• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH FASE KELAHIRAN TERHADAP DAYS OPEN DAN CALVING INTERVAL PADA TERNAK SAPI PERAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH FASE KELAHIRAN TERHADAP DAYS OPEN DAN CALVING INTERVAL PADA TERNAK SAPI PERAH"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENGARUH FASE KELAHIRAN TERHADAP DAYS OPEN

DAN CALVING INTERVAL PADA TERNAK SAPI PERAH

SKRIPSI

Oleh:

ABDI ERIANSYAH I111 11 301

PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2016

(2)

ii

PENGARUH FASE KELAHIRAN TERHADAP DAYS OPEN

DAN CALVING INTERVAL PADA TERNAK SAPI PERAH

SKRIPSI

Oleh:

ABDI ERIANSYAH I111 11 301

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin

PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2016

(3)

iii PERNYATAAN KEASLIAN

1. Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Abdi Eriansyah NIM : I111 11 301

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa: a. Karya skripsi yang saya tulis adalah asli

b. Apabila sebagian atau seluruhnya dari karya skripsi ini, terutama Bab Hasil dan Pembahasan tidak asli atau plagiasi maka bersedia dibatalkan atau dikenakan sanksi akademik yang berlaku.

2. Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat dipergunakan seperlunya.

Makassar, 2016

(4)

iv HALAMAN PENGESAHAN

Judul Penelitian : Pengaruh Fase Kelahiran Terhadap Days Open dan Calving Interval Pada Ternak Sapi Perah Nama : Abdi Eriansyah

Nomor Induk Mahasiswa : I111 11 301

Fakultas : Peternakan

Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui oleh:

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Dr. Muhammad Yusuf, S.Pt Prof. Dr. Ir. Ambo Ako, M.Sc NIP. 19700725 199903 1 001 NIP. 19641231 198903 1 026

Dekan Fakultas Peternakan Ketua Program Studi Peternakan

Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Baco, M.Sc Prof. Dr. drh. Hj. Ratmawati Malaka, M.Sc NIP. 19641231 198903 1 025 NIP. 19640712 198911 2 002

(5)

v KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puji dan Syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Maha Pemilik dari segala pemilik karena atas Kehendak, Rahmat dan Hidayah-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa pula Salam serta Salawat senantiasa penulis haturkan kepada Nabiullah Muhammad SAW sebagai Suri Tauladan umat manusia.

Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis haturkan kepada: 1. Ibunda Ernawati Paturusi dan Ayahanda Muh. Rusli Achmad yang senantiasa

melimpahkan doa-doa terbaik untuk penulis. Juga sebagai motivator terbesar bagi penulis serta senantiasa melimpahkan kasih sayang dan dukungan yang tiada hentinya kepada penulis dan juga adinda Teguh Bimantara, beserta seluruh keluarga besar yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu. 2. Ibu Rektor UNHAS, Bapak Dekan, Pembantu Dekan I, II dan III dan seluruh

Bapak Ibu Dosen yang telah melimpahkan ilmunya kepada penulis, dan Bapak Ibu Staf Pegawai Fakultas Peternakan Universitas hasanuddin.

3. Bapak Dr. Muhammad Yusuf, S.Pt selaku pembimbing utama dan Bapak Prof. Dr. Ir. Ambo Ako, M.Sc selaku pembimbing anggota yang telah banyak meluangkan waktunya dalam membimbing, memberi arahan serta nasehat kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

4. Ibu Dr. Agustina Abdullah, S.Pt, M.Si selaku Pembimbing Akademik. Bapak Prof. Dr. Ir. Herry Sonjaya, DEA, DES selaku pembimbing Seminar studi

(6)

vi pustaka dan juga kepada Pembimbing Praktek Kerja Lapang Bapak Prof. Dr. Ir. Lellah Rahim, M.Sc bersama Bapak Dr. M. Ihsan A. Dagong, S.Pt, M.Si. 5. Kakanda Sahiruddin, S.Pt., M.Si. yang juga turut membantu penulis dalam

penyempurnaan skripsi ini.

6. Team Asisten Lab. Ternak Potong, Team PKL kandang kambing Lab. Pemuliaan dan Genetika Ternak Fakultas Peternakan UNHAS, dan teman-teman KKN gel. 90 UNHAS khususnya Desa Bulu Tellue Kec. Bulupoddo Kab. Sinjai.

7. Himpunan Mahasiswa Produksi Ternak (HIMAPROTEK-UH), Senat Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin (SEMA FAPET-UH) dan Himpunan mahasiswa Islam (HmI), tempat penulis dalam berproses dan belajar. Lembaga yang telah banyak mengajarkan banyak hal kepada penulis. 8. Adinda Ant 014, Larva 013, Flock Mentality 012, Teman-teman seperjuangan

Solandeven 011, serta kakanda Lion 010, Merpati 09, Bakteri 08 dan Rumput 07 yang telah memberikan banyak ilmu dan pengetahuan kepada penulis selama ini.

