• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis hukum Islam terhadap gugat cerai karena pendengaran suami terganggu: studi atas putusan pengadilan agama Bojonegoro nomor.2865/pdt.g/2013/pa.bjn.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis hukum Islam terhadap gugat cerai karena pendengaran suami terganggu: studi atas putusan pengadilan agama Bojonegoro nomor.2865/pdt.g/2013/pa.bjn."

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP GUGAT

CERAI KARENA PENDENGARAN SUAMI

TERGANGGU

(Studi atas Putusan Pengadilan Agama Bojonegoro Nomor.2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn)

SKRIPSI

Oleh Siti Khomsatun NIM.C01213081

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi (Hukum Keluarga)

Surabaya

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Analisis Hukum Islam terhadap Gugat Cerai Karena

Pendengaran Suami Terganggu (Studi atas Putusan Pengadilan Agama

Bojonegoro Nomor.2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn)” Penelitian ini bertujuan untuk

menjawab rumusan masalah : Bagaimana pertimbangan hukum Hakim dalam memutuskan perkara perceraian karena pendengaran suami terganggu? Dan Bagaimana analisis hukum Islam terhadap pertimbangan hukum Hakim tentang perceraian karena pendengaran suami terganggu?

Data penelitian ini di himpun dengan menggunakan teknik pengumpulan dokumentasi dan interview atau wawancara, selanjutnya data yang sudah terkumpul dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis dengan pola pikir deduktif yaitu teknik analisa dengan cara memaparkan data apa adanya kemudian dianalisa dengan menggunakan hukum Islam. Sedangkan pola pikir deduktif adalah pola pikir yang berangkat dari variable yang bersifat umum, dalam hal ini teori hukum Islam, kemudian diaplikasikan ke dalam variable yang bersifat khusus dalam hal ini dasar pertimbangan hukum hakim Pengadilan Agama Bojonegoro.

Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa yang menjadi dasar hakim dalam memutuskan perceraian dengan alasan cerai gugat karena pendengaran suami terganggu adalah Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi : “Antara

suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada

harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”. Pendengaran terganggu di

dalam Undang-undang tidak disebutkan sebagai alasan yang sah untuk mengajukan gugat cerai, tetapi pendengaran terganggu telah menjadi sebab perselisihan, oleh sebab itu, Majelis Hakim mengabulkan gugatan tersebut.

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TRANSLITERASI ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 9

C. Rumusan Masalah ... 10

D. Kajian Pustaka ... 11

E. Tujuan Penelitian ... 13

F. Kegunaan Hasil Peneltian ... 14

G. Definisi Operasional ... 15

H. Metode Penelitian ... 15

(8)

BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PERCERAIAN DALAM

KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN PERATURAN

PEMERINTAH NOMOR 9 TAHUN 1975 ... 20

A. Pengertian Perceraian ... 20

B. Alasan-alasan Perceraian ... 24

C. Bentuk-bentuk Perceraian ... 31

D. Akibat Perceraian ... 37

BAB III PUTUSAN PENGADILAN AGAMA BOJONEGORO NO. 2865/ Pdt.G/ 2013/PA.Bjn. TENTANG CERAI GUGAT KARENA PENDENGARAN SUAMI TERGANGGU ... 40

A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Bojonegoro ... 40

B. Deskripsi Perkara Nomor 2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn. tentang Cerai Gugat Karena Pendengaran Suami Terganggu ... 48

C. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Memutuskan Perkara Nomor 2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn. ... 51

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA BOJONEGORO NOMOR 2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn. TENTANG CERAI GUGAT KARENA PENDENGARAN SUAMI TERGANGGU ... 57

(9)

B. Analisis Hukum Islam terhadap Putusan Nomor

2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn. tentang Cerai Gugat Karena

Pendengaran Suami Terganggu ... 60

BAB V PENUTUP ... 64

A. Kesimpulan ... 64

B. Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama merupakan satu aturan dan ketentuan Tuhan untuk

mengatur kehidupan manusia yang harus dipatuhi, yakni dengan

menjalankan perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya dalam

rangka mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

Perkawinan sendiri merupakan sunnatullah yang di antara

tujuannya adalah agar manusia mendapatkan ketenangan hidup dari

hidup berpasangan. Di samping itu agar terjadi perkembangbiakan

ummat manusia secara sah bagi kelanjutan generasi mendatang.

Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa

Arab disebut dengan dua kata, yaitu nika>h dan zawa>j. Kedua kata ini

yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang arab dan banyak

terdapat dalam Al-Quran dan hadis nabi. Kata na-ka-h}a banyak

terdapat dalam Al-Quran dengan arti kawin, seperti dalam surah

an-Nisa’ ayat 3:

 َ  َ  َ  َ  َ  َ  َ  َ  َ  َ  َ  َ  َ  َ  َ  َ  َ  َ  َ  َ  َ  َ  َ  َ  َ  َ  َ  َ  َ  َ  َََ َ

Dan jika kamutakut tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim, maka

(11)

2

atau empat orang, dan jika kamu takut akan berlaku adil, cukup satu orang.1

Demikian pula banyak terdapat kata za-wa-ja dalam Al-Quran

dalam arti kawin2, seperti pada surah an-Nur ayat 32:

 َ  َ  َ  َ  َ   َ  َ  َ  َ  َ  َ  َ  َ  َ  َ  َ  َ  َ  َ  َََ َ

Dan kawinkanlah orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.

Para fuqaha mengartikan akad zawaj> sebagai pemilikan sesuatu

melalui jalan yang disyariatkan dalam agama. Dan pengertian ini telah

umum di kalangan para fuqaha. 3

Dalam Kompilasi Hukum Islam, pengertian perkawinan dan

tujuannya dinyatakan dalam Pasal 2 dan 3 sebagai berikut:

Pasal 2

Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu

akad yang sangat kuat atau mi>tsa>qa>n ghali>zha>n untuk mentaati

perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Pasal 3

1

Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: t.p., 2002), 99.

2 Amir Syarifuddin., Hukum Perkawinan di Indonesia., (Jakarta: Kencana, 2006), 35-37.

3 Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih

(12)

3

Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah

tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Sayyid Sabiq, lebih lanjut mengomentari: Perkawinan

merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk

Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan.

Perkawinan merupakan cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi

manusia untuk beranak-pinak, berkembangbiak, dan melestarikan

hidupnya setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya

yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan.4

Walaupun ada perbedaan pendapat tentang perumusan

perngertian perkawinan, tetapi dari semua rumusan yang dikemukakan

ada satu unsur yang merupakan kesamaan dari seluruh pendapat, yaitu

bahwa nikah itu merupakan suatu perjanjian perikatan antara seorang

laki-laki dan seorang wanita, perjanjian disini bukan sembarang

perjanjian jual beli atau sewa menyewa, tetapi perjanjian dalam nikah

adalah merupakan perjanjian suci untuk membentuk keluarga antara

seorang laki-laki dan seorang wanita. Suci disini dilihat dari segi,

keagamaannya dari suatu perkawinan.

Undang-undang perkawinan, dalam pasal 1 merumuskan

pengertian perkawinan sebagai berikut : “Perkawinan ialah ikatan lahir

batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

(13)

4

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kalau kita bandingkan

rumusan menurut hukum Islam di atas dengan rumusan dalam pasal 1

Undang-undang Perkawinan mengenai pengertian dari perkawinan

tidak ada perbedaan yang prinsipil”.5

Tujuan dari disyariatkannya perkawinan atas umat islam,

diantaranya adalah: pertama, untuk mendapatkan anak keturunan yang

sah bagi melanjutkan generasi yang akan datang. Keinginan untuk

melanjutkan keturunan merupakan naluri umat manusia bahkan juga

naluri bagi makhluk hidup yang diciptakan Allah. Untuk maksud itu

Allah menciptakan bagi manusia nafsu syahwat yang dapat

mendorongnya untuk mencari pasangan hidupnya untuk menyalurkan

nafsu syahwat tersebut. Untuk memberi saluran yang sah dan legal

bagi penyaluran nafsu syahwat tersebut adalah melalui lembaga

perkawinan. Kedua, untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh

ketenangan hidup dan rasa kasih sayang.6

Tujuan pernikahan tersebut memang sangat didambakan oleh

setiap pasangan, tetapi tidak selamanya kebahagiaan dan

keharmonisan didapatkan oleh setiap pasangan dalam kehidupan

berumah tangga sehingga banyak diantara mereka yang bercerai

dengan alasan yang berbeda-beda.

