• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Daya Hasil Kultivar Lokal Bawang Merah di Brebes

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Evaluasi Daya Hasil Kultivar Lokal Bawang Merah di Brebes"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

J. Hort. 19(3):275-280, 2009

Evaluasi Daya Hasil Kultivar Lokal Bawang Merah

di Brebes

Sofiari, E., Kusmana, dan R.S. Basuki

Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl. Tangkuban Parahu 517 Lembang, Bandung 40391 Naskah diterima tanggal 26 November 2007 dan disetujui untuk diterbitkan tanggal 12 Maret 2009

ABSTRAK. Varietas lokal bawang merah di Kabupaten Brebes telah berkembang menjadi varian-varian baru yang merupakan hasil seleksi petani. Keberadaan varian-varian varietas tersebut perlu diuji untuk mengetahui keunggulannya. Penelitian bertujuan mendapatkan kultivar bawang merah lokal yang sesuai ditanam di Slatri, Brebes. Jumlah kultivar yang diuji sebanyak 10 buah ditambah 2 kultivar pembanding, yaitu Tanduyung dan Ilokos. Rancangan percobaan yang digunakan adalah acak kelompok dengan 3 ulangan. Populasi tanaman per plot terdiri atas 500 tanaman. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kultivar yang sesuai di Slatri adalah kultivar Kuning Sidapurna dan Kuning Tablet yang memiliki potensi hasil sama baiknya dengan kultivar impor yang populer di petani, yaitu kultivar Ilokos.

Katakunci: Allium ascalonicum; Seleksi; Hasil tinggi; Kultivar lokal.

ABSTRACT. Sofiari, E., Kusmana, and R.S. Basuki. 2009. Evaluation of Potential Yield of Local Varieties of Shallots at Brebes. Shallot local variety in Brebes has been developed to be more variations as a results of selection done by farmers. Superiority of this variances need to be evaluated. The objective of the research was to evaluate shallot cultivars which have high yielding at Slatri, Brebes. Twelve cultivars were used in this study, including 2 popular import varieties as check, namely Tanduyung and Ilokos. Experimental design used was randomized complete block design with 3 replications. Population per plot was 500 plants. The results indicated that cultivars Kuning Sidapurna and Kuning Tablet performed high yielding at Brebes that were comparable to import variety of Ilokos.

Keywords: Allium ascalonicum; Selection; High yielding; Local cultivar.

Bawang merah memiliki daya adaptasi yang cukup luas mulai dari elevasi 10-1.000 m dpl. atau mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi (Subhan 1990). Namun di Indonesia bawang merah lebih banyak diusahakan di dataran rendah, karena pengusahaan bawang merah pada dataran rendah lebih efisien serta tanaman dapat tumbuh lebih optimal dibandingkan apabila ditanam di dataran tinggi (Suherman dan Basuki 1990). Umur panen yang pendek yaitu antara 60 sampai dengan 70 hari setelah tanam (HST) di dataran rendah, menjadikan pengusahaan bawang merah di dataran rendah lebih efisien dibandingkan di dataran tinggi dengan umur panen antara 80-100 HST. Umur tanaman yang pendek disukai petani karena efisiensi lahan tinggi, sehingga dalam setahun lahan dapat ditanami lebih sering, dapat mengejar musim tanam, dan petani dapat segera mendapatkan hasil panen.

Kultivar yang ditanam petani di dataran tinggi berbeda dengan yang ditanam di dataran rendah, bahkan variasi kultivar yang ditanam di agroekosistem dataran rendah Brebes sangat

