• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIFAT HUJAN EKSTRIM PADA PUSAT WILAYAH PERTANIAN. DI JAWA BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SIFAT HUJAN EKSTRIM PADA PUSAT WILAYAH PERTANIAN. DI JAWA BARAT"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

SIFAT HUJAN EKSTRIM PADA PUSAT WILAYAH PERTANIAN.

DI JAWA BARAT

HADI SUYONO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Sifat Hujan Extrim Pada Pusat Wilayah Pertanian di

Jawa Barat adalah karya saya denga arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam

bentuk apapun, kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi berasal atau dikutip dari

karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks

dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2011

Hadi Suyono

G 251070071

(3)

ABSTARCT

Hadi Suyono,

Nature of Extreme Rain On Regional Agricultural Center in West Java.

Under direction of

Issues concerning global warming and climate change has become a hot discussion in various

circles. The impact is already felt in various places on the earth's surface in recent years, from

drought, landslides, floods and other extreme events. It is therefore necessary that appropriate

measures for adaptation and mitigation to minimize that impact. The research was conducted in

order to identify the nature of extreme rainfall in West Java, know the distribution of trends and

statistical properties of rainfall distribution, grouping according to the nature of the agricultural

region ektrimnya rain. by using the Index Series Wet Days (DHB) and the maximum index series

Dry Days (DHK). To the north coast of West Java in general DHK is longer than its southern

region, and tends to increase. While the DHB is generally not much changed, except a few in

some places.

(4)

RINGKASAN

Hadi Suyono. Sifat Hujan Ekstrim pada Pusat Wilayah Pertanian di Jawa Barat.

Dibimbing oleh Rizaldi Boer, Agus Buono dan Soetamto.

Isu tentang perubahan iklim sangat ramai dibicarakan oleh berbagai fihak baik

kalangan nasional maupun internasional, Pokok permasalahannya adalah perubahan sifat

iklim akan memberikan dampak besar pada berbagai sektor. Fenomena yang muncul

diantaranya adanya Iklim Ekstrim berupa Kekeringan, Tanah Longsor, Banjir dan

sebagainya. Sektor yang paling rentan terhadap dampak perubahan sifat iklim ekstrim ini

ialah sector pertanian, sedangkan di Indonesia penelitian tentang kejadian iklim ekstrim

masih sangat terbatas, sementara informasi ini sangat diperlukan untuk membantu sektor,

khususnya sektor pertanian, dalam meningkatkan kemampuan dalam mengelola risiko

iklim. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi sifat hujan ekstrim di wilayah Jawa

Barat, menentukan tren dan sebaran statistik sifat hujan ekstrim, dan menyusun peta

pengelompokkan wilayah pertanian propinsi Jawa Barat menurut sifat hujan ekstrim.

Metode penelitian ini dilakukan dalam dua bentuk analisis. Pertama ialah

analisis tren sifat hujan ekstrim dan kedua analisis bentuk sebaran statistik hujan ekstrim.

kemudian dikelompokkan berdasarkan trend dan sifat sebaran statistiknya dengan

menggunakan teknik analisis gerombol. Sifat hujan ekstrim yang dianalisis ialah dry spell

atau deret hari kering (DHK) dan wet spell atau deret hari basah (DHB) maksimum.

DHB adalah jumlah hari basah (hari hujan) berurutan yang tidak diselingi oleh hari

kering (hari tidak ada hujan). DHK adalah jumlah hari kering (hari tidak ada hujan)

berurutan yang tidak diselingi oleh hari basah (hari hujan). Hari basah didefinisikan

sebagai hari yang tinggi hujannya mencapai 1 mm. Tren sifat hujan ekstrim dianalisis

dengan menggunakan teknik regresi linier sederhana, Sebaran statistik sifat hujan

ekstrim, dianalisis dengan menggunakan beberapa model sebaran yaitu Normal,

LogNormal, 3-Parameter LogNormal, Gamma, dan sebagainya.

Hasil analisis menunjukkan bahwa panjang DHK dan DHB maksimum di Jawa

Barat beragam, di wilayah bagian utara Jawa Barat sebagian besar panjang DHK

maksimum berkisar antara 60 sampai 80, kecuali di beberapa wilayah tertentu seperti di

sebagain kecil wilayah Cirebon dan Pamengkang panjang DHK maksimum mencapai

100 sampai 120 hari. Sebaliknya panjang deret hari basah maksimum pada wilayah ini

relatif lebih pendek dibanding wilayah lain yaitu kurang dari 10 hari.

(5)

Analisis terhadap data seri DHK dan DHB menunjukkan bahwa pada bebeberapa stasiun

ditemukan adanya kecendrungan panjang DHK yang semakin panjang, sedangkan

panjang DHB maksimum cendrung memendek. Tren perubahan seperti ini dapat dilihat

secara nyata di stasiun Geofisika Bandung.

Tren peningkatan panjang DHK maksimum umumnya terjadi di sepanjang pantai utara

Jawa Barat dengan laju penambahan panjang DHK antara 1 sampai 5 hari per sepuluh

Tahun.

Dari hasil analisis gerombol menunjukkan bahwa stasiun di Propinsi Jawa Barat

dapat dikelompokkan ke dalam 4 kelompok utama.

Kelompok 1 merupakan wilayah yang paling kering dan memiliki rata-rata panjang

DHK maksimum terpanjang dan DHB terpendek sedangkan Kelompok 4 memiliki

panjang deret hari kering maksimum terpendek, tetapi rata-rata DHB bukan yang

terpanjang. Secara rata-rata stasiun Kelompok 3 memiliki DHB lebih panjang dari

Kelompok 4, namun demikian keragamannya jauh lebih tinggi disbanding kelompok 4.

Hal ini menunjukkan bahwa walaupun kelompok 3 memiliki rata-rata DHB terpanjang

namun simpangannya lebih dari dua kali yang di Kelompok 4.

Sebaran stasiun menurut kelompok berdasarkan sifat dari DHK dan DBH adalah

Kelompok 1, Sebagian wilayah Pantai Utara memanjang dari Barat sampai wilayah timur

(seperti Kab Bekasi, Kerawang, sebagian Subang, Indramayu sampai daerah Cirebon).

Kelompok 2, Sebagian besar daerah Jawa Barat khususnya untuk wilayah bagian tengah

sampai selatan, bagian timur ( Ciamis, Tasikmalaya), kemudian meluas ke arah barat

sampai Sukabumi, Bagian utara sebagia Bekasi bagian selatan, Subang dan Purwakarta

Kelompok 3, mengelompok di wilayah Jawa Barat bagian timur, yaitu sekitar Kuningan ,

Sumedang, Bandung, Cimahi dan sekitar Soreang.

Kelompok 4, berada di wilayah tengah bagian timur yaitu sekitar wilayah Jsakarta,

Bogor, Depok, sampai Puncak dan sebagian wilayah Cianjur.

(6)

SIFAT HUJAN EKSTRIM PADA PUSAT WILAYAH PERTANIAN.

DI JAWA BARAT

HADI SUYONO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sain pada

Program Studi klimatologi terapan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

(7)

Judul Tesis

: Sifat Hujan Extrim Pada Pusat Wilayah Pertanian

di Jawa Barat

Nama : Hadi Suyono

NIM

: G251070071

Disetujui

Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc

Anggota

Drs Soetamto, M.Si

Dr. Ir. Agus Buono, M.Si,M.Kom

Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi

Klimatologi Terapan

Dekan

Sekretaris Program S2

NIP. 19591130 198303 1 003

Prof. Dr. Ir. Handoko, M.Sc.

NIP. 19650122 198903 1 002

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(8)
(9)

i

PRAKATA

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan

hidayah-Nya, sehingga usulan penelitian ini dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan terima

kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing

dan Dr. Ir. Agus Buono, M.Si,M.Kom. serta Drs Soetamto, M.Si selaku anggota komisi

pembimbing yang telah banyak membantu, membimbing dan mengarahkan dalam

pembuatan usulan penelitian ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada

teman-teman mahasiswa Program Studi Klimatologi Terapan, Sekolah Pascasarjana IPB atas

bantuan pemikiran dan diskusi ilmiah.

Usulan penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk melaksanakan penelitian

guna memperoleh gelar Magister Sains pada Program Klimatologi Terapan, Sekolah

Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Judul usulan penelitian ini adalah Sifat Hujan

Ekstrim pada pusat wilayah pertanian di Jawa Barat.. Hasil penelitian ini diharapkan

dapat memberikan bahan informasi sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil suatu

kebijakan oleh instansi terkait maupun masyarakat lainnya.

