• Tidak ada hasil yang ditemukan

publication upload090324152955001237863562medicinus maret mei 2009

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "publication upload090324152955001237863562medicinus maret mei 2009"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

MEDICINUS

MEDICINUS

Diagnosis dan Terapi

Cairan pada Demam

Berdarah Dengue

Asam Valproat

untuk Mencegah

Migren

Pencegahan Quorum

Sensing: Suatu

Pendekatan Baru

untuk Mengatasi

Infeksi Bakteri

22

14

Apakah Fungsi

Kognitif Penderita

Diabetes Dipengaruhi

oleh Status Vitamin E

9

Vol.21, Nov - Des | No.4 | 2008 | ISSN 1979 - 391x

(2)
(3)

MED

I

CINUS

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

dari redaksi

daftar isi

Demam berdarah dengue tetap menjadi salah satu masalah kesehatan di Indonesia. Dengan mengikuti kriteria WHO 1997, di-agnosis klinis dapat segera diten-tukan. Dan dengan memahami patogenesis, perjalanan penyakit, gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium, diharapkan penata-laksanaan dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Untuk lebih lengkapnya kami sajikan artikel pada rubrik leading article yang berjudul “Diagnosis dan Terapi

Cairan pada Demam Berdarah Dengue”.

Kami juga menyajikan berb-agai article research dan case report

yang menarik untuk menambah wawasan kalangan dokter.

Pada rubrik medical review

kami menyajikan tentang Quo-rum Sensing. Pengetahuan baru tentang Quorum Sensing memberi-kan strategi alternatif dalam usa-ha manusia untuk mengendalikan bakteri patogen, baik itu patogen pada manusia, hewan, dan tana-man.

Peran gap junction intercel-lular communication (GJIC) pada karsinogenesis adalah artikel pada rubrik medical review yang lain yang tidak kalah menarik untuk dibaca.

Selamat membaca!!!!

REDAKSI

Ketua Pengarah/Pemimpin Redaksi Dr. Raymond R. Tjandrawinata Redaktur Pelaksana Dwi Nofiarny, Pharm., Msc.

Staf Redaksi dr. Della Manik Worowerdi Cintakaweni, dr. Lydia Fransisca Hermina Tiurmauli Tambunan, Liana W Susanto, M biomed., dr. Lubbi Ilmiawan, dr. Prihatini, dr. Ratna Kumalasari, Tri Galih Arviyani, SKom.

Peer Review Prof.Arini Setiawati, Ph.D, Jan Sudir Purba, M.D., Ph.D, Prof.Dr.Med. Puruhito,M.D.,F.I.C.S., F.C.T.S, Prof DR. Dr. Rianto Setiabudy, SpFK

Redaksi/Tata Usaha Jl. RS Fatmawati Kav 33, Cilandak, Jakarta Selatan Tel. (021) 7509575, Fax. (021) 75816588, Email: medical@dexa-medica.com

SUMBANGAN TULISAN

Redaksi menerima partisipasi berupa tulisan, foto dan materi lainnya sesuai dengan misi majalah ini. Redaksi berhak menge-dit atau mengubah tulisan/susunan bahasa tanpa mengubah isi yang dimuat apabila dipandang perlu.

Dari Redaksi

Petunjuk Penulisan

Leading Article

Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam

Berdarah Dengue

Original Article

(

Research)

Apakah Fungsi Kognitif Penderita

Diabe-tes Dipengaruhi oleh Status Vitamin E?

Original Article

(

Case Report)

Asam Valproat untuk Mencegah Migren

Timpanolpasti Pendekatan Ganda pada

Otitis Media Supuratif Kronik dengan

Ja-ringan Granulasi

Medical Review

Pencegahan Quorum Sensing: Suatu

Pen-dekatan Baru untuk Mengatasi Infeksi

Bak-teri

Peran

Gap Junction Intercellular

Communi-cation

(GJIC) pada Karsinogenesis

Meet the Expert

Prof. Dr. H. Slamet Suyono, SpPD-KE

Events

Calender Events

Literatur Services

1

2

3

9

14

17

22

28

32

35

43

44

1

(4)

MED

I

CINUS

Redaksi menerima tulisan asli/tinjauan pustaka, penelitian atau laporan kasus dengan foto-foto asli dalam bidang Kedokteran dan Farmasi.

1. Tulisan yang dikirimkan kepada Redaksi adalah tulisan yang belum pernah dipublikasikan di tempat lain dalam bentuk cetakan.

Keaslian dan keakuratan informasi dalam tulisan menjadi tanggungjawab pe-nulis

2. Tulisan berupa ketikan dan diserahkan dalam bentuk disket, diketik di pro-gram MS Word dan print-out dan dikirimkan ke alamat redaksi atau melalui e-mail kami.

3. Pengetikan dengan point 12 spasi ganda pada kertas ukuran kuarto (A4) dan tidak timbal balik.

4. Semua tulisan disertai abstrak dan kata kunci (key words). Abstrak hendaknya tidak melebihi 200 kata.

5. Judul tulisan tidak melebihi 16 kata, bila panjang harap di pecah menjadi anak judul.

6. Nama penulis harap di sertai alamat kerja yang jelas. 7. Harap menghindari penggunaan singkatan-singkatan

8. Penulisan rujukan memakai sistem nomor (Vancouver style), lihat contoh pe-nulisan daftar pustaka.

9. Bila ada tabel atau gambar harap diberi judul dan keterangan yang cukup. 10. Untuk foto, harap jangan ditempel atau di jepit di kertas tetapi dimasukkan ke

dalam sampul khusus. Beri judul dan keterangan yang lengkap pada tulisan. 11. Tulisan yang sudah diedit apabila perlu akan kami konsultasikan kepada peer

reviewer.

12. Tulisan disertai data penulis/curriculum vitae, juga alamat email (jika ada), no. telp/fax yang dapat dihubungi dengan cepat.

ConToh PenUliSan DafTaR PUSTaKa

Daftar pustaka di tulis sesuai aturan Vancouver, diberi nomor sesuai urutan pemu-nculan dalam keseluruhan tulisan, bukan menurut abjad. Bila nama penulis lebih dari 6 orang, tulis nama 6 orang pertama diikuti et al. Jumlah daftar pustaka di-batasi tidak lebih dari 25 buah dan terbitan satu dekade terakhir.

aRTiKel Dalam jURnal

1. artikel standar

Vega KJ,Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996; 124(11):980-3. Lebih dari 6 penulis: Parkin DM, Clayton D, Black RJ, Masuyer E, Freidl HP, Ivanov E, et al. Childhood leukaemia in Europe after Chernobyl: 5 years follow-up. Br J Cancer 1996; 73:1006-12

2. Suatu organisasi sebagai penulis

The Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical Exercise Stress Testing. Safety and performance guidelines. Med J Aust 1996; 164:282-4 3. Tanpa nama penulis

Cancer in South Africa (editorial). S Afr Med J 1994; 84:15 4. artikel tidak dalam bahasa inggris

Ryder TE, Haukeland EA, Solhaug JH. Bilateral infrapatellar seneruptur hos tidligere frisk kvinne. Tidsskr Nor Laegeforen 1996; 116:41-2

5. Volum dengan suplemen

Shen HM, Zhang QE. Risk assessment of nickel carcinogenicity and occupa-tional lung cancer. Environ Health Perspect 1994; 102 Suppl 1:275-82 6. edisi dengan suplemen

Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Women’s psychological reactions to breast cancer. Semin Oncol 1996; 23(1 Suppl 2):89-97

7. Volum dengan bagian

Ozben T, Nacitarhan S, Tuncer N. Plasma and urine sialic acid in non-insulin dependent diabetes mellitus. Ann Clin Biochem 1995;32(Pt 3):303-6 8. edisi dengan bagian

Poole GH, Mills SM. One hundred consecutive cases of flap lacerations of the leg in ageing patients. N Z Med J 1990; 107(986 Pt 1):377-8

9. edisi tanpa volum

Turan I, Wredmark T, Fellander-Tsai L. Arthroscopic ankle arthrodesis in rheu-matoid arthritis. Clin Orthop 1995; (320):110-4

10. Tanpa edisi atau volum

Browell DA, Lennard TW. Immunologic status of the cancer patient and

the effects of blood transfusion on antitumor responses. Curr Opin Gen Surg 1993;325-33

11. nomor halaman dalam angka romawi

Fischer GA, Sikic BI. Drug resistance in clinical oncology and hematology. Intro-duction Hematol Oncol Clin North Am 1995; Apr; 9(2):xi-xii

BUKU Dan monogRaf lain

12. Penulis perseorangan

Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses. 2nd ed. Albany (NY):Delmar Publishers; 1996

13. editor sebagai penulis

Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for eldery people. New York:Churchill Livingstone; 1996

14. organisasi sebagai penulis

Institute of Medicine (US). Looking at the future of the medicaid program. Washington:The Institute; 1992

15. Bab dalam buku

Catatan: menurut pola Vancouver ini untuk halaman diberi tanda p, bukan tanda baca titik dua seperti pola sebelumnya).

