• Tidak ada hasil yang ditemukan

RELASI AGAMA DAN NASIONALISME DI ERA GLOBAL: PERSPEKTIF SISWA MADRASAH ALIYAH NEGERI TEMPEL YOGYAKARTA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "RELASI AGAMA DAN NASIONALISME DI ERA GLOBAL: PERSPEKTIF SISWA MADRASAH ALIYAH NEGERI TEMPEL YOGYAKARTA."

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

RELASI AGAMA DAN NASIONALISME DI ERA GLOBAL:

PERSPEKTIF SISWA MADRASAH ALIYAH NEGERI TEMPEL YOGYAKARTA

Mu’awanah Zulaichah MAN Tempel, Sleman, Yogyakarta

mzulaichah.mz@gmail.com

ABSTRACT

Religion and nationalism face a very serious challenge in this global era. The development of information technology play a role spreading the ideologies that come from materialism, liberlism, and globalism, paved state boundaries, so that religion and nationalism gradually been eroded from the soul the younger generation. This short paper aims to reveal how the relation between religion and nationalism in the global era, particularly in view of the students in Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Tempel, Yogyakarta. The study was conducted through quantitative descriptive study. Students were sampled totaling 230 students, includes grades 1 to 3 are taken proportionally. Data collected by the attitude Likert scale and study the document. Data were analyzed by using Anova one lane and Analysis Product Moment. The results showed that (1) students generally have the attitude of nationalism at the middle level, this is indicated by the average score of the attitude of nationalism = 59. Students who have a high nationalism, only 16%. Students in general do not realize that the use of information technology as a means globalization of various aspects of life has eroded the values of nationalism, (2) students have different attitudes nationalism at every level / grade, the higher the level the higher the nationalism, and (3) there is a positive and significant correlation between achievement religious nationalism of the students. The higher the student achievement religious instruction, the higher the attitude of nationalism.

Keywords: religion, nationalism, students, global era

1 PENGANTAR

Nasionalisme merupakan diskursus yang selalu menarik untuk dikaji. Hal ini terjadi karena nasionalisme menjadi kekuatan suatu bangsa, tetapi eksistensinya mengalami pasang surut sesuai dengan kondisi faktor pendorong dan penyurutnya. Sebagaimana eksistensinya, nasionalisme memiliki tafsir yang beragam dan dinamis dari masa ke masa. Secara etimologis, nasionalisme adalah terjemah dari nationalism, yang kadang diindonesiakan dengan ‘paham kebangsaan’.

(2)

wilayah. Nasionalisme memiliki dua wajah sesuai dengan pengalaman sejarah masing-masing negara. Berdasarkan konteks tersebut, Wawan Darmawan (2009), membagi nasionalisme menjadi dua, yakni: pertama, nasionalisme lama, yang merupakan faham kebangsaan yang berdasarkan kepada kejayaan masa lampau. Kedua, nasionalisme (modern) adalah faham kebangsaan yang menolak penjajahan untuk membentuk negara yang bersatu berdaulat dan demokrasi. Pengertian pertama berlaku bagi negara-negara Eropa dan negara-negara merdeka. Mereka merasa sebagai bangsa yang superior dan pada gilirannya mendorong imprealisme. Pengertian kedua berlaku bagi negara-negara yang pernah mengalami penjajahan. Dengan demikian, nasionalisme lahir atau merupakan reaksi terhadap imperialisme.

Indonesia merupakan contoh negara yang memiliki sejarah panjang yang pahit akibat penjajahan sebagaimana negara-negara di Asia Tenggara lainnya. Penjajahan telah mendorong tumbuhnya bibit-bibit nasionalisme. Nasionalisme mengalami kemajuan dan perkembangan yang sangat pesat ketika Budi Utomo berdiri hingga Proklamasi Kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan. Heroiknya perlawanan para pejuang dari berbagai etnis disatukan oleh nasionalisme. Dalam situasi dijajah maupun telah merdeka, nasionalisme diperlukan untuk menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama yang mengikat. Ikatan ini terjadi saat manusia mulai hidup bersama dan menetap dalam suatu wilayah tertentu. Saat itu, naluri mempertahankan diri sangat berperan dan mendorong mereka untuk mempertahankan negerinya.