Penulis menyadari bahwa usulan penelitian ini belum sempurna, karena masih

terdapat kelemahan dan kekurangan. Kritik, saran dan masukan pemikiran yang

konstruktif untuk menyempurnakan usulan penelitian ini sangat diharapkan. Semoga

usulan penelitian ini bermanfaat.

Bogor, September 2011

(10)

ii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Magelang pada tanggal 20 Juni 1960, sebagai

anak ketiga dari pasangan Dul Rahman dan Naimah. Pendidikan sarjana

ditempuh di program FMIPA Universitas Indonesia, lulus pada tahun 1997.

Pada tahun 2007, penulis diterima di program studi Klimatologi

Terapan pada program pascasarjana IPB. Penulis Bekerja sebagai Pegawai

Negeri Sipil di Instansi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika sejak

tahun 1981, bertempat di kantor pusat Badan Meteorologi Klimatologi dan

Geofisika Jakarta Pusat.

(11)

iii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR TABEL ... vi

BAB. I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Perumusan Masalah ... 2

1.3.Tujuan ... 2

1.4.Manfaat ... 2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kondisi Geografis ... 3

2.2. Kondisi Iklim dan Pertanian di Jawa Barat ... 4

2.3. Sifat Hujan Ekstrim dan Pengaruh pada Pertanian di Jawa Barat ... 7

BAB III. METODOLOGI

3.1. Lokasi Penelitian ... 11

3.2. Data dan Pengolahan ... 11

3.3. Metode Analisa Data ... 13

3.3.1. Analisa Tren Sifat Hujan Sifat Hujan Ekstrim ... 15

3.3.2. Analisis Sebaran Sifat Hujan Ekstrim... 15

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Analisis ... 17

4.4.1. Sifat Hujan Ekstrim ... 17

4.4.2. Tren Sifat Hujan Ekstrim ... 18

4.4.3. Sebaran Sifat Hujan Ekstrim ... 20

4.4.4. Pembahasan ... 23

BAB. V. KESIMPULAN DAN SARAN ... .. 26

(12)

iv

LAMPIRAN

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Peta Ketinggian Wilayah Jawa Barat ... 4

2. Wilayah Hujan di Jawa Barat Menurut Pola dan Tinggi Hujan ... 5

3. Hubungan Rata-rata Curah Hujan Bulanan dengan Peluang terjadinya

Deret Hari Kering (DHK)

≥ 10 hr dan peluang DHK ≥ 15 hr ... 9

4. Hubungan anatra Kejadian Hujan Atas Normal (AN) dengan Kejadian

Banjir 2000 dan 2004 di Indramayu ... 10

5. Hubungan antara Kejadian Hujan Bawah Normal (BN) pada Musim

Gadu dengan kejadian kekeringan th 1997 dan th 2003... 10

6. Lokasi Sebaran Pos Hujan ... 11

7. Diagram Alir Proses Pengolahan Data ... 13

8. Rata-rata Panjang Deret Hari Kering (DHK) Maksimum dan

Deret Hari Basah (DHB) Maksimum ... 17

9. Simpangan Baku Panjang Deret Hari Kering (DHK) maksimum dan

Deret Hari Basah Maksimum Jawa Barat ... 18

10. Grafik DHK atau CDD Stasiun Geofisika Bandung ... 18

11. Grafik DHB atau CWD Stasiun Geofisika Bandung ... 19

12. Peta tren Deret Hari Kering (DHK) Jawa Barat ... 19

13. Peta tren Deret Hari Basah (DHB) Jawa Barat ... 20

14. Dendogram Pengelompokan Pos Hujan di Jawa Barat... 22

15. Peta Pengelompokan Pos Hujan Berdasarkan Parameter DHK dan

DHB dengan Rata-rata dan Standar Deviasinya ... 23

(13)

v

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Luas dan Sebaran Wilayah Tipe Hujan di Jawa Barat ... 5

2. Dinamika Proporsi Penutupan Lahan Kawasan Jabodetabek ... 6

3. Hasil Produksi Pertanian per Hektar di Jawa Barat ... 6

4. Tabel Penghitungan DHB ... 15

5. Jumlah Total Stasiun yang Sebaran Data DHK dan DHB Sesuai dengan

Sifat Sebaran Statistik ... 19

DAFTAR LAMPIRAN

1. Daftar Pos Hujan di Wilayah Jawa Barat ... 29

(14)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Akhir-akhir ini isu tentang perubahan iklim sangat ramai dibicarakan oleh berbagai fihak baik kalangan nasional maupun internasional. Hasil sintesis terhadap hasil penelitian yang dilakukan di dunia oleh IPCC (Intergovernmental Panel on

Climate Change) menunjukkan bahwa frekuensi dan intensitas kejadian iklim

ek-strim cendrung semakin meningkat akibat dari pemanasan global. Perubahan sifat iklim ekstrim akan memberikan dampak besar pada berbagai sektor. Salah satu sek-tor yang paling rentan terhadap dampak perubahan sifat iklim ekstrim ini ialah secsek-tor pertanian. Namun demikian kajian terkait dengan perubahan sifat iklim ekstrim ma-sih sangat terbatas di Indonesia.

Beberapa sifat iklim ekstrim yang berpengaruh besar terhadap pertanian di-antaranya . Zhang, dan Yang, (2004) ialah (i) wet spells atau deret hari basah (DHB) yaitu hujan yang terjadi beberapa hari berturut-turut dalam periode yang panjang, (ii) dry spell atau deret hari kering (DHK), yaitu tidak hujan yang terjadi beberapa hari berturut-turut dalam periode yang lama, (iii) hari sangat basah (very

wet days) adalah jumlah curah hujan dalam satu tahun dimana jumlah curah

hujannya lebih besar dari 95 persentil (R95p), (iv) hari ekstrim basah (Extremely wet

Days), total hujan satu tahun, dimana jumlah curah hujannya lebih besar dari 99

persentil (R99p).

Kejadian deret hari kering yang panjang dapat memberikan dampak negative khususnya pada sector pertanian. Dikshit et al., (1987) menemukan bahwa cekaman kekeringan akibat terjadinya 16 deret hari kering selama pertumbuhan 20 varietas padi berumur genjah dapat menyebabkan mundurnya umur panen antara 2 sampai 27 hari dan menurunnya hasil tanaman antara 10-91%. Selanjutnya Niewolt (1989) menemukan bahwa di daerah tropis terjadinya deret hari kering selama 7 hari atau lebih mempunyai dampak yang serius terhadap tanaman. Castillo et al. (1992) me-nemukan bahwa tidak adanya hujan 15 hari berturut-turut baik sebelum ataupun se-sudah inisiasi malai dapat menurunkan hasil tanaman antara 18% dan 38%. Oleh

(15)

2 karena itu, penelitian tentang perubahan sifat iklim ekstrim sangat diperlukan dalam pengelolaan risiko iklim.

1.2 Perumusan Masalah

Kejadian iklim ekstrim sangat berpengaruh pada kegiatan banyak sektor, khususnya pertanian. Kegagalan panen akibat kejadian iklim ekstrim seperti kemarau panjang, atau banjir semakin sering terjadi akhir-akhir ini. Menurut Manton et,al (2001), kejadian ekstrim berubah cukup signifikan terutama wilayah Asia Tenggara. Untuk mendukung kegiatan tersebut. Di Indonesia penelitian tentang kejadian iklim ekstrim masih sangat terbatas, sementara informasi ini sangat diperlukan untuk membantu sektor, khususnya sektor pertanian, dalam meningkatkan kemampuan dalam mengelola risiko iklim.

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengidentifikasi sifat hujan ekstrim di wilayah Jawa Barat 2. Menentukan tren dan sebaran statistik sifat hujan ekstrim, dan

3. Menyusun peta pengelompokkan wilayah pertanian propinsi Jawa Barat menurut sifat hujan ekstrim.

1.4 Manfaat

Hasil penelitian ini memberikan informasi sifat iklim esktrim yang dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan dalam pengelolaan risiko iklim untuk berbagai sektor khususnya di wilayah Jawa Barat.

