(Syahroma Husni Nasution, Puslit Limnologi-LIPI) syahromanasution@yahoo.com
ekhasan ekosistem perairan umum di Sulawesi tidak terlepas dari peristiwa sejarah
yang menyebabkan
pergerakan pulau-pulau di Indonesia pada zaman pra sejarah. Pada Zaman dahulu, Pulau Sulawesi adalah pulau terbesar di kawasan yang disebut Kawasan Wallacea dan secara geologis paling rumit karena menjadi tempat hidup bagi fauna campuran Oriental (Asia) dan Australia serta menjadi arena evolusi berbagai jenis fauna endemik (Coates et al. 2000).
Sejarah Sulawesi dimulai kira-kira 200 juta tahun yang lalu ketika dinosaurus hidup di bumi dan Gondwana land mulai terpecah-pecah. Pecahan daratan yang luas, terpecah lagi dan didorong ke
berbagai arah oleh lempeng di
bawahnya dan terjadi pertemuan
sementara antara Asia dan Australia yang memungkinkan berpindahnya flora dan fauna. Salah satu pecahan ini mencakup daratan yang kelak membentuk Sulawesi Barat, Sumatera dan lempeng bagian Kalimantan. Peristiwa ini
menyebabkan membeloknya bagian
Sulawesi dan semenanjung Utara berputar hampir 90o ke posisinya sekarang
(Kinnaird, 1997). Sementara itu
semenanjung Barat Daya berputar
berlawanan dengan arah jarum jam sebesar 35o yang secara bersamaan
membuka Teluk Bone (Whitten et al. 1987).
Pemisahan dan pergeseran pulau
menyebabkan perbedaan keanekaraga-man hayati di beberapa pulau.
Di Pulau Sulawesi terdapat danau purba. Danau purba adalah danau yang telah berusia lebih dari seratus ribu tahun, dan jumlahnya hanya sekitar 20 danau di dunia. Sedangkan danau purba yang usianya lebih dari satu juta tahun hanya berjumlah 10 buah,
termasuk diantaranya Danau Matano, Mahalona dan Towuti.
Danau purba yang terdapat di Kompleks Malili yaitu Danau Matano, Danau Mahalona, dan danau Towuti adalah satu-satunya danau purba di dunia yang terhubung satu sama lain (Gambar 1). Ada dua buah danau lagi yang masih terhubung dengan ketiga danau lainnya adalah Danau Masapi dan Danau Wawontoa yang disebut juga Danau Lantoa. Danau Matano, Towuti dan Mahalona adalah danau cascade, dimana Danau Matano terletak di bagian hulu, Danau Mahalona di bagian tengah serta Danau Towuti di bagian hilir.
Kondisi alamnya yang unik
menyebabkan ketiga danau purba ini memiliki dan menyimpan keanekaragaman hayati yang unik pula dengan berbagai jenis organisme di dalamnya yang bersifat endemik. Sebagian besar hewan air yang terdapat di danau-danau tersebut distribusinya terbatas pada satu atau beberapa danau saja dan tidak ditemukan di danau lainnya (Kottelat, 1991). Ketiga danau ini telah ditetapkan sebagai Kawasan Taman Wisata Alam berdasarkan keputusan Mentan No. 274/Kpts/Um/1979.
Yang menarik adalah spesies
endemik di ketiga danau purba tersebut
masing-masing unik dan berbeda.
Kandungan kimia dalam air, karakter tanah merah yang kaya akan zat besi,
diperkirakan berperan penting
menyebabkan spesies lain diluar spesies endemik sulit bertahan hidup di danau purba ini.
Keanekaragaman ikan air tawar di Indonesia adalah yang tertinggi kedua setelah Brazil, sebanyak 1300 jenis (World Bank, 1998). Keanekaragaman ikan di Indonesia saat ini menghadapi ancaman dari berbagai aktivitas manusia yang dapat menyebabkan menurunnya keanekara-gaman ikan-ikan tersebut. Dari 87 jenis ikan Indonesia yang terancam punah, diketahui 66 spesies (75%) diantaranya adalah ikan air tawar (Froese and Pauly, 2004). Sebagian besar (68%) dari ikan air
K
PANGKILANG IKAN ENDEMIK
tawar yang terancam punah ini adalah ikan endemik (Kottelat et al., 1993).
Gambar 1. Danau purba di daerah Kompleks Malili, Sulawesi Selatan
(Wirjoatmodjo et al. 2003).
Danau purba yang terdapat di Kompleks Malili memiliki biodiversity terkaya di Kawasan Sulawesi. Karena
banyaknya keanekaragaman biota
akuatik yang ada di dalam danau, maka tidak mengherankan jika kawasan
tersebut menjadi “laboratorium” bagi
para peneliti Indonesia maupun peneliti asing dalam beberapa tahun terakhir.
