• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERALIHAN KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILUKADA : STUDI ANALISIS UU PEMILU NO.8 PASAL 157 TAHUN 2015 DALAM KAJIAN FIQIH SIYASAH.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERALIHAN KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILUKADA : STUDI ANALISIS UU PEMILU NO.8 PASAL 157 TAHUN 2015 DALAM KAJIAN FIQIH SIYASAH."

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM

MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILUKADA

( STUDI ANALISIS UU PEMILU NO.8 PASAL 157 TAHUN 2015

DALAM KAJIAN FIQIH SIYASAH )

SKRIPSI

Oleh :

Mohamad Safi’i

NIM : C032120219

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Publik Islam Prodi Hukum Pidana Islam

SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian kepustakaan untuk menjawab pertanyaan bagaimana peralihan kewenangan Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan sengketa pemilukada Undang-Undang nomor 8 Tahun 2015 pasal 157 dan bagaimana tinjauan Fikih Siyasah terhadap peralihan kewenangan tersebut.

Data penelitian dihimpun melalui pembacaan dan kajian teks (text reading) dan selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif analitis.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa peralihan kewenangan Mahkamah Agung Kepada Mahkamah Konstitusi dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, kewenangan mengadili sengketa Pemilukada dialihkan kepada Badan Peradilan Khusus. Hal ini berdasarkan Pasal 157 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Gubernur, Bupati, dan Walikota. Akan tetapi selama belum terbentukanya Peradilan Khusus tersebut, penyelesaian sengketa Pemilukada masih menjadi kewenangan Mahkamah Kontitusi berdasarkan Pasal 157ayat (6). Pembentukan Peradilan khusus tidak bisa dilepaskan dari banyaknya sengketa pemilukada yang masuk ke Mahkamah Konstitusi, sehingga menggangu tugas utama Mahkamah Konstitusisebagai pengawal konstitusi. Oleh sebab itu, badan peradilan khusus yang menangani sengketa Pemilukada harus segera dibentuk. Hal ini dimaksudkan agar Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dapat fokus dengan tugas dan kewenangannya masing-masing sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945.Kewenangan menyelesaikan sengketa pemilukada menjadi kewenangan Mahkamah Agung berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Kemudian kewenangan menyelesaikan sengketa Pemilukada dialihkan dariMahkamh Agung ke Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah. Dalam Islam yang melalui wilayah al-maza>lim yang tugasnya mengadili sengketa Kholifah yang pada akhirya tidak ada suatu persengketaan hasil pemilihan Kepala Daerah, mekanisme yang digunakan oleh ketata negaraan Islam yaitu melalui musyawaroh majelis shu>ra serta imam kholifah, bukan sistem pemilihan secara langsung apa yang dilakukan oleh negara kita. Sehingga Islam terdahulu tidak menjelaskan tentang bagaimana terjadi suatu sengketa pmilihan Kepala daerah.

(7)

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

BAB II WILAYAH AL-MAZA>LIM DALAM PERADILAN ISLAM ... 17

A. Pengertian Wilayah al-Maza>lim ... 17

B. Sejarah Singkat Wilayah al-Maza>lim ... 20

C. Dasar Hukum Wilayah al-Maza>lim ... 24

D. Kedudukan Wilayah al-Maza>lim ... 26

(8)

BAB III PERALIHAN KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG

KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM

MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILUKADA ... 38

A. Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada di Mahkamah Agung ... 38

B. Peralihan Kewenangan Mahkamah Agung Ke Mahkamah Konstitusi Dalam Menangani Sengketa Hasil Pemilukada ... 44

C. Problematika Peralihan Tugas Dan Kewenangan Menangani Sengketa Pemilukada Dari Mahkamah Agung Ke Mahkamah Konstitusi ... 48

BAB IV ANALISIS PERALIHAN KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILUKADA UU PEMILU NO. 8 PASAL 157 TAHUN 2015 DALAM KAJIAN FIQIH SIYASAH ... 55

A. Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Bukan Termasuk Rezim Pemilihan Umum (Pemilu) ... 56

B. Peralihan Kewenangan Mahkamah Agung Kepada Mahkamah Konstitusi Dalam Menangani Sengketa Pemilukada ... 61

BAB V PENUTUP ... 76

A. Kesimpulan ... 76

B. Saran ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 80

(9)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di Indonesia, sejarah pembentukan MK, tepatnya penuangan didalam

UUD tentang pengujian UU terhadap UUD atau judicial review, telah melalui

sejarah perdebatan yang panjang. Di BPUPKI terjadi perdebatan antara

Soepomo dan Yamin yang menyimpulkan bahwa judicial review tidak

diperlukan. Pada awal Orde Baru, MPRS membentuk Panitia Ad Hoc tentang

judicial review, tetapi hasilnya ditolak pemerintah. Penerimaan pemerintah

atas gagasan itu baru dituangkan secara terbatas dan setengah hati (karena tak

dapat diimplementasikan) didalam UU Nomer 14 Tahun 1970 yang membuka

peluang uji materi untuk perundang-undangan di bawah UU. Ketentuan ini

kemudian dituangkan pula didalam Tap MPR Nomor VI/MPR/1973 dan Tap

MPR Nomer III/MPR/1978.1

Hal yang tampaknya cukup baik dari gagasan pengauatan checks and

balances di dalam perubahan UUD 1945 adalah lahirnya Mahkamah Konstitusi

(MK) yang antara lain diberi wewenang oleh UUD hasil perubahan untuk

melakukan pengujian UU terhadap UUD. Lahirnya MK merupakan jawaban

atas keinginan agar lembaga yudisial dapat melakukan pengujian atas UU

terhadap UUD yang sebelumnya ssama sekali tidak dapat dilakukan. Memang

(10)

sejak tahun 2000, ada Tap MPR No. III/MPR/2000 yang menyerahkan

pengujian UU terhadap UUD kepada MPR. Namun, selain hal itu bukan

merupakan pengujian oleh lembaga yudisial yang dapat menggambarkan

checks and balance, sejalan dengan tata hokum baru yang tidak kenal lagi

mengenal Tap MPR sebagai bagian dari persaturasn perundang-undangan,

maka pembentukan MK merupakan pilihan yang rasional.2

Sebagai sebuah lembaga yang telah ditentukan dalam UUD, kewenangan

Mahkamah Konstitusi juga diberikan dan diatur dalam UUD. Kewenangan

yang mengeklusifkan dan membedakan Mahkamah Konstitusi dari

lembaga-lembaga lain. Wewenang Mahkamah Konstitusi secara khusus diatur dalam

Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) UU No.24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: (1) Mahkamah konstitusi

berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya

bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD; (2) Memutus sengketa

kewenangan lembaga negara yang kewenangannya yang diberikan oleh UUD.

Misalnya, usul pemberhentian Presiden dan / Wapres oleh DPR kepada MPR

apabila Presiden dan Wapres terbukti melakukan pelanggaran hukum

sebagiamana diatur dalam pasal 7A UUD 1945; (4) Memutuskan pembubaran

partai politik; dan (5) Memutuskan perselisihan tentang hasil pemilu.3

Mahkamah Konstitusi memiliki pengalaman yang sangat berharga dalam

pennyelesaian perselisihan hasil pemilihan umum tahun 2004 yang lalu, baik

2 Ibid., 73-74

3Titik Triwulan T. Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan

(11)

3

dari segi kuanttitas persselisihan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi

maupun dilihat dari kialitas dalam arti yang berkaitan dengan dilanggarnya

asas-asas Pemilu yang sesungguhnya juga berpengaruh terhadap hasil

perhitungan suara, tetapi tidak menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.4

Sebagai antisipasi terhadap Pemilu 2004, maka di samping mendasarkan

pada prosedur penyelesaian perselisihan hasil pemilu yang diatur dalam Pasal

74 sampai dengan Pasal 79 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, aturan

hukum acaranya telah dilengkapi dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi

masing-masing Peraturan Mahkamah Konstitusi No.004/PMK/2004 dan

Peraturan Mahkamah Konstitusi No.005/PMK/2004.5

Indikator yang bisa dijadikan sebagai bahan perbandingan terhadap

kinerja penyelesaian sengketa pemilu sesuai dengan unsur keanggotaan

Panwaslu adalah kualitas yang didalamnya meliputi pengetahuan responden

mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa pemilu ;

pendapat dan pendapat dan ketepatan bagaimana penyelesaian sengketa

dilakukan; adanya perencanaan kerja yang baik; dan bagiamana kerja sama

dilakukan.

