• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit tidak menular menjadi penyebab utama kematian di dunia, dari 56 juta kematian global di tahun 2012,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit tidak menular menjadi penyebab utama kematian di dunia, dari 56 juta kematian global di tahun 2012,"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

1 56 juta kematian global di tahun 2012, sebanyak 38 juta kematian (68%) disebabkan penyakit tidak menular yang hampir 40% terjadi pada usia kurang dari 70 tahun. Kematian akibat penyakit tidak menular ini meningkat di seluruh dunia sejak tahun 2000. Peningkatan tertinggi di kawasan Pasifik Barat dari 8,6 juta kematian pada tahun 2000 menjadi 10,9 juta pada tahun 2012 dan di kawasan Asia Tenggara dari 6,7 juta kematian pada tahun 2000 menjadi 8,5 juta pada 2012. Kematian ini terutama disebabkan penyakit kardiovaskular yaitu sebesar 46,2%, kanker (21,7%), penyakit pernapasan kronis (10,7%) dan diabetes sebesar 4% (WHO, 2014).

Tingginya angka kematian penyakit tidak menular disebabkan oleh faktor risiko utama yaitu peningkatan tekanan darah atau hipertensi. Peningkatan tekanan seseorang akan meningkatkan risiko penyakit jantung dan stroke, dari 17 juta kematian akibat penyakit kardiovaskuler pada tahun 2008, hipertensi menyebabkan 45% kematian akibat penyakit jantung dan 51% kematian akibat stroke (WHO, 2013a). Hipertensi terjadi ketika tekanan darah melebihi normal, bila tekanan darah sistolik ≥140mmHg dan atau diastolik ≥90mmHg. setiap kenaikan tekanan darah sebesar 20/10 mmHg (dimulai dari 115/75 mmHg) pada beberapa kelompok usia akan meningkatkan dua kali risiko penyakit kardiovaskular (Chobanian et al, 2004).

Hipertensi perlu mendapat perhatian disebabkan prevalensi yang tinggi, banyaknya penderita tidak terkontrol serta tingginya morbiditas dan mortalitas akibat komplikasi. Hipertensi tidak terkontrol menyebabkan serangan jantung, pembesaran jantung, gagal jantung, stroke, gagal ginjal, kebutaan, dan gangguan kognitif. Prevalensi hipertensi dunia tahun 2008 pada usia ≥ 25 tahun sebesar 40%. Jumlah penderita hipertensi tidak terkontrol meningkat dari 600 juta pada tahun 1980 menjadi hampir 1 miliar pada tahun 2008 (WHO, 2013a).

(2)

Di kawasan Asia Tenggara, hipertensi terjadi pada sepertiga penduduk dan menyebabkan kematian dini lebih dari 1,5 juta orang setiap tahun. Prevalensi hipertensi mengalami peningkatan cukup tinggi di negara India dan Indonesia. Prevalensi hipertensi di India meningkat dari 12% pada tahun 1990 menjadi lebih dari 30% pada tahun 2008 sedangkan di Indonesia dari 8% pada tahun 1995 menjadi 32% pada tahun 2008 (WHO, 2011b).

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 25,8% dengan cakupan tenaga kesehatan 36,7%. Daerah Istimewa Yogyakarta menurut riset tersebut memiliki prevalensi hipertensi sebesar 25,7%, prevalensi hipertensi wilayah ini tidak melebihi angka prevalensi nasional, namun menurut kabupaten/kota masih terdapat wilayah dengan prevalensi hipertensi lebih tinggi (Kemenkes, 2013).

Kabupaten Kulon Progo salah satu wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan kasus hipertensi cukup tinggi. Prevalensi hipertensi di wilayah ini mengalami peningkatan dari 35,1 per 1.000 penduduk pada tahun 2013 menjadi 35,8 per 1.000 penduduk pada tahun 2014. Hipertensi esensial menempati urutan pertama dalam 10 besar penyakit pada tahun 2015 dengan jumlah kunjungan sebanyak 46.365, kunjungan tertinggi di Puskesmas Wates yaitu sebanyak 4.208 kasus (Dinkes Kulon Progo, 2015).

