• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Bill Shankly, seorang manajer legendaris yang pernah menangani klub

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. Bill Shankly, seorang manajer legendaris yang pernah menangani klub"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bill Shankly, seorang manajer legendaris yang pernah menangani klub sepakbola Liverpool pada tahun 1959-1974 mengatakan bahwa sepakbola bukan hanya masalah hidup dan mati, tetapi lebih dari itu; terdapat obsesi dari suporter di seluruh dunia untuk mengambil bagian dalam ritual sebelum, selama dan setelah pertandingan. Pengabdian yang ditujukan untuk timnya, atau kemahahadiran di media, membuktikan bahwa sepakbola menempati bagian penting dari budaya1.

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa suporter dan sepakbola merupakan dua bagian yang tidak dapat dipisahkan karena suporter membawa pengaruh yang sangat kuat dalam sebuah pertandingan sepakbola. Suporter bukanlah sekumpulan orang yang hanya sekedar menonton pertandingan sepakbola. Menurut Anung Handoko, penonton dibagi menjadi dua golongan. Pertama, penonton yang murni ingin menikmati permainan cantik saja, tidak peduli dari tim mana pun yang bertanding. Kategori penonton ini cenderung lebih bersifat pasif. Kedua, adalah

(2)

2

penonton yang berpihak dan memberikan dukungan pada tim tertentu sehingga lebih bersifat aktif. Golongan kedua inilah kemudian disebut dengan istilah khusus yaitu suporter (Handoko, 2008: 14).

Sejarah kehadiran suporter sepakbola sudah sama tuanya dengan kemunculan olahraga sepakbola itu sendiri. Peran suporter sebagai performer menemui lahan subur di era abad ke-19, tepatnya diawali dengan berdirinya asosiasi sepakbola Inggris, yaitu Football Association (FA) pada tahun 1863. Munculnya fenomena suporter terorganisir (komunitas suporter) ini dipelopori oleh suporter negara-negara di benua biru. Komunitas suporter pertama muncul di Inggris dengan sebutan Hooligans, disusul dengan kemunculan beberapa suporter di wilayah lain seperti Italia yang biasa dikenal sebagai Ultras, kemudian menyebar ke Denmark dengan sebutan Rolligan, dan di Skotlandia yang dikenal sebagai Tartan Army (Handoko, 2008: 33-34).

Trend komunitas-komunitas suporter kemudian mulai menyebar dan terbentuk di berbagai negara. Di benua Eropa, kita mengenal komunitas suporter klub-klub besar seperti Inter Milan (Internisti), Juventus (Juventini), AC Milan (Milanisti), Liverpool (The Kopites) dan lain-lain. Sedangkan di Indonesia kita mengenal Slemania (PSS - Sleman), Aremania (Arema - Malang), Jakmania (Persija - Jakarta), Bonek (Persebaya - Surabaya), Viking atau Bobotoh (Persib - Bandung), Brajamusti (PSIM - Yogyakarta), Pasoepati (Persis - Solo) dan lain sebagainya.

(3)

3

Sepakbola pada dasarnya merupakan olahraga yang di dalamnya terdapat upaya saling mengalahkan untuk memperoleh kemenangan. Dalam kondisi demikian, suporter sebagai bagian yang terlibat langsung dengan tim yang bertanding ikut terseret dalam situasi konflik. Suporter hadir di arena pertandingan dengan tujuan mendukung untuk menaikkan mental tim yang didukung, sekaligus meneror mental tim lawan. Ketika dua komunitas suporter bertemu di arena pertandingan dengan tujuan yang sama namun berbeda tim yang didukung, maka yang terjadi adalah perang yel-yel, saling ejek bahkan baku hantam. Namun, perselisihan tidak hanya terjadi antara suporter yang mendukung klub yang berbeda karena pada kenyataannya ada juga suporter yang berasal dari klub yang sama juga mengalami perpecahan. Perpecahan suporter yang berasal dari klub yang sama inilah yang disebut dengan dualisme suporter.

Di Indonesia, terdapat beberapa komunitas suporter yang sudah melakukan dualisme dengan bertranstralasi dari komunitas suporter asalnya dan membentuk komunitas suporter baru. Ultras Italia adalah sumber terjadinya copy paste sistem dukungan sepakbola dengan metode dualisme ini. Suporter yang memecah dari suporternya yang lama ini sering dinamai ultras atau curva. Kata ultras dimaknai sebagai lebih, sangat, luar biasa atau ekstrem. Dalam sepakbola, ultras mengacu kepada kelompok pendukung atau fans yang terorganisasi, memiliki kode berperilaku

(4)

4

yang bersifat komunal, cenderung eksklusif serta memiliki identitas yang kuat serta loyalitas tak terbatas kepada tim sepakbola yang didukungnya2.

Ultras mempelopori gerakan suporter yang amat terorganisir (highly organized) dengan gaya dukung teatrikal yang kemudian menjalar ke negara-negara lain. Model dukungan ala ultras ini menjadi kondang karena menampilkan pertunjukan-pertunjukan spektakuler meliputi kostum yang terkoordinir, kibaran aneka bendera, spanduk raksasa, pertunjukan bom asap warna-warni, nyala kembang flares, koor lagu dan koreografi. Pertunjukan tersebut dipimpin oleh seorang capo tifoso dengan menggunakan pengeras suara untuk memandu selama jalannya pertandingan. Dengan kemegahannya, maka aksi ultras di stadion pun menjadi rujukan dan referensi bagi suporter-suporter negara lain, termasuk di Indonesia yang termasuk sebagai salah satu negara yang mempunyai komunitas suporter fanatik di dunia.

Hampir seluruh komunitas suporter besar di Indonesia seperti The Jack Mania, Aremania, Bonek dan Viking mengalami dualisme suporter dan memiliki komunitas-komunitas suporter tandingan ataupun ultras. Beberapa diantaranya adalah Ultras Persija Sektor 5 (Persija), Ultras Persib 1933 (Persib), Aremania Gate 4 (Arema), Curva Boys 1967 (Persela) dan Green Nord ‟27 (Bonek). Meski memilih untuk menjadi ultras, beberapa dari kelompok ultras di Indonesia masih menjadi

2

(5)

5

bagian dari kelompok suporter yang lebih dahulu berdiri seperti Green Nord '27 bagian dari Bonek dan Ultras Persija Sektor 5 bagian dari The Jak Mania.

Fenomena kemunculan ultras bukan hanya terjadi pada komunitas suporter di tingkat nasional saja, tapi juga telah menyebar hingga ke daerah kecil termasuk di kabupaten Sleman, Yogyakarta. Adalah sebuah ultras bernama BCS (Brigata Curva Sud) yang merupakan ultras dari PSS (Perserikatan Sepakbola Sleman), sebuah klub sepakbola dari Sleman, Yogyakarta yang berlaga di Divisi Utama. BCS sendiri bukanlah komunitas suporter yang pertama dan satu-satunya yang mendukung PSS.