5 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 2007), 9.

(14)

5

Perceraian menurut Pasal 38 UU Nomormor. 1 Tahun 1974

adalah “putusnya perkawinan.” Jadi, perceraian adalah putusnya ikatan

lahir dan batin antara suami dan istri yang mengakibatkan berakhirnya

hubungan keluarga (rumah tangga) antara suami dan istri tersebut.

Pasal 39 UU Nomormor. 1 Tahun 1974 memuat ketentuan imperative

bahwa perceraian hanya dapat dilakukan dilakukan di depan

Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha

mendamaikan kedua belah pihak.

Perceraian menurut hukum Islam yang telah dipositifkan dalam

Pasal 38 dan Pasal 39 UU Nomormor. 1 Tahun 1974 yang telah

dijabarkan dalam PP Nomor. 9 Tahun 1975, mencakup antara lain

sebagai berikut.

1. Perceraian dalam pengertian cerai talak, yaitu perceraian yang

diajukan permohonan cerainya oleh dan atas inisiatif suami kepada

Pengadilan Agama, yang dianggap terjadi dan berlaku beserta

segala akibat hukumnya sejak saat perceraian itu dinyatakan

(diikrarkan) di depan sidang Pengadilan Agama (vide Pasal 14

sampai dengan Pasal 18 PP Tahun 1975).

2. Perceraian dalam pengertian cerai gugat, yaitu perceraian yang

diajukan gugatan cerainya oleh dan atas inisiatif istri kepada

Pengadilan Agama, yang dianggap terjadi dan berlaku beserta

(15)

6

yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (vide Pasal 20

sampai dengan Pasal 36).7

Perceraian walaupun diperbolehkan tetapi agama Islam tetap

memandang bahwa perceraian adalah sesuatu yang bertentangan

dengan asas-asas Hukum Islam. Ibnu ‘Umar meriwayatkan dari Nabi

bahwa beliau bersabda :

َ عَدلاخَ بَد حَا ثدحَديَبعَ بٌَر كَا ثّدح

َ ِراَح َ عَلِصاَ َ بَفَِع

قَاََطلاَِهَّلاَىَلِاَِلََاَحْاَضَغْبَاَلاقَِيِب لاَ عَََ عَ باَ عَراَثِدَ ب

َ

ََد ادَ باَ ا رُ

Telah menceritakan kepada kami Katsir ibn ‘Ubaid, telah

menceritakan kepada kami Muhammad ibn Khalid, telah menceritakan

kepada kami Mua’arrif ibn wa>shil dari Muha>rib ibn Ditsar dari Ibn ‘Umar dari Nabi Muhammad Saw, beliau bersabda: "Tidaklah Allah

menghalalkan sesuatu yang lebih Dia benci daripada perceraian." (H.R

Abu Dawud)8

Dan diriwayatkan dari Tsauban bahwa Rasulullah saw bersabda :

ِبَأَْ َعََةَباَِقَيِبَأَْ َعََ يَأَْ َعٌَدا َحَاََثدَحَ ْ َحَ ْبَُ اَ ْيَسَاََثدَح

َْ َعََءاَ ْسَأَي

اَقََ اَبْ َث

لَ

َاَ َجْ ََْتَلَأَسَ َأَْاَاَ يَأََ ََسَ َِهْيََعَهَلاَىََصَِهَلاَُل سَرََلاَق

اَ ْيََعٌَاََحَفَ ْأَبَاََِْيَغَيِفَاًقاََط

َ

ِة َجْلاَُةَحِئاَر

َ

ََد ادَ باَ ا رُ

Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb, telah menceritakan kepada kami Hammad dari Ayyub dari Abu Qilabah dari Abu Asma` dari Tsauban, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapapun wanita yang meminta cerai kepada

suaminya bukan karena kesalahan, maka haram baginya bau surga.”

(H.R. Abu Dawud)9

7 Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 18-20. 8Abu Dawud Sulaiman Ibnu As’ad, Sunan Abi Dawud Juz 2, (Beirut: Kutub Al-Ilmiah, 1996),120.

(16)

7

Dengan melihat isi kedua hadist Nabi tersebut di atas, dapat

ditarik kesimpulan bahwa talak itu walaupun diperbolehkan oleh

agama, tetapi pelaksanaanya harus berdasarkan suatu alasan yang kuat

dan merupakan jalan yang terakhir yang ditempuh oleh suami isteri,

apabila cara-cara lain yang telah diusahakan sebelumnya tetap tidak

dapat mengembalikan keutuhan kehidupan rumah tangga suami isteri

tersebut.10

Untuk dapat mengajukan perceraian ke pengadilan, harus

terpenuhi dulu alasan-alasan perceraian yang dibenarkan. Secara jelas

pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menjelaskan

bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar dalam pengajuan

perceraian adalah :

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, dan

lain sebagainya yang sukar di sembuhkan.

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun

berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau

karena hal lain di luar kemampuanya.

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau

hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat

yang membahayakan pihak lain.

10

(17)

8

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan badan atau penyakit dengan

akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.

6. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam

rumah tangga.11

Kemudian dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 116 terdapat

penambahan 2 (dua) alasan yang disesuaikan dengan hukum Islam,

yaitu :

7. Suami melanggar taklik talak.

8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya

ketidak rukunan dalam rumah tangga.12

Dengan demikian, jika seseorang telah mempunyai alasan

seperti yang dijelaskan di atas maka ia bisa mengajukan perceraian ke

pengadilan. Seperti yang terjadi di Pengadilan Agama Bojonegoro

perkara gugat cerai Nomor.2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn tentang perkara

perceraian karena pendengaran suami terganggu. Pada saat semula

rumah tangga penggugat dan tergugat berjalan dengan baik, rukun dan

harmonis. Kemudian rumah tangga penggugat dan tergugat tidak

harmonis lagi dikarenakan Penggugat tidak mencintai tergugat karena

pendengaran Tergugat terganggu.

11

(18)

9

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum

Islam tidak menyebutkan secara jelas bahwa pendengaran terganggu

bisa dijadikan alasan mengajukan gugat cerai, tetapi Majlis Hakim

Pengadilan Agama Bojonegoro pada tahun 2013 memutuskan perkara

perceraian dengan alasan pendengaran terganggu.

Dengan kenyataan di atas peneliti tertarik untuk meneliti apa

sebenarnya yang menjadi dasar hukum dan pertimbangan hakim

Pengadilan Agama Bojonegoro, sehingga hakim menerima

permohonan gugat cerai karena alasan pendengaran suami terganggu.

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan, maka dapat

diidentifikasi masalah sebagai berikut :

1. Kemudahan Hakim dalam mempertimbangkan masalah perceraian.

2. Ijtihad Hakim yang digunakan, dalam kasus ini yang mana belum di

atur di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).

3. Bentuk dan jenis hukum yang dipakai hakim Pengadilan Agama

Bojonegoro dalam memutuskan perkara Nomor.

2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn tentang perceraian karena pendengaran

suami terganggu.

4. Dasar dan Pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara cerai

gugat karena pendengaran suami terganggu dalam putusan Nomor.

(19)

10

5. Analisis hukum Islam terhadap pertimbangan hukum hakim

Pengadilan Agama Bojonegoro dalam memutus perkara cerai gugat

karena pendengaran suami terganggu dalam putusan

Nomor.2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn.

Dari identifikasi masalah tersebut, maka penulis akan membatasi

yang akan di teliti pada dua masalah saja, yaitu :

1. Dasar dan Pertimbangan hukum hakim dalam memutuskan perkara

cerai gugat karena pendengaran suami terganggu dalam putusan

Nomor.2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn.

2. Analisis hukum Islam terhadap pertimbangan hukum hakim dalam

memutus perkara cerai gugat karena pendengaran suami terganggu

dalam putusan Nomor.2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn.