9. Kiki Rezki Muchlis, S.Pt, selaku orang yang selalu menjadi motivasi dan juga selalu memberikan semangat kepada penulis.

10. Teman penelitian serta teman seperjuangan yang sudah banyak membantu penulis, Muh. Idham Yahya.

(7)

vii Dengan sangat rendah hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik serta saran yang membangun dari pembaca sangat diharapkan oleh penulis demi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan nantinya, terkhusus dalam bidang peternakan. Semoga makalah skripsi ini dapat memberi manfaat bagi para pembaca terutama bagi penulis. Aamiin.

Akhir Qalam Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Makassar, 2016

(8)

viii ABSTRAK

ABDI ERIANSYAH. I111 11 301. Pengaruh fase kelahiran terhadap days open dan calving interval pada ternak sapi perah. Dibimbing oleh Muhammad Yusuf sebagai Pembimbing Utama dan Ambo Ako sebagai Pembimbing Anggota.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh fase kelahiran terhadap days open dan calving interval pada ternak sapi perah. Penelitian ini menggunakan metode survei. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan peternak sapi perah. Parameter yang diukur pada penelitian ini adalah days open dan calving interval untuk setiap individu ternak sapi perah. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata days open pada fase kelahiran pertama dan kedua masing-masing 228,2 dan 205,5 hari dengan calving interval pada fase kelahiran pertama dan kedua adalah 508,2 dan 495,5 hari. Dapat disimpulkan bahwa days open dan calving interval pada fase kelahiran pertama dan kedua pada ternak sapi perah relative masing panjang. Demikian halnya dengan jumlah pelayanan inseminasi per kebuntingan masih tinggi pada kebuntingan kedua dan ketiga.

(9)

ix ABSTRACT

ABDI ERIANSYAH. I111 11 301. The effect of calving number on days open and calving interval in dairy cows. Supervised by Muhammad Yusuf as supervisor and Ambo Ako as co-supervisor.

This study aimed to know the effect of calving number on days open and calving interval in dairy cows. Survey method was used in the present study. Primary data was obtained trought direct interview to the dairy farmers. Parameters measured in this study was days open and calving interval. The results of this study showed that the average of days open at first and second calvings were 228,2 and 205,5 days respectively with calving intervals for both calving were 508,2 and 495, 5 days, respectively. It can be concluded that days open and calving interval in the present study at first and second calvings in dairy cows were relatively longer. Furthermore, number of inseminations per conception was still high at the second and the third pregnancies.

(10)

x DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

PERNYATAAN KEASLIAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PENDAHULUAN ... 1

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Tinjauan Umum Sapi Perah ... 4

Efisiensi Reproduksi Sapi Perah... 5

Penampilan Reproduksi Sapi Perah ... 7

Manajemen Reproduksi Sapi Perah ... 13

MATERI DAN METODE PENELITIAN ... 17

Waktu dan Tempat... 17

Materi Penelitian ... 17

Metode Penelitian ... 17

Parameter Penelitian ... 17

(11)

xi

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19

Days Open ... 19

Calving Interval ... 21

Service per Conception ... 23

KESIMPULAN DAN SARAN ... 26

DAFTAR PUSTAKA ... 27

LAMPIRAN ... 31

(12)

xii DAFTAR TABEL

No. Halaman

Teks

1. Rata-rata Days Open, Calving Interval, dan Service per

Conception di kelompok ternak KUD Mojosongo Boyolali ... 8 2. Rataan days open ternak sapi perah di Kabupaten Enrekang ... 19 3. Rataan calving interval ternak sapi perah di Kabupaten Enrekang ... 21 4. Rataan service per conception ternak sapi perah di Kabupaten Enrekang 23

(13)

xiii DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

Teks

1. Perbandingan days open kelahiran I dan II pada ternak sapi perah

di Kabupaten Enrekang ... 20 2. Perbandingan calving interval kelahiran 1-2 dan kelahiran 2-3

pada ternak sapi perah di Kabupaten Enrekang ... 22 3. Perbandingan service per conception kebuntingan I, II dan III pada

(14)

xiv DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

Teks

1. Hasil Analisa Data Days Open ... 31

2. Hasil Uji t Days Open ... 31

3. Hasil Analisa Data Calving Interval ... 32

4. Hasil Uji Anova Calving Interval ... 32

5. Hasil Uji t Calving Interval ... 32

6. Hasil Analisa Data Service per Conception ... 33

(15)

1 PENDAHULUAN

Sapi perah di Indonesia pada umumnya adalah sapi perah yang berasal dari bangsa Fries Holland (FH) dan keturunannya dengan tujuan pemeliharaan untuk mendapatkan susu (Widyobroto, 2013). Perkembangan peternakan sapi perah di suatu daerah dapat dilihat dari peningkatan populasi ternak yang terdapat di daerah tersebut, yang ditentukan oleh keberhasilan bereproduksi (Gumilar, dkk., 2012).