Gerakan nasionalisme di Indonesia memiliki coraknya sendiri, mengingat betapa majemuknya etnis, bahasa, budaya, adat istiadat, dan keragaman lainnya. Nasionalisme tumbuh subur karena terdapat gerakan keagamaan yang menjadi mitra yang mutualistic. Berbagai kalangan menilai bahwa nasionalisme dan Islam dapat bersanding (Arizal, 2011; Siraj, 2012; Azra, 2015). Nasionalisme di Indonesia berkembang secara cepat karena dukungan umat Islam yang merupakan mayoritas. Azra (2015) menjelaskan:

“Kesetiaan pada Islam di Indonesia pada gilirannya memperkuat kesadaran pengalaman kesejarahan yang sama. Dalam pengertian ini, penjajahan Belanda-yang secara teologis menurut ajaran Islam, adalah kafir-merupakan semacam blessing in disguise. Dengan kata lain, penjajahan Belanda mendorong berbagai kelompok etnis di Indonesia bersatu pada tingkat teologis keagamaan. Di sinilah kemudian sentimen etnisitas menjadi sesuatu yang tidak relevan. Islam menjadi unsur qenuine, pendorong munculnya nasionalisme Indonesia. Pada saat yang sama, Islam juga mampu menjinakkan sentimen etnisitas untuk menumbuhkan loyalitas kepada entitas lebih tinggi. Kenyataan ini juga terlihat dari kemunculan Sarekat Islam (SI) yang merefleksikan nasionalisme keislaman-keindonesiaan, sekaligus sebagai respons terhadap kebangkitan nasionalisme di kalangan masyarakat Cina Hindia Belanda-baik Cina keturunan maupun Cina totok”

(3)

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) merupakan gerakan trans-nasional, yang memutlakkan konsep khilafah sebagai satu-satunya model pemerintahan dalam Islam, tidak percaya pada konsep negara kesatuan RI yang berdaulat, tidak percaya pada Pancasila dan UUD 45 dan segenap rujukan konstitusi negara, dan konsep lainnya yang bertentangan dengan tata kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia (Anonim2, 2015). Mereka meyakini bahwa akibat sistem sekuler negara bangsa, umat Islam terpecah belah dan terpisah oleh batas-batas negara. Mereka bercita-cita menyatukan semua umat Islam di seluruh dunia dalam satu naungan yang disebut Khilafah. Konsekuensinya adalah menghapus negara bangsa seperti Indonesia, Malaysia, Mesir dan lain-lain (Anonim1, 2015).

Keyakinan HTI tersebut berlawanan dengan pendapat Ali Abd Al-Raziq (dalam Kurzman, 2001) bahwa Alquran tidak pernah menyebutkan kekhalifahan sebagai institusi dan terbukti Nabi Muhammad pun tidak pernah menunjuk pengganti. Sistem kekhalifahan hanya merupakan ijtihad para sahabat nabi, yang bahkan pada masa pasca khulafatur rasyidin, system pemerintahan yang saat itu masih dijalankan oleh sahabat nabi (Mu’awiyah) dibelokkan menjadi system dinasti (monarkhi). Para penolak nasionalisme mencampuradukkan konsep qoum dan sya’bu. Para penentang nasionalisme beralasan bahwa pengikut Nabi Muhammad, tidak disebut qoum, tidak sebagaimana pengikut Musa disebut kaum Musa, pengikut Isa disebut kaum Nabi Isa, dan lain-lain. Pengikut Nabi Muhammad tidak lagi terikat oleh geografi wilayah tertentu, sehingga pengikutnya disebut ummat Muhammad, tetapi hal itu tidak secara otomatis menghilangkan ke-kaum-an (nationality) setiap Muslim. Kata sya’b (bangsa) memiliki cakupan yang lebih kecil dari umat. Itulah sebabnya, dalam bahasa arab tidak lazim kata ‘asy-sya’b al-Islami’. Karena itu, penggunaan istilah ‘Islamic Nation’ terasa dipaksakan (Anonim3, 2015). Manusia diciptakan berbangsa-bangsa (QS. Al-hujurat:13), ini artinya manusia tidak diharamkan untuk membentuk suatu sistem berdasarkan bangsa. Nasionalisme, selagi bertumpu pada alasan yang rasional, maka tidak bertentangan dengan agama dan prinsip universalitas keumatan.