(16)

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kondisi Geografis

Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5°50' - 7°50' LS dan 104°48' - 104°48 BT. Luas wilayah Provinsi Jawa Barat Barat pada tahun 2008 ada-lah 34.816,96 Km2, terdiri atas 16 kabupaten dan 9 kota. Secara administrasi batas-batas Provinsi Jawa Barat adalah sebagai berikut :

 Utara : Laut Jawa

 Timur : Jawa Tengah

 Selatan : Samudra Hindia

 Barat : DKI Jakarta dan Provinsi Banten

Sebagian besar wilayah kabupaten/kota di Jawa Barat berbatasan dengan laut, sehingga wilayah Jawa Barat memiliki garis pantai cukup panjang, yaitu 755.83Km.

Wilayah pegunungan umumnya menempati bagian tengah dan selatan Jawa Barat. Pada bagian tengah dapat ditemukan gunung-gunung berapi aktif seperti Gu-nung Salak (2.211 m), GuGu-nung Gede Pangrango (3.019 m) , GuGu-nung Ciremai (3.078 m) dan Gunung Tangkuban Perahu (2.076) berpadu dengan deretan pegunungan yang sudah tidak aktif seperti Gunung Halimun (1.744 m), Gunung Ciparabakti (1.525 m) dan Gunung Cakrabuana (1.721 m). Demikian pula halnya di wilayah se-latan, gunung-gunung berapi masih umum dijumpai seperti Gunung Galunggung (2.168 m), Papandayan (2.622 m), dan Guntur (2.249 m); bersama deretan pegunun-gan yang sudah tidak aktif seperti pegununpegunun-gan selatan Jawa. Keadaan sebaliknya dijumpai di wilayah utara Jawa Barat yang merupakan daerah dataran sedang hing-ga rendah denhing-gan didominasi oleh dataran aluvial. Daerah daratan Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi beberapa karakter sebagai berikut:

 daerah pegunungan curam di bagian selatan dengan ketinggian > 1.500 m dpl,

 daerah lereng bukit landai di bagian tengah dengan ketinggian 100-1500 m dpl

(17)

4 Secara geologis daratan Jawa Barat merupakan bagian dari busur kepulauan gunung api (aktif dan tidak aktif) yang membentang dari ujung utara Pulau Sumatera hingga ujung utara Pulau Sulawesi.

Gambar 1. Peta Ketinggian Wilayah Jawa Barat (RPJM Prov Banten tahun 2007-2011)

2. Kondisi Iklim dan Pertanian di Jawa Barat

Pola hujan di Jawa Barat cukup beragam. Penelitian Boer dkk. (1996) me-nemukan bahwa pola hujan di Jawa Barat dapat dibagi menjadi 10 tipe, yaitu tipe A, B, …, J (Gambar 2). Menurut luasannya, tipe hujan di propinsi Jawa Barat didomi-nasi oleh tipe E, F, I dan J (Tabel 1). Keempat wilayah ini menempati lebih dari 70% dari total wilayah Jawa Barat. Wilayah I dan J ialah wilayah yang paling ker-ing yang terletak di jalur pantai utara (Pantura) Jawa Barat dan merupakan wilayah yang areal persawahannya paling luas.

(18)

5 0 1 0 0 2 0 0 3 0 0 4 0 0 5 0 0 6 0 0 7 0 0 JFMAMJJASOND 0 1 0 0 2 0 0 3 0 0 4 0 0 5 0 0 6 0 0 7 0 0 JFMAMJJASOND 0 1 0 0 2 0 0 3 0 0 4 0 0 5 0 0 6 0 0 7 0 0 JFMAMJJASOND 0 1 0 0 2 0 0 3 0 0 4 0 0 5 0 0 6 0 0 7 0 0 JFMAMJJASOND 0 1 0 0 2 0 0 3 0 0 4 0 0 5 0 0 6 0 0 7 0 0 JFMAMJJASOND 0 1 0 0 2 0 0 3 0 0 4 0 0 5 0 0 6 0 0 7 0 0 JFMAMJJASOND 0 1 0 0 2 0 0 3 0 0 4 0 0 5 0 0 6 0 0 7 0 0 JFMAMJJASOND 0 1 0 0 2 0 0 3 0 0 4 0 0 5 0 0 6 0 0 7 0 0 JFMAMJJASOND 0 1 0 0 2 0 0 3 0 0 4 0 0 5 0 0 6 0 0 7 0 0 JFMAMJJASOND 0 1 0 0 2 0 0 3 0 0 4 0 0 5 0 0 6 0 0 7 0 0 JFMAMJJASOND

Gambar 2. Wilayah hujan di Jawa Barat menurut pola dan tinggi hujan (Boer dkk, 1996)

Tabel 1. Luas dan sebaran wilayah tipe hujan di Jawa Barat

Tipe Hujan

BB BK Luas

Keterangan

(Bulan) (ha) (%)

Tipe A >9 <2 10 000 0.2 Bagian Tengah Kab. Bogor

Tipe B >9 <2 267 500 5.8 Bagian Tengah/Barat/Selatan

Tipe C 9-Aug 0 232 500 5 Pantai Selatan

Tipe D 9-Aug >2 107 500 2.3 Bagian Tengah Kab. Bogor

Tipe E 8-Jul 3-Feb 570 000 12.3 Bagian Tengah/Barat/Selatan

Tipe F 8-Jul 4-Mar 1 922 500 41.6 Bagian Tengah

Tipe G 7-Jun 3-Feb 167 500 3.6 Subang bagian tengah

Tipe H 7-Jun 4-Mar 65 000 1.4 Majalengka

Tipe I 6-May 5-Apr 642 500 13.9 Jalur Pantura bagian tengah

Tipe J 6-May 6-May 645 000 13.9 Jalur Pantura (pinggir utara)

Jumlah 4 630 000 100

Keterangan : Bulan basah (BB) ialah bulan yang curah hujan  200 mm dan Bulan Kering (BK) ialah bulan yang curah hujannya < 100 mm. Sumber: Boer dkk, (1996)

(19)

6 Jawa Barat merupakan wilayah yang telah dikenal sebagai sentra produksi pangan khususnya padi, namun seiring dengan perkembangan Iptek dan perekonomian masyarakat, sebagian lahan produtif berangsur-angsur tergusur untuk kepentingan lain, seperti kepentingan indusri pembangunan pabrik-pabrik, untuk area perkantoran serta penyediaan lahan untuk kepentingan perumahan penduduk. Berikut gambaran perkembangan penggunaan lahan untuk wilayah Jabodetabek seperti tabel 2 dan 3 di bawah.

Tabel 2. Dinamika Proporsi Penutupan Lahan Kawasan Jabodetabek

Kelas Penutupan Lahan Proporsi Penutupan Lahan

1972 1983 1992 2000 2005 Ruang Terbangun 2% 9% 11% 23% 29% RTH 74% 73% 75% 62% 63% Ladang/upland/bareland 23% 17% 11% 13% 6% Badan Air 0% 0% 0% 0% 1% Tambak 1% 2% 2% 2% 2% Sumber: Agrissantika (2007)

Tabel 3. Hasil Produksi Pertanian Per Hektar di Jawa Barat

No Kabupaten / Kota Luas Panen Hasil Per Hektar Produksi

(Ha) (Kw/Ha) (Ton)

1 Bogor 85 147 58,80 500 686 2 Sukabumi 144 499 55,12 796 502 3 Cianjur 144 026 53,19 766 039 4 Bandung 75 891 58,44 443 507 5 G a r u t 135 104 58,13 785 374 6 Tasikmalaya 120 254 60,26 724 703 7 C i a m i s 107 575 62,81 675 637 8 Kuningan 61 068 57,00 348 093 9 Cirebon 86 187 59,14 509 729 10 Majalengka 97 204 58,53 568 955 11 Sumedang 78 143 55,95 437 192 12 Indramayu 226 568 58,31 1 321 016 13 Subang 184 585 59,89 1 105 550 14 Purwakarta 41 662 55,51 231 285 15 Karawang 182 425 58,53 1 067 691 16 B e k a s i 105 825 58,67 620 868

(20)

7 Tabel 3. Lanjutan

No Kabupaten / Kota Luas Panen Hasil Per Hektar Produksi 17 Bandung Barat 43 847 55,55 243 570 18 B o g o r 1 269 56,04 7 112 19 Sukabumi 3 625 62,58 22 687 20 Bandung 1 897 57,44 10 897 21 Cirebon 656 55,53 3 643 22 Bekasi 1 013 56,05 5 678 23 Depok 793 57,96 4 596 24 Cimahi 504 58,19 2 933 25 Tasikmalaya 14 252 56,72 80 844 26  Banjar 6 184 61,28 37 895    Kesimpulan :    Thn. 2009 1 950 203 58,06 11 322 682 Thn. 2008 1 803 628 56,06 10 111 064 Thn. 2007 1 829 085 54,20 9 914 019 Thn. 2006 1 798 260 52,38 9 418 572

Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat

2.3. Sifat Hujan Ekstrim dan Pengaruh pada Pertanian di Jawa Barat

Untuk mendapatkan pandangan yang seragam tentang perubahan pada cuaca dan iklim ekstrim, para ahli telah mendefinisikan beberapa indeks ekstrim. Indeks menggambarkan karakteristik khusus dari kondisi ekstrim meliputi frekuensi, intensitas, amplitudo, durasi dan persistensi. Terdapat beberapa indeks untuk curah hujan (Zhang, dan Yang, (2004). Diantaranya ialah wet spells atau deret hari basah (DHB), dry spells atau deret hari kering (DHK), hari sangat basah (very wet days) yaitu nilai hujan melebihi 95 persentil (R95p), hari ekstrim Basah (Extremely wet

Days) yaitu tinggi hujan sama atau melebihi nilai 99 persentil (R99p).

