KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM
MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILUKADA
( STUDI ANALISIS UU PEMILU NO.8 PASAL 157 TAHUN 2015
DALAM KAJIAN FIQIH SIYASAH )
SKRIPSI
Oleh :
Mohamad Safi’i
NIM : C032120219
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Publik Islam Prodi Hukum Pidana Islam
SURABAYA
ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian kepustakaan untuk menjawab pertanyaan bagaimana peralihan kewenangan Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan sengketa pemilukada Undang-Undang nomor 8 Tahun 2015 pasal 157 dan bagaimana tinjauan Fikih Siyasah terhadap peralihan kewenangan tersebut.
Data penelitian dihimpun melalui pembacaan dan kajian teks (text reading) dan selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif analitis.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa peralihan kewenangan Mahkamah Agung Kepada Mahkamah Konstitusi dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, kewenangan mengadili sengketa Pemilukada dialihkan kepada Badan Peradilan Khusus. Hal ini berdasarkan Pasal 157 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Gubernur, Bupati, dan Walikota. Akan tetapi selama belum terbentukanya Peradilan Khusus tersebut, penyelesaian sengketa Pemilukada masih menjadi kewenangan Mahkamah Kontitusi berdasarkan Pasal 157ayat (6). Pembentukan Peradilan khusus tidak bisa dilepaskan dari banyaknya sengketa pemilukada yang masuk ke Mahkamah Konstitusi, sehingga menggangu tugas utama Mahkamah Konstitusisebagai pengawal konstitusi. Oleh sebab itu, badan peradilan khusus yang menangani sengketa Pemilukada harus segera dibentuk. Hal ini dimaksudkan agar Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dapat fokus dengan tugas dan kewenangannya masing-masing sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945.Kewenangan menyelesaikan sengketa pemilukada menjadi kewenangan Mahkamah Agung berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Kemudian kewenangan menyelesaikan sengketa Pemilukada dialihkan dariMahkamh Agung ke Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah. Dalam Islam yang melalui wilayah al-maza>lim yang tugasnya mengadili sengketa Kholifah yang pada akhirya tidak ada suatu persengketaan hasil pemilihan Kepala Daerah, mekanisme yang digunakan oleh ketata negaraan Islam yaitu melalui musyawaroh majelis shu>ra serta imam kholifah, bukan sistem pemilihan secara langsung apa yang dilakukan oleh negara kita. Sehingga Islam terdahulu tidak menjelaskan tentang bagaimana terjadi suatu sengketa pmilihan Kepala daerah.
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
BAB II WILAYAH AL-MAZA>LIM DALAM PERADILAN ISLAM ... 17
A. Pengertian Wilayah al-Maza>lim ... 17
B. Sejarah Singkat Wilayah al-Maza>lim ... 20
C. Dasar Hukum Wilayah al-Maza>lim ... 24
D. Kedudukan Wilayah al-Maza>lim ... 26
BAB III PERALIHAN KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG
KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM
MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILUKADA ... 38
A. Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada di Mahkamah Agung ... 38
B. Peralihan Kewenangan Mahkamah Agung Ke Mahkamah Konstitusi Dalam Menangani Sengketa Hasil Pemilukada ... 44
C. Problematika Peralihan Tugas Dan Kewenangan Menangani Sengketa Pemilukada Dari Mahkamah Agung Ke Mahkamah Konstitusi ... 48
BAB IV ANALISIS PERALIHAN KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILUKADA UU PEMILU NO. 8 PASAL 157 TAHUN 2015 DALAM KAJIAN FIQIH SIYASAH ... 55
A. Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Bukan Termasuk Rezim Pemilihan Umum (Pemilu) ... 56
B. Peralihan Kewenangan Mahkamah Agung Kepada Mahkamah Konstitusi Dalam Menangani Sengketa Pemilukada ... 61
BAB V PENUTUP ... 76
A. Kesimpulan ... 76
B. Saran ... 77
DAFTAR PUSTAKA ... 80
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di Indonesia, sejarah pembentukan MK, tepatnya penuangan didalam
UUD tentang pengujian UU terhadap UUD atau judicial review, telah melalui
sejarah perdebatan yang panjang. Di BPUPKI terjadi perdebatan antara
Soepomo dan Yamin yang menyimpulkan bahwa judicial review tidak
diperlukan. Pada awal Orde Baru, MPRS membentuk Panitia Ad Hoc tentang
judicial review, tetapi hasilnya ditolak pemerintah. Penerimaan pemerintah
atas gagasan itu baru dituangkan secara terbatas dan setengah hati (karena tak
dapat diimplementasikan) didalam UU Nomer 14 Tahun 1970 yang membuka
peluang uji materi untuk perundang-undangan di bawah UU. Ketentuan ini
kemudian dituangkan pula didalam Tap MPR Nomor VI/MPR/1973 dan Tap
MPR Nomer III/MPR/1978.1
Hal yang tampaknya cukup baik dari gagasan pengauatan checks and
balances di dalam perubahan UUD 1945 adalah lahirnya Mahkamah Konstitusi
(MK) yang antara lain diberi wewenang oleh UUD hasil perubahan untuk
melakukan pengujian UU terhadap UUD. Lahirnya MK merupakan jawaban
atas keinginan agar lembaga yudisial dapat melakukan pengujian atas UU
terhadap UUD yang sebelumnya ssama sekali tidak dapat dilakukan. Memang
sejak tahun 2000, ada Tap MPR No. III/MPR/2000 yang menyerahkan
pengujian UU terhadap UUD kepada MPR. Namun, selain hal itu bukan
merupakan pengujian oleh lembaga yudisial yang dapat menggambarkan
checks and balance, sejalan dengan tata hokum baru yang tidak kenal lagi
mengenal Tap MPR sebagai bagian dari persaturasn perundang-undangan,
maka pembentukan MK merupakan pilihan yang rasional.2
Sebagai sebuah lembaga yang telah ditentukan dalam UUD, kewenangan
Mahkamah Konstitusi juga diberikan dan diatur dalam UUD. Kewenangan
yang mengeklusifkan dan membedakan Mahkamah Konstitusi dari
lembaga-lembaga lain. Wewenang Mahkamah Konstitusi secara khusus diatur dalam
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) UU No.24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: (1) Mahkamah konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD; (2) Memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya yang diberikan oleh UUD.
Misalnya, usul pemberhentian Presiden dan / Wapres oleh DPR kepada MPR
apabila Presiden dan Wapres terbukti melakukan pelanggaran hukum
sebagiamana diatur dalam pasal 7A UUD 1945; (4) Memutuskan pembubaran
partai politik; dan (5) Memutuskan perselisihan tentang hasil pemilu.3
Mahkamah Konstitusi memiliki pengalaman yang sangat berharga dalam
pennyelesaian perselisihan hasil pemilihan umum tahun 2004 yang lalu, baik
2 Ibid., 73-74
3Titik Triwulan T. Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan
3
dari segi kuanttitas persselisihan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi
maupun dilihat dari kialitas dalam arti yang berkaitan dengan dilanggarnya
asas-asas Pemilu yang sesungguhnya juga berpengaruh terhadap hasil
perhitungan suara, tetapi tidak menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.4
Sebagai antisipasi terhadap Pemilu 2004, maka di samping mendasarkan
pada prosedur penyelesaian perselisihan hasil pemilu yang diatur dalam Pasal
74 sampai dengan Pasal 79 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, aturan
hukum acaranya telah dilengkapi dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi
masing-masing Peraturan Mahkamah Konstitusi No.004/PMK/2004 dan
Peraturan Mahkamah Konstitusi No.005/PMK/2004.5
Indikator yang bisa dijadikan sebagai bahan perbandingan terhadap
kinerja penyelesaian sengketa pemilu sesuai dengan unsur keanggotaan
Panwaslu adalah kualitas yang didalamnya meliputi pengetahuan responden
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa pemilu ;
pendapat dan pendapat dan ketepatan bagaimana penyelesaian sengketa
dilakukan; adanya perencanaan kerja yang baik; dan bagiamana kerja sama
dilakukan.
Nilai rata-rata tertinggi dari ketiga buah indikator diatas adalah dosen,
kemudian diusul oleh jaksa, wartawan. Polri dan Tomas. Data ini jelas
menunjukkan bahwa ada perubahan pada posisi kedua nilai rerata yang
biasanya (pada variabel sistem kompensasi dan kompetensi emosi) diraih oleh
4 Maruar Siahan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia edisi,(Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 155
unsur Tomas. Hal ini bisa dimaklumi karena skill (kemampuan), knowledge
(pengetahuan) dan ability penyelesaian sengketa unsur jaksa lebih unggul.