Penyebab hipertensi esensial sulit ditentukan, kasus hipertensi cenderung meningkat di masyarakat perkotaan antara lain karena perubahan gaya hidup seperti kurang aktifitas fisik, merokok, asupan makanan tinggi karbohidrat dan lemak jenuh dan stress menyebabkan perubahan fisiologis dan metabolik, seperti obesitas, peningkatan tekanan darah, kadar gula darah darah dan lemak darah (Kemenkes, 2013). Ferrannini et al. (1991) menyatakan penderita hipertensi sering ditemukan bersama dengan obesitas dan gangguan toleransi glukosa, dengan prevalensi diabetes dan hipertropi jantung yang tinggi, serta mengalami peningkatan kadar kolesterol, trigliserida, asam urat, insulin dan plasminogen activator-1 yang merupakan faktor risiko independen penyakit aterosklerosis vaskular.

(3)

Beberapa penelitian epidemiologi menyebutkan bahwa kadar asam urat serum (hiperurisemia) berhubungan dengan terjadinya hipertensi, namun dianggap kontroversi karena hiperurisemia sering ditemukan pada beberapa kelompok individu dengan peningkatan risiko kardiovaskuler, seperti pada wanita menopause, orang kulit hitam, penderita hipertensi dan penyakit ginjal (Oparil et al., 2000; Feig et al., 2008). Hiperurisemia didefinisikan sebagai gangguan metabolik yang ditandai dengan konsentrasi asam urat serum lebih dari 7 mg/dL pada laki-laki dan lebih dari 6 mg/dL pada perempuan (Sachs et al., 2009).

Asam urat sering dianggap sebagai fenomena sekunder karena bersifat antioksidan yang berperan hampir 60% dari pembersihan radikal bebas dalam serum manusia, asam urat berinteraksi dengan peroxynitrit yang merusak sel dan meminimalkan kerusakan oksidatif akibat induksi peroxynitrit tersebut. Asam urat mampu mencegah degradasi extracellular superoxide dismutase (SOD3) yaitu enzim ekstraseluler yang mempertahankan fungsi endotel dan vaskuler (Johnson et al, 2003). Asam urat bersifat prooksidasi ketika antioksidan lain berada dalam kadar rendah yang dibuktikan secara invitro, asam urat merangsang oksidasi low density lipoprotein (LDL) yang berperan penting dalam aterosklerosis. Studi populasi yang dilakukan Wisesa & Suastika (2009) menunjukkan kadar asam urat berhubungan dengan resistensi insulin pada konsentrasi 4,7-6,6 mg/dL sehingga meskipun mempunyai peranan sebagai antioksidan, asam urat dapat menyebabkan kerusakan vaskuler.

Beberapa studi prospektif menunjukan hiperurisemia berhubungan dengan perkembangan hipertensi dalam waktu 5 tahun dan independen dari faktor risiko lain seperti usia, konsumsi alkohol, fungsi ginjal dan komponen sindrom metabolik (Hunt et al., 1991; Parstein et al., 2006; Krisnan et al., 2007). Hal ini diperkuat dengan adanya link mechanistic hasil studi eksperimental Mazalli et al., (2001) dimana hiperurisemia pada hewan uji dengan diet rendah garam dapat menyebabkan hipertensi sistemik, dengan kondisi ginjal normal, tanpa adanya kristal intrarenal. Hiperurisemia menyebabkan hipertensi melalui peningkatan sekresi renin dan penghambatan nitric oxide synthase (NOS) yang mengaktivasi sistem renin angiotensin aldosteron (SRAA), mediator inflamasi, disfungsi

(4)

endotel yang menyebabkan resistensi insulin, serta penyakit mikrovaskuler ginjal progresif terkait dengan aferent arteriolosklerosis dan fibrosis interstitial (Johnson et al, 2003; Heinig & Johnson, 2006).

Beberapa penelitian terhadap hiperurisemia asimptomatik menunjukkan prevalensi di Amerika Serikat sebesar 5%, di Inggris (6,6%) dan di Scotlandia (8%). Di Selandia baru, hiperurisemia pada laki-laki dari suku Maori sebesar 27,1% sedangkan laki-laki dari Eropa 9,4%. Di Taiwan proporsi hiperurisemia sebesar pada kelompok ≥18 tahun sebesar 41,4% (Darmawan et al., 2003).