Di dalam konteks pertanian, kajadian iklim esktrim seperti DHK yang panjang dapat menimbulkan bencana kekeringan, dan DHB yang panjang atau hari sangat basah diperkirakan akan menmbulkan bencana banjir. Besarnya pengaruh kejadian DHK atau DHB yang panjang terhadap tanaman sudah banyak diteliti (Dik-shit et al., 1987; Niewolt, 1989; Castillo et al., 1992; McCaskill dan Kariada, 1992). Sebagian besar dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kejadian deret hari kering sama atau lebih besar dari 15 hari dapat memundurkan umur panen, gagal bunga, menurunkan hasil tanaman dan lain-lain. Namun demikian, gangguan pada

(21)

8 pertumbuhan tanaman khususnya di daerah tropis dapat terjadi apabila tanaman ter-papar terhadap DHK melebihi 7 hari (Niewolt 1989).

Penelitian lain yang dilakukan oleh Rushayati et al. (1989) di Indonesia juga menunjukkan bahwa tanaman yang diberi cekaman air (kadar air 50% kapasitas la-pang) selama sepuluh hari pada awal fase pertumbuhan vegetatif dan fase primordial memberikan hasil yang sangat rendah. Penurunan hasil yang terjadi akibat cekaman kekeringan pada awal fase pertumbuhan vegetatif terutama melalui pengurangan jumlah anakan dan luas daun sedangkan pada fase primordia melalui penurunan jumlah gabah, peningkatan jumlah gabah hampa dan penurunan bobot 100 biji.

Boer dkk (1996) telah menyusun persamaan untuk menduga peluang terja-dinya DHK dengan panjang sama atau melebihi 10 (p(x>=10 hari)) dan sama atau melebihi 15 hari (p(x>=15 hari)) dari rata-rata data hujan bulanan. Penelitian ini di-lakukan karena terbatasnya ketersediaan data harian. Hasil penelitian mereka me-nunjukkan bahwa p(x>=10 hari) dan p(x>=15 hari) dapat diduga dengan baik dari rata-rata tinggi hujan bulanan dalam bentuk persamaan berikut (Gambar 3) p(x10) = 1/[1+exp(-0.2688+ 0.00745 X)])) dan p(x15) = 1/[1+exp(0.22913+ 0.00831 X)]. Pengujian persamaan tersebut sudah dilakukan oleh Hasan (1997) di dua lokasi di Jawa Tengah. Diperoleh bahwa nilai peluang dugaan mendekati nilai peluang pen-gamatan dengan nilai korelasi lebih besar dari 0.9. Namun demikian Boer et al. (1996) menyatakan bahwa persamaan tersebut memberikan hasil yang kurang akurat pada daerah dengan tinggi hujan bulanan rendah tetapi kejadian hujannya menyebar merata seperti di wilayah F (lihat Gambar 2).

(22)

9 (a) (b) Hujan (mm) p(X>=10 hari ) 0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0 200 400 600 Hujan (mm) p(x>=15 hari ) 0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0 200 400 600 Sumber: Boer dkk (1996) Gambar 3. Hubungan antara rata-rata curah hujan bulanan dengan (a) peluang

terjadinya deret hari kering sama dan lebih besar 10 hari.

(b) peluang terjadinya deret hari kering sama dan lebih besar 15 hari.

Terjadinya DHB yang panjang yang umumnya terjadi pada musim hujan akan berdampak pada meningkatnya risiko banjir karena kondisi air tanah akan tinggi. Pada kondisi ini air hujan yang dapat ditahan di tanah akan berkurang sehingga sebagian besar dari air hujan akan langsung menjadi aliran permukaan dan berpotensi menimbulkan banjir. Di Indramayu, pusat produksi padi di Jawa Barat, apabila tinggi hujan bulanan sudah melebihi 300 mm, luas wilayah persawahan yang terkena banjir meningkat secara signifikan (Gambar 4). Namun demikian banjir tidak selalu terjadi akibat tingginya hujan insitu (di lokasi bersangkutan) tetapi juga bisa akibat tingginya hujan yang terjadi di daerah hulu yang menimbulkan banjir kiriman. Sebaliknya, terjadinya DHK yang panjang yang umumnya terjadi pada musim kemarau juga akan berdampak pada meningkatnya risiko kekeringan. Pada kondisi ini, hujan yang diterima pada musim kemarau akan jauh di bawah normal (JBN). Boer dkk (2008) menemukan bahwa luas pertanaman padi terkena kekeringan meningkat secara nyata pada saat tinggi hujan MK (Mei-September) turun jauh di bawah normal (Gambar 5).

(23)

10

Gambar 4. Hubungan antara kejadian hujan atas normal (AN) dengan kejadian banjir tahun 2000 & 2004 di Indramayu (Sumber: Boer dkk, 2008)

Gambar 5. Hubungan antara kejadian hujan bawah normal (BN) pada musim tanam gadu dengan kejadian kekeringan Tahun 1997 dan 2003 di Indramayu (Sumber: Boer dkk, 2008)

0 100 200 300 400 500 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Cu ra h Hu ja n ( m m ) 0 100 200 300 400 500 Cu ra h Hu ja n ( m m ) 1999/00 Normal 0 100 200 300 400 500 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Cu ra h H u ja n ( m m ) 0 100 200 300 400 500 Cu ra h Hu ja n ( m m ) 2003/04 Normal 1999 2000 2003 2004 Luas terkena banjir Januari: 25.644 ha Luas terkena banjir Februari: 50.478 ha 1996 1997 2002 2003 0 100 200 300 400 500 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 C u ra h H u ja n (mm) 0 100 200 300 400 500 C ur a h H uj a n (m m ) 1996/97 Normal 0 100 200 300 400 500 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 C u ra h H u ja n (mm ) 0 100 200 300 400 500 Cu ra h Hu ja n ( m m ) 2002/03 Normal Terkena Keke-ringan: 47,995 ha Terkena Keke-ringan: 7,896 ha

(24)

11

BAB III

METODOLOGI

3.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah Propinsi Jawa Barat. Propinsi ini merupa-kan salah satu pusat produksi pertanian penting dan merupamerupa-kan propinsi penghasil padi utama di Indonesia

3.2 Data dan Pengolahan

Penelitian ini menggunakan data hujan harian dari 90 stasiun pengamatan curah hujan di Jawa Barat. Lokasi stasiun umumnya menyebar di pantai utara dan bagian tengah wilayah propinsi Jawa Barat ( Gambar 6)

Gambar 6. Lokasi Sebaran Pos Hujan di Jawa Barat

Data curah hujan yang digunakan berasal dari 2 kelompok stasiun pengamatan yakni stasiun yang dikelola oleh instansi BMKG dan stasiun kerja sama. Stasiun kerjasama adalah stasiun pengamatan yang dititipkan ke instansi diluar BMKG atau perseorangan.

(25)

12 Stasiun hujan dipilih berdasarkan kelengkapan data curah hujan dengan panjang pengamatan minimal 10 tahun. Posisi geografis statisun yang digunakan disajikan di Lampiran 1. Data yang dikumpulkan dari ber-bagai titik pengamatan sudah melewati ‘quality control’. Hal ini sangat di-perlukan karena kemungkinan masih ada kesalahan data baik yang disebab-kan oleh manusia, misalnya dalam proses pencatatan, dapat juga dari perala-tannya itu sendiri, diantaranya waktu pemindahan tempat kegiatan pengama-tan tidak dilakukan pencatapengama-tan (meta data), prosedur pengamapengama-tan, penggan-tian alat dan lain-lain. Anguler et al, (2003).