Pengukuran hasil penyelesaian sengketa pemilu diatas telah sesuai
dengan pendapat Minnery (1985: 40), bahwa parameter keberhasilan dalam
penenyelesaian konflik atau sengketa adalah adanya kesepakatan yang diambil/
diterima (acceptance) oleh masing-masing pihak yang bersengketa: duration
yaitu adanya tenggang waktu untuk menyelesaikan sengketa itu melalui
tahapan pengkajian, pemanggilan pada pihak yang bersengketa, kesepakatran
musyawarah, alterntif-alternatif tawaran solusi maupun keputusan akhir yang
bersifat final dan mengikat; dan perubahan hubungan setelah terjadi
kesepakatan yang win-win. Hal ini ditandai dengan adanya penghargaan
terhadap masing-masing pihak dan adanya upanya bersama untuk menjaga
kesepakatan dan pengaruh positif lainnya.6
Dalam Pelaksanaan Pemilihan kepala daerah hakekatnya sama seperti
tahap pelaksanaan pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Menurut
Pasal 65 ayat (3) UU No.32 Tahun 2004 tahap pelaksanaan Kepala Daerah
meliputi: penetapan daftar pemilih, pendaftaran dan penetapan calon Kepala
Daerah/ wakil Kepala Daerah, kampanye, pemungutan suara, perhitungan
suara, dasn penetapan pasangan calon Kepala Daerah atau Wakil Kepala
Daerah terpilih, pengesahan, dan Pelantikan.7
6 Jurnal Penelitian Stain Jember, Vol 4, No.2 Juli 2005, Analisis Sistem Kompensasi, Kompetensi
Emosi dan Kinerja Penyelesaian Sengketa Pemilu, Thayib, Dosen Jurusan Dakwah Stain Jember, 22-23
7 Titik Triwulan Tutik, Pemilihan Kepala Daerah Berdasrkan Undang-Undang Nomor 32 tahun
5
Dalam hal ini sejarah Islam pemilihan pemimpin, ketika Nabi Wafat
beliau tidak meninggalkan wasiat atau pesan tentang siapa diantara para
sahabat yang menggantikan Nabi sebagai pemimpin umat. Dalam Al-Qur’an
maupun hadis tidak ada petunjuk tentang bagaimana cara memilih pemimpin
sepeninggal nabi nanti, selain petunjuk yang sifatnya sangat umum agar umat
Islam mencari penyelesaian dalam masalah-masalah yang menyangkut
kepentingan bersama melalui musyawarah, tanpa adanya pola yang baku
bagaimana musyawarah itu harus diselenggarakan. Itulah kiranya salah satu
sebab utama mengapa dalam pada pemerintahan Khalifah ditentukan melalui
jalan musyawarah, tetapi pola musyawarah yang ditempuhnya beraneka
ragam.8
Berbicara mengenai penyelesaian sengketa maka dalam sejarah peradilan
Islam selain melalui wilayah al-qadha yaitu lembaga peradilan bisa juga
melalui lembaga non peradilan yaitu lembaga Tahkim meskipun ruang lingkup
wewenang lembaga Tahkim tidak seluas lembaga al-qadha dalam
menyelesaikan suatu sengketa.9
Penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh oleh para pihak yang
bersengketa, mengingat banyaknya permasalahan kenegaraan yang harus di
putuskan secara bijak dan pandangan yang tajam, sehingga mampu
menciptakan kemaslahatan umat. Akan tetapi bagaimanakah kewenangan
8Muhammad Rifa’I, Analisis hukum Acara Tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilu
Di Indonesia Di Mahkamah Konstitusi Dalam Prespektif Fiqh Siyasah,(Skripsi—IAIN Sunan Ampel, Surabaya,2008 ) ,5
9 Amiratul Fawaidah, Tinjauan Fiqih Siyasah terhadap Putusan Bawaslu Perihal Sengketa
dalam penyelesaian sengketa tersebut belum jelas siapa yang berhak untuk
mengadilinya.
Atas dasar uraian diatas maka penulis melakukan penelitian lebih jauh
lagi mengenai “PERALIHAN MAHKAMAH AGUNG KEPADA
MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENEYELESAIAKAN
SENGKETA PEMILUKADA ( STUDI ANALISIS UU PEMILU NO.8
PASAL 157 TAHUN 2015 DALAM KAJIAN FIQIH SIYASAH)”
B. Indentifikasi dan Batasan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka penulis dapat mengetahui masalah-masalah sebagai berikut:
1) Tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi padal pasal 24C ayat (1) dan pada ayat (2).
2) Mekanisme Hukum Acara Mahkamah Konsttitusi dalam penyelesaian sengketa.
3) Ruang lingkup pemilihan Kepala Daerah. 4) Permasalahan didalam Pengawasan Pemilukada
5) Kompetensi emosi dalam penyelesaian sengketa pemilu
6) Kewenagan Mahkamah Konstitusi dalam pandangan Hukum Islam 7) Penjelasan dan Penafsiran yang jelas dalam Undang-Undang Nomer 8
Tahun 2015 pada pasal 157 ayat (1) yang dimaksud peradilan Khusus. 8) Dalam Undang-undang harus memuat unsure-unsur hukum yaitu:
7
9) Memberi penjelasan secara benar urgensi dari pemilu dengan pemilukada, terdapat pada pasal 22E ayat (2) UUD 1945.
Agar penelitian ini tetap mengarah pada permasalahan yang akan dikaji dan tidak menyimpang dari pokok pembahasan, maka penulis membatasi permasalahan dalam penelitian ini, yaitu:
1) Tugas dan kewemagan Mahkamh Konstitusi dalam penyelesaian sengketa pemilukada pada Undang-Undang Nomer 8 Tahun 2015
2) Tugas dan kewenangn Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan sengketa dalam pandangan Hukum Islam.
3) Penjelasan secara benar urgensi dari pemilu dengan pemilukada, terdapat pada pasal 22E ayat (2) UUD 1945,serta apa yang dimaksud peradialn khusus yang tertuang dalam Undang-Undang Nomer 8 tahun 2015 dalam tatanan Hukum Tata Negara Indonesia maupun dalam Hukum Islam.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka pokok masalah
yang akan diteliti sebagai berikut:
1. Bagaimana Peralihan Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi
dalam sengketa Pemilukada dalam Undang-Undang Nomer 8 Tahun 2015
pasal 157 ?
2. Bagaimana tinjauan Fiqih Siyasah Peralihan Mahkamah Agung Kepada
Mahkamah Konstitusi dalam sengketa Pemilukada dalam Undang-Undang
D. Kajian Pustaka
Dari hasil telaah kajian pustaka terhadap hasil penelitian sebelumnnya,
penulis tidak menjumpai judul penelitian sebelumnya yang sama yang
dilakukan oleh mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya, penulis juga tidak
menemukan penelitian atau tulisan yang secara spesifik mengkaji tentang
Peralihan Mahkamah Agung Kepada Mahkamah Konstitusi dalam
Menyelesaikan Sengketa Pemilukada (Studi Analisis Undang-Undang Nomer
8 Tahun 2015 dalam kajian fiqih Siyasah). Penulis tidak mendapatkan beberapa
hasil penelitian yang memiliki relevansi terhadap penelitian yang penulis
lakukan, sebagai berikut:
1) Skripsi yang di tulis oleh Muhammad Rifa’i pada tahun 2008 yang
berjudul “Analisis hukum Acara Tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa
Hasil Pemilu Di Indonesia Di Mahkamah Konstitusi Dalam Prespektif
Fiqh Siyasah” penulis ini membahas tentang bagaimana hukum acara
penyelesaian sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi serta bagaimana
pandangan Islam dalam kajian Fiqih Siyasah.10
2) Skripsi yang di tulis oleh Amiratul Fawaidah pada tahun 2013 yang
berjudul “Tinjauan Fiqih Siyasah terhadap Putusan Bawaslu Perihal
Sengketa Verifikasi Partai Keadilan Dan Persatuan Indonesia menurut
UU No.15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu” penulis ini
10Muhammad Rifa’I, Analisis hukum Acara Tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilu
9
membahas tentang bagaimana putusan bawaslu perihal sengketa menurut
UU No.15 Tahun 2011 serta bagaimana tinjauan Fiqih Siyasah.11
E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan apa yang terdapat dalam rumusan masalah di atas, maka
tujuan penelitian ini sebagai berikut:
1. Untuk memberi gambaran tentang tugas dan kewenangan Mahkamah
Konstitusi dalam penyelesaian sengketa Pemilukada Undang-Undang nomer 8 Tahun 2015.
