• Tidak ada hasil yang ditemukan

Referat Pengaruh Terapi Hiperbarik Oksigen Terhadap Vertigo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Referat Pengaruh Terapi Hiperbarik Oksigen Terhadap Vertigo"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

REFERAT

PENGARUH TERAPI HIPERBARIK OKSIGEN TERHADAP

VERTIGO

Penyusun :

Ricky Rachmano F. 2009.04.0.0106

Jenny 2009.04.0.0112

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH RSAL dr. RAMELAN SURABAYA

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul referat “Pengaruh Terapi Hiperbarik Oksigen Terhadap Vertigo” telah diperiksa dan disetujui sebagai salah satu tugas baca dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter Muda di bagian LAKESLA.

Mengetahui, Pembimbing

(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkah dan rahmatNya, kami bisa menyelesaikan referat dengan topik “Pengaruh Terapi Hiperbarik Oksigen Terhadap Vertigo” dengan lancar. Referat ini disusun sebagai salah satu tugas wajib untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik di bagian LAKESLA RSAL dr. RAMELAN Surabaya, dengan harapan dapat dijadikan sebagai tambahan ilmu yang bermanfaat bagi pengetahuan penulis maupun pembaca.

Dalam penulisan dan penyusunan referat ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak, untuk itu kami mengucapkan terima kasih kepada:

a. dr. , selaku Pembimbing Referat.

b. Para dokter di bagian LAKESLA RSAL dr. RAMELAN Surabaya. c. Para perawat dan pegawai di LAKESLA RSAL dr. RAMELAN

Surabaya.

Kami menyadari bahwa referat yang kami susun ini masih jauh dari kesempurnaan, maka saran dan kritik yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan. Semoga referat ini dapat memberi manfaat.

Surabaya, Juni 2015

(4)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN...i

KATA PENGANTAR...ii

DAFTAR ISI...iii

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang...1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...2

2.1 Vertigo...2

2.1.1 Definisi...2

2.1.2 Epidemiologi...2

2.1.3 Etiologi...3

2.1.4 Klasifikasi...4

2.1.5 Patofisiologi...7

2.1.6 Gejala klinis...10

2.1.7 Pemeriksaan fisik...14

2.1.8 Pemeriksaan penunjang...20

2.1.9 Diagnosis...20

2.1.10 Penatalaksanaan...20

2.1.10.1 Medikasi...21

2.1.10.2 Terapi fisik...23

2.2 Terapi Hiperbarik Oksigen...25

2.2.1 Pengertian...25

2.2.2 Hyperbarik chamber...26

2.2.3. Fisiologi terapi hiperbarik oksigen...26

2.2.4 Manfaat...29

2.2.5 Indikasi...30

2.2.6 Kontraindikasi...33

2.2.7 Komplikasi...35

2.3 Pengaruh Terapi HBO Terhadap Vertigo...37

(5)
(6)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Vertigo adalah halusinasi gerakan lingkungan sekitar serasa berputar mengelilingi pasien atau pasien serasa berputar mengelilingi lingkungan sekitar. Vertigo tidak selalu sama dengan dizziness. Dizziness adalah sebuah istilah non spesifik yang dapat dikategorikan ke dalan 4 subtipe tergantung gejala yang digambarkan oleh pasien. (Sura, D.J., 2010).

Terdapat empat tipe dizziness yaitu vertigo, lightheadedness, presyncope, dan disequilibrium. Yang paling sering adalah vertigo yaitu sekitar 54% dari keluhan dizziness yang dilaporkan pada primary care. (Lempert, T., 2009).

(7)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Vertigo

2.1.1 Definisi

Vertigo adalah halusinasi gerakan lingkungan sekitar serasa berputar mengelilingi pasien atau pasien serasa berputar mengelilingi lingkungan sekitar. Vertigo tidak selalu sama dengan dizziness. Dizziness adalah sebuah istilah non spesifik yang dapat dikategorikan ke dalan 4 subtipe tergantung gejala yang digambarkan oleh pasien. Dizziness dapat berupa vertigo, presinkop (perasaan lemas disebabkan oleh berkurangnya perfusi cerebral), light-headness, disequilibrium (perasaan goyang atau tidak seimbang ketika berdiri). (Sura, D.J., 2010).

Vertigo berasal dari bahasa Latin vertere yang artinya memutar merujuk pada sensasi berputar sehingga mengganggu rasa keseimbangan seseorang, umumnya disebabkan oleh gangguan pada sistim keseimbangan. (Labuguen, 2006).

2.1.2 Epidemiologi

Vertigo merupakan gejala yang sering didapatkan pada individu dengan prevalensi sebesar 7%. Beberapa studi telah mencoba untuk menyelidiki epidemiologi dizziness, yang meliputi vertigo dan non vestibular dizziness. Dizziness telah ditemukan menjadi keluhan yang paling sering diutarakan oleh pasien, yaitu sebesar 20-30% dari populasi umum. Dari keempat jenis dizziness vertigo merupakan yang paling sering yaitu sekitar 54%. Pada sebuah studi mengemukakan vertigo lebih banyak ditemukan pada wanita disbanding pria (2:1), sekitar 88% pasien mengalami episode rekuren. (Lempert, T., 2009).

(8)

iskemik, dan 1,5% diantaranya terjadi di serebelum. Rasio stroke iskemik serebelum dibandingkan dengan stroke perdarahan serebelum adalah 3-5: 1. Sebanyak 10% dari pasien infark serebelum, hanya memiliki gejala vertigo dan ketidakseimbangan. Insidens sklerosis multiple berkisar diantara 10-80/ 100.000 per tahun.

Jenis kelamin pada insidens penyakit cerebrovaskular sedikit lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita. Dalam satu seri pasien dengan infark serebelum, rasio antara penderita pria dibandingkan wanita adalah 2:1.

Vertigo sentral biasanya diderita oleh populasi berusia tua karena adanya faktor resiko yang berkaitan, diantaranya hipetensi, diabetes melitus, atherosclerosis, dan stroke. Rata-rata pasien dengan infark serebelum berusia 65 tahun, dengan setengah dari kasus terjadi pada mereka yang berusia 60-80 tahun. Dalam satu seri, pasien dengan hematoma serebelum rata-rata berusia 70 tahun. (Lempert, T., 2009).

2.1.3 Etiologi

Vertigo merupakan suatu gejala,sederet penyebabnya antara lain akibat kecelakaan, stres, gangguan pada telinga bagian dalam, obat-obatan, terlalu sedikit atau banyak aliran darah ke otak dan lain-lain. Tubuh merasakan posisi dan mengendalikan keseimbangan melalui organ keseimbangan yang terdapat di telinga bagian dalam. Organ ini memiliki saraf yang berhubungan dengan area tertentu di otak. Vertigo bisa disebabkan oleh kelainan di dalam telinga, di dalam saraf yang menghubungkan telinga dengan otak dan di dalam otaknya sendiri. (Arsyad, 2010).

Keseimbangan dikendalikan oleh otak kecil yang mendapat informasi tentang posisi tubuh dari organ keseimbangan di telinga tengah dan mata. Penyebab umum dari vertigo:

(9)

c. Kelainan telinga : endapan kalsium pada salah satu kanalis semisirkularis di dalam telinga bagian dalam yang menyebabkan benign paroxysmal positional

d. infeksi telinga bagian dalam karena bakteri, labirintis, penyakit maniere,

e. peradangan saraf vestibuler, herpes zoster.

f. Kelainan Neurologis : Tumor otak, tumor yang menekan saraf vestibularis, sklerosis multipel, dan patah tulang otak yang disertai cedera pada labirin, persyarafannya atau keduanya.

g. Kelainan sirkularis : Gangguan fungsi otak sementara karena berkurangnya aliran darah ke salah satu bagian otak ( transient ischemic attack ) pada arteri vertebral dan arteri basiler. (Mamil, 2011).

Penyebab vertigo dapat berasal dari perifer yaitu dari organ vestibuler sampai ke inti nervus VIII sedangkan kelainan sentral dari inti nervus VIII sampai ke korteks.