Menurut data Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, populasi sapi perah di Indonesia tahun 2014 adalah 502.516 ekor dan pada tahun 2015 sementara berjumlah 525.171 ekor. Hal tersebut menunjukkan bahwa peningkatan populasi hanya mencapai sekitar 4.51% dari tahun 2014 ke tahun 2015. Dapat dikatakan bahwa peningkatan populasi sapi perah di Indonesia relatif sedikit. Faktor keberhasilan usaha sapi perah salah satunya tergantung pada penampilan reproduksi sapi perah yang dipelihara dalam hal ini dapat ditunjukkan dengan berapa lama calving interval yang dicapai, karena dengan melahirkan, sapi perah dapat menghasilkan pedet dan memproduksi susu (Febriansyah, 2009).

Pada umumnya sapi perah di Indonesia memiliki calving interval selama 13,5 bulan. Namun demikian mencapai calving interval yang demikian tidaklah mudah, karena hal tersebut melibatkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhinya antara lain kondisi ternak yang dipelihara dan kemampuan peternak yang mengelola sapi perah (Hardjosubroto, 1994).

Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk memperbaiki peningkatan produksi sapi perah di Indonesia adalah dengan cara memperbaiki kinerja reproduksinya. Kemampuan reproduksi yang semakin tinggi akan diikuti pula

(16)

2 dengan semakin tingginya produktivitas ternak tersebut. Salah satu cara yang digunakan untuk perkembangbiakan sapi perah yaitu dengan menggunakan teknologi inseminasi buatan (IB). Keberhasilan program IB dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pendeteksian berahi, kesehatan betina, efisiensi inseminator dan kesuburan semen serta faktor paritas. Parameter IB yang dapat dijadikan tolak ukur guna mengevaluasi efisiensi reproduksi sapi perah betina yaitu days open (DO), calving interval (CI) dan service per conception (S/C) (Atabany, dkk., 2011).

Semua parameter tersebut merupakan evaluasi dari peranan teknologi IB yang diketahui dapat berpengaruh terhadap peningkatan populasi sapi perah yang nantinya mampu untuk meningkatkan produksi khususnya produksi susu.

Penampilan reproduksi sapi perah merupakan semua aspek yang menyangkut reproduktivitas sapi tersebut. Sebagian besar usaha sapi perah di Kabupaten Enrekang tergolong usaha peternakan rakyat. Tatalaksana pemeliharaan yang diterapkan belum sepenuhnya diketahui oleh peternak, sehingga belum dapat mengembangkan usaha sapi perahnya secara maksimal. Hal tersebut dapat terlihat dari panjangnya calving interval yang dialami induk sapi perah.

Untuk dapat meningkatkan produksi ternak sapi perah, dapat dilakukan dengan memperbaiki penampilan reproduksinya. Penampilan reproduksi sapi perah yaitu berupa days open (DO), calving interval (CI) dan service per conception (S/C).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh fase kelahiran terhadap days open (DO) dan calving interval (CI) pada ternak sapi perah.

(17)

3 Kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai bahan informasi di lingkungan masyarakat mengenai pengaruh fase kelahiran terhadap days open (DO) dan calving interval (CI) pada ternak sapi perah.

(18)

4 TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Umum Sapi Perah

Salah satu bangsa sapi perah yang terkenal adalah sapi perah Fries Holland (FH). Di Indonesia sapi perah mulai dipelihara dan dikembangkan sejak abad ke-17. Pada umumnya sapi perah yang dipelihara di Indonesia ialah FH dan PFH (Peranakan Fries Holland). Sapi tersebut berasal dari dataran Eropa yang memiliki lingkungan hidup dengan temperatur kurang dari 22oC. Sehingga tidaklah

mengherankan apabila usaha ternak sapi perah di Indonesia ini hanya terbatas di daerah-daerah tertentu yang memiliki temperatur dingin (Anonim, 2010).

Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam pemeliharaannya selalu diarahkan pada peningkatan produksi susu. Sapi perah bangsa Fries Holland (FH) merupakan bangsa sapi perah yang memiliki produksi susu paling tinggi diantara bangsa sapi yang lain. Produksi susu sapi perah FH di negara asalnya mencapai 6000-8000 kg/ekor/laktasi, di Inggris sekitar 35% dari total populasi sapi perah dapat mencapai 8069 kg/ekor/laktasi (Tawaf, 2009).

Menurut Anonim (1995), sapi FH memiliki ciri-ciri : 1. Tenang dan jinak sehingga mudah dikuasai.

2. Terdapat warna putih berbentuk segitiga di daerah dahi. 3. Kepala besar dan sempit.

4. Dada, perut bagian bawah, dan ekor berwarna putih. 5. Ambing besar.

6. Warna bulu hitam dengan bercak putih. 7. Tidak tahan panas.

(19)

5 8. Tanduk pendek dan menjurus ke depan.