Phillips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH, Brenner BM, editors. Hypertension: Patophysiology, Diagnosis and Management. 2nded. New York:Raven Press; 1995.p.465-78

16. Prosiding konferensi

Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent Advances in clinical neurophysiology. Proceedings of the 10th International Congress of EMG and Clinical Neuro-physiology; 1995 Oct 15-19; Kyoto, Japan. Amsterdam:Elsevier; 1996 17. makalah dalam konferensi

Bengstsson S, Solheim BG. Enforcement of data protection, privacy and secu-rity in medical information. In: Lun KC, Degoulet P, Piemme TE, editors. MED-INFO 92. Proceedings of the 7th World Congress on Medical Informatics; 1992 Sep 6-10; Geneva, Switzerland. Amsterdam:North-Hollan; 1992.p.1561-5 18. laporan ilmiah atau laporan teknis

Diterbitkan oleh badan penyandang dana/sponsor:

Smith P, Golladay K. Payment for durable medi-cal equipment billed during skilled nursing facility stays. Final report. Dallas(TX):Dept.of Health and Hu-man Services (US), Office of Evaluation and Inspections; 1994 Oct. Report No.: HHSIGOEI69200860

Diterbitkan oleh unit pelaksana:

Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Health Services Research: Work Force and Education Issues. Washington:National Academy Press; 1995. Con-tract No.: AHCPR282942008. Sponsored by the Agency for Health Care Policy and Research

19. Disertasi

Kaplan SJ. Post-hospital home health care: The eldery’s access and utilization [dissertation]. St. Louis (MO): Washington Univ.; 1995

20. artikel dalam koran

Lee G. Hospitalizations tied to ozone pollution: study estimates 50,000 ad-missions annually. The Washington Post 1996 Jun 21; Sept A:3 (col.5) 21. materi audio visual

HIV + AIDS: The facts and the future [videocassette]. St. Louis (MO): Mosby-Year Book; 1995

maTeRi eleKTRoniK

22. artikel jurnal dalam format elektronik

Morse SS. Factors in the emergence of infection diseases. Emerg Infect Dis [se-rial online] 1995 jan-Mar [cited 1996 Jun 5];1(1):[24 screens]. Available from: URL:HYPERLINK

23. monograf dalam format elektronik

CDI, Clinical dermatology illustrated [monograph on CD-ROM]. Reeves JRT, maibach H. CMEA Multimedia Group, producers. 2nd ed. Version 2.0. San Diego: CMEA; 1995

24. arsip komputer

Hemodynamics III: The ups and downs of hemodynamics [computer pro-gram]. Version 2.2. Orlando [FL]: Computerized Educational Systems

Petunjuk Penulisan

Petunjuk Penulisan

instructions for authors

(5)

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MED

I

CINUS

leading article

51

Khie Chen, Herdiman T. Pohan, Robert Sinto

Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam,

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Abstrak. Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Sampai saat ini, infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori “A” dalam strati-fikasi DBD oleh World Health Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian akibat DBD, khususnya pada anak.1-3 Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan pada tahun 2006 (dibandingkan tahun 2005) terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi dan kecamatan yang terjangkit penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar 1,01% (2007).4-5

Sampai saat ini, belum ada terapi yang spesifik untuk DBD, prinsip utama dalam terapi DBD adalah terapi suportif, yakni pemberian cairan pengganti.6 Dengan memahami patogenesis, perjalanan penyakit, gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium, diharapkan penatalaksanaan dapat dilakukan secara efektif dan efisien.

3

Pendahuluan

Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Sampai saat ini, infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori “A” dalam stratifikasi DBD oleh

World Health Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan tinggi-nya angka perawatan rumah sakit dan kematian akibat DBD, khusus-nya pada anak.1-3 Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan pada tahun 2006 (dibandingkan tahun 2005) terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi dan kecamatan yang terjangkit penyakit ini, deng-an case fatality rate sebesar 1,01% (2007).4-5

Berbagai faktor kependudukan berpengaruh pada peningkatan dan penyebaran kasus DBD, antara lain:

1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi,

2. Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali,

3. Tidak efektifnya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah en-demis, dan

4. Peningkatan sarana transportasi.4

Upaya pengendalian terhadap faktor kependudukan tersebut (ter-utama kontrol vektor nyamuk) harus terus diupayakan, di samping pemberian terapi yang optimal pada penderita DBD, dengan tujuan menurunkan jumlah kasus dan kematian akibat penyakit ini. Sampai saat ini, belum ada terapi yang spesifik untuk DBD, prinsip utama dalam terapi DBD adalah terapi suportif, yakni pemberian cairan peng-ganti.6 Dengan memahami patogenesis, perjalanan penyakit, gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium, diharapkan penatalaksanaan da-pat dilakukan secara efektif dan efisien.

Definisi

Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus dengue serta memenuhi kriteria WHO untuk

[image:5.624.320.577.441.580.2]

DBD.7 DBD adalah salah satu manifestasi simptomatik dari infeksi vi-rus dengue.

Gambar 1. Spektrum klinis infeksi virus Dengue8

Manifestasi simptomatik infeksi virus dengue adalah sebagai berikut (gambar 1):5

1. Demam tidak terdiferensiasi

2. Demam dengue (dengan atau tanpa perdarahan): demam akut se-lama 2-7 hari, ditandai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis (nyeri kepala, nyeri retroorbital, mialgia/ atralgia, ruam kulit, manifesta-si perdarahan [petekie atau uji bendung pomanifesta-sitif], leukopenia) dan pemeriksaan serologi dengue positif atau ditemukan pasien yang sudah dikonfirmasi menderita demam dengue/ DBD pada lokasi dan waktu yang sama.

3. DBD (dengan atau tanpa renjatan)

MED

I

(6)

MED

I

CINUS

4

Patogenesis

[image:6.624.60.291.118.281.2]

Dua teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi dengue adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infec-tion theory) dan hipotesis immune enhancement.

Gambar 2. Hipotesis infeksi sekunder9

Menurut hipotesis infeksi sekunder yang diajukan oleh Suvatte, 1977 (gambar 2), sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus deng-ue yang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien akan terpicu, menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit dan menghasilkan titer tinggi IgG antidengue. Karena bertempat di limfosit, proliferasi limfosit juga menyebabkan tingginya angka replikasi virus dengue. Hal ini mengakibatkan terbentuknya kompleks virus-antibodi yang selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan peningkatan kadar hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa.9,10

Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak langsung bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi herterolog yang telah ada akan mengenali virus lain kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang berikatan dengan Fc reseptor dari membran leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari proses ini, akan terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.9,10

Diagnosis

Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini terpenuhi:2,5,9

1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bi-fasik.

2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bendung positif; petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; he-matemesis dan melena.

3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml). 4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sbb:

Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai

umur dan jenis kelamin.

Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,

dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.

Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites,

hipopro-•

teinemia, hiponatremia.

Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:2,5,9 Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya

mani-festasi perdarahan adalah uji torniquet.

Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdaran lain.

Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipo-tensi, sianosis di sekitar mulut kulit dingin dan lembab, tam-pak gelisah.

Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.

[image:6.624.326.585.169.367.2]

Keempat derajat tersebut ditunjukkan pada gambar 3.

Gambar 3. Patogenesis dan spektrum klinis DBD (WHO, 1997)5

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hema-tokrit, jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia umumnya dijumpai pada hari ke 3-8 sejak tim-bulnya demam. Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai mulai hari ke 3 demam.5

Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemos-tasis (PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/ krea-tinin.

Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi virus. Namun, metode ini membu-tuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih dari 1–2 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena keterbatasan ini, seringkali yang dipilih adalah metode diagnosis molekuler dengan deteksi materi genetik virus melalui pemeriksaan reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat bila dibandingkan dengan iso-lasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah meng-alami kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif semu. Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemerik-saan serologi, yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue. Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2.11

Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkem-bang adalah pemeriksaan antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigen

(7)

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MED

I

CINUS

berbagai literatur mengenai berapa lama antigen NS1 dapat terdeteksi dalam darah. Sebuah kepustakaan mencatat dengan metode ELISA, antigen NS1 dapat terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari pertama sam-pai hari ke 12 demam pada infeksi primer Dengue atau sampai hari ke 5 pada infeksi sekunder Dengue. Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode ELISA juga dikatakan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%). Oleh karena berbagai ke-unggulan tersebut, WHO menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen NS1 sebagai uji dini terbaik untuk pelayanan primer.11

Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan) dapat dilakukan untuk me-lihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada hemi-toraks kanan dan pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan USG.5,9

Penatalaksanaan

Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat supor-tif dan simtomatis. Penatalaksanaan ditujukan un-tuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombosito-penia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Te-rapi cairan pada kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang, peman-tauan terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang masif perlu selalu diwaspadai.

Terapi nonfarmakologis yang diberikan meli-puti tirah baring (pada trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandung-an gizi yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluaran cerna. Sebagai ter-api simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia. Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas (lambung/duodenum).

Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan DBD dewasa mengikuti 5 pro-tokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol ini ter-bagi dalam 5 kategori, sebagai berikut:

1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok (gambar 4).

2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat (gambar 5).

3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hema-tokrit >20% (gambar 6).

4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa

[image:7.624.262.583.64.178.2]

5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa (gambar 7).

