pihak suami atau istri yang kesucian dan
kesetiaanya dikhianati mempunyai hak untuk menuntut perceraian.
26
Pemabuk juga dapat dijadikan alasan hukum bagi suami atau istri
yang berkehendak melakukan perceraian. Pemabuk adalah suatu
predikat (sebutan) negative yang diberikan kepada seorang, (dalam
konteks ini atau suami atau istri) yang suka meminum atau memakan
bahkan mengalami ketergantungan terhadap bahan-bahan makanan
dan minuman yang memabukkan yang umumnya mengandung alkohol
melebihi kadar yang ditoleransi (over dosis) menurut indicator
kesehatan, misalnya minuman keras, gadung, dan lain-lain.
Pemabuk seringkali mengalami pening kepala, bahkan hilang
kesadarannya, tetapi sangat kuat birahi atau nafsu syahwatnya,
sehingga dapat berbuat di luar atau lupa diri, yang dapat
membahayakan tidak hanya dirinya, melainkan juga orang lain,
misalnya suami atau istri.
Selanjutnya, selain zina dan pemabuk, pemadat juga dapat
menjadi alasan hukum bagi suami atau istri yang berkehendak
melakukan perceraian. Pemadat adalah suatu predikat negatif yang
diberikan kepada seseorang (dalam konteks ini suami atau istri) yang
suka mengonsumsi (menghisap, memakan) bahkan mengalami
kecanduan atau ketergantungan (adiktif) terhadap narkotika dan
obat-obatan terlarang (narkoba), misalnya morpin, ganja, opium, heroin, pil
koplo, pil ekstasi, dan lain-lain.
Kemudian, penjudi juga dapat dijadikan alasan hukum bagi suami
27
pemabuk dan pemadat. Penjudi adalah suatu predikat negatif yang
diberikan kepada seseorang (dalam konteks ini suami atau istri) yang
suka bermain bahkan mengalami ketergantungan terhadap judi.
Implikasi negatif dari judi adalah menjadikan penjudi banyak
berangan-angan atau berkhayal, ingin cepat kaya dengan jalan pintas,
boros, lemah hati dan pikiran. Baik zina, pemabuk, pemadat, penjudi,
maupun tabiat buruk lainya, adalah niat, perilaku dan sifat atau
karakter buruk yang sukar disembuhkan, dan dapat menjadi sumber
potensial atau awal mula dari perbuatan-perbuatan buruk suami atau
istri yang dapat merusak keharmonisan rumah tangga, menimbulkan
perselisihan dan pertengkaran terus-menerus, yang berakibat tidak
dapat dipertahankannya lagi perkawinan mereka.
2. Meninggalkan pihak lain tanpa izin dan alasan yang sah atau hal lain di
luar kemampuannya
Pasal 39 ayat (2) UU Nomor. 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan
dalam Pasal 19 huruf b PP Nomor.9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf b
Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa salah satu pihak
meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak
lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya
dapat menjadi alasan hukum perceraian.
Meninggalkan pihak lain tanpa alasan yang sah menunjukkan
secara tegas bahwa suami atau istri sudah tidak melaksanakan
28
maupun batiniah. Ini berarti bahwa tidak ada harapan lagi untuk
mempertahankan kelangsungan rumah tangga, karena telah hilangnya
perasaan sayang dan cinta , sehingga tega menelantarkan atau
mengabaikan hak suami atau istri yang ditinggalkannya. Jadi, perceraian
adalah solusi untuk keluar dari rumah tangga yang secara hukum formal
ada, tetapi secara faktual sudah tidak ada lagi.
3. Hukuman Penjara 5 Tahun atau Hukuman Berat Lainnya
Pasal 39 ayat (2) UU Nomor.1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan
dalam Pasal 19 huruf c PP Nomor. 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf c
Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa salah satu pihak mendapat
hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah
perkawinan berlangsung dapat menjadi alasan hukum perceraian.