C. Rumusan Masalah

Masalah yang telah dibatasi di atas berkaitan putusan Pengadilan

Agama Bojonegoro perkara Nomor.2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn, dapat

dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam memutuskan perkara

perceraian karena pendengaran suami terganggu dalam putusan

Nomor.2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn?

2. Bagaimana analisis hukum islam terhadap pertimbangan hukum

hakim dalam putusan Nomor.2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn tentang

(20)

11

D. Kajian Pustaka

Pembahasan tentang masalah perceraian telah banyak dilakukan

oleh para penulis lain. Pembahasan ini berkaitan dengan penyebab

perceraian yang banyak dibahas dalam kitab-kitab fikih dan buku-buku

yang menyangkut perundang-undangan perkawinan. Disamping itu,

penelitian beberapa kasus perceraian di beberapa pengadilan juga

banyak dilakukan, di antaranya yaitu :

Pertama, skripsi yang berjudul “Telaah hukum Islam terhadap

putusan tentang perceraian dengan alasan cemburu” (Studi kasus PA

Surabaya tahun 2001) Oleh Khoirun Nasik. Skripsi tersebut

memfokuskan pembahasan pada alasan cemburu yang berlebih kepada

pasangan, karena kecemburuan itu menimbulkan kesenjangan dan

ketidak harmonisan sehingga mempengaruhi timbulnya perceraian

antara suami istri.13

Kedua, Skripsi yang berjudul “Analisis hukum Islam terhadap

putusan PA Malang Nomor.1106/Pdt.G/2011/PA Mlg tentang

perceraian karena suami waria” oleh M. Lutfi Afandi. Skripsi tersebut

memfokuskan pembahasanya pada istri yang merasa tertipu karena

suami waria. Sehingga menimbulkan permasalahan keharmonisan

13Khoirun Nasik, “Telaah Hukum Islam terhadap Putusan tentang Perceraian karena

(21)

12

dalam berumah tangga yang pada akhirnya menjadi penyebab

terjadinya perceraian antara keduanya.14

Ketiga, Skripsi yang berjudul “Analisis hukum Islam terhadap

putusan PA Lamongan Nomor.2360/Pdt.G/2010/PA Lmg tentang

perceraian karena suami Mafqud (Ghaib)” oleh Moh. Hafid Nasrullah.

Skripsi tersebut memfokuskan pembahasannya pada perginya suami

dari tempat tinggal bersama tanpa alasan yang jelas dan dalam waktu

yang lama. Sehingga menimbulkan permasalahan keharmonisan dalam

berumah tangga yang pada akhirnya menjadi penyebab terjadinya

perceraian antara keduanya.15

Ke empat, Skripsi yang berjudul “Perselingkuhan sebagai

alasan Perceraian (Studi Putusan pada Pengadilan Agama Sleman

tahun 2006)” Oleh Kamilaini. Skripsi tersebut memfokuskan

pembahasannya karena perselingkuhan sebagai sebab timbulnya

permasalahan keharmonisan dalam berumah tangga yang pada

akhirnya terjadi perceraian antara keduanya.16

Ke lima, Skripsi yang berjudul “Kawin Paksa sebagai alasan

Perceraian (Analisa Putusan PA Tangerang Perkara

Nomor.940/Pdt.G/2009/PA.Tng)” Oleh Nuraida. Skripsi tersebut

14 Lutfi Afandi, “Analisis Hukum Islam terhadap Putusan PA Malang tentang

Perceraian karena suami waria” (Skripsi--UIN Sunan Ampel Surabaya, 2013). 15Moh. Hafid Nasrullah, “Analisis Hukum Islam terhadap Putusan PA Lamongan tentang Perceraian karena suami Mafqud”, (Skripsi—UIN Sunan Ampel Surabaya, 2012).

(22)

13

menjelaskan perkawinan yang dipaksakan oleh orang tuanya

menimbulkan permasalahan keharmonisan dalam berumah tangga yang

pada akhirnya menjadi penyebab terjadinya perceraian antara

keduanya.17

Persamaan penelitian di atas dengan penelitian ini sama-sama

berkaitan dengan perceraian, namun penelitian di atas berbeda dalam

segi faktornya, adakalanya dari segi perselingkuhan, suami mafqud

(Ghaib), suami waria, alasan cemburu dan karena kawin paksa yang

menyebabkan perceraian, sedangkan dalam penelitian ini lebih fokus

pada faktor pendengaran suami terganggu sehingga istri tidak

mencintai suaminya lagi dan berakhir dengan perceraian.

E. Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan apa yang sudah menjadi suatu rumusan

masalah penelitian ini, maka ada beberapa tujuan dalam penelitian,

sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam memutuskan

perkara perceraian karena pendengaran suami terganggu dalam

Putusan Nomor.2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn.

2. Untuk mengetahui analisis hukum islam terhadap pertimbangan

hukum hakim dalam memutuskan perkara perceraian karena

(23)

14

pendengaran suami terganggu dalam Putusan

Nomor.2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Kegunaan hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan

bagi setiap umat serta dapat memberi wawasan kepada seluruh

masyarakat khususnya penulis sendiri. Adapun kegunaan hasil

penelitian ini sekurang-kurangnya dapat digunakan untuk dua aspek,

sebagai berikut:

1. Aspek teoretis, hasil penelitian ini dapat menambah khasanah

keilmuan yaitu untuk dijadikan bahan acuan dalam rangka

mengembangkan teori hukum kekeluargaan khususnya dalam

perceraian Islam.

2. Aspek praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan

bahan dan pedoman bagi para masyarakat khususnya para tokoh

agama, ulama dan praktisi hukum dalam rangka program

pembinaan serta pemantapan kehidupan berguna khususnya dalam

hukum perceraian sesuai dengan ajaran Islam, serta sebagai

motivator bagi penulis secara pribadi untuk lebih giat dalam

mengembangkan keilmuan dan lebih berkarya khususnya dibidang

(24)

15

G. Definisi Operasional

Untuk menghindari adanya interpretasi yang tidak sesuai dengan

judul penelitian ini, maka disini ada beberapa istilah yang perlu

didefinisikan secara operasional. Adapun istilah-istilah yang dimaksud

adalah:

1. Hukum Islam yang dimaksud di dalam penelitian ini adalah

Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 huruf (f) dan Pasal 19 huruf (f)

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.18

2. Cerai gugat : Perceraian yang disebabkan oleh adanya suatu

gugatan lebih dahulu oleh salah satu pihak kepada pengadilan dan

perceraian itu terjadi dengan suatu putusan pengadilan.19

3. Pendengaran terganggu : Kesulitan mendengarkan perkataan orang

lain secara jelas, khususnya ketika berdiskusi dengan banyak orang

atau dengan keramaian.

H. Metode Penelitian

1. Data yang dikumpulkan

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berkaitan tentang:

Pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara perceraian

karena pendengaran suami terganggu di Pengadilan Agama

Bojonegoro dan data analisa hukum Islam.

18

Mohamad Daud Ali , Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), 42.

(25)

16

2. Sumber data

Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah

dari mana data dapat diperoleh. Berdasarkan data yang telah

dihimpun, maka sumber data penelitian ini adalah :

a. Sumber data primer, sumber data primer penelitian ini adalah :

1. Dokumen putusan Pengadilan Agama Bojonegoro

Nomor.2865/Pdt.G/PA.Bjn.

2. Kompilasi Hukum Islam (KHI)

b. Sumber data sekunder, sumber data sekunder penelitian ini

adalah Hakim dan Panitera di Pengadilan Agama Bojonegoro

yang memutus kasus tersebut.

3. Teknik pengumpulan data

Dalam penelitian ini pengumpulan data menggunakan metode

sebagai berikut:

a. Dokumentasi

Pengumpulan data dengan metode dokumentasi

adalah cara mencari data dengan cara menelaah dokumen

dalam hal ini dokumen Putusan Pengadilan Agama

Bojonegoro Nomor.2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn. digunakan

untuk memperoleh data tentang perkara perceraian karena

(26)

17

b. Wawancara

Wawancara atau interview adalah percakapan

dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua

pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan

pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang

memberikan jawaban atas pertanyaan itu.20

Wawancara itu diperoleh dari hakim dan panitera di

PA Bojonegoro yang dapat digunakan untuk memperoleh

data tentang perkara perceraian karena pendengaran suami

terganggu dalam Putusan Pengadilan Agama Bojonegoro

Nomor.2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn.

c. Kepustakaan

Kepustakaan adalah bahan yang menjadi acuan atau

bacaan dalam menghasilkan atau menyusun tulisan baik

berupa artikel, karangan buku, laporan dan sejenisnya. Di

dalam penelitian ini bahan yang menjadi acuan adalah

Kompilasi Hukum Islam.