diusahakan oleh petani bawang di Brebes, karena petani biasanya menggunakan bibit yang berasal dari stok sendiri (Sumarni et al. 2005) atau benih yang berasal dari petani tetangganya. Kultivar lokal adalah kultivar yang telah lama dibudidayakan pada agroekosistem setempat secara berulang-ulang, bahkan asal usul dan nama kultivar aslinya sering berubah. Salah satu kultivar yang banyak diusahakan petani di Larangan, Brebes adalah kultivar Kuning (Basuki dan Koster 1990). Kultivar lokal Kuning telah berkembang dari hasil seleksi petani atau penangkar bibit di Brebes, sehingga saat ini telah berkembang menjadi 4 macam, yaitu Kuning Sidapurna, Kuning Engkel, Kuning Tablet, dan Kuning Rimpeg.Turunan kultivar-kultivar tersebut telah tersebar ke desa yang berlainan. Keempat derivat dari kultivar Kuning tersebut diyakini oleh petani, masing-masing memiliki keunggulan yang dapat dibedakan secara morfologi satu sama lainnya. Demikian juga dengan kultivar Bima terdapat 2 varian, yaitu Bima Curut dan Bima Juna. Varian-varian baru

(2)

bibit bawang merah di tingkat petani, sehingga petani menciptakan inovasi baru melalui seleksi sendiri. Kurangnya ketersediaan benih lokal bermutu juga menjadi penyebab munculnya varain-varian baru temuan petani.Seleksi yang dilakukan petani, paling sering didasarkan atas penampilan bobot umbi atau ukuran umbi. Oleh karena karakter tersebut merupakan karakter kuantitatif, maka penampilannya sangat dipengaruhi kondisi lingkungan tumbuh, variasi akan terjadi bila kondisi lingkungan tumbuh berubah. Untuk memverifikasi hasil pilihan petani, maka perlu dilakukan pengujian untuk mengetahui keunggulan dari masing-masing varietas lokal tersebut.

Kultivar lainnya yang dibudidayakan di Indonesia adalah Lampung, Betawi, Bauji, Ampenan, Sumenep, Thailand, Maja, Menteng, dan Cipanas (Aliuddin et al. 1990). Sebaran kultivar tersebut mulai dataran rendah sampai dengan dataran tinggi. Kendati kultivar Kuning dan Bima banyak digunakan di Brebes, tetapi potensi hasil kedua kultivar tersebut masih relatif rendah, yaitu hanya 5,49 t/ha untuk kultivar Kuning dan 6,27-6,54 t/ha hasil kering untuk kultivar Bima (Dibiyantoro 1990, Asandhi dan Kustoni 1990).

Pengujian daya hasil varian-varian tersebut pada ekosistem Brebes diharapkan menghasilkan kultivar lokal bawang merah yang memiliki hasil lebih tinggi dibandingkan kultivar lokal lainnya. Tujuan penelitian adalah mendapatkan kultivar bawang lokal yang berdaya hasil tinggi di Slatri, Brebes, Jawa Tengah. Hipotesis yang diajukan pada penelitian adalah akan dihasilkan minimal 1 kultivar lokal yang adaptif pada ekositem di Slatri, Brebes.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Slatri, Brebes, Jawa Tengah, yang memiliki jenis tanah Alluvial, pada bulan Juli sampai September 2005. Rancangan percobaan yang digunakan adalah acak kelompok dengan 3 ulangan dan 12 perlakuan. Masing-masing plot terdiri atas 500 tanaman. Untuk mendapatkan pertumbuhan yang optimal, benih bawang merah yang ditanam harus memiliki ciri-ciri, di antaranya cukup umur tanam

(lebih dari 65 hari), cukup umur simpan (30-60 hari), umbi padat, kompak, kulit umbi berkilau dan tidak luka, dengan umbi bibit berukuran sedang (1,5-1,8 cm). Bibit bawang yang digunakan berasal dari petani dan penangkar bibit di Brebes, Jawa Tengah dan Nganjuk, Jawa Timur. Pupuk dasar menggunakan kompos sebanyak 10 t/ha ditambah dengan pupuk P dengan dosis 92 kg/ ha P2O5. Pupuk diaduk rata dan disebarkan 3-7 hari sebelum tanam (HST). Pupuk susulan berupa 190 kg/ha N dan 120 kg/ha K2O, diberikan pada saat tanaman berumur 10-15 HST (Putrasamedja 2000). Jarak tanam yang digunakan adalah 20x15 cm. Penyiraman tanaman dilakukan 2 kali sehari, yaitu pada pagi dan sore hari. Penyiangan dan pendangiran dilakukan 2 kali, yaitu sebelum dilakukan pemupukan susulan dan umur 30 hari. Proteksi dilakukan 2 kali seminggu menggunakan insektisida dan fungisida untuk mengendalikan OPT hama S.exigua, penyakit bercak ungu, dan penyakit antraknos. Panen bawang merah dilakukan pada saat cuaca cerah, seharí sebelum panen tanah disiram terlebih dahulu untuk memudahkan waktu panen, juga berguna untuk mengatasi kerusakan pada kulit umbi.