[image:7.624.265.583.217.324.2]

Gambar 4. Penanganan tersangka DBD tanpa syok5

Gambar 5. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat5

Gambar 6. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%5

[image:7.624.269.569.366.718.2]
(8)

MED

I

[image:8.624.57.418.83.663.2]

CINUS

Gambar 7. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa5

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya pada penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis cairan dan kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan

yang akan diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan di ruang intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan salin) maupun koloid dapat diberikan. WHO meng-anjurkan terapi kristaloid sebagai cairan standar pada terapi DBD karena dibanding-kan dengan koloid, kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan lama di intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koa-gulasi tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal.1-3

Secara umum, peng-gunaan kristaloid dalam tata-laksana DBD aman dan efek-tif. Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait deng-an penggunaan kristaloid adalah edema, asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan hemokonsentrasi.12,13 Krista-loid memiliki waktu bertahan yang singkat di dalam pem-buluh darah. Pemberian laru-tan RL secara bolus (20 ml/kg BB) akan menyebabkan efek penambahan volume vaskular hanya dalam waktu yang sing-kat sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen in-terstisial (ekstravaskular) den-gan perbandinden-gan 1:3, sehing-ga dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu satu jam hanya 5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml masuk ke dalam ruang in-terstisial.14 Namun demikian, dalam aplikasinya terdapat beberapa keuntungan peng-gunaan kristaloid antara lain mudah tersedia dengan harga terjangkau, komposisi yang menyerupai komposisi plas-ma, mudah disimpan dalam temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan reaksi ana-filaktik.15,16

Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memi-liki beberapa keunggulan yaitu: pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma (intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan oksigenasi jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa kekurangan yang mungkin didapatkan

(9)

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MED

I

CINUS

dengan penggunaan koloid yakni risiko anafilaksis, koagulopati, dan biaya yang lebih besar. Namun beberapa jenis koloid terbukti memi-liki efek samping koagulopati dan alergi yang rendah (contoh: he-tastarch).15,16 Penelitian cairan koloid diban-dingkan kristaloid pada sindrom renjatan dengue (DSS) pada pasien anak dengan parameter stabilisasi hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan, memberikan hasil sebanding pada kedua jenis cairan.17,18 Sebuah penelitian lain yang menilai efektivitas dan keamanan penggunaan koloid pada pen-derita dewasa dengan DBD derajat 1 dan 2 di Indonesia telah selesai dilakukan, dan dalam proses publikasi.

Jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari banyaknya kebocoran plasma yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut masih akan berlangsung. Pada kondisi DBD derajat 1 dan 2, cairan diberikan untuk kebutuhan rumatan (maintenance) dan untuk meng-ganti cairan akibat kebocoran plasma. Secara praktis, kebutuhan ru-matan pada pasien dewasa dengan berat badan 50 kg, adalah seban-yak kurang lebih 2000 ml/24 jam; sedangkan pada kebocoran plasma yang terjadi seba-nyak 2,5-5% dari berat badan sebanyak 1500-3000 ml/24 jam. Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada DBD dengan hemodinamik yang stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun demikian, pemantauan kadar hematokrit perlu dilakukan untuk me-nilai apakah hemokonsentrasi masih berlangsung dan apakah jumlah cairan awal yang diberikan sudah cukup atau masih perlu ditambah. Pemantauan lain yang perlu dilakukan adalah kondisi klinis pasien, stabilitas hemodinamik serta diuresis. Pada DBD dengan kondisi

he-modinamik tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan secara bolus atau tetesan cepat antara 6-10 mg/kg berat badan, dan setelah he-modinamik stabil secara bertahap kecepatan cairan dikurangi hingga kondisi benar-benar stabil (lihat protokol pada gambar 6 dan 7). Pada kondisi di mana terapi cairan telah diberikan secara adekuat, namun kondisi hemodinamik belum stabil, pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan untuk menilai kemungkinan terjadi-nya perdarahan internal.

Kesimpulan

Demam berdarah dengue tetap menjadi salah satu masalah kesehatan di Indonesia. Dengan mengikuti kriteria WHO 1997, diagnosis klinis dapat segera ditentukan. Di samping modalitas diagnosis standar un-tuk menilai infeksi virus Dengue, antigen nonstructural protein 1 (NS1) Dengue, sedang dikembangkan dan memberikan prospek yang baik untuk diagnosis yang lebih dini.

Terapi cairan pada DBD diberikan dengan tujuan substitusi ke-hilangan cairan akibat kebocoran plasma. Dalam terapi cairan, hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah: jenis cairan, jumlah serta kecepatan, dan pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris untuk menilai respon kecukupan cairan.

Daftar Pustaka

1. Gibbons RV, Vaughn DW. Dengue: an escalating problem. BMJ 2002;324:1563-6 2. World Health Organization. Prevention and control of dengue and dengue

haemor-rhagic fever: comprihensive guidelines. New Delhi, 2001.p.5-17

3. World Health Organization. Dengue, dengue haemorrhagic fever and dengue shock syndrome in the context of the integrated management of childhood illness. Depart-ment of Child and Adolescent Health and DevelopDepart-ment. WHO/FCH/CAH/05.13. Ge-neva, 2005

4. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI. Profil pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. Jakarta, 2007

5. Departemen Kesehatan RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana pela-yanan kesehatan, 2005.p.19-34

6. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam berdarah dengue. Dalam: Su-doyo, A. et.al. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi 4. Jakarta:Pusat Penerbitan IPD FKUI, 2006.p.1774-9

7. Rani, A. Soegondo, S. dan Nasir, AU. (ed). Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta:Pusat Penerbitan IPD FKUI, 2006.p.137-8

8. World Health Organization. Dengue haemorrhagic fever: diagnosis, treatment, preven-tion and control. Geneva, 1997

9. Hadinegoro SRH, et al. (editor). Tata laksana demam berdarah dengue di Indonesia. Departemen Kesehatan RI dan Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. 2004

10. Sutaryo. Perkembangan patogenesis demam berdarah dengue. Dalam: Ha-dinegoro SRH, Satari HI, editor. Demam Berdarah Dengue: Naskah Lengkap. Jakarta: Balai Pener-bit FKUI, 1999.p.32-43

11. Nainggolan L. Reagen pan-E dengue early capture ELISA (PanBio) dan platelia dengue NS1 Ag test (BioRad) untuk deteksi dini infeksi dengue. 2008

12. Stoelting RK, Miller RD. Basics of anestesia. 4th ed. New York:Churchill Livingstone,

2000.p.236-7

13. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, editors. Clinical Anesthesiology. 4th ed. New

York:Lange Medical Books/McGraw-Hill, 2006.p.692-4

14. Kaaallen A J and Lonergan JM. Fluid resusciaation of acute hypovolemic hypoperfusion status in pediatrics. Pediat Clin N Amer 1990; 37(2):287-94

15. Venu Goppal Reddy. Crystalloids versus colloids in hypovolemic shock. Proceedings of 5th Indonesian-International Symposium on Shock and Critical Care 26-33

16. Liolios A. Volume resuscitation: the crystalloid vs colloid debate revisited. Medscape 2004. Available from: URL:http://www.medscape.com/viewarticle/480288 17. Wills BA, Nguyen MD, Ha TL, Dong TH, Tran TN, Le T, et al. Comparison of three fluid

solutions for resuscitation in dengue shock syndrome. N Engl J Med 2005; 353:877– 89

18. Ngo NT, Cao XT, Kneen R, Wills B, Nguyen VM, Nguyen TQ, et al. Acute management of dengue shock syndrome: a randomized double-blind comparison of 4 intravenous fluid regimens in the first hour. Clin Infect Dis 2001; 32:204–13

Dibandingkan cairan kristaloid,

cairan koloid memiliki beberapa

keunggulan yaitu: pada jumlah

volume yang sama akan

didapatkan ekspansi volume

plasma (intravaskular) yang

lebih besar dan bertahan untuk

waktu lebih lama di ruang

intravaskular. Dengan kelebihan

ini, diharapkan koloid

memberi-kan oksigenasi jaringan lebih

baik dan hemodinamik terjaga

lebih stabil.

(10)

MED

I

(11)

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MED

I

CINUS

original article

Luthfan Budi Purnomo

1

, Astuti

2

, Harakati Wangi

3

, Harli Amir Mahmudji

4

,

Rizka Humardewayanti Asdie

5

, Setyo Purwono

6

1. Subdivision of Endocrinology and Metabolic, Internal Department of Gadjah Mada University/Sardjito

Hospital Yogyakarta

2. Neurology Department of Gadjah Mada University/Sardjito Hospital Yogyakarta

3. Internal Department of RSPAD Jakarta

4. Internal Department of RSJ Magelang

5. Internal Department of Gadjah Mada University/Sardjito Hospital Yogyakarta

6. Pharmacology Department of Gadjah Mada University/Sardjito Hospital Yogyakarta

abstract. Background: Long-term oxidative stress is believed to be one of the major factors contributing to the decline of cogni-tive function observed with aging. Oxidacogni-tive stress due to the generation of free radicals resulting from normal metabolism causes accumulated oxidative damage to critical biomolecules, especially when coupled with insufficient endogenous antioxidant defense mechanisms.

Brain tissue, which has relatively little antioxidant protection, also contains high levels of polyunsaturated fatty acids (PUFA), making it more vulnerable to oxidative insult. Interventions to increase antioxidant capacity and reduce oxidative damage have been sug-gested as a potentially useful strategy to prevent or retard this process. Due to its antioxidant properties, vitamin E plays a role in the prevention of certain diseases, including cancer, diabetes, cataracts, cardio and cerebrovascular disease, and has been related to the prevention or slowing of cognitive decline.