4. Teknis analisis data

Setelah data terkumpul langkah selanjutnya adalah

menganalisis data, Untuk menganalisis data yang diperoleh dalam

penelitian ini, teknik yang digunakan adalah deskriptif analisis,

(27)

18

dengan pola pikir deduktif yaitu teknik analisis data dengan cara

memaparkan data apa adanya dalam hal ini data pertimbangan

hukum hakim dalam putusan Nomor.2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn.

Kemudian dianalisa dengan Hukum Islam dalam hal ini Kompilasi

Hukum Islam dan Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9

Tahun 1975. Sedangkan pola pikir deduktif adalah pola pikir yang

berangkat dari variabel data yang bersifat umum, dalam hal ini

Kompilasi Hukum Islam dan Pasal 19 huruf (f) Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, kemudian diaplikasikan kepada

variabel data yang bersifat khusus dalam hal ini pertimbangan

hukum hakim dalam putusan Nomor. 2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn.

I. Sistematika Pembahasan

Supaya pembahasan dari penelitian ini terarah sesuai dengan tujuan

penelitian, maka penulis menggunakan sistematika pembahasan sebagai

berikut :

Bab Pertama:Pendahuluan, merupakan keseluruhan isi skripsi yang

terdiri dari; latar belakang, identifikasi masalah dan batasan masalah,

rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil

penelitian, definisi operasional. Metode penelitian (meliputi data yang

dikumpulkan, sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisis

(28)

19

Bab Kedua : Menjelaskan kajian teoretis tentang perceraian dalam

Kompilasi Hukum Islam dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun

1975, meliputi pengertian perceraian, alasan-alasan perceraian,

bentuk-bentuk perceraian dan akibat perceraian.

Bab Ketiga : Menjelaskan tentang dasar pertimbangan Hukum

Hakim dalam menangani perkara Gugat cerai karena pendengaran

suami terganggu sebagai alasan perceraian dan dalam bab ini juga

menguraikan tentang data hasil penelitian yang berisi gambaran umum

Pengadilan Agama Bojonegoro.

Bab Keempat : Analisis terhadap pertimbangan-pertimbangan

hukum yang dipakai oleh hakim dalam kasus gugat cerai karena

pendengaran suami terganggu.

(29)

BAB II

KAJIAN TEORITIS TENTANG PERCERAIAN DALAM

KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 9 TAHUN 1975

A. Pengertian Perceraian

Suatu perkawinan dapat putus dan berakhir karena berbagai hal,

antara lain karena terjadinya talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap

istrinya, atau karena perceraian yang terjadi antara keduanya, atau karena

sebab-sebab lain. Untuk lebih jelasnya akan dipaparkan berikut ini:

Perceraian menurut Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam adalah

“Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama

setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil

mendamaikan kedua belah pihak”.

Dalam Pasal 117 Kompilasi Hukum Islam mendefinisikan Talak

adalah “Ikrar suami dihadapan Sidang Pengadilan Agama yang menjadi

salah satu sebab putusnya perkawinan”.1

Sehubungan dengan Pasal di atas, Wahyu Ernaningsih dan Putu

Samawati menjelaskan bahwa walaupun perceraian adalah urusan pribadi,

baik itu atas kehendak satu diantara dua pihak yang seharusnya tidak

perlu campur tangan pihak ketiga, dalam hal ini pemerintah, tetapi demi

menghindari tindakan sewenang-wenang, terutama dari pihak suami

(karena pada umumnya pihak yang superior dalam keluarga adalah suami)

1

(30)

21

dan juga untuk kepastian hukum, maka perceraian harus melalui saluran

lembaga peradilan.2

Lebih lanjut, Wahyu Ernanigsih dan Putu Samawati menjelaskan

bahwa dengan adanya ketentuan yang menyatakan bahwa perceraian

harus dilakukan di depan sidang pengadilan, maka ketentuan ini berlaku

untuk seluruh warga Negara Indonesia, termasuk juga bagi mereka yang

beragama Islam. Walaupun pada dasarnya hukum Islam tidak

mengharuskan perceraian dilakukan di depan sidang pengadilan, namun

karena ketentuan ini lebih banyak mendatangkan kebaikan bagi kedua

belah pihak pada khususnya, seluruh warga negara, termasuk warga

negara yang beragama Islam, wajib mengikuti ketentuan ini. Selain itu,

sesuai dengan asas dalam hukum positif Indonesia yang menyatakan

bahwa peraturan itu berlaku bagi seluruh warga negara, kecuali peraturan

menentukan lain. Sedangkan dalam UU perkawinan tidak menyebutkan

ketentuan lain menyangkut masalah perceraian ini.3

Perceraian menurut Pasal 38 UU Nomor. 1 Tahun 1974 adalah

“Putusnya Perkawinan”. Adapun yang dimaksud putusnya perkawinan

adalah menurut Pasal 1 UU Nomor.1 Tahun 1974 adalah “Ikatan lahir

batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami

istri dengan tujuan menbentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi, perceraian adalah

2

Wahyu Ernaningsih dan Putu Samawati, Hukum Perkawinan Indonesia, (Palembang: PT Rambang Palembang, 2006), 110.

(31)

22

putusnya ikatan lahir batin antara suami dan istri yang mengakibatkan

berakhirnya hubungan keluarga (rumah tangga) antara suami dan istri

tersebut.

Pengertian perceraian dapat dijelaskan dari beberapa perspektif

hukum sebagai berikut :

a. Perceraian menurut hukum Islam yang telah dipositifkan dalam Pasal

38 dan Pasal 39 UU Nomor. 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan

dalam PP Nomor. 9 Tahun 1975, mencakup antara lain sebagai

berikut:

1. Pengertian dalam cerai talak, yaitu perceraian yang diajukan

permohonan cerainya oleh dan atas inisiatif suami kepada

Pengadilan Agama, yang dianggap terjadi dan berlaku beserta

segala akibat hukumnya sejak saat perceraian dinyatakan

(diikrarkan) di depan sidang Pengadilan Agama (vide Pasal 14

sampai dengan Pasal 18 PP Nomor. 9 Tahun 1975).

2. Perceraian dalam pengertian cerai gugat, yaitu perceraian yang

diajukan gugatan cerainya oleh dan atas inisiatif istri kepada

Pengadilan Agama, yang dianggap terjadi dan berlaku beserta

segala akibat hukumnya sejak jatuhnya putusan Pengadilan

Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (vide

Pasal 20 sampai dengan Pasal 36).

b. Perceraian menurut hukum agama selain hukum Islam, yang telah

(32)

23

dalam PP Nomor. 9 Tahun 1975, yaitu perceraian yang gugatan

cerainya diajukan oleh dan atas inisiatif suami atau istri kepada

Pengadilan Negeri, yang dianggap terjadi beserta segala akibat

hukumnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan

oleh Pegawai Pencatat di kantor catatan sipil (vide Pasal 20 dan Pasal

34 ayat (2) PP Nomor. 9 Tahun 1975).4

Perceraian dalam istilah ahli fiqih yang berasal dari bahasa arab

yaitu kata “َقَاْطِا “\\ artinya lepasnya suatu ikatan perkawinan dan

berakhirnya hubungan perkawinan. Menurut istilah syarak talak adalah:

ةيِجَْ َ ْلاَِةَقََاَعْلاَُءاَ ْنِاََ َِ َاَ َ لاَِةَطِبَاَرََلَح

Melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri

Jadi, talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga

setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi

suaminya. Ini terjadi dalam talak ba>’in, sedangkan arti mengurangi

pelepasan ikatan perkawinan adalah berkurangnya hak talak bagi suami

yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami

dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu, dan dari satu menjadi hilang

hak dan dalam talak raj’i>.5

4

Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 18.