Pengecekan data dilakukan dengan beberapa cara yaitu:

1. Cara manual yaitu data yang telah tersusun diplot dalam bentuk grafik, dari gambar grafik tersebut akan bisa dideteksi data yang tidak sesuai (error),

2. Memakai pengalaman pengamat setempat atau pengetahuan lokal, dengan cara memeriksa data yang dicurigai terjadi kesalahan dengan histori data dari stasiun setempat.

3. Membandingkan data yang dicurigai salah dari suatu pos pengamatan dengan data dari pos pengamatan terdekat yang dianggap homogen Bates (2004).

4. Menggunakan program aplikasi RClimdex yang otomatis dapat mende-teksi data curah hujan yang nilainya negative dan data yang diluar batas toleransi atas maupun bawah. Batas toleransi dirumuskan sebagai berikut :

Nilai rata-rata ± 4 x standard deviasi ( Sx ) dari pos pengamatan setempat, Sx = Standar deviasi dari data pos pengamatan setempat.

Apabila terdapat data diluar nilai batas tersebut, maka perlu dilakukan pengecekan.

 Persamaan dari Standart Deviasi ( Sx ) adalah sebagai berikut :

(26)

13  Nilai 4 dapat dapat diganti dengan nilai lain disesuaikan dengan data maksimum dan minimum yang telah tercatat di pos pengamatan setem-pat.

3.3 Metode Analisis Data

Penelitian ini dibagi ke dalam dua bentuk analisis. Pertama ialah analisis tren sifat hujan ekstrim dan kedua analisis bentuk sebaran statistik hujan ekstrim. Stasiun kemudian dikelompokkan berdasarkan trend dan si-fat sebaran statistiknya dengan menggunakan teknik analisis gerombol

(clus-ter analysis) metode Ward (Nur. 2006). Diagram alir analisis disajikan pada

Gambar 7.

(27)

14 Sifat hujan ekstrim yang dianalisis ialah dry spell atau deret hari ker-ing (DHK) dan wet spell atau deret hari basah (DHB) maksimum. Sifat hu-jan ini telah digunakan oleh lembaga internasional seperti komisi untuk klimatologi WMO (CCI), World Climate Research Program (WCRP), Climate Variability and Predictability (CLIVAR), Expert Team on Climate Change Detection Monitoring and Indices (ETTCDMI) untuk pengembangan analisis indeks perubahan iklim.

DHB adalah jumlah hari basah (hari hujan) berurutan yang tidak dis-elingi oleh hari kering (hari tidak ada hujan). DHK adalah jumlah hari ker-ing (hari tidak ada hujan) berurutan yang tidak diselker-ingi oleh hari basah (hari hujan). Hari basah didefinisikan sebagai hari yang tinggi hujannya mencapai 1 mm atau lebih mengikuti definisi yang digunakan Albert dan Tank (2009). Perhitungan panjang DHK dan DHB dilakukan dengan menggunakan pro-gram aplikasi RClimDex. ). Dalam menentukan hari hujan ada beberapa kriteria sesuai dengan keperluan. Deni et.al (2008) menentukan hari basah (wet day) adalah hari dengan jumlah curah hujan paling sedikit sebesar 0.1 mm.

Program aplikasi mengubah data hujan ke dalam bentuk bilangan bi-nary, yaitu data yang nilainya sama atau lebih besar 1 mm dirubah menjadi angka 1, sedangkan yang nilainya kurang dari 1 mm dirubah dengan angka 0. Kemudian dihitung jumlah data yang nilainya 1 berturut-turut tanpa dis-elingi angka nol sebagai DHB atau angka 0 berturut-turut tanpa disdis-elingi angka 1 sebagai DHK. Selanjutnya program memilih nilai terpanjang dalam setiap tahun sebagai DHB atau DHK maksimum. Sebagai ilustrasi, penen-tuan panjang DHB maksimum disajikan pada Tabel 4.

(28)

15 Tabel 4. Tabel Penghitungan DHB

Tahun Bulan Tanggal RR

1985 1 1 0,5 0 1 1985 1 2 30.5 1 3 1985 1 3 9.0 1 1985 1 4 10.5 1 1985 1 5 1 0 1 1985 …. …. …. …….. ………

Panjang Maximum untuk 1985 10

3.3.1. Analisis Tren Sifat Hujan Ekstrim

Tren sifat hujan ekstrim dianalisis dengan menggunakan teknik regresi linier sederhana,

Y = α + β X

Y = merupakan pubah bebebas;

α = intersep / perpotongan dengan sumbu tegak β = Kemiringan / gradient

Nilai kemiringan ini merupakan tren (Mattjik dan Sumertajaya, 2006). Kemudian pola kecenderungan perubahan DHK dan DHB spasial ditentu-kan dengan menggunaditentu-kan teknik kriging melalui program aplikasi SIG (Eddy, 2004)

3.3.2. Analisis Sebaran Sifat Hujan Ekstrim

Sebaran statistik sifat hujan ekstrim, dianalisis dengan menggunakan beberapa model sebaran yaitu Normal, LogNormal, 3-Parameter Log-Normal, Gamma, 3-Parameter Gamma, Exponential, 2-Parameter Expo-nential, Smallest Extreme Value, Weibull, 2 Parameter Weibull, Largest Extreme Value, Logistic, Log Logitic, dan 3-Parameter LogLogistic den-gan menggunakan program aplikasi MINITAB. Untuk menentukan seba-ran statistic yang dianggap paling sesuai dengan sebaseba-ran data sifat hujan

(29)

16 esktrim digunakan nilai P-value. Selanjutnya mengidentifikasi nilai seba-ran dengan P-Value sama atau lebih lebih besar dari 0.5, kemudian nilai tersebut diganti dengan angka 1, untuk nilai P-Value yang kurang dari 0.5 diganti dengan angka 0. Demikian dilakukan untuk pos pengamatan yang lain. Langkah selanjutnya dengan menjumlah angka satu tersebut pada masing-masing model sebaran. Model sebaran yang memperoleh angka terbesar dipilih sebagai model sebaran yang paling sesuai untuk wilayah tersebut. Model sebaran yang terpilih dipakai untuk mencari nilai parame-ter dari DHB dan DHK dari masing-masing pos pengamatan yang kemu-dian digunakan untuk menentukan pengelompokan stasiun menurut sifat hujan ekstrim dengan menggunakan analisis gerombol metode Ward .

(30)

17

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Analisis

4.4.1. Sifat Hujan Ekstrim

Hasil analisis menunjukkan bahwa panjang DHK dan DHB mak-simum di Jawa Barat beragam (Gambar 8). Di wilayah bagian utara Jawa Barat sebagian besar panjang DHK maksimum berkisar antara 60 sampai 80, kecuali di beberapa wilayah tertentu seperti di sebagain kecil wilayah Cirebon dan Pamengkang panjang DHK maksimum mencapai 100 sampai 120 hari (Gambar 8.a). Sebaliknya panjang deret hari basah maksimum pada wilayah ini relatif lebih pendek dibanding wilayah lain yaitu kurang dari 10 hari (Gambar 8.b). Sebagian besar wilayah di Jawa Barat, panjang DHK maksimum umumnya antara 10 sampai 15 hari (di wilayah bagian tengah). Secara umum keragaman nilai DHK dan DHB maksimum di wi-layah Pantura Jabar lebih rendah dibanding dengan yang di wiwi-layah lainnya (Gambar 8). Keragaram terbesar ditemukan di sekitar wilayah Cigede.

(a) (b)

Gambar 8. Rata-rata panjang Deret Hari Kering (DHK) maksimum (kiri) dan Deret Hari Basah (DHB) maksimum (kanan) di Jawa Barat

(31)

18 Gambar 9. Simpangan baku panjang Deret Hari Kering (DHK) maksimum (kiri)

dan Deret Hari Basah (DHB) maksimum (kanan) di Jawa Barat

4.4.2. Tren Sifat Hujan Ekstrim

Hasil analisis terhadap data seri DHK dan DHB menunjukkan bahwa pada bebeberapa stasiun ditemukan adanya kecendrungan panjang DHK yang semakin panjang, sedangkan panjang DHB maksimum cendrung memen-dek. Tren perubahan seperti ini dapat dilihat secara nyata di stasiun Geo-fisika Bandung (Gambar 10 dan 11). Namun demikian pola kecendrungan sebaliknya juga ditemukan di beberapa wilayah (Gambar 9 dan 10).