Mild cognitive impairment is one of the risk factors to get dementia. Dementia connected with the risk factor of diabetes mellitus (DM). At prospective study Rotterdam and Hisamaya, and also the retrospective Rochester study show that the risk of Alzheimer (AD) become two time greater as risk as at person with type 2 DM.

aim: The aim of this study was to examine associations between vitamin E status and cognitive performance in diabetic people.

method: Cross sectional study was done to 46 DM patients of 23 men and 23 women, aged more than 50 years old, who came at Endocrine’s clinic Sardjito Hospital on August–December 2006 as subject. Serum levels of α-tocopherol (vitamin E) was determined by HPLC method. The cognitive capacity of subjects was tested using the mini mental examination state (MMSE). Mild cognitive

im-pairment (MCI) if MMSE value ≤24.

Result: There were 18 diabetic people with MCI. We found no different significantly in serum levels of α-tocopherol in both group according cognitive status (7.28 + 4.69 in diabetic people with MCI vs. 6.69 + 4.51 in diabetic people without MCI, p=0.678).

Conclusion: This study shows there is no relationship between vitamin E status and cognitive function in diabetic people.

Keyword: Cognitive function, alpha tocopherol, diabetic people.

aBSTRaK. latar Belakang: Stres oksidatif jangka panjang diyakini sebagai salah satu faktor utama yang berperan dalam penurunan fungsi kognitif seiring dengan proses penuaan. Stres oksidatif berupa radikal bebas hasil metabolisme menyebabkan akumulasi kerusakan oksidatif biomolekul, terutama pada kondisi insufisiensi mekanisme pertahanan antioksidan endogen.

Jaringan otak, yang hanya memiliki sedikit perlindungan antioksidan dan memiliki kadar asam lemak tak jenuh (polyunsaturated fatty acid/PUFA) yang tinggi, mudah terkena oksidasi. Intervensi untuk meningkatkan kapasitas antioksidan dan mengurangi keru-sakan oksidasi diperkirakan akan menjadi strategi yang sangat berguna untuk mencegah atau menghambat proses ini. Dengan meli-hat fungsinya sebagai antioksidan, vitamin E memegang peranan dalam pencegahan beberapa penyakit, termasuk kanker, diabetes, katarak, penyakit kardio dan serebrovaskular, dan telah dihubungkan dengan pencegahan atau penghambatan penurunan kognitif. Gangguan kognitif ringan (mild cognitive impairment/MCI) adalah salah satu faktor risiko demensia. Demensia dihubungkan dengan faktor risiko diabetes melitus (DM). Pada suatu studi prospektif yang dilakukan Rotterdam dan Hisamaya, dan studi retrospektif Ro-chester menunjukkan bahwa risiko Alzheimer (AD) menjadi dua kali lebih besar pada penderita DM tipe 2.

Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai hubungan antara status vitamin E dan kondisi kognitif pada penderita diabetes.

9

MED

I

CINUS

(12)

MED

I

CINUS

10

metode: Penelitian potong lintang dilakukan terhadap 46 penderita DM, 23 laki-laki dan 23 perempuan, usia lebih dari 50 tahun, yang datang ke poliklinik Endokrin RS Dr. Sardjito pada bulan Agustus–Desember 2006. Kadar α-tocopherol serum (vitamin E) diukur dengan metode HPLC. Kapasitas kognitif subjek diukur dengan mini mental examination state (MMSE), dan dinyatakan gangguan kognitif ringan/mild cognitive impairment (MCI) bila nilai MMSE ≤24.

hasil: Didapatkan 18 pasien diabetes dengan MCI. Tidak ditemukan perbedaan bermakna antara kadar α-tocopherol serum kedua kelompok berdasar status kognitifnya (7,28 ± 4,69 pada penderita diabetes dengan MCI vs 6,69 ± 4,51 pada penderita diabetes tanpa MCI, p=0,678).

Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan antara status vitamin E dan fungsi kognitif pada penderita diabetes.

Kata kunci: fungsi kognitif, alpha tocopherol, penderita diabetes

Pendahuluan

Stres oksidatif jangka panjang diyakini sebagai salah satu faktor utama yang berperan dalam penurunan fungsi kognitif seiring dengan pro-ses penuaan.1,2 Stres oksidatif berupa radikal bebas hasil metabolisme normal menyebabkan akumulasi kerusakan oksidatif biomolekul-bi-omolekul, terutama pada kondisi insufisiensi mekanisme pertahanan antioksidan endogen.2-4

Jaringan otak, yang hanya memiliki sedikit perlindungan antiok-sidan dan memiliki kadar asam lemak tak jenuh (polyunsaturated fatty acid/PUFA) yang tinggi, mudah terkena oksidasi.1,2 Intervensi untuk meningkatkan kapasitas antioksidan dan mengurangi kerusakan ok-sidasi diperkirakan akan menjadi strategi yang sangat berguna untuk mencegah atau menghambat proses ini.2 Vitamin E (α-tokoferol) dike-tahui merupakan antioksidan paling poten dan paling banyak terdapat pada manusia.5,6 Di samping itu, vitamin E juga dapat memodulasi ber-bagai fungsi seluler yang tidak terkait dengan aktivitas antioksidan.7,8 Dengan melihat fungsinya sebagai antioksidan, vitamin E memegang peranan dalam pencegahan beberapa penyakit, termasuk kanker, diabetes, katarak, penyakit kardio dan serebrovaskular, dan telah di-hubungkan dengan pencegahan atau penghambatan penurunan kog-nitif.2,9,10

Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu faktor risiko terjadi-nya demensia. Demensia yang berhubungan dengan faktor risiko dia-betes adalah Alzheimer dan vaskular. Pada studi prospektif Rotterdam dan Hisayama, serta studi retrospektif Rochester, menunjukkan risiko kejadian demensia Alzheimer (AD) meningkat dua kali pada individu dengan DM tipe 2.11 Demensia vaskular dihubungkan dengan diabetes melalui kejadian vaskular (VaD) yang diikuti dengan penurunan kog-nitif, gangguan vaskuler ini salah satunya merupakan manifestasi dari komplikasi makrovaskular diabetes.11,12

Gangguan kognitif ringan (mild cognitive impairment/MCI) adalah suatu gangguan kognitif berupa gangguan orientasi, atensi, konsen-trasi, memori, bahasa, dan intelektual, yang tidak masuk dalam krite-ria demensia, dengan kata lain MCI merupakan keadaan predemen-sia.13,14 Gangguan kognitif merupakan proses awal kecacatan dalam otak berupa demensia. Berdasarkan studi terdahulu, menunjukkan hipotesis mengenai diabetes dan faktor komorbidnya terlibat dalam patogenesis demensia baik demensia Alzheimer (AD) ataupun demen-sia vaskular (VaD).11,15

Insidensi gangguan fungsi kognitif pada DM diperkirakan akan meningkat sehubungan dengan meningkatnya jumlah populasi pen-derita DM, sehingga perlu strategi untuk mencegah penurunan fungsi kognitif. Mekanisme terjadinya risiko demensia pada diabetes belum dapat dijelaskan, diperkirakan salah satunya melalui stres oksida-tif dan diketahui pula bahwa kadar vitamin E plasma pada pengidap diabetes melitus (DM) tipe 2 lebih rendah dibandingkan dengan orang sehat16,17, sehingga diperkirakan gangguan fungsi kognitif pada pend-erita DM lebih banyak terjadi dibandingkan nonDM.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai hubungan antara status vi-tamin E dan kondisi kognitif pada penderita diabetes.

metode

Penelitian potong lintang dilakukan terhadap 46 penderita DM, 23 laki-laki dan 23 perempuan, usia lebih dari 50 tahun, yang datang ke poliklinik Endokrin RS Dr. Sardjito pada bulan Agustus – Desember 2006.

Kriteria inklusi adalah penderita DM tipe 2 usia lebih dari 50 tahun yang kontrol di poliklinik Endokrin RSUP Dr. Sardjito dan pada saat pemeriksaan tidak sedang minum suplemen obat yang mengandung vitamin E dan menyetujui informed consent. Kriteria eksklusi adalah penderita dengan tanda klinis, dan hasil laboratorium menunjukkan infeksi, sedang menderita penyakit akut, terdapat penyakit inflamasi (demam reumatik, eritema nodosum, artritis reumatoid, artritis kronik, spondilitis ankilosis, psoriasis, vaskulitis sistemik, reumatik polimial-gia, penyakit Reiter, diare kronis, lupus eritematosus sistemik (LES), skleroderma, dermatomiositis, osteoartritis), penyakit jantung koro-ner, terdapat riwayat pembedahan atau stroke dalam 3 bulan sebelum penelitian, terdapat keganasan, gagal jantung kongesti, penurunan fungsi ginjal, penurunan fungsi hati, merokok dan terdiagnosis de-mensia.

Subjek yang memenuhi kriteria inklusi dicatat dalam formulir penelitian, yaitu usia, jenis kelamin dan alamat. Kemudian dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik (tekanan darah, denyut nadi, respira-si, suhu, berat badan, tinggi badan, lingkar pinggang, pemeriksaan fisik jantung, paru, abdomen dan ekstremitas) untuk mengetahui adanya penyakit infeksi akut, penyakit inflamasi (demam reumatik, eritema nodosum, artritis reumatoid, artritis kronik, spondilitis ankilosis, pso-riasis, vaskulitis, diare kronis, penyakit Reiter, lupus eritematosus sis-temik (LES), skleroderma, dermatomiositis, osteoartritis), hipertensi, adanya riwayat pembedahan atau stroke dalam 3 bulan sebelum pene-litian, penyakit jantung koroner, keganasan, sirosis hati, merokok ak-tif, dislipidemia.