Pada tahun 2000, PSS membentuk sebuah organisasi sekaligus identitas bagi pendukung kesebelasan yang bernama Slemania. Organisasi suporter ini diketuai oleh Ir. Trimurti Wahyu Wibowo, yang menjabat pada tahun 2000 hingga 2005. Slemania berfungsi sebagai alat kontrol dan pengorganisasian para pendukung PSS. Slemania sempat terpilih sebagai suporter terfavorit yang diberikan oleh Sepakbola Award-ANTV tahun 2004 bersaing dengan Viking Persib dan The Macz Man3. Meski demikian, Slemania juga tidak luput dari berbagai permasalahan yang kerap terjadi pada sebuah komunitas suporter seperti komersialisasi suporter, pembagian hak yang tidak seimbang bagi tiap-tiap komunitas kecil suporter untuk melakukan penjualan tiket dan digunakan sebagai alat untuk menjaring dukungan bagi tokoh politik. Keadaan inilah yang membuat sebagian suporter merasa perlu melakukan perubahan

3

http://ultras-indonesia.blogspot.com/2011/11/ultras-pss-1976-slemania.html diakses pada 15 Januari 2014.

(6)

6

bahkan perlawanan sehingga mengakibatkan munculnya dualisme suporter dengan membentuk BCS sebagai komunitas suporter baru.

BCS lahir ditengah sepakbola modern (modern football), dimana industri sepakbola tengah menggila. Dalam kondisi ini, suporter hanyalah uang berjangka yang terus mengalir. Loyalitas mereka diuji dengan dicetaknya berbagai merchandise klub serta selembar tiket yang seringkali dijual dengan harga yang lebih tinggi dari sebelumnya. Meski suporter menjadi “mesin ATM” bagi klub namun, aspirasi dari suporter juga kerap tidak didengarkan. Hal ini menimbulkan perlawanan dari BCS yang menyadari posisinya sebagai suporter loyal yang seringkali dimanfaatkan keberadaannya oleh penguasa modal. Di sisi lain, terjadi pembagian kekuasaan yang tidak seimbang diantara para suporter dalam hal penjualan tiket. Hal ini mengakibatkan terjadinya kecurangan dan tidak transparantnya manajemen terhadap pemasukan klub dari penjualan tiket.

Pemicu lain dari terjadinya dualisme suporter ini adalah penyeragaman identitas dan pengontrolan yang dilakukan oleh komunitas suporter lama. Hal ini menimbulkan protes dari sebagian suporter karena menganggap bahwa PSS adalah milik seluruh warga Sleman, sehingga seharusnya seluruh warga berhak memberikan dukungan mereka dengan caranya sendiri. Bukan dengan cara yang dikehendaki oleh pemilik modal. Belum lagi semenjak lepas dari pendanaan APBD, PSS harus mandiri mencari dana bagi klub mereka. Keadaan ini membuat banyak partai maupun tokoh

(7)

7

politik berusaha untuk masuk ke dalam tribun, memberikan dana dan menjaring dukungan sebanyak-banyaknya dari komunitas suporter. Di sisi lain, sebagian suporter beranggapan bahwa klub bisa mendapatkan sumber dana lain seperti sponsor dari sebuah badan usaha maupun suporter yang membeli tiket setiap pertandingan. Keberadaan politik di dalam tribun dinilai membebani suporter yang pada dasarnya hanya ingin menonton pertandingan sepakbola sebagai sebuah hiburan.

Cikal bakal BCS muncul sekitar tahun 2003, dimana pada saat itu muncul beberapa anak muda berpakaian hitam-hitam dengan membawa hand banner di tribun utara diantara para suporter Slemania. Komunitas ini kemudian menamakan dirinya sebagai Ultras PSS 1976. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak muncul komunitas-komunitas kecil yang memisahkan dirinya dengan Slemania ataupun sengaja membentuk komunitas baru yang belum pernah ada sebelumnya. Pada 5 Februari 2011, 10 komunitas kecil tadi meresmikan diri menjadi wadah bagi fans PSS dengan nama Brigata Curva Sud (BCS)4. Sebagai komunitas suporter dengan format ultras, BCS terkenal dengan aksi roll paper, flare, nyanyian yang tidak pernah berhenti selama jalannya pertandingan serta koreografi yang sulit setiap kali mendukung PSS bertanding. BCS juga termasuk komunitas ultras keras yang menolak bantuan dana dari klub ataupun pihak lain, menjauhi rasisme dan menolak untuk berafiliasi dengan tokoh atau partai politik tertentu.

4

(8)

8

Semenjak kelahirannya, baik pendiri maupun anggota dari komunitas BCS mayoritas adalah remaja atau anak muda yang menginginkan perubahan dalam komunitas suporter lamanya. Keberadaan remaja atau anak muda terutama dalam tubuh BCS ini selalu menjadi bagian yang menarik untuk dibahas. Talcontt Parsons mengatakan bahwa anak muda bukanlah kategori universal biologis, melainkan suatu konstruk sosial yang berubah yang muncul pada kurun waktu tertentu dan pada kondisi yang jelas (Barker, 2004: 338).

Dalam usahanya mencapai kesesuaian dengan norma yang berlaku, remaja seringkali mengalami benturan pemikiran dan keinginan sehingga pada akhirnya melahirkan sikap-sikap perlawanan terhadap norma-norma tersebut. Norma yang telah mapan atau establish culture menjadi hal yang dirasa mengekang kebebasan dan ekspresi dari anak muda tadi sehingga dari sanalah kemudian lahir perlawanan yang dilakukan oleh anak muda. Kebudayaan anak muda adalah produk zaman yang akan selalu ada di dalam setiap periode waktu. Keberadaannya selalu ditandai oleh semangat perlawanan dan gejolak anak muda dalam menunjukkan eksistensi mereka.

Perlawanan yang dilakukan dapat berbentuk penolakan terhadap institusi sosial, kemapanan ataupun segala sesuatu yang dianggap tidak sesuai dengan pola pikir anak muda. Perlawanan tersebut juga ditunjukan dalam bentuk gaya berpakaian, bahasa dan istilah, kepemilikan benda, tempat dan ritual. Keberadaan mereka dalam menolak institusi sosial dan kemapanan ini kemudian seringkali dianggap sebagai

(9)

9

bentuk ketidak teraturan sosial yang diekspresikan dalam subkultur yang berlawanan dengan budaya mayoritas. Subkultur sendiri merupakan budaya yang terbentuk sebagai budaya tandingan dari budaya yang telah mapan.