2.1.4 Klasifikasi

Vertigo dapat diklasifikasikan menjadi :

a. Sentral diakibatkan oleh kelainan pada batang otak atau cerebellum

b. Perifer disebabkan oleh kelainan pada telinga dalam atau nervus cranialis vestibulocochlear (N. VIII).

c. Medical vertigo dapat diakibatkan oleh penurunan tekanan darah, gula darah yang rendah, atau gangguan metabolic karena pengobatan atau infeksi sistemik. (Lempert, 2009).

A. Vertigo Perifer

Terdapat tiga jenis vertigo perifer yang paling sering dialami yaitu : 1. Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV)

(10)

rata-rata 51 tahun. (Arsyad, 2010).Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) disebabkan oleh pergerakan otolit dalan kanalis semisirkularis pada telinga dalam. Hal ini terutama akan mempengaruhi kanalis posterior dan menyebabkan gejala klasik tapi ini juga dapat mengenai kanalis anterior dan horizontal. Otoli mengandung Kristal-kristal kecil kalsium karbonat yang berasal dari utrikulus telinga dalam. Pergerakan dari otolit distimulasi oleh perubahan posisi dan menimbulkan manifestasi klinik vertigo dan nistagmus. (Kovar, 2006).

Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) biasanya idiopatik tapi dapat juga diikuti trauma kepala, infeksi kronik telinga, operasi dan neuritis vestibular sebelumny, meskipun gejala benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) tidak terjadi bertahun-tahun setelah episode. (Kovar, 2006).

2. Ménière’s disease

Ménière’s disease ditandai dengan vertigo yang intermiten diikuti dengan keluhan pendengaran. (Antunes, 2009). Gangguan pendengaran berupa tinnitus (nada rendah), dan tuli sensoris pada fluktuasi frekuensi yang rendah, dan sensasi penuh pada telinga. 10 Ménière’s disease terjadi pada sekitar 15% pada kasus vertigo otologik. Ménière’s disease merupakan akibat dari hipertensi endolimfatik. Hal ini terjadi karena dilatasi dari membrane labirin bersamaan dengan kanalis semisirularis telinga dalam dengan peningkatan volume endolimfe. Hal ini dapat terjadi idiopatik atau sekunder akibat infeksi virus atau bakteri telinga atau gangguan metabolic. (Mark, 2008).

3. Vestibular Neuritis

(11)

sama disertai dengan tinnitus atau penurunan pendengaran. Keduanya terjadi pada sekitar 15% kasus vertigo otologik. (Antunes, 2009).

B. Vertigo Sentral

Beberapa penyakit yang dapat menimbulkan vertigo sentral : 1. Migraine

Selby and Lance (1960) menemukan vertigo menjadi gejala yang sering dilaporkan pada 27-33% pasien dengan migraine.. Sebelumnya telah dikenal sebagai bagian dari aura (selain kabur, penglihatan ganda dan disarthria) untuk basilar migraine dimana juga didapatkan keluhan sakit kepala sebelah. Vertigo pada migraine lebih lama dibandingkan aura lainnya, dan seringkali membaik dengan terapi yang digunakan untuk migraine.

2. Vertebrobasilar insufficiency

Vertebrobasilar insufficiency biasanya terjadi dengan episode rekuren dari suatu vertigo dengan onset akut dan spontan pada kebanyakan pasien terjadi beberapa detik sampai beberapa menit. Lebih sering pada usia tua dan pada paien yang memiliki factor resiko cerebrovascular disease. Sering juga berhungan dengan gejala visual meliputi inkoordinasi, jatuh, dan lemah. Pemeriksaan diantara gejala biasanya normal.

3. Tumor Intrakranial

(12)

didaptkan riwayat gejala neurologia yang lain dan jarang vertigo tanpa gejala neurologia lainnya. (Mark, 2008).

Tabel 2.1 Perbedaan vertigo sentral dan perifer

Ciri-ciri Vertigo Perifer Vertigo Sentral

Gejala gangguan SSP Tidak ada Diantaranya :diplopia, parestesi,

(13)

sistem ini adalah susunan vestibuler atau keseimbangan, yang secara terus menerus menyampaikan impulsnya ke pusat keseimbangan. Susunan lain yang berperan ialah sistem optik dan pro-prioseptik, jaras-jaras yang menghubungkan nuklei vestibularis dengan nuklei N.III,IV dan VI, susunan vestibuloretikularis, dan vestibulospinalis. Informasi yang berguna untuk keseimbangan tubuh akan ditangkap oleh reseptor vestibuler, visual, dan proprioseptik; reseptor vestibuler memberikan kontribusi paling besar, yaitu lebih dari 50 % disusul kemudian reseptor visual dan yang paling kecil kontribusinya adalah proprioseptik. (Kovar, 2006).

Dalam kondisi fisiologis/normal, informasi yang tiba di pusat integrasi alat keseimbangan tubuh berasal dari reseptor vestibuler, visual dan proprioseptik kanan dan kiri akan diperbandingkan, jika semuanya dalam keadaan sinkron dan wajar, akan diproses lebih lanjut. Respons yang muncul berupa penyesuaian otot-otot mata dan penggerak tubuh dalam keadaan bergerak. Di samping itu orang menyadari posisi kepala dan tubuhnya terhadap lingkungan sekitar. Jika fungsi alat keseimbangan tubuh di perifer atau sentral dalam kondisi tidak normal/ tidak fisiologis, atau ada rangsang gerakan yang aneh atau berlebihan, maka proses pengolahan informasi akan terganggu, akibatnya muncul gejala vertigo dan gejala otonom. Di samping itu, respons penyesuaian otot menjadi tidak adekuat sehingga muncul gerakan abnormal yang dapat berupa nistagmus, unsteadiness, ataksia saat berdiri/ berjalan dan gejala lainnya. (Chain, 2009).

Ada beberapa teori yang berusaha menerangkan kejadian ketidakseimbangan tubuh :

a. Teori rangsang berlebihan (overstimulation)

Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan menyebabkan hiperemi kanalis semisirkularis sehingga fungsinya terganggu; akibatnya akan timbul vertigo, nistagmus, mual dan muntah.

(14)

Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang berasal dari berbagai reseptor sensorik perifer yaitu antara mata/visus, vestibulum dan proprioseptik, atau ketidakseimbangan/asimetri masukan sensorik dari sisi kiri dan kanan. Ketidakcocokan tersebut menimbulkan kebingungan sensorik di sentral sehingga timbul respons yang dapat berupa nistagmus (usaha koreksi bola mata), ataksia atau sulit berjalan (gangguan vestibuler, serebelum) atau rasa melayang, berputar (yang berasal dari sensasi kortikal). Berbeda dengan teori rangsang berlebihan, teori ini lebih menekankan gangguan proses pengolahan sentral sebagai penyebab.

c. Teori neural mismatch

Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik; menurut teori ini otak mempunyai memori/ingatan tentang pola gerakan tertentu; sehingga jika pada suatu saat dirasakan gerakan yang aneh/tidak sesuai dengan pola gerakan yang telah tersimpan, timbul reaksi dari susunan saraf otonom. Jika pola gerakan yang baru tersebut dilakukan berulang-ulang akan terjadi mekanisme adaptasi sehingga berangsur-angsur tidak lagi timbul gejala.

d. Teori otonomik

Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebagai usaha adaptasi gerakan/perubahan posisi, gejala klinis timbul jika sistim simpatis terlalu dominan, sebaliknya hilang jika sistim parasimpatis mulai berperan.

e. Teori neurohumoral

Di antaranya teori histamin (Takeda), teori dopamin (Kohl) dan teori serotonin (Lucat) yang masing-masing menekankan peranan neurotransmiter tertentu dalam mempengaruhi sistim saraf otonom yang menyebabkan timbulnya gejala vertigo.

f. Teori sinap

(15)

menimbulkan stres yang akan memicu sekresi CRF (corticotropin releasing factor), peningkatan kadar CRF selanjutnya akan mengaktifkan susunan saraf simpatik yang selanjutnya mencetuskan mekanisme adaptasi berupa meningkatnya aktivitas sistim saraf parasimpatik. Teori ini dapat menerangkan gejala penyerta yang sering timbul berupa pucat, berkeringat di awal serangan vertigo akibat aktivitas simpatis, yang berkembang menjadi gejala mual, muntah dan hipersalivasi setelah beberapa saat akibat dominasi aktivitas susunan saraf parasimpatis.