5

(33)

24

B. Alasan-Alasan Perceraian

Pengertian alasan-alasan hukum perceraian dapat ditelusuri dari

pengertian “alasan” dan kata “hukum” yang merupakan dua kata

kuncinya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “alasan” berarti:

1. Dasar, hakikat dan asas.

2. Dasar bukti (keterangan) yang dipakai untuk menguatkan pendapat

(sengketa) tuduhan, dan sebagainya.

3. Yang menjadi pendorong (untuk berbuat).

4. Yang membenarkan perlakuan tindak pidana dan menghilangkan

kesalahan terdakwa.

Selanjutnya, kata “hukum” berarti peraturan perundang-undangan

yang merupakan sumber hukum formal perceraian, yaitu peraturan tertulis

yang memuat Nomorrma hukum yang mengikat secara umum dan

dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga Negara atau pejabat yang

berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan

perundang-undangan (vide Pasal UU Nomor. 12 Tahun 2011).

Dengan memperhatikan arti kata “alasan” dan “hukum”

sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat dibangun pengertian “alasan

-alasan hukum perceraian”, yaitu alas atau dasar bukti (keterangan) yang

digunakan untuk menguatkan tuduhan dan atau gugatan atau permohonan

dalam suatu sengketa atau perkara perceraian yang telah ditetapkan

dalam hukum nasional, yaitu peraturan perundang-undangan, khususnya

(34)

25

1975, hukum Islam yang kemudian telah dipositivikasi dalam Kompilasi

Hukum Islam, dan Hukum adat.6

Perceraian harus disertai dengan alasan-alasan hukum

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam

sebagai berikut :

1. Zina, pemabuk, pemadat, penjudi, dan tabiat buruk lainya yang sukar

disembuhkan

Pasal 39 ayat (2) UU Nomor.1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan

dalam Pasal 19 huruf a PP Nomor.9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf a

Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa salah satu pihak berbuat

zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya

yang sukar disembuhkan dapat menjadi alasan hukum perceraian.

Selanjutnya, keseluruhan alasan-alasan hukum perceraian tersebut

dapat dijelaskan dibawah ini.

Perzinaan atau perbuatan zina seringkali bermula dari

perselingkuhan yang menghianati kesucian dan kesetiaan dalam

perkawinan. Kesucian dan kesetiaan sangat diperlukan untuk

terjalinnya ikatan lahir batin yang kuat antara suami dan istri sebagai

pondasi bagi terbentuknya rumah tangga yang bahagia dan kekal.

Oleh karena itu, jika kesucian dan kesetiaan sudah tidak ada lagi

dalam perkawinan, pihak suami atau istri yang kesucian dan

kesetiaanya dikhianati mempunyai hak untuk menuntut perceraian.

(35)

26

Pemabuk juga dapat dijadikan alasan hukum bagi suami atau istri

yang berkehendak melakukan perceraian. Pemabuk adalah suatu

predikat (sebutan) negative yang diberikan kepada seorang, (dalam

konteks ini atau suami atau istri) yang suka meminum atau memakan

bahkan mengalami ketergantungan terhadap bahan-bahan makanan

dan minuman yang memabukkan yang umumnya mengandung alkohol

melebihi kadar yang ditoleransi (over dosis) menurut indicator

kesehatan, misalnya minuman keras, gadung, dan lain-lain.

Pemabuk seringkali mengalami pening kepala, bahkan hilang

kesadarannya, tetapi sangat kuat birahi atau nafsu syahwatnya,

sehingga dapat berbuat di luar atau lupa diri, yang dapat

membahayakan tidak hanya dirinya, melainkan juga orang lain,

misalnya suami atau istri.

Selanjutnya, selain zina dan pemabuk, pemadat juga dapat

menjadi alasan hukum bagi suami atau istri yang berkehendak

melakukan perceraian. Pemadat adalah suatu predikat negatif yang

diberikan kepada seseorang (dalam konteks ini suami atau istri) yang

suka mengonsumsi (menghisap, memakan) bahkan mengalami

kecanduan atau ketergantungan (adiktif) terhadap narkotika dan

obat-obatan terlarang (narkoba), misalnya morpin, ganja, opium, heroin, pil

koplo, pil ekstasi, dan lain-lain.

Kemudian, penjudi juga dapat dijadikan alasan hukum bagi suami

(36)

27

pemabuk dan pemadat. Penjudi adalah suatu predikat negatif yang

diberikan kepada seseorang (dalam konteks ini suami atau istri) yang

suka bermain bahkan mengalami ketergantungan terhadap judi.

Implikasi negatif dari judi adalah menjadikan penjudi banyak

berangan-angan atau berkhayal, ingin cepat kaya dengan jalan pintas,

boros, lemah hati dan pikiran. Baik zina, pemabuk, pemadat, penjudi,

maupun tabiat buruk lainya, adalah niat, perilaku dan sifat atau

karakter buruk yang sukar disembuhkan, dan dapat menjadi sumber

potensial atau awal mula dari perbuatan-perbuatan buruk suami atau

istri yang dapat merusak keharmonisan rumah tangga, menimbulkan

perselisihan dan pertengkaran terus-menerus, yang berakibat tidak

dapat dipertahankannya lagi perkawinan mereka.

2. Meninggalkan pihak lain tanpa izin dan alasan yang sah atau hal lain di

luar kemampuannya

Pasal 39 ayat (2) UU Nomor. 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan

dalam Pasal 19 huruf b PP Nomor.9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf b

Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa salah satu pihak

meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak

lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya

dapat menjadi alasan hukum perceraian.

Meninggalkan pihak lain tanpa alasan yang sah menunjukkan

secara tegas bahwa suami atau istri sudah tidak melaksanakan

(37)

28

maupun batiniah. Ini berarti bahwa tidak ada harapan lagi untuk

mempertahankan kelangsungan rumah tangga, karena telah hilangnya

perasaan sayang dan cinta , sehingga tega menelantarkan atau

mengabaikan hak suami atau istri yang ditinggalkannya. Jadi, perceraian

adalah solusi untuk keluar dari rumah tangga yang secara hukum formal

ada, tetapi secara faktual sudah tidak ada lagi.

3. Hukuman Penjara 5 Tahun atau Hukuman Berat Lainnya

Pasal 39 ayat (2) UU Nomor.1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan

dalam Pasal 19 huruf c PP Nomor. 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf c

Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa salah satu pihak mendapat

hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah

perkawinan berlangsung dapat menjadi alasan hukum perceraian.

Hukuman penjara atau hukuman berat lainnya dapat membatasi

bahkan menghilangkan kebebasan suami atau istri untuk melakukan

berbagai aktivitas berumah tangga, termasuk menghambat suami atau

istri untuk melaksanakan kewajibannya, baik kewajiban yang bersifat

lahiriah maupun kewajiban yang bersifat batiniah, sehingga membuat

penderitaan lahir dan batin dalam rumah tangga yang sudah tidak layak

lagi untuk dipertahankan.

4. Perilaku Kejam dan Aniaya Berat yang Membahayakan

Pasal 39 ayat (2) UU Nomor. 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan

dalam Pasal 19 huruf d PP Nomor.9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf d

(38)

29

kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain,

dapat menjadi alasan hukum perceraian.

Perilaku kejam dan penganiayaan berat adalah perilaku

sewenang-wenang, bengis dan zalim, yang membahayakan dan menyakiti orang lain

baik secara fisik maupun psikis, yang bersifat menyiksa dan menindas,

tanpa ada rasa belas kasihan.

Kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan dapat

berdampak penderitaan fisik dan mental (psikologis) bagi suami atau istri

yang menerima kekejaman dan penganiayaan berat sebagai bentuk tindak

kekerasan yang membahayakan “nyawa” tersebut.

Perilaku kejam dan aniaya berat yang membahayakan adalah

perilaku yang sangat buruk dan memalukan keluarga dan kerabat dari

suami atau istri yang bersangkutan, sehingga perilaku demikian juga

merupakan alasan hukum perceraian menurut hukum adat.