Selain memiliki sumberdaya ikan endemik yang berpotensi ekonomi, danau ini juga dimanfaatkan untuk PLTA, perikanan tangkap, navigasi, ekowisata dan sumber air untuk kebutuhan domestik. Kondisi ini menunjukkan bahwa danau ini memiliki fungsi penting untuk mendukung kehidupan masyarakat di sekitarnya, sehingga perlu dikelola agar danau tersebut bisa dimanfaatkan secara berkelanjutan. Masyarakat di sekitar Danau Towuti memanfaatkan sumber daya ikan untuk dikonsumsi dalam bentuk kering/asin maupun sebagai ikan hias dan bahan pakan hewan (Nasution, 2006).
Ikan penghuni danau purba ada
beberapa jenis. Ikan Pangkilang
merupakan sebutan di Danau Towuti, sedangkan di Danau Matano disebut ikan Opudi. Pangkilang penghuni danau
purba ini termasuk ke dalam famili Telmatherinidae. Beberapa jenis ikan yang termasuk ikan Pangkilang danau purba disajikan pada Tabel 1 dan Gambar 2.
Tabel 1. Jenis ikan yang termasuk ikan Pangkilang yang dijumpai di danau purba
Keterangan: + = ditemukan; - = tidak ditemukan; VU= vulnerable
(rawan punah); D2= data deficient & Mat = Matano; Tow = Towuti; Mah = Mahalona; Lam = Lamtoa; Mas = Masapi
Sumber: Wirjoatmodjo et al. (2003), Kottelat et al. (1993) & Nasution (2004 & 2008)
Gambar 2. Beberapa jenis ikan yang termasuk Pangkilang penghuni danau purba
Difoto oleh: Soeroto (2004) & Nasution (2004)
Beberapa penelitian yang telah dilakukan di salah satu danau purba (Danau Towuti) dari tahun 1991 hingga 2011 dapat dilihat pada Tabel 2. Dari tabel tersebut, terlihat bahwa penelitian yang dilakukan semakin beragam, mulai dari aspek ekobiologi ikan hingga perumusan dan penerapan kriteria zonasi kawasan konservasi biota endemik.
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan di perairan Danau Towuti
No.
Danau Status
IUCN (2003) Jenis ikan Mat Tow Mah Lan Mas
1 Telmatherina celebensis
- + + + + VU, D2
2 T. bonti - + + - - VU, D2 3 T. antoniae + - - - - VU, D2 4 T. prognatha + - - - - VU, D2 5 T. opudi + - - - - VU, D2 6 T. sarasinorum + - - - - VU, D2 7 T. obscura + - - - - VU, D2 8 T. abendanoni + - - - - VU, D2 9 T. wahyui + - - - - VU, D2 10 Telmatherina sp. + - - - - VU, D2 11 Tominanga
aurea
- + + - - VU, D2
12 T. sanguicauda - + + - - VU, D2
Telmatherina celebensis
Tominanga sanguicauda
T. sarasinorum T. antoniaeKuning T. an
Telmatherina celebensis
dapat diterapkan pada danau purba lainnnya yang mencakup sumberdaya hayati yang menyangkut perikanan dan
habitat, pemanfaatan sumberdaya
perikanan, pola pengelolaan dan
pelestarian sumberdaya perikanan
DAFTAR PUSTAKA
Coates, B.J., K.D. Bishop, and D. Gardner. 2000.
Panduan Lapangan Burung-burung di
Kawasan Wallacea. Bird Life International-Indonesian Programme and Dove Publication Pty. Bogor. 101 p.
Froese, R. and D. Nauly. 2004. Fishbase. Worl Wide Web electronic publication. www.fishbase.org, version (06/2004). Kinnaird, M.F. 1997. Sulawesi Utara: Sebuah
Panduan Sejarah Alam. Dirjen PHPA,LIPI, Yayasan Pengembangan Wallacea, dan GEF Biodiversity Collections Project. 125 hal. Kottelat, M. 1991. Sailfin silversides (Pisces
:Telmatherinidae) of Lake Matano, Sulawesi, Indonesia, with description of six new species. Ichthyol. Explorer. Freshwaters 1:321-344. Kottelat, M., A.J. Whitten, S.N. Kartikasari, dan
S.Wirjoatmodjo. 1993. Freshwater fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Published by Periplus Edition (HK) Ltd. in collaboration with the Environmental Management Development in Indonesia (EMDI) Project, Ministry of State for Population and Environment, Republic of Indonesia, Jakarta. 293 p.
Nasution, S.H. 2004. Conservation of endemic fish species Telmatherina celebensis in Lake Towuti, South Celebes. Proceedings of the International Workshop on Human Dimension of Tropical Peatland Under Global Environmental Changes. Iswandi, H.C.
(aspek perundang-undangan, kelemba-gaan, penataan ruang, zonasi perikanan dan alternatif teknologi pemacuan stok perikanan yang sesuai).
Tabel 2. Beberapa penelitian yang telah dilakukan di salah satu danau purba (DanauTowuti) dari tahun 1991-2011
Widjaja, S.Guhardja, Segah, T. Iwakuma, and M.Osaki (Eds.). Bogor, Indonesia, December 8-9, 2004. p 35-42.