Sapi FH memiliki warna cukup terkenal yaitu belang hitam putih dengan pembatas yang jelas dan tidak ada warna bayangan serta mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan, sehingga bangsa sapi ini dapat dijumpai hampir di seluruh dunia (Rustamadji, 2004). Sapi FH betina dewasa memiliki bobot badan 628 kg sedangkan untuk FH jantan adalah 1000 kg. Sapi FH memiliki rata-rata produksi susu tertinggi dengan kadar lemak susu terendah diantara bangsa sapi perah lainnya (Sudono, dkk., 2003).

Rendahnya produksi susu sapi perah di Indonesia disebabkan karena faktor lingkungan yang memegang peranan penting terhadap proses fisiologis dalam tubuh ternak, sehingga pada gilirannya akan mempengaruhi kapasitas produksi susu. Faktor iklim ini masih dapat diatasi dan tidak banyak berpengaruh apabila sapi perah tersebut diberi pakan yang berkualitas tinggi, sehingga dapat berproduksi sesuai dengan kemampuannya (Sudono, 1983).

Efisiensi Reproduksi Sapi Perah

Efisiensi reproduksi adalah ukuran kemampuan seekor sapi untuk bunting dan menghasilkan keturunan yang layak (Niazi, 2003). Sedangkan menurut Hafez (1993), efisiensi reproduksi adalah penggunaan secara maksimum kapasitas reproduksi. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efisiensi reproduksi terutama melalui penerapan bioteknologi atau mengembangkan teknologi praktis dan manajemen yang dapat meningkatkan efisiensi reproduksi (Basyir, 2009).

(20)

6 Dalam budidaya sapi potong maupun sapi perah, adanya penampilan reproduksi optimum merupakan hal yang paling menentukan dalam keberhasilan produktivitasnya. Salah satu penampilan reproduksi optimum yang dimaksud adalah jarak kelahiran (calving interval) yang optimum dengan kisaran 12-15 bulan untuk kondisi peternakan rakyat di Indonesia. Hasil penampilan reproduksi optimum dapat dicapai bila program kawin alami maupun penggunaan inseminasi buatan (IB) dilakukan dengan tepat saat setelah usia pubertas pada sapi dara atau segera setelah fase pasca melahirkan pada sapi induk. Sapi perah atau sapi potong diharapkan kawin kembali dalam waktu 2-3 bulan setelah melahirkan, sehingga sapi dapat bunting kembali dalam waktu 3-4 bulan pasca melahirkan. Kasus infertilitas yang menonjol pada sapi perah dan sapi potong rakyat di Indonesia adalah tingginya kejadian anestrus post partum (tidak berahi pasca melahirkan). Kejadian ini mengakibatkan terlambatnya kawin kembali pasca melahirkan, sehingga jarak kelahiran melebihi 18 bulan (Husnurrisal, 2008).

Manajemen perkawinan ternak yang baik juga merupakan hal yang sangat penting untuk meningkatkan efisiensi reproduksi termasuk perbaikan keturunan. Salah satu cara untuk memperbaiki manajemen ternak adalah dengan inseminasi buatan (IB) (Wijaya, 2008).

Faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi reproduksi antara lain nutrisi pakan yang terkandung di dalam ransum berpengaruh pada organ reproduksi dan fungsi kelenjar yang memproduksi hormon. Manajemen atau tatalaksana sangatlah berpengaruh terhadap ternak sapi. Penyakit dan suhu udara serta musim sangat berpengaruh terhadap sifat reproduksi (Suyasa, 1999).

(21)

7 Diketahui bahwa baik langsung maupun tidak langsung produksi susu dipengaruhi oleh efisiensi reproduksi. Pengaruh tidak langsung yaitu menurunnya atau lambatnya perkembangan populasi sapi perah betina karena rendahnya tingkat kelahiran akibat kegagalan perkawinan yang menyebabkan ternak tidak bunting. Menurunnya populasi sapi perah betina tentunya akan berdampak kepada rendahnya produksi susu. Sedangkan pengaruh langsung adalah banyaknya perkawinan akan berdampak kepada lamanya calving interval dan panjangnya masa laktasi. Menurut Hastono dan Adiati (2007) menyatakan bahwa calving interval lebih dari 365 hari akan mengurangi pendapatan petani.

Penampilan Reproduksi Sapi Perah

Penampilan reproduksi adalah semua aspek yang menyangkut reproduktivitas sapi. Penampilan reproduksi sapi perah betina dapat berupa umur pertama kali berahi, umur pertama kali dikawinkan, timbulnya berahi lagi setelah melahirkan, jumlah perkawinan per kebuntingan, jarak kelahiran dan masa kosong. Evaluasi terhadap penampilan reproduksi sapi perah sangat penting, karena baik buruknya penilaian terhadap seekor sapi perah bergantung pula pada baik buruknya atau teratur tidaknya sapi tersebut dapat melahirkan (Hardjosubroto, 1994).