Gempuran terhadap nasionalisme terjadi pula pada parade tauhid Indonesia, yang sebenarnya diselenggarakan untuk menyambut HUT RI ke-70. Parade diwarnai dengan perilaku orang dari kelompok tertentu yang merendahkan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara. Abu Jibril (MMI), dalam orasinya menyatakan bahwa siapa yang mengikuti Pancasila akan binasa. Pancasila berasal dari Talmud (kitab suci orang Yahudi), kembali kepada Pancasila berarti kembali pada ajaran Yahudi. Orasinya diberitakan oleh beberapa media seperti muslimedianews.com, salafynews.com, bahkan oleh media yang oleh beberapa kalangan disebut sebagai media kelompok mereka dan pernah diblokir pemerintah karena dianggap sebagai situs radikal, yaitu voa-islam (khususnya pada laman http://www.voa-islam.com/read/interview/2011/06/08/15186/abu-jibril-yang-ikut-pancasila-akan-binasa/# sthash. ozumcVwq.dpbs)

Terkikisnya nasionalisme dari dalam negeri dapat pula disebabkan oleh lemahnya pemahaman generasi muda terhadap potensi dan ancaman dari luar. Fenomena generasi muda yang kurang memahami sejarah perjuangan bangsa, menyebabkan mereka kurang menghargai hasil perjuangan para pahlawan. Pada gilirannya, mereka tidak memiliki kebanggaan sebagai bangsa, sehingga memandang rendah bangsa sendiri dan mengagungkan bangsa lain. Gaya hidup kebarat-baratan, lebih menyukai produk luar negeri, tidak memiliki jiwa perjuangan (malas) untuk berpartisipasi membangun bangsa merupakan cermin dari lemahnya nasionalisme.

(4)

muda. Paham-paham tersebut bersimbiosis dengan lemahnya pemahaman generasi muda terhadap nasionalisme dan agama, sehingga menumbuhkan radikalisme, kepongahan, merasa benar, dan tidak menghargai nilai-nilai kebangsaan. Doktrin tentang khilafah telah melahirkan pemuda-pemuda yang menganggap negara ini dengan berbagai simbolnya adalah haram dan kafir. Di antara keyakinan mereka adalah hormat bendera, upacara, Pancasila, kesemuanya adalah haram. Sejatinya, Pancasila merupakan prinsip hidup bermasyarakat dan bernegara yang dirumuskan oleh akal sehat para pendiri bangsa dan tokoh-tokoh kompeten yang arif demi membangun sebuah masyarakat yang majemuk tanpa mengabaikan kekhasan elemen-elemen di dalamnya. Ini pula yang hendak diperjuangkan oleh ormas NU, melalui gerakan Islam Nusantara. Islam yang menghargai budaya lokal, sepanjang tidak bertentangan dengan syariat. Gagasan Islam Nusantara ini menjadi musuh bagi gerakan Islam trans-nasional yang berkeinginan meng-Arab-kan Indonesia dan mendirikan khilafah. Nasionalisme dan agama menghadapi tantangan yang sangat berat di era global ini. Perkembangan teknologi informasi berperan menyebarkan berbagai ajaran yang bersumber dari materialism, liberalisme, dan globalisme, meretas sekat-sekat negara, sehingga agama dan nasionalisme secara perlahan telah tergerus dari jiwa generasi muda.