Nasution,S.H. 2006. Pangkilang (Telmatherinidae) ornamental fish: An economic alternative for people around Lake Towuti. Proceedings International Symposium. The Ecology and Limnology of the Malili Lakes on March, 2006 in Bogor-Indonesia. Supported by: PT. INCO Tbk. and Research Center for Limnology, (LIPI).p39-46.
Nasution, S.H. 2008. Distribusi Spasial dan Temporal Ikan Endemik Bonti-bonti (Paratherina striata) di D. Towuti, Sulawesi Selatan. Jurnal Biologi Indonesia, IV(1):91-104. Biodiversity Conservation and the European Comission. Bogor. 30 p.
Whitten, A.J., M. Mustafa, and G.S. Henderson. 2002. The Ecology of Sulawesi. Vol IV. First Periplus Edition. Published by Periplus (HK) Ltd. 754 p.
World Bank. 1998. Integrating freshwater biodiversity conservation with development. Some emerging lessons. Natural habitats and ecosystems management series, Paper No. 61. 24 p.
Tahun Peneliti Topik Penelitian Aspek Ekobiologi dan Konservasi 1991 Kottelat, M Telmatherinidae Deskripsi
1992 Okino, et al. Studi Limnologi Kualitas air 1993 Kottelat, M. et al. Beberapa jenis ikan endemik Biodiversitas, deskripsi
1994,2004,2008 Sulastri; Nasution Limnoteknologi Sifat fisik kimiawi D. Matano, Towuti dan Mahalona 1996 Haryani, G.S Beberapa jenis ikan endemik Reproduksi (histologis)
1998 2003
Hartoto, D.I dan Awalina Wirjoatmodjo, S. et al.
Kualitas air danau Ikan endemik
Fisika-kimia air Distribusi ekologi 2003 Sumassetiyadi, A.S T.antoniae Aspek reproduksi 2003 Nasution, S.H dan Sulistiono T.celebensis Kematangan gonad
2003 Furkon, A T. celebensis Kebiasaan makan
2004 Soeroto, B. et al. Beberapa jenis ikan endemik Biodiversitas, reproduksi 2004 Nasution, S.H T. celebensis Ekobiologi
2004 Sulistiono, et al. T. celebensis Domestikasi 2004 Indiarto, Y dan
Nasution, S.H
T. celebensis Hubungan antara makrofita air dengan kelimpahan ikan
(Tjandra Chrismadha, Puslit Limnologi-LIPI)
dalam kesetimbangan ekosistem
perairan darat. Sebagai organisme yang berfotosintesis, fitoplankton berfungsi sebagai produsen primer yang sangat yang berkelanjutan memerlukan evaluasi
kondisi kelimpahan dan tingkat
produktivitas kelompok biota produsen ini secara lebih akurat. Upaya-upaya
pengukuran tingkat produktivitas
fitoplankton banyak dilakukan dengan menggunakan parameter kandungan klorofil serta kelimpahan sel, meskipun kedua pararemeter ini masih dianggap belum dapat sepenuhnya mewakili kondisi yang sebenarnya.
Seperti telah diketahui, kandungan klorofil sel-sel fitoplankton sangat bervariasi, dipengaruhi oleh berbagai faktor tumbuh, seperti ketersediaan unsur hara, cahaya, fase tumbuh, dan sebagainya. Hal ini menyebabkan penggunaan parameter klorofil untuk mengukur tingkat produktivitas primer perairan mempunyai tingkat deviasi yang besar. Demikian juga penggunaan parameter kelimpahan sel, karena ukuran sel-sel fitoplankton sangat bervariasi, dimana jenis-jenis yang berukulan kecil pada umumnya lebih cepat tumbuh, maka hasil pengukurannya dapat memberikan interpretasi yang
keliru terhadap status tingkat
produktivitas perairan. Salah satu parameter yang dianggap lebih akurat
untuk merepresentasikan biomassa
fitoplankton adalah jumlah volume sel-selnya, meskipun berbagai variasi akibat kondisi tumbuh masih ditemukan serta teknik pengukuran yang lebih sulit, khususnya pada beberapa jenis yang mempunyai bentuk tidak teratur. Namun permasalahan ini dapat diatasi dengan menyediakan informasi acuan yang dapat merepresentasikan ukuran sel-sel fitoplankton sehingga dapat menjadi informasi pelengkap data kelimpahan sel-sel fitoplankton.
