• Tidak ada hasil yang ditemukan

“Update Management in Dengue Hemorrhagic Fever”

MED

I

CINUS

36

virus dengue di permukaan trombosit;

(2) kerusakan dinding endotel oleh virus dengue sehingga menyebabkan interaksi trom-bosit dengan kolagen suben-dotel sehingga terjadilah agre-gasi dan destruksi trombosit; (3) IL-6 menginduksi antibodi

IgM antitrombosit sehingga terjadilah destruksi trombos-it;

(4) manifestasi pendarahan pada DBD meningkatkan kebutu-han akan trombosit. Mani-festasi (nomor 3) menguatkan bahwa tidak perlu diberikan infus trombosit pada pederita DBD, karena pada akhirnya trombosit yang di berikan akan didestruksi dengan adanya antibodi antitrom-bosit.

Perjalanan penyakit dengue seperti lagu menghitung hari. Pada kasus dengue, kita meng-hitung hari, ada masa inkubasi (virus dengue ada dalam tubuh tapi tidak ada manifestasi klinis penyakit), fase akut (demam hari I-IV), dan fase kritis (hari V-VII), dan fase konvalesense. Proses plasma leakage hanya terjadi pada fase kritis, dan hanya terjadi dalam 24-48 jam. Untuk meng-identifikasi fase kritis perhatikan bahwa pada sekitar hari kelima demam sudah mulai turun, tetapi kematrokit makin meningkat, leu-kosit makin anjlok, dan trombosit juga makin anjlok. Leukopeni rata-rata selalu mendahului trom-bositopeni, dan trombositopeni mendahului plasma leakage.

Pemeriksaan serologi baru dapat terdeteksi setelah hari ke-lima, karena disitu kemungkinan besar konsentrasi antibodi cukup di atas batas deteksi alat. Sedang-kan pemeriksaan antigen NS1 dapat dilakukan dari H-1 sam-pai dengan hari keempat, kadar optimal NS1 adalah pada hari ketiga. Pemeriksaan antigen NS1 ada dua, yaitu dengan ELISA dan

rapid test. Pemeriksaan de-ngan ELISA lebih akurat tetapi mem-butuhkan waktu yang lama (4 jam). Sedangkan pemeriksaan dengan rapid test hanya mebu-tuhkan waktu 5 menit.

NS1 merupakan non structure

protein yang terdapat pada per-mukaan virus, merupakan an-tigen yang letaknya paling luar

sehingga paling mudah terde-teksi dan merupakan biang kerok utama manifestasi respon imun yang telah diterangkan sebelum-nya. Dr. Leonard sempat bertemu dengan penemu alat rapid test un-tuk NS1 ini, dan menurut sang penemu hari ketiga merupakan puncak kadar NS1 sehingga pa-ling memungkinkan deteksi NS1 pada hari itu. Akan tetapi setelah hari kelima, jumlah antigen sudah menurun sampai tidak bisa terde-teksi. Untuk antibodi, dapat dide-teksi setelah kelima demam.

Pemeriksaan NS1 tidak bisa menggantikan pemeriksaan an-tibodi. Akan tetapi tidak dapat menentukan infeksi yang terjadi primer atau sekunder. Kita juga telah melupakan uji tourniquet. Padahal uji tourniquet merupa-kan uji yang paling sederhana dan spesifik untuk DBD.

dr. Leonard menutup pre-sentasi dengan menekankan per-bedaan antara demam dengue dengan demam berdarah dengue, pada DBD sudah pasti terjadi plasma leakage, sedangkan pada demam dengue tidak terjadi. Acara dilanjutkan kembali den-gan presentasi yang akan disam-paikan oleh dr. Kie Chen, SpPD, KPTI, yaitu mengenai:

Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue

Dr. Kie Chen memulai dengan penekanan bahwa Indonesia merupakan endemik demam ber-darah dengue (DBD) dan pada de-mam berdarah terjadi kebocoran plasma.

Terapi pada demam berdarah adalah terapi suportif. Yaitu mem-berikan cairan pengganti sampai respon imunologi itu berhenti. Kematian yang terjadi 1%.

Penetapan kasus DHF menu-rut WHO pada tahun 1997, yaitu: - Demam atau pernah demam,

dalam 2-7 hari terakhit, dan bi-asanya biphasic.

- Trombositopenia (<100.000/ mm3)

- Test tourniquet positif

- Petecheae, ecchymoses, atau pur-pura.

- Pendarahan di mukosa, saluran GI, tempat injeksi, atau lokasi lainnya.

- Hematemesis atau melena. - Kejadian kebocoran plasma:

peningkatan hematokrit >20%,

penurunan hematokrit setelah pemberian cairan pengganti >20% terhadap baseline. - Tanda-tanda kebocoran plasma

lainnya: efusi pleura, asites, dan hipoproteinemia.

Tatalaksana DHF umumnya adalah tatalaksana yang bersifat suportif. Kita tidak mempunyai obat-obat yang bisa menyetop proses imunologi yang terjadi. Tetapi kebocoran plasma akibat respon imunologi akan berhenti dengan sendiri. Umumnya yang diberikan kepada pasien adalah cairan pengganti cairan tubuh, istirahat yang cukup, nutrisi. Selain itu diberikan pula obat an-tipiretik, akan tetapi hindari pem-berian aspirin dan NSAID karena obat-obat tersebut dapat memicu pendarahan. Hal yang paling penting juga dalam tatalaksana DHF adalah

1. monitoring tanda-tanda shock, bi-asanya selama fase afebril (hari ke-4-6);

2. monitoring kesadaran, denyut nadi, dan tekanan darah; 3. monitoring hematokrit (Ht) dan

jumlah platelet.