Kemudian pasien dipesan untuk datang ke poliklinik penyakit dalam untuk dilakukan pengambilan darah dengan puasa minimal 10 jam sebelumnya. Pengambilan darah 10 cc untuk pemeriksaan darah rutin, profil lipid, fungsi ginjal, enzim transaminase, HbA1c, kadar kolesterol total, kadar trigliserida, kadar low density lipoprotein (LDL), kadar high density lipoprotein (HDL) serta kadar α-tokoferol serum serta diminta untuk mengisi mini mental examination state (MMSE) untuk me-nilai fungsi kognitifnya.

(13)

digu-Vol. 21, No.4, Edisi November - Desember 2008 MED I CINUS 57 11

nakan adalah UV-VIS l 292 nm. Puncak tokoferol akan muncul pada menit ke 3-6. Pengukuran trigliserida dilakukan dengan metode tes en-zimatik kolorimetri dengan menggunakan glycerol-3-phosphate-oxidase. Sampel yang diukur adalah plasma yang diambil dari darah EDTA. Penentuan trigliserida dilakukan setelah pemisahan oleh lipoprotein lipase. Sebagai indikator adalah quinonimine yang berasal dari reaksi

4-aminoantipyrine, 4-chlorophenol, dan hidrogen peroksida di bawah aksi katalis peroksidase. Pengukuran kolesterol dilakukan dengan metode tes fotometrik enzimatik. Sampel yang dipakai adalah plasma (dari darah EDTA). Penentuan kolesterol dilakukan setelah reaksi hidrolisis dan oksidasi. Sebagai indikator kolorimetri adalah Chinonimine yang berasal dari reaksi 4-aminoantipyrine, phenol, dan hidrogen peroksida di bawah aksi katalis peroksidase. Kadar LDL dihitung dengan rumus: LDL = kolesterol total - trigliserida/5 - HDL. Pengukuran HbA1c di-lakukan dengan metode fast ion-exchange resin separation. Reagen yang dipakai adalah Glycohemoglobin Test (Human®). Sampel yang dipakai adalah darah EDTA. Darah dicampur dengan reagen lysing yang berisi deterjen dan ion borat konsentrasi tinggi. Eliminasi basa Schiff labil ter-capai selama proses hemolisis. Hemolisat kemudian dicampur dengan resin penukar ion selama 5 menit. HbA1c akan terikat pada resin, ke-mudian digunakan separator untuk memisahkan resin dari superna-tan yang berisi glycohemoglobin. Presentase glycohemoglobin ditentukan dengan mengukur fraksi glycohemoglobin dan fraksi total hemoglobin pada Hg 405 atau 415 nm. Pemeriksaan kadar vitamin E dilakukan di laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Pemeriksaan lainnya dilakukan di laboratorium Prodia Yogyakarta.

Kapasitas kognitif subjek diukur dengan perangkat sederhana yaitu mini mental examination state (MMSE) dari Folstein, yang sudah di-standardisasi secara nasional. Pada MMSE variabel yang dinilai adalah orientasi, registrasi, atensi, kalkulasi, mengingat kembali, bahasa, dan

clock drawing test (CDT) digunakan untuk menilai fungsi interpretasi.18 Untuk penilaian tes gambar jam batasan nilainya bersifat subjek-tif, dengan interpretasi apabila gambar dengan gangguan kontur yang hebat atau gambar yang tidak berhubungan sangat jarang dihasilkan oleh seseorang dengan kognitif yang utuh. Gambar yang sempurna tidak mungkin dihasilkan oleh individu dengan gangguan kognitif. Acuan termudah penilaian CDT masuk dalam kemungkinan kognitif terganggu apabila skor <418.

Kriteria penurunan fungsi kognitif, berdasar status mental mini (MMSE) adalah: Normal = >28, dugaan MCI/VCI = 24 - 28, probabili-tas kognitif terganggu/dugaan demensia = 17 - 23, gangguan kognitif definitif = 0 – 16.18,19 Pada penelitian ini dinyatakan gangguan kognitif ringan bila nilai MMSE ≤24.

Kukull et al. (1994) melakukan penelitian potong lintang instru-men untuk instru-mendeteksi deinstru-mensia pada populasi klinik dengan jumlah pasien 150, mendapatkan bahwa MMSE mempunyai sensitivitas 63%, spesifisitas 96%, positive predictive value (PPV) 96%, negative predictive value (NPV) 63%, dengan class of evidence I20.

analisis Statistik

Data karakteristik subjek penelitian disajikan dalam angka rerata dan simpangan baku. Hubungan antara mikroalbuminuria (positif atau negatif) dengan kadar vitamin E plasma dianalisis dengan uji-t tak ber-pasangan. Untuk membandingkan 2 kelompok dengan variabel kate-gori digunakan uji chi-square. Uji korelasi Pearson dipakai untuk me-lihat kaitan antara 2 variabel numerik. Hubungan antara faktor-faktor lain (usia, jenis kelamin, lama terdiagnosis DM, HbA1c, kadar kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, dan trigliserida) dengan fungsi kognitif dianalisis dengan regresi logistik. Batas kemaknaan yang di-terima bila p <0,05.

hasil Penelitian

[image:13.624.319.579.72.213.2]

Selama penelitian data lengkap yang dapat dianalisis sebanyak 46 orang, didapatkan 18 pasien diabetes dengan MCI. Adapun data ka-rakterisitik dasar dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Data karakteristik dasar subjek penelitian

Variabel Rerata±simpangan baku

Usia (tahun)

Indeks massa tubuh (kg/m2)

Lama DM (tahun) Kolesterol total (mg/dl) Trigliserida (mg/dl)

High density Lipoprotein (mg/dl) Low density Lipoprotein (mg/dl) HbA1c (%)

Gula darah puasa (mg/dl)

Gula darah 2 jam pasca makan (mg/dl) Vitamin E

MMSE

63,64 ± 6,98 24,38 ± 3,38 10,83 ± 5,18 216,48 ± 49,87 158,22 ± 70,89 42,02 ± 9,43 143,15 ± 44,51

7,26 ± 1,55 132,67 ± 51,21 189,98 ± 61,32 6,92 ± 4,54 24,61 ± 3,49

Tidak ditemukan perbedaan bermakna antara kadar α-tocopherol serum kedua kelompok berdasar status kognitifnya (7,28 ± 4,69 pada penderita diabetes dengan MCI vs 6,69 ± 4,51 pada penderita diabetes tanpa MCI, p = 0,678), dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Perbandingan data pasien dengan dan atau tanpa mild cognitive In-pairment

Variabel Dengan MCI Tanpa MCI p (n=18) (n=28)

Usia (tahun)

Indeks Massa tubuh (kg/m2)

Lama DM (tahun) Kolesterol total (mg/dl) Trigliserida (mg/dl)

High density Lipoprotein (mg/dl)

Low density Lipoprotein (mg/dl) HbA1c (%)

Gula darah puasa (mg/dl) Vitamin E

66,05 ± 7,42 23,90 ± 3,22 10,72 ± 5,55 221,39 ± 64,69 169,61 ± 92,19 40,89 ± 9,17 147,05 ± 56,03

7,39 ± 1,70 132,17 ± 48,66

7,28 ± 4,69

61,78 ± 6,26 24,68 ± 3,49 10,89 ± 5,02 213,32 ± 38,51 158,22 ± 70,89 42,75 ± 9,69 140,64 ± 36,17

7,18 ± 1,47 133,66 ± 53,66

6,69 ± 4,50

0,04 0,448 0,915 0,598 0.848 0,52 0,639 0,609 0,958 0,678 Pembahasan

Dalam menentukan status vitamin E tubuh, beberapa peneliti meng-gunakan rasio vitamin E/lipid total karena kadar lipid plasma sangat mempengaruhi kadar vitamin E. Tanpa menggunakan rasio ini, in-dividu dengan lipid rendah akan keliru diklasifikasikan sebagai de-fisiensi vitamin E, padahal kenyataannya normal.5 Hal yang serupa dapat terjadi pada individu dengan hiperlipidemia. Pada penelitian Sokol et al. (1984) beberapa subjek yang menunjukkan gejala dis-fungsi neurologis (dalam penelitian didefinisikan sebagai defisiensi vitamin E) terdapat hiperlipidemia dan mempunyai kadar vitamin E plasma normal. Rasio vitamin E/lipid total menunjukkan nilai di bawah normal. Dalam kondisi ini rasio vitamin E/lipid total lebih sesuai dengan disfungsi neurologis (yang disebabkan defisiensi vita-min E). Pada penelitian ini tidak dilakukan analisis berdasarkan rasio vitamin E/lipid total.