Nilai rata-rata tertinggi dari ketiga buah indikator diatas adalah dosen,

kemudian diusul oleh jaksa, wartawan. Polri dan Tomas. Data ini jelas

menunjukkan bahwa ada perubahan pada posisi kedua nilai rerata yang

biasanya (pada variabel sistem kompensasi dan kompetensi emosi) diraih oleh

4 Maruar Siahan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia edisi,(Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 155

(12)

unsur Tomas. Hal ini bisa dimaklumi karena skill (kemampuan), knowledge

(pengetahuan) dan ability penyelesaian sengketa unsur jaksa lebih unggul.

Pengukuran hasil penyelesaian sengketa pemilu diatas telah sesuai

dengan pendapat Minnery (1985: 40), bahwa parameter keberhasilan dalam

penenyelesaian konflik atau sengketa adalah adanya kesepakatan yang diambil/

diterima (acceptance) oleh masing-masing pihak yang bersengketa: duration

yaitu adanya tenggang waktu untuk menyelesaikan sengketa itu melalui

tahapan pengkajian, pemanggilan pada pihak yang bersengketa, kesepakatran

musyawarah, alterntif-alternatif tawaran solusi maupun keputusan akhir yang

bersifat final dan mengikat; dan perubahan hubungan setelah terjadi

kesepakatan yang win-win. Hal ini ditandai dengan adanya penghargaan

terhadap masing-masing pihak dan adanya upanya bersama untuk menjaga

kesepakatan dan pengaruh positif lainnya.6

Dalam Pelaksanaan Pemilihan kepala daerah hakekatnya sama seperti

tahap pelaksanaan pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Menurut

Pasal 65 ayat (3) UU No.32 Tahun 2004 tahap pelaksanaan Kepala Daerah

meliputi: penetapan daftar pemilih, pendaftaran dan penetapan calon Kepala

Daerah/ wakil Kepala Daerah, kampanye, pemungutan suara, perhitungan

suara, dasn penetapan pasangan calon Kepala Daerah atau Wakil Kepala

Daerah terpilih, pengesahan, dan Pelantikan.7

6 Jurnal Penelitian Stain Jember, Vol 4, No.2 Juli 2005, Analisis Sistem Kompensasi, Kompetensi

Emosi dan Kinerja Penyelesaian Sengketa Pemilu, Thayib, Dosen Jurusan Dakwah Stain Jember, 22-23

7 Titik Triwulan Tutik, Pemilihan Kepala Daerah Berdasrkan Undang-Undang Nomor 32 tahun

(13)

5

Dalam hal ini sejarah Islam pemilihan pemimpin, ketika Nabi Wafat

beliau tidak meninggalkan wasiat atau pesan tentang siapa diantara para

sahabat yang menggantikan Nabi sebagai pemimpin umat. Dalam Al-Qur’an

maupun hadis tidak ada petunjuk tentang bagaimana cara memilih pemimpin

sepeninggal nabi nanti, selain petunjuk yang sifatnya sangat umum agar umat

Islam mencari penyelesaian dalam masalah-masalah yang menyangkut

kepentingan bersama melalui musyawarah, tanpa adanya pola yang baku

bagaimana musyawarah itu harus diselenggarakan. Itulah kiranya salah satu

sebab utama mengapa dalam pada pemerintahan Khalifah ditentukan melalui

jalan musyawarah, tetapi pola musyawarah yang ditempuhnya beraneka

ragam.8

Berbicara mengenai penyelesaian sengketa maka dalam sejarah peradilan

Islam selain melalui wilayah al-qadha yaitu lembaga peradilan bisa juga

melalui lembaga non peradilan yaitu lembaga Tahkim meskipun ruang lingkup

wewenang lembaga Tahkim tidak seluas lembaga al-qadha dalam

menyelesaikan suatu sengketa.9

Penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh oleh para pihak yang

bersengketa, mengingat banyaknya permasalahan kenegaraan yang harus di

putuskan secara bijak dan pandangan yang tajam, sehingga mampu

menciptakan kemaslahatan umat. Akan tetapi bagaimanakah kewenangan

8Muhammad Rifa’I, Analisis hukum Acara Tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilu

Di Indonesia Di Mahkamah Konstitusi Dalam Prespektif Fiqh Siyasah,(Skripsi—IAIN Sunan Ampel, Surabaya,2008 ) ,5

9 Amiratul Fawaidah, Tinjauan Fiqih Siyasah terhadap Putusan Bawaslu Perihal Sengketa

(14)

dalam penyelesaian sengketa tersebut belum jelas siapa yang berhak untuk

mengadilinya.

Atas dasar uraian diatas maka penulis melakukan penelitian lebih jauh

lagi mengenai “PERALIHAN MAHKAMAH AGUNG KEPADA

MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENEYELESAIAKAN

SENGKETA PEMILUKADA ( STUDI ANALISIS UU PEMILU NO.8

PASAL 157 TAHUN 2015 DALAM KAJIAN FIQIH SIYASAH)”

B. Indentifikasi dan Batasan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, maka penulis dapat mengetahui masalah-masalah sebagai berikut:

1) Tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi padal pasal 24C ayat (1) dan pada ayat (2).

2) Mekanisme Hukum Acara Mahkamah Konsttitusi dalam penyelesaian sengketa.

3) Ruang lingkup pemilihan Kepala Daerah. 4) Permasalahan didalam Pengawasan Pemilukada

5) Kompetensi emosi dalam penyelesaian sengketa pemilu

6) Kewenagan Mahkamah Konstitusi dalam pandangan Hukum Islam 7) Penjelasan dan Penafsiran yang jelas dalam Undang-Undang Nomer 8

Tahun 2015 pada pasal 157 ayat (1) yang dimaksud peradilan Khusus. 8) Dalam Undang-undang harus memuat unsure-unsur hukum yaitu:

(15)

7

9) Memberi penjelasan secara benar urgensi dari pemilu dengan pemilukada, terdapat pada pasal 22E ayat (2) UUD 1945.

Agar penelitian ini tetap mengarah pada permasalahan yang akan dikaji dan tidak menyimpang dari pokok pembahasan, maka penulis membatasi permasalahan dalam penelitian ini, yaitu:

1) Tugas dan kewemagan Mahkamh Konstitusi dalam penyelesaian sengketa pemilukada pada Undang-Undang Nomer 8 Tahun 2015

2) Tugas dan kewenangn Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan sengketa dalam pandangan Hukum Islam.

3) Penjelasan secara benar urgensi dari pemilu dengan pemilukada, terdapat pada pasal 22E ayat (2) UUD 1945,serta apa yang dimaksud peradialn khusus yang tertuang dalam Undang-Undang Nomer 8 tahun 2015 dalam tatanan Hukum Tata Negara Indonesia maupun dalam Hukum Islam.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka pokok masalah

yang akan diteliti sebagai berikut:

1. Bagaimana Peralihan Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi

dalam sengketa Pemilukada dalam Undang-Undang Nomer 8 Tahun 2015

pasal 157 ?

2. Bagaimana tinjauan Fiqih Siyasah Peralihan Mahkamah Agung Kepada

Mahkamah Konstitusi dalam sengketa Pemilukada dalam Undang-Undang

(16)

D. Kajian Pustaka

Dari hasil telaah kajian pustaka terhadap hasil penelitian sebelumnnya,

penulis tidak menjumpai judul penelitian sebelumnya yang sama yang

dilakukan oleh mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya, penulis juga tidak

menemukan penelitian atau tulisan yang secara spesifik mengkaji tentang

Peralihan Mahkamah Agung Kepada Mahkamah Konstitusi dalam

Menyelesaikan Sengketa Pemilukada (Studi Analisis Undang-Undang Nomer

8 Tahun 2015 dalam kajian fiqih Siyasah). Penulis tidak mendapatkan beberapa

hasil penelitian yang memiliki relevansi terhadap penelitian yang penulis

lakukan, sebagai berikut:

1) Skripsi yang di tulis oleh Muhammad Rifa’i pada tahun 2008 yang

berjudul “Analisis hukum Acara Tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa

Hasil Pemilu Di Indonesia Di Mahkamah Konstitusi Dalam Prespektif

Fiqh Siyasah” penulis ini membahas tentang bagaimana hukum acara

penyelesaian sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi serta bagaimana

pandangan Islam dalam kajian Fiqih Siyasah.10

2) Skripsi yang di tulis oleh Amiratul Fawaidah pada tahun 2013 yang

berjudul “Tinjauan Fiqih Siyasah terhadap Putusan Bawaslu Perihal

Sengketa Verifikasi Partai Keadilan Dan Persatuan Indonesia menurut

UU No.15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu” penulis ini

10Muhammad Rifa’I, Analisis hukum Acara Tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilu

(17)

9

membahas tentang bagaimana putusan bawaslu perihal sengketa menurut

UU No.15 Tahun 2011 serta bagaimana tinjauan Fiqih Siyasah.11

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan apa yang terdapat dalam rumusan masalah di atas, maka

tujuan penelitian ini sebagai berikut:

1. Untuk memberi gambaran tentang tugas dan kewenangan Mahkamah

Konstitusi dalam penyelesaian sengketa Pemilukada Undang-Undang nomer 8 Tahun 2015.