Kultivar bawang merah yang diuji adalah kultivar lokal dan 2 kultivar pembanding asal impor. Kultivar lokal yang diuji meliputi Kuning Sidapurna, Kuning Engkel, Kuning Tablet, Kuning Rimpeg, Bima Juna, Bima Curut, Bangkok Warso, Timor, Bethok, dan Bauji, sedangkan kultivar impor adalah Tanduyung, dan Ilokos.

Peubah yang diamati meliputi tinggi tanaman umur 21 dan 40 HST yang diukur mulai dari permukaan tanah sampai dengan bagian yang tertinggi, jumlah anakan, diameter pangkal batang (gambas) diukur pada bagian pangkal batang, diameter daun diukur pada 2/3 bagian dari tinggi tanaman, masing-masing diukur pada saat tanaman berumur 40 hari, bobot umbi/plot, jumlah siung, distribusi ukuran umbi, rerata jumlah umbi/tanaman, hasil umbi basah (t/ha), dan persentase umbi besar diamati saat panen. Data dianalisis dengan analisis varian dan uji beda rerata menggunakan metode DMRT pada taraf beda nyata 5%, dengan perangkat komputer MSTAT-C.

(3)

HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Tanaman

Saat tanaman berumur 21 HST merupakan umur kritis untuk pengukuran kecepatan pertumbuhan, karena dapat merepresentasikan tingkat vigoritas tanaman. Data menunjukkan bahwa pada umur tersebut setiap kultivar menampilkan vigor yang bervariasi satu sama lainnya. Pertumbuhan vegetatif yang cepat ditandai dengan penambahan tinggi dan jumlah daun yang cepat. Hal ini akan berpotensi mempercepat laju fotosintesis, sehingga diharapkan berdampak terhadap peningkatan hasil.

Tinggi tanaman merupakan salah satu indikator pertumbuhan, kendati tinggi tanaman tidak berkorelasi dengan hasil (Aliuddin et al. 1990, Gunadi dan Suwandi 1989). Kultivar yang konsisten menampilkan tanaman tertinggi pada pengamatan umur 21 dan 40 HST ditemukan pada kultivar Bima Curut dan Kuning Tablet. Variasi tinggi tanaman pada pengamatan umur 40 HST relatif rendah dengan kisaran antara 42-45 cm (Tabel 1). Hasil penelitian lain di Majalengka, tinggi kultivar Bima Curut dapat mencapai 45,6 cm dan Kuning 43,9 cm (Putrasamedja 2000). Rerata tinggi tanaman antarkultivar pada

percobaan ini sulit dibedakan secara visual. Hasil yang sama juga didapatkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Kartapradja dan Putrasamedja (1990) di Sukamandi menggunakan 6 kultivar, yang tidak menghasilkan perbedaan tinggi tanaman yang nyata.

Jumlah anakan pada umur 21 hari terbanyak dihasilkan oleh kultivar Tanduyung (7,8 anakan), tetapi pada umur anakan maksimum, yaitu 40 HST semua kultivar yang diuji tidak memberikan jumlah anakan yang berbeda nyata, kecuali kultivar Tanduyung (9,0 buah) dengan Bima Curut (6,1 buah). Berbeda dengan penelitian ini, Putrasamedja (2000) melaporkan bahwa kultivar Kuning menghasilkan anakan yang nyata lebih banyak dibandingkan kultivar Bima Curut. Kenyataan ini menggambarkan bahwa lingkungan eksternal sangat kuat memengaruhi pemunculan karakter kuantitatif, seperti jumlah anakan. Kisaran jumlah anakan yang dihasilkan pada umur 40 HST adalah 6,1-9 siung, hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kartapradja dan Putrasamedja (1990) di Sukamandi, yaitu antara 6-8 siung.