Sebagai sebuah subkultur, sekelompok anak muda yang selalu memadati tribun selatan Stadion Maguwoharjo ini kemudian membentuk identitas yang berbeda dengan komunitas suporter Slemania ataupun komunitas suporter lainnya. Pembentukan identitas mereka dimaksudkan bukan hanya untuk menunjukkan keberadaan mereka sebagai komunitas suporter saja, tapi juga sebagai bentuk perlawanan terhadap manajemen klub, pembuat peraturan dan pihak-pihak yang memanfaatkan keberadaan suporter untuk kepentingan di luar urusan sepakbola. Praktek pembentukan identitas dilakukan lewat berbagai hal. Dalam hal gaya berpakaian, anggota BCS tampil dengan kaos hitam yang kontras dengan anggota Slemania yang menggunakan seragam PSS berwarna hijau. Kaos hitam yang digunakan oleh anggota BCS hampir sebagian besar tidak menunjukkan identitas klub sepakbola yang mereka dukung, melainkan berwarna hitam polos, ada juga yang terdiri dari berbagai merek hingga kaos-kaos yang dibuat dan dijual oleh badan usaha milik BCS sendiri.

Dalam perjalanananya, BCS bukan hanya dikenal dengan kaos hitamnya tapi juga gaya casual yang tengah menjadi trend di kalangan suporter. Gaya ini dicirikan dengan dandanan menggunakan parka, jaket dan sepatu dari merek-merek terkenal.

(10)

10

Gaya casual juga sengaja digunakan oleh anggota BCS untuk membedakan penampilan komunitasnya dengan Slemania dan menunjukkan kelas mereka.

Saat mendukung PSS, mereka juga melakukan ritual aksi yang berbeda dengan yang dilakukan oleh Slemania. Mereka terbiasa membuka pertandingan dengan lemparan roll paper ke pinggir lapangan, berdiri dan bernyanyi tanpa henti selama 2x45 menit, tidak pernah menyanyikan chant yang berbau rasis atau mengejek suporter lain melakukan koreografi sebagai penyampaian sikap dan dukungan, serta menyalakan flare di ujung pertandingan ketika peluit panjang berbunyi.

Keseluruhan aksi ini dilakukan oleh BCS di tribun selatan yang menjadi fokus bagi BCS untuk melakukan serangkaian ritual mereka sebagai suporter. Tribun selatan memang memiliki keterkaitan yang kuat dengan BCS karena telah menjadi identitas bagi BCS lewat penggunaan nama dan pemasangan berbagai atribut yang menunjukkan keberadaan serta tempat mereka di dalam stadion. Tribun selatan tidak hanya berfungsi sebagai titik pusat bagi BCS untuk melakukan aksi dukungan kepada PSS dengan berbagai ritualnya, tapi juga sebagai ruang perlawanan dan ruang bagi perempuan untuk mengaktualisasikan identitasnya sebagai suporter.

Hal yang menarik dari BCS adalah mereka tidak memiliki struktur kepengurusan seperti layaknya sebuah komunitas suporter lainnya. Dengan demikian, semua anggota berhak untuk ikut andil dalam mengurus komunitasnya dan bertanggung jawab terhadap keputusan yang telah ditetapkan dalam forum. Hal ini

(11)

11

membuat semua anggota BCS merasa memiliki dan menjalin ikatan yang kuat dengan komunitasnya. Rasa memiliki dan ikatan yang kuat ini menjadikan anggota BCS loyal kepada komunitasnya. Ditambah lagi dengan pamor BCS yang sedang menjulang, menjadikan mereka ingin menunjukkan dirinya sebagai bagian dari keluarga besar BCS. Keadaan ini ditangkap sebagai sebuah peluang untuk menciptakan industri baru yang berhubungan dengan kebutuhan akan identitas suporter. BCS mendirikan unit usaha yang dikelola oleh para anggotanya berupa CS Shop, CS Market, CS Production dan CS Magz. Sebesar 20 persen keuntungan dari hasil penjualan di unit usaha tersebut digunakan untuk mensponsori klub PSS. Di sisi lain, komunitas juga tetap bisa hidup dan berkembang tanpa harus dipelihara oleh pihak di luar komunitas.

Berdasarkan realitas tersebut, maka penelitian ini akan membahas tentang konstruksi identitas oleh komunitas suporter BCS sebagai sebuah subkultur yang dibentuk oleh sekelompok anak muda. BCS memang bukanlah satu-satunya ultras yang ada di Indonesia. Tapi BCS menarik untuk menjadi objek dalam penelitian ini karena merupakan komunitas suporter yang dibesarkan oleh anak-anak muda secara mandiri sehingga tidak didanai ataupun dipelihara oleh pihak-pihak tertentu seperti manajemen klub atau tokoh-tokoh yang mempunyai modal ataupun bermain di bidang politik. Hal ini berarti bahwa dibentuknya BCS beserta identitas mereka bukanlah hasil permintaan dari satu pihak tertentu seperti yang terjadi pada komunitas suporter sebelumnya. Selain itu karakteristik BCS sebagai ultras juga berbeda dengan

(12)

12

ultras yang ada di Italia, dimana BCS sangat menjauhi rasisme dan politik masuk ke dalam tribun. Melalui perlawanan yang dilakukan secara kreatif, BCS tidak hanya membentuk identitasnya tetapi juga menciptakan peluang-peluang baru dalam bidang industri dengan memanfaatkan basis suporter yang kuat.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan paparan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah pada penelitian ini adalah:

1. Bagaimana Brigata Curva Sud mengkonstruksikan identitas subkulturnya? 2. Bagaimana identitas subkultur dipraktekan dalam arena suporter?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan tentang bagaimana identitas subkultur dikonstruksikan oleh BCS.

2. Menganalisis bagaimana identitas subkultur yang dibentuk oleh BCS dipraktekan dalam arena suporter.

1.4 Tinjauan Pustaka

Tulisan yang membahas mengenai budaya, karakteristik, praktik-praktik konsumsi dan identitas dari suporter sepakbola telah didokumentasikan dan dibukukan oleh beberapa penulis dan peneliti. Dalam buku Adam Brown (1998),

(13)

13 Fanatics! Power, Identity and Fandom in Football, dijelaskan bahwa terjadi perubahan yang sangat cepat dalam budaya suporter di Eropa dari new lad culture yang memproduksi three lions dan fantasy football ke ultras Italia yang ekstrim.

Merangkul studi tentang suporter sepakbola di seluruh Eropa, buku ini membahas tentang kekuasaan, identitas nasional dan regional, ras dan rasisme, serta menyoroti perubahan peran penggemar dalam permainan. Secara singkat, dijelaskan bahwa sepakbola sekarang dijalankan sepenuhnya oleh dan untuk pemilik klub yang mengawasi klub di bursa efek dan fokus pada penjualan merchandise. Dalam tulisan lain, Podaliri dan Balestri menguraikan kelahiran rasisme yang terjadi di sepakbola Italia terkait dengan perkembangan ultras Italia. Ultras terkait dengan perkembangan politik, kekerasan, sayap kiri, serta perubahan generasi yang terjadi untuk mengakhiri kekerasan dan rasisme lewat sebuah ultras yang ada di Bologna bernama Progetto Ultra.