Tinggi rendahnya efisiensi reproduksi sekelompok ternak ditentukan oleh lima hal, yaitu angka kebuntingan (conception rate), jarak kelahiran (calving interval), jarak waktu melahirkan sampai bunting kembali (service period), angka perkawinan per kebuntingan (service per conception), dan angka kelahiran (calving rate) (Hardjopranjoto, 1995).

(22)

8 Kemampuan peternak sapi perah sebagai subyek tentunya sangat penting dalam menangani peternakan sapi perah rakyat untuk mendapatkan calving interval yang ideal. Hal tersebut juga harus didukung oleh pelaksanaan inseminasi buatan yang baik. Pengamatan atau deteksi estrus sapi perah yang tepat, serta kapan dan bagaimana pelaksanaan inseminasi atau perkawinan sapi perah tersebut dilakukan juga mempengaruhi keberhasilan pencapaian kebuntingan sapi perah yang selanjutnya akan mempengaruhi calving interval yang akan terjadi. Calving interval ini juga berhubungan erat dengan pencapaian tingkat efisiensi reproduksi yang mampu dicapai sapi perah (Febriansyah, 2009). Keberhasilan IB dapat dievaluasi dari beberapa parameter. Parameter yang digunakan untuk menilai tampilan reproduksi sapi perah adalah days open (DO), calving interval (CI) dan service per conception (S/C) (Atabany, dkk., 2011).

Tabel 1. Rata-rata Days Open, Calving Interval, dan Service per Conception di kelompok ternak KUD Mojosongo Boyolali

Variabel Rata-rata Persentase (%)

Calving interval (bulan ± standar deviasi) a. 12-13

b. 14-15

13±0,59

86 14 Days open (hari ± standar deviasi)

a. 90-135 b. 136-180

103±19,92

86 14 Service per conception (jumlah ± standar

deviasi a. 2 b. 3 c. 4 2,55±0,73 60 26 14 Sumber : Leksanawati (2010)

Berdasarkan Tabel 1, diketahui bahwa service per conception rata rata di KUD Mojosongo yaitu 2,55±0,73 berada di interval 2 sebanyak 60%, days open rata-rata 103±19,92 hari berada pada interval 90-135 hari sebanyak 86%, dan

(23)

9 calving interval rata-rata adalah 13±0,59 bulan terletak pada interval 12-13 bulan dengan persentase sebesar 86%.

1. Days open (DO)

Days open atau masa kosong adalah jarak antara sapi melahirkan (partus) sampai dengan perkawinan yang menghasilkan kebuntingan yaitu sekitar 85 hari. Jika masa kosong terlalu singkat yaitu kurang dari 60 hari, akan dapat mengakibatkan penurunan fertilitas sebesar 48,3%, hal ini dapat terjadi karena uteri belum mencapai involusi secara sempurna. Bila lebih dari 90 hari maka fertilitas akan menjadi 71,5% (Leksanawati, 2010).

Masa kosong yang panjang akan mempengaruhi jarak kelahiran dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap produksi susu seumur hidup. Masa kosong yang paling aman untuk mengawinkan kembali adalah 60-90 hari setelah melahirkan, apabila terlalu lama maka kemungkinan akan dapat menurunkan produksi pada masa laktasi berikutnya (Antiyatmi, 2009).

Izquierdo, dkk. (2008), menyatakan bahwa periode masa kosong adalah 85-115 hari setelah melahirkan yang merupakan masa untuk deteksi awal kelainan reproduksi dan indikator efisiensi reproduksi. LeBlanc (2005), menyatakan bahwa masa kosong selain mempengaruhi produksi susu pada laktasi yang berjalan, juga akan berpengaruh terhadap keberhasilan breeding dan calving interval.

Menurut Pszczola, dkk. (2009) masa kosong sapi perah bergantung pada musim, dimana masa kosong terpanjang terjadi pada musim gugur dan masa kosong terpendek pada musim semi. Penjelasan mengenai variasi masa kosong tersebut kemungkinan disebabkan oleh perbedaan suhu dan kelembaban pada setiap musim

(24)

10 yang mempengaruhi fisiologis tubuh sapi itu sendiri. Hal yang sama kemungkinan terjadi pada daerah tropis, yang hanya mempunyai dua musim, namun perbedaan suhu dan kelembaban pada kedua musim tersebut dapat mempengaruhi fisiologis tubuh sapi.

Masa kosong yang ideal berkisar antara 85–115 hari (Izquierdo, dkk., 2008). Semakin panjang periode masa kosong semakin sering siklus estrus terjadi. Efek lanjut selain kerugian akibat penurunan produksi susu, peternak juga akan dirugikan akibat pengeluaran biaya ekstra pemeliharaan, serta kesempatan untuk memperoleh pedet menjadi semakin lama.