2. Untuk memperjelas pemahaman bagaimana tugas dan kewenangan

Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian sengketa Pemilukada Undang-Undang nomer 8 Tahun 2015.

3. Selanjutnya untuk memberikan perspektif baru mengenai pandangan

Hukum Islam terhadap tugas dan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian sengketa Pemilukada Undang-Undang nomer 8 Tahun 2015.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Atas dasar tujuan tersebut, maka penelitian ini akan memberikan manfaat sebagai berikut:

1) Secara Teoritis

11 Amiratul Fawaidah, Tinjauan Fiqih Siyasah terhadap Putusan Bawaslu Perihal Sengketa

(18)

a. Dapat dijadikan bahan acuan untuk penelitian dan kajian tentang

eksistensi Mahkamah Konstitusi Sebagai Menguji Undang-Undang Dasar dan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir sesuai dengan wewenang Mahkamah Konstitusi padal pasal 24C ayat (1) dan pada ayat (2)

b. Memperkaya khasanah ilmu Hukum Islam guna membangun

argumentasi ilmiah bagi penelitian normatif dalam bentuk putusan atau keputusan hukum atau perundang-undangan dengan konsekuensi ilmiah.Khususnya tugas dan kewenangan Mahkamah Konstitusi.

2) Secara Praktis

a. Memberikan pandangan dan pedoman argumentasi hukum yang

diperlukan agar diperoleh daya guna yang diharapkan bagi penegakan hukum dan profesionalitas politisi, demi terciptanya iklim yang adil dan kondusif.

b. Diharapkan bermanfaat bagi masyarakat supaya terciptanya keadilan

dan kemaslahatan dalam penegakan hukum Indonesia, sesuai dengan unsur-unsur hukum yaitu kepastian, keadilan, kemanfaatan.

G. Definisi Operasional

(19)

11

1. Peralihan Mahkamah Agung dalam UU Nomor 32 tahun 2004 Pasal 263C Penanganan Sengketa hasil perhitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan semenjak Undang-Undang ini diundangkan.12

2. Mahkamah Konstitusi secara khusus diatur didalam pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 Ayat (1) UU No.24 Tahun 2003 yang menyatakan: (1) Mahkamah Konstitusi Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD; (2) Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD; (3) Memutus pembubaran partai politik; (4) Memutus Perselisihan tentang hasil pemilu.13 Tugas dan wewenang dalam penelitian disini ialah apakah sudah

sesuaikah amanat UUD 1945 dengan kenyataannya yaitu kewenangan Mahkamah Konstitusi Menyelesaikan sengketa Pemilukada yang diatur dalam Undang-Undang No.8 Tahun 2015.

3. Fikih Siyasah atau Hukum Tata Negara Islam adalah salah satu aspek Hukum Islam yang membicarakan pengaturan dan pengurusan kehidupan manusia dalam bernegara demi mencapai kemaslahatan bagi manusia itu sendiri. Kata siyasah sendiri mengandung tujuan untuk mengatur,

12 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 97/PUU-XI/2013

(20)

mengurus dan membuat kebijaksanaan atas sesuatu yang bersifat politis untuk mencapai sesuatu.14

H. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan model pendekatan penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif analisis dan pengumpulan data melalui metode penelitian pustaka (library research).

1. Data yang Dikumpulkan

a. Data mengenai tugas, wewenang, Mahkamah Konstitusi. b. Data mengenai hukum Acara Mahkamah Konstitusi.

c. Data mengenai Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomer 97/ PUU-XI/2013.

d. Data mengenai sengketa pemilukada. 2. Sumber Data

Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah yang diangkat

penulis, maka dalam hal sumber penelitian, akan dibagi menjadi 2(dua)

yaitu: sumber data yang bersifat primer dan sumber data yang bersifat

sekunder. Sumber primer adalah Sumber yang langsung memberikan

informasi data kepada pengumpulan data.Dalam penelitian ini yang

dimaksud dengan data primer adalah:

14Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya Media

(21)

13

1) Maruarar Siahan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,Edisi 2.

2) Titik Triwulan Tutik, Pemilihan Kepala Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomer 32 Tahun 2004 Dalam Sistem Pemilu Menurut UUD 1945.

3) A.Ubaidillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Edisi Ketiga Demokrasi Hak Asasi Manusia Dan Masyarakat Madani.

4) Ttitik Triwulan T. dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia.

5) Tim Penulis Imam Amrusi, Nur Lailatul Musyafa’ah, M.Hasan Ubaidillah, Hukum Tata Usaha Negara Islam, Buku Perkuliahan Siyasah Jinayah Fakultas Syari’ah Iain Sunan Ampel Surabaya.

6) Abdul Karim Zaidan, Masalah Kenegaraan dalam Pandangan Islam. 7) Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam.

3. Teknik Pengumpulan Data

Bertolak dari sumber data yang dikumpulkan, maka teknik pengumpulan data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara membaca, menelaah dan menganalisa sumber-sumber data berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan dan kemudian dilakukan penulisan secara sistematis dan komprehensif.

(22)

perundang-undangan dilakukan pengkajian terhadap aturan hukum yang menjadi fokus dan berhubungan dengan topik permasalahan, yaitu tugas dan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam sengketa Pemilukada pada Undang-undang Nomer 8 Tahun 2015.

Penulis menggunakan pendekatan analitis dalam rangka menguji istilah-istilah hukum dalam praktik melalui analisis terhadap tugas dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam sesuai dengan prinsip Hukum Islam atau tidak. Karena dalam penyelesaian sengketa ataukah perselisiahan. Sebab pada peradilan bangsa arab belum mempunyai perundang- undangan untuk dapat dijadikan pedoman oleh para hakim di masa itu.15

Adapun pola pikir yang digunakan dalam mengolah data yang telah dikumpulkan adalah dengan cara deduktif, yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang bersifat khusus. Artinya, mengemukakan teori yang bersifat umum, yaitu teori Wilayah Al-Mazalim kemudian ditarik pada permasalahan yang lebih khusus tentang peralihan Mahkamah Agung Kepada Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian sengketa Pemilukada.

(23)

15

I. Sistematika Pembahasan

Dalam upaya untuk menjadikan alur pembahasan menjadi sistematis, maka penulisan skripsi dibagi ke dalam lima bab. Dalam masing-masing bab terdiri atas beberapa sub bab sesuai pembahasan dan materi yang akan diteliti. Bab I sebagai pendahuluan berupa uraian latar belakang masalah yang berkaitan dengan urgensi penelitian, dilanjutkan dengan rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, kajian pustaka, definisi operasional, metode yang digunakan dalam penelitian dan sistematika pembahasan.16

Bab II membahas landasan teori tentang konsep Wilayah Al-Mazalim yang meliputi: pengertian Wilayah Mazalim, dasar hukum Wilayah Al-Mazalim dan Peralihan Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan sengketa pemilukada.

Bab III berisi data tentang Undang-undang Republik Indonesia Nomer 8 Tahun 2015. Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomer 1 Tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang-undang Nomer 1 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur,Bupati, dan Walikota menjadi Undang-undang.

Bab IV merupakan pembahasan yang paling inti dalam skripsi ini, yaitu analisis Undang-undang Pemilukada Nomer 8 Tahun 2015 yang mencakup tentang: tugas dan kewenangan Wilayah Al-Mazalim dalam sengketa

16Bahdin Nur Tanjung dan Ardial, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, (Jakarta: Kencana Prenada

(24)

Pemilukada yang dianalogikan peralihan Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan sengketa pemilukada.

(25)

17

BAB II

WILAYAH AL-MAZA>LIM

DALAM PERADILAN ISLAM

A. Pengertian Wilayah al-Maza>lim

Kata wilayah al-maza>lim merupakan gabungan dua kata, yaitu wilayah

dan al-maza>lim. Kata wilayah secara literal berarti kekuasaan tertinggi,

aturan, dan pemerintahan. Sedangkan kata al-maza>lim adalah bentuk jamak

dari mazlimah yang secara literal berarti kejahatan, kesalahan, ketidaksamaan,

dan kekejaman.1

Secara terminologi wilayah al-maza>lim berarti kekuasaan pengadilan

yang lebih tinggi dari kekuasaan hakim dan muhtasib, yang bertugas

memeriksa kasus-kasus yang tidak masuk dalam wewenang hakim biasa,

tetapi pada kasus-kasus yang menyangkut penganiayaan yang dilakukan oleh

penguasa terhadap rakyat biasa.2

Wilayah al-maza>lim adalah lembaga peradilan yang secara khusus

menangani kezaliman para peguasa dan keluarganya terhadap hak-hak rakyat.