Tulisan lain menjelaskan bahwa terdapat manifestasi rasisme dan nasionalisme ekstrim dalam sepakbola Italia terutama yang terjadi dalam komunitas-komunitas ultras. Sebagai penutup, disajikan tulisan yang membahas tentang masa depan sepakbola dimana para suporter lebih memilih untuk menyalakan televisi daripada pergi ke lapangan untuk melihat sepakbola secara langsung karena tribun-tribun di dalam stadion dianggap sebagai tempat untuk mengawasi keberadaan

(14)

14

suporter sehingga mudah untuk mengidentifikasi, menentukan hirarki dan sejumlah disiplin bagi mereka.

Suporter sepakbola, sebagai sebuah komunitas penggemar selalu terkait dengan praktik-praktik konsumsi. Hal ini dijelaskan oleh Cornel Sandvoss (2003) dalam A Game of Two Halves: Football, Television, and Globalisation bahwa mereka didasarkan pada serangkaian praktik konsumsi. Menganalisis penggemar sebagai konsumen lewat metode wawancara, Sandvoss menilai bahwa suporter sepakbola telah berada dalam produksi industri dan konsumsi. Menggunakan habitus milik Bourdieu, Sandvoss mendapatkan hasil bahwa praktik konsumsi penggemar sepakbola mencerminkan habitus mereka, namun tidak mengartikulasikan posisi budaya dan sosial ekonomi tujuan mereka. Melainkan pemahaman subjektif dari posisi ini. Bagi para suporter, klub merupakan refleksi diri bagi mereka. Menggambar dari interprestasi McLuhan tentang narsisisme dan media elektronik, kita telah melihat bagaimana penggemar sepakbola bernegosiasi terhadap pembacaan klub terdiri dari proyeksi mereka dan dari nilai signifikansi eksternal klub, dengan demikian juga menjadi tunduk pada pengaruh citra yang terdistorsi. Kesimpulan yang dihasilkan dari tulisan ini adalah klub berfungsi sebagai ruang refleksi diri bagi para penggemarnya. Selain itu, penggemar juga berusaha untuk berkomunikasi melalui praktik konsumsi yang mereka lakukan.

(15)

15

Fenomena suporter dalam format ultras pernah ditulis dalam bentuk paper oleh Philipp Budka dan Domenico Jacono (2013) dengan judul Football Fan Communities and Identity Construction: Past and Present of “Ultras Rapid” as Sociocultural Phenomenon. Tulisan ini coba menganalisis sejarah dan beberapa praktik sosiokultural dari ultras terbesar di Austria yaitu Ultras Rapid Block West 1988. Paper ini bertujuan untuk menunjukkan bagaimana identitas individu dan kolektif penggemar sepakbola diciptakan dalam kehidupan sehari-hari. Identitas individu adalah identitas sehari-hari dan berhubungan dengan identitas kolektif. Dalam Ultras Rapid Block West 1988 identitas dikonstruksikan melalui gaya berpakaian serta ruang dan tempat.

Identitas dan masyarakat kolektif juga dibangun dan dipelihara melalui hubungan imajiner dengan luar seperti klub sepakbola lain, komunitas penggemar lain, ultras-ultras lain, pejabat sepakbola, media massa dan polisi. Menggunakan metode etnografi, tulisan ini bermaksud untuk berkontribusi pada antropologi dan pemahaman etnografi mengenai fenomena sosial budaya budaya penggemar sepakbola.

Tulisan lain mengenai ultras adalah tulisan tentang ultras sebagai gerakan sosial yang ditulis oleh Alberto Testa (2009) dengan judul Ultras: an Emerging Social Movement. Penelitian etnografi yang dilakukan pada tahun 2003 hingga 2009 ini berusaha untuk mengevaluasi fenomena ultras dengan melihat dinamika internal

(16)

16

dan eksternal dari dua kelompok ultras terkenal yang ada di Roma, Italia yaitu Boys Roma dan Irriducibili Lazio. Tulisan ini berpendapat bahwa aliansi ideologis antara Ultras Lazio dan Roma telah diikuti sebagai contoh oleh kelompok ultras lainnya di seluruh Italia. Kekerasan yang dilakukan oleh polisi sehingga mengakibatkan kematian dari suporter Lazio bernama Gabriele Sandri pada tahun 2007 dinilai memicu reaksi keras dari ultras serta meneguhkan tradisi ultras yang bermusuhan dengan polisi di stadion sebagai bentuk penolakan dari militerisme di stadion. Hal-hal di atas tadi juga dibarengi dengan kemunculan Ultras Italia yang merupakan sebuah organisasi nasional yang menyatukan semua kelompok ultras di Italia adalah semua elemen yang menandakan sebuah perlawanan terhadap negara Italia yang dinilai represif terhadap ultras. Dari kesemua elemen yang muncul tersebut juga mendandakan bahwa ultras muncul sebagai sebuah gerakan sosial.

Di Indonesia, penelitian yang membahas tentang identitas penggemar klub sepakbola sebelumnya sudah pernah dilakukan oleh Paundra Jhalugilang pada tahun 2012. Penelitian berjudul Makna Identitas Fans Klub Sepakbola (Studi Kasus: Juventus Club Indonesia) tersebut mempunyai fokus kajian pada bagaiman proses pembentukan identitas fans yang kemudian mendapat peneguhan lewat identitas sosial di komunitas Juventus Club Indonesia (JCI). Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah identitas terbentuk lewat level eksplorasi seperti keluarga, teman dan media massa. Selanjutnya adalah identitas yang terbentuk dari proses kategorisasi

(17)

17

yakni mengidentifikasi dan memahami komunitasnya. Pembentukan identitas yang terakhir adalah dengan membandingkan komunitasnya dengan komunitas lain.

Di Indonesia sendiri, penelitian mengenai identitas ultras sebagai sebuah subkultur masih belum dibahas. Pembahasan selama ini lebih difokuskan kepada identitas suporter secara luas dan ekspresi dari komunitas suporter dalam memberikan dukungan mereka terhadap klub. Selain itu, objek yang dijadikan bahan penelitian sebelumnya juga lebih banyak diambil dari komunitas suporter pada umumnya, yang bukan berformat ultras. Hal inilah yang dijadikan oleh peneliti sebagai pijakan untuk memproblematisasi tentang bagaimana sebuah komunitas ultras mengkonstruksikan identitas subkultur mereka beserta praktek-prakteknya.

1.5 Kerangka Teori

Dalam penelitian ini, teori yang digunakan adalah teori identitas, subkultur, dan fandom. Ketiga teori tersebut digunakan untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan bagaimana BCS mengkonstruksikan identitas subkultur mereka beserta prakteknya dalam arena suporter.