Masa kosong dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya kesehatan, nutrisi, dan tata laksana pemeliharaan. Bahonar, dkk. (2009) menyatakan bahwa dystocia, retained placenta, infeksi uterus, dan cystic ovarian disease merupakan penyakit reproduksi yang dapat memperpanjang masa kosong. Menurut Izquierdo, dkk. (2008) bahwa jenis kelamin pedet yang dilahirkan berpengaruh pada masa kosong. Sapi yang melahirkan pedet jantan mempunyai masa kosong lebih pendek daripada pedet betina yaitu 132,56 hari berbanding 143,69 hari.

2. Calving interval (CI)

Calving Interval atau jarak kelahiran merupakan salah satu cara yang dapat digunakan dalam penilaian penampilan reproduksi sapi perah (Jainudeen dan Hafez, 2008). Frekuensi melahirkan sangat penting bagi peternak dan pembangunan peternakan, karena setiap penundaan kebuntingan ternak mempunyai dampak ekonomis yang penting. Efisiensi reproduksi dan keuntungan peternakan

(25)

11 sapi perah dapat maksimal ketika rata-rata calving interval untuk sekelompok ternak sekitar 13 bulan (Leksanawati, 2010).

Menurut Leksanawati (2010), calving interval dapat dipakai sebagai ukuran efisiensi reproduksi. Calving interval yang ideal berkisar antara 12 sampai 15 bulan. Adanya calving interval yang panjang dapat disebabkan oleh faktor manajemen, yaitu kesengajaan menunda kebuntingan atau karena faktor genetik. Calving interval juga mempunyai pengaruh terhadap lama laktasi dan produksi susu.

Selain mempengaruhi produksi susu pada laktasi yang berjalan, masa kosong juga akan berpengaruh terhadap keberhasilan breeding dan calving interval. Selain itu, lamanya jarak kelahiran juga dipengaruhi oleh lamanya kebuntingan (LeBlanc, 2005).

Panjang pendeknya calving interval merupakan pencerminan dari fertilitas ternak. Calving interval dapat diukur dengan masa laktasi ditambah masa kering atau masa kosong ditambah masa kebuntingan. Calving interval yang lebih pendek menyebabkan produksi susu per hari menjadi lebih tinggi dan jumlah anak yang dilahirkan pada periode produktif menjadi lebih banyak. Calving interval yang ideal pada sapi perah adalah 12 bulan termasuk selang antara melahirkan dengan perkawinan pertama setelah melahirkan (Sudono, 1983).

Calving interval merupakan kunci sukses dalam usaha peternakan sapi (pembibitan). Calving interval yang panjang dapat menyebabkan menurunnya pendapatan peternak, karena jumlah anak yang dihasilkan akan berkurang selama masa produktif. Cara meningkatkan produksi dan reproduktivitas ternak adalah dengan memperpendek calving interval dengan mengetahui faktor-faktor yang

(26)

12 berpengaruh dan seleksi bibit ternak (sapi pengafkiran memiliki calving interval yang panjang) (Sudono, 1983).

Calving interval yang panjang disebabkan oleh anestrus pasca melahirkan (62%), gangguan ovarium dan uterus (26%), 12% oleh gangguan lain (Toelihere, 1985). Dalam upaya memperbaiki produktivitas dan reproduktivitas sapi perah yang mengalami keadaaan seperti di atas, perlu dilakukan penerapan teknologi reproduksi secara terpadu antara induksi berahi dan ovulasi dengan inseminasi buatan (IB) pada waktu yang ditentukan/Fixed Time Artificial Insemination (AI) (Siregar, 1992).

3. Service per conception (S/C)

Service per conception adalah angka yang menunjukkan jumlah inseminasi yang digunakan untuk menghasilkan suatu kebuntingan (Sugiarto, 2010). Service per conception dapat dihitung dengan membagi jumlah total perkawinan pada sekelompok ternak dengan jumlah induk yang bunting. Menurut Leksanawati (2010) bahwa rata-rata service per conception pada sapi Friesian Holstein sekitar 1,66 pada daerah tropis. Menurut Toelihere (1985) bahwa nilai S/C yang normal berkisar antara 1,6 sampai 2,0. Makin rendah nilai tersebut, makin tinggi kesuburan ternak betina. Sebaliknya makin tinggi nilai S/C, makin rendahlah nilai kesuburan ternak betina tersebut.

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan S/C diantaranya adalah kualitas semen yang digunakan, deteksi berahi, tingkat kemampuan inseminator dan bobot hidup (Kutsiyah, dkk., 2003). Keberhasilan service per conception dipengaruhi oleh kualitas semen yang secara langsung dipengaruhi oleh proses

(27)

13 penanganan dan penyimpanannya. Semen sebaiknya disimpan dalam likuid nitrogen dengan temperatur -1960C dengan container yang terbuat dari stainless

steel maupun alumunium. Proses penyimpanan semen mempunyai pengaruh yang besar terhadap daya hidup (viabilitas) spermatozoa dalam straw (Leksanawati, 2010).