Keadaan yang dapat menghubungkan antara diabetes dengan proses penurunan fungsi otak, adalah:

a. Hiperglikemia menyebabkan toksisitas saraf

Hiperglikemia mempengaruhi viabilitas saraf melalui peningkatan stres oksidatif, struktur dan fungsi pembuluh darah, jalur O gliko-protein, dan formasi advanced glycation end product (AGEs). Advanced glycation end product (AGEs) secara eksperimental terbukti berpen-garuh terhadap kerusakan vaskular dan fungsi endotel, kerusakan protein, DNA dan mitokondria, serta meningkatkan radikal bebas dan inflamasi.15

b. Komplikasi diabetes menyebabkan gangguan kognitif

[image:13.624.317.580.299.431.2]
(14)

meng-MED

I

CINUS ganggu sawar darah otak. Hipotesis mengenai efek kenaikan

tekanan darah dan AD secara patologi adalah kerusakan endotel, yang berakibat meningkatnya respon proinfalamsi, prokoagulan, dan oksidatif, seperti pada hipotesis mengenai formasi pada plak neuritik pada AD.15

Kolesterol mempunyai peran esensial pada pemeliharaan struktur membran otak. Hiperinsulinemia merefleksikan tingginya kadar insulin otak, dan hipoinsulin merupakan kegagalan dari insulinisa-si pada otak. Transpor insulin ke dalam insulinisa-sistem saraf pusat mening-katkan kondisi hiperinsulinemia, yang mengakibatkan terjadinya proses resistensi insulin.15

c. Diabetes menyebabkan gangguan kognitif

Kejadian diabetes dengan demensia Alzheimer (AD) juga mempu-nyai keterkaitan yang positif. Pada studi Rotterdam menunjukkan hasil diabetes dengan AD mempunyai relative risk (RR) 1,9 (95% CI: 1,2 – 3,1), dengan rincian yang disertai penyakit serebrovaskular RR 1,8 (95% CI: 1,0 – 9,3) tanpa penyakit serebrovaskular RR 1,8 (95% CI: 1,1 – 3,0), diabetes dengan demensia vaskular (VaD) RR 2,0 (95% CI: 0,7 – 5,6), diabetes dengan demensia lainnya RR 1,6 (95% CI: 0,5 – 5,0).22

Pada penelitian dari Rochester menunjukkan kejadian AD dua kali lipat lebih besar pada laki-laki dengan diabetes (RR 2,3, 95% CI: 1,6- 3,3). Pada penelitian British cohort menunjukkan peningkatan risiko Alzheimer pada subjek dengan diabetes dibanding tanpa diabetes (RR 1,4 95% CI: 1,1 – 17,0).15,23

Dasar mekanisme biokimia komplikasi vaskular diabetes, berawal dari diabetes memicu resistensi insulin, hiperglikemia, dan terjadi pe-lepasan asam lemak bebas atau dislipidemia, keadaan tersebut mela-lui jalur stres oksidatif (reactive oxigen species = ROS), protein kinase C, aktivasi reseptor advanced glycation end product (RAGE), peningkatan jalur poliol, mioinositol, dan heksosamin akan mengakibatkan aktivasi sinyal sel molekul gangguan pada faktor pertumbuhan, angiotensin II, dan dikeluarkannya sitokin24,25 yang merangsang membran fosfolipid sel atau endotel berubah menjadi asam arakhidonat melalui aktivasi enzim fosfolipase (PLA2).26

Asam arakhidonat (AA) akan dimetabolisme menjadi tiga jalur

oksidasi yaitu jalur siklooksigenase (COX) yang akan membentuk prostaglandin, jalur lipooksigenase (LO), membentuk asam hidrok-sieikosatetraenoik (HETEs) dan leukotrin, dan jalur sitokrom P-450 monooksigenasi/epoksigenase yang membentuk epoksid dan HETEs. Khusus untuk sitokrom P-450 lebih berperan pada vasoaktif pada gin-jal, dan belum didapatkan data mengenai keterlibatan pada angiopati diabetik.26

Pada jalur siklooksigenase, COX-1 dan COX-2 dikatalisis menjadi prostaglandin dalam bentuk (prostaglandin H2) PGH2 yang terkonversi menjadi prostaglandin lain dan eikosanoid seperti PGE2, PGD2, PGF2α (isoprostan), PGI2 (prostasiklin) dan tromboksan. COX-1 berperan cara fisiologis pada beberapa sel dan jaringan. COX-2 ekspresinya se-ring tidak terdeteksi pada jase-ringan dan sel, tetapi menjadi signifikan bila tersimulir lipopolisakarida, dan sitokin (IL-6, IL-1α, IL-1β, TNF-α, dan faktor pertumbuhan), dan produk-produk dari COX-2 berperan dalam proses inflamasi termasuk arterogenesis.26,27

Jalur lipooksigenasi (LO) terbagi dalam 4 kelompok yaitu LO5, LO8, LO12, dan LO15, yang dibedakan berdasar kemampuannya dalam proses memasukkan molekul oksigen pada rantai karbon ke dalam asam arakhidonat. Kelompok LO5 dan O8 tidak berperan dalam diabetes. Untuk LO12 dan LO15 dapat membentuk 12/15 HETEs dari AA, produk tersebut akan tampak pada beberapa jaringan pembuluh darah dan sel, termasuk sel otot polos pembuluh darah (vascular smooth muscle cells /VSMC), endotel dan monosit.26

Jalur mediator inflamasi lipid pada sistem saraf pusat hampir sama dengan jalur asam arakhidonat, hanya pada sistem saraf pusat, fungsi neurotropik (fisiologis) dari jalur tersebut dapat berubah menjadi neu-rotoksik (patologis). Komponen penting pada metabolisme lipid pada otak adalah AA dan DHA (docosahexaenoic acid/asam dokosaheksae-noik), yang akan dimetabolisme menjadi eikosanoid, dokosanoid, liso-fosfolipid, reative oxygen species (ROS), 4-HNE (4 hidroksinonenal/ok-sidasi dari AA), dan 4-HHE (4-hidroksiheksenal/okhidroksinonenal/ok-sidasi dari DHA). Komponen tersebut akan memberikan efek neurotropik bila terdapat dalam kadar rendah, tetapi bila komponen jalur tersebut terpicu untuk termobilisasi kadarnya akan meningkat dan memberikan efek neuro-toksik. Asam dokosaheksaenoik dihidrolisis oleh plasmalogen selektif fosfolipase A2.28

Efek neurotoksik AA akibat hiperstimulasi adalah kerusakan pada struktur sel dan fungsi saraf. Asam arakhidonat mengakibatkan asido-sis intraseluler dan tidak terkendalinya oksidasi fosforilasi, sehingga terjadi disfungsi mitokondria. Siklooksigenase dan lipooksigenase yang mengubah AA menjadi protaglandin, leukotrin, dan tromboksan. Komponen eikosanoid tersebut apabila terstimulasi akibat kondisi pa-tologis berefek pada gangguan aliran pembuluh darah otak dan mem-pengaruhi trombosit dan leukosit, sehingga aliran mikrosirkulasi akan terganggu dan sistem saraf pusat akan terganggu.28

Lisofosfolipid yang merupakan hasil oksidasi fosfolipid selain AA, yang dapat teralkilasi oleh koenzim A menjadi fosfolipid kem-bali, pada kondisi patologis seperti iskemik, epilepsi, dan overstimu-lasi fosfolipase akan mengakibatkan akumuoverstimu-lasi lisofosfolipid dan asam lemak bebas. Lisofosfolipid dapat memproduksi faktor aktivasi platelet, sebagai mediator proinflamasi yang poten. Pada sel endotel lisofosfolipid dapat memodulasi sinyal kalsium, dan fosforilasi nitrit oksid dan sitosolik fosfolipase 2. Sehingga bila terjadi akumulasi liso-fosfolipid yang berlebih akan berakibat demielinisasi dan kerusakan sel saraf.28

4-hidroksinonenal (4-HNE/oksidasi dari AA), pada kadar rendah berefek menyampaikan sinyal hingga ke sel basal, stimulasi fosfolipase c, adenil siklase, dan menurunkan aktivitas ornitin dekarboksilase, bila terstimulasi berlebihan mengakibatkan efek neurotoksik berupa efek deteriorisasi sel, menghambat sintesis DNA dan RNA, mengganggu homeostasis kalsium, dan menghambat respirasi mitokondria, 4-HNE juga meningkatkan permeabilitas sawar darah otak selama eksitoksisi-tas, menurunkan fungsi mitokondria dengan mengganggu transpor gula, dan berperan dalam memicu stres oksidatif dan proses apoptosis sel saraf.28

Dalam menentukan status

vitamin E tubuh, beberapa

peneliti menggunakan rasio

vitamin E/lipid total karena

kadar lipid plasma sangat

mempengaruhi kadar vitamin E.

Tanpa menggunakan rasio ini,

individu dengan lipid rendah

akan keliru diklasifikasikan

sebagai defisiensi vitamin E,

padahal kenyataannya normal.

5

Hal yang serupa dapat terjadi

pada individu dengan

hiperlipidemia.