2.1.6 Gejala klinis

Gejala klinis pasien dengan dizziness dan vertigo dapat berupa gejala primer, sekunder ataupun gejala non spesifik. Gejala primer diakibatkan oleh gangguan pada sensorium. Gejala primer berupa vertigo, impulsion, oscilopsia, ataxia, gejala pendengaran. Vertigo, diartikan sebagai sensasi berputa. Vertigo dapat horizontal, vertical atau rotasi. Vertigo horizontal merupa tipe yang paling sering, disebabkan oleh disfungsi dari telinga dalam. Jika bersamaan dengan nistagmus, pasien biasanya merasakan sensasi pergerakan dari sisi yang berlawanan dengan komponen lambat. Vertigo vertical jarang terjadi, jika sementara biasanya disebabkan oleh BPPV. Namun jika menetap, biasanya berasal dari sentral dan disertai dengan nistagmus dengan gerakan ke bawah atau ke atas. Vertigo rotasi merupakan jenis yang paling jarang ditemukan. Jika sementara biasnaya disebabakan BPPV namun jika menetap disebabakan oleh sentral dan biasanya disertai dengan rotator nistagmus.

Impulsi diartikan sebagai sensasi berpindah, biasanya dideskrepsikan sebagai sensasi didorong atau diangkat. Sensasi impulse mengindikasi disfungsi apparatus otolitik pada telinga dalam atau proses sentral sinyal otolit.

(16)

untuk membuka kedua matanya. Sedangkan pasien dnegan unilateral vestibular loss akan mengeluh dunia seakan berputar ketika pasien menoleh pada sisi telinga yang mengalami gangguan. (Kovar, 2006).

Ataksia adalah ketidakstabilan berjalan, biasnaya universal pada pasien dengan vertigo otologik dan sentral.Gejala pendengaran biasanya berupa tinnitus, pengurangan pendengaran atau distorsi dan sensasi penuh di telinga.12Gejala sekunder meliputi mual, gejala otonom,

kelelahan, sakit kepala, dan sensiivitas visual.

Gejala nonspesifik berupa giddiness dan light headness. Istilah ini tidak terlalu memiliki makna pada penggunaan biasanya. Jarang dignkan pada pasien dengan disfungsi telinga namun sering digunakan pada pasien vertigo yang berhubungan dengan problem medik. (Kovar, 2006). Suatu informasi penting yang didapatkan dari anamnesis dapat digunakan untuk membedakan perifer atau sentral meliputi:

Karekteristk dizziness

Perlu ditanyakan mengenai sensasi yang dirasakan pasien apakah sensasi berputar, atau sensasi non spesifik seperti giddiness atau liht headness, atau hanya suatu perasaan yang berbeda (kebingungan).

Keparahan

Keparahan dari suatu vertigo juga dapat membantu, misalnya: pada acute vestibular neuritis, gejala awal biasanya parah namun berkurang dalam beberapa hari kedepan. Pada Ménière’s disease, pada awalnya keparahan biasanya meningkat dan kemudian berkurang setelahnya. Sedangakan pasien mengeluh vertigo ynag menetap dan konstan mungkin memilki penyebab psikologis. (Labuguen, 2006).

Onset dan durasi vertigo

(17)

attack. Perbedaan onset dan durasi maisng-masing penyebab vertigo dapat dilihat pada table 4. (Lempert, 2009).

Vertigo sentral biasanya berkembang bertahap (kecuali pada vertigo sentral yang berasal dari vascular misalnya CVA). Lesi sentral biasanya menyebabkan tanda neurologis tambahan selain vertigonya, menyebabkan ketidakseimbnagan yang parah, nystagmus murni vertical, horizontal atau torsional dan tidak dapat dihambat oleh fiksasi mata pada objek.

Tabel 2.2 Perbedaan Durasi gejala untuk berbagai Penyebab vertigo Durasi episode Kemungkinan Diagnosis

(18)

berhubungan dnegan acute vestibular neutritis atau acute labyrhinti. Faktor yang mencetuskan migraine dapat menyebabkan vertigo jika pasien vertigo bersamaan dengan migraine. Vertigo dapat disebabkan oleh fistula perilimfatik. Fistula perimfatik dapat disebabkan oleh trauma baik langsung ataupun barotrauma, mengejan. Bersin atau gerakan yang mengakibatkan telinga ke bawah akan memprovokasi vertigo pada pasien dengan fistula perilimfatik. Adanya fenomena Tullio’s (nistagmus dan vertigo yang disebabkan suara bising pada frekuensi tertentu) mengarah kepada penyebab perifer.

Stress psikis yang berat dapat menyebabkan vertigo, menanyakan tentang stress psikologis atau psikiatri terutama pada pasien yang pada anamsesis tidak cocok dengan penyebab fisik vertigo manapun. (Labuguen, 2006).

Gejala Penyerta

Gejala penyerta berupa penurunan pendengaran, nyeri, mual, muntah dan gejala neurologis dapat membantu membedakan diagnosis peneybab vertigo. Kebanyakan penyebab vertigo dengan gangguan pendengaran berasal dari perifer, kecuali pada penyakit serebrovaskular yang mengenai arteri auditorius interna atau arteri anterior inferior cebellar. Nyeri yang menyertai vertigo dapat terjadi bersamaan dengan infeksi akut telinga tengah, penyakit invasive pada tulang temporal, atau iritasi meningeal. Vertigo sering bersamaan dengan muntah dan mual pada acute vestibular neuronitis dan pada meniere disease yang parah dan BPPV.

(19)

migraine misalnya sakit kepala yang tipikal (throbbing, unilateral, kadnag disertai aura), mual, muntah, fotofobia, dan fonofobia. 21-35 persen pasien dengan migraine mengeluhkan vertigo. (Labuguen, 2006).

2.1.7 Pemeriksaan fisik A. Pemeriksaan Neurologis

Pemeriksaan neurologis meliputi pemeriksaan nervus cranialis untuk mencari tanda paralisis nervus, tuli sensorineural, nistagmus. Nistagmus vertical 80% sensitive untuk lesi nucleus vestibular atau vermis cerebellar. Nistagmus horizontal yang spontan dengan atau tanpa nistagmus rotator konsisten dengan acute vestibular neuronitis. (Lempert, 2009).

B. Gait test

a) Romberg’s sign

Pasien dengan vertigo perifer memiliki gangguan keseimbangan namun masih dapat berjalan, sedangkan pasien dengan vertigo sentral memilki instabilitas yang parah dan seringkali tidak dapat berjalan. walaupun Romberg’s sign konsisten dengan masalah vestibular atau propioseptif, hal ini tidak dapat dgunakan dalam mendiagnosis vertigo. Pada sebuah studi, hanya 19% sensitive untuk gangguan vestibular dan tidak berhubungan dengan penyebab yang lebih serius dari dizziness (tidak hanya terbatas pada vertigo) misalnya drug related vertigo, seizure, arrhythmia, atau cerebrovascular event. (Labuguen, 2006).

(20)

kembali lagi, pada mata terbuka badan penderita tetap tegak. Sedangkan pada kelainan serebeler badan penderita akan bergoyang baik pada mata terbuka maupun pada mata tertutup.

Gambar 2.1 Uji Romberg

b) Heel-to- toe walking test c) Unterberger's stepping test

Pasien disuruh untuk berjalan spot dengan mata tertutup – jika pasien berputar ke salah satu sisi maka pasien memilki lesi labirin pada sisi tersebut. (Lempert, 2009).

(21)

Gambar 2.2 Uji Unterberger

d) Past-pointing test (Uji Tunjuk Barany)

Dengan jari telunjuk ekstensi dan lengan lurus ke depan, penderita disuruh mengangkat lengannya ke atas, kemudian diturunkan sampai menyentuh telunjuk tangan pemeriksa. Hal ini dilakukan berulang-ulang dengan mata terbuka dan tertutup. Pada kelainan vestibuler akan terlihat penyimpangan lengan penderita ke arah lesi.