Untuk mengukur volume sel-sel fitoplankton yang dapat mewakili jenis-jenis yang tumbuh di kawasan tropis,
telah dilakukan penelitian di
Laboratorium Planktonologi Puslit Limnologi-LIPI. Jenis-jenis fitoplankton yang diukur berasal dari perairan Situ Cibuntu-Cibinong yang ditumbuhkan
pada kolom air tergenang dan
diperkaya unfur fosfornya. Prinsip cara
pengukuran fitoplankton dengan
membuat garis acuan yang terukur pada lapang pandang mikroskop sebagai dasar mengukur panjang sel fitoplankton. Garis acuan yang dipilih diambil dari
kotak haemocytometer, dengan
pertimbangan alat tersebut memiliki ukuran yang standar. Garis acuan difoto dan dipetakan pada lembar data
Microsoft Exel, dimana ukuran kotak 5x5 piksel mewakili area 2,5x2,5 mm2. Bila
diperlukan dibuat garis pembagi dengan ukuran 0,5 mm. Foto-foto sel fitoplankton selanjutnya diplotkan pada lembar data tersebut dan diukur dimensinya dari berbagai sisi yang representatif. Penghitungan volume sel secara matematis disesuaikan dengan bentuk sel. Pemenggalan sel menjadi beberapa segmen pengukuran dilakukan pada jenis fitoplankton yang mempunyai dimensi kompleks. Pengukuran dilakukan masing-masing pada 30 sel agar hasil yang diperoleh mewakili populasi jenis yang diukur. Volume berbagai jenis fitoplankton yang diperoleh disajikan pada Tabel 1.
F
VOLUME SEL
FITOPLANKTON
- 10
Tabel 1. Volume berbagai jenis fitoplankton
Nama Spesies Rata-Rata
Volume (mm3)
Simpangan Baku
Nama Spesies Rata-Rata Volume
(mm3)
Simpangan Baku
Bacillariophyceae Chlorophyceae
Achantes sp. 256,982 0,909 Cladophora sp. 4088,574 155,248
Amphora pediculus 44,984 0,674 Coelastrum sp. 131,981 5,135
Cymbela affinis 27,697 1,834 Cosmarium contractum 151,633 6,865
Cymbela turgidula 24,163 1,113 Cosmarium phaseolus 285,268 4,285
Diatoma tenue var. Elongatum
368,397 7,298 Cosmarium sp. 218,75 6,250
Encyonema mimata 54,192 10,831 Cosmarium
quadrifarium
434,425 8,935
Eunotia lunaris 15,628 0,184 Errerella bornhemiensis 472,898 10,987
Fragilaria sp. 173,853 14,48 Geminella interupta 1797,431 26,384
Melosira aequalis 13910,648 199,773 Gloeocystis ampla 1488,275 235,622
Melosira granulata 11705,873 282,839 Scenedesmus
acuminatus
22,635 0,696
Navicula cuspidata 50,66 1,333 Scenedesmus bijuga 25,248 0,409
Navicula oppugnata 33,78 0,847 Scenedesmus
dimorphus
24,365 0,74
Navicula falaisiensis 28,519 0,686 Scenedesmus
quadricauda
24,671 0,368
Navicula hasta 30,568 0,648 Staurodesmus sp. 36,998 10,468
Navicula radiosa 29,102 0,235 Sphaerocystis sp. 165,836 5,002
Navicula thynchocephala
27,896 0,981 Ulotrix cylindricum 14200,194 589,78
Oscilatoria sp. 2689,96 70,68 Ulotrix sp. 14192,159 313,462
Staurosirella ansata 101,997 0,457 Myxophyceae
Synedra rumpans 337,097 4,892 Anabaena sp. 993,613 3,46
Synedra ulna var aequalis
337,463 2,802 Chroococcus sp. 12,471 0,538
Chlorophyceae Coelosphaerium sp. 44,954 5,791
Ankistrodesmus falcatus
17,965 1,091 Cylindrospermopsis
raciborskii
22,245 1,278
Asterococcus superbus 113,827 1,957 Merismopedia elegans 122,39 3,911
Chlorella sp. 13,158 0,234 Merismopedia glauca 116,785 3,281
Jumlah jenis yang terukur sebanyak 48 jenis mewakili tiga grup fitoplankton. Meskipun masih belum lengkap, informasi dimensi sel fitoplankton ini diharapkan dapat melengkapi instrumen evaluasi ekologis fitoplankton yang telah banyak digunakan, yaitu kelimpahan sel, indeks diversitas dan indeks dominansi serta konsentrasi klorofil-a. Informasi dimensi sel dapat lebih meningkatkan kinerja evaluasi kuantitatif status produktivitas komunitas fitoplankton dan selanjutnya memberikan acuan yang lebih akurat untuk prediksi potensi sumber daya perairan secara keseluruhan.
Upaya lebih lanjut masih diperlukan untuk melengkapi data yang diperoleh agar secara komprehensif dapat
mewakili komunitas fitoplankton,
- 11
(Unggul Handoko, Puslit Limnologi LIPI) u_handoko_470@yahoo.co.id pemanasan global yang berakibat pada berubahnya arah dan kecepatan angin serta berdampak pada bergesernya musim. Masa tanam sulit ditentukan karena adanya banjir pasang yang lebih intensif melanda pantai di Jakarta Utara ataupun dikota-kota pantai
lainnya. Pemanasan global juga
berakibat pada naiknya muka air laut yang berdampak pada hilangnya ratusan/ribuan pulau kecil di Indonesia (Santoso, 2009).