Jumlah daun yang dihasilkan berkisar antara 34-54 helai, variasi tersebut cukup lebar yang Tabel 1. Tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah daun, diameter gambas, dan diameter daun kultivar lokal bawang merah (Plant height, number of sprouts, number of leaf, leaf

and stem diameter of local shallots varieties)

Kultivar (Cultivars) Tinggi tanaman (Plant height) cm Jumlah anakan /rumpun (No.of sprouts cluster) Jumlah daun (Leaf numbers) Diameter Pang-kal batang (Stem) mm Daun (Leaf) mm 21 40 21 40 21 40 ... HST (DAP) ... Kuning Sidapurna 30 ab 42 b 5.8 b 7,8 ab 21,7 b 44 ac 6,2 a 4,0 d Kuning Engkel 27 cd 45 ab 5,0 bc 7,6 ab 19,0 be 42 ac 6,4 a 4,4 bd Kuning Tablet 30 ab 45 ab 5,4 bc 7,7 ab 18,9 be 42 ac 6,9 a 5,1 a Kuning Rimpeg 29 abc 44 b 4,3 c 7,2 ab 17,2 de 40 bc 6,5 a 4,2 d

Bima Juna 30 ab 44 b 5,0 bc 7,1 ab 17,7 de 39 bc 6,4 a 4,4 bd Bima Curut 31 a 48 a 4,6 bc 6,1 b 20,0 bcd 34 c 6,9 a 5,0 ab Bangkok Warso 26 d 43 b 5,0 bc 7,6 ab 16,0 e 42 ac 6,7 a 4,9 ac Timor 29 abc 42 b 5,3 bc 7,3 ab 19,9 bd 40 bc 7,6 a 4,3 cd Betok 28 bcd 43 b 5,2 bc 8,3 ab 21,3 bc 54 a 6,4 a 4,4 bd Bauji 27 cd 44 b 5,9 b 7,3 ab 21,2 bc 35 c 7,6 a 5,1 a Tanduyung 31 a 42 b 7,8 a 9,0 a 31,3 a 49 ab 6,2 a 4,0 d

(4)

menandakan bahwa jumlah daun sangat sensitif terhadap pengaruh kondisi lingkungan tumbuh. Komponen Hasil

Umur matang fisiologis bawang merah berkisar antara 55-70 HST, bergantung pada kultivar yang digunakan. Umur matang fisiologi kultivar Bima berkisar antara 55-60 hari, sementara kultivar Kuning memiliki umur matang yang lebih dalam, yaitu 65-70 hari (Satjadipura 1990). Tujuh dari 12 kultivar yang diuji menampilkan hasil umbi yang berdiameter besar (>2cm). Persentase umbi besar pada kultivar pembanding Ilokos sebesar 72,6%, Bima Curut 62,7%, Kuning Rimpeg 60,7%, Kuning Engkel 58,3%, Bima Juna 57,5%, Timor 54,3%, Bauji 52,3%, dan Kuning Tablet 50,3% (Tabel 2). Kultivar Kuning Rimpeg dan Bima Curut menghasilkan umbi ukuran besar tinggi (>60%), sehingga kedua kultivar tersebut sangat disukai petani. Ukuran umbi, bentuk, dan warna kulit umbi merupakan kriteria utama yang dipilih petani dalam menentukan pilihan kultivar bawang merah. Ukuran umbi besar memiliki nilai jual yang lebih tinggi, karena dapat masuk ke supermarket.