(22)

C. Pemeriksaan untuk menentukan apakah letak lesinya di sentral atau perifer.

Tes fungsi vestibuler dengan Dix-Hallpike manoeuver yaitu dari posisi duduk di atas tempat tidur, penderita dibaringkan ke belakang dengan cepat, sehingga kepalanya meng-gantung 45º di bawah garis horisontal, kemudian kepalanya dimiringkan 45º ke kanan lalu ke kiri. Perhatikan saat timbul dan hilangnya vertigo dan nistagmus, dengan uji ini dapat dibedakan apakah lesinya perifer atau sentral. (Sura, D.J., 2010).

Perifer (benign positional vertigo) : vertigo dan nistagmus timbul setelah periode laten 2-10 detik, hilang dalam waktu kurang dari 1 menit, akan berkurang atau menghilang bila tes diulang-ulang beberapa kali (fatigue). Sentral : tidak ada periode laten, nistagmus dan vertigo ber-langsung lebih dari 1 menit, bila diulangulang reaksi tetap seperti semula (non-fatigue). (Arsyad, 2010).

(23)

D. Test hiperventilasi

Tes ini dilakukan jika pemeriksaan-pemeriksaan yang lain hasilnya normal. Pasien diinstruksikan untuk bernapas kuat dan dalam 30 kali. Lalu diperiksa nistagmus dan tanyakan pasien apakah prosedur ersebut menginduksi terjadinya vertigo. Jika pasien merasakan vertigo tanpa nistagmus maka didiagnosis sebagai sindrom hiperventilasi. Jika nistagmus terjadi setelah hiperventilais menandakan adanya tumor pada nervus VIII. (Arsyad, 2010).

E. Tes Kalori

Tes ini membutuhkan peralatan yang sederhana. Kepala penderita diangkat ke belakang (menengadah) sebanyak 60º. (Tujuannya ialah agar bejana lateral di labirin berada dalam posisi vertikal, dengan demikian dapat dipengaruhi secara maksimal oleh aliran konveksi akibat endolimf). Tabung suntik berukuran 20 mL dengan ujung jarum yang dilindungi oleh karet ukuran no 15 diisi dengan air bersuhu 30ºC (kirakira 7º di bawah suhu badan) air disemprotkan ke liang telinga dengan kecepatan 1 mL/detik, dengan demikian gendang telinga tersiram air selama kira-kira 20 detik.

Bola mata penderita segera diamati terhadap adanya nistagmus. Arah gerak nistagmus ialah ke sisi yang berlawanan dengan sisi telinga yang dialiri (karena air yang disuntikkan lebih dingin dari suhu badan) Arah gerak dicatat, demikian juga frekuensinya (biasanya 3-5 kali/detik) dan lamanya nistagmus berlangsung dicatat.Lamanya nistagmus berlangsung berbeda pada tiap penderita. Biasanya antara ½ - 2 menit. Setelah istirahat 5 menit, telinga ke-2 dites.

(24)

es 20 mL selama 30 detik. Bila ini juga tidak menimbulkan nistagmus, maka dapat dianggap bahwa labirin tidak berfungsi.6

Tes ini memungkinkan kita menentukan apakah keadaan labirin normal hipoaktif atau tidak berfungsi.

- Elektronistagmogram

Pemeriksaan ini hanya dilakukan di rumah sakit, dengan tujuan untuk merekam gerakan mata pada nistagmus, dengan demikian nistagmus tersebut dapat dianalisis secara kuantitatif.

- Posturografi

Dalam mempertahankan keseimbangan terdapat 3 unsur yang mempunyai peranan penting : sistem visual, vestibular, dan somatosensorik. Tes ini dilakukan dengan 6 tahap :

a. Pada tahap ini tempat berdiri penderita terfiksasi dan pandangan pun dalam keadaan biasa (normal).

b. Pandangan dihalangi (mata ditutup) dan tempat berdiri terfiksasi (serupa dengan tes romberg).

c. Pandangan melihat pemandangan yang bergoyang, dan ia berdiri pada tempat yang terfiksasi. Dengan bergeraknya yang dipandang, maka input visus tidak dapat digunakan sebagai patokan untuk orientasi ruangan.

d. Pandangan yang dilihat biasa, namun tumpuan untuk berdiri digoyang. Dengan bergoyangnya tempat berpijak, maka input somatosensorik dari badan bagian bawah dapat diganggu.

e. Mata ditutup dan tempat berpijak digayang.

f. Pandangan melihat pemandangan yang bergoyang dan tumpuan berpijak digoyang.

Dengan menggoyang maka informasi sensorik menjadi rancu (kacau, tidak akurat) sehingga penderita harus menggunakan sistem sensorik lainnya untuk input (informasi).

(25)

a. Tes garpu tala : Rinne, Weber, Swabach. Untuk membedakan tuli konduktif dan tuli perseptif

b. Audiometri : Loudness Balance Test, SISI, Bekesy Audiometry, Tone Decay.

2.1.8 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang pada vertigo meliputi tes audiometric, vestibular testing, evalusi laboratories dan evalusi radiologis.

Tes audiologik tidak selalu diperlukan. Tes ini diperlukan jika pasien mengeluhkan gangguan pendengaran. Namun jika diagnosis tidak jelas maka dapat dilakukan audiometric pada semua pasien meskipun tidak mengelhkan gangguan pendengaran.

Vestibular testing tidak dilakukan pada semau pasieen dengan keluhan dizziness . Vestibular testing membantu jika tidak ditemukan sebab yang jelas.

Pemeriksaan laboratories meliputi pemeriksaan elekrolit, gula darah, funsi thyroid dapat menentukan etiologi vertigo pada kurang dari 1 persen pasien.

Pemeriksaan radiologi sebaiknya dilakukan pada pasien dengan vertigo yang memiliki tanda dan gejala neurologis, ada factor resiko untuk terjadinya CVA, tuli unilateral yang progresif. MRI kepala mengevaluasi struktur dan integritas batang otak, cerebellum, dan periventrikular white matter, dan kompleks nervus VIII. (Antunes, 2009).

2.1.9 Diagnosis

(26)

2.1.10 Penatalaksanaan

2.1.10.1 Medikasi

Karena penyebab vertigo beragam, sementara penderita seringkali merasa sangat terganggu dengan keluhan vertigo tersebut, seringkali menggunakan pengobatan simptomatik. Lamanya pengobatan bervariasi. Sebagian besar kasus terapi dapat dihentikan setelah beberapa minggu. Beberapa golongan yang sering digunakan :

a. Antihistamin

Tidak semua obat antihistamin mempunyai sifat anti vertigo. Antihistamin yang dapat meredakan vertigo seperti obat dimenhidrinat, difenhidramin, meksilin, siklisin. Antihistamin yang mempunyai anti vertigo juga memiliki aktivitas anti-kholinergik di susunan saraf pusat. Mungkin sifat anti-kholinergik ini ada kaitannya dengan kemampuannya sebagai obat antivertigo. Efek samping yang umum dijumpai ialah sedasi (mengantuk). Pada penderita vertigo yang berat efek samping ini memberikan dampak yang positif. Beberapa antihistamin yang digunakan adalah :

1. Betahistin

Senyawa Betahistin (suatu analog histamin) yang dapat meningkatkan sirkulasi di telinga dalam, dapat diberikan untuk mengatasi gejala vertigo. Efek samping Betahistin ialah gangguan di lambung, rasa enek, dan sesekali “rash” di kulit.

- Betahistin Mesylate (Merislon)

Dengan dosis 6 mg (1 tablet) – 12 mg, 3 kali sehari per oral. - Betahistin di Hcl (Betaserc)

Dengan dosis 8 mg (1 tablet), 3 kali sehari. Maksimum 6 tablet dibagi dalam beberapa dosis.

2. Dimenhidrinat (Dramamine)

Lama kerja obat ini ialah 4 – 6 jam. Dapat diberi per oral atau parenteral (suntikan intramuscular dan intravena). Dapat diberikan dengan dosis 25 mg – 50 mg (1 tablet), 4 kali sehari. Efek samping ialah mengantuk.