5. Cacat Badan atau Penyakit yang Menghalangi Pelaksanaan Kewajiban

Cacat badan atau penyakit adalah kekurangan yang pada diri

suami atau istri, baik yang bersifat badaniah maupun rohaniah yang

mengakibatkan terhalangnya suami atau istri untuk melaksanakan

kewajibannya sebagai suami atau istri.

Pasal 39 ayat (2) UU Nomor.1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan

dalam Pasal 19 huruf e PP Nomor. 9 Tahun 1975 dan dalam Pasal 116

huruf d Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa salah satu pihak

(39)

30

menjalankan kewajibannya sebagai suami istri dapat menjadi alasan

hukum perceraian.

6. Perselisihan dan Pertengkaran Terus-menerus

Pasal 39 ayat (2) UU Nomor.1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan

dalam Pasal 19 huruf e PP Nomor.9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf f

Kompilasi Hukum Islam yang menegaskan bahwa perceraian dapat terjadi

karena antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah

tangga. Namun, tampak jelas bahwa Pasal 39 ayat (2) UU Nomor. 1

Tahun 1974 jo. Pasal 19 huruf e PP Nomor. 9 Tahun 1975 membedakan

antara “perselisihan” dengan “pertengkaran”, tetapi tidak memberikan

penjelasan tentang pengertian perselisihan dan pertengkaran tersebut.

Alasan-alasan hukum perceraian yang ditentukan dalam Kompilasi

Hukum Islam selain yang telah diuraikan di atas, adalah :

7. Suami melanggar taklik talak

Taklik talak menurut Pasal 116 huruf (g) Kompilasi Hukum Islam

ialah sebagai berikut:

(40)

31

8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak

rukunan dalam rumah tangga

Kompilasi Hukum Islam tidak memberikan penjelasan lebih lanjut

tentang murtad sebagai alasan hukum perceraian. Oleh karena itu, terbuka

peluang hukum untuk ditafsirkan bahwa apabila salah seorang dari suami

dan istri keluar dari agama Islam atau murtad, maka putuslah hubungan

perkawinan mereka. Dasar hukumnya dapat diambil i’tiba>r dari Al Quran

Surat Al-Baqarah (2) ayat 221, yang melarang menikah baik laki-laki

dengan wanita maupun sebaliknya wanita dengan laki-laki yang tidak

beragama Islam.7

C. Bentuk-bentuk Perceraian

Bentuk-bentuk perceraian menurut Hukum Islam yang telah

dipositivisasi dalam Kompilasi Hukum Islam, khususnya dalam

Pasal-pasal yang substansinya mengatur tentang macam-macam dan cara

pemutusan hubungan perkawinan.

Pasal 113 Kompilasi Hukum Islam memuat ketentuan klasifikatif

bahwa perkawinan putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan

pengadilan. Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian

dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.

Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama,

7

(41)

32

setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil

mendamaikan kedua belah pihak.

Macam-macam dan cara pemutusan hubungan perkawinan karena

perceraian yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, adalah sebagai

berikut:

1. Talak

Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama

yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan (vide Pasal 117).

Macam-macam talak dalam Kompilasi Hukum Islam di bagi menjadi

enam macam, yaitu :

Pasal 118-122

a. Talak Raj’i>

Talak raj’i> ialah talak di mana suami boleh merujuk istrinya pada

waktu idah. Talak raj’i> ialah talak satu atau talak dua yang tidak

disertai uang ‘iwad{ dari pihak istri.

Pasal 119

b. Talak Ba>’in S{ugra> ialah talak satu atau talak dua yang disertai uang

‘iwad{ dari pihak istri, talak ba>’in seperti ini disebut talak ba>’in kecil.

Pada talak ba>’in kecil suami tidak boleh merujuk kembali istrinya

dalam masa idah. Kalau si suami hendak mengambil bekas istrinya

kembali harus dengan perkawinan baru yaitu dengan akad nikah.

(42)

33

c. Talak Ba>’in kubra> ialah talak yang ketiga dari talak-talak yang telah

dijatuhkan oleh suami. Talak ba>’in besar ini mengakibatkan si suami

tidak boleh merujuk atau mengawini kembali istrinya baik dalam

masa idah maupun sesudah masa idah habis. Seorang suami yang

mentalak ba>’in besar istrinya boleh mengawini istrinya kembali kalau

telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Istri telah kawin dengan laki-laki lain.

2. Istri telah dicampuri oleh suaminya yang baru.

3. Istri telah dicerai oleh suaminya yang baru.

4. Telah habis masa idahnya.

Pasal 121

d. Talak Sunni>, ialah talak yang dijatuhkan mengikuti ketentuan Al

Quran dan Sunnah Rasul. Yang termasuk talak sunni> ialah talak yang

dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan suci dan belum dicampuri

dan talak yang dijatuhkan pada saat istri sedang hamil. Sepakat para

ahli fiqh, hukumnya talak sunni> adalah halal.

Pasal 122

e. Talak Bid’i>, ialah talak yang dijatuhkan dengan tidak mengikuti

ketentuan Al Quran maupun Sunah Rasul. Hukumnya talak bid’i>

adalah haram. Yang termasuk talak bid’i> ialah :

1. Talak yang dijatuhkan pada istri yang sedang haid atau datang

(43)

34

2. Talak yang dijatuhkan pada istri yang dalam keadaan suci tetapi

telah dicampuri.

3. Talak yang dijatuhkan dua sekaligus, tiga sekaligus atau mentalak

istrinya untuk selama-lamanya.8

2. Syiqaq

Syiqaq berarti “perselisihan”. Menurut istilah fikih berarti, syiqaq

berarti perselisihan suami istri yang diselesaikan oleh dua orang hakam,

yaitu seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri.

Dasar hukumnya ialah firman Allah Swt, surah an-Nisa ayat : 35

  َ   َ   َ  َ  َ  َ   َ  َ  َ   َ  َ  َ  َ  َ   َ  َ  َ  َ   َ  َ   َ  َ  َ  ََ ََ

Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Ayat 35 surah an-Nisa’ tersebut merupakan kelanjutan dari ayat

34 yang menerangkan cara-cara suami memberi pelajaran kepada istrinya

yang melalaikan kewajibannya. Apabila cara yang diterangkan ayat 34

telah dilakukan, namun perselisihan terus memuncak, maka suami

hendaknya tidak tergesa-gesa menjatuhkan talak, melainkan mengangkat

dua orang hakam yang bertindak sebagai juru pendamai.

8

(44)

35

Sedangkan syiqaq menurut hukum positif adalah perselisihan,

percekcokan. Perselisihan yang berkepanjangan dan meruncing antara

suami istri. Syiqaq merupakan perselisihan yang berawal dan terjadi pada

kedua belah pihak suami dan istri secara bersama-sama.

Syiqaq bisa juga terjadi disebabkan oleh faktor perilaku dari salah

satu pasangan suami istri yang bersifat buruk, atau salah satunya

bertindak kejam terhadap lainya, atau seperti kadangkala terjadi mereka

tidak dapat hidup rukun sebagai keluarga yang utuh.

Syiqaq diatur dalam penjelasan pasal 76 ayat 1 UU RI Nomormor

7 tahun 1989 dikatakan syiqaq adalah perselisihan yang tajam dan terus

menerus antara suami dan istri. Pengertian syiqaq juga tercantum dalam

peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomormor 9 tahun 1975

pelaksanaan Undang-undang Nomormor 1 tahun 1974, pasal 116 huruf (f)

“Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran

dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.” 9

3. Taklik talak

Taklik talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria

setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji

talak yang digantungkan kepada suatu kedaan tertentu yang mungkin

terjadi di masa yang akan datang (vide Pasal 1 huruf e). Isi taklik

talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. Apabila keadaan

yang disyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian,

(45)

36

tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh

jatuh, istri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama.

Perjanjian taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan

pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah

diperjanjikan, tidak dapat dicabut kembali (vide Pasal 46).