2. Untuk memperjelas pemahaman bagaimana tugas dan kewenangan
Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian sengketa Pemilukada Undang-Undang nomer 8 Tahun 2015.
3. Selanjutnya untuk memberikan perspektif baru mengenai pandangan
Hukum Islam terhadap tugas dan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian sengketa Pemilukada Undang-Undang nomer 8 Tahun 2015.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Atas dasar tujuan tersebut, maka penelitian ini akan memberikan manfaat sebagai berikut:
1) Secara Teoritis
11 Amiratul Fawaidah, Tinjauan Fiqih Siyasah terhadap Putusan Bawaslu Perihal Sengketa
a. Dapat dijadikan bahan acuan untuk penelitian dan kajian tentang
eksistensi Mahkamah Konstitusi Sebagai Menguji Undang-Undang Dasar dan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir sesuai dengan wewenang Mahkamah Konstitusi padal pasal 24C ayat (1) dan pada ayat (2)
b. Memperkaya khasanah ilmu Hukum Islam guna membangun
argumentasi ilmiah bagi penelitian normatif dalam bentuk putusan atau keputusan hukum atau perundang-undangan dengan konsekuensi ilmiah.Khususnya tugas dan kewenangan Mahkamah Konstitusi.
2) Secara Praktis
a. Memberikan pandangan dan pedoman argumentasi hukum yang
diperlukan agar diperoleh daya guna yang diharapkan bagi penegakan hukum dan profesionalitas politisi, demi terciptanya iklim yang adil dan kondusif.
b. Diharapkan bermanfaat bagi masyarakat supaya terciptanya keadilan
dan kemaslahatan dalam penegakan hukum Indonesia, sesuai dengan unsur-unsur hukum yaitu kepastian, keadilan, kemanfaatan.
G. Definisi Operasional
11
1. Peralihan Mahkamah Agung dalam UU Nomor 32 tahun 2004 Pasal 263C Penanganan Sengketa hasil perhitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan semenjak Undang-Undang ini diundangkan.12
2. Mahkamah Konstitusi secara khusus diatur didalam pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 Ayat (1) UU No.24 Tahun 2003 yang menyatakan: (1) Mahkamah Konstitusi Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD; (2) Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD; (3) Memutus pembubaran partai politik; (4) Memutus Perselisihan tentang hasil pemilu.13 Tugas dan wewenang dalam penelitian disini ialah apakah sudah
sesuaikah amanat UUD 1945 dengan kenyataannya yaitu kewenangan Mahkamah Konstitusi Menyelesaikan sengketa Pemilukada yang diatur dalam Undang-Undang No.8 Tahun 2015.
3. Fikih Siyasah atau Hukum Tata Negara Islam adalah salah satu aspek Hukum Islam yang membicarakan pengaturan dan pengurusan kehidupan manusia dalam bernegara demi mencapai kemaslahatan bagi manusia itu sendiri. Kata siyasah sendiri mengandung tujuan untuk mengatur,
12 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 97/PUU-XI/2013
mengurus dan membuat kebijaksanaan atas sesuatu yang bersifat politis untuk mencapai sesuatu.14
H. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan model pendekatan penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif analisis dan pengumpulan data melalui metode penelitian pustaka (library research).
1. Data yang Dikumpulkan
a. Data mengenai tugas, wewenang, Mahkamah Konstitusi. b. Data mengenai hukum Acara Mahkamah Konstitusi.
c. Data mengenai Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomer 97/ PUU-XI/2013.
d. Data mengenai sengketa pemilukada. 2. Sumber Data
Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah yang diangkat
penulis, maka dalam hal sumber penelitian, akan dibagi menjadi 2(dua)
yaitu: sumber data yang bersifat primer dan sumber data yang bersifat
sekunder. Sumber primer adalah Sumber yang langsung memberikan
informasi data kepada pengumpulan data.Dalam penelitian ini yang
dimaksud dengan data primer adalah:
14Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya Media
13
1) Maruarar Siahan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,Edisi 2.
2) Titik Triwulan Tutik, Pemilihan Kepala Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomer 32 Tahun 2004 Dalam Sistem Pemilu Menurut UUD 1945.
3) A.Ubaidillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Edisi Ketiga Demokrasi Hak Asasi Manusia Dan Masyarakat Madani.
4) Ttitik Triwulan T. dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia.
5) Tim Penulis Imam Amrusi, Nur Lailatul Musyafa’ah, M.Hasan Ubaidillah, Hukum Tata Usaha Negara Islam, Buku Perkuliahan Siyasah Jinayah Fakultas Syari’ah Iain Sunan Ampel Surabaya.
6) Abdul Karim Zaidan, Masalah Kenegaraan dalam Pandangan Islam. 7) Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam.
3. Teknik Pengumpulan Data
Bertolak dari sumber data yang dikumpulkan, maka teknik pengumpulan data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara membaca, menelaah dan menganalisa sumber-sumber data berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan dan kemudian dilakukan penulisan secara sistematis dan komprehensif.
perundang-undangan dilakukan pengkajian terhadap aturan hukum yang menjadi fokus dan berhubungan dengan topik permasalahan, yaitu tugas dan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam sengketa Pemilukada pada Undang-undang Nomer 8 Tahun 2015.
Penulis menggunakan pendekatan analitis dalam rangka menguji istilah-istilah hukum dalam praktik melalui analisis terhadap tugas dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam sesuai dengan prinsip Hukum Islam atau tidak. Karena dalam penyelesaian sengketa ataukah perselisiahan. Sebab pada peradilan bangsa arab belum mempunyai perundang- undangan untuk dapat dijadikan pedoman oleh para hakim di masa itu.15
Adapun pola pikir yang digunakan dalam mengolah data yang telah dikumpulkan adalah dengan cara deduktif, yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang bersifat khusus. Artinya, mengemukakan teori yang bersifat umum, yaitu teori Wilayah Al-Mazalim kemudian ditarik pada permasalahan yang lebih khusus tentang peralihan Mahkamah Agung Kepada Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian sengketa Pemilukada.
15
I. Sistematika Pembahasan
Dalam upaya untuk menjadikan alur pembahasan menjadi sistematis, maka penulisan skripsi dibagi ke dalam lima bab. Dalam masing-masing bab terdiri atas beberapa sub bab sesuai pembahasan dan materi yang akan diteliti. Bab I sebagai pendahuluan berupa uraian latar belakang masalah yang berkaitan dengan urgensi penelitian, dilanjutkan dengan rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, kajian pustaka, definisi operasional, metode yang digunakan dalam penelitian dan sistematika pembahasan.16
Bab II membahas landasan teori tentang konsep Wilayah Al-Mazalim yang meliputi: pengertian Wilayah Mazalim, dasar hukum Wilayah Al-Mazalim dan Peralihan Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan sengketa pemilukada.
Bab III berisi data tentang Undang-undang Republik Indonesia Nomer 8 Tahun 2015. Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomer 1 Tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang-undang Nomer 1 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur,Bupati, dan Walikota menjadi Undang-undang.
Bab IV merupakan pembahasan yang paling inti dalam skripsi ini, yaitu analisis Undang-undang Pemilukada Nomer 8 Tahun 2015 yang mencakup tentang: tugas dan kewenangan Wilayah Al-Mazalim dalam sengketa
16Bahdin Nur Tanjung dan Ardial, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, (Jakarta: Kencana Prenada
Pemilukada yang dianalogikan peralihan Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan sengketa pemilukada.