Studi deteksi dan sifat perubahan iklim global semakin meningkat dari tahun ke tahun. Studi dari deteksi dan sifat dari perubahan iklim global pada
umumnya menitikberatkan pada
kejadian curah hujan dan suhu udara ekstrim (Frich et al. 2002). Curah hujan ekstrim adalah kondisi curah hujan yang cukup tinggi atau rendah dari rata-rata kondisi normalnya. Secara garis besar, curah hujan ekstrim dapat dibedakan menjadi curah hujan ekstrim basah dan curah hujan ekstrim kering. Curah hujan ekstrim basah biasanya terjadi pada bulan-bulan basah (DJF= Desember, Januari dan Februari) dan curah hujan ekstrim kering biasanya terjadi pada bulan-bulan kering (JJA = Juni, Juli dan Agustus). Curah hujan ekstrim pada bulan basah yang cukup tinggi dapat menyebabkan banjir, sedangkan curah hujan ekstrim pada bulan kering dapat menimbulkan kekeringan (Virsa, 2005).
Begitu pentingnya informasi curah hujan ekstrim untuk antisipasi bencana alam banjir dan kekeringan sebagai
dampak perubahan iklim global, maka perlu suatu informasi yang menunjukkan keadaan curah hujan ekstrim yang terjadi di suatu wilayah. Berhubung
data-data sekunder curah hujan
biasanya masih tersedia dalam skala waktu harian dan dalam satuan mm/hari, maka perlu pengolahan lebih lanjut untuk menunjukkan seberapa besar keekstriman curah hujan tersebut. Untuk mengetahui keekstriman curah hujan di suatu daerah, berikut ini adalah
indikator-indikator yang dapat
digunakan sebagai penilaian (Frich et al.
2002):
1. R10, yaitu jumlah hari dengan curah
hujan ≥ 10 mm/hari, satuan yang
digunakan untuk indikator ini adalah hari.
2. R5d, yaitu maksimum dari total curah hujan selama lima hari yang berurutan, satuan yang digunakan adalah mili meter (mm).
3. CDD (Consecutive Dry Days), yaitu jumlah maksimum hari kering yang berurutan. Hari kering adalah hari dimana curah hujan yang terjadi pada saat itu < 1mm. Satuan yang digunakan untuk indikator ini adalah hari.
4. SDII (Simple Daily Intensity Index), yaitu perbandingan antara curah hujan dalam setahun dengan jumlah hari hujan dalam setahun. Hari hujan didefinisikan sebagai hari dengan
curah hujan ≥ 1 mm/hari.
Maksimum CDD dapat digunakan sebagai indikator ekstrim kering untuk saat-saat kering, misalnya dalam kurun waktu minimal 30 tahun, sementara
jumlah hari dengan curah hujan ≥ 10 mm
(R10) dan SDII dapat digunakan sebagai indikator ekstrim basah dalam kurun waktu yang telah ditentukan (lebih dari 30 tahun). R5d terbesar dalam setahun menunjukkan kejadian curah hujan paling ekstrim dalam tahun yang bersangkutan dan merupakan indikator curah hujan yang berpotensi menyebabkan banjir.
Indikator-indikator di atas dapat digunakan untuk menganalisis adanya perubahan iklim global, maka dilakukan
P
- 12
analisis trend. Analisis trend pada setiap indikator tersebut akan menunjukkan karakteristik curah hujan di daerah yang menjadi objek kajian penelitian.
Penelitan yang dilakukan oleh
Kostopoulau dan Jones (2005) di Eastern
Mediteranian menunjukkan bahwa
adanya trend yang positif ke arah curah hujan yang semakin intensif dan jumlah curah hujan yang lebih banyak dari tahun 1958 hingga 2000. Untuk
trend maksimum CDD, juga menunjukkan
trend yang positif. Studi tersebut menunjukkan bahwa dari tahun 1958 hingga 2000 di Eastern Mediteranian, baik ekstrim basah maupun ekstrim kering sama-sama menunjukkan trend
yang positif.
Daftar Pustaka:
Frich, P , L.V. Alexander, P.Della-Marta, B. Gleason, M. Haylock, A.M.G. Kein Tank, and T. Peterson. 2002. Observed Coherent Changes In Climatic Extremes During The Second Half Of The Twentieth Century.
Journal Climate Research, Vol. 19: 193-212.
Kostopoulou, E and P.D. Jones. 2005. Assessment of climate extremes in
the Eastern Mediterranean.
Meteorology and Atmospheric Physics Journal, 89: 69-85. (http:// www.springerlink.com/content/r741 74t32177164v/ , diakses tanggal 28 Januari 2010.
Santoso, Sigit. 2009. Perubahan Iklim Global: Pentingnya Data Geografi, http://santosa.wordpress.com/2009 /02/24/perubahan-iklim-global-pentingnya-data-geografi/, diakses tanggal 17 Maret 2010.