(15)

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MED

I

CINUS

Perkin et al. (1999) melakukan analisis terhadap 5000 orang usia lanjut pada the Third National Health and Nutrition Examintaion Survey III (NHANES III) mendapatkan hasil terdapat hubungan yang sang-at lemah antara jeleknya fungsi memori dengan kadar vitamin C, A,

β-karoten dan selenium, tetapi mendapatkan hasil korelasi yang ber-makna antara fungsi memori dengan rendahnya kadar vitamin E sete-lah diadjust dengan kadar kolesterol.10

Ortega et al. (2002) dalam penelitiannya terhadap 120 orang usia lan-jut berusia 65-91 tahun tanpa gangguan fungsi kognitif mendapatkan hasil terdapat korelasi yang bermakna antara vitamin E (r= -0.3519) dan rasio vitamin E/kolesterol (r= -3014) dengan PMSQ (pfeiffer mental status questionnaire). Lebih lanjut dalam analisanya, Ortega et al. me-nemukan kadar vitamin E dan rasio vitamin E/kolesterol yang rendah pada subjek dengan ada kesalahan pada PMSQ dibandingkan dengan yang tanpa kesalahan dalam PMSQ.29

Foy et al. (1999) juga menemukan hal yang sama yaitu pasien de-ngan demensia kadar vitamin E-nya rendah pada dibandingkan den-gan kontrol, tetapi tidak terjadi pada tingkat defisiensi nutrisi. Jadi rendahnya status antioksidant pada pasien-pasien demensia menun-jukkan peningkatan stres oksidatif, yang merupakan faktor penting pada gangguan fungsi kognitif.9

Vitamin E mungkin berguna dalam mencegah penurunan fungsi kognitif melalui aksi antioksidannya yang potensial yang dapat mence-gah kerusakan jaringan saraf, tetapi juga mencemence-gah demensia vaskular. Hubungan vitamin E dengan penurunan risiko demensia vaskular da-pat dihubungkan dengan beberapa macam efek pada sistem vaskular, termasuk pada kemampuannya mencegah stroke dengan menurunkan gregrasi dan adhesi platelet, memperlambat progresi dari aterosklero-sis a. carotis.30

Faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap demensia adalah: umur, pada studi populasi insidensi AD 0,6% pada usia 65–69 tahun, 1% pada usia 70–74 tahun, 2% pada usia 75-79, 3,3% pada usia 80–85 tahun, dan 8,4% pada usia 85 tahun ke atas, riwayat keluarga akan me-ningkatkan risiko demensia 10–30%. Petersen et al. (2001), menya-takan analisis kejadian usia akan bermakna bila dihubungkan dengan risiko demensia Alzheimer, sedangkan bila hanya dihubungkan den-gan den-gangguan kognitif perbedaannya tidak bermakna, dan pada studi Framingham, oleh Bachman et al. (1993) menunjukkan bahwa annual rate antar usia dengan kejadian demensia akan berbeda dengan annual rate antar usia dengan kejadian demensia jenis Alzheimer.20 Pada pene-litian ini pada kelompok MCI didapatkan usia yang lebih tua diban-dingkan dengan kelompok non MCI, dan perbedaan ini secara statis-tik bermakna, sehingga apakah gangguan fungsi kognitif yang terjadi pada penelitian ini dipengaruhi oleh usia yang tua pada kelompok MCI masih belum dapat dibuktikan.

Risiko dari arterosklerosis, seperti dislipidemia, diabetes melitus, penggunaan insulin, hipertensi, merokok, faktor risiko lainnya seperti trauma kepala, alkohol, gagal ginjal kronis, diet tinggi lemak, indeks masa tubuh (IMT), dan penggunaan estrogen merupakan faktor risiko terjadi gangguan kognitif.31 Pada analisis hubungan antara profil lipid, pengontrolan kadar gula darah (HbA1c) dan gula darah puasa sendiri serta IMT, tidak berhubungan dengan gangguan kognitif.

Kesimpulan

Penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan antara status vitamin E dan fungsi kognitif pada penderita diabetes.

Daftar Pustaka

1. Kalmijn S, Feskens EJ, Launer LJ and Kromhout D. Polyunsaturated fatty acids, antioxidants, and cognitive function in very old men. Am. J. Epidemiol. 1997; 145:33-41

2. Meydani M. Antioxidants and cognitive function. Nutr. Rev. 2001;

59:S7-5-S80

3. Halliwell B & Gutteridge IMC. Free radicals. In: Biology and Medicine. 2nd ed.

Oxford University Press Oxford:UK; 1995.p.543

4. Floyd RA. Antioxidants, oxidative stress, and degenerative neurological disor-ders. Proc. Soc. Exp. Biol. Med. 1999; 222:236-45

5. Farrell PM and Roberts RJ. Vitamin E. Dalam: Modern Nutrition in Health and Disease.8th ed. Lea & Febiger. Philadelphia; 1994.p.326-41

6. Young IS and Woodside JV. Antioxidants in Health and Disease. J Clin Pathol 2001; 54:176-86

7. Ricciarelli R, Zingg J, and Azzi A. Vitamin E: protective role of janus molecule. FASEB J. 2001; 15:2314-25

8. Traber MG. Does vitamin E decrease heart attack risk? summary and implica-tions with respect to dietary recommendaimplica-tions. J Nutr. 2001; 131:395S-397S 9. Foy CJ, Passmore AP, Vahidassr MD, Young IS and Lawson JT. Plasma chain-breaking antioxidants in Alzheimer’s disease, vascular dementia and Parkin-son’s disease. Q. J. Med. 1999; 92:39-45

10. Perkins AJ, Hendrie HC, Callahan CM, Gao S, Unverzagt FW, Xu Y, et al. As-sociation of antioxidants with memory in a multiethnic elderly sample using the Third National Health and Nutrition Examination Survey. Am. J. Epidemiol. 1999; 150:37-44

11. Strachan MWJ. Cognitive decline and the older patient with diabetes. Clin Ger. 2002; 10(6):29–35

12. Hartono B. Insulin, diabetes and cognitive function: from vascular cognitive impairment to vascular dementia. Dalam Naskah Lengkap PIT V PERKENI. Se-marang; 2004.p.313-27

13. Visser PJ. Mild cognitive impairment. Dalam: Pathy, M.S., Sinclair, J. & Morley, J.E. (Eds) Principles and Practice of Geriatric Medicine 4th (ed). John Wiley and

Sons. Ltd:2006.p.1-7

14. Wright JD and Tranel D. Mild cognitive impairment. Up To Date®14.1; 2006 15. Launer LJ. Diabetes and Brain Aging: Epidemiologic Evidence. Curr. Diab.

Rep.2005; 5:59-63

16. Gokkusu C, Palanduz S, Ademoglu E and Tamer S. Oxidant and antioxidant system in NIDDM patients: influence of vitamin E supplementation. Endocr Res 2001; 27(3):377-86

17. Nourooz-Zadeh J, Rahimi A, Tajaddini-Sarmadi J, Tritschler H, Rosen P, Hal-liwell B. et al. Relationship between plasma measures of oxidative stress and metabolic control in NIDDM. Diabetologia 1997; 40:647-53

18. Assosiasi Alzheimer Indonesia (AazI). Konsensus nasional – pengenalan dan penatalaksanaan demensia alzheimer dan demensia lainnya; 2003.p.61-3 19. Soejono CH, Harimurti K, Setiati S & Damping CE. Pedoman diagnosis dan

tatalaksana MCI dan VCI. Dalam: Konsensus Nasional-Peran Dokter Spesialis Penyakit Dalam Untuk Deteksi Dini, Diagnosis Dan Penatalaksanaan Gang-guan Kognitif Ringan Pada Usia Lanjut. Perhimpunan Gerontologi Medik Indo-nesia. Jakarta; 2006.p.1-28

20. Petersen RC, Stevens JC, Ganguli M, Tangalos, Cummings and DeKosky. Prac-tice parameter: early detection of Dementia: mild cognitive impairment (An Evidence Based Review). Report of the Quality Standards Subcommittee of the America Academy of Neurology. Neur; 2001; (56):1133-42

21. Sokol RJ, Heubi JE, Iannacone ST, Bove KE and Balistreri WF. Vitamin E defi-ciency with normal serum vitamin E concentrations in children with chronic cholestasis. N Engl J Med 1984; 310:1209-12

22. Ott A, Stolk RP, Harskamp van, Pols HAP, Hofman A and Breteler MMB. Dia-betes mellitus and the risk of dementia–The Rotterdam Study. Neur 1999; (53):1937-42

23. Luchsinger JA, Tang MX, Stern Y, Shea S and Mayeux R. Diabetes mellitus and risk of Alzheimer’s disease and dementia with stroke in a multiethic cohort. Am J Epidemiol 2001; 154(7):635-41

24. Beckman JA, Creager MA and Libby P. Diabetes and atherosclerosis – epidemi-ology, pathophysiepidemi-ology, and management. JAMA 2002; 287(19): 2570-81 25. Kanwar Y, Akagi S, Sun L, Nayak B, Xie P, Wada J, et al. Cell biology of diabetic

kidney disease. Nephron Exp Nephrol 2005; 101:e100-110

26. Natarajan R.and Nadler JL. Lipid inflamatory mediator in diabetic vascular dis-ease. Arterioscler Thromb Vasc Biol 2004; 24:1542-48

27. Helmersson J, Vessby B, Larsson A and Basu S. Association of type 2 diabetes With cyclooxygenase-mediated inflamation and oxidative stress in an elderly population. Circulation 2004; 109:1729-34

28. Farooqui AA and Horrocks LA. Phospholipase A2-generated lipid mediators in the brain: the good, the bad, and the ugly. Neuroscientist 2006; 12(3):245-60

29. Ortega RM, Roquejo AM, Lopez-Sobaler AM, Andres P, Navia B, Perea JM, et al. Cognitive function in elderly people is influenced by vitamin E status. J Nutr 2002; 132:2065-8