Kultivar bawang merah untuk dapat tumbuh secara optimal memerlukan lingkungan tumbuh yang spesifik (Aliuddin et al. 1990). Berkaitan dengan hal itu, kultivar bawang yang unggul pada suatu lokasi belum tentu tetap unggul pada lokasi lainnya, walaupun berada pada ekosistem yang hampir sama. Keadaan demikian mendorong timbulnya beberapa kultivar baru bawang merah hasil seleksi petani, di samping perilaku petani bawang yang selalu menggunakan bibit yang berasal dari hasil panen pertanaman sebelumnya. Khusus komponen hasil bobot umbi, sangat dipengaruhi kondisi eksternal karena komponen tersebut adalah karakter kuantitatif.

Jumlah siung yang dihasilkan untuk tiap kultivar berkisar antara 1,7-3,1 siung, sedangkan untuk rerata jumlah umbi adalah mulai 5,9-10,4 buah. Jumlah dan ukuran umbi dapat dipengaruhi oleh perlakuan jarak tanam. Jarak tanam rapat dapat meningkatkan jumlah umbi. Kultivar yang menampilkan jumlah siung dan jumlah umbi yang tinggi, yaitu kultivar Betok dan Bauji, sementara kultivar Ilokos menghasilkan jumlah klaster serta jumlah umbi yang rendah. Estimasi bobot hasil umbi basah yang tertinggi terdapat pada Tabel 2. Bobot, jumlah umbi sampel, dan persentase umbi ukuran besar 12 kultivar bawang merah (Tuber weight, tuber number, and percentage large size of 12 local shallot

cul-tivars) Brebes 2005

Kultivar

(Cultivars)

Bobot umbi/10 tanaman

(Tuber weight/10 hills) (Number of tubers /10 hills)Jumlah umbi/10 tanaman

Umbi ukuran besar (Large tuber size) (>2cm) % Besar (Large) (>2 cm) g Sedang (Medium) (1,5-2 cm) g Kecil (Small) (<1,5 cm) g Besar (Large) (>2 cm) Sedang (Medium) (1,5-2 cm) Kecil (Small) (<1,5 cm) Kuning Sidapurna 730 ab 397 ac 50 ab 40 ab 35 ab 15 a 47,3 bd Kuning Engkel 630 b 263 ac 17 ab 33 ab 22 bc 3 ab 58,3 ac Kuning Tablet 687 ab 380 ac 27 ab 38 ab 33 ab 4 ab 50,3 ad Kuning Rimpeg 740 ab 273 ac 17 ab 41 ab 24 bc 4 ab 60,7 ab Bima Juna 683 ab 247 bc 32 ab 39 ab 24 bc 5 ab 57,5 ad Bima Curut 750 ab 247 bc 7 b 41 ab 22 bc 2 b 62,7 ab Bangkok Warso 450 b 440 ab 40 ab 25 b 43 a 5 ab 34,6 d Timor 677 ab 178 c 22 ab 41 ab 30 ac 5 ab 54,3 ad Betok 540 b 500 a 57 ab 31 b 47 a 9 ab 35,8 cd Bauji 753 ab 450 ab 47 ab 50 a 39 ab 8 ab 52,3 ad Tanduyung 623 ab 430 ab 68 a 39 ab 43 a 11 ab 41,7 bd Ilokos 973 a 163 c 8 b 42 ab 15 c 2 ab 72,6 a

(5)

kultivar Kuning Sidapurna dan Kuning Tablet, masing-masing 22,2 t/ha, yang tidak berbeda nyata dengan kultivar impor Ilokos (23,6 t/ha), tetapi lebih rendah dibandingkan dengan kultivar Tanduyung (24,6 t/ha). Hasil uji stabilitas yang dilakukan pada musim kering dan hujan di Bantul (Ambarwati dan Yudono 2003) mengungkapkan bahwa varietas Kuning hanya cocok pada lingkungan produktif, dengan hasil 18,02 t/ha, sementara varietas Bima tidak cocok pada semua lokasi uji dengan hasil maksimal 15,6 t/ha.