Virsa, J. 2005. Kejadian Curah Hujan Ekstrim Di Sumatra (Palembang, Jambi dan Lampung), Prosiding
Seminar Nasional Universitas
- 13 Kochi
Tokyo Mie Aichi
Nagano
N
Japan
(Luki Subehi, Puslit Limnologi-LIPI)
luki@limnologi.lipi.go.id
erubahan dan fluktuasi temperatur air sungai sangat penting bagi ke- berlangsungan hidup ikan, serangga, vegetasi dan organisme lainnya (Eaton and Scheller, 1996; Bogan et al.
2003 dan Dunham et al. 2003). Fluktuasi temperatur air mempengaruhi sifat-sifat fisika, kimia dan biologi suatu perairan sehingga memberikan dampak pada komposisi suatu spesies. Oleh karena itu, karakteristik temperatur air di DAS bagian hulu penting untuk diketahui dalam rangka pengelolaan kualitas air (Sridhar et al.
2004 dan Danehy et al. 2005). Hal ini terkait juga dengan perubahan iklim yang mempengaruhi temperatur (Fukushima et al. 2000 dan Subehi et al. 2010).
Gambar 1 Lokasi penelitan (modifikasi Subehi et al. 2009)
Untuk lebih detail, dilakukan juga pengukuran temperatur tanah di DAS Kochi 3 dan Kochi 8, Provinsi Kochi,
Jepang Selatan. Luas DAS Kochi 3 adalah 4,9 ha, dengan jenis hutan berupa pohon berdaun lebar (broadleaf), sedangkan DAS Kochi 8 dengan luas 0,6 ha dengan jenis hutan pohon cemara Jepang (hinoki
atau Japanese cypress).
Pengukuran temperatur air (Tw), udara (Ta) dan tanah (Ts) dilakukan pada interval 30 menit dengan menggunakan logger (StowAway Tidbit, Onset Computer Corporation, USA) (Gambar 2). Logger ini dapat mengukur temperatur dari -20℃ hingga 50℃ dengan akurasi ± 0,4℃. Pengukuran temperatur udara (Ta) dilakukan pada 1 m di atas permukaan
tanah, sedangkan pengukuran
temperatur tanah (Ts) dilakukan pada tiga titik kedalaman (10 cm, 50 cm dan 70 cm di bawah permukaan tanah) dan pada lokasi yang sama dengan titik pengukuran Ta di pinggir sungai (Gambar 3a).
Pengukuran debit pada alat pharsal flume diukur dari bulan Juni 2005 hingga November 2006 menggunakan sensor temperatur dan tinggi muka air berupa logger dengan kisaran pengukuran antara -30℃ hingga 70℃ dengan akurasi 3℃ serta tinggi muka air dengan akurasi 1 mm (TruTrack WT-HR, Intech Instrumen Ltd, Selandia Baru). Sensor ini dipasang pada
pharsal flume yang diletakkan di alur sungai (Gambar 3b).
Data temperatur udara untuk lima wilayah penelitian diperoleh dari stasiun
meteorologi terdekat, AMeDAS
(Automated Meterological Data Acquisition System). Koreksi untuk data temperatur udara dilakukan berdasarkan perbedaan ketinggian antara titik lokasi penelitian dengan lokasi stasiun AMeDAS. Analisis korelasi data harian temperatur udara antara AMeDAS dengan pengukuran lapangan di dua titik sampling (Kochi 3 dan Kochi 8) menunjukkan data AMeDAS cukup valid (R2=0,967) dan bisa
digunakan untuk kelima wilayah penelitian (Subehiet al. 2009). Debit air diperoleh dari perhitungan persamaan berdasarkan ukuran dari parshall flume dan tinggi muka air yang diamati (Herschy, 1985).
P
- 14
& Temperatur tanah (Ts)
J JAS ONDJ F MA MJJ ASON
Gambar 3 Kondisi pengukuran temperatur di lapangan
Pada umumnya, Ta dan Tw memiliki hubungan yang kuat (Subehi and Fakhrudin, 2011). Hasil penelitian memperlihatkan perbedaan temperatur harian antara udara dan air di Kochi 3 lebih besar daripada di Kochi 8 (Gambar 4). Fenomena ini mengindikasikan bahwa aliran air bawah permukaan/subsurface flow lebih banyak terjadi di Kochi 3 dibandingkan Kochi 8.
Kondisi vegetasi understory di hutan Hinoki dan berdaun lebar mempengaruhi tingkat infiltrasi. Pada DAS bad managed hinoki, vegetasi understory
berkurang karena kondisi cahaya
rendah, dan permukaan hutan menjadi gundul, mengakibatkan terjadinya aliran permukaan/surface flow (Onda et al.
2005). Pada broadleaf dengan kondisi vegetasi understory yang baik, proporsi
Gambar 4. Perbedaan karakteristik temperatur air dan udara di Kochi 3 dan Kochi 8 (modifikasi Subehi et al. 2009)
dari curah hujan akan menginfiltrasi ke dalam tanah, menyebabkan adanya aliran bawah permukaan (subsurface flow) dan naiknya level muka air tanah. Hal ini ditunjukkan dari fluktuasi Ts yang besar pada lapisan bawah permukaan.