17
BAB II
WILAYAH AL-MAZA>LIM
DALAM PERADILAN ISLAM
A. Pengertian Wilayah al-Maza>lim
Kata wilayah al-maza>lim merupakan gabungan dua kata, yaitu wilayah
dan al-maza>lim. Kata wilayah secara literal berarti kekuasaan tertinggi,
aturan, dan pemerintahan. Sedangkan kata al-maza>lim adalah bentuk jamak
dari mazlimah yang secara literal berarti kejahatan, kesalahan, ketidaksamaan,
dan kekejaman.1
Secara terminologi wilayah al-maza>lim berarti kekuasaan pengadilan
yang lebih tinggi dari kekuasaan hakim dan muhtasib, yang bertugas
memeriksa kasus-kasus yang tidak masuk dalam wewenang hakim biasa,
tetapi pada kasus-kasus yang menyangkut penganiayaan yang dilakukan oleh
penguasa terhadap rakyat biasa.2
Wilayah al-maza>lim adalah lembaga peradilan yang secara khusus
menangani kezaliman para peguasa dan keluarganya terhadap hak-hak rakyat.
Wilayah al-maza>lim didirikan dengan tujuan untuk memelihara hak-hak
rakyat dari perbuatan zalim para penguasa, pejabat, dan keluarganya dan juga
melindungi masyarakat dari berbagai bentuk penganiayaan, penindasan, dan
permusuhan dari badan-badan pemerintah baik di pusat maupun di daerah.
Peradilan ini bertujuan agar mengembalikan hak-hak rakyat yang telah
diambil oleh mereka, dan untuk menyelesaikan persengketaan antara
penguasa dan warga negara.3 Yang dimaksud penguasa dalam definisi ini
menurut al-Mawardi adalah seluruh jajaran pemerintahan mulai dari pejabat
tertinggi sampai pejabat paling rendah. Muhammad Iqbal mendefinisikan
wilayah al-maza>lim adalah sebagai lembaga yang menyelesaikan
penyelewengan pejabat negara dalam melaksanakan tugasnya, seperti
pembuatan keputusan politik yang merugikan dan melanggar kepentingan
hak-hak rakyat serta perbuatan pejabat negara yang melanggar HAM rakyat.4
Secara operasional, qa>d}i> maza>lim bertugas menyelesaikan perkara yang tidak
dapat diputuskan oleh qa>d}i> dan muhtasib, meninjau kembali putusan yang
dibuat oleh dua hakim tersebut atau menyelesaikan masalah banding.5
Al-niza>m al-maza>lim atau wilayah al-maza>lim yaitu lembaga yang
bertugas memberi penerangan dan pembinaan hukum, menegakkan ketertiban
hukum baik di lingkungan pemerintahan maupun di lingkungan masyarakat,
dan memutuskan perkara. Lembaga ini mempunyai tiga macam hakim,
al-qa>d}i>, al-muhtasib, dan qa>d}i> al-maza>lim atau sh>ahib al-maza>lim dengan tugas
yang berbeda. Qa>d}i> bertugas memberi penerangan dan pembinaan hukum,
menyelesaikan perkara sengketa, perselisihan, dan masalah wakaf. Pada
masalah ini di setiap wilayah diangkat beberapa hakim. Setiap perkara
3 Alaiddin Kotto, et al., Sejarah Peradilan Islam, Ed.1-2. ( Jakarta: Rajawali Press, 2012), 132. 4 Imam Amrusi Jaelani, et.al., Hukum Tata Negara Islam, cet. 1 (Surabaya: Mitra Media
Nusantara, 2013), 33.
5 Jaenal Aripin, Peradilan Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Cet. 1(Jakarta:
19
diselesaikan menurut mazhab yang dianut oleh masyarakat. Misalnya, qa>d}i>
Irak mengikuti mazhab Abu Hanifah, di Syam dan Maghrib (Afrika) menurut
mazhab Malik, dan di Mesir menurut mazhab Syafi’i.6
Adapun pejabat al-muhtasib bertugas mengawasi hukum, mengawasi
ketertiban umum, menyelesaikan masalah-masalah kriminal yang perlu
penanganan segera. Al-muhtasib juga bertugas menegakkan amar makruf dan
nahi munkar, mengawasi ketertiban pasar, mencegah terjadinya pelanggaran
hak-hak tetangga, dan menghukum orang yang mempermainkan hukum
syariat.7
Sedangkan qa>d}i> al-maza>lim bertugas menyelesaikan perkara yang tidak
dapat diputuskan oleh qa>d}i> dan muhtasib, meninjau kembali
keputusan-keputusan yang dilakukan oleh dua hakim tersebut, atau menyelesaikan
perkara banding. Badan ini memiliki mahkamat al-maza>lim. Sidangnya selalu
diselenggarakan di masjid dan dihadiri oleh lima unsur sebagai anggota sidang
: 1. Para pembela dan pembantu sebagai juri yang sekuat tenaga berusaha
meluruskan penyimpangan-penyimpangan hukum, 2. Para hakim
mempertahankan wibawa hukum dan mengembalikan hak kepada yang
berhak, 3. Para fukaha tempat rujukan qa>d}i> al-maza>lim bila menghadapi
kesulitan dalam menyelesaikan masalah yang muskil dari segi hukum syariat,
4. Para katib mencatat pernyataan-pernyataan dalam sidang dan keputusan
6 J. Syuyuthi Pulungan., Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran, ed. 1, cet 4. ( Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 1999), 176.
sidang, dan 5. Para saksi memberi kesaksian terhadap masalah yang
diperkarakan, dan menyaksikan bahwa keputusan yang diambil hakim adalah
benar dan adil. Agar para hakim melaksanakan tugasnya dengan
sebaik-baiknya, mereka diberi tunjangan yang tinggi dan dilarang melakukan
pekerjaan sampingan yag dapat menggangu kelancaran tugasya, seperti
berdagang.8
Secara umum, dapat disimpulkan bahwa wilayah al-maza>lim adalah
salah satu komponen peradilan yang berdiri sendiri dan merupakan peradilan
untuk mengurusi penyelesaian perkara perselisihan yang terjadi antara rakyat
dan negara. Selain itu menangani kasus-kasus penganiayaan yang dilakukan
oleh para pejabat tertinggi, bangsawan, hartawan, atau keluarga sultan
terhadap rakyat biasa.9
B. Sejarah Singkat Wilayah al-Maza>lim
Asal-usul wilayah al-maza>lim ini berasal dari Persia. Para kaisar Persia
yang pertama kali mempraktikannya. Menjelang Islam datang, lembaga ini
pernah muncul dan dipraktikkan di Arab sebelum Islam.10 Hal ini wujud dari
komitmen orang-orang Quraisy untuk menolak segala bentuk kezaliman
sekaligus memberikan pembelaan terhadap orang-orang yang dizalimi.
8 Ibid.
21
Lembaga ini oleh bangsa Quraisy dilaksanakan dalam bentuk fakta
al-fudhul (Hilf al-Fudhul). Dalam suatu riwayat dari az-Zubair bin Bakar tercatat
bahwa ada seorang laki-laki Yaman yang berasal dari Bani Zubaid datang ke
kota Mekkah untuk berdagang. Kemudian ada orang dari Bani Sahm (dalam
riwayat lain ada yang menyebut bernama al-Ash bin Wail) membeli
dagangannya. Laki-laki yang membeli tersebut mengambil barang melebihi
jumlah yang ditentukan. Saat si pedagang meminta kembali barang yang
diambilnya ia menolak. Akhirnya, hilanglah kesabaran si pedagang dan ia
berteriak di atas sebongkah batu di samping Ka’bah seraya melantunkan syair
yang berisi kecaman terhadap kezaliman yang ia rasakan. Tindakan si
pedagang tersebut ternyata mendapatkan respons positif dari orang-orang
Quraisy. Hal ini terlihat dari intervensi Abu Sufyan dan Abbas bin Abdul
Muthalib dalam membantu mengembalikan hak si pedagang tersebut.