(27)

Lama aktivitas obat ini ialah 4 – 6 jam, diberikan dengan dosis 25 mg vestibular mengandung banyak terowongan kalsium. Namun, antagonis kalsium sering mempunyai khasiat lain seperti anti kholinergik dan antihistamin. Sampai dimana sifat yang lain ini berperan dalam mengatasi vertigo belum diketahui.

- Cinnarizine (Stugerone)

Mempunyai khasiat menekan fungsi vestibular. Dapat mengurangi respons terhadap akselerasi angular dan linier. Dosis biasanya ialah 15 – 30 mg, 3 kali sehari atau 1 x 75 mg sehari. Efek samping ialah rasa mengantuk (sedasi), rasa cape, diare atau konstipasi, mulut rasa kering dan “rash” di kulit.

c. Fenotiazine

Kelompok obat ini banyak mempunyai sifat anti emetik (anti muntah). Namun tidak semua mempunyai sifat anti vertigo. Khlorpromazine (Largactil) dan Prokhlorperazine (Stemetil) sangat efektif untuk nausea yang diakibatkan oleh bahan kimiawi namun kurang berkhasiat terhadap vertigo.

- Promethazine (Phenergan)

Merupakan golongan Fenotiazine yang paling efektif mengobati vertigo. Lama aktivitas obat ini ialah 4 – 6 jam. Diberikan dengan dosis 12,5 mg – 25 mg (1 draze), 4 kali sehari per oral atau parenteral (suntikan intramuscular atau intravena). Efek samping yang sering dijumpai ialah sedasi (mengantuk), sedangkan efek samping ekstrapiramidal lebih sedikit disbanding obat Fenotiazine lainnya.

- Khlorpromazine (Largactil)

(28)

intramuscular atau intravena). Dosis yang lazim ialah 25 mg (1 tablet) – 50 mg, 3 – 4 kali sehari. Efek samping ialah sedasi (mengantuk).

d. Obat Simpatomimetik

Obat simpatomimetik dapat juga menekan vertigo. Salah satunya obat simpatomimetik yang dapat digunakan untuk menekan vertigo ialah efedrin.

- Efedrin

Lama aktivitas ialah 4 – 6 jam. Dosis dapat diberikan 10 -25 mg, 4 kali sehari. Khasiat obat ini dapat sinergistik bila dikombinasi dengan obat anti vertigo lainnya. Efek samping ialah insomnia, jantung berdebar (palpitasi) dan menjadi gelisah – gugup.

e. Obat Penenang Minor

Dapat diberikan kepada penderita vertigo untuk mengurangi kecemasan yang diderita yang sering menyertai gejala vertigo.efek samping seperti mulut kering dan penglihatan menjadi kabur.

- Lorazepam

Dosis dapat diberikan 0,5 mg – 1 mg - Diazepam

Dosis dapat diberikan 2 mg – 5 mg. f. Obat Anti Kholinergik

Obat antikolinergik yang aktif di sentral dapat menekan aktivitas sistem vestibular dan dapat mengurangi gejala vertigo.

- Skopolamin

Skopolamin dapat pula dikombinasi dengan fenotiazine atau efedrin dan mempunyai khasiat sinergistik. Dosis skopolamin ialah 0,3 mg – 0,6 mg, 3 – 4 kali sehari. (Swartz, 2005).

2.1.10.2 Terapi fisik

(29)

proprioseptifnya. Kadang-kadang obat tidak banyak membantu, sehingga perlu latihan fisik vestibular. Latihan bertujuan untuk mengatasi gangguan vestibular, membiasakan atau mengadaptasi diri terhadap gangguan keseimbangan. (Chain, 2009).

Tujuan latihan ialah :

1. Melatih gerakan kepala yang mencetuskan vertigo atau disekuilibrium untuk meningkatkan kemampuan mengatasinya secara lambat laun.

2. Melatih gerakan bola mata, latihan fiksasi pandangan mata. 3. Melatih meningkatkan kemampuan keseimbangan

Contoh latihan :

1. Berdiri tegak dengan mata dibuka, kemudian dengan mata ditutup. 2. Olahraga yang menggerakkan kepala (gerakan rotasi, fleksi,

ekstensi, gerak miring).

3. Dari sikap duduk disuruh berdiri dengan mata terbuka, kemudian dengan mata tertutup.

4. Jalan di kamar atau ruangan dengan mata terbuka kemudian dengan mata tertutup.

5. Berjalan “tandem” (kaki dalam posisi garis lurus, tumit kaki yang satu menyentuh jari kaki lainnya dalam melangkah).

6. Jalan menaiki dan menuruni lereng.

7. Melirikkan mata kearah horizontal dan vertikal.

8. Melatih gerakan mata dengan mengikuti objek yang bergerak dan juga memfiksasi pada objek yang diam.

Terapi Fisik Brand-Darrof

Ada berbagai macam latihan fisik, salah satunya adalah latihan

Brand- Darrof.

(30)

Gambar 6. Gerakan Brand-Darrof Keterangan Gambar:

1. Ambil posisi duduk.

1. Arahkan kepala ke kiri, jatuhkan badan ke posisi kanan, kemudian balik posisi duduk.

2. Arahkan kepala ke kanan lalu jatuhkan badan ke sisi kiri. Masing-masing gerakan lamanya sekitar satu menit, dapat dilakukan berulang kali.

3. Untuk awal cukup 1-2 kali kiri kanan, makin lama makin bertambah.

2.2 Terapi Hiperbarik Oksigen

2.2.1 Pengertian

Kesehatan hiperbarik adalah ilmu yang mempelajari tentang masalah kesehatan yang timbul akibat pemberian tekanan lebih dari 1 Atmosfer (Atm) terhadap tubuh dan aplikasinya untuk pengobatan (Hariyanto et al, 2009).

Kesehatan hiperbarik, khususnya terapi oksigen hiperbarik merupakan terapi yang sudah banyak digunakan untuk penyakit penyelaman maupun penyakit bukan penyelaman baik sebagai terapi utama maupun terapi tambahan (Hariyanto et al, 2009).

Yang dimaksud dengan terapi oksigen hiperbarik adalah tindakan pengobatan dimana pasien menghirup oksigen murni (100%) secara berkala ketika menyelam atau di dalam ruang udara yang bertekanan tinggi (RUBT) dengan tekanan lebih besar daripada 1 ATA ( Atmosfir Absolut) (Gill dan Bell, 2004; Hariyanto et al, 2009).

Tekanan 1 atmosfer (760 mmHg) adalah tekanan udara yang dialami oleh semua benda, termasuk manusia, diatas permukaan laut, bersifat tetap dari semua jurusan dan berada dalam keseimbangan (Hariyanto et al, 2009).

(31)

oksigen harus dilaksanakan secara hati-hati sesuai prosedur yang berlaku, sehingga mencapai hasil yang maksimal dengan resiko minimal (Hariyanto et al, 2009).

2.2.2 Hyperbarik chamber

Terapi oksigen hiperbarik pada suatu ruang hiperbarik (hyperbaric chamber) yang dibedakan menjadi 2, yaitu:

- Monoplace : pengobatan satu penderita

- Multiplace : pengobatan untuk beberapa penderita pada waktu bersamaan dengan bantuan masker tiap pasiennya

Pasien dalam suatu ruangan menghisap oksigen 100% bertekanan tinggi > 1 ATA. Tiap terapi diberikan selama 2-3 ATA, menghasilkan 6 ml oksigen terlarut dalam 100 ml plasma, dan durasi rata-rata terapi 60-90 menit. Jumlah terapi bergantung dari jenis penyakit. Untuk akut sekitar 3-5 kali dan untuk kasus kronik bisa mencapai 50-60 kali. Dosis yang digunakan pada perawatan tidak boleh lebih dari 3 ATA karena tidak aman untuk pasien dan mempunyai efek imunosupresif (Adityo, 2015).