Hukuman penjara atau hukuman berat lainnya dapat membatasi
bahkan menghilangkan kebebasan suami atau istri untuk melakukan
berbagai aktivitas berumah tangga, termasuk menghambat suami atau
istri untuk melaksanakan kewajibannya, baik kewajiban yang bersifat
lahiriah maupun kewajiban yang bersifat batiniah, sehingga membuat
penderitaan lahir dan batin dalam rumah tangga yang sudah tidak layak
lagi untuk dipertahankan.
4. Perilaku Kejam dan Aniaya Berat yang Membahayakan
Pasal 39 ayat (2) UU Nomor. 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan
dalam Pasal 19 huruf d PP Nomor.9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf d
29
kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain,
dapat menjadi alasan hukum perceraian.
Perilaku kejam dan penganiayaan berat adalah perilaku
sewenang-wenang, bengis dan zalim, yang membahayakan dan menyakiti orang lain
baik secara fisik maupun psikis, yang bersifat menyiksa dan menindas,
tanpa ada rasa belas kasihan.
Kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan dapat
berdampak penderitaan fisik dan mental (psikologis) bagi suami atau istri
yang menerima kekejaman dan penganiayaan berat sebagai bentuk tindak
kekerasan yang membahayakan “nyawa” tersebut.
Perilaku kejam dan aniaya berat yang membahayakan adalah
perilaku yang sangat buruk dan memalukan keluarga dan kerabat dari
suami atau istri yang bersangkutan, sehingga perilaku demikian juga
merupakan alasan hukum perceraian menurut hukum adat.
5. Cacat Badan atau Penyakit yang Menghalangi Pelaksanaan Kewajiban
Cacat badan atau penyakit adalah kekurangan yang pada diri
suami atau istri, baik yang bersifat badaniah maupun rohaniah yang
mengakibatkan terhalangnya suami atau istri untuk melaksanakan
kewajibannya sebagai suami atau istri.
Pasal 39 ayat (2) UU Nomor.1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan
dalam Pasal 19 huruf e PP Nomor. 9 Tahun 1975 dan dalam Pasal 116
huruf d Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa salah satu pihak
30
menjalankan kewajibannya sebagai suami istri dapat menjadi alasan
hukum perceraian.
6. Perselisihan dan Pertengkaran Terus-menerus
Pasal 39 ayat (2) UU Nomor.1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan
dalam Pasal 19 huruf e PP Nomor.9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf f
Kompilasi Hukum Islam yang menegaskan bahwa perceraian dapat terjadi
karena antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga. Namun, tampak jelas bahwa Pasal 39 ayat (2) UU Nomor. 1
Tahun 1974 jo. Pasal 19 huruf e PP Nomor. 9 Tahun 1975 membedakan
antara “perselisihan” dengan “pertengkaran”, tetapi tidak memberikan
penjelasan tentang pengertian perselisihan dan pertengkaran tersebut.
Alasan-alasan hukum perceraian yang ditentukan dalam Kompilasi
Hukum Islam selain yang telah diuraikan di atas, adalah :
7. Suami melanggar taklik talak
Taklik talak menurut Pasal 116 huruf (g) Kompilasi Hukum Islam
ialah sebagai berikut:
31
8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak
rukunan dalam rumah tangga
Kompilasi Hukum Islam tidak memberikan penjelasan lebih lanjut
tentang murtad sebagai alasan hukum perceraian. Oleh karena itu, terbuka
peluang hukum untuk ditafsirkan bahwa apabila salah seorang dari suami
dan istri keluar dari agama Islam atau murtad, maka putuslah hubungan
perkawinan mereka. Dasar hukumnya dapat diambil i’tiba>r dari Al Quran
Surat Al-Baqarah (2) ayat 221, yang melarang menikah baik laki-laki
dengan wanita maupun sebaliknya wanita dengan laki-laki yang tidak
beragama Islam.7
C. Bentuk-bentuk Perceraian
Bentuk-bentuk perceraian menurut Hukum Islam yang telah
dipositivisasi dalam Kompilasi Hukum Islam, khususnya dalam
Pasal-pasal yang substansinya mengatur tentang macam-macam dan cara
pemutusan hubungan perkawinan.