Orang-orang Quraisy berkumpul di rumah Abdullah bin Jadz’an untuk membuat
kesepakatan menolak segala bentuk kezaliman di Mekkah sehingga peristiwa
yang telah terjadi tidak akan terulang kembali. Kesepakatan itulah yang
kemudian dikenal dengan “Hilf al-Fudhul”.11
Pada masa Nabi Saw. beliau pernah memerankan fungsi ini ketika
terjadi kasus irigasi yang dipertentangkan oleh Zubair bin Awwam dengan
seseorang golongan Anshar. Seseorang dari golongan Anshar tersebut berkata,
“Alirkan air tersebut ke sini !”, namun Zubair menolaknya. Kemudian Nabi
Saw. berkata, “Wahai Zubair, alirkan air tersebut ke lahanmu, kemudian
alirkan air tersebut ke lahan tetanggamu.” Orang Anshar tersebut marah
mendengar perkataan Nabi Saw. seraya berkata, “Wahai Nabi, pantas kamu
mengutamakan dia, bukankah dia anak pamanmu?” Mendengar jawaban ini,
memerahlah wajah Nabi Saw. seraya berkata, ”Wahai Zubair, alirkan air
tersebut ke perutnya hingga sampai ke kedua mata kakinya.”12
Pada masa kalifah para sahabat disibukkan dengan berbagai aktivitas
jihad, sedang para khalifah dan bawahannya berusaha keras dalam
menegakkan keadilan, kebenaran,dan mengembalikan hak-hak orang-orang
yang dizalimi sehingga kasus-kasus yang menjadi kompetensi wilayah
al-maza>lim sangat sedikit jumlahnya. Pada waktu itu, apabila para sahabat
merasa kebingungan terhadap suatu permasalahan, mereka mencukupkan diri
kembali kepada hukum al-qa>d}a>. Meskipun ada indikasi-indikasi yang
mengatakan bahwa peradilan al-maza>lim sudah dipraktikan sejak zaman Nabi
dan al-Khulafa>’ al-Ra>shidu>n, namun keberadaanya belum diatur secara
khusus.13
Dalam Islam, lembaga wilayah al-maza>lim baru muncul pada masa
kekuasaan Bani Umayyah, tepatnya pada masa khalifah Abdul Malik bin
Marwan. Segala bentuk penyelewengan dan penganiayaan yang dilakukan
oleh lembaga pemerintah waktu itu ditangani langsung oleh khalifah. Ketika
23
dinasti Abbasiyah muncul, pada mulanya lembaga tersebut dipegang langsung
oleh khalifah, tetapi kemudian khalifah menunjuk seorang wakil yang disebut
qa>d}i> al-maza>lim atau sh>ahib al-maza>lim. Pemegang jabatan ini sendiri tidak
mesti seorang hakim, memang hakim lebih diutamakan karena
pemahamnannya terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum.
Namun, khalifah seringkali menunjuk pejabat lain yang lebih berwibawa,
amanah, dan mampu memberikan perlindungan terhadap masyarakat,
sehingga kebobrokan dalam tubuh negara bisa dihentikan. Karena itu pejabat
wilayah al-maza>lim kadangkala adalah seorang menteri peperangan. Penguasa
dinasti Abbasiyah yang sangat peduli terhadap eksistensi lembaga wilayah
al-maza>lim adalah khalifah al-Mahdi, Harun al-Rasyid, dan al-Ma’mun.14
Diceritakan pada hari Ahad, khalifah al-Ma’mun sedang membuka
kesempatan bagi rakyatnya untuk mengadukan kezaliman ynag dilakukan oleh
pejabat. Datang seorang wanita dengan pakaian jelek tampak dalam
kesedihan. Wanita tersebut mengadukan bahwa anak sang khalifah, al-Abbas,
menzaliminya dengan merampas tanah haknya. Kemudian sang khalifah
memerintahkan hakim, Yahya bin Aktsam, untuk menyidangkan kasus
tersebut di depan khalifah. Di tengah perdebatan, tiba-tiba wanita tersebut
mengeluarkan suara lantang sampai mengalahkan suara al-Abbas sehingga
para pengawal istana mencelanya. Kemudian khalifah al-Ma’mun berkata,
“Dakwaannya benar, kebenaran membuatnya berani berbicara dan kebatilan
membuat anakku membisu.” Kemudian hakim mengembalikan hak si wanita
dan hukuman ditimpakan kepada anak sang khalifah.15
C. Dasar Hukum Wilayah al-Maza>lim
Al-qa>d}a> merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran Islam,
prinsip-prinsip keadilan dalam Islam menjadi landasan pokok pelaksanaan
syariat Islam, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an surah al-Nisa (4) ayat
135 yang berbunyi:
اي
ع ْول ّ ءاد ش طْسقْل اب نيماوق اونوك ا ْونمآ نيذلا ا يأ
نْيدلاوْلا أ ْمكسفْنأ يل
اولدْعت ْ أ يو ْلا اوعبتت اف ا ب يل ْ أ ّ اف ا ًريقف ْ أ اًينغ ْنكي ْ إ نيبرْقاا
ا ًريبخ ول ْعت ا ب اك ّ إف اوضرْعت ْ أ ا وْلت ْ إ
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsuu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan (QS. surah al-Nisa: 135).
Kerangka dasar pelaksanaan peradilan Islam dalam menangani perkara
pernah dilakukan oleh Umar bin Khatab. Kerangka dasar tersebut termaktub
dalam suratnya kepada Abu Musa al-Asy’ari yang kemudian menjadi dasar
25
peradilan modern saat ini. Dari surat Umar tersebut terdapat delapan
penggalan dan menjadi kerangka dasar, yang meliputi: 1. Sesungguhnya
peradilan itu adalah suatu kewajiban yang ditetapkan oleh Allah Swt. dan
suatu sunah Rasul yang wajib diikuti. Maka, pahamilah benar-benar jika ada
suatu perkara yang dibentangkan kepadamu dan laksanakanlah jika benar, 2.
Sesungguhnya tidaklah berguna pembicaraan tentang kebenaran yang tidak
ada pengaruhnya (tidak dapat dijalankan). Persamakanlah kedudukan manusia
di dalam majelismu, pandanganmu, dan keputusanmu sehingga bangsawan
tidak dapat menarik kamu kepada kecurangan dan orang yang lemahpun tidak
berputus harapan dari keadilan, 3. Keterangan berupa bukti atau saksi
hendaklah dikemukakan oleh orang yang mendakwa dan sumpah hendaklah
dilakukan oleh orang yang mungkin (terdakwa).16
Penggalan kerangka dasar selanjutnya adalah: 1. Perdamaian diizinkan
hanya antara orang-orang yang bersengkata dari kalangan muslim, kecuali
perdamaian yang menghalalkan barang yang haram atau mengharamkan
barang yang halal, 2. Barangsiapa mengaku suatu hak dengan bukti-bukti yang
belum terkumpul di tangannya maka berikanlah kepada orang itu yang
ditentukan. Jika ia dapat mengemukakan bukti-bukti tersebut berikanlah
haknya, dan jika ia tidak sanggup maka selesailah persoalannya. Cara
memberikan waktu yang ditentukan itu adalah sebaik-baik penangguhan dan
lebih menjelaskan keadaan yang samar, 3. Tidaklah akan menghalangimu
suatu keputusan yang engkau ambil pada suatu hari kemudian engkau
meninjau kembali sedang engkau mendapat petunjuk, tidaklah hal itu
menghalangimu kembali kepada kebenaran karena kebenaran itu qadim yang
tidak dapat dibatalkan oleh sesuatu, dan kembali kepada kebenaran itu adalah
lebih baik daripada terus-menerus di dalam kesesatan.17
Kerangka dasar peradilan Islam selanjutnya yakni: 1. Kaum muslim
adalah orang-orang yang adil terhadap sesama mereka, kecuali orang yang
pernah bersumpah palsu atau orang yang pernah dikenakan hukum jilid
(dera) atau orang yang tertuduh dalam kesaksiannya karena kerabat. Hanyalah
Allah yang menguasai rahasia hati hamba-hambanya dan melindungi mereka
dari hukumanNya, kecuali ternyata dengan bukti-bukti yang sah atau sumpah,
dan 2. Pahamilah dengan benar persoalan yang dipaparkan kepadamu tentang
perkara yang tidak terdapat di dalam al-Qur’an atau sunah Nabi, kemudian
pergunakanlah qiyas terhadap perkara-perkara tersebut dan cari pula
contoh-contohnya, kemudian berpeganglah menurut pandanganmu kepada hal yang
terbaik di sisi Allah dan yang terbanyak miripnya kepada yang benar.18
D. Kedudukan Wilayah al-Maza>lim
Badan peradilan pada zaman Abbasiyah ada tiga macam yang meliputi:
1. Al-qa>d}a>, hakimnya bergelar al-qa>d}i>, bertugas mengurus perkara-perkara
27
yang berhubungan dengan agama pada umumnya, 2. Al-hisbah, hakimnya
bergelar al-muhtasib, bertugas menyelesaikan perkara-perkara yang
berhubungan dengan masalah-masalah umum dan tindak pidana yang
memerlukan pengurusan segera, dan 3. An-Nad}ar fi al-maza>lim, hakimnya
bergelar s}ahibul atau qa>d}i> al-maza>lim, bertugas menyelesaikan
perkara-perkara banding dari dua badan pengadilan di atas.19
Dua institusi yang melengkapi peradilan, yaitu wilayah al-maza>lim dan
wilayah al-hisbah merupakan istilah yang datang kemudian. Tetapi secara
empirik, praktiknya sudah terjadi pada masa zaman Rasulullah. Wilayah
al-maza>lim bertugas untuk mengawasi dan memeriksa pelanggaran yang
dilakukan oleh penguasa dan keluarganya. Sedangkan wilayah al-hisbah
bertugas untuk mengawasi dan memeriksa pelanggaran yang dilakukan oleh
rakyat.20
Secara kelembagaan, wilayah al-maza>lim merupakan institusi
pengendali, yaitu suatu kekuasaan peradilan lebih tinggi dari pada pengadilan
biasa, sedangkan wilayah al-hisbah adalah lembaga keagamaan yang
merupakan lembaga peradilan moral, yang berfungsi untuk menegakkan amar
makruf nahi munkar. Disebut amar makruf nahi munkar karena bertugas
mengajak kebaikan dan mencegah kejahatan. Pada awalnya, lembaga ini
19 Ibid., 159-160.
20 Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam dari Kahin di Jazirah Arab ke Peradilan
bertugas menjaga dan mengawasi kecurangan-kecurangan pedagang di
pasar.21
Dalam perkembangan berikutnya tugas wilayah al-hisbah ini semakin
bertambah luas, yakni dengan melakukan tugas pengawasan bagi berlakunya
peraturan umum dan ketentuan agama yang berkenaan dengan moral
masyarakat yang menyimpang, seperti kelancungan timbangan dan meteran
yang salah, peredaran uang palsu, dan komoditi pasu. Di samping itu, tugas
lain yang diembankannya adalah membantu orang-orang lemah yang tidak
mampu mempertahankan haknya. B. Lewis, Ch. Pelat, dan J. Schachtt
menambahkan tugas wilayah al-hisbah itu dengan memberlakukan peraturan
Islam tentang kejujuran, sopan, santun, dan kebersihan.22
Adapun khalifah pertama kali yang membuat perhatian dan
mengkhususkan wilayah al-maza>lim terpisah dari peradilan umum, adalah
khalifah Abdul Malik bin Marwan. Sedangkan khalifah yang memberikan
perhatian lebih besar lagi terhadap wilayah al-maza>lim ini adalah khalifah
Umar bin Abdul Aziz. Di samping memperhatikan lembaga wilayah
al-maza>lim, khalifah Umar bin Abdul Aziz juga membangun dan menghidupkan
wilayah al-syurt}ah (lembaga kepolisian) dan wilayah hukum operasionalnya
(kompetensi relatif). Lembaga syurt}ah secara khusus ditugaskan untuk
menangkap orang-orang yang diberi hukuman pidana.23
29
E. Tugas dan wewenang (Kompetensi) Wilayah al-Maza>lim
Dalam bidang peradilan pada awal berkembangnya Islam, Nabi di
samping sebagai kepala negara juga sekaligus sebagai hakim tunggal, dan baru
kemudian setelah wilayah Islam meluas beliau mengizinkan sejumlah sahabat
bertindak sebagai hakim, khususnya kepada mereka yang ditugaskan
mengepalai pemerintahan di wilayah-wilayah di luar Madinah, dengan
berpedoman al-Qur’an, sunah Nabi, dan ijtihad mereka sendiri. Semasa Nabi
Saw. belum terdapat penjara seperti dalam pengertian sekarang. Pada waktu
itu mereka yang dikenakan hukuman kurungan hanya dikucilkan dari
masyarakat. Baru pada masa pemerintahan Umar bin Khatab mulai diatur tata
cara peradilan, antara lain dengan mengadakan penjara dan pengangkatan
sejumlah hakim, dan atas nama khalifah menyelesaikan sengketa antara
anggota masyarakat, berpegangan pada al-Qur’an, sunah, dan qiyas. Tetapi
sampai pada akhir masa al-Khulafa>’ al-Ra>shidu>n para hakim bekerja sendiri
tanpa panitera dan pembukuan yang membukukan keputusan mereka. Bahkan
semula mereka melangsungkan sidang peradilan di rumah sendiri, dan baru
kemudian pindah ke masjid. Juga mereka sendiri pula yang melaksanakan
keputusan mereka.24
Semasa kekuasaan dinasti Umayyah ketatalaksanaan peradilan makin
disempurnakan. Badan peradilan mulai berkembang menjadi lembaga yang
mandiri. Dalam menangani perkara, para hakim tidak terpengaruh oleh sikap
atau kebijaksanaan politik penguasa negara. Mereka bebas dalam mengambil
keputusan, dan keputusan mereka juga berlaku terhadap para pejabat tinggi
negara. Khalifah Umar bin Abdul Aziz, kepala negara ke delapan dari dinasti
Umayyah, menentukan lima keharusan bagi para hakim, yang meliputi: 1.
Harus tahu apa yang telah terjadi sebelum dia, 2. Harus tidak mempunyai
kepentingan pribadi, 3. Harus tidak menyimpan rasa dendam, 4. Harus
mengikuti jejak para imam, dan 5. Harus mengikutsertakan para ahli dan para
cendekiawan. Pada waktu itu keputusan hakim mulai dibukukan. Selain itu
badan peradilan dibentuk pula peradilan wilayah al-maza>lim yang menangani
pengaduan masyarakat terhadap tindakan penyalahgunan wewenang oleh
pejabat negara, termasuk hakim. Peradilan al-maza>lim ini biasanya diketuai
oleh khalifah itu sendiri.25
Kompetensi absolut yang dimiliki oleh wilayah al-maza>lim adalah
memutuskan perkara-perkara yang tidak mampu diputuskan oleh hakim atau
para hakim tidak mempunyai kemampuan untuk menjalankan proses
peradilannya. Seperti kezaliman atau ketidakadilan oleh para kerabat khalifah,
pegawai pemerintahan, dan hakim-hakim, sehingga kekuasaan wilayah
al-maza>lim lebih luas dari kekuasaan qa>d}a>.26
25 Ibid.
31
Selanjutnya al-Mawardi menerangkan kompetensi absolut wilayah
al-maza>lim, yaitu sebagai berikut: 1. Ketidakadilan yang dilakukan para
gubernur terhadap rakyat dan penindasan penguasa terhadap rakyat. wilayah
al-maza>lim tidak boleh membiarkan kezaliman dan terhadap tingkah laku para
penguasa, ia harus menyelidiki agar mereka berlaku adil, menahan penindasan,
dan mencopot mereka apabila tidak bisa berbuat adil, 2. Kecurangan yang
dilakukan oleh para pegawai pemerintah dalam penarikan pajak. Tugas
wilayah al-maza>lim adalah mengirim utusan untuk menyelidiki hasil
pengumpulan pajak dan harta, dan memerintahkan kepada para pegawai yang
bertugas tersebut untuk mengembalikan kelebihan penarikan harta dan pajak
keapada pemiliknya, 3. Para pegawai kantor pemerintahan harus amanah
karena umat Islam memercayakan kepada mereka dalam masalah harta benda.
Tugas nad}i>r al-maza>lim adalah meneliti tingkah laku dan menghukum mereka
berdasarkan undang-undang yang berlaku.27
Kewenangan wilayatul al-ma>zalim selanjutnya yakni: 1. Kezaliman
yang dilakukan aparat pemberi gaji kepada orang yang berhak menerima gaji,
baik karena pengurangan atau keterlambatannya dalam memberikan gaji.
Ketika gaji tersebut tidak diberikan atau dikurangi, tugas nad}i>r al-maza>lim
adalah memerintahkan kepada pemerintahan untuk mengembalikan apabila
gaji tersebut diambil pemerintah dari harta yang diambil bait al-ma>l, 2.