(32)

19 Gambar 11. Grafik DHB atau CWD pada stasiun Geofisika Bandung

Tren peningkatan panjang DHK maksimum umumnya terjadi di sepanjang pantai utara Jawa Barat dengan laju penambahan panjang DHK antara 1 sampai 5 hari per sepuluh tahun (Gambar 12). Sumedang, Majalengka dan Subang, merupakan daerah yang mempunyai kecenderungan penam-bahan DHK yang cukup tinggi yaitu berkisar antara 4 sampai 5 hari per sepuluh tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa resiko kekeringan di wi-layah ini juga cendrung semakin tinggi. Hal yang sama juga diamati di sebagian kecil wilayah Malangbong.

(33)

20 Untuk panjang DHB maksimum, stasiun yang menunjukkan adanya tren peningkatan panjang DHB maksimum yang nyata hanya di sebagin kecil wilayah Jawa Barat (Gambar 13). Wilayah yang menun-jukkan adanya tren peningkatan panjang DHB maksimum yang tinggi ia-lah di sebeia-lah tenggara Tasikmalaya sekitar daerah Sukawening, kemu-dian di sebagian wilayah Depok, Cibinong dan Ciampea. Laju penamba-han panjang DHB maksimum di wilayah ini ialah antara 5 sampai 10 hari per sepuluh tahun (Gambar 13).

Gambar 13. Peta Tren Deret Hari Basah (DHB) Jawa Barat

4.4.3. Sebaran Sifat Hujan Ekstrim

Hasil analisis bentuk sebaran statistik yang sesuai dengan sebaran data hu-jan ekstrim menunjukkan bahwa sebaran yang paling sesuai ialah sebaran normal baik untuk data panjang DHK maupun DHB. Hal ini ditunjukkan oleh banyaknya stasiun yang data panjang DHK dan DHB mengikuti se-baran ini. Hasil analisis yang disajikan pada Tabel 5 menunjukkan bahwa hampir semua dari 90 stasiun di Jawa Barat sebaran data DHK dan DHB mengikuti sebaran, yaitu 78 stasiun untuk data DHK dan 83 stasiun untuk data DBK. Sedangkan untuk sebaran statistik lainnya, banyaknya stasiun yang data DHK dan DBH sesuai dengan sebaran statistik tersebut lebih rendah dibandingkan dengan yang sebaran normal (Tabel 5). Berdasarkan

(34)

21 hasil ini, maka pengelompokkan stasiun menurut kesamaan sifat hujan ek-strim dilakukan dengan menggunakan nilai rata-rata dan simpangan baku DHK dan DHB maksimum.

Tabel 5. Jumlah dari total 90 stasiun yang sebaran data DHK dan DHB mengikuti sifat sebaran statistik tertentu

Sebaran DHK DHB Normal 78 83 Log-Normal 69 69 3-Parameter LogNormal 57 50 Gamma 67 58 3-par Gamma 52 42 Exponential 64 57 2-Parameter Exponential 73 56 Smallest Extreme Value 63 56

Weibull 63 60

2 Parameter Weibull 61 55

Largest Extreme Value 57 52

Logistic 57 51

Log Logitic 61 52

3-Parameter LogLogistic 56 54

Dari hasil analisis gerombol diperoleh dendogram yang menun-jukkan bahwa stasiun di Propinsi Jawa Barat dapat dikelompokkan ke da-lam 4 kelompok utama (Gambar 14). Kelompok 1 merupakan wilayah yang paling kering dan memiliki rata-rata panjang DHK maksimum ter-panjang dan DHB terpendek sedangkan Kelompok 4 memiliki ter-panjang de-ret hari kering maksimum terpendek, tetapi rata-rata DHB bukan yang ter-panjang. Secara rata-rata stasiun Kelompok 3 memiliki DHB lebih pan-jang dari Kelompok 4, namun demikian keragamannya jauh lebih tinggi disbanding kelompok 4 (Tabel 15). Hal ini menunjukkan bahwa

(35)

walau-22 pun kelompok 3 memiliki rata-rata DHB terpanjang namun simpangannya lebih dari dua kali yang di Kelompok 4.

Sebaran stasiun menurut kelompok berdasarkan sifat dari DHK dan DBH adalah sebagai berikut:

(1) Kelompok 1: Sebagian wilayah Pantai Utara memanjang dari Barat sampai wilayah timur (seperti Kab Bekasi, Kerawang, sebagian Sub-ang, Indramayu sampai daerah Cirebon).

(2) Kelompok 2: Sebagian besar daerah Jawa Barat khususnya untuk wi-layah bagian tengah sampai selatan, bagian timur ( Ciamis, Tasikma-laya), kemudian meluas ke arah barat sampai Sukabumi, Bagian utara sebagia Bekasi bagian selatan, Subang dan Purwakarta.

(3) Kelompok 3: mengelompok di wilayah Jawa Barat bagian timur, yaitu sekitar Kuningan , Sumedang, Bandung, Cimahi dan sekitar Soreang. (4) Kelompok 4, berada di wilayah tengah bagian timur yaitu sekitar

wi-layah Jakarta, Bogor, Depok, sampai Puncak dan sebagian wiwi-layah Cianjur.

Tree Diagram for 90 Variables Ward`s method Euclidean distances Linkage Distance 0 10 20 30 40 50 JB41 JB25 JB75 JB65 JB68 JB74 JB52 JB77 JB71 JB51 JB90 JB86 JB73 JB76 JB50 JB45 JB43 JB40 JB70 JB47 JB44 JB48 JB36 JB80 JB89 JB4 JB79 JB88 JB69 JB37 JB61 JB33 JB54 JB83 JB26 JB66 JB35 JB46 JB42 JB30 JB9 JB39 JB38 JB17 JB29 JB21 JB20 JB7 JB87 JB31 JB72 JB67 JB22 JB23 JB18 JB19 JB24 JB13 JB28 JB16 JB27 JB12 JB85 JB32 JB8 JB82 JB81 JB11 JB10 JB5 JB57 JB3 JB6 JB2 JB63 JB59 JB55 JB62 JB58 JB49 JB78 JB60 JB34 JB56 JB15 JB14 JB64 JB53 JB84 JB1

(36)

23 Gambar 15. Peta Pengelompokan Pos Hujan berdasarkan parameter DHK dan DHB dengan rata-rata dan standar deviasinya Tabel 6. Simpangan Baku dan Rata-rata DHK dan DHB

Kelompok DHK DHB Rata-rata Simpangan Baku Rata-rata Simpangan Baku 1 138 112 18 8 2 82 60 18 9 3 68 47 26 18 4 42 52 18 8 4.4.4. Pembahasan

Hasil analisis ini menunjukkan bahwa ada kecenderungan bahwa si-fat hujan ekstrim, khususnya DHK dan DHB maksimum sudah mengalami perubahan (lihat Gambar 8 dan 9). Namun demikian perlu dilakukan pene-litian lebih lanjut dengan menggunakan data yang lebih panjang dan leng-kap. Penelitian ini hanya menggunakan data yang panjang pengamatan ma-sih terbatas yaitu antara 11 sampai 30 tahun (lihat Lampiran 1). Penelitian sifat hujan ekstrim dengan menggunakan periode pengamatan yang lebih

(37)

24 panjang (100 tahun) dapat mengetahui perubahan pola antar dekade

(inter-decadal variability).

Dari hasil perhitungan panjang hari kering maupun panjang hari ba-sah dan kecenderungannya, ditemukan bahwa tren untuk DHK perubahan-nya lebih terlihat perubahan-nyata, khususperubahan-nya untuk pantai utara wilayah Jawa Barat. Pada umumnya daerah pantai utara deret hari keringnya, makin bertambah panjang, sementara deret hari basahnya tidak banyak berubah, bahkan seba-gian wilayah mengalami penurunan. Ini mengindikasikan bahwa wilayah yang DHK nya naik dan DHB turun mengalami tingkat risiko kekeringan yang lebih besar, khususnya untuk wilayah pertanian yang tidak mempunyai irigasi yang baik atau wilayah pertanian tadah hujan. Penelitian Aldrian dan Djamil (2006) di DAS Brantas – Jawa Timur juga menunjukkan adanya tren penurunan jumlah curah hujan secara signifikan selama beberapa dekade.