Fakta adanya berbagai gempuran dan ancaman terhadap nasionalisme, semestinya membuat bangsa ini lebih waspada dan melakukan upaya antisipasi secara sistematis. Di antara upaya yang paling strategis adalah melalui pendidikan. Sejarah telah membuktikan bahwa perlawanan heroik pada peristiwa 10 Nopember 1945 di Surabaya yang kini diperingati sebagai hari pahlawan banyak digerakkan oleh para ulama yang memiliki lembaga pendidikan pesantren. Melalui resolusi jihad yang dikeluarkan oleh KH. Hasyim Asy’ari, seluruh santri menjadi pejuang.

B. PERAN PENDIDIKAN DALAM MEMBANGUN NASIONALISME 1. Metode Penelitian

Berdasarkan uraian permasalahan nasionalisme di atas, kami tertarik untuk melakukan penelitian tentang relasi nasionalisme dan agama di kalangan pelajar, khususnya pelajar di MAN Tempel, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagai bagian dari generasi muda. Penelitian dilakukan untuk mengetahui sikap nasionalisme yang dimiliki oleh para pelajar, sikap nasionalisme pada setiap jenjang/kelas, dan korelasi antara prestasi keagamaan dengan nasionalisme yang dimiliki siswa. Penelitian sengaja dilaksanakan di sekolah tersebut, mengingat sekolah ini termasuk sekolah keagamaan dan peneliti memiliki akses dan pengalaman yang cukup lama dengan subjek penelitian.

(5)

menguji hipotesis adanya hubungan antara sikap nasionalisme dan agama digunakan teknik analisis product moment. Masing-masing teknik analisis tersebut ditetapkan pada derajat signifikansi sebesar 95%.

2. Sikap Nasionalisme Pelajar

Pendidikan mempunyai peran yang strategis untuk membentuk sikap nasionalisme. Di sekolah MAN Tempel, pembelajaran untuk penanaman dan pembentukan sikap nasionalisme melalui mata pelajaran PPKn, Geografi, Sejarah, Sosiologi, dan ekonomi. Sikap nasionalisme dalam kajian ini didasarkan pada skor jawaban siswa dalam menentukan pilihan atas pernyataan yang ada pada kuesioner. Berdasarkan klasifikasi jawaban yang telah dianalisis dengan metode statistic deskriptif diperoleh gambaran mengenai sikap nasionalisme para pelajar. Berdasarkan klasifikasi sikap sangat nasionalis (level tinggi), menengah, dan tidak nasionalis (level rendah), diketahui bahwa sebagian besar pelajar (74,78%) memiliki sikap nasionalisme pada level menengah (skor rata-rata=59,17), dan selebihnya (25,22%) siswa memiliki sikap pada level tinggi atau sangat nasionalis. Fenomena menarik di sini adalah tidak terdapatnya siswa yang memiliki sikap nasionalisme yang rendah.

Berdasarkan atas jawaban-jawaban yang dikemukakan oleh siswa, diketahui bahwa nasionalisme yang dimiliki siswa pada umumnya terkait dengan aspek pengakuan atas jasa-jasa para pahlawan, selalu mengikuti kegiatan di sekolah dan masyarakat yang dapat menumbuhkan kecintaan pada negara, menghormati simbol-simbol negara, dan menghargai Pancasila sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sementara aspek-aspek yang masih belum menggembirakan adalah (1) masih kurang pekanya siswa terhadap upaya perongrongan terhadap nasionalisme dan negara yang dilakukan oleh gerakan-gerakan trans-nasional yang bersifat global. Para siswa tidak memahami bahwa paham seperti HTI, MMI, Persis, Wahabi-Salafi merupakan paham yang berseberangan dengan gerakan nasionalisme. Gerakan dan paham yang menurut penilaian para siswa mengancam nasionalisme adalah komunisme/marxisme; (2) Kurangnya kreativitas untuk mengisi kemerdekaan dan membangun nasionalisme; dan (3) Sikap malas yang berdampak pada rendahnya prestasi siswa yang pada gilirannya dapat memajukan negara.