Mencegah perampasan harta. Perampasan harta ada 2 (dua) macam, yaitu (a)
Ghusub al-Shultaniyyah, yaitu perampasan yang dilakukan oleh para gubernur
yang zalim, baik karena kecintaannya terhadap harta tersebut atau karena
keinginannya untuk menzalimi. Tugas nad}i>r al-maza>lim adalah mencegah
perbuatan zalim apabila belum dilakukan, dan bila telah dilakukan maka
tergantung kepada pengaduan orang yang dizalimi tersebut, (b). Perampasan
yang dilakukan oleh “orang kuat”. Dalam kondisi ini pemrosesan perkara
tergantung kepada pengaduan atau adanya tindak kezaliman dan harta yang
dirampas tidak bisa diambil kecuali dengan empat perkara: 1. Pengakuan dari
orang yang merampas harta tersebut, 2. Perampasan tersebut diketahui oleh
wali al-maza>lim dan ia boleh menetapkan hukum berdasar pengetahuannya, 3.
Adanya bukti yang menunjukkan dan menguatkan tindak kezaliman tersebut,
4. Adanya berita yang kuat tentang kezaliman tersebut, 3. Mengawasi
harta-harta wakaf. Harta wakaf ini ada dua macam, yaitu a. Wakaf umum. Tugas
nad}i>r al-maza>lim adalah mengawasi agar harta wakaf tersebut tidak
disalahgunakan, meskipun tidak ada pengaduan tentang adanya
penyimpangan, b. Wakaf khusu, tugas nad}i>r al-maza>lim adalah memproses
perkara setelah adanya pengaduan mengenai penyimpangan terhadap wakaf
tersebut, 4. Menjalankan fungsi hakim. Ketika hakim tidak kuasa menjalankan
proses peradilan karena kewibawaan, status, dan kekuasaan terdakwa lebih
besar dari hakim, nadhir al-Maza>lim harus mempunyai kewibawaan dan
kekuasaan yang lebih tinggi dari terdakwa.28
33
Kompetensi absolut wilayatul al-ma>zalim kemudian juga mencakup
kewenangan terkait: 1. Menjalankan fungsi nad}i>r al-hisbah ketika ia tidak
mampu menjalankan fungsinya dalam menegakkan perkara-perkara
menyangkut kemaslahatan orang banyak, 9. Memelihara ibadah-ibadah yang
mengandung syiar Islam, seperti perayaan hari raya, haji, dan jihad dengan
mengatur agenda dan prosedur yang perlu dipenuhi karena hak Allah lebih
utama dari pada hak lainnya, 10. Nad}i>r al-maza>lim juga diperbolehkan
memeriksa orang-orang yang bersengketa dan menetapkan hukum bagi
mereka, namun fungsi ini tidak boleh keluar dari aturan-aturan yang berlaku
di lembaga qa>d}a>.29
Segala masalah kezaliman apapun yang dilakukan individu baik
dilakukan para penguasa maupun mekanisme-mekanisme negara beserta
kebijakannya, tetap dianggap sebagai tindak kezaliman, sehingga diserahkan
kepada khalifah agar dialah yang memutuskan tidak kezaliman tersebut,
ataupun orang-orang yang menjadi wakil khalifah dalam masalah ini, yang
disebut dengan qa>d}i> al-maza>lim, artinya perkara-perkara yang menyangkut
masalah fikih al-maza>lim, sehingga diangkat qa>d}i> al-maza>lim untuk
menyelesaikan setiap tindak kezaliman yang merugikan negara.30
Dari sana terlihat bahwa mahkamah al-maza>lim memiliki wewenang
untuk memutuskan perkara apapun dalam bentuk kezaliman, baik yang
29 Ibid., 118-119.
menyangkut aparat negara ataupun yang menyangkut masalah penyimpangan
khalifah terhadap hukum-hukum syara’ atau yang menyangkut makna salah
satu teks perundang-undangan yang sesuai dengan tabbani (adopsi) khalifah.
Karena undang-undang ini dapat dikatakan sebagai perintah penguasa, maka
memberikan keputusan dalam perkara itu berarti memberikan keputusan
terhadap perintah penguasa. Artinya, perkara itu harus dikembalikan kepada
mahkamah al-maza>lim, atau keputusan Allah dan RasulNya. Kewenangan
seperti ini menunjukkan bahwa peradilan dalam wilayah al-maza>lim
mempunyai keputusan yang final.31
Mengenai kewenangan hukum antara wilayah al-maza>lim dan wilayah
al-hisbah terdapat beberapa perbedaan diantaranya adalah hakim pada wilayah
al-maza>lim memiliki kekuasaan untuk mnyelesaikan perkara yang tidak
mampu diselesaikan peradilan biasa, sedangkan hakim pada wilayah al-hisbah
tidak memiliki wewenang tersebut. Hakim pada wilayah al-maza>lim mmiliki
kewenangan untuk menetapkan dan mengeksekusi secara langsung,
sedangkan pada wilayah al-hisbah kewenangannya terbatas. Kasus-kasus yang
ditangani oleh wilayah al-maza>lim dalah kasus-kasus berat yang berkaitan
dengan hubungan penguasa dan warga negara, sedangkan kasus yang
ditangani wilayah al-hisbah adalah pelanggaran moral yang dilakukan oleh
warga negara.32
35
Dalam proses persidangan wilayah al-maza>lim dilengkapi dengan
perangkat peradilan yang terdiri atas: 1. Para qa>d}i> atau perangkat qa>d}i>, 2. Para
ahli hukum (fukaha), 3. Panitera, 4. Penjaga keamanan (polisi peradilan) dan
beberapa pembantunya, 5. Para penguasa, dan 6. Para saksi. Kelengkapan
wilayah al-maza>lim dimaksudkan agar sidang berjalan dengan lancar, karena
kasus yang ditangani peradilan ini adalah kasus-kasus berat yang menyangkut
para pejabat negara.33
Dalam kasus al-maza>lim, peradilan dapat bertindak tanpa harus
menunggu adanya suatu gugatan dari yang dirugikan. Artinya, apabila
mengetahui adanya kasus al-maza>lim, qa>d}i> (hakim) peradilan al-maza>lim
harus secara langsung menyelesaikan kasus tersebut. Dengan demikian,
peradilan al-maza>lim memiliki kekuasaan untuk hal sebagai berikut: 1.
Memeriksa dengan teliti sikap dan tingkah laku para pejabat beserta
keluarganya, mencegah terjadinya pelanggaran yang mungkin mereka
lakukan, dan mencegah kecenderungan mereka untuk bertindak jujur, 2.
Memeriksa kecurangan para pegawai yang bertanggung jawab atas pungutan
dana umum negara, 3. Memeriksa pejabat yang bertanggung jawab atas
keuangan negara, 4. Memeriksa secara cermat penanganan dan penyaluran
harta wakaf dan kepentingan umum lainnya, dan 5. Mengembalikan hak
rakyat yang diambil aparat negara.34
33 Ibid.
Secara khusus peradilan ini juga menangani perkara yang diadukan
sebagai berikut: 1. Gaji para buruh atau pekerja yang dibatalkan atau
ditangguhkan secara sepihak, 2. Harta yang diambil secara paksa oleh para
penguasa, 3. Pembayaran aparat negara, 4. Persengketaan mengenai harta
wakaf, 5. Keputusan hakim yang sulit dilaksanakan sehubungan dengan
lemahnya posisi peradilan, 6. Kasus yang tidak dapat diselesaikan oleh
peradilan hisbah, sehingga mengakibatkan terabaikannya kemaslahatan
umum, 7. Pelaksanaan ibadah pokok, seperti salat berjamaah, salat jumat,
salat id, dan pelaksanaan haji, 8. Penanganan kasus al-maza>lim, penetapan
hukuman, dan pelaksanaan keputusan tersebut.35
Mengenai dengan mahkamah al-maza>lim dan tugas-tugasnya, Abu
Hasan al-Mawardi menjelaskan bahwa pandangan mahkamah al-maza>lim,
yaitu membimbing orang yang saling bermusuhan ke arah kesadaran timbal
balik dengan pengaruh kuasa dan dengan mengancam mereka yang saling
bertengkar dengan daya hebat. Adapun syarat-syarat bagi seorang ketua
mahkamah al-maza>lim, yaitu utama kedudukan lurus telunjuk, besar daya
hebat, nyata suci diri, sedikit loba tamak dan banyak warak karena dia dalam
tugasnya memerlukan kepada kekuasaan pemimpin dan ketabahan hakim.