Tren perubahan DHK dan DBH juga ditemukan di negara lain. Pe-nelitian Deni dkk (2008) di Malaysia, dengan menggunakan data 20 stasiun dengan panjang data dari tahun 1975 sampai tahun 2006, menemukan bah-wa di sebagian besar wilayah semenanjung Malaysia telah terjadi peningka-tan DHB. Suppiah dan Hennessey (1998), Haylock dan Nichols (2000) dan Manton et al. (2001) juga menemukan hal yang sama di Australia dan wilayah Asia Tenggara. Penelitian mereka menunjukkan bahwa sudah ter-jadi tren penurunan yang cukup signifikan untuk hujan harian dan suhu ek-strim di wilayah Asia Tenggara bagian barat, dan tren peningkatan pada ba-gian utara Perancis, Polinesia, Fiji dan beberapa wilayah di Australia.

Menurut Rushayati et. al (1989), tanaman yang diberi cekaman air kadar air 50 % kapasitas lapang) selama 10 hari pada fase awal pertumbu-han vegetatif akan memberikan hasil yang rendah. Menurut Niewolt (1989) tanaman yang mengalami kekeringan 7 hari atau lebih akan mengalami dampak yang serius. Selanjutnya Castillo et al.(1992), menemukan tidak adanya hujan 15 hari berturut-turut baik sebelum maupun sesudah inisiasi malai dapat menurunkan hasil tanaman antara 10% sampai 38 %. Karena pentingnya ketersediaan air bagi tanaman, perlu diantisipasi dan dicari

(38)

tek-25 nologi budidaya atau varietas yang tahan terhadap cekaman iklim khusus-nya pada daerah yang memiliki risiko tinggi terhadap risiko kekeringan dan kelebihan air.

Berdasarkan hasil analisis, wilayah yang termasuk kategori memiliki risiko tinggi terhadap kekeringan ialah kelompok 1 (daerah Indramayu, Ci-rebon, dan sebagian kecil menyebar di wilayah Ciasem, Pamanukan dan se-belah selatan Bekasi yaitu daerah Batujaya) yang umumnya berada di wi-layah pantai utara Jawa Barat dan risiko kelebihan air di kelompok 3 (De-pok, Cibinong, Bogor dan Parung dan sebagian kecil Bandung dan Cimahi).

(39)

26

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Panjang DHK dan DHB maksimum di stasiun yang ada di Jawa Barat sangat beragam mulai dari 11 sampai 34 hari. Wilayah Pantura umumnya memiliki DHK yang lebih panjang dari wilayah lainnya, sebaliknya DHB lebih pendek 2. Panjang DHK atau DHB pada beberapa stasiun cendrung mengalami

peruba-han. Tren negatif untuk DHK (panjangnya cendrung naik) terjadi di stasiun yang terletak di wilayah Sumedang, Majalengka dan Subang dan tren negatif di wilayah Sukawana, Talun dan ciamis, Tren negatif untuk DBH terjadi di wilayah Kertasari, Bengkok, Bandung, dan tren positif di wilayah Depok, Ci-binong dan Ciampea.

3. Sifat statistik data DHB dan DHK maksimum umumnya mengikuti sebaran normal. Sebagian kecil tidak mengikuti sebaran normal.

4. Berdasarkan parameter sebaran statistik DBH dan DHK maksimum, wilayah Jawa Barat dapat dibagi menjadi 4 Kelompok. Kelompok 1 (beberapa wilayah di Kabupaten Cirebon, Indramayu, memanjang ke barat sampai Kerawang dan sebagian Bekasi) merupakan wilayah yang memiliki risiko tinggi terhadap kekeringan dan kelompok 3 (beberapa wilayah di Kabupaten Bogor, Cibi-nong, dan Depok ) yang berisiko tinggi terhadap kelebihan air.

5. Kajian sifat hujan ekstrim sangat penting dilakukan untuk berbagai analisis risiko iklim. Sifat hujan ekstrim lainnya seperti tinggi hujan harian maksi-mum atau hari sangat basah (very wet days), hari ekstrim Basah (Extremely

wet Days) dan lain lain perlu untuk dikaji lebih lanjut. Penelitian tentang

kai-tan kejadian iklim ekstrim dengan fenomena global seperti ENSO juga perlu dilakukan sehingga dapat dikembangkan model prediksi kejadian iklim esktrim dari indek fenomena global tersebut.

(40)

27

DAFTAR PUSTAKA

Agrissantika T. 2007. Model dinamika spasial ruang terbangun dan ruang terbuka hijau (studi kasus kawasan Jabodetabek). IPB. Bogor.

Albert, M.G. Klein Tank, Francis W.Zwiers and Xuebin Zhang.2009. Guidelines on Analysis of extreme in a changing climate in support of informed de-cisions for adaptation, Climate Data Monitoring WCDMP-No.72.

Alexander, L.V.et. al. 2006. Global Observed Changes in Daily Climate Extremes of temperature and Precipitation. Journal of Geophysical Re search, vol III, D05109.McCaskill, M. and Kariada, I.K. 1992. Comparison of five water stress predictors for the tropics. Agric. Forest Meteorol., 58:35-42.

Boer, R. 2005. Pendekatan Strategis, Taktis dan Operasional dalam Mengu rangi Risiko Iklim di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Di dalam: Seminar Pelembagaan Pemanfaatan Informasi Ramalam Iklim untuk Mengatasi Dampak Bencana Iklim; Kupang 21-22 Juni 2005.

Boer, R. 2002. Analisis Data Iklim untuk Pengelolaan Tanaman. Dalam Pelatihan Pengamatan – OPT. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Jakarta. Boer, R., Las, I., Hadiyanto, S., Widjaja, F., Purwani, E.T., Kusumawardani, A.,

and Yuniasih, D.A. 2008. Pedoman antisipasi dampak fenomena iklim. Direktorat Perlindungan Tanaman, Jakarta.

Boer, R.., Las, I., Hidayati, R. dan Budianto, B. 1996. Analisis deret hari kering untuk perencanaan penanaman padi sawah tadah hujan di Jawa Barat. la-piran Penelitian Proyek ARMP. Lembaga Penelitian IPB, Bogor.

Castillo, E.G., Buresh, R.J. and Ingram, K.T. 1992. Lowland rice yield as af-fected by timing of water deficit and nitrogen fertilization. Agronomy

Journal 84:152-159.

Deni.S.M, Jamaludin.S. 2008. Tracing Trends in the Sequences of Dry and Wet days over Paninsular Malaysia. Journal of Environtmental Science and Technology 1(3): 97-110, 2008.

Dikshit,U.N., Parida,D. and Satpathy,D. 1987. Genetic Evaluation and Utilization Drought Tolerance. IRRN.12: 6-7.

Dokumen RPJM Prov. Banten Tahun 2007 – 201 (www.banten.go.id)

Dunn, P.A,. Kozar,M.G., Budiyono.,1996. Application of Geoscience Technology in a Geologic Study of the Natuna Gas Field. Natuna Sea off shore Indonesia. Proceeding IPA 117-application–geos-technology.

(41)

28 Gwangyong Choi.et.al. 2009. Changes in Mean and Extreme Events of Tempera

ture and Precipitation in the Asia Pasific Net Work Region, 1955 – 2007, International Journal of Climatology, 29.1906 -1925,

Hasan, D.I. 1997. Analisis deret hari kering di wilayah persawahan Jawa Barat. Skripsi Jurusan geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB. Bogor

Iriawan.N. 2006. Mengolah Data Statistik dengan Mudah Menggunakan Minitab 14, Andi, Yogyakarta.

Mattjik, A.A. dan Sumartajaya I.M. 2006. Perencanaan Percobaan dengan Apli-kasi S A S dan Minitab. Institut Pertanian Bogor, Bogor

Niewolt,S. 1989.Estiming of Agricultural Risk of Tropical Rainfall, Agriculture and Foret Meteorology 45 : 251-263

Perda No 1 Tahun 2009. tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2007-2012 (www.jakarta.go.id)

Pai.D.S, Rajeevan M Nair. 2009. Summer monsoon onset over Kerala:New defi-nition and prediction. J.Earth Syst.Sci 118:123-135

Rushayati.S.B. 1989. Tanggap Pertumbuhan dan Komponen Hasil Dua Varietas Padi Gogo terhadap Kekeringan pada Berbagai Fase Pertumbuhan, Agromet J. 5:30-44

Xuibin Zhang and Feng Yang. 2006. RClimdex (1.0) User Manual. Climate Re-search Branch Environment Canada Downsview, Ontario Canada.