Wilayah al-maza>lim didirikan dengan tujuan untuk memelihara hak-hak

rakyat dari perbuatan zalim para penguasa, pejabat, dan keluarganya dan juga

melindungi masyarakat dari berbagai bentuk penganiayaan, penindasan, dan

permusuhan dari badan-badan pemerintah baik di pusat maupun di daerah.

(26)

Peradilan ini bertujuan agar mengembalikan hak-hak rakyat yang telah

diambil oleh mereka, dan untuk menyelesaikan persengketaan antara

penguasa dan warga negara.3 Yang dimaksud penguasa dalam definisi ini

menurut al-Mawardi adalah seluruh jajaran pemerintahan mulai dari pejabat

tertinggi sampai pejabat paling rendah. Muhammad Iqbal mendefinisikan

wilayah al-maza>lim adalah sebagai lembaga yang menyelesaikan

penyelewengan pejabat negara dalam melaksanakan tugasnya, seperti

pembuatan keputusan politik yang merugikan dan melanggar kepentingan

hak-hak rakyat serta perbuatan pejabat negara yang melanggar HAM rakyat.4

Secara operasional, qa>d}i> maza>lim bertugas menyelesaikan perkara yang tidak

dapat diputuskan oleh qa>d}i> dan muhtasib, meninjau kembali putusan yang

dibuat oleh dua hakim tersebut atau menyelesaikan masalah banding.5

Al-niza>m al-maza>lim atau wilayah al-maza>lim yaitu lembaga yang

bertugas memberi penerangan dan pembinaan hukum, menegakkan ketertiban

hukum baik di lingkungan pemerintahan maupun di lingkungan masyarakat,

dan memutuskan perkara. Lembaga ini mempunyai tiga macam hakim,

al-qa>d}i>, al-muhtasib, dan qa>d}i> al-maza>lim atau sh>ahib al-maza>lim dengan tugas

yang berbeda. Qa>d}i> bertugas memberi penerangan dan pembinaan hukum,

menyelesaikan perkara sengketa, perselisihan, dan masalah wakaf. Pada

masalah ini di setiap wilayah diangkat beberapa hakim. Setiap perkara

3 Alaiddin Kotto, et al., Sejarah Peradilan Islam, Ed.1-2. ( Jakarta: Rajawali Press, 2012), 132. 4 Imam Amrusi Jaelani, et.al., Hukum Tata Negara Islam, cet. 1 (Surabaya: Mitra Media

Nusantara, 2013), 33.

5 Jaenal Aripin, Peradilan Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Cet. 1(Jakarta:

(27)

19

diselesaikan menurut mazhab yang dianut oleh masyarakat. Misalnya, qa>d}i>

Irak mengikuti mazhab Abu Hanifah, di Syam dan Maghrib (Afrika) menurut

mazhab Malik, dan di Mesir menurut mazhab Syafi’i.6

Adapun pejabat al-muhtasib bertugas mengawasi hukum, mengawasi

ketertiban umum, menyelesaikan masalah-masalah kriminal yang perlu

penanganan segera. Al-muhtasib juga bertugas menegakkan amar makruf dan

nahi munkar, mengawasi ketertiban pasar, mencegah terjadinya pelanggaran

hak-hak tetangga, dan menghukum orang yang mempermainkan hukum

syariat.7

Sedangkan qa>d}i> al-maza>lim bertugas menyelesaikan perkara yang tidak

dapat diputuskan oleh qa>d}i> dan muhtasib, meninjau kembali

keputusan-keputusan yang dilakukan oleh dua hakim tersebut, atau menyelesaikan

perkara banding. Badan ini memiliki mahkamat al-maza>lim. Sidangnya selalu

diselenggarakan di masjid dan dihadiri oleh lima unsur sebagai anggota sidang

: 1. Para pembela dan pembantu sebagai juri yang sekuat tenaga berusaha

meluruskan penyimpangan-penyimpangan hukum, 2. Para hakim

mempertahankan wibawa hukum dan mengembalikan hak kepada yang

berhak, 3. Para fukaha tempat rujukan qa>d}i> al-maza>lim bila menghadapi

kesulitan dalam menyelesaikan masalah yang muskil dari segi hukum syariat,

4. Para katib mencatat pernyataan-pernyataan dalam sidang dan keputusan

6 J. Syuyuthi Pulungan., Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran, ed. 1, cet 4. ( Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada, 1999), 176.

(28)

sidang, dan 5. Para saksi memberi kesaksian terhadap masalah yang

diperkarakan, dan menyaksikan bahwa keputusan yang diambil hakim adalah

benar dan adil. Agar para hakim melaksanakan tugasnya dengan

sebaik-baiknya, mereka diberi tunjangan yang tinggi dan dilarang melakukan

pekerjaan sampingan yag dapat menggangu kelancaran tugasya, seperti

berdagang.8

Secara umum, dapat disimpulkan bahwa wilayah al-maza>lim adalah

salah satu komponen peradilan yang berdiri sendiri dan merupakan peradilan

untuk mengurusi penyelesaian perkara perselisihan yang terjadi antara rakyat

dan negara. Selain itu menangani kasus-kasus penganiayaan yang dilakukan

oleh para pejabat tertinggi, bangsawan, hartawan, atau keluarga sultan

terhadap rakyat biasa.9

B. Sejarah Singkat Wilayah al-Maza>lim

Asal-usul wilayah al-maza>lim ini berasal dari Persia. Para kaisar Persia

yang pertama kali mempraktikannya. Menjelang Islam datang, lembaga ini

pernah muncul dan dipraktikkan di Arab sebelum Islam.10 Hal ini wujud dari

komitmen orang-orang Quraisy untuk menolak segala bentuk kezaliman

sekaligus memberikan pembelaan terhadap orang-orang yang dizalimi.

8 Ibid.

(29)

21

Lembaga ini oleh bangsa Quraisy dilaksanakan dalam bentuk fakta

al-fudhul (Hilf al-Fudhul). Dalam suatu riwayat dari az-Zubair bin Bakar tercatat

bahwa ada seorang laki-laki Yaman yang berasal dari Bani Zubaid datang ke

kota Mekkah untuk berdagang. Kemudian ada orang dari Bani Sahm (dalam

riwayat lain ada yang menyebut bernama al-Ash bin Wail) membeli

dagangannya. Laki-laki yang membeli tersebut mengambil barang melebihi

jumlah yang ditentukan. Saat si pedagang meminta kembali barang yang

diambilnya ia menolak. Akhirnya, hilanglah kesabaran si pedagang dan ia

berteriak di atas sebongkah batu di samping Ka’bah seraya melantunkan syair

yang berisi kecaman terhadap kezaliman yang ia rasakan. Tindakan si

pedagang tersebut ternyata mendapatkan respons positif dari orang-orang

Quraisy. Hal ini terlihat dari intervensi Abu Sufyan dan Abbas bin Abdul

Muthalib dalam membantu mengembalikan hak si pedagang tersebut.

Orang-orang Quraisy berkumpul di rumah Abdullah bin Jadz’an untuk membuat

kesepakatan menolak segala bentuk kezaliman di Mekkah sehingga peristiwa

yang telah terjadi tidak akan terulang kembali. Kesepakatan itulah yang

kemudian dikenal dengan “Hilf al-Fudhul”.11

Pada masa Nabi Saw. beliau pernah memerankan fungsi ini ketika

terjadi kasus irigasi yang dipertentangkan oleh Zubair bin Awwam dengan

seseorang golongan Anshar. Seseorang dari golongan Anshar tersebut berkata,

“Alirkan air tersebut ke sini !”, namun Zubair menolaknya. Kemudian Nabi

(30)