2.2.3. Fisiologi terapi hiperbarik oksigen

Terdapat 3 hukum yang berperan dalam terapi oksigen hiperbarik, yaitu (Gill dan Bell, 2004; Hariyanto et al, 2009) :

 Hukum Boyle

Pada suhu tetap, tekanan berbanding terbalik dengan volume. P1V1 = P2V2 = P3V3...= K

(32)

Pada pasien yang tidak bisa secara independen melakukan ekualisasi tekanan, tympanostomy harus dipertimbangkan untuk menyediakan saluran antara bagian dalam dan ruang telinga bagian luar. Demikian pula, gas yang terperangkap dapat membesar dan membahayakan selama dekompresi, seperti pada pneumotoraks yang terjadi selama pemberian tekanan.

 Hukum Dalton

Tekanan total suatu campuran gas adalah sama dengan jumlah tekanan parsial dari masing – masing bagian gas.

P = P1 + P2 + P3 +...

 Hukum Henry

Jumlah gas terlarut dalam cairan atau jaringan berbanding lurus dengan tekanan parsial gas tersebut dalam cairan atau jaringan pada suhu yang tetap.

Ini adalah dasar teori untuk meningkatkan tekanan oksigen jaringan dengan pengobatan HBO. implikasi pada kasus dimana seseorang bernafas menggunakan oksigen 100% bertekanan tinggi, sehingga konsentrasi gas inert pada jaringan (terutama nitrogen) juga akan meningkat. Nitrogen dapat larut dalam darah dan juga dapat keluar dari plasma membentuk emboli gas arterial selama fase dekompresi.

(33)

2000 mmHg, dan tekanan oksigen jaringan menjadi sekitar 500 mmHg, dan hal ini memungkinkan pengiriman 60 ml oksigen per liter darah ( dibandingkan dengan 3 ml/l pada tekanan atmosfer ), yang cukup untuk mendukung jaringan beristirahat tanpa kontribusi dari hemoglobin. Karena oksigen terlarut banyak di dalam plasma maka dapat menjangkau daerah-daerah yang terhambat di mana sel-sel darah merah tidak bisa lewat, dan juga dapat mengaktifkan oksigenasi jaringan bahkan meskipun terdapat gangguan hemoglobin yang berperan dalam pengangkutan oksigen, seperti pada keracunan gas karbon monoksida dan anemia berat (Andrew, 2001; Gill dan Bell, 2004).

(2) peningkatan gradien difusi oksigen ke dalam jaringan. Tekanan partial oksigen yang tinggi dalam kapiler darah memberikan gradien yang besar untuk poses difusi oksigen dari darah ke jaringan. keadaan tersebut sangat berguna untuk jaringan yang hipoksia akibat angiopati mikrovaskular seperti pada diabetes dan radiation necrosis. Selain itu, HBO juga membantu menstimulasi angiogenesis dan mengatasi defek patologis primer karena penurunan infiltrasi leukosit dan vasokonstriksi dalam jaringan iskemik (Andrew, 2001; Gill dan Bell, 2004).

(3) vasokonstriksi arteriolar. Hyperoxic menyebabkan vasokonstriksi yang cepat dan signifikan pada sebagian besar jaringan. HBO juga biasanya meningkatkan resistensi vaskular sistemik, bradikardi serta menurunkan CO sebesar 10-20%, dengan Stroke Volume masih terpelihara. Meskipun demikian, hal ini masih dikompensasi oleh peningkatan pengangkutan oksigen plasma yang 2 kali lebih besar daripada biasanya (Gill dan Bell, 2004; Hariyanto et al, 2009).

(34)

(5) efek pada reperfusion injury. HBO menstimulasi pertahanan melawan radikal bebas oksigen dan peroksidase lipid yang terjadi. Pada reperfusion injury, leukosit menempel pada endotel venule, kemudian terjadi pengeluaran unidentified humoral mediators yang menyebabkan konstriksi arteriol lokal. HBO mencegah proses tersebut dengan memperbaiki hidup dari kulit atau bahkan tungkai yang diimplatasi (Andrew, 2001).

2.2.4 Manfaat

a. Meningkatkan konsentrasi oksigen pada seluruh jaringan tubuh, bahkan pada aliran darah yang berkurang

b. Merangsang pertumbuhan pembuluh darah baru untuk meningkatkan aliran darah pada sirkulasi yang berkurang

c. Mampu membunuh bakteri, terutama bakteri anaerob seperti Closteridium perfingens (penyebab penyakit gas gangren)

d. Mampu menghentikan aktivitas bakteri (bakteriostatik) antara lain bakteri E. coli dan Pseudomonas sp. yang umumnya ditemukan pada luka-luka mengganas.

e. Mampu menghambat produksi racun alfa toksin.

f. Meningkatkan viabilitas sel atau kemampuan sel untuk bertahan hidup.

g. Menurunkan waktu paruh karboksihemoglobin dari 5 jam menjadi 20 menit pada penyakit keracunan gas CO

h. Dapat mempercepat proses penyembuhan luka dengan pembentukan fibroblast

i. Meningkatkan produksi antioksidan tubuh tertentu j. Mereduksi ukuran bubble nitrogen

k. Mereduksi edema

l. menahan proses penuaan dengan cara pembentukan kolagen yang menjaga elastisitas kulit

(35)

2.2.5 Indikasi

Indikasi kondisi akut (di mana terapi HBO harus diberikan awal dan dikombinasikan dengan pengobatan konvensional) yaitu : (Sahni T, 2003)

1. Ulkus yang tidak mengalami penyembuhan, luka bermasalah, cangkok kulit yang mengalami reaksi penolakan.

Luka mempunyai masalah mendasar yaitu hipoksia jaringan dengan tekanan oksigen biasanya dibawah 20 mmHg, dan cenderung untuk terjadi infeksi. Dengan HBO 2-3 ATA selama 2 jam, oksigen meningkatkan vascular endothelial growth factor (VEGF) pada sel endotel. Melalui siklus krebs akan terjadi peningkatan NADH yang memicu fibroblast yang diperlukan untuk mensintesis kolagen pada proses remodelling. Selain itu, oksigen penting dalam hidroksilasi lisin dan prolin selama proses sintesis dan penyatuan kolagen. Pada bagian luka juga terdapat edema dan infeksi. Di bagian edema terdapat radikal bebas dalam jumlah besar, mengalami kondisi hipooksigenasi karena hipoperfusi. Pembentukan fibroblast akan mendorong terjadinya vasodilatasi sehingga terjadi hipervaskular, hiperseluler dan hiperoksia. Sedangkan infeksi diatasi oleh daya fagositosis leukosit, peningkatan pembentukan radikal bebas, kemudian mengaktifkan peroksidase.

2. Acute Traumatic Ischaemias (Crush injury, sindrom kompartemen, dll)

Pada kasus ini kemungkinan besar ekstrimitas terjadi nekrosis atau amputasi dan komplikasi sekunder untuk terjadi infeksi, luka yang tidak sembuh dan ununited fraktur. Penatalaksanaannya dengan cara pembedahan, antibiotik, serta terapi HBO sebagai terapi adjuvant. Mekanisme HBO terhadap kasus ini adalah dengan cara meningkatkan jumlah oksigen ke jaringan, mereduksi edema, serta memediasi efek reperfusion injury.

(36)

Clostridium welchii tidak dapat memproduksi toksin alfa ketika pasien menjalani HBO. Organisme tersebut tidak mati, toksin tidak dapat didetoksifikasi oleh HBO dan toksin dapat bertahan selama 30 menit. Selain HBO, pembedahan dan antibiotik (aminoglikosida, quinolones, sulfa, dan amfotericin B) juga penting dalam penatalaksanaannya.

4. Necrotizing Soft Tissue Infections (jaringan subkutan, otot, fascia) Penatalaksanaan primer berupa debridement dan pemberian antibiotik. Sedangkan HBO sebagai terapi tambahan dengan mekanisme kerja meningkatkan daya fagositas leukosit terhadap bakteri, menghambat pertumbuhan organisme anaerob, serta meningkatkan potensi reduksi oksidasi.

5. Kehilangan darah yang luar biasa (anemia)

HBO berperan dalam menyuplai oksigen yang cukup untuk menyokong kebutuhan dasar metabolik pada masing-masing jaringan tubuh sampai sel darah merah kembali normal.