Karena itu, dia memerlukan kepada kumpulan sifat-sifat kedua golongan tadi,
dan dengan sifat utama kedudukan, telunjuknya menjadi lurus dua arah.36
35 Ibid.
37
Mengenai dengan masalah ini, Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa
mahkamah al-maza>lim adalah satu jabatan yang terjalin dari kekuasaan raja
dan kesadaran hakim. Dia membutuhkan kepada tangan kuasa dan daya
wibawa yang sanggup mengajar siapa yang zalim dari dua orang yang sedang
bermusuhan dan mengancam orang keterlaluan jahat. Dia seakan-akan
melaksanakan apa yang tidak sanggup qa>d}i> melakukannya. Termasuk dalam
melaksanakan tugasnya, yaitu memperhatikan keterangan dan bukti,
mengamati tanda-tanda dan karinah, menangguhkan perkara sampai
kebenaran menjadi jelas, membimbing orang-orang yang saling bermusuhan
ke jalan perdamaian dan mengambil sumpah para saksi. Itu semua lebih luas
dari qa>d}i>.37
BAB III
PERALIHAN KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG KEPADA
MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN
SENGKETA PEMILUKADA
A. Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada di Mahkamah Agung
1. Tugas dan Kewenangan Mahkamah Agung
Berdasrkan UUD 1945 Perubahan ketiga Pasal 24A ayat (1)
disebutkan bahwa tugas Mahkamah Agung berwenang Mengadili pada
Tingkat kasasi, menguji peraturan peratursn perundang-undangan di
bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai
wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang.1
Kekuasaan kehakiman yang diamanatkan oleh UUD 1945 yaitu
Pasal 24 ayat (2) yaitu Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.2
Setelah terjadi perubahan dan berbagai pemabgian kewenangan
Mahkamah Agung ini dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi
1Pasal 24A ayat (1) BAB IX kekuasaan kehakiman Amandemen ke 3 UUD 1945.
39
berdasarkan Pasal 236C Undang-Undang sebagai bentuk konsekwensi
amanat UUD 1945, diantaranya adalah :
a) Mahkamah Agung Bertugas dan Berwenang memeriksa dan
memutus:
1) Permohonan Kasasi
2) Sengketa tentang kewenangan mengadili
3) Permohonan peninjauan kembali pututsan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.3
b) Mahkamah Agung memutus permohonan kasasi terhadap putusan
Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir dari semua
Lingkungan Peradilan.4
c) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan
perundangan dibawah undang terhadap
undang-undang.5
d) Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau
pembentukanya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.6
3 Pasal 28 Undang-Undang No.14 Tahun 1985 Tentang Mahakamah Agung.
4 Pasal 29 Undang-Undang No.14 Tahun 1985 Tentang Mahakamah Agung.
5 Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No.5 Tahun 2004 Perubahan atas Undang-Undang No.14
Tahun 1985 Tentang Mahakamah Agung.
6 Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang No.5 Tahun 2004 Perubahan atas Undang-Undang No.14
e) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap
penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada
di bawahnya dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman.7
2. Dasar Hukum Kewenangan Mahkamah Agung Menyelesaikan Sengketa
Hasil Pemilukada
Kewenangan Mahkamah Agung yang diberikan oleh
Undang-Undang Dasar 1945 begitu banyak, diatur dalam Pasal 24A ayat (1).
Kewenangan tersebut meliputi mengadili tingkat kasasi, menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
Undang-Undang dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan
Undang-Undang. Secara konstitusi kewenangan sengketa pemilukada
kepada Mahkamah Agung itu adalah termasuk kewenangannya, maka
Undang-Undang Pemerintah Daerah memberi kewenangan sengketa hasil
pemilukada kepada Mahkamah Agung, yang diatur dalam Pasal 106 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 “Keberatan terhadap
penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya
dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam
waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah”.8
7 Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang No.3 Tahun 2009 Perubahan kedua atas Undang-Undang
No.14 Tahun 1985 Tentang Mahakamah Agung.
41
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 106
tersebut, Mahkamah Agung Mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 02 Tahun 2005 tentang tata cara pengajuan upaya hukum
keberatan terhadap hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
dari KPUD Provinsi dan KPUD Kabupaten/Kota.
Selanjutnya diatur dalam peraturan pelaksanaan, antara lain:
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomer 3 Tahun 2005
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomer 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005
tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005
tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 9 tahun 2005 tentang pedoman bagi Pemerintah Daerah
dalam pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah .
Dalam penanganan sengketa hasil pemilihan Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah, Peradilan Tata Usaha Negara tidak berwenang
dalam memeriksa, mengadili dan memutus hal-hal mengenai sengketa
pemilihan Kepala Daerah, sebagaimana yang tercantum dalam Surat
Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2005 tentang petunjuk teknis
penyelesaian sengketa hasil pemilihan Kepala Daerah. Yang menyatakan
Pengadilan Tata Usaha Negara tidak menangani memeriksa dan
tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 2g Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha
Negara menurut Undang-undang ini “Keputusan Panitia Pemilihan, baik
di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum”,9 yang telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang peradilan
Tata Usaha Negara, yang menjadi alasan kenapa harus dibedakan
kewenangan lembaga-lembaga pengadilan yang berhak memutusnya
padahal dilakukan terhadap produk atau penetapan yang di terbitkan oleh
badan yang sama yaitu Komisi Pemilihan Umum Daerah dan terkait
dengan peristiwa hukum yang sama pula yaitu perihal pemilihan umum,
maka perbedaan kewenangan tersebut dapat menimbulkan
putusan-putusan pengadilan yang berbeda satu sama lain atau saling kontroversial.
Dalam putusan Mahkamah Agung memutus bahwa keputusan yang
berkaitan dan termasuk dalam lingkup politik dalam kasus pemilihan
tidak menjadi kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara untuk
memeriksa dan mengadilinya.10
3. Putusan Mahkamah Agung Diluar kerangka Peraturan
Perundang-undangan
Kewenangan Mahkamah Konstitusi dan Pengadilan Tinggi secara
yuridis normatif mempunyai kewenangan yang sangat terbatas dalam
9 Pasal 2g Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Undang-Undang Nomer 05 Tahun 1986
43
memeriksa dan memutus sengketa hasil pemilihan Kepala Daerah dengan
didasarkan pada pasal 106 ayat (2) Undang- Undang Nomer 32 Tahun
2004 yang menentukan bahwa keberatan yang diajukan hanya berkenaan
dengna hasil perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan
calon dan bunyi pasal tersebut tidak dapat lagi ditafsir lain, pembatasan
kewenangan tersebut dapat dipertegas dalam Pasal 94 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 “Keberatan sebagaiman yang dimaksud
pada ayat (1), hanya berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang
mempengaruhi terpilihnya pasangan calon”.11
Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005
menyatakan putusan Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi hanya
berupa12 :
1. Putusan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
2. Dalam hal Mahkamah Agung atau Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa keberatan tidak memenuhi persyaratan formal, permohonan dinyatakan tidak dapat diterima.
3. Dalam hal Mahkamah Agung atau Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa keberatan tidak beralasan, permohonan ditolak.
4. Dalam hal permohonan dikabulkan; Mahkamah Agung atau Pengadilan Tinggi menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPUD dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar.
11Pasal 94 ayat (2) Peraturan Pemerintah tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan dan
pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Undang-Undang Nomor 06 Tahun 2005.
5. Putusan Mahkamah Agung dan Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), (3), (4) dan ayat (5) bersifat final dan mengikat.
Namun dalam prakteknyaMahkamah Agung membuat keputusan
melebihi dari putusan yang di tentukan oleh peraturan
perundang-undangan. Salah satu putusan Mahkamah Agung yang menuai
Kontroversi adalah putusan Mahkamah Agung Nomor
02/PK/KPUD/2008 tentang permohonan Peninjauan Kembali sengketa
hasil pemilihan kepala daerah Provinsi Sulawesi Selatan yang putusannya
tidak hanya membatalkan hasil melainkan memerintahkan pemilihan
kepala daerah diulang kembali,13 padahal Undang-Undang sudah
mengatur bahwasannya pemungutan suara di TPS hanya dapat diulang
jika terjadi kerusuhan sehingga hasil pilkada tidak dapat digunakan atau
perhitungan suara tidak dapat dilakukan.14
B. Peralihan Kewenangan Mahkamah Agung Ke Mahkamah Konstitusi
Dalam Menangani Sengketa Hasil Pemilukada
1. Tugas dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Mahkamah konstitusi adalah salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 pasal 24C yang
berbunyi:
13
https://slamethariyanto.wordpress.com/2008/01/29/sengketa-pemilihan-gubernur-sulawesi-selatan-2007/ diakses pada 15 juni 2016