Saw. berkata, “Wahai Zubair, alirkan air tersebut ke lahanmu, kemudian

alirkan air tersebut ke lahan tetanggamu.” Orang Anshar tersebut marah

mendengar perkataan Nabi Saw. seraya berkata, “Wahai Nabi, pantas kamu

mengutamakan dia, bukankah dia anak pamanmu?” Mendengar jawaban ini,

memerahlah wajah Nabi Saw. seraya berkata, ”Wahai Zubair, alirkan air

tersebut ke perutnya hingga sampai ke kedua mata kakinya.”12

Pada masa kalifah para sahabat disibukkan dengan berbagai aktivitas

jihad, sedang para khalifah dan bawahannya berusaha keras dalam

menegakkan keadilan, kebenaran,dan mengembalikan hak-hak orang-orang

yang dizalimi sehingga kasus-kasus yang menjadi kompetensi wilayah

al-maza>lim sangat sedikit jumlahnya. Pada waktu itu, apabila para sahabat

merasa kebingungan terhadap suatu permasalahan, mereka mencukupkan diri

kembali kepada hukum al-qa>d}a>. Meskipun ada indikasi-indikasi yang

mengatakan bahwa peradilan al-maza>lim sudah dipraktikan sejak zaman Nabi

dan al-Khulafa>’ al-Ra>shidu>n, namun keberadaanya belum diatur secara

khusus.13

Dalam Islam, lembaga wilayah al-maza>lim baru muncul pada masa

kekuasaan Bani Umayyah, tepatnya pada masa khalifah Abdul Malik bin

Marwan. Segala bentuk penyelewengan dan penganiayaan yang dilakukan

oleh lembaga pemerintah waktu itu ditangani langsung oleh khalifah. Ketika

(31)

23

dinasti Abbasiyah muncul, pada mulanya lembaga tersebut dipegang langsung

oleh khalifah, tetapi kemudian khalifah menunjuk seorang wakil yang disebut

qa>d}i> al-maza>lim atau sh>ahib al-maza>lim. Pemegang jabatan ini sendiri tidak

mesti seorang hakim, memang hakim lebih diutamakan karena

pemahamnannya terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum.

Namun, khalifah seringkali menunjuk pejabat lain yang lebih berwibawa,

amanah, dan mampu memberikan perlindungan terhadap masyarakat,

sehingga kebobrokan dalam tubuh negara bisa dihentikan. Karena itu pejabat

wilayah al-maza>lim kadangkala adalah seorang menteri peperangan. Penguasa

dinasti Abbasiyah yang sangat peduli terhadap eksistensi lembaga wilayah

al-maza>lim adalah khalifah al-Mahdi, Harun al-Rasyid, dan al-Ma’mun.14

Diceritakan pada hari Ahad, khalifah al-Ma’mun sedang membuka

kesempatan bagi rakyatnya untuk mengadukan kezaliman ynag dilakukan oleh

pejabat. Datang seorang wanita dengan pakaian jelek tampak dalam

kesedihan. Wanita tersebut mengadukan bahwa anak sang khalifah, al-Abbas,

menzaliminya dengan merampas tanah haknya. Kemudian sang khalifah

memerintahkan hakim, Yahya bin Aktsam, untuk menyidangkan kasus

tersebut di depan khalifah. Di tengah perdebatan, tiba-tiba wanita tersebut

mengeluarkan suara lantang sampai mengalahkan suara al-Abbas sehingga

para pengawal istana mencelanya. Kemudian khalifah al-Ma’mun berkata,

“Dakwaannya benar, kebenaran membuatnya berani berbicara dan kebatilan

(32)

membuat anakku membisu.” Kemudian hakim mengembalikan hak si wanita

dan hukuman ditimpakan kepada anak sang khalifah.15

C. Dasar Hukum Wilayah al-Maza>lim

Al-qa>d}a> merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran Islam,

prinsip-prinsip keadilan dalam Islam menjadi landasan pokok pelaksanaan

syariat Islam, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an surah al-Nisa (4) ayat

135 yang berbunyi:

اي

ع ْول ّ ءاد ش طْسقْل اب نيماوق اونوك ا ْونمآ نيذلا ا يأ

نْيدلاوْلا أ ْمكسفْنأ يل

اولدْعت ْ أ يو ْلا اوعبتت اف ا ب يل ْ أ ّ اف ا ًريقف ْ أ اًينغ ْنكي ْ إ نيبرْقاا

ا ًريبخ ول ْعت ا ب اك ّ إف اوضرْعت ْ أ ا وْلت ْ إ

Artinya:

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsuu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan (QS. surah al-Nisa: 135).

Kerangka dasar pelaksanaan peradilan Islam dalam menangani perkara

pernah dilakukan oleh Umar bin Khatab. Kerangka dasar tersebut termaktub

dalam suratnya kepada Abu Musa al-Asy’ari yang kemudian menjadi dasar

(33)

25

peradilan modern saat ini. Dari surat Umar tersebut terdapat delapan

penggalan dan menjadi kerangka dasar, yang meliputi: 1. Sesungguhnya

peradilan itu adalah suatu kewajiban yang ditetapkan oleh Allah Swt. dan

suatu sunah Rasul yang wajib diikuti. Maka, pahamilah benar-benar jika ada

suatu perkara yang dibentangkan kepadamu dan laksanakanlah jika benar, 2.

Sesungguhnya tidaklah berguna pembicaraan tentang kebenaran yang tidak

ada pengaruhnya (tidak dapat dijalankan). Persamakanlah kedudukan manusia

di dalam majelismu, pandanganmu, dan keputusanmu sehingga bangsawan

tidak dapat menarik kamu kepada kecurangan dan orang yang lemahpun tidak

berputus harapan dari keadilan, 3. Keterangan berupa bukti atau saksi

hendaklah dikemukakan oleh orang yang mendakwa dan sumpah hendaklah

dilakukan oleh orang yang mungkin (terdakwa).16

Penggalan kerangka dasar selanjutnya adalah: 1. Perdamaian diizinkan

hanya antara orang-orang yang bersengkata dari kalangan muslim, kecuali

perdamaian yang menghalalkan barang yang haram atau mengharamkan

barang yang halal, 2. Barangsiapa mengaku suatu hak dengan bukti-bukti yang

belum terkumpul di tangannya maka berikanlah kepada orang itu yang

ditentukan. Jika ia dapat mengemukakan bukti-bukti tersebut berikanlah

haknya, dan jika ia tidak sanggup maka selesailah persoalannya. Cara

memberikan waktu yang ditentukan itu adalah sebaik-baik penangguhan dan

lebih menjelaskan keadaan yang samar, 3. Tidaklah akan menghalangimu

(34)

suatu keputusan yang engkau ambil pada suatu hari kemudian engkau

meninjau kembali sedang engkau mendapat petunjuk, tidaklah hal itu

menghalangimu kembali kepada kebenaran karena kebenaran itu qadim yang

tidak dapat dibatalkan oleh sesuatu, dan kembali kepada kebenaran itu adalah

lebih baik daripada terus-menerus di dalam kesesatan.17

Kerangka dasar peradilan Islam selanjutnya yakni: 1. Kaum muslim

adalah orang-orang yang adil terhadap sesama mereka, kecuali orang yang

pernah bersumpah palsu atau orang yang pernah dikenakan hukum jilid

(dera) atau orang yang tertuduh dalam kesaksiannya karena kerabat. Hanyalah

Allah yang menguasai rahasia hati hamba-hambanya dan melindungi mereka

dari hukumanNya, kecuali ternyata dengan bukti-bukti yang sah atau sumpah,

dan 2. Pahamilah dengan benar persoalan yang dipaparkan kepadamu tentang

perkara yang tidak terdapat di dalam al-Qur’an atau sunah Nabi, kemudian

pergunakanlah qiyas terhadap perkara-perkara tersebut dan cari pula

contoh-contohnya, kemudian berpeganglah menurut pandanganmu kepada hal yang

terbaik di sisi Allah dan yang terbanyak miripnya kepada yang benar.18

D. Kedudukan Wilayah al-Maza>lim

Badan peradilan pada zaman Abbasiyah ada tiga macam yang meliputi:

1. Al-qa>d}a>, hakimnya bergelar al-qa>d}i>, bertugas mengurus perkara-perkara

(35)

27

yang berhubungan dengan agama pada umumnya, 2. Al-hisbah, hakimnya

bergelar al-muhtasib, bertugas menyelesaikan perkara-perkara yang

berhubungan dengan masalah-masalah umum dan tindak pidana yang

memerlukan pengurusan segera, dan 3. An-Nad}ar fi al-maza>lim, hakimnya

bergelar s}ahibul atau qa>d}i> al-maza>lim, bertugas menyelesaikan

perkara-perkara banding dari dua badan pengadilan di atas.19

Dua institusi yang melengkapi peradilan, yaitu wilayah al-maza>lim dan

wilayah al-hisbah merupakan istilah yang datang kemudian. Tetapi secara

empirik, praktiknya sudah terjadi pada masa zaman Rasulullah. Wilayah

al-maza>lim bertugas untuk mengawasi dan memeriksa pelanggaran yang

dilakukan oleh penguasa dan keluarganya. Sedangkan wilayah al-hisbah

bertugas untuk mengawasi dan memeriksa pelanggaran yang dilakukan oleh

rakyat.20

Secara kelembagaan, wilayah al-maza>lim merupakan institusi

pengendali, yaitu suatu kekuasaan peradilan lebih tinggi dari pada pengadilan

biasa, sedangkan wilayah al-hisbah adalah lembaga keagamaan yang

merupakan lembaga peradilan moral, yang berfungsi untuk menegakkan amar

makruf nahi munkar. Disebut amar makruf nahi munkar karena bertugas

mengajak kebaikan dan mencegah kejahatan. Pada awalnya, lembaga ini

19 Ibid., 159-160.

20 Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam dari Kahin di Jazirah Arab ke Peradilan