6. Abses intrakranial

HBO meningkatkan suplai oksigen ke neuron yang iskemik, mereduksi edema, dan mengembalikan fleksibilitas eritrosit.

8. Luka bakar (Thermal Burns)

HBO berperan dalam mempertahankan jaringan yang masih viable, memperbaiki mikrosirkulasi, mengurangi edema, mempercepat epitelialisasi, dan menurunkan produksi laktat.

9. Tuli mendadak (sudden deafness)

10.Iskemik patologis pada mata (visual vascular pathology)

HBO berperan dalam mereduksi vasogenic edema pada retinal venous thrombosis.

(37)

12.Decompression sickness *

13.Keracunan gas karbon monoksida dan menghirup asap *

HBO pada tekanan 2,5 ATA mereduksi waktu paruh carboxyhemoglobin dari 4-5 jam menjadi 20 menit atau kurang sehingga mencegah delayed neuropsychological sequel dan terminasi biochemical deterioration.

Nb: * Kuratif / lini utama dari pengobatan

Indikasi kondisi kronis yaitu :

1. Ulkus yang tidak mengalami penyembuhan / luka bermasalah (diabetes / vena dll)

2. Radiasi yang menyebabkan kerusakan jaringan

HBO dapat menginduksi neovaskularisasi dan meningkatkan tekanan oksigen jaringan.

3. Cangkok kulit dan penutup (yang mengalami reaksi penolakan/rejection)

4. Osteomielitis kronis

Peran HBO dengan cara meningkatkan level oksigen pada tulang dan jaringan, menstimulasi angiogenesis, meningkatkan daya fagositosis, membantu efek aminoglikosid menembus dinding sel bakteri dan aktivitas osteoklast dalam menghilangkan tulang yang nekrosis.

2.2.6 Kontraindikasi

a. Kontraindikasi absolut:  Pneumothorax

Kontraindikasi absolut adalah pneumothorax yang belum dirawat, kecuali bila sebelum pemberian oksigen hiperbarik dapat dikerjakan tindakan bedah untuk mengatasi pneumothorax tersebut

 Keganasan

(38)

menjadi lebih buruk pada pemakaian oksigen hiperbarik untuk pengobatan dan termasuk kontraindikasi absolut kecuali pada keadaan-keadaan luar biasa. Namun penelitian-penelitian yang dikerjakan akhir-akhir ini menunjukan bahwa sel-sel ganas tidak tumbuh lebih cepat dalam suasana oksigen hiperbarik, biasanya secara bersama –sama juga menerima terapi radiasi atau kemoterapi.

 Kehamilan

Kehamilan juga dianggap kontraindikasi karena tekanan parsial oksigen yang tinggi berhubungan dengan penutupan patent ductus arteriosus sehingga pada bayi prematur secara teori dapat terjadi fibroplasia retrolental. Namun penelitian yang kemudian dikerjakan menunjukan bahwa komplikasi ini tidak terjadi.

b. Kontraindikasi relatif  ISPA

Menyulitkan penderita untuk melaksanakan ekualisasi. Dapat ditolong dengan penggunaan dekongestan atau melakukan miringotomi bilateral

 Sinusitis kronis

Sama dengan ISPA

 Penyakit kejang

Menyebabkan penderita lebih mudah terserang konvulsi oksigen. Bilamana perlu penderita dapat diberikan anti-konvulsan sebelumnya.

 Emfisema dengan retensi CO2

Ada kemungkinan bahwa penambahan oksigen lebih dari normal akan menyebabkan penderita secara spontan berhenti bernafas akibat rangsangan hipoksik. Pada penderita dengan penyakit paru yang disertai retensi CO2, terapi oksigen hiperbarik dapat dikerjakan bila penderita diintubasi atau memakai ventilator.

(39)

Merupakan predisposisi terjadinya konvulsi oksigen. Kemungkinan ini dapat diperkecil dengan pemberian obat antipiretik dan anti konvulsan.

 Riwayat penumothorax spontan

Penderita yang mengalami pneumothorax spontan dalam RUBT tunggal akan menimbulkan masalah tetapi di dalam RUBT kamar ganda dapat dilakukan pertolongan-pertolongan yang memadai. Sebab itu bagi penderita yang mempunyai riwayat diambil. Tetapi jelas dekompresi harus dilakukan secara lambat.

 Riwayat operasi telinga

Operasi pada telinga dengan penempatan kawat atau topangan plastik di dalam telinga setelah stapedoktomi, mungkin suatu kontraindikasi pemakaian oksigen hiperbarik sebab perubahan tekanan dapat mengganggu implan terseut konsultasi dengan spesialis THT perlu dilakukan.

 Kerusakan paru asimptomatis yang nampak secara radiologis

Memerlukan proses dekompresi yang sangat lambat. Menurut pengalaman, waktu dekompresi antara 5-10 menit tidak menimbulkan masalah.

 Infeksi virus

Pada percobaan binatang ditemukan bahwa infeksi virus akan lebih hebat bila binatang tersebut diberi oksigen hiperbarik. Dengan alasan ini dianjurkan agar penderita yang terkena salesma (common cold) menunda pengobatan dengan oksigen hiperbarik sampai gejala akut menghilang..

(40)

Pada keadaan ini butir-butir eritrosit sangat fragil dan pemberian oksigen hiperbarik dapat diikuti dengan hemolisis yang berat. Bila memang pengobatan hiperbarik mutlak diperlukan, keadaan ini tidak boleh jadi penghalang sehingga harus dipersiapkan langkah-langkah yang perlu untuk mengatasi komplikasi yang mungkin timbul.

 Riwayat neuritis optik

Pada beberapa penderita dengan riwayat neuritis optik terjadinya kebutaan dihubungkan dengan terapi oksigen hiperbarik. Namun kasus yang terjadi sangat sedikit. Tetapi jika ada penderita dengan riwayat neuritis optik diperkirakan mengalami gangguan penglihatan yang berhubungan dengan retina, bagaimanapun kecilnya pemberian oksigen hiperbarik harus segera dihentikan dan perlu konsultasi dengan ahli mata. (Hariyanto et al, 2009).

2.2.7 Komplikasi

Ketika digunakan dalam protokol standar tekanan yang tidak melebihi 3 ATA ( 300 kPa ) dan durasi pengobatan kurang dari 120 menit, terapi oksigen hiperbarik aman. Efek samping yang paling umum adalah:

a. Barotrauma telinga

Sebagai akibat dari ketidakmampuan untuk menyamakan tekanan di kedua sisi membran timpani akibat tuba eustachius tertutup. Barotrauma telinga tengah dan sinus dapat dicegah dengan teknik ekualisasi, dan otitis media dapat dicegah dengan pseudoephidrine. Barotrauma telinga dalam sangat jarang, tapi jika membran timpani ruptur dapat menyebabkan gangguan pendengaran permanen, tinnitus dan vertigo.

b. Barotrauma paru

Pneumotoraks dan emboli udara lebih berbahaya pada terapi ini. komplikasi akibat robek di pembuluh darah paru karena perubahan tekanan, tapi jarang terjadi.

(41)

Menyebabkan nyeri pada gigi yang berlubang akibat penekanan saraf.

d. Toksisitas oksigen

Toksisitas oksigen dapat dicegah dengan bernafas selama lima menit udara biasa di ruang udara bertekanan tinggi untuk setiap 30 menit oksigen . Hal ini memungkinkan antioksidan untuk menetralisir radikal oksigen bebas yang terbentuk selama terapi.

e. Gangguan neurologis

Meningkatkan potensi terjadinya kejang akibat tingginya kadar O2.

f. Fibroplasia retrolental

Tekanan parsial oksigen yang tinggi berhubungan dengan penutupan patent ductus arteriosus sehingga pada bayi prematur secara teori dapat terjadi fibroplasia retrolental.

g. Katarak

Komplikasi ini jarang terjadi. Menyebabkan pandangan berkabut.

h. Transientmiopia reversibel

Meskipun jarang namun dapat terjadi setelah terapi HBO berkepanjangan yang menyebabkan perubahan bentuk/deformitas dari lensa. (Gill dan Bell, 2004).