Di era global ini, dimana berbagai paham global berlalu lalang di media massa secara intensif dan massif telah mengancam sikap nasionalisme generasi muda. Kebanggaan kepada apa yang dimiliki bangsa ini mengalami erosi. Kemajuan yang terjadi di beberapa negara lain yang dapat diketahui oleh para siswa melalui berbagai media secara cepat, tidak menjadikan para siswa bersemangat belajar keras agar menjadi bagian dari anak bangsa yang dapat mendorong kemajuan, tetapi justru menjadi alasan bagi siswa bersikap minder dan bersikap apatis.

3. Perbedaan sikap nasionalisme siswa menurut jenjang/kelas

Sikap nasionalisme yang dimiliki siswa di MAN Tempel pada masing-masing kelas, adalah kelas 1 memiliki skor rata-rata =56,58, kelas 2 memiliki skor rata-rata=58,76, dan skor rata-rata kelas 3=62,17. Dilihat dari skor rata-rata tampak bahwa semua siswa memiliki sikap nasionalisme pada level menengah. Dari data tersebut juga diketahui terdapat perbedaan sikap nasionalisme antara masing-masing kelas. Antara kelas 1 dan kelas 2 memiliki perbedaan yang lebih rendah daripada antara kelas 1 dan 3 dan antara kelas 2 dan 3.

(6)

demikian dapat dinyatakan bahwa sikap nasionalisme siswa antara masing-masing kelas berbeda secara signifikan. Analisis post hoc test menunjukkan bahwa antara kelas 1 dan 2 tidak berbeda secara signifikan (sig=0,182), antara kelas 1 dan 3 berbeda secara signifikan (sig=0,00), antara kelas 2 dan 3 berbeda secara signifikan (sig=0,039).

C. RELASI SIKAP NASIONALISME DAN AGAMA

Sikap nasionalisme dan agama menurut pendapat beberapa ahli dapat bersanding, bahkan dalam perkembangannya di Indonesia, nasionalisme tumbuh subur di kalangan umat Islam sebagai mayoritas (Azra, 2015). Dari tesis tersebut penulis tertarik untuk mengkaji bagaimana nasionalisme di kalangan siswa, khususnya di siswa MAN Tempel yang mempelajari agama lebih banyak dibanding siswa SMA. Untuk keperluan ini, penulis merumuskan hipotesis bahwa terdapat korelasi yang positif dan signifikan antara sikap nasionalisme dan prestasi mata pelajaran agama. Agama dalam kajian ini diukur dengan prestasi belajar mata pelajaran keagamaan (aqidah akhlak, al-quran-hadits, fiqih, dan sejarah kebudayaan Islam). Pengujian hipotesis dengan menggunakan teknik analisis Product Moment diperoleh nilai r=0,705 dengan signifikansi=0,007. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara prestasi belajar dalam bidang keagamaan dengan sikap nasionalisme yang dimiliki oleh siswa. Semakin tinggi prestasi belajar bidang keagamaan ternyata semakin tinggi sikap nasionalismenya.

Hasil analisis tersebut, meskipun hanya terjadi pada lingkup yang sempit (perspektif siswa MAN Tempel), setidaknya dapat memperkuat tesis mengenai relasi sikap nasionalisme dan agama. Hal ini juga dapat menjadi modal bagi guru pendidikan agama untuk ikut mengembangkan nasionalisme dalam pelajaran agama. Kenyataan ini menunjukkan bahwa nasionalisme dan agama itu harmoni. Adanya beberapa orang/gerakan yang mencoba membenturkan agama dan nasionalisme harus dipandang sebagai tantangan yang harus dihadapi oleh pegiat dan pejuang bangsa melalui berbagai forum dan media. Pendidikan agama terbukti mampu menjadi sarana yang efektif untuk mengharmonikan keduanya. Siregar (2013) mengajukan solusi alternatif untuk mengembalikan konsep harmonisasi Islam dalam bingkai keindonesiaan. Pertama, konsep kembali ke khittah perjuangan Islam yang harmonis dengan pembangunan karakter dan nilai-nilai bangsa Indonesia, seperti yang diajarkan oleh Walisongo. Kedua, melalui dialog kebangsaan dan agama menggunakan hikmah yang rasional, konstruktif, dan inovatif untuk mencapai tujuan paling baik. Ketiga, menanamkan jalan damai dalam konteks keberagamaan dan kehidupan sosial. Pendiikan agama diharapkan mampu melakukan dialog rasional dan melahirkan harmonisasi yang efektif, sehingga dapat mereduksi gempuran terhadap nasionalisme.