Pasal 113 Kompilasi Hukum Islam memuat ketentuan klasifikatif
bahwa perkawinan putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan
pengadilan. Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian
dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama,
7
32
setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
Macam-macam dan cara pemutusan hubungan perkawinan karena
perceraian yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, adalah sebagai
berikut:
1. Talak
Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama
yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan (vide Pasal 117).
Macam-macam talak dalam Kompilasi Hukum Islam di bagi menjadi
enam macam, yaitu :
Pasal 118-122
a. Talak Raj’i>
Talak raj’i> ialah talak di mana suami boleh merujuk istrinya pada
waktu idah. Talak raj’i> ialah talak satu atau talak dua yang tidak
disertai uang ‘iwad{ dari pihak istri.
Pasal 119
b. Talak Ba>’in S{ugra> ialah talak satu atau talak dua yang disertai uang
‘iwad{ dari pihak istri, talak ba>’in seperti ini disebut talak ba>’in kecil.
Pada talak ba>’in kecil suami tidak boleh merujuk kembali istrinya
dalam masa idah. Kalau si suami hendak mengambil bekas istrinya
kembali harus dengan perkawinan baru yaitu dengan akad nikah.
33
c. Talak Ba>’in kubra> ialah talak yang ketiga dari talak-talak yang telah
dijatuhkan oleh suami. Talak ba>’in besar ini mengakibatkan si suami
tidak boleh merujuk atau mengawini kembali istrinya baik dalam
masa idah maupun sesudah masa idah habis. Seorang suami yang
mentalak ba>’in besar istrinya boleh mengawini istrinya kembali kalau
telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Istri telah kawin dengan laki-laki lain.
2. Istri telah dicampuri oleh suaminya yang baru.
3. Istri telah dicerai oleh suaminya yang baru.
4. Telah habis masa idahnya.
Pasal 121
d. Talak Sunni>, ialah talak yang dijatuhkan mengikuti ketentuan Al
Quran dan Sunnah Rasul. Yang termasuk talak sunni> ialah talak yang
dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan suci dan belum dicampuri
dan talak yang dijatuhkan pada saat istri sedang hamil. Sepakat para
ahli fiqh, hukumnya talak sunni> adalah halal.
Pasal 122
e. Talak Bid’i>, ialah talak yang dijatuhkan dengan tidak mengikuti
ketentuan Al Quran maupun Sunah Rasul. Hukumnya talak bid’i>
adalah haram. Yang termasuk talak bid’i> ialah :
1. Talak yang dijatuhkan pada istri yang sedang haid atau datang
34
2. Talak yang dijatuhkan pada istri yang dalam keadaan suci tetapi
telah dicampuri.
3. Talak yang dijatuhkan dua sekaligus, tiga sekaligus atau mentalak
istrinya untuk selama-lamanya.8
2. Syiqaq
Syiqaq berarti “perselisihan”. Menurut istilah fikih berarti, syiqaq
berarti perselisihan suami istri yang diselesaikan oleh dua orang hakam,
yaitu seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri.
Dasar hukumnya ialah firman Allah Swt, surah an-Nisa ayat : 35
َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ََ ََ
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Ayat 35 surah an-Nisa’ tersebut merupakan kelanjutan dari ayat
34 yang menerangkan cara-cara suami memberi pelajaran kepada istrinya
yang melalaikan kewajibannya. Apabila cara yang diterangkan ayat 34
telah dilakukan, namun perselisihan terus memuncak, maka suami
hendaknya tidak tergesa-gesa menjatuhkan talak, melainkan mengangkat
dua orang hakam yang bertindak sebagai juru pendamai.
8
35
Sedangkan syiqaq menurut hukum positif adalah perselisihan,
percekcokan. Perselisihan yang berkepanjangan dan meruncing antara
suami istri. Syiqaq merupakan perselisihan yang berawal dan terjadi pada
kedua belah pihak suami dan istri secara bersama-sama.