2.3 Pengaruh Terapi HBO Terhadap Vertigo

(42)

keseimbangan pertama ada di inti vestibularis, sedangkan cerebellum sebagai pusat integrasi kedua.

Berbagai macam penyebab dari vertigo yakni lesi vestibular (labirinitis, meniere, otitis media, BPPV), lesi saraf vestibularis (neuroma akustik, neuronitis vestibular), dan lesi pada batang otak, cerebellum atau lobus temporal (infark/perdarahan, insufisiensi vertebrobasilar, tumor, epilepsi lobus temporal), kelainan vaskular seperti terdapat trombosis atau emboli pada arteri labirintin (Arie Trijono, 2012).

Terapi HBO pada kasus vertigo merupakan terapi adjuvant yang biasanya diberikan bersamaan dengan terapi rutin seperti kortikosteroid, antibiotik, antiviral, vasodilator, roborantia. Pengaruh HBO berupa mengurangi edema, peningkatan kelarutan oksigen, memperbaiki aliran darah dan sel darah, meningkatkan potensial transmembran dan sintesis ATP, serta aktifitas metabolisme sel dan pompa natrium kalium yang mengakibatkan terjadinya keseimbangan ion dan fungsi elektrofisiologi pada labirin (Gusti N.K, 2013).

BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Vertigo adalah halusinasi gerakan lingkungan sekitar serasa berputar mengelilingi pasien atau pasien serasa berputar mengelilingi lingkungan sekitar (Sura, D.J., 2010).

Vertigo merupakan yang paling sering yaitu sekitar 54%. Pada sebuah studi mengemukakan vertigo lebih banyak ditemukan pada wanita disbanding pria (2:1), sekitar 88% pasien mengalami episode rekuren. (Lempert, T., 2009).

(43)

Berbagai macam penyebab dari vertigo yakni lesi vestibular (labirinitis, meniere, otitis media, BPPV), lesi saraf vestibularis (neuroma akustik, neuronitis vestibular), dan lesi pada batang otak, cerebellum atau lobus temporal (infark/perdarahan, insufisiensi vertebrobasilar, tumor, epilepsi lobus temporal), kelainan vaskular seperti terdapat trombosis atau emboli pada arteri labirintin (Arie Trijono, 2012).

Diagnosis ditegakkan dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan penunjang.

Penatalaksanaan vertigo secara medikasi yaitu dengan obat-obatan antihistamin, antagonis kalsium, fenotiazin, obat penenang, obat anti kolinergik. Sedangkan secara fisik dapat dilakukan terapi brand-darrof (chain, 2009).

Terapi oksigen hiperbarik adalah tindakan pengobatan dimana pasien menghirup oksigen murni (100%) secara berkala ketika menyelam atau di dalam ruang udara yang bertekanan tinggi (RUBT) dengan tekanan lebih besar daripada 1 ATA ( Atmosfir Absolut) (Gill dan Bell, 2004; Hariyanto et al, 2009).

Terdapat 3 hukum yang berperan dalam terapi oksigen hiperbarik, yaitu : Hukum Boyle, Dalton, dan Henry yaitu (Gill dan Bell, 2004; Hariyanto et al, 2009).

Meskipun banyak keuntungan dari terapi oksigen hiperbarik yang dapat diperoleh, cara ini pun juga mengandung resiko. Sebab itu terapi oksigen harus dilaksanakan secara hati-hati sesuai prosedur yang berlaku, sehingga mencapai hasil yang maksimal dengan resiko minimal (Hariyanto et al, 2009).

(44)
(45)

DAFTAR PUSTAKA

Adityo Wibowo, 2015, Oksigen Hiperbarik : Terapi Percepatan Penyembuhan Luka, volume 5 number 9, Universitas Lampung, <http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/juke/article/viewFile/645/649>

Agus, 2015, vertigo vestibular, FKU Kristen Krida Wacana, Ukrida

Amira et al, 2014, Resume Hyperbaric Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar Bali tanggal 26 s/d 30 September 2014, Mataram, Program Studi Diploma III Keperawatan

Andrew David and Nicholas John Hawksley, 2001, Hyperbaric Oxygen Therapy, volume 1 Number 5, British Journal of Anaesthesia, British, <http://ceaccp.oxfordjournals.org/content/1/5/150.full.pdf>

Antunes, M.B., 2009, CNS Causes of Vertigo, WebMD LLC, <http://emedicine.medscape.com/article/884048-overview#a0104>

Arie T., 2012, Tinitus dan Vertigo pada anak, simposium 17 nopember 2012, Hotel Puri Perdana, Blitar.

Arsyad, Soepardi, Efiaty, dkk., 2010, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung tenggorokan Kepal & Leher, Jakarta, Balai Penerbit FKUI.

Chain, T.C., 2009, Practical Neurology 3rd edition: Approach to the Patient with Dizziness and Vertigo, Illnois Journal :Wolter kluwerlippincot William and wilkins.

Gill AL and Bell CNA, 2004, Hyperbaric Oxygen : Its uses, Mechanisms of Action and Outcomes, volume 97 number 7, QJM, Bristol, UK, <http://qjmed.oxfordjournals.org/content/97/7/385.2.full>

Gusti N.K, 2013, Terapi Oksigen Hiperbarik Pada Tuli Sensorineural Mendadak, FKU Udayana, Denpasar.

Hariyanto et al, 2009, Ilmu Kesehatan Penyelaman dan Hiperbarik, LAKESLA, Surabaya.

(46)

Labuguen, R.H., 2006, Initial Evaluation of Vertigo, Journal : American Family Physician January 15, Volume 73, Number 2.

Lempert, T, Neuhauser, H., 2009, Epidemiology of vertigo, migraine and vestibular migraine. Journa l of Nerology:25:333-338.

Marril, KA., 2011, Central Vertigo, WebMD LLC, <http://emedicine.medscape.com/article/794789-clinical#a0217>

Mark, A., 2008, Symposium on Clinical Emergencies: Vertigo Clinical Assesment and Diagnosis. British Journal of Hospital Medicine, Vol 69, No 6.

Turner, B., Lewis, NE., 2010, Symposium Neurology :Systematic Approach that Needed for establish of Vetigo, The Practitioner Journal September 2010 - 254 (1732): 19-23.

Sahni T, 2004, Hyperbaric Oxygen Therapy : Current Trends and Applications, Vol. 51, Journal of The Association of Physicians of India, Review article, <http://eprints.undip.ac.id/29134/3/Bab_2.pdf >

Sura, D.J., Newell, S., 2010, Vertigo- Diagnosis and management in primary care, Journal : BJMP 2010;3(4):a351.

Gambar

Tabel 2.1Perbedaan vertigo sentral dan perifer
Tabel 2.2  Perbedaan Durasi gejala untuk berbagai Penyebab vertigo
Gambar 2.1 Uji Romberg
Gambar 2.2 Uji Unterberger
+2

Referensi

Dokumen terkait

Pada lingkungan tercekam kekeringan Tabel 5, terdapat lima karakter yang memberikan pengaruh langsung genetik lebih tinggi daripada koefisien korelasi genetiknya, yaitu

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024) 8508081, Fax.. Pengabdian

Data primer adalah yang langsung diperoleh dari sumber data pertama di lokasi penelitian atau objek penelitian.(Bungin,2005 :132) Data primer dalam penelitian ini

UKM untuk memperoleh masukan 6.1.4.2 14 melampirkan bukti keterlibatan dalam penyusunan rencana perbaikan kinerja, rencana perbaikan program kegiatan UKM 6.1.4.3 15 melibatkan

Pada simulasi SDN yang dilakukan pada mininet, SDN masih kekurangan proses autentikasi untuk setiap perangkat dan juga keamanan komunikasi antar perangkat masih rendah

Hal ini tentunya menimbulkan kontroversi para praktisi hukum di Indonesia karena keputusan MK tersebut hanya memperhatikan Hak Asasi para pelaku Terorisme saja

Kelebihan pembelajaran tematik menurut Rusman (2013: 254) antara lain: 1) siswa mudah memusatkan perhatian pada satu tema; 2) siswa dapat mempelajari pengetahuan dan