4. Lian

Lian menyebabkan putusnya perkawinan antara suami istri untuk

selama-lamanya (vide Pasal 125). Lian terjadi karena suami menuduh

istri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau

yang sudah lahir dari istrinya, sedangkan istri menolak tuduhan dan

atau pengingkaran tersebut (vide Pasal 126). Menurut Pasal 127, tata

cara lian adalah sebagai berikut:

a. Suami bersumpah 4 kali dengan kata tuduhan zina dan atau

pengingkaran anak tersebut, diikuti sumpah kelima dengan

kata-kata “laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau

pengingkaran tersebut didusta”.

b. Istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan

sumpah empat kali dengan kata “tuduhan dan atau pengingkaran

tersebut tidak benar”, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata

“murka Allah atas dirinya bila tuduhan dan atau pengingkaran

tersebut benar”.

Tata cara tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak

(46)

37

kedua, maka dianggap tidak terjadi lian. Menurut Pasal 128, lian

hanya sah apabila dilakukan di hadapan sidang Pengadilan Agama.

Selanjutnya, menurut Pasal 162, bilamana lian terjadi, maka

perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung

dinasabkan kepada ibunya, sedang suami terbebas dari kewajiban

memberi nafkah.10

D. Akibat Perceraian

Bila hubungan perkawinan putus antara suami dan istri dalam

segala bentuknya, maka hukum yang berlaku yang di atur dalam

Kompilasi Hukum Islam Pasal 149 adalah:11

a. Keharusan memberi mutah yang layak kepada bekas istrinya, baik

berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla al-dukhu>l.

b. Memberi nafkah, tempat tinggal dan pakaian kepada bekas istri

selama dalam idah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba>’in atau

nusyur dan dalam keadaan tidak hamil.

c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh

apabila qabla al-dukhu>l.

d. Memberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum

mencapai umur 21 tahun. Ini diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang

Perkawinan yang pada dasarnya adalah seperti berikut :

10

Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian…, 166.

11

(47)

38

1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik

anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak

bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,

Pengadilan memberi keputusannya.

2. Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi tanggung

jawab pihak bapak, kecuali dalam kenyataannya bapak dalam

keadaan tidak mampu sehingga tidak dapat melakukan kewajiban

tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut

memikul biaya tersebut.

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk

memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu

kewajiban bagi bekas istri.12

Pasal 150

Bekas suami berhak melakukan rujuk kepada bekas istrinya yang

masih dalam idah.

Pasal 151

Bekas istri selama dalam idah, wajib menjaga dirinya, tidak menerima

pinangan dan tidak menikah dengan pria lain.

(48)

39

Pasal 152

Bekas istri berhak mendapatkan nafkah idah dari bekas suaminya

(49)

BAB III

PUTUSAN PENGADILAN AGAMA BOJONEGORO

NOMOR 2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn. TENTANG CERAI GUGAT KARENA PENDENGARAN SUAMI TERGANGGU

A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Bojonegoro

1. Status Pengadilan Agama Bojonegoro

Pengadilan Agama Bojonegoro adalah salah satu instansi

pemerintah dibawah naungan Mahkamah Agung yang menangani

masalah hukum perdata khusus di Kabupaten Bojonegoro. Sesuai

dengan keberadaanya itu, Lembaga Peradilan Agama ini harus mampu

melayani kebutuhan masyarakat dalam bidang hukum terutama

hukum kekeluargaan.

Pengadilan Agama Bojonegoro adalah Pengadilan tingkat pertama

yang berkedudukan di ibu kota kabupaten Bojonegoro. Pengadilan

Agama Bojonegoro memiliki satu gedung berstatus milik Negara

(Mahkamah Agung RI) berkedudukan di Jalan MH Thamrin

Nomormor 88 Bojonegoro, sertifikat Nomormor: 04/1991 tanggal 10

Mei 1991.`

Sebagaimana Pengadilan Agama yang lain, Pengadilan Agama

Bojonegoro juga mempunyai batas-batas wilayah hukum Pengadilan

Agama atau daerah lain, batasan-batasan tersebut adalah:

(50)

41

b. Sebelah timur : Kabupaten Lamongan.

c. Sebelah selatan : Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Madiun

dan Kabupaten Jombang.

d. Sebelah Barat : Kabupaten Blora dan Kabupaten Ngawi.1

Dalam hal klasifikasi lembaga peradilan tingkat pertama,

Pengadilan Agama Bojonegoro termasuk salah satu Pengadilan

Agama yang mempunyai kategori Pengadilan Klas 1 A.

Pengklasifikasian lembagan peradilan dalam tingkat pertama tersebut

didasarkan atas jumlah perkara dan bobot atau kualitas perkara yang

ditangani.

2. Wewenangan Pengadilan Agama Bojonegoro

Kedudukan Pengadilan Agama Menurut Undang-undang Nomor.7

Tahun 1989 adalah sebagai peradilan perdata yang khusus menangani

perkara perdata tertentu. Hal ini diatur dalam Pasal 2 yang

menetapkan sebagai berikut: “Pengadilan Agama merupakan salah

satu pelaksanaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang

beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam

Undang-undang ini”. Sehingga tugas dan kedudukan Pengadilan

Agama Bojonegoro yang merupakan salah satu Pengadilan yang ada

di Indonesia adalah melayani kebutuhan masyarakat Bojonegoro

dalam bidang hukum perdata, terutama hukum keluarga yang khusus

bagi umat Islam.`

(51)

42

Hal ini selaras dengan bunyi dan maksud Pasal 36 ayat (1)

Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 dan Pasal 49 ayat (1,2, dan 3)

Undang-undang Nomor. 7 Tahun 1989 yang berbunyi: “Pengadilan

Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan

menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang

yang beragama Islam tentang:

1. Perkawinan;

2. Kewarisan, Wasiat, dan Hibah yang dilakukan berdasarkan hukum

Islam;

3. Wakaf dan Shodaqoh;

4. Ekonomi Syariah;2

3. Wilayah Yuridis Pengadilan Agama Bojonegoro

Dalam menjalankan fungsinya sebagai badan peradilan,

Pengadilan Agama Bojonegoro memiliki wilayah hukum seluas

wilayah kabupaten Bojonegoro, yaitu 2307 km².

Wilayah yuridis Pengadilan Agama Bojonegoro meliputi 27

Kecamatan terdiri dari 430 desa atau keseluruhan terdiri dari:

a. Kecamatan Bojonegoro terdiri dari 18 desa.

b. Kecamatan Trucuk terdiri dari 18 desa.

c. Kecamatan Kapas terdiri dari 21 desa.

d. Kecamatan Sukosewu terdiri dari 14 desa.

e. Kecamatan Balen terdiri dari 23 desa.

2

(52)

43

f. Kecamatan Sumberejo terdiri dari 26 desa.

g. Kecamatan Kanor terdiri dari 25 desa.

h. Kecamatan Baureno terdiri dari 25 desa.

i. Kecamatan Kepohbaru terdiri dari 25 desa.

j. Kecamatan Kedungadem terdiri dari 23 desa.

k. Kecamatan Sugihwaras terdiri dari 17 desa.

l. Kecamatan Temayang terdiri dari 12 desa.

m. Kecamatan Dander terdiri dari 16 desa.

n. Kecamatan Bubulan terdiri dari 5 desa.

o. Kecamatan Gondang terdiri dari 7 desa.

p. Kecamatan Kalitidu terdiri dari 24 desa.

q. Kecamatan Purwosari terdiri dari 12 desa

r. Kecamatan Padangan terdiri dari 16 desa.

s. Kecamatan Kasiman terdiri dari 10 desa.

t. Kecamatan Ngraho terdiri dari 16 desa.

u. Kecamatan Tambakrejo terdiri dari 18 desa.

v. Kecamatan Margomulyo terdiri dari 6 desa.

w. Kecamatan Sekar terdiri dari 6 desa.

x. Kecamatan Ngambon terdiri dari 5 desa.

y. Kecamatan Malo terdiri dari 20 desa.

z. Kecamatan Kadewan terdiri dari 5 desa.