(42)

29

Lampiran 1. Daftar Pos Hujan di wilayah Jawa-Barat

NO NAMA STASIUN SERIES DATA LINTANG BUJUR

1 CITEKO 1985-2010 -6.6980 106.9350

2 SUMEDANG BUAH DUA 1984-2009 -6.8272 107.9192 3 SUMEDANG CIMALAKA 1979-2009 -6.7017 107.9539 4 SUMEDANG CONGGEANG 1979-2009 -6.7400 108.0100 5 SUMEDANG DARMARAJA 1979-2009 -6.9081 108.0647 6 SUMEDANG PASEH 1991-2007 -6.7967 108.0072 7 SUMEDANG SITURAJA 1979-2009 -6.8492 108.0147 8 SUMEDANG TANJUNGSARI 1979-2009 -6.9036 107.8019 9 SUMEDANG UJUNGJAYA 1993-2009 -6.7072 108.1083 10 CURUG 1980-2002 -6.5121 106.4999

11 CIPAKU176 PASEH BANDUNG 1979-1992 -7.1000 107.7667 12 CIWIDEY BANDUNG 1979-1994 -7.0600 107.4000 13 CUKUL PENGALENGAN 1980-2004 -7.2452 107.5356 14 GEOFISIKA BANDUNG 1975-2010 -6.8125 107.6172 15 LEMBANG BANDUNG 1979-2010 -6.8167 107.6333 16 SANTOSA KERTASARI BANDUNG 1980-2003 -7.2558 107.6454 17 CIBEUREUM BANDUNG 1991-2009 -7.2000 107.6666 18 CIBUNI BANDUNG 1979-2009 -7.1670 107.4000 19 CICALENGKA BANDUNG 1979-2009 -6.9800 107.8333 20 Cileunsa 1990-2009 -7.0300 107.7700 21 CIPANUNJANG 1996-2009 -7.2113 107.5560 22 KERTAMANAH 1979-2009 -7.2000 107.6000 23 MALABAR 1979-2010 -7.2167 107.5833 24 PASEH 1992-2009 -7.1000 107.7667 25 PSR MALANG 1979-2009 -7.2270 107.5443 26 SINDANG KERTA 1992-2009 -6.9830 107.4000 27 SUKAWANA 1990-2009 -6.7667 107.6000 28 TALUN 1990-2010 -7.2667 107.6667 29 UJUNG BERUNG 1990-2009 -6.8333 107.7333 30 PAMARICAN 1981-2006 -7.3363 108.3637 31 PANAWANGAN 1981-2010 -7.1167 108.4000 32 PANJALU 1982-2010 -7.1361 108.2694 33 PARIGI 1981-2011 -7.6667 108.5000 34 PU.CIAMIS 1981-2006 -7.3363 108.3637 35 RENGASDENGKLOK 1979-2007 -6.1637 107.3181 36 KERAWANG BATU JAYA 1981-2009 -6.1014 107.2176 37 PONDOK BETUNG 1981-2009 -6.2500 106.7500

(43)

30

NO NAMA STASIUN SERIES DATA LINTANG BUJUR 38 CENGKARENG 1978-1010 -6.1330 106.7456 39 JATIWANGI 1978-2010 -6.7341 108.2632 40 SURADE 1984-2004 -7.3363 106.5651 41 TASIKMALAYA 1980-2002 -7.3333 108.2500 42 BEKASI 1978-2005 -6.2667 107.0000 43 CIPAYUNG 1977-2005 -6.6500 106.8667 44 LEMAHABANG 1975-2005 -6.2876 107.3410 45 PACING 1977-2005 -6.1562 107.3041 46 SETU 1977-2005 -6.3333 107.0500 47 TELUK BANGO 1981-2005 -6.1350 107.2940 48 ARJAWINANGUN 1979-2009 -6.6500 108.4000 49 BOJONGGEDE 1981-2008 -6.5000 106.7667 50 CANGKOL 1979-2003 -6.7556 108.5077 51 CANGKRING 1979-2003 -6.6711 108.5087 52 CANGKUANG 1979-2009 -6.8934 108.7006 53 CIBALAGUNG 1979-2009 -6.5783 106.7873 54 CIBODAS 1998-2008 -6.5474 106.6912 55 CIHIDEUNG 1998-2008 -6.5934 106.7199 56 CIKASUNGKA 1998-2008 -6.5528 106.5386 57 CIKEUSIK 1979-2009 -6.9667 108.6833 58 CIMANGGU 1984-2004 -6.6833 106.6167 59 CIRIUNG 1982-2009 -6.4604 106.8564 60 DAYEUH 1993-2009 -6.5167 107.0500 61 DEPOK 1979-2008 -6.4000 106.8500 62 DRAMAGA 1975-2009 -6.5536 106.7498 63 EMPANG 1979-2008 -6.61169 106.79144 64 GADOG 1978-2007 -6.65692 106.86383 65 GEBANG 1979-2009 -6.98333 108.58333 66 GEGESIK 1980-2003 -6.60139 108.41586 67 GUNUNGMAS 1979-2008 -6.68333 106.98333 68 JATISEENG 1979-2009 -6.902 108.74172 69 JKTOBS 1980-2010 -6.15564 106.84722 70 KARANGKENDAL 1979-2003 -6.58472 108.51444 71 KARANGWARENG 1979-2004 -6.85 108.65 72 KATULAMPA 1981-2008 -6.60061 106.80575 73 KEPUH 1994-2003 -6.75236 108.41797 74 LOSARI 1994-2008 -6.83583 108.62167 75 PAMENGKANG 1993-2009 -6.76406 108.55894

(44)

31

NO NAMA STASIUN SERIES DATA LINTANG BUJUR 76 PANONGAN 1979-2004 -6.86214 108.57756

77 PENPEN 1979-2003 -6.78567 108.57922

78 SAWANGAN 1983-1998 -6.40531 106.75886 79 TUNGGILIS 1993-2009 -6.41983 107.03128 80 SETU PATOK SEL 1979-2009 -6.787 108.57294

81 CIGEDE 1989-2005 -7.285 108.19919 82 KAWALU 1980-2006 -7.37914 108.19742 83 KR.NUNGGAL 1980-2006 -7.62694 108.10792 84 NARRIWATITIE 1980-2007 -7.53414 108.27883 85 PADAWARAS 1980-2007 -7.73333 108.03333 86 PAGERAGEUNG 1980-1998 -7.11586 108.16039 87 SINGAPARNA 1980-2007 -7.28333 108.06667 88 WANGUNWATTIE 1980-2007 -7.60986 108.213 89 CIASEM SUBANG 1980-2006 -6.33903 107.66506 90 SALAM SUBANG 1980-2006 -6.42089 107.89289

(45)

vi

.

Gambar

Gambar 1.  Peta Ketinggian Wilayah Jawa Barat   (RPJM Prov Banten tahun 2007-2011)
Tabel 1.  Luas dan sebaran wilayah tipe hujan di Jawa Barat
Tabel 3.  Hasil Produksi Pertanian Per Hektar di Jawa Barat
Gambar 4.   Hubungan antara kejadian hujan  atas normal (AN) dengan kejadian          banjir tahun 2000 &amp; 2004 di Indramayu (Sumber: Boer dkk, 2008)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Gastroenteritis adalah inflamasi membrane mukosa lambung dan usus halus yang ditandai dengan muntah-muntah dan diare yang berakibat kehilangan cairan elektrolit yang

Segala hormat, puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan penyertaan yang telah diberikan kepada kami, sehingga skripsi kami yang

pareng, Suppa bukan saja menjadi bandar niaga komoditi ek- sport terutama beras dari wilayah Ajatapparen&amp; tetapi Suppa dan Sawitto juga merupakan kekuatan maritim

Metode pelaksanaan kegiatan pengabdian masyarakat kepada karang taruna desa Asinan melalui budidaya jamur merang menggunakan eceng gondok sebagai media tumbuhnya

Tujuan penelitian adalah untuk mengukur perbedaan kinerja Kontraktor di Kota Mataram pada aspek: operasional, sumberdaya manusia, keuangan, dan pelanggan antara yang belum

Pada kedalaman 3,50 m di perigi yang ditimbuni ini terdapat beberapa potongan batu bata merah yang dibakar, sepotong kecil tembikar (kereweng) dan sebuah gigi besar;

Brosur merupakan alat pengenalan kepada calon nasabah, akan tetapi brosur bukan menjadi alat yang paling unggul untuk merekrut nasabah karena di BMT Fajar Mulia

Skripsi berjudul Pemetaan Instalasi Pembagi Listrik Mikrohidro Di Dusun Bedaan Desa Panduman Kecamatan Jelbuk Kabupaten Jember telah diuji dan disahkan Oleh