(36)

bertugas menjaga dan mengawasi kecurangan-kecurangan pedagang di

pasar.21

Dalam perkembangan berikutnya tugas wilayah al-hisbah ini semakin

bertambah luas, yakni dengan melakukan tugas pengawasan bagi berlakunya

peraturan umum dan ketentuan agama yang berkenaan dengan moral

masyarakat yang menyimpang, seperti kelancungan timbangan dan meteran

yang salah, peredaran uang palsu, dan komoditi pasu. Di samping itu, tugas

lain yang diembankannya adalah membantu orang-orang lemah yang tidak

mampu mempertahankan haknya. B. Lewis, Ch. Pelat, dan J. Schachtt

menambahkan tugas wilayah al-hisbah itu dengan memberlakukan peraturan

Islam tentang kejujuran, sopan, santun, dan kebersihan.22

Adapun khalifah pertama kali yang membuat perhatian dan

mengkhususkan wilayah al-maza>lim terpisah dari peradilan umum, adalah

khalifah Abdul Malik bin Marwan. Sedangkan khalifah yang memberikan

perhatian lebih besar lagi terhadap wilayah al-maza>lim ini adalah khalifah

Umar bin Abdul Aziz. Di samping memperhatikan lembaga wilayah

al-maza>lim, khalifah Umar bin Abdul Aziz juga membangun dan menghidupkan

wilayah al-syurt}ah (lembaga kepolisian) dan wilayah hukum operasionalnya

(kompetensi relatif). Lembaga syurt}ah secara khusus ditugaskan untuk

menangkap orang-orang yang diberi hukuman pidana.23

(37)

29

E. Tugas dan wewenang (Kompetensi) Wilayah al-Maza>lim

Dalam bidang peradilan pada awal berkembangnya Islam, Nabi di

samping sebagai kepala negara juga sekaligus sebagai hakim tunggal, dan baru

kemudian setelah wilayah Islam meluas beliau mengizinkan sejumlah sahabat

bertindak sebagai hakim, khususnya kepada mereka yang ditugaskan

mengepalai pemerintahan di wilayah-wilayah di luar Madinah, dengan

berpedoman al-Qur’an, sunah Nabi, dan ijtihad mereka sendiri. Semasa Nabi

Saw. belum terdapat penjara seperti dalam pengertian sekarang. Pada waktu

itu mereka yang dikenakan hukuman kurungan hanya dikucilkan dari

masyarakat. Baru pada masa pemerintahan Umar bin Khatab mulai diatur tata

cara peradilan, antara lain dengan mengadakan penjara dan pengangkatan

sejumlah hakim, dan atas nama khalifah menyelesaikan sengketa antara

anggota masyarakat, berpegangan pada al-Qur’an, sunah, dan qiyas. Tetapi

sampai pada akhir masa al-Khulafa>’ al-Ra>shidu>n para hakim bekerja sendiri

tanpa panitera dan pembukuan yang membukukan keputusan mereka. Bahkan

semula mereka melangsungkan sidang peradilan di rumah sendiri, dan baru

kemudian pindah ke masjid. Juga mereka sendiri pula yang melaksanakan

keputusan mereka.24

Semasa kekuasaan dinasti Umayyah ketatalaksanaan peradilan makin

disempurnakan. Badan peradilan mulai berkembang menjadi lembaga yang

(38)

mandiri. Dalam menangani perkara, para hakim tidak terpengaruh oleh sikap

atau kebijaksanaan politik penguasa negara. Mereka bebas dalam mengambil

keputusan, dan keputusan mereka juga berlaku terhadap para pejabat tinggi

negara. Khalifah Umar bin Abdul Aziz, kepala negara ke delapan dari dinasti

Umayyah, menentukan lima keharusan bagi para hakim, yang meliputi: 1.

Harus tahu apa yang telah terjadi sebelum dia, 2. Harus tidak mempunyai

kepentingan pribadi, 3. Harus tidak menyimpan rasa dendam, 4. Harus

mengikuti jejak para imam, dan 5. Harus mengikutsertakan para ahli dan para

cendekiawan. Pada waktu itu keputusan hakim mulai dibukukan. Selain itu

badan peradilan dibentuk pula peradilan wilayah al-maza>lim yang menangani

pengaduan masyarakat terhadap tindakan penyalahgunan wewenang oleh

pejabat negara, termasuk hakim. Peradilan al-maza>lim ini biasanya diketuai

oleh khalifah itu sendiri.25

Kompetensi absolut yang dimiliki oleh wilayah al-maza>lim adalah

memutuskan perkara-perkara yang tidak mampu diputuskan oleh hakim atau

para hakim tidak mempunyai kemampuan untuk menjalankan proses

peradilannya. Seperti kezaliman atau ketidakadilan oleh para kerabat khalifah,

pegawai pemerintahan, dan hakim-hakim, sehingga kekuasaan wilayah

al-maza>lim lebih luas dari kekuasaan qa>d}a>.26

25 Ibid.

(39)

31

Selanjutnya al-Mawardi menerangkan kompetensi absolut wilayah

al-maza>lim, yaitu sebagai berikut: 1. Ketidakadilan yang dilakukan para

gubernur terhadap rakyat dan penindasan penguasa terhadap rakyat. wilayah

al-maza>lim tidak boleh membiarkan kezaliman dan terhadap tingkah laku para

penguasa, ia harus menyelidiki agar mereka berlaku adil, menahan penindasan,

dan mencopot mereka apabila tidak bisa berbuat adil, 2. Kecurangan yang

dilakukan oleh para pegawai pemerintah dalam penarikan pajak. Tugas

wilayah al-maza>lim adalah mengirim utusan untuk menyelidiki hasil

pengumpulan pajak dan harta, dan memerintahkan kepada para pegawai yang

bertugas tersebut untuk mengembalikan kelebihan penarikan harta dan pajak

keapada pemiliknya, 3. Para pegawai kantor pemerintahan harus amanah

karena umat Islam memercayakan kepada mereka dalam masalah harta benda.

Tugas nad}i>r al-maza>lim adalah meneliti tingkah laku dan menghukum mereka

berdasarkan undang-undang yang berlaku.27

Kewenangan wilayatul al-ma>zalim selanjutnya yakni: 1. Kezaliman

yang dilakukan aparat pemberi gaji kepada orang yang berhak menerima gaji,

baik karena pengurangan atau keterlambatannya dalam memberikan gaji.

Ketika gaji tersebut tidak diberikan atau dikurangi, tugas nad}i>r al-maza>lim

adalah memerintahkan kepada pemerintahan untuk mengembalikan apabila

gaji tersebut diambil pemerintah dari harta yang diambil bait al-ma>l, 2.

Mencegah perampasan harta. Perampasan harta ada 2 (dua) macam, yaitu (a)

(40)

Ghusub al-Shultaniyyah, yaitu perampasan yang dilakukan oleh para gubernur

yang zalim, baik karena kecintaannya terhadap harta tersebut atau karena

keinginannya untuk menzalimi. Tugas nad}i>r al-maza>lim adalah mencegah

perbuatan zalim apabila belum dilakukan, dan bila telah dilakukan maka

tergantung kepada pengaduan orang yang dizalimi tersebut, (b). Perampasan

yang dilakukan oleh “orang kuat”. Dalam kondisi ini pemrosesan perkara

tergantung kepada pengaduan atau adanya tindak kezaliman dan harta yang

dirampas tidak bisa diambil kecuali dengan empat perkara: 1. Pengakuan dari

orang yang merampas harta tersebut, 2. Perampasan tersebut diketahui oleh

wali al-maza>lim dan ia boleh menetapkan hukum berdasar pengetahuannya, 3.