Menurut Garrick et al., (2008) prevalensi hiperurisemia pada pasien hipertensi di klinik kardiovaskular Rumah Sakit Sydney sebesar 48%, dimana 31% diantaranya merupakan pasien hipertensi yang belum diobati. Penelitian serupa di kawasan Asia dilakukan pada populasi rumah sakit nasional di Nepal, prevalensi hiperurisemia pada penderita hipertensi ini sebesar 28,8%. Penelitian lainnya terkait sindrom metabolik, menunjukkan prevalensi hiperurisemia pada penderita prehipertensi di Korea Selatan sebesar 24,8% pada laki-laki dan perempuan 1,7% (Poudel et al., 2014; Lee et al., 2006).

Di Indonesia belum terdapat data epidemiologi tentang insidensi maupun prevalensi hiperurisemia secara nasional, pada penduduk perkotaan di Denpasar prevalensi hiperurisemia sebesar 18,2% dan penduduk pedesaan Bandungan di Jawa Tengah sebesar 24,3%. Di Yogyakarta, khususnya pada pasien laboratorium Puskesmas Wates Kabupaten Kulon Progo, proporsi hiperurisemia tahun 2015 sebesar 37,4%, proporsi ini yang tertinggi jika dibandingkan Puskesmas lainnya (Wisesa dan Suastika, 2009; Darmawan et al, 2003; Dinkes Kulon Progo).

Berdasarkan hal tersebut diatas, peneliti ingin mengetahui hubungan antara hiperurisemia dengan kejadian hipertensi di wilayah Puskesmas Wates dengan mengendalikan faktor metabolik lainnya yang diduga sebagai pembaur yaitu obesitas, diabetes, hiperkolesterol, hipertrigliserida, dan karakteristik lainnya seperti umur dan jenis kelamin. Dengan mengetahui faktor tersebut diharapkan dapat dilakukan tindakan pencegahan lebih dini dengan memberikan intervensi terhadap faktor tersebut.

(5)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, dibuat perumusan masalah yaitu apakah peningkatan asam urat serum (hiperurisemia) berhubungan dengan kejadian hipertensi?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara peningkatan asam urat (hiperurisemia) dengan kejadian hipertensi di Puskesmas Wates Kabupaten Kulon Progo.

2. Tujuan Khusus

a. Menganalisis hubungan antara hiperurisemia dengan kejadian hipertensi b. Menganalisis hubungan antara obesitas, diabetes, hiperkolesterol,

hipertrigliserida, umur dan jenis kelamin dengan kejadian hipertensi.

D. Manfaat Penelitian 1. Program dan pelayanan Kesehatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam pembuatan program dengan mengoptimalkan pemeriksaan asam urat serum sebagai paket pemeriksaan rutin pada pasien hipertensi untuk mengendalikan kejadian penyakit hipertensi dan komplikasi akibat hipertensi.

2. Peneliti

Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi peneliti untuk menambah pengetahuan mengenai hubungan hiperurisemia dengan kejadian hipertensi. 3. Universitas Gadjah Mada

Hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi penelitian tentang penyakit hipertensi.

E. Keaslian Penelitian

Berikut beberapa persamaan dan perbedaan penelitian kadar asam urat tinggi (hiperurisemia) terhadap hipertensi dapat dilihat pada tabel 1.

(6)

Tabel 1. Keaslian Penelitian

Peneliti Judul Hasil Persamaan Perbedaan

Leiba et al. (2015)

Uric acid levels within the normal range predict increased risk of hypertension

Perempuan (40-50 tahun) dengan kadar asam urat 5-6mg/dL memiliki 2 kali risiko

hipertensi. Laki laki dengan kadar asam urat 6-6,8mg /dl memiliki 1,95 kali risiko hipertensi Variabel dependen : hipertensi Variabel independen : nourmourisemia Desain studi: kohort prospektif. Tempat penelitian Poudel et al. (2014)