Hasil optimal bawang merah juga dipengaruhi oleh waktu tanam. Pertanaman pada bulan Juli−September merupakan waktu yang terbaik, sedangkan penanaman pada bulan Januari-Februari merupakan musim terburuk. Hal ini diduga berhubungan erat dengan adanya serangan penyakit antraknos (Suhardi 1996). Beberapa kultivar lokal umumnya lebih toleran terhadap penanaman di luar musim dibandingkan dengan kultivar impor, seperti Ilokos dan Tanduyung. Oleh sebab itu, kedua kultivar tersebut tidak pernah ditanam pada musim penghujan. Kendala utama penanaman di luar musim (Desember-Maret) adalah serangan antraknos (Suhardi 1996, Suhardi dan Suryaningsih 1990). Dari hasil penelitian terdahulu diperoleh beberapa kultivar yang toleran untuk musim hujan, di antaranya adalah Cipanas, Bauji, Maja, Kuning, dan Sumenep (Putrasamedja 1990). Untuk penanaman bawang merah di luar musim, diduga kultivar Kuning Sidapurna dan Kuning Tablet dapat

dari populasi kultivar Kuning yang sudah teruji pada penanaman musim hujan, seperti yang dilaporkan oleh Putrasamedja (1990).

KESIMPULAN

1. Kultivar lokal yang berdaya hasil tinggi di Brebes adalah kultivar Kuning Sidapurna dan Kuning Tablet.

2. Proporsi ukuran umbi besar >60% dihasilkan oleh kultivar Kuning Rimpeg dan Bima Curut.

3. Tidak satupun kultivar lokal yang mampu mengimbangi hasil kultivar asal impor Tanduyung.

PUSTAKA

1. Aliuddin, A.A. Asandhi, dan Budi Jaya. 1990. Pengujian Varietas Bawang Merah (Allium ascalonicum L) di Dataran Rendah Pulau Jawa. Bul.Penel.Hort. XIX(3):44-47.

2. Ambarwati, E., dan P. Yudono. 2003. Keragaan Stabilitas Hasil Bawang Merah. Ilmu Pertanian. 10(2):1-10. 3. Asandhi, A.A dan T. Kustoni.1990. Efisiensi Pemupukan

pada Pertanaman Tumpang Gilir Bawang Merah-Cabai Merah. Penel.Hort. XIX(1):1-6.

4. Basuki, R.S., W.G. Koster. 1990. Identification of Farmer Problem as a Basis for Development of Appropriate Technology: A Case Study on Shallots Production Tabel 3. Jumlah kluster, jumlah umbi/tanaman, bobot umbi/plot, dan rerata hasil /ha (Number

of cluster, number of tuber/hill, tuber weight/plot, and tuber weight /ha)

Kultivar (Cultivars) Jumlah klaster (No.Cluster) Jumlah umbi /tan. (Numbers tubers/plants) Bobot umbi/plot

(Tuber weight / plot)

kg/7,5 m2

Bobot umbi basah

(Wet tuber weight)

t/ha Kuning Sidapurna 2,0 cd 8.1 bc 47,7 ab 22,2 bc Kuning Engkel 2,2 bd 7,2 bc 45,0 ab 21,0 cd Kuning Tablet 3,1 a 7,8 cd 47,5 ab 22,2 bc Kuning Rimpeg 2,3 bd 7,0 ce 45,3 ab 21,2 cd Bima Juna 2,4 ac 6,8 ce 43,3 ab 20,2 cd Bima Curut 2,3 bd 6,8 ce 42,0 ab 19,6 d Bangkok Warso 2,6 ac 8,2 bc 36,5 b 17,0 e Timor 2,7 ac 7,7 cd 44,0 ab 20,5 cd Betok 3,1 a 9,9 a 36,0 b 17,0 e Bauji 2,8 ab 9,7 ab 45,0 ab 21,0 cd Tanduyung 2,0 cd 10,4 a 52,7 a 24,6 a Ilokos 1,7 d 5,9 e 50,7 a 23,6 ab

(6)

5. Dibiyantoro, L.H. 1990. Control Droplet Applicator Birky: Suatu Upaya Pengurangan Insektisida untuk Mengendalikan Spodoptera exigua Hbn. pada Tanaman Bawang Merah (Allium ascalonicum L.). Penel.Hort. XVIII(2):113-122.