Kita memiliki beberapa pilihan cairan. WHO menuliskan pem-berian cairan kristaloid, yaitu cairan yang mengandung elek-trolit. Sebaiknya jangan berikan cairan maintenance yang seperti dekstrosa dan cairan lainnya un-tuk nutrisi, karena cairan-cairan

tersebut tidak bisa bertahan dalam kapiler dalam waktu yang lama. Cairan itu umumnya akan keluar dari pembuluh darah. Memang pemberian koloid belum direko-mendasikan pada protokol WHO. Tapi koloid dengan molekul yang lebih besar dapat bertahan lebih lama dalam plasma. Kita belum ada data untuk pemakaian koloid pada DHF I/II. Tetapi untuk DHF yang mengalami shock sudah ada penelitian yang dilakukan.

Prinsip tatalaksana pemberian cairan: volume cairan yang diberi-kan merupadiberi-kan jumlah defisit cairan tubuh ditambah deng-an jumlah cairan yang diperlukan untuk maintenance.

Formula:

Need of fluid / day

= Fluid deficit + maintenance

5% BW deficit

= (5% x BW x 1000) mL

Maintenance

= 1500 + 20 x [BW(kg) - 20] Pemberian cairan harus disesuaikan sesuai dengan kondisi klinis pasien, evaluasi kondisi vi-tal Ht dilakukan setiap 4 jam seka-li. Jangan sampai terjadi kelebihan cairan.

Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi Dengue di Sarana Pela-yanan Kesehatan Depkes 2005 Berikut adalah tatalaksana DHF dengan peningkatan Ht >20%:

MED

I

CINUS

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

37

Tatalaksana renjatan

Pada kesempatan ini, dipaparkan secara singkat hasil penelitian

“An Open Pilot Study of the Ef-ficacy and Safety of Polygeline

(Haemaccell®) in Adult Subjects with Dengue Hemorrhagic Fe-ver” yang diteliti oleh Herdiman J Pohan, Khie Chen Lie, Widayat Djoko Santaso, Suhandro, dan Eppy dengan sponsor PT Dexa Medica.

Terapi cairan pada pende-rita demam berdarah tahap I/II memiliki beberapa problema, se-bagai berikut:

1. terjadinya hemokonsentrasi selama terapi cairan pengganti sehingga dibutuhkan lebih ba-nyak cairan;

2. terjadi akumulasi cairan pada rongga-rongga tubuh seperti pleural efusi, asites, dan udem pada kadnung kemih.

Problema ini memunculkan kebutuhan akan adanya cairan pengganti yang dapat bertahan lebih lama dalam intravaskular, mudah diekskresi, lebih aman untuk organ tubuh (misal ginjal),

memiliki pengaruh yang minimal terhadap sistem koagulasi, dan

less allergic potential.

Haemaccell® adalah cairan koloid yang memiliki kompo-sisi polygeline yang diperoleh dari tulang rawan sapi. Kandun-gan koloid yang memiliki Berat Molekul lebih besar dibanding cairan kristaloid memungkinkan Haemaccell® bertahan dalam in-travaskular lebih lama, dan apa-bila dibandingkan dengan cairan koloid lainnya, berat molekul

polygeline adalah yang paling kecil

sehingga lebih mudah diekskresi, lebih aman bagi ginjal, minimal mempengaruhi sistem koagulasi, dan kemungkinan menyebabkan alergi kecil.

Hasil dari penelitian pilot dari Haemaccell® ini menunjukkan bahwa Haemaccell® aman dan efektif digunakan sebagai terapi cairan pada pasien demam berda-rah tahap I/II. Uji klinis kompara-tif dengan jumlah subjek yang lebih besar akan dilakukan untuk menegaskan efikasi dan keamanan Haemaccell®.

Beberapa Hasil Diskusi Round Table Discussion

Transfusi trombosit hanya diberi-kan pada kondisi pendarahan dan tidak pernah diberikan untuk pro-filaksis. Dalam beberapa peneli-tian yang telah dilakukan Dr. Kie Chen, SpPD, KPTI dkk, rendah-nya jumlah trombosit ti-dak selalu menimbulkan pendarahan. Yang penting adalah selalu monitoring, pendarahan tidak akan terjadi tan-pa diketahui. Bila terjadi epistaksis namun hemodinamik stabil, nadi tidak cepat, tidak gelisah, Ht nor-mal, maka tidak diberikan pembe-rian trombosit. Namun bila yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu: pasien gelisah, hemodinamik tid-ak stabil, Ht turun, adanya nyeri yang hebat pada abdomen, terasa mual yang hebat, barulah pem-berian transfusi trombosit harus dipertimbangkan.

Apakah benar alat diagnostik NS1 berguna? Karena biayanya mahal sekali. Filosofi NS1 rapid test: mendeteksi sedini mungkin. Dibutuhkan di daerah endemik seperti di Indonesia. Tapi untuk pasien menengah ke bawah, bia-sanya dilakukan deteksi dini dari kadar leukosit. Ingat leucopenia

mendahului trombositopenia. Ra-pid test NS1 sekarang bisa false posi-tive. Tapi sekarang sedang diteliti untuk menghindari false positive.

Kemudian acara diakhiri dengan penutupam oleh modera-tor (Dr. Tunggul D Situmorang, SpPD, KGH) dengan applause me-riah dari peserta. Wila, Taufik, Ana, Natalia, Lydia

MED

I

CINUS

MED

I

CINUS

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MED

Dokumen terkait