Syiqaq bisa juga terjadi disebabkan oleh faktor perilaku dari salah
satu pasangan suami istri yang bersifat buruk, atau salah satunya
bertindak kejam terhadap lainya, atau seperti kadangkala terjadi mereka
tidak dapat hidup rukun sebagai keluarga yang utuh.
Syiqaq diatur dalam penjelasan pasal 76 ayat 1 UU RI Nomormor
7 tahun 1989 dikatakan syiqaq adalah perselisihan yang tajam dan terus
menerus antara suami dan istri. Pengertian syiqaq juga tercantum dalam
peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomormor 9 tahun 1975
pelaksanaan Undang-undang Nomormor 1 tahun 1974, pasal 116 huruf (f)
“Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.” 9
3. Taklik talak
Taklik talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria
setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji
talak yang digantungkan kepada suatu kedaan tertentu yang mungkin
terjadi di masa yang akan datang (vide Pasal 1 huruf e). Isi taklik
talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. Apabila keadaan
yang disyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian,
36
tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh
jatuh, istri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama.
Perjanjian taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan
pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah
diperjanjikan, tidak dapat dicabut kembali (vide Pasal 46).
4. Lian
Lian menyebabkan putusnya perkawinan antara suami istri untuk
selama-lamanya (vide Pasal 125). Lian terjadi karena suami menuduh
istri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau
yang sudah lahir dari istrinya, sedangkan istri menolak tuduhan dan
atau pengingkaran tersebut (vide Pasal 126). Menurut Pasal 127, tata
cara lian adalah sebagai berikut:
a. Suami bersumpah 4 kali dengan kata tuduhan zina dan atau
pengingkaran anak tersebut, diikuti sumpah kelima dengan
kata-kata “laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau
pengingkaran tersebut didusta”.
b. Istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan
sumpah empat kali dengan kata “tuduhan dan atau pengingkaran
tersebut tidak benar”, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata
“murka Allah atas dirinya bila tuduhan dan atau pengingkaran
tersebut benar”.
Tata cara tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak
37
kedua, maka dianggap tidak terjadi lian. Menurut Pasal 128, lian
hanya sah apabila dilakukan di hadapan sidang Pengadilan Agama.
Selanjutnya, menurut Pasal 162, bilamana lian terjadi, maka
perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung
dinasabkan kepada ibunya, sedang suami terbebas dari kewajiban
memberi nafkah.10
D. Akibat Perceraian
Bila hubungan perkawinan putus antara suami dan istri dalam
segala bentuknya, maka hukum yang berlaku yang di atur dalam
Kompilasi Hukum Islam Pasal 149 adalah:11
a. Keharusan memberi mutah yang layak kepada bekas istrinya, baik
berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla al-dukhu>l.
b. Memberi nafkah, tempat tinggal dan pakaian kepada bekas istri
selama dalam idah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba>’in atau
nusyur dan dalam keadaan tidak hamil.
c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh
apabila qabla al-dukhu>l.
d. Memberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum
mencapai umur 21 tahun. Ini diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang
Perkawinan yang pada dasarnya adalah seperti berikut :
10
Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian…, 166.
11
38
1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak
bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,
Pengadilan memberi keputusannya.
2. Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi tanggung
jawab pihak bapak, kecuali dalam kenyataannya bapak dalam
keadaan tidak mampu sehingga tidak dapat melakukan kewajiban
tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut
memikul biaya tersebut.
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu
kewajiban bagi bekas istri.12
Pasal 150
Bekas suami berhak melakukan rujuk kepada bekas istrinya yang
masih dalam idah.
Pasal 151
Bekas istri selama dalam idah, wajib menjaga dirinya, tidak menerima
pinangan dan tidak menikah dengan pria lain.