Adanya bukti yang menunjukkan dan menguatkan tindak kezaliman tersebut,

4. Adanya berita yang kuat tentang kezaliman tersebut, 3. Mengawasi

harta-harta wakaf. Harta wakaf ini ada dua macam, yaitu a. Wakaf umum. Tugas

nad}i>r al-maza>lim adalah mengawasi agar harta wakaf tersebut tidak

disalahgunakan, meskipun tidak ada pengaduan tentang adanya

penyimpangan, b. Wakaf khusu, tugas nad}i>r al-maza>lim adalah memproses

perkara setelah adanya pengaduan mengenai penyimpangan terhadap wakaf

tersebut, 4. Menjalankan fungsi hakim. Ketika hakim tidak kuasa menjalankan

proses peradilan karena kewibawaan, status, dan kekuasaan terdakwa lebih

besar dari hakim, nadhir al-Maza>lim harus mempunyai kewibawaan dan

kekuasaan yang lebih tinggi dari terdakwa.28

(41)

33

Kompetensi absolut wilayatul al-ma>zalim kemudian juga mencakup

kewenangan terkait: 1. Menjalankan fungsi nad}i>r al-hisbah ketika ia tidak

mampu menjalankan fungsinya dalam menegakkan perkara-perkara

menyangkut kemaslahatan orang banyak, 9. Memelihara ibadah-ibadah yang

mengandung syiar Islam, seperti perayaan hari raya, haji, dan jihad dengan

mengatur agenda dan prosedur yang perlu dipenuhi karena hak Allah lebih

utama dari pada hak lainnya, 10. Nad}i>r al-maza>lim juga diperbolehkan

memeriksa orang-orang yang bersengketa dan menetapkan hukum bagi

mereka, namun fungsi ini tidak boleh keluar dari aturan-aturan yang berlaku

di lembaga qa>d}a>.29

Segala masalah kezaliman apapun yang dilakukan individu baik

dilakukan para penguasa maupun mekanisme-mekanisme negara beserta

kebijakannya, tetap dianggap sebagai tindak kezaliman, sehingga diserahkan

kepada khalifah agar dialah yang memutuskan tidak kezaliman tersebut,

ataupun orang-orang yang menjadi wakil khalifah dalam masalah ini, yang

disebut dengan qa>d}i> al-maza>lim, artinya perkara-perkara yang menyangkut

masalah fikih al-maza>lim, sehingga diangkat qa>d}i> al-maza>lim untuk

menyelesaikan setiap tindak kezaliman yang merugikan negara.30

Dari sana terlihat bahwa mahkamah al-maza>lim memiliki wewenang

untuk memutuskan perkara apapun dalam bentuk kezaliman, baik yang

29 Ibid., 118-119.

(42)

menyangkut aparat negara ataupun yang menyangkut masalah penyimpangan

khalifah terhadap hukum-hukum syara’ atau yang menyangkut makna salah

satu teks perundang-undangan yang sesuai dengan tabbani (adopsi) khalifah.

Karena undang-undang ini dapat dikatakan sebagai perintah penguasa, maka

memberikan keputusan dalam perkara itu berarti memberikan keputusan

terhadap perintah penguasa. Artinya, perkara itu harus dikembalikan kepada

mahkamah al-maza>lim, atau keputusan Allah dan RasulNya. Kewenangan

seperti ini menunjukkan bahwa peradilan dalam wilayah al-maza>lim

mempunyai keputusan yang final.31

Mengenai kewenangan hukum antara wilayah al-maza>lim dan wilayah

al-hisbah terdapat beberapa perbedaan diantaranya adalah hakim pada wilayah

al-maza>lim memiliki kekuasaan untuk mnyelesaikan perkara yang tidak

mampu diselesaikan peradilan biasa, sedangkan hakim pada wilayah al-hisbah

tidak memiliki wewenang tersebut. Hakim pada wilayah al-maza>lim mmiliki

kewenangan untuk menetapkan dan mengeksekusi secara langsung,

sedangkan pada wilayah al-hisbah kewenangannya terbatas. Kasus-kasus yang

ditangani oleh wilayah al-maza>lim dalah kasus-kasus berat yang berkaitan

dengan hubungan penguasa dan warga negara, sedangkan kasus yang

ditangani wilayah al-hisbah adalah pelanggaran moral yang dilakukan oleh

warga negara.32

(43)

35

Dalam proses persidangan wilayah al-maza>lim dilengkapi dengan

perangkat peradilan yang terdiri atas: 1. Para qa>d}i> atau perangkat qa>d}i>, 2. Para

ahli hukum (fukaha), 3. Panitera, 4. Penjaga keamanan (polisi peradilan) dan

beberapa pembantunya, 5. Para penguasa, dan 6. Para saksi. Kelengkapan

wilayah al-maza>lim dimaksudkan agar sidang berjalan dengan lancar, karena

kasus yang ditangani peradilan ini adalah kasus-kasus berat yang menyangkut

para pejabat negara.33

Dalam kasus al-maza>lim, peradilan dapat bertindak tanpa harus

menunggu adanya suatu gugatan dari yang dirugikan. Artinya, apabila

mengetahui adanya kasus al-maza>lim, qa>d}i> (hakim) peradilan al-maza>lim

harus secara langsung menyelesaikan kasus tersebut. Dengan demikian,

peradilan al-maza>lim memiliki kekuasaan untuk hal sebagai berikut: 1.

Memeriksa dengan teliti sikap dan tingkah laku para pejabat beserta

keluarganya, mencegah terjadinya pelanggaran yang mungkin mereka

lakukan, dan mencegah kecenderungan mereka untuk bertindak jujur, 2.

Memeriksa kecurangan para pegawai yang bertanggung jawab atas pungutan

dana umum negara, 3. Memeriksa pejabat yang bertanggung jawab atas

keuangan negara, 4. Memeriksa secara cermat penanganan dan penyaluran

harta wakaf dan kepentingan umum lainnya, dan 5. Mengembalikan hak

rakyat yang diambil aparat negara.34

33 Ibid.

(44)

Secara khusus peradilan ini juga menangani perkara yang diadukan

sebagai berikut: 1. Gaji para buruh atau pekerja yang dibatalkan atau

ditangguhkan secara sepihak, 2. Harta yang diambil secara paksa oleh para

penguasa, 3. Pembayaran aparat negara, 4. Persengketaan mengenai harta

wakaf, 5. Keputusan hakim yang sulit dilaksanakan sehubungan dengan

lemahnya posisi peradilan, 6. Kasus yang tidak dapat diselesaikan oleh

peradilan hisbah, sehingga mengakibatkan terabaikannya kemaslahatan

umum, 7. Pelaksanaan ibadah pokok, seperti salat berjamaah, salat jumat,

salat id, dan pelaksanaan haji, 8. Penanganan kasus al-maza>lim, penetapan

hukuman, dan pelaksanaan keputusan tersebut.35

Mengenai dengan mahkamah al-maza>lim dan tugas-tugasnya, Abu

Hasan al-Mawardi menjelaskan bahwa pandangan mahkamah al-maza>lim,

yaitu membimbing orang yang saling bermusuhan ke arah kesadaran timbal

balik dengan pengaruh kuasa dan dengan mengancam mereka yang saling

bertengkar dengan daya hebat. Adapun syarat-syarat bagi seorang ketua

mahkamah al-maza>lim, yaitu utama kedudukan lurus telunjuk, besar daya

hebat, nyata suci diri, sedikit loba tamak dan banyak warak karena dia dalam

tugasnya memerlukan kepada kekuasaan pemimpin dan ketabahan hakim.

Karena itu, dia memerlukan kepada kumpulan sifat-sifat kedua golongan tadi,

dan dengan sifat utama kedudukan, telunjuknya menjadi lurus dua arah.36

35 Ibid.

(45)

37

Mengenai dengan masalah ini, Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa

mahkamah al-maza>lim adalah satu jabatan yang terjalin dari kekuasaan raja

dan kesadaran hakim. Dia membutuhkan kepada tangan kuasa dan daya

wibawa yang sanggup mengajar siapa yang zalim dari dua orang yang sedang

bermusuhan dan mengancam orang keterlaluan jahat. Dia seakan-akan

melaksanakan apa yang tidak sanggup qa>d}i> melakukannya. Termasuk dalam

melaksanakan tugasnya, yaitu memperhatikan keterangan dan bukti,

mengamati tanda-tanda dan karinah, menangguhkan perkara sampai

kebenaran menjadi jelas, membimbing orang-orang yang saling bermusuhan

ke jalan perdamaian dan mengambil sumpah para saksi. Itu semua lebih luas

dari qa>d}i>.37

(46)

BAB III

PERALIHAN KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG KEPADA

MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN

SENGKETA PEMILUKADA

A. Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada di Mahkamah Agung

1. Tugas dan Kewenangan Mahkamah Agung

Berdasrkan UUD 1945 Perubahan ketiga Pasal 24A ayat (1)

disebutkan bahwa tugas Mahkamah Agung berwenang Mengadili pada

Tingkat kasasi, menguji peraturan peratursn perundang-undangan di

bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai

wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang.1

Kekuasaan kehakiman yang diamanatkan oleh UUD 1945 yaitu

Pasal 24 ayat (2) yaitu Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah

Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam

lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan

peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah

Mahkamah Konstitusi.2

Setelah terjadi perubahan dan berbagai pemabgian kewenangan

Mahkamah Agung ini dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi

1Pasal 24A ayat (1) BAB IX kekuasaan kehakiman Amandemen ke 3 UUD 1945.