D. KESIMPULAN

Mendasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Sebagian besar pelajar memiliki sikap nasionalisme pada level menengah, hanya sebagian kecil yang memiliki sikap nasionalisme yang tinggi, tetapi tidak terdapat siswa yang memiliki sikap nasionalisme yang rendah

2. Terdapat perbedaan leval sikap nasionalisme antar tingkatan kelas, semakin tinggi kelas semakin tinggi level sikap nasionalismenya

(7)

E. DAFTAR PUSTAKA

Anonim1, 2015. HTI, ISIS, Wahabi Meretas NKRI. http://www.salafynews.com/2015/06/hti-isis-wahabi-meretas-nkri). Diakses tanggal 17 Agustus 2015

Anonim2, 2015. 10 Sesat Pikir Hizbut Tahrir. http://www.madinaonline.id/wacana/perspektif/10-sesat-pikir-hizbut-tahrir). Diakses tanggal 16 Agustus 2015

Anonim 3 (2015). Relasi Islam dan Nasionalisme. http://islamalternatif.com/relasi-islam-dan-nasionalisme. Edisi 22 Mei 2015. Diakses pada tanggal 16 Agustus 2015

Arizal, Imam S. (2011). Bung Karno, Nasionalisme dan Negara Pancasila. Terdapat di

http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,32473-lang,id-c,kolom-t,Bung+Karno++Nasionalisme+Islam+dan+Negara+Pancasila-.phpx. Diakses tgl 18 Agustus 2015

Azra, Azyumardi (2015). Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama. http://islamalternatif.com/ nasionalisme-etnisitas-dan-agama. Diakses tanggal 18 Agustus 2015

Darmawan, Wawan (2009). Nasionalisme di Asia Tenggara. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah, FPIPS UPI.

Khaeruman, Badri. 2005. Islam ideologis: perspektif pemikiran dan peran pembaruan Persis. Jakarta: Misaka Galiza

Kurzman, Charles. 2001. Wacana Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global. Jakarta: Paramadina.

Muhsin, Mumuh Z, 2011. Pendidikan dan Nasionalisme. Makalah Seminar Nasional “Pendidikan dan Nasionalme”. Universitas Padjadjaran.

Nafi’, Muhammad Zidni. (2015). Kiprah Islam Nusantara dalam Kemerdekaan Indonesia. http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,61625-lang,id-c,kolom-t,Kiprah +Islam+Nusantara+dalam+Kemerdekaan+Indonesia-.phpx. Diakses tanggal 18 Agustus 2015

Referensi

Dokumen terkait

Saat ini sebagian besar kegiatan yang dilakukan oleh bagian tata usaha masih menggunakan sistem manual sebagai contoh data informasi siswa dan guru masih

Analisa ini meliputi faktor 4M (man, machine, methode, material) 1E(environment) pada permasalahan yang akan ditanggulangi, yaitu kapasitas produksi yang lebih kecil

Bila SRPM didesain dengan 25% distribusi beban lateral, maka pada desain kapasitas, profil yang dihasilkan menjadi lebih besar sehingga sistem ganda ini tidak efisien, karena

Pengembangan media pembelajaran komik manga digital berbasis android pada materi sistem hormon untuk kelas XI di MAN 2 BandarLampung yang memudahkan pemahaman

penanggulangan bencana, kelompok gerakan sosial tanggap bencana membangun sistem kekerabatan antar anggota maupun antar kelompok untuk suatu penanganan yang terfokus,

Pada penelitian ini menunjukkan dari keempat faktor risiko yang diteliti yaitu usia, kebiasaan merokok, higiene personal dan lama perawatan praoperatif tidak

Suatu versi pengungkapan langsung (direct assessement) secara tertulis yang dapat dilakukan dengan menggunakan aitem tunggal dengan menggunakan aitem ganda (Azwar,

[r]