39
Pasal 152
Bekas istri berhak mendapatkan nafkah idah dari bekas suaminya
BAB III
PUTUSAN PENGADILAN AGAMA BOJONEGORO
NOMOR 2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn. TENTANG CERAI GUGAT KARENA PENDENGARAN SUAMI TERGANGGU
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Bojonegoro
1. Status Pengadilan Agama Bojonegoro
Pengadilan Agama Bojonegoro adalah salah satu instansi
pemerintah dibawah naungan Mahkamah Agung yang menangani
masalah hukum perdata khusus di Kabupaten Bojonegoro. Sesuai
dengan keberadaanya itu, Lembaga Peradilan Agama ini harus mampu
melayani kebutuhan masyarakat dalam bidang hukum terutama
hukum kekeluargaan.
Pengadilan Agama Bojonegoro adalah Pengadilan tingkat pertama
yang berkedudukan di ibu kota kabupaten Bojonegoro. Pengadilan
Agama Bojonegoro memiliki satu gedung berstatus milik Negara
(Mahkamah Agung RI) berkedudukan di Jalan MH Thamrin
Nomormor 88 Bojonegoro, sertifikat Nomormor: 04/1991 tanggal 10
Mei 1991.`
Sebagaimana Pengadilan Agama yang lain, Pengadilan Agama
Bojonegoro juga mempunyai batas-batas wilayah hukum Pengadilan
Agama atau daerah lain, batasan-batasan tersebut adalah:
41
b. Sebelah timur : Kabupaten Lamongan.
c. Sebelah selatan : Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Madiun
dan Kabupaten Jombang.
d. Sebelah Barat : Kabupaten Blora dan Kabupaten Ngawi.1
Dalam hal klasifikasi lembaga peradilan tingkat pertama,
Pengadilan Agama Bojonegoro termasuk salah satu Pengadilan
Agama yang mempunyai kategori Pengadilan Klas 1 A.
Pengklasifikasian lembagan peradilan dalam tingkat pertama tersebut
didasarkan atas jumlah perkara dan bobot atau kualitas perkara yang
ditangani.
2. Wewenangan Pengadilan Agama Bojonegoro
Kedudukan Pengadilan Agama Menurut Undang-undang Nomor.7
Tahun 1989 adalah sebagai peradilan perdata yang khusus menangani
perkara perdata tertentu. Hal ini diatur dalam Pasal 2 yang
menetapkan sebagai berikut: “Pengadilan Agama merupakan salah
satu pelaksanaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang
beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam
Undang-undang ini”. Sehingga tugas dan kedudukan Pengadilan
Agama Bojonegoro yang merupakan salah satu Pengadilan yang ada
di Indonesia adalah melayani kebutuhan masyarakat Bojonegoro
dalam bidang hukum perdata, terutama hukum keluarga yang khusus
bagi umat Islam.`
42
Hal ini selaras dengan bunyi dan maksud Pasal 36 ayat (1)
Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 dan Pasal 49 ayat (1,2, dan 3)
Undang-undang Nomor. 7 Tahun 1989 yang berbunyi: “Pengadilan
Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam tentang:
1. Perkawinan;
2. Kewarisan, Wasiat, dan Hibah yang dilakukan berdasarkan hukum
Islam;
3. Wakaf dan Shodaqoh;
4. Ekonomi Syariah;2
3. Wilayah Yuridis Pengadilan Agama Bojonegoro
Dalam menjalankan fungsinya sebagai badan peradilan,
Pengadilan Agama Bojonegoro memiliki wilayah hukum seluas
wilayah kabupaten Bojonegoro, yaitu 2307 km².
Wilayah yuridis Pengadilan Agama Bojonegoro meliputi 27
Kecamatan terdiri dari 430 desa atau keseluruhan terdiri dari:
a. Kecamatan Bojonegoro terdiri dari 18 desa.
b. Kecamatan Trucuk terdiri dari 18 desa.
c. Kecamatan Kapas terdiri dari 21 desa.
d. Kecamatan Sukosewu terdiri dari 14 desa.
e. Kecamatan Balen terdiri dari 23 desa.