Manajemen Reproduksi Sapi Perah

Menurut Kementrian Pertanian (2014), dalam manajemen reproduksi pada pembibitan sapi perah perlu menerapkan 5 (lima) faktor yaitu :

1. Deteksi Berahi

Deteksi atau pengamatan berahi pada IB dilakukan untuk menghindari kegagalan perkawinan. Berahi yaitu periode atau waktu ternak betina siap dikawinkan, dengan menunjukkan gejala antara lain saling menaiki, penurunan nafsu makan, keluar lendir jernih transparan, dan perubahan alat kelamin bagian luar. Peternak harus segera melaporkan kepada petugas IB setelah melihat gejala berahi.

2. Pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB)

Dalam pelaksanaan IB harus memperhatikan kualitas semen, teknik dan waktu optimum IB.

3. Nutrisi

Nutrisi merupakan faktor yang sangat erat kaitannya dengan metabolisme tubuh, kesehatan, dan kinerja reproduksi. Pada sapi perah, nutrisi memiliki pengaruh penting terhadap penampilan reproduksi. Kurangnya asupan energi dapat

(28)

14 menurunkan aktivitas reproduksi yang ditandai dengan tidak munculnya gejala berahi (anestrus).

4. Kontrol Kondisi Lingkungan

Kondisi lingkungan perlu diperhatikan untuk kenyaman ternak antara lain temperatur, kelembaban, dan kebersihan kandang.

5. Pertumbuhan Sapi Dara Pengganti (Replacement Stock)

Pertumbuhan sapi dara pengganti dipengaruhi antara lain kapasitas kandang (daya tampung ternak), pengelolaan pakan, dan kesehatan.

Salah satu kriteria keberhasilan usaha peternakan sapi perah dapat dilihat dari efisiensi reproduksi. Rendahnya efisiensi reproduksi dapat disebabkan beberapa faktor, antara lain kelainan anatomis alat reproduksi, fisiologis (hormonal), pathologis, genetik dan manajemen reproduksi. Oleh karena itu, diusahakan agar setiap sapi perah yang dipelihara baik jantan maupun betina diketahui asal usulnya (mempunyai catatan baik produksi maupun reproduksi) dan kondisi kesehatannya. Manajemen reproduksi pada sapi perah meliputi penanganan reproduksi, pencatatan reproduksi dan pengaturan populasi (Rohmah, 2015).

Penanganan reproduksi pada sapi perah sebenarnya lebih mudah daripada ternak lainnya, karena tanda-tanda berahi pada ternak betina jelas dan peternak setiap hari selalu ada di kandang. Walaupun demikian, pengetahuan, keterampilan dan pengalaman dalam penanganan reproduksi sangat diperlukan. Tujuan penanganan reproduksi adalah untuk mencapai efisiensi reproduksi yang tinggi. Artinya, bagaimana usaha kita agar setiap memasukkan sel sperma ke dalam alat

(29)

15 reproduksi sapi betina dapat menghasilkan pedet yang hidup sehat, dan normal, serta tanpa mengalami kesulitan pada waktu proses kelahiran (Rohmah, 2015).

Di Indonesia, penentuan efisiensi reproduksi dengan cepat dan tepat belum dapat dilaksanakan karena keterbatasan peralatan untuk pemeriksaan (deteksi) kebuntingan secara dini. Sampai sekarang pemeriksaan kebuntingan masih dilakukan melalui palpasi/perabaan, sehingga memerlukan keahlian dan sensitivitas seseorang. Untuk menentukan kebuntingan yang tepat, maka palpasi dilakukan setelah 40-60 hari sesudah perkawinan (Rohmah, 2015).

Pencatatan data reproduksi berisi semua kejadian dan penanganan reproduksi secara lengkap, rinci, teratur, akurat dan mudah membacanya serta dapat dipertanggungjawabkan. Data reproduksi sangat baik untuk betina maupun pejantan. Data yang perlu dicatat meliputi identitas, silsilah, produktivitas tetuanya, tanggal kawin, tanggal pemeriksaan kebuntingan, tanggal melahirkan, jenis kelamin, berat lahir pedet, dan data kesehatan (Rohmah, 2015).

Adanya catatan reproduksi tersebut, dapat dijadikan pedoman untuk tatalaksana dan pengawasan reproduksi selanjutnya. Juga dapat mencegah terjadinya kesalahan, misalnya dengan adanya data silsilah, maka kemungkinan terjadinya inbreeding yang terus menerus sangat kecil. Demikian pula dengan adanya data tanggal kawin/IB, maka dapat diperkirakan kapan induk tersebut melahirkan. Data kesehatan yang diperlukan tanggal vaksinasi, pengobatan, penyakit dan sebagainya (Rohmah, 2015).