1.5.1 Identitas

Konsep identitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep identitas kolektif yang dikembangkan oleh Henry Tajfel dan John C. Turner. Teori identitas digunakan untuk melihat bagaimana pembentukan identitas dalam sebuah komunitas ultras. Secara umum, identitas kolektif merupakan

(18)

18

bagian dari identitas sosial yang terdiri dari “me” dan “we”. Identitas kolektif sama dengan identitas “we” atau identitas kelompok (Tajfel dan Turner, 1997: 114). Dalam hal ini individu mempersepsikan dirinya ke dalam sebuah kelompok dan memiliki persamaan identitas dengan anggota lain kelompok itu serta anggota kelompok yang berbeda.

Kelompok atau grup bukanlah mengenai struktur, fungsi ataupun ukurannya, melainkan pada realitas sosialnya yaitu sebuah kelompok yang dapat bertahan karena para anggotanya mampu mengkategorisasikan diri mereka sendiri sesuai dengan persetujuan yang berlaku dalam kelompok tersebut melalui persamaan sikap atau perilaku dengan anggota kelompok lain.

Individu memperoleh penilaian secara relatif dari kelompoknya maupun dari kelompok lain melalui proses pembedaan sosial. Apabila identitas individu dalam satu kelompok tidak setara dengan kelompok lain, maka individu-individu dalam kelompok tersebut menjadi termotivasi untuk meningkatkan status kelompoknya dengan melakukan berbagai strategi. Oleh sebab itu, fokus identitas kolektif menurut Tajfel ada pada relasi di dalam dan di luar kelompok, terutama mengenai konflik dan kompetisi secara psikologis yang terjadi diantara kelompok-kelompok yang berbeda (Tajfel dan Turner, 1997: 114).

(19)

19

Identitas kolektif sebagai sebuah kategorisasi diri yang mewujud dalam diri individu dan individu tersebut saling berbagi kesamaan dengan anggota lain dalam suatu kelompok tertentu sehingga kelompok itu berbeda dengan kelompok yang lain. Proses penyamaan tersebut merupakan pergeseran identitas personal menjadi identitas kolektif dan terjadi melalui proses depersonalisasi. Dalam hal ini, individu melihat dirinya sendiri sebagai bagian dari “we” atau “us”. Proses ini terjadi secara berkesinambungan, karena masing-masing dari individu dalam kelompok tersebut akan saling menyesuaikan.

Ultras memiliki kaitan yang erat dengan identitas kolektif yang dibentuk oleh para anggotanya. Berada dalam satu komunitas yang sama dan memiliki keterikatan emosional yang kuat, membuat struktur pikiran manusia tidak mengenal manusia lainnya sebagai individu-individu, tetapi sebagai elemen massa atau bisa juga disebut dengan identitas kolektif. Karena proses itulah maka manusia akan mencoba mencari perbedaan antara kelompoknya dengan kelompok lain. Identitas kolektif adalah rasa 'kita' berdasarkan kohesi dan solidaritas.

Gaya menjadi sangat penting dalam menciptakan identitas kolektif di kalangan anak muda. Ultras terkenal dengan gaya berpakaian yang membedakan komunitas mereka dengan komunitas suporter lain melalui

(20)

item-20

item pakaian seperti warna pakaian yang berbeda dengan warna klub yang didukungnya maupun pakaian-pakaian ala militer yang menggambarkan ketangguhan ultras.

Sebuah ruang, tempat dan perasaan saling memiliki dalam komunitas juga merupakan aspek penting dalam konstruksi identitas. Klub sepakbola terkait dengan suatu tempat tertentu dan wilayah ini sering menjadi bagian dari identitas penggemar. Ultras tertarik untuk merevitalisasi identitas kolektif yang terkait dengan lokalitas dan tempat di mana klub mereka didirikan dan tim mereka digunakan untuk bermain. Jadi masih ada hubungan antara lokalitas tertentu, identitas klub dan identitas kolektif penggemarnya. Dalam stadion, blok atau tribun tempat sebuah ultras berdiri merupakan pusat dari identitas seperti spanduk, hand banner dan bendera yang banyak digunakan untuk menandai wilayah ini dan batas-batasnya juga memberi kotribusi untuk melihat bagaimana identitas kolektif yang terkait dengan tempat kekuasaan sebuah ultras.

Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas, identitas kolektif sebuah ultras juga dibangun dan dipelihara melalui hubungan dengan klub sepakbola lain, kelompok penggemar lain, serta pejabat sepakbola yang berkontribusi terhadap pembangunan identitas kolektif ultras sebagai gerakan subkultur dari anak muda.

(21)

21 1.5.2 Subkultur

Ultras adalah salah satu bentuk subkultur berupa komunitas suporter sepakbola yang memiliki fanatisme, rasa cinta, dan dukungan yang lebih dari suporter biasa. Kemunculannya berawal dari wujud perlawanan masyarakat Italia terhadap ketidakadilan pemerintahnya. Pada tahun 1960 ultras mulai masuk ke ranah sepakbola di Italia dengan tujuan untuk memberikan dukungan kepada klubnya dengan cara yang berbeda dari suporter kebanyakan. Mayoritas anggota ultras adalah anak muda.

Keberadaan anak muda dalam suatu gerakan selalu menarik untuk dibahas. Dia dibentuk oleh diskursus tentang citra, gaya, perbedaan dan identitas. Hebdige (1988) menyatakan bahwa anak muda telah terbentuk di dalam dan berbagai diskursus tentang gangguan maupun senang-senang. Penyimpangan anak muda sebagai serangkaian perilaku kolektif sendiri dikelola di dalam dan melalui nilai kelas subkultur.

Budaya anak muda bukanlah suatu ruang perlawanan alternatif yang autentik melainkan tempat bagi negosiasi dimana berbagai posisi perlawanan menjadi strategis dan dimungkinkan dengan sendirinya oleh struktur kekuasaan. Hebdige menegaskan bahwa subkultur bukan merupakan suatu penegasan ataupun penolakan. Ia adalah deklarasi kemerdekaan, insubordinasi dan pada saat yang sama menjadi keberpihakan kepada yang lemah. Ia adalah

(22)

22

permainan perhatian dan penolakan. Jadi, perlawanan benar-benar soal nilai; identifikasi nilai yang diyakini dalam perlawanan dan identifikasi terhadap nilai-nilai tersebut. Perlawanan bukan merupakan kandungan dari suatu tindakan melainkan kategori penilaian tentang tindakan. Karya subkultur yang kreatif, ekspresif dan simbolis bisa dibaca sebagai bentuk perlawanan.

Subkultur dilihat sebagai solusi ajaib atau simbolis atas persoalan struktural kelas. Reaksi subkultur lahir bukan sebagai fenomena reaksi individual tetapi reaksi kelompok terhadap problem kelas. Penolakan terjadi pada kaum kelas pekerja terhadap kelompok kelas menengah. Kelompok yang merasa dirugikan, karena kondisi struktur cipataan sangat berperan menyebabkan kondisi ini, berusaha dengan keterbatasan yang ada tetap ingin dapat menikmati hidup dengan cara melakukan redefinisi budaya atau menjadi subkultur agar terasa lebih nyaman.