30. Kritchevsky SB, Shimakawa T, Tell GS, Dennis B, Carpenter M, Eckfeldt JH, et al. Dietary antioxidants and carotid artery wall thickness. The ARIC Study. Atherosclerosis Risk in Communities Study. Circulation 1995; 92:2142-50 31. Shadlen MF and Larson EB. Risk Factors for dementia. Up To Date® , 14.1;

2006

(16)

MED

I

CINUS

I Made Oka Adnyana

Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf

Fakultas Kedokteran UNUD/RSUP Sanglah Denpasar

Pendahuluan

Setiap orang pasti pernah menderita nyeri kepala selama hidupnya, dan nyeri kepala merupakan kasus yang paling sering berobat ke po-liklinik saraf. Kasus migren merupakan kasus kedua terbanyak sete-lah nyeri kepala tipe tegang yang datang berobat ke poliklinik saraf. Puncak prevalensi migren antara usia 25-55 tahun usia yang dimana sangat produktif, sehingga serangan migren harus diobati dengan sebaik-baiknya.1

Migren merupakan gangguan neurobiologik, yang berhubung-an dengan perubahan kepekaan sistem saraf dan aktivasi sistem trigemi-novaskular. Dimana penderita migren lebih peka dari pada orang tanpa migren. Pada setiap serangan migren di samping mengganggu kehidupan sosial dan ekonomi juga akan mengakibatkan perubahan permanen dari sistem saraf pusat. Beberapa penderita migren de-ngan atau tanpa aura menunjukkan bertambahnya risiko lesi sub-klinik pada daerah tertentu. Seperti daerah serebelum dan sirkulasi posterior pada penderita dengan migren menunjukkan prevalensi infark yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (5,4%: 0,7%). Risiko tertinggi adalah pada penderita migren dengan aura yang serangannya lebih dari 1 kali/bulan. Pada wanita risiko terjadinya

deep white matter lesion (DWML) lebih besar pada pende-rita migren dibandingkan dengan kontrol. Risiko ini bertambah bila serangan lebih dari dua kali/bulan, akan tetapi risikonya sama pada penderita migren dengan atau tanpa aura. Pada laki-laki tidak menunjukkan perbedaan DWML antara kontrol dan penderita migren. Pada pend-erita migren juga ditemukan adanya akumuluasi ion Fe di daerah peri aquductus gray yaitu area yang memodulasi penghantaran nyeri se-cara desenden, dan bila daerah ini mengalami gangguan akibat aku-mulasi Fe akan mengganggu proses inhibisi penghantaran nyeri.2

Pencegahan serangan migren3-5

Mengingat efek perubahan pada susunan saraf pusat akibat serangan migren, maka serangan migren perlu diobati dan yang lebih pen-ting adalah mencegah kekambuhan serangan agar jangan sampai beru-lang.

Adapun prinsip umum terapi pencegahan adalah: 1. Mengurangi frekuensi berat dan lamanya serangan. 2. Meningkatkan respon pasien terhadap pengobatan.

3. Meningkatkan aktivitas sehari-hari, serta pengurangan disabili-tas.

Sedangkan indikasi terapi pencegahan adalah: 1. Serangan berulang dan mengganggu aktivitas.

2. Nyeri kepala sering terjadi (2 kali atau lebih dalam seminggu). 3. Ada kontraindikasi terhadap terapi akut.

4. Kegagalan terapi atau overuse.

5. Efek samping yang berat pada terapi akut. 6. Biaya untuk terapi akut dan pencegahan. 7. Keinginan yang diharapkan penderita.

8. Munculnya gejala-gejala dan kondisi yang luar biasa, misalnya migren basiler, hemiplegia, aura yang memanjang.

asam Valproat (antiepilepsi) sebagai Pencegahan mi-gren

Antiepilepsi sebagai antinyeri telah digunakan sejak tahun 1960. Beberapa mempunyai efek nyata pada nyeri neuropati, dan disertai bukti efektivitasnya. Saat ini obat antiepilepsi telah banyak digu-nakan sebagai pencegahan migren. Obat antiepilepsi yang dipakai untuk pencegahan migren adalah golongan valproat (asam/sodium) dan topiramat dengan bukti klinis A dan gabapentin dengan bukti klinis B.

Dalam percobaan telah terbukti selama serangan migren terjadi ketidakseimbangan konsentrasi neuron inhibisi (GABA) dan neuron eksitasi (glutamat dan aspartat) di dalam plasma. Valproat mening-katkan konsentrasi GABA di otak dengan jalan menghambat enzim GABA transaminase dan juga mengaktifkan enzim glutamat dekar-boksilase yang akan menurunkan kadar glutamat. Seperti yang telah diketahui bahwa saat terjadi serangan migren kadar glutamat me-ningkat, sesuai dengan teori hipereksitabilitas saat terjadinya sera-ngan migren. Valproat juga meningkatkan kadar asam homovanilik,

abstrak. Migren merupakan nyeri kepala primer yang cukup sering dijumpai. Serangan migren terkadang sangat menganggu baik kehidupan sosial maupun ekonomi penderita. Semakin sering terjadi serangan, kehidupan penderita akan semakin ter-ganggu, sehingga perlu diberikan terapi pencegahan. Beberapa obat yang bisa dipakai untuk pencegahan migren adalah: Ca blocker (flunarizin, nimodipin), penyekat beta (propanolol, timolol), antidepresan (amitriptilin, nortriptilin, flouxetin), antiepi-lepsi (asam valproat, gabapentin, topiramat). Artikel ini membahas satu kasus penderita migren yang mengalami perbaikan setelah diterapi dengan obat antiepilpepsi yaitu asam valproat.

Kata kunci: migren, pencegahan, asam valproat

case report

original article

(17)

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MED

I

CINUS

15

ekepalin yang berfungsi untuk transmisi nyeri di striatum, batang otak, hipotalamus dan korteks. Efek yang nyata dari valproat adalah penurunan ekstravasasi plasma saat terjadinya inflamasi neurogenik pada awal serangan migren dengan jalan interaksi dengan reseptor GABA. Percobaan pada binatang, valproat memblok c fos expression

dan neurogenic inflamation. Reseptor GABA juga terdapat di nukleus

raphe dorsalis, di mana aktivitasnya menurunkan firing rate neuron se-rotoninergik yang terlibat dalam serangan migren.

Pemberian asam valproat peroral cepat diabsorpsi dan kadar maksimal dalam serum tercapai setelah 1-3 jam. Dengan masa paruh 8-10 jam, kadar dalam darah stabil dalam 48 jam setelah terapi. Ekre-si sebagian besar lewat urin. Efek samping yang bisa terjadi adalah gangguan saluran cerna (mual, muntah dan anoreksia). Efek samping pada SSP adalah rasa mengantuk, ataksia, dan tremor.6

Dalam penelitian klinik efek sodium valproat sebagai profilaksis migren diketahui dari suatu percobaan randomized double-blind con-trol placebo dengan menggunakan dosis 800 mg, berhasil menurunkan frekuensi serangan migren sebanyak 44%, dibandingkan dengan plasebo. Pada penelitian lain dengan randomized control trial, dengan dosis sesuai dosis antiepilepsi (500-1000 mg), ternyata valprota menu-runkan 43% hari tanpa migren dibandingkan dengan plasebo, tetapi berat dan durasi serangan migren tidak dipengaruhi.7

Penelitian multicenter randomized, plasebo kontrol studi dari di-valproat pada penderita migren dengan atau tanpa aura. Dosis yang digunakan adalah dosis titrasi sampai dosis sesuai dengan dosis

untuk antiepilepsi, hasilnya yaitu divalproat mampu menurunkan frekuensi serangan migren sebanyak 39% jika dib

Gambar

Gambar 1. Spektrum klinis infeksi virus Dengue8
Gambar 3. Patogenesis dan spektrum klinis DBD (WHO, 1997)5
Gambar 5. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat5
Gambar 7. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa5
+7

Referensi

Dokumen terkait

UPAYA BARACK OBAMA DALAM MENGATASI CITRA BURUK AMERIKA SERIKAT DI DUNIA ISLAM AKIBAT ISLAMOPHOBIA DI..

Untuk meningkatkan ROA maka diperlukan intellectual capital (IC) yang merupakan komponen dari aset tidak berwujud yang berupa ilmu pengetahuan atau daya pikir,

Tindak lanjut atas resolusi tersebut menjadikan masing-masing negara memberikan batasan, definisi, tipologi teror, dan pengaturan penanggulangan terorisme ke dalam

 Teknik Operasi P eknik Operasi Pengeboran Lepas P engeboran Lepas Pantai, Peralat antai, Peralatan, dan Instalasinya an, dan Instalasinya Page 1.

Keluarga paham tentang tanda bahaya yang dijelaskan dan mengerti tindakan yang harus segera dilakukan apabila itu terjadi. 10) Menjelaskan cara minum obat-obatan yang

Defect Cacat Preparation Pemotongan kurang rapi Kesalahan pembacaan marking Kurangnya keahlian operator Mesin tidak beroperasi dengan baik Jarang dilakukan perawatan

Oleh sebab itu, pendapatan yang diperkirakan lebih rendah tahun ini tampaknya akan diimbangi oleh penyesuaian belanja (dengan menurunkan belanja barang dan darurat) dan

Pada siklus II yang telah dilaksanakan, Penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe TGT dalam pembelajaran Matematika pada materi Aljabar dapat meningkatkan rata-rata aktivitas