2
43
f. Kecamatan Sumberejo terdiri dari 26 desa.
g. Kecamatan Kanor terdiri dari 25 desa.
h. Kecamatan Baureno terdiri dari 25 desa.
i. Kecamatan Kepohbaru terdiri dari 25 desa.
j. Kecamatan Kedungadem terdiri dari 23 desa.
k. Kecamatan Sugihwaras terdiri dari 17 desa.
l. Kecamatan Temayang terdiri dari 12 desa.
m. Kecamatan Dander terdiri dari 16 desa.
n. Kecamatan Bubulan terdiri dari 5 desa.
o. Kecamatan Gondang terdiri dari 7 desa.
p. Kecamatan Kalitidu terdiri dari 24 desa.
q. Kecamatan Purwosari terdiri dari 12 desa
r. Kecamatan Padangan terdiri dari 16 desa.
s. Kecamatan Kasiman terdiri dari 10 desa.
t. Kecamatan Ngraho terdiri dari 16 desa.
u. Kecamatan Tambakrejo terdiri dari 18 desa.
v. Kecamatan Margomulyo terdiri dari 6 desa.
w. Kecamatan Sekar terdiri dari 6 desa.
x. Kecamatan Ngambon terdiri dari 5 desa.
y. Kecamatan Malo terdiri dari 20 desa.
z. Kecamatan Kadewan terdiri dari 5 desa.
44
Didalam Pasal 4 ayat (1) UU Nomor.3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama berbunyi: “Peradilan Agama berkedudukan di kota
madya atau di ibu kota kabupaten dan daerah hukumnya meliputi
wilayah kotamadya atau kabupaten”.3
4. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Bojonegoro
Dalam Undang-undang Nomormor 7 Tahun 1989, amandemen
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, amandemen Undang-undang
Nomormor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama pasal 9 ayat (1)
dinyatakan bahwa susunan pengadilan agama terdiri dari pimpinan,
Hakim, Anggota, Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita. Selanjutnya
dalam pasal 26 dan pasal 43 juga dijelaskan bahwa dalam
melaksanakan tugasnya Panitera, Sekretaris, dibantu Wakil Panitera
(Wapan) yang membantu tugas Panitera atau sekretaris dalam bidang
administrasi perkara.
Dengan fungsi dan peran masing-masing sebagaimana Pengadilan
Agama yang ada di Indonesia, struktur tersebut sangat penting guna
mempertegas kedudukan dan wewenang serta tanggung jawab
masing-masing bagian.
Tentang struktur organisasi Pengadilan Agama Bojonegoro adalah
sebagai berikut:
a. Ketua : H. Nahison Dasa Brata, S.H., M.Hum.
b. Wakil ketua : Dra. Hj. Nur Indah H. Nur, S.H.
3
45
c. Hakim :
1) H. Nahison Dasa Brata, S.H., M.Hum
2) Dra. Hj. Nur Indah H. Nur S.H.
3) Drs. Masykuri HM, M.H.I.
4) Drs. H. Nurhadi, M.H.
5) Drs. H. Imam Ahmad
6) Drs. H. Masduqi
7) Drs. H. Soepandi
8) Dra. Hj. Azizah Ulfa, M.H.
9) Dra. Hj. Sawalang, M.H.
10)Drs. H. Karmin, M.H.
11)Drs. H. Moch. Bachrul Ulum, M.H.
12)Dra. Istiana Farda
13)Dra. Hj. Nur Fadhilatin
14)Drs. H. Miftahul Fahri
15)Drs. A. Muhtarom
16)Dra. Hj. Farida Ariani, S.H., M.H.
d. Panitera : H. Abdul Mutholib, S.H., M.H.
e. Wakil Panitera : Drs. H. Sholikin, S.H.
f. Panitera Muda Hukum :
Ketua : Drs. M. Nurwachid
Staf : 1) TrisNomor Sujarwo, S.H.
46
g. Panitera Muda Gugatan :
Ketua : Hj. Siti Masithah, B.A.
Staf : 1) Ahmad Bajuri, S.H.
2) Dahlia Zahro, S.H.
h. Panitera Muda Permohonan :
Ketua : Sudarjo, S.H.
Staf : 1) Arif Budi Santosa, S.H.
2) Ahmad Nur Rofiqi, S.H.I., M.H.
i. Panitera Pengganti :
1) H. Abdul Mutholib, S.H., M.H.