Kebudayaan dalam subkultur menunjuk pada keseluruhan cara hidup yang bisa dimengerti oleh para anggotanya. Kata „sub‟ mempunyai arti konotasi yang khusus dan perbedaan dari kebudayaan dominan atau mainstream. Atribut yang mendefinisikan subkultur pada gilirannya terletak pada bagaimana akses diletakkan pada perbedaan antara kelompok kultural atau sosial tertentu dengan kebudayaan atau masyarakat yang lebih luas.

(23)

23

Subkultur dipandang rendah dan atau menikmati satu kesadaran tentang kelainan (otherness) atau perbedaan (Thornton, 1997: 5).

Subkultur dipandang sebagai ruang bagi budaya menyimpang untuk mengasosiasikan ulang posisi mereka atau untuk tempat bagi dirinya sendiri, sehingga pada kebanyakan teori subkultur pertanyaan tentang perlawanan terhadap budaya dominan semakin mengemuka. Namun perlawanan juga bisa bersifat konjungtural, dalam artian bahwa perlawanan tidak dipandang secara tunggal dan universal, suatu tindakan yang mendefinisikan dirinya sendiri berlaku di seluruh kurun waktu namun ia dibangun oleh serangkaian makna spesifik pada kurun waktu, tempat dan hubungan sosial tertentu (Hall dalam Barker, 2004: 363). Subkultur anak muda ditandai dengan perkembangan gaya tertentu yaitu penataan secara aktif sejumlah objek dengan aktivitas serta sikap melalui cara berpakaian, ruang dan tempat serta ritual.

Subkultur kaum muda berkomunikasi melalui tindakan konsumsi. Kesamaan tentang cara individu mengkonsumsi barang menyatukan individu-individu tersebut ke dalam sebuah komunitas. Kita juga bisa melihat bagaimana kelompok subkultur menggunakan jenis pakaian tertentu tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh produsen. Melalui proses perakitan, komoditas diartikulasikan kembali untuk menghasilkan makna-makna oposional.

(24)

24

Secara simbolis, subkultur diekspresikan dalam bentuk penciptaan gaya (style) dan bukan hanya merupakan penentangan terhadap hegemoni atau jalan keluar dari suatu ketegangan sosial. Anggota dari suatu subkultur biasanya menunjukan keanggotaan mereka dengan gaya hidup atau simbol-simbol tertentu. Karenanya, subkultur seringkali memasukan studi tentang simbolisme (pakaian, musik dan perilaku anggota sub kebudayaan) dan bagaimana simbol tersebut diinterpretasikan oleh kebudayaan induknya dalam pembelajarannya. Bagi Hebdige (1979), gaya adalah praktek signifikasi. Melalui signifikasi perbedaan, gaya membentuk identitas kelompok.

Terkait dengan hal tersebut, maka Dick Hebdige (1979) menjelaskan lima bentuk gaya (style). Pertama, gaya sebagai komunikasi yang disengaja. Terpisah dari konstruksi yang tampak secara kasat mata, pilihan dalam gaya dimaksud untuk mendapat perhatian pada dirinya sendiri, sehingga dirinya dapat dipahami sebagai seorang yang memiliki eksistensi. Gaya menampilkan kode mereka sendiri atau setidaknya menunjukkan bahwa kode yang ada digunakan dan disalahgunakan. Gaya tersebut melanggar hukum manusia sebab komoditas yang digunakan secara tradisonal oleh masyarakat umum direposisi dan direkontektualisasi sehingga menciptakan yang gaya baru.

Kedua, gaya sebagai brikolase. Konsep brikolase dipakai untuk menjelaskan rekontekstualisasi objek-objek untuk mengkomunikasikan

(25)

25

makna-makna baru. Dalam brikolase sebuah objek yang telah mempunyai endapan makna simbolik tertentu dimaknai kembali dalam hubungannya dengan artefak lain dan dalam konteks yang baru. Dengan demikian ketika brikolase merelokasi tanda objek tertentu pada sebuah posisi berbeda, atau ketika objek itu ditempatkan seluruh kumpulan yang berbeda, ada sebuah pesan yang berbeda yang disampaikan.

Ketiga, gaya pada putaran gaya. Keempat, gaya sebagai homologi adalah kesamaan asal-usul yang menunjukkan adanya hubungan kekerabatan sekalipun bentuk, susunan, atau fungsinya mungkin berlainan. Kelima, gaya sebagai praktek penandaan.

Dalam subkultur, keberadaan anak muda juga dipahami sebagai suatu persoalan spasial, artinya mereka bisa dihasilkan secara berlainan dalam ruang dan tempat yang berlainan. Tempat tersebut menjadi zona yang diperebutkan karena merupakan beberapa dari sedikit ruang kuasa otonom yang dapat diciptakan anak muda bagi diri mereka sendiri.

1.5.3 Fandom

Penggemar muncul sebagai bagian dari proses mengkonsumsi teks budaya, terutama budaya populer. Mereka tidak sekedar mengkonsumsi teks budaya tersebut, tetapi juga menyukai dan menikmatinya. Kelompok penggemar (fandom) muncul sebagai fenomena reaksi atas kegiatan konsumsi

(26)

26

budaya yang telah dijadikan sebagai objek kesenangan. Ketika suatu individu menyukai suatu produk budaya dan dia menemukan kesamaan dengan individu lain, dari sana terbentuk kelompok penggemar atau fandom. Kelompok penggemar sendiri merupakan bagian kecil dari suatu payung besar komunitas penikmat teks budaya, terutama budaya populer.

Suporter atau penggemar dari suatu klub sepakbola merupakan salah satu fenomena menarik untuk dibahas. Suporter sepakbola pada umumnya merupakan suporter yang fanatik. Terkait dengan fanatisme ini, Joli Jenson menyebutkan bahwa komunitas penggemar dihantui oleh citra penyimpangan. Hal ini berarti bahwa komunitas penggemar dilihat sebagai perilaku yang berlebihan dan berdekatan dengan kegilaan.