(53)

44

Didalam Pasal 4 ayat (1) UU Nomor.3 Tahun 2006 tentang

Peradilan Agama berbunyi: “Peradilan Agama berkedudukan di kota

madya atau di ibu kota kabupaten dan daerah hukumnya meliputi

wilayah kotamadya atau kabupaten”.3

4. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Bojonegoro

Dalam Undang-undang Nomormor 7 Tahun 1989, amandemen

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, amandemen Undang-undang

Nomormor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama pasal 9 ayat (1)

dinyatakan bahwa susunan pengadilan agama terdiri dari pimpinan,

Hakim, Anggota, Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita. Selanjutnya

dalam pasal 26 dan pasal 43 juga dijelaskan bahwa dalam

melaksanakan tugasnya Panitera, Sekretaris, dibantu Wakil Panitera

(Wapan) yang membantu tugas Panitera atau sekretaris dalam bidang

administrasi perkara.

Dengan fungsi dan peran masing-masing sebagaimana Pengadilan

Agama yang ada di Indonesia, struktur tersebut sangat penting guna

mempertegas kedudukan dan wewenang serta tanggung jawab

masing-masing bagian.

Tentang struktur organisasi Pengadilan Agama Bojonegoro adalah

sebagai berikut:

a. Ketua : H. Nahison Dasa Brata, S.H., M.Hum.

b. Wakil ketua : Dra. Hj. Nur Indah H. Nur, S.H.

3

(54)

45

c. Hakim :

1) H. Nahison Dasa Brata, S.H., M.Hum

2) Dra. Hj. Nur Indah H. Nur S.H.

3) Drs. Masykuri HM, M.H.I.

4) Drs. H. Nurhadi, M.H.

5) Drs. H. Imam Ahmad

6) Drs. H. Masduqi

7) Drs. H. Soepandi

8) Dra. Hj. Azizah Ulfa, M.H.

9) Dra. Hj. Sawalang, M.H.

10)Drs. H. Karmin, M.H.

11)Drs. H. Moch. Bachrul Ulum, M.H.

12)Dra. Istiana Farda

13)Dra. Hj. Nur Fadhilatin

14)Drs. H. Miftahul Fahri

15)Drs. A. Muhtarom

16)Dra. Hj. Farida Ariani, S.H., M.H.

d. Panitera : H. Abdul Mutholib, S.H., M.H.

e. Wakil Panitera : Drs. H. Sholikin, S.H.

f. Panitera Muda Hukum :

Ketua : Drs. M. Nurwachid

Staf : 1) TrisNomor Sujarwo, S.H.

(55)

46

g. Panitera Muda Gugatan :

Ketua : Hj. Siti Masithah, B.A.

Staf : 1) Ahmad Bajuri, S.H.

2) Dahlia Zahro, S.H.

h. Panitera Muda Permohonan :

Ketua : Sudarjo, S.H.

Staf : 1) Arif Budi Santosa, S.H.

2) Ahmad Nur Rofiqi, S.H.I., M.H.

i. Panitera Pengganti :

1) H. Abdul Mutholib, S.H., M.H.

2) Drs. H. Sholikin Jamik, S.H.

3) Sudardjo, S.H.

4) Hj. Siti Masithah, B.A.

5) Drs. M. Nur Wachid

6) Moh. Sun’an, S.H.

7) Sinhaji, S.H.

8) Ulin Nuha, S.Ag.

9) Endah Ratna Wijaya, S.H.

j. Juru Sita/ Pengganti :

1) Muhammad SutrisNomor

2) TrisNomor Sujarwo, S.H.

3) Ahmad Bajuri, S.H.

(56)

47

5) M. Sun’an, S.H.

6) Sudarmanto

7) Sudarjo, S.H.

k. Sekretaris : Yeti Rianawati, S.H.

l. Bendahara :

Pengeluaran : Yunistira Fauziyah, S.H.I

Penerimaan : Ahmad Bajuri, S.H.

m. Kepala Sub Bagian Keuangan:

Ketua : Syamsul Dluha, S.Kom., M.H.I

Staf : 1) Sudarmanto

2) Harum Patuh Purwanto

3) Ahmad Ahsanul Hidayat, S.T.

n. Kepala Sub Bagian Perencanaan, TekNomorlogi, Informasi dan

Pelaporan:

Ketua : Nomorvan Yahya Utama, S.Kom

Staf : 1) M. Tantowi Nur Ansori, S.H.

2) Moch. Ardany Chabib, S.H.

o. Kepala Sub Bagian Kepegawaian, Organisasi dan Tata Laksana:

Ketua : Yunistira Fauziyah, S.H.I.

Staf : 1) Wawan Suhermanto

(57)

48

B. Deskripsi Terhadap Putusan Nomor.2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn.

Tentang Perceraian Karena Pendengaran Suamu Terganggu

Berdasarkan salinan putusan Pengadilan Agama Bojonegoro

Nomor.2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn. Permohonan didaftarkan pada

tanggal 16 Desember 2013 dan diakhiri pada tanggal 04 Maret 2014.

Permohonan diajukan para Penggugat yang terdaftar di Kepaniteraan

Pengadilan Agama Bojonegoro dalam register Nomormor:

2865/Pdt.G/2013/PA.Bjn.

1. Identitas para pihak :

a. Penggugat, umur 21 tahun, agama Islam, pekerjaan karyawan

swasta, pendidikan, tempat kediaman di Kecamatan Sumberrejo

Kabupaten Bojonegoro.

b. Terguggat, umur 28 tahun, agama Islam, pekerjaan tani,

pendidikan, tempat kediaman di Kecamatan Sumberrejo

Kabupaten Bojonegoro.

c. Saksi I, umur 48 tahun , agama Islam, pekerjaan tani, tempat

tinggal di Desa Sambongrejo, Kecamatan Sumberrejo Kabupaten

Bojonegoro.

d. Saksi II, umur 52 tahun, agama Islam, pekerjaan pinaraan, tempat

tinggal di Desa Sambongrejo, Kecamatan Sumberrejo Kabupaten

(58)

49

2. Tentang Posita

Bahwa Penggugat telah menikah dengan Tergugat pada tanggal 06

Agustus 2013, yang dicatat Pengawai Pencatat Nikah pada Kantor

Urusan Agama Kecamatan Sumberrejo, Kabupaten Bojonegoro,

sesuai kutipan Akta Nikah Nomor: 345/29/III/2013, tanggal 06

Agustus 2013;

Bahwa sewaktu menikah Penggugat dan Tergugat berstatus

perawan dan jejaka;

Bahwa setelah akad nikah, Penggugat dan Tergugat bertempat

kediaman di rumah tangga orang tua Tergugat selama 8 hari lalu

pindah kerumah orang tua Penggugat selama 2 hari, namun Penggugat

dengan Tergugat belum pernah terjadi hubungan badan sebagaimana

layaknya suami istri yang baik (Qobla dukhul);

Bahwa Penggugat mengajukan gugatan cerai ini dengan alasan

sebagaimana tersebut dibawah ini:

a. Bahwa sejak semula rumah tangga Penggugat den

Referensi

Dokumen terkait

Hasil yang didapat dari penelitian berupa Aplikasi Perizinan Online Bidang Kesehatan Pada Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Kota Palembang dengan menggunakan

Assessed using Flesch-Kincaid formula and Fry graph, the readability level of passages in Scaffolding for Grade 7 is for the fourth grade native English students, while that

Pada mata individu yang terpapar polusi udara akibat emisi pabrik semen, pH tear film juga dapat meningkat karena partikel debu semen bersifat alkali.. Peningkatan pH

Hasil uji lanjut BNJ 5% menunjukkan bahwa pemberian bokashi daun gamal dan diameter agregat tanah dengan perlakuan atau diameter yang meningkat nyata meningkatkan

Renstra Cipta Karya Provinsi juga terintegrasi dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah. (RPJMD) Provinsi serta dokumen RPIJM bidang Cipta karya

data yang tersedta maka persentase penyesuaiannya adalah posit if ( - 2 ~ n ) , sedang bila properti yang dinilai mempunyai fal..'tor kurang dari data

Hal ini sejalan dengan hasil pengamatan yang dilakukan oleh Gani (2015) yaitu: 1) Model pembelajaran yang digunakan oleh guru dalam kegiatan belajar mengajar

Bagaimanapun, perakaunan zakat terhadap semua kekayaan baharu perlulah diqiyaskan kepada salah satu daripada lima jenis harta yang telah ditentukan oleh para fuqaha, iaitu emas