(47)

39

berdasarkan Pasal 236C Undang-Undang sebagai bentuk konsekwensi

amanat UUD 1945, diantaranya adalah :

a) Mahkamah Agung Bertugas dan Berwenang memeriksa dan

memutus:

1) Permohonan Kasasi

2) Sengketa tentang kewenangan mengadili

3) Permohonan peninjauan kembali pututsan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.3

b) Mahkamah Agung memutus permohonan kasasi terhadap putusan

Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir dari semua

Lingkungan Peradilan.4

c) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan

perundangan dibawah undang terhadap

undang-undang.5

d) Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan

perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau

pembentukanya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.6

3 Pasal 28 Undang-Undang No.14 Tahun 1985 Tentang Mahakamah Agung.

4 Pasal 29 Undang-Undang No.14 Tahun 1985 Tentang Mahakamah Agung.

5 Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No.5 Tahun 2004 Perubahan atas Undang-Undang No.14

Tahun 1985 Tentang Mahakamah Agung.

6 Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang No.5 Tahun 2004 Perubahan atas Undang-Undang No.14

(48)

e) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap

penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada

di bawahnya dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman.7

2. Dasar Hukum Kewenangan Mahkamah Agung Menyelesaikan Sengketa

Hasil Pemilukada

Kewenangan Mahkamah Agung yang diberikan oleh

Undang-Undang Dasar 1945 begitu banyak, diatur dalam Pasal 24A ayat (1).

Kewenangan tersebut meliputi mengadili tingkat kasasi, menguji

peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap

Undang-Undang dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan

Undang-Undang. Secara konstitusi kewenangan sengketa pemilukada

kepada Mahkamah Agung itu adalah termasuk kewenangannya, maka

Undang-Undang Pemerintah Daerah memberi kewenangan sengketa hasil

pemilukada kepada Mahkamah Agung, yang diatur dalam Pasal 106 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 “Keberatan terhadap

penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya

dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam

waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan

kepala daerah dan wakil kepala daerah”.8

7 Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang No.3 Tahun 2009 Perubahan kedua atas Undang-Undang

No.14 Tahun 1985 Tentang Mahakamah Agung.

(49)

41

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 106

tersebut, Mahkamah Agung Mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung

Nomor 02 Tahun 2005 tentang tata cara pengajuan upaya hukum

keberatan terhadap hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah

dari KPUD Provinsi dan KPUD Kabupaten/Kota.

Selanjutnya diatur dalam peraturan pelaksanaan, antara lain:

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomer 3 Tahun 2005

tentang perubahan atas Undang-Undang Nomer 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005

tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005

tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan Peraturan Menteri Dalam

Negeri Nomor 9 tahun 2005 tentang pedoman bagi Pemerintah Daerah

dalam pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah .

Dalam penanganan sengketa hasil pemilihan Kepala Daerah dan

Wakil Kepala Daerah, Peradilan Tata Usaha Negara tidak berwenang

dalam memeriksa, mengadili dan memutus hal-hal mengenai sengketa

pemilihan Kepala Daerah, sebagaimana yang tercantum dalam Surat

Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2005 tentang petunjuk teknis

penyelesaian sengketa hasil pemilihan Kepala Daerah. Yang menyatakan

Pengadilan Tata Usaha Negara tidak menangani memeriksa dan

(50)

tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 2g Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1986Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha

Negara menurut Undang-undang ini “Keputusan Panitia Pemilihan, baik

di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum”,9 yang telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang peradilan

Tata Usaha Negara, yang menjadi alasan kenapa harus dibedakan

kewenangan lembaga-lembaga pengadilan yang berhak memutusnya

padahal dilakukan terhadap produk atau penetapan yang di terbitkan oleh

badan yang sama yaitu Komisi Pemilihan Umum Daerah dan terkait

dengan peristiwa hukum yang sama pula yaitu perihal pemilihan umum,

maka perbedaan kewenangan tersebut dapat menimbulkan

putusan-putusan pengadilan yang berbeda satu sama lain atau saling kontroversial.

Dalam putusan Mahkamah Agung memutus bahwa keputusan yang

berkaitan dan termasuk dalam lingkup politik dalam kasus pemilihan

tidak menjadi kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara untuk

memeriksa dan mengadilinya.10

3. Putusan Mahkamah Agung Diluar kerangka Peraturan

Perundang-undangan

Kewenangan Mahkamah Konstitusi dan Pengadilan Tinggi secara

yuridis normatif mempunyai kewenangan yang sangat terbatas dalam

9 Pasal 2g Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Undang-Undang Nomer 05 Tahun 1986

(51)

43

memeriksa dan memutus sengketa hasil pemilihan Kepala Daerah dengan

didasarkan pada pasal 106 ayat (2) Undang- Undang Nomer 32 Tahun

2004 yang menentukan bahwa keberatan yang diajukan hanya berkenaan

dengna hasil perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan

calon dan bunyi pasal tersebut tidak dapat lagi ditafsir lain, pembatasan

kewenangan tersebut dapat dipertegas dalam Pasal 94 ayat (2) Peraturan

Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 “Keberatan sebagaiman yang dimaksud

pada ayat (1), hanya berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang

mempengaruhi terpilihnya pasangan calon”.11

Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005

menyatakan putusan Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi hanya

berupa12 :

1. Putusan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.

2. Dalam hal Mahkamah Agung atau Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa keberatan tidak memenuhi persyaratan formal, permohonan dinyatakan tidak dapat diterima.

3. Dalam hal Mahkamah Agung atau Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa keberatan tidak beralasan, permohonan ditolak.

4. Dalam hal permohonan dikabulkan; Mahkamah Agung atau Pengadilan Tinggi menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPUD dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar.

11Pasal 94 ayat (2) Peraturan Pemerintah tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan dan

pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Undang-Undang Nomor 06 Tahun 2005.

(52)

5. Putusan Mahkamah Agung dan Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), (3), (4) dan ayat (5) bersifat final dan mengikat.

Namun dalam prakteknyaMahkamah Agung membuat keputusan

melebihi dari putusan yang di tentukan oleh peraturan

perundang-undangan. Salah satu putusan Mahkamah Agung yang menuai

Kontroversi adalah putusan Mahkamah Agung Nomor

02/PK/KPUD/2008 tentang permohonan Peninjauan Kembali sengketa

hasil pemilihan kepala daerah Provinsi Sulawesi Selatan yang putusannya

tidak hanya membatalkan hasil melainkan memerintahkan pemilihan

kepala daerah diulang kembali,13 padahal Undang-Undang sudah

mengatur bahwasannya pemungutan suara di TPS hanya dapat diulang

jika terjadi kerusuhan sehingga hasil pilkada tidak dapat digunakan atau

perhitungan suara tidak dapat dilakukan.14

B. Peralihan Kewenangan Mahkamah Agung Ke Mahkamah Konstitusi

Dalam Menangani Sengketa Hasil Pemilukada

1. Tugas dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi

Mahkamah konstitusi adalah salah satu pelaksana kekuasaan

kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 pasal 24C yang

berbunyi:

13

https://slamethariyanto.wordpress.com/2008/01/29/sengketa-pemilihan-gubernur-sulawesi-selatan-2007/ diakses pada 15 juni 2016

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan keharmonisan keluarga dan dukungan sosial teman dengan Konsep diri pada remaja.. Populasi dalam penelitian ini

[r]

Sedangkan di kelompok plastik dan barang dari plastik ( HS 39 ) komoditi utamanya adalah polipropilena lainnya, dalam bentuk butiran senilai USD 17,05 juta, naik 5,53

Flight planning also needs to be created with more precision to avoid overshoot in the sampling plan (see Figure 5, top) and error in the estimation of sampling rate. Loading

secara pribadi / tidak mewakilkan, apabila dikuasakan agar menerima kuasa penuh untuk dapat mengambil keputusan dan hadir tepat waktu. Demikian untuk menjadikan perhatian dan

Selain itu, manfaat dari bimbingan belajar adalah dapat membuat siswa semakin kreatif pada kegiatan belajar mengajar, dan dapat meningkatkan prestasi pada

Hasil pemeriksaan histopatologi bahwa ekstrak etanol daun Ashitaba dengan dosis 125 mg/kg bb, satu ekor mencit mengalami degenerasi melemak, sedangkan dosis 250 mg/kg

Pengaruh baby spa terhadap kenaikan berat badan bayi umur