Budaya penggemar selama ini sering dipahami dalam konteks negatif yang selalu dicirikan sebagai suatu kefanatikan yang potensial5. Penggemar rata-rata dilihat dari kacamata umum sebagai korban dari produk-produk budaya yang mereka konsumsi secara berlebihan. Selain menjadi korban (atau target dari produk-produk tersebut), mereka juga menikmati produk budaya dengan cara yang berlebihan. Karakteristik penggemar selalu

5 Penggemar dalam bahasa Inggris disebut fan, yang berasal dari kata fanatic (Joli Jenson dalam

Storey, 1996:124). Bahkan Jenkins dalam bukunya „Textual Poachers‟ memberi gambaran terhadap penggemar lebih jauh dengan menganalisis pengertian „fanatic‟ yang berasal dari kata „fanaticus‟ dalam bahasa latin. Lebih buruk lagi, fanaticus berarti kegilaan yang disebabkan oleh kesurupan yang dilakukan oleh makhluk halus atau setan. Selengkapnya di buku Textual Poachers

(27)

27

direpresentasikan sebagai antisosial, berpikiran pendek, dan selalu terobsesi terhadap apa yang dikonsumsinya tersebut. Pandangan negatif tersebut juga diperkuat oleh adanya wacana umum terhadap orang lain (other). Penggemar melakukan hal-hal yang berbeda dengan masyarakat umumnya dengan tindakan-tindakan yang dianggap berbahaya, menyimpang, sementara „kita‟ (masyarakat biasa) melakukan dengan normal dan aman. Pemahaman yang demikian menciptakan stereotip yang diskriminatif terhadap penggemar sekaligus pencitraan yang berat sebelah atas keantusiasan mereka terhadap teks budaya yang dinikmatinya.

Jenson menunjukkan dua tipe khas patologi penggemar yaitu individu yang terobsesi (biasanya laki-laki) dan kerumunan histeris (biasanya perempuan) (Storey, 2006: 158). Para penggemar ditampilkan sebagai salah satu liyan yang berbahaya dalam kehidupan modern. “Kita” ini waras dan terhormat; “mereka” itu terobsesi dan histeris. Penggemar dipahami sebagai korban-korban pasif dan patologis media massa. Mereka tidak bisa menciptakan jarak di antara dirinya dan objek kesenangannya. Berdasarkan pada berbagai uraian tersebut mengakibatkankan suporter sepakbola kerap dilihat sebagai sekumpulan orang fanatik yang menganggu agenda klub, merusak reputasi dan menyebabkan timbulnya masalah dengan pihak berwenang.

(28)

28

Penggemar, yang selera dan praktik budayanya berlawanan dengan logika estetis kaum dominan, harus diprepresentasikan sebagai „other‟ (yang lain) (Jenkins, 1992: 19). Dari sudut pandang kaum borjuis atau pihak yang berkuasa atas budaya dominan, kehadiran penggemar (fans) akan mengganggu dan membahayakan standarisasi selera yang telah mereka kuasai. Penggemar selalu memperlakukan teks budaya populer sama hebatnya dengan teks budaya kanon sebagai akibat dari perbedaan selera tersebut. Melalui perspektif selera dominan, penggemar teks populer dianggap tidak terkontrol, tidak disiplin, dan pembaca yang membangkang.

Bourdieu (1979, dalam Jenkins 1992) melihat selera (taste) menjadi alat pembentuk identitas dan pembedaan antar kelas. Selera penggemar dianggap melanggar selera yang dimiliki oleh hirarki budaya yang dominan. Penentuan terhadap „selera‟ tersebut merupakan alat pembenaran (justifikasi) kaum dominan terhadap segala stereotip negatif yang telah ditujukan kepada penggemar tersebut. Penggemar sering mendapatkan kekuatan dan semangat dari kemampuan mereka untuk mengidentifikasikan diri mereka sebagai bagian dari kelompok penggemar lain yang berbagai kesenangan yang sama dan menghadapi permasalahan yang sama (Jenkins, 1992: 23).

Sebagai penggemar, mereka menerima posisi mereka yang lebih rendah di dalam hirarki budaya (terutama budaya dominan), sekaligus

(29)

29

menerima identitas yang sering diremehkan atau dikritik oleh mereka yang berkuasa. Penggemar bersatu dan membentuk komunitas sebagai alat mempertahankan diri dari stereotip negatif dan berusaha mencari penggemar lain yang masih terpisah, menyadari bahwa penggemar yang menikmati teks budaya yang sama tidak sendirian di dunia ini.

Kelompok penggemar juga merupakan kelompok pembaca teks budaya yang antusias. Kegiatan konsumsi teks budaya (media, film, karya sastra, dan lain-lain) yang mereka senangi hanyalah proses awal dari kegiatan konsumsi-konsumsi media tersebut. Penggemar berpartisipasi aktif terhadap teks budaya, menciptakan bentuk-bentuk produksi budaya baru sebagai akibat dari kegiatan konsumsi tersebut. Budaya penggemar tidak bisa dipisahkan dari produksi budaya (Storey, 1996: 164). Penggemar juga memiliki kreativitas, menciptakan alternatif-alternatif baru dengan nilai estetika yang dimilikinya sendiri sebagai bentuk pembacaan baru terhadap teks budaya yang dibacanya kembali.

Kelompok penggemar berjuang untuk menentang hal yang biasa-biasa saja di dalam teks yang mereka senangi. Mereka membentuk identitas sendiri dan beroposisi dari mereka yang mengkonsumsi teks budaya secara „biasa-biasa saja‟. Kelompok penggemar adalah mereka yang aktif memberdayakan diri, melawan kegiatan konsumsi budaya yang pasif, dan menciptakan konflik

(30)

30

terhadap pandangan elit. Tidak mengherankan jika Fiske (1992, dalam Storey) menegaskan bahwa perbedaan yang nyata antara penggemar dengan pembaca „biasa‟ adalah pada „unsur lebih‟- penggemar adalah seorang pembaca budaya pop yang berlebihan, melebihi mereka yang menikmati budaya pop secara biasa.

Ultras, merupakan salah satu bentuk spesifik budaya penggemar sepakbola yang dikembangkan di Italia. Ultras menggabungkan identitas lokal, koreografi yang luar biasa, flare, nomenklatur paramiliter pada tahun 1970an serta budaya pemuda (Giulianotti dan Armstrong, 1997: 16). Bukan hanya sekedar sebagai kelompok penggemar biasa, ultras memiliki komitmen yang kuat untuk kelompok mereka dan diri sendiri, bukan hanya ketika di dalam stadion tapi juga di kehidupan sehari-hari. Ultas kaya akan budaya dalam hal sosialisasi, solidaritas kelompok, budaya rakyat dan kinerja artistik.

Keberadaan suporter yang kreatif ini dilihat sebagai bagian dari pementasan yang menciptakan suasana hidup dalam sebuah pertandingan sepakbola. Akan tetapi di sisi lain, keberadaan suporter aktif juga dimanfaatkan menjadi sarana promosi bagi sebuah klub. Hal ini yang kemudian membuat beberapa beberapa pihak memanfaatkan loyalitas dan pamor dari suporter untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya pada setiap pertandingan. Namun, suporter yang aktif juga sadar apabila loyalitas

(31)

31

mereka dimanfaatkan dalam bentuk komersialisasi suporter sehingga suporter-suporter ini melakukan perlawanan terhadap pihak yang memegang kekuasaan dalam mengendalikan klub, pertandingan, maupun suporter.