2) Drs. H. Sholikin Jamik, S.H.
3) Sudardjo, S.H.
4) Hj. Siti Masithah, B.A.
5) Drs. M. Nur Wachid
6) Moh. Sun’an, S.H.
7) Sinhaji, S.H.
8) Ulin Nuha, S.Ag.
9) Endah Ratna Wijaya, S.H.
j. Juru Sita/ Pengganti :
1) Muhammad SutrisNomor
2) TrisNomor Sujarwo, S.H.
3) Ahmad Bajuri, S.H.
47
5) M. Sun’an, S.H.
6) Sudarmanto
7) Sudarjo, S.H.
k. Sekretaris : Yeti Rianawati, S.H.
l. Bendahara :
Pengeluaran : Yunistira Fauziyah, S.H.I
Penerimaan : Ahmad Bajuri, S.H.
m. Kepala Sub Bagian Keuangan:
Ketua : Syamsul Dluha, S.Kom., M.H.I
Staf : 1) Sudarmanto
2) Harum Patuh Purwanto
3) Ahmad Ahsanul Hidayat, S.T.
n. Kepala Sub Bagian Perencanaan, TekNomorlogi, Informasi dan
Pelaporan:
Ketua : Nomorvan Yahya Utama, S.Kom
Staf : 1) M. Tantowi Nur Ansori, S.H.
2) Moch. Ardany Chabib, S.H.
o. Kepala Sub Bagian Kepegawaian, Organisasi dan Tata Laksana:
Ketua : Yunistira Fauziyah, S.H.I.
Staf : 1) Wawan Suhermanto
48
B. Deskripsi Terhadap Putusan Nomor.2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn.
Tentang Perceraian Karena Pendengaran Suamu Terganggu
Berdasarkan salinan putusan Pengadilan Agama Bojonegoro
Nomor.2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn. Permohonan didaftarkan pada
tanggal 16 Desember 2013 dan diakhiri pada tanggal 04 Maret 2014.
Permohonan diajukan para Penggugat yang terdaftar di Kepaniteraan
Pengadilan Agama Bojonegoro dalam register Nomormor:
2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn.
1. Identitas para pihak :
a. Penggugat, umur 21 tahun, agama Islam, pekerjaan karyawan
swasta, pendidikan, tempat kediaman di Kecamatan Sumberrejo
Kabupaten Bojonegoro.
b. Terguggat, umur 28 tahun, agama Islam, pekerjaan tani,
pendidikan, tempat kediaman di Kecamatan Sumberrejo
Kabupaten Bojonegoro.
c. Saksi I, umur 48 tahun , agama Islam, pekerjaan tani, tempat
tinggal di Desa Sambongrejo, Kecamatan Sumberrejo Kabupaten
Bojonegoro.
d. Saksi II, umur 52 tahun, agama Islam, pekerjaan pinaraan, tempat
tinggal di Desa Sambongrejo, Kecamatan Sumberrejo Kabupaten
49
2. Tentang Posita
Bahwa Penggugat telah menikah dengan Tergugat pada tanggal 06
Agustus 2013, yang dicatat Pengawai Pencatat Nikah pada Kantor
Urusan Agama Kecamatan Sumberrejo, Kabupaten Bojonegoro,
sesuai kutipan Akta Nikah Nomor: 345/29/III/2013, tanggal 06
Agustus 2013;
Bahwa sewaktu menikah Penggugat dan Tergugat berstatus
perawan dan jejaka;
Bahwa setelah akad nikah, Penggugat dan Tergugat bertempat
kediaman di rumah tangga orang tua Tergugat selama 8 hari lalu
pindah kerumah orang tua Penggugat selama 2 hari, namun Penggugat
dengan Tergugat belum pernah terjadi hubungan badan sebagaimana
layaknya suami istri yang baik (Qobla dukhul);
Bahwa Penggugat mengajukan gugatan cerai ini dengan alasan
sebagaimana tersebut dibawah ini:
a. Bahwa sejak semula rumah tangga Penggugat den