Serum Uric Acid Level In Newly Diagnosed Essential Hypertension in a Nepalese Population : A Hospital Based Cross Sectional Study Hiperurisemia pada hipertensi sebesar 28,8%. Hiperurisemia berhubungan dengan hipertensi (OR=2,55) Variabel independen : hiperurisemia Variabel dependen : hipertensi Desain : Cross -sectional Tempat penelitian Loffler et al., (2012)

Uric Acid Level and Elevated Blood Pressure in US Adolescents National Health and Nutrition Examination Survey, 1999-2006

Kadar asam urat 5,5 mg/dL meningkatkan 2 kali risiko hipertensi dibandingkan kadar asam urat 5,0 mg/dL). Variabel independen : kadar asam urat normal Variabel dependen : hipertensi Variabel independen : hiperurisemia Tempat penelitian Mulyakusuma (2009) Cystatin C dan Asam Urat Sebagai Faktor Risiko hipertensi pada Populasi Hipertensi dan Normotensi Di Kecamatan Mlati, Yogyakarta. Kadar Cystatin C dan asam urat meningkatkan risiko hipertensi (OR= 2,00)

Variabel independen : kadar asam urat. Variabel dependen : hipertensi Variabel independen : kadar Cystatin C. Tempat penelitian

(7)

Peneliti Judul Hasil Persamaan Perbedaan Krishnan et al. (2007) Hyperuricemia and Incidence of Hypertension Among Men Without Metabolic Syndrome Hiperurisemia menyebabkan 80% risiko hipertensi (HR 1,81). Variabel independen : hiperurisemia Variabel dependen : hipertensi Desain studi: kohort prospektif. Tempat penelitian. Parstein et al. (2006)

Uric Acid and The Development of Hypertension : The Normative Aging Study.

Asam urat sebagai prediktor hipertensi dengan risiko relatif 1,10 Variabel independen : hiperurisemia Variabel dependen : Hipertensi Variabel independen : kadar asam urat normal. Desain studi: kohort prospektif. Tempat penelitian Sundstrom et al. (2005) Relation of Serum Uric Acid to Longitudinal Blood Pressure Tracking and Hypertension Incidence Setiap peningkatan asam urat 1 SD meningkatkan risiko hipertensi 1,17 kali. Variabel independen : Hiperurisemia Variabel dependen : Hipertensi Desain studi: kohort prospektif. Tempat penelitian Mazzali et al. (2001)

Elevated Uric Acid Increas Blood Pressure in The Rat by a Novel Christal Independen Mechanism. Setiap kenaikan 0,5mg/dL asam urat dapat meningkatkan tekanan darah sebesar 10mmHg Variabel independen : Hiperurisemia Variabel dependen : Hipertensi Desain studi: eksperimen Subjek : hewan percobaan (Rat).

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut terlihat dari biometrik rajungan tertangkap pada musim barat di Teluk Lasongko lebih besar dibandingkan pada musim timur (Hamid 2015), sedangkan pada

Pengaruh Kepemilikan Institusional dan Ukuran Perusahaan terhadap Kebijakan Hutang dan Nilai Perusahaan: Studi pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI?. Capital Structure

Masalah dalam penelitian ini dibatasi dengan nilai-nilai moral yang terdapat dalam novel Ibuk karya Iwan Setyawan..

Bachelor of Landscape Architecture Program, Centre of Landscape Architecture Studies, Faculty of Architecture, Planning and Surveying (FAPS), Universiti Teknologi

“PENGARUH BACK ABDOMINAL MASSAGE DENGAN SENAM DYSMENORRHEA TERHADAP PENURUNAN NYERI DYSMENORHEA PADA SISWI REMAJA PUTRI SMA N 1 TUNTANG”.. (Dibimbing oleh: Wahyuni, SST

Pada umumnya manusia sekarang ini, sudah memiliki ketergantungan pada suatu sistem informasi yang sudah terintegrasi dengan baik sehingga dapat melakukan komunikasi antara

kalimat dalam paragraph ; menulis introductory, topic, supporting, dan concluding sentences dengan menggunakan bahasa Inggris yang berterima dan runtut dengan unsur kebahasaan

Pada triwulan III-2013, Bank Indonesia melakukan perencanaan kebutuhan SDM untuk 5 tahun ke depan (tahun 2014 s.d 2018) dengan mempertimbangkan meningkatnya beban tugas di