Pengaturan populasi tergantung pada tingkat efisiensi reproduksi. Apabila efisiensi reproduksi tinggi akan mempermudah dalam pengaturan populasi,

(30)

16 sebaliknya apabila tingkat efisiensi rendah, maka pengaturan populasi sulit dilaksanakan. Perbandingan yang ideal antara sapi produktif dengan sapi non produktif adalah 70:30%, sedangkan antara sapi laktasi dengan sapi kering kandang 85:15%. Untuk mendapatkan perbandingan sapi laktasi dengan kering kandang yang ideal, maka lama laktasi diusahakan 10 bulan dan kering kandang 2 bulan, sehingga menghasilkan calving interval 12 bulan. Kisaran yang baik untuk calving interval yaitu 12-14 bulan, dengan demikian kisaran lama laktasi 10-12 bulan (Rohmah, 2015).

(31)

17 MATERI DAN METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Mei 2016, bertempat di Peternakan Sapi Perah Rakyat Kabupaten Enrekang.

Materi Penelitian

Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah data 53 ekor sapi perah betina yang telah partus dua kali atau lebih dan data berupa catatan reproduksi induk sapi perah yang meliputi catatan days open (DO), calving interval (CI) dan service per conception (S/C).

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei (survey method). Penelitian survei merupakan penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok (Singarimbun dan Effendi, 1995). Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan peternak sapi perah. Jumlah sapi perah yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 53 ekor. Kemudian, dilakukan perbandingan days open dan calving interval antar fase kelahiran

Parameter Penelitian 1. Days open (DO)

Days open atau masa kosong merupakan suatu periode atau selang waktu pada Pengukuran masa kosong dilakukan untuk mengetahui seberapa besar efisiensi reproduksi sapi perah. Indikatornya adalah semakin pendek masa kosong maka semakin tinggi efisiensi reproduksinya.

(32)

18 2. Calving interval (CI)

Calving interval dapat menjadi indikator penilaian dalam menentukan penampilan reproduksi sapi perah. Calving interval yang terlalu lama akan berdampak negatif terhadap peternak. Ada beberapa faktor yang menyebabkan lamanya calving interval pada sapi perah.

3. Service per conception (S/C)

Service per conception adalah angka yang menunjukkan jumlah inseminasi yang dilakukan sampai sapi tersebut mengalami kebuntingan. Ternak yang mengalami kebuntingan dengan jumlah inseminasi yang rendah menunjukkan efisiensi reproduksi yang baik.

Analisis Data

Data pada penelitian ini ditabulasi dengan menggunakan program microsoft excel dan dianalisa dengan uji t dan Anova. Hasil analisa dalam bentuk persentase, rata-rata dan standar deviasi yang disajikan dalam bentuk tabel dan gambar.

(33)

19 HASIL DAN PEMBAHASAN

Days Open

Rata-rata interval antara melahirkan dan kembali bunting (days open) pada ternak sapi perah dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Rataan days open (hari) ternak sapi perah di Kabupaten Enrekang Kelahiran Days Open (hari ± Standar Deviasi) Nilai P

Pertama 228,2±121,5

0,61

Kedua 205,5±144,5

Berdasarkan Tabel 2, bahwa nilai rataan days open pada kelahiran pertama yaitu 228,2±121,5 hari dan kelahiran kedua yaitu 205,5±144,5 hari. Sapi perah di Kabupaten Enrekang mempunyai rataan masa kosong yang kurang baik karena masa kosongnya lebih dari 120 hari. Menurut Murray (2009), masa kosong yang baik adalah 100 hari, dan dibutuhkan perbaikan apabila masa kosong lebih dari 120 hari. Meskipun dari hasil penelitian menunjukkan perbedaan dari segi jumlah days open, namun dari hasil analisa data menunjukkan bahwa tidak berbeda nyata antara kelahiran pertama dan kedua (P>0.01).

Days open adalah jarak antara sapi melahirkan (partus) sampai dengan perkawinan yang menghasilkan kebuntingan yaitu sekitar 85 hari (Leksanawati, 2010). Masa kosong yang ideal berkisar antara 85–115 hari (Izquierdo, dkk., 2008). Semakin panjang periode masa kosong semakin sering siklus estrus terjadi. Efek lanjut selain kerugian akibat penurunan produksi susu, peternak juga akan dirugikan akibat pengeluaran biaya ekstra pemeliharaan, serta kesempatan untuk memperoleh pedet menjadi semakin lama.

(34)

20 Gambar 1. Perbandingan days open kelahiran I dan II pada ternak sapi perah di

Kabupaten Enrekang.

Pada kelahiran I, ternak sapi perah yang mempunyai days open tertinggi lebih dari 210 hari yaitu 55,2% dan terendah kurang atau sama dengan 85 hari yaitu 13,8%. Sedangkan pada kelahiran II, days open