Dalam kasus ini, kekuasaan justru dapat menjadikan sesuatu yang produktif. Misalnya seseorang yang kritis dan mempertanyakan semua aturan justru lahir dari dampak pengetahuan dan kekuasaan yang represif atau otoriter. Kemudian kekritisan itu melahirkan pemikiran baru tentang pengetahuan dan kekuasaan yang baru pula. Resistensi selalu hadir bersama kekuasaan, dan, “dimana ada kekuasaan, di sana ada resistensi”, sehingga adanya kekuasaan selalu dihadapi dengan perlawanan.

Meskipun seringkali tidak berhadapan langsung, subjek yang terdominasi oleh suatu kuasa melakukan resistensi sebagai upaya pembentukan identitas. Hal ini seringkali dikaitkan dengan sifat hegemoni yang melekat pada kekuasaan tersebut. Di samping itu, kekuasaan selalu hadir di seluruh ruang sosial (social sphere) dimana pun dan memasuki ruang publik, sehingga kekuasaan bukanlah suatu kepemilikan monolitik suatu kelas atau kelompok tertentu.

(32)

32 1.6 Metodologi Penelitian

1.6.1 Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian mengenai identitas subkultur dari BCS, peneliti akan menggunakan metode studi kasus dimana peneliti akan menyelidiki secara cermat suatu peristiwa, akivitas, atau sekelompok individu. Kasus dibatasi oleh waktu dan aktivitas, dan peneliti mengumpulkan informasi secara lengkap dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data berdasarkan waktu yang ditentukan (Stake, 1995). Objek penelitian ini dipilih berdasarkan pada praktik-praktik yang dilakukan oleh BCS dalam pembentukan identitas subkultur serta praktek-prakteknya meliputi: gaya, tempat dan ruang, serta ritual aksi.

Penelitian akan dilakukan dengan durasi selama 3-4 bulan dengan melakukan wawancara kepada anggota BCS, melakukan pengamatan di tribun selatan Stadion Maguwoharjo yang menjadi tempat dimana komunitas suporter BCS beraksi, CS Shop dan basecamp BCS.

1.6.2 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri dari 2 bentuk. Pertama adalah wawancara. Bentuk pertanyaan atau wawancara yang dilakukan merupakan pertanyaan terbuka dan sifatnya mengalir. Meski demikian, untuk menjaga fokus penelitian, peneliti memiliki panduan wawancara yang sifatnya fleksibel. Setiap wawancara yang dilakukan, peneliti

(33)

33

memperdalamnya dengan cara membuat catatan hasil wawancara dan observasi. Dalam penelitian ini, wawancara akan dilakukan kepada 5 informan yang menjadi anggota aktif dalam komunitas suporter BCS yaitu Jeri (capotifo BCS), Bagas (anggota BCS), Hendi (store manager CSS), Galuh (admin BCS), Jaya (anggota BCS). Informan dipilih berdasarkan beberapa kriteria yaitu: 1) informan adalah anggota aktif di komunitas suporter BCS; 2) informan memiliki pengaruh yang cukup besar dalam komunitas suporter BCS; 3) informan sudah menjadi bagian dari komunitas suporter BCS setidaknya semenjak tahun 2009, sehingga mengetahui seluk beluk mengenai pergerakan komunitasnya.

Teknik kedua berupa observasi partisipan. Observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran umum mengenai aktivitas di komunitas suporter BCS. Peneliti akan mengetahui dan memahami apa saja yang dilakukan subjek penelitian, perilaku keseharian, kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan keseharian, hingga pada pemahaman terhadap simbol-simbol kehidupan subjek penelitian dalam keseharian yang bisa jadi orang lain tidak memahami apa sebenarnya simbol itu. Namun demikian, melalui kegiatan observasi partisipan tidak menjadikan peneliti larut hingga tidak bisa membedakan dirinya dengan diri subjek penelitian. Observasi partisipan yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan cara peneliti ikut menonton beberapa pertandingan PSS dan mengambil tempat duduk di tribun selatan sehingga

(34)

34

dapat diamati kegiatan-kegiatan serta atribut-atribut yang dikenakan dari komunitas suporter tersebut, selain itu peneliti juga akan melakukan pengamatan di CS Shop dan basecamp BCS yang terletak di Ruko Delima Raya, Condong Catur, Sleman.

1.6.3 Metode Analisis Data

Data yang diperoleh akan dianalisis menggunakan pendekatan interpretatif, yaitu dengan menguraikan segala sesuatu yang ada di balik data. Proses penelitian dilakukan secara berkesinambungan. Data yang didapatkan kemudian dianalisis dengan menguraikan, mengkonsepkan dan menyusunnya kembali. Sementara teori yang ada digunakan sebagai alat untuk membantu analisis data.

1.7 Sistematika Penulisan

Bab I: Dalam bab ini dijelaskan mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II: Bagian ini akan berisi pemaparan tentang kehadiran komunitas suporter ultras yang ada di Eropa sebagai kiblat dari suporter ultras yang ada di Indonesia, beserta ciri khas yang menyertainya. Pada bab ini juga akan dijelaskan mengenai permasalahan suporter di Indonesia hingga terbentuknya

(35)

ultras-35

ultras di Indonesia. Pembahasan berikutnya adalah profil Ultras BCS beserta pemaparan awal mengenai identitas subkultur yang dibentuk.

Bab III: Bab ini menjelaskan temuan-temuan lapangan yang diperoleh selama proses observasi maupun wawancara, sekaligus untuk menjawab rumusan-rumusan masalah yang telah dibuat.

Bab IV: Bagian terakhir ini berisikan kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan. Pada bab ini pula akan diberikan saran serta rekomendasi bagi penelitian selanjutnya.

Referensi

Dokumen terkait

Abstrak: Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Pendeskripsian musik iringan tari Jepin Langkah Simpang Kota Pontianak, 2) Pendeskripsian melodi selodang pada musik

membandingkan pengaruh perbedaan asumsi penilaian terhadap laba kotor. #Tetapkan Niat, Sempurnakan Ikhtiar dan Pasrahkan Hasil#

disease differs for the exposed and the unexposed groups.. Only for cross-sectional and cohort studies: Ratio of the probability that the outcome characteristic is present for

Perhitungan Nilai Kerapatan Massa ( Bulk Density ), Kerapatan Partikel ( Particle Density ), Porositas, Evapotranspirasi Aktual, Dan Koefisien Tanaman Fase Tengah

11 2015 2550 NUR CHOMARIAH MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN 1 038 38.Cho PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SMA.. NEGERI BAKALAN

Oleh karena itu, menurut hukum Islam petugas atau pejabat yang bertugas mengurus uang tersebut apabila melakukan pencurian dia berdosa dan

Ada empat komponen evaluasi yakni; 1) Evaluasi Context (konteks) yang secara keseluruhan sudah cukup maksimal, hal ini dilihat dari perencanaan, tujuan dan

Jen (2002) berpendapat bahwa keterlibatan pemakai yang semakin sering akan meningkatkan kinerja SIA dikarenakan adanya hubungan yang positif antara keterlibatan pemakai