6. Gunadi, N. dan Suwandi. 1989. Pengaruh Dosis dan Waktu Aplikasi Pemupukan Fospat pada Tanaman Bawang Merah Kultivar Sumenep terhadap Pertumbuhan dan Hasil. Bul.Penel.Hort. XVIII(2):98-106.

7. Kartapradja, R. dan S. Putrasamedja. 1990. Percobaan Kultivar Bawang Merah di Sukamandi. Bul. Penel.Hort. (1):57-60.

8. Putrasamedja, S. 1990. Evaluasi Beberapa Kultivar Bawang Merah untuk Musim Penghujan di Brebes. Bul. Penel.Hort. XVIII(1):85-89.

9. _____________. 2000. Tanggap Beberapa Kultivar Bawang Merah terhadap Vernalisasi untuk Dataran Medium. J. Hort. 10(3):177-182.

10. Satjadipura, S., 1990. Pengaruh Vernalisasi terhadap Pembungaan Bawang Merah. Bul. Penel.Hort.XVIII (2):61-70.

11. Subhan. 1990. Pengaruh Dosis NPK (15:15:15) pada Pertumbuhan dan Hasil Bawang Merah (Allium ascalonicum L) Kultivar Bima. Bul. Penel.Hort. XIX (3):109-118.

12. Suhardi dan Suryaningsih. 1990. Pengaruh Interval Penyemprotan Fungisida terhadap Serangan Antraknos (Colletotricum sp.) pada Bawang Merah (Allium cepa var. asalonicum L.). Bul. Penel. Hort. XVIII Ed. Khusus 1(1):140-145.

13. _______. 1996. Pengaruh Waktu Tanam dan Pemberian Fungisida terhadap Intensitas Serangan Antraknos pada Bawang Merah. J. Hort. 6(2):172-179

14. Suherman, R., dan R.S. Basuki. 1990. Strategi Pengembangan Luas Areal Usaha Tani Bawang Merah (Allium ascalonicum L) di Jawa Barat: Tinjauan dari Segi Biaya Usahatani Terendah. Bul. Penel.Hort. XVIII (1):11-18.

15. Sumarni, N., E. Sumiati, dan Suwandi. 2005. Pengaruh Kerapatan Tanaman dan Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh terhadap Produksi Umbi Bawang Merah Asal Biji Kultivar Bima. J. Hort. 15(3):208-214.

Gambar

Tabel 3.   Jumlah kluster, jumlah umbi/tanaman, bobot umbi/plot, dan rerata hasil /ha (Number  of cluster, number of tuber/hill, tuber weight/plot, and tuber weight /ha)

Referensi

Dokumen terkait

Keputusan pendanaan akan mempengaruhi terhadap arus kas operasi yang akan diperoleh para investor, oleh karena itu investor akan dapat menjadikan arus kas dari

Mobilitas sebagai elemen penggerak kota sekaligus mempengaruhi morfologi kota coba diterapkan ke konsep perancangan Graha Otomotif Mitsubishi dengan tujuan agar

Sumber Urip Sejati Utama terhadap aset milik Sugiarto Hadi, tidaklah berdasarkan atas permintaan pertanggungjawaban pribadi kepada pihak pemegang saham maupun

mengalami kerusakan secara fisik, kimia dan biologis merupakan istilah yang digunakan untuk lahan kritis (Suseno, 2002). Lima proses utama yang terjadi timbulnya tanah

Alat penarik bearing adalah perkakas tangan membuat penggunaan bantuan mekanis untuk mendukung kekuatan yang cukup besar untuk mengeluarkan komponen seperti roda gila

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh Kepuasan Kerja (X2) Terhadap Kinerja Karyawan (Y2) yang ditunjukkan dengan nilai t tabel 1,96 dengan t

untuk mengkaji pengaruh locus of control dan komitmen profesional auditor terhadap level tekanan anggaran waktu yang dirasakan dan kecenderungan auditor melakukan tindakan

Desain antarmuka ketiga adalah desain antarmuka judul Rumus. Desain ini digunakan untuk menampilkan judul rumus. Desain Antarmuka Judul Rumus Desain antarmuka contoh