Daftar Pustaka
Bogan, T., Stefan, H.G., Mohseni, O. 2003. Stream Temperature- Equilibrium Temperature Relationship. Water Resources Research (39):1245-1257.
Danehy, R.J., Colson, C.G., Parrett, K.B., Duke, S.D. 2005. Patterns and Sources of Thermal Heterogeneity in Small Mountain Streams within A Forested Setting. Forest Ecology and Management (208):287-302.
Dunham, J., Schroeter, R., Rieman, B. 2003. Influence of Maximum Water Temperature on Occurrence of Lahontan Cutthroat Trout within Streams. North American Journal of Fisheries Management (23):1042-1049.
Eaton, G.J., Scheller, R.M. 1996. Effects of Climate Warming on Fish Thermal Habitat in Stream of The United States. Limnology and Oceanography (41): 1109-1115.
Fukushima, T., Ozaki, N., Kaminishi, H., Harasawa, H., Matsushige, K. 2000. Forecasting The Changes in Lake Water Quality in Response to Climate Changes, Using Past Relationships between Meteorological Conditions and Water Quality. Hydrological Processes (14):593-604.
Herschy, R.W. 1985. Stream Measurements, Stream Flow Measurements. Elsevier; London.
Onda, Y., Tsujimura, M., Nonoda, T., Takenaka, C. 2005. Methods for Measuring Infilitration Rate in Forest Floor in Hinoki Plantations. Journal of Japan Society of Hydrology and Water Resources (18): 688-694 (in Japanese). Sridhar, V., Sansone, A.L., LaMarche, J., Dubin, T.,
Lettenmaier, D.P. 2004. Prediction of Stream Temperature in Forested Watersheds. Journal of the American Water Resources Association (40):197-213.
Subehi, L., Fakhrudin, M. 2011. Preliminary Study of the Changes in Water Temperature at Pond Temperature Changes during Rainfall Events in Forested Watersheds. Limnology (11):115-124. Subehi, L., Fukushima, T., Onda, Y., Mizugaki, S., Gomi, T.,
- 15
S
yahroma Husni Nasutiontelah mengikuti Seminar Nasional Geomatika, Pengelolaan Sumberdaya dan Penanggulangan Bencana Alam: Peluang dan Tantangan Informasi Geospasial
yang diselenggarakan oleh Balai
Penelitian Geomatika BAKOSURTANAL pada tanggal 5-6 April 2011 di Cibinong.
Kebutuhan akan data geospasial pada
saat ini semakin mengemuka di
masyarakat. Kebutuhan Indonesia akan data spasial ini semakin nyata dirasakan ketika terjadi peristiwa kebencanaan yang kerap kali menimpa bagian wilayah Indonesia. Geospasial adalah sifat keruangan yang menunjukkan posisi atau lokasi suatu objek atau kejadian yang berada di bawah, pada atau di atas
permukaan bumi dengan posisi
keberadaannya mengacu pada sistem koordinat nasional. Data Geospasial
adalah data yang mengidentifikasi lokasi geografis dan/atau karakteristik objek alam dan/atau buatan manusia yang berada di bawah, pada, atau di atas permukaan bumi. Informasi Geospasial
adalah data geospasial yang sudah diolah sehingga dapat digunakan sebagai alat bantu dalam perumusan kebijakan, pengambilan keputusan dan pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan keruangan.
Sektor pembangunan yang
memerlukan Informasi Geospasial:
a. Sektor Pertanian: kesesuaian lahan,
manajemen panen, monitoring
penyakit tanaman dan perumusan kebijakan ketahanan pangan.
b. Sektor Kehutanan: perumusan
kebijaksanaan hutan, penegasan
batas hutan, kawasan hutan,
pemantauan kebakaran hutan dan konservasi/reboisasi.
c. Sektor Perikanan: identifikasi wilayah
potensi ikan, pola arus air laut, konsentrasi zooplankton dan sebaran infrastruktur perikanan.
d. Sektor Pertambangan: keperluan
eksplorasi (peta geologi, topografi, geofisik), manajemen eksploitasi minyak/gas bumi dan mineral.
e. Sektor Pemerintahan: memerlukan
informasi geospasial lainnya untuk menunjang tugasnya yang bersifat rutin maupun pembangunan seperti peta dasar nasional, pertahanan, tata
ruang, lingkungan hidup dan
penegasan batas wilayah darat/laut.
f. Sektor Swasta: sektor swasta semakin
luas memanfaatkan informasi
geospasial dalam bisnisnya yang tidak terbatas pada sektor primer, tetapi di sektor jasa dan manufaktur, misalnya
menentukan rute pengangkutan
barang dan menentukan lokasi bank/agent/distributor.
Dengan berbagai manfaat Informasi Geospasial diberbagai sektor, maka telah disahkan UU No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial oleh Presiden RI pada tanggal 12 April 2011.
- 16
D
jamhuriyah S. Said.Ikan Hias Marosatherina ladigesi dan
Rasbora argyrotaenia masuk TMII.
Hari ulang tahun Taman Mini Indonesia Indah (TMII) ke 35 April 2010 kali ini mengangkat topik Biodiversiti Flora Fauna Indonesia. Sehubungan dengan itu Dunia Air Tawar (DAT)-TMII sebagai salah satu anjungan yang sangat berperan dalam urusan fauna (Ikan Air Tawar) mengambil peran besar dan bekerjasama dengan PIHI (Perhimpunan Ikan Hias Indonesia). PIHI telah mengenal Pusat Penelitian Limnologi-LIPI sebagai salah satu instansi di lingkungan LIPI yang sangat perhatian terhadap ikan hias (khususnya ikan hias air tawar asli Indonesia).
Sehubungan dengan itu PIHI bekerjasama dengan DAT-TMII, juga didukung oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP)/Ditjend. Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menggelar suatu acara Semi Loka Pengelolaan Biodiversiti dan Sumber Daya Ikan tanggal 21 April 2010. Pada acara tersebut Kepala Pusat Penelitian Limnologi-LIPI (Dr. Ir. Gadis Sri Haryani) diminta sebagai pembicara utama dengan judul Pemetaan Wilayah Penyebaran Plasma Nutfah Ikan Hias Endemik Indonesia Berdasarkan Garis Wallace.
Dalam menyongsong ultah ini juga, Puslit Limnologi-LIPI diminta oleh DAT-TMII untuk dapat berperan aktif menyumbangkan ikan hasil penelitiannya. Dipilih ikan
Marosatherina ladigesi dan Rasbora argyrotaenia. Ikan hias pelangi (M. ladigesi) atau dengan nama umum Celebes Rainbow merupakan jenis ikan yang menjadi lambang organisasi PIHI, sedangkan ikan R. argyrotaenia dengan
nama umum Silver Rasbora telah sulit ditemukan di Jawa Barat.
Acara penyerahan kedua jenis ikan tersebut dilakukan oleh Deputi Ilmu Pengetahuan Kebumian-LIPI (Prof. Dr. Hery Harjono) kepada Direktur Operasional TMII pada hari Minggu tanggal 25 April 2010 di depan para pejabat KKP, PIHI, TMII, pejabat lainnya dan para undangan.
T
riyanto dan Fajar Setiawan.Pendidikan dan Pelatihan Survei
Hidrografi. Pelatihan diselenggarakan
oleh Badan Kordinasi Survei dan Pemetaan Nasioanl pada 25-29 April 2011. Pelatihan yang dilakukan terdiri dari kegiatan pembelajaran di kelas dan kegiatan praktek lapangan. Materi pelatihan yang diberikan meliputi:
1. Sistem Kordinat 2. Proyeksi Peta
3. Penentuan Posisi dengan GPS 4. Survei Hidrografi I
5. Surevei Hidrogarfi II 6. Pengetahuan Alat 7. Praktek Lapangan 8. Pengolahan Data, dan 9. Penyajian Data
- 17
tahap dasar yang akan disempurnakan dengan pelatihan lanjutan yang masih dalah proses perencanaan.
Sebagai bagian dari kegiatan pelatihan telah dilakukan Praktek Lapangan berupa Survei Lapangan dan Pengolahan Data. Pada Survei Lapangan dilakukan survey ke teluk Jakarta (Pantai Marina-Ancol). Kegiatan yang dilakukan meliputi pemeruman, pengukuran garis pantai,
pemantauan pasang surut dan
pengamatan data SVP. Peralatan yang
digunakan adalah Echosounder
singlebeam, Recheiver GPS, Rambu Pasut, Kamera dan alat tulis.
1. Pemeruman adalah kegiatan pengukuran kedalaman perairan dengan menggunakan alat bantu akustik. Metode pemeruman yang
dilakukan pada survei ini,
menggunakan metode singlebeam. Dari hasil survei akan diperoleh kedalaman dasar laut hasil survei, posisi [latitude, longitude] dari titik yang dibidik saat survei. Data survei tersebut masih harus dikoreksikan dengan data lain, diantaranya koreksi data pasut agar kedalaman
yang diperoleh benar-benar
dihitung dari Chart Datum (CD), koreksi data Draft Transducer dan SV (Sound Velocity) untuk memperoleh kedalaman yang bebas dari kesalahan sistematis.
2. Pemantauan Pasut dan Data SVP
Pengamatan Pasut dilakukan
dengan melakukan pencatatan
manual terhadap rambu pasut yang di pasang di lokasi pengamatan pasut. Interval pencatatan pasut yaitu 30 menit. Dari data hasil pengamatan dapat dihitung koreksi kedalaman terhadap Chart datum.
Data SVP (Sound Velocity Proffiler) diperoleh dari data pangamatan SVP yang digunakan (1540 m/s) dan dibandingkan dengan default sound velocity gelombang akustik (1500 m/s), sebagai data koreksi.
3. Pengukuran Garis Pantai
Pengukuran garis pantai dilakukan dengan melakukan penyisiran di sepanjang tepi pantai, dengan
melakukan marking pada Mean
Highest Water Level dan pertemuan antara darat dan laut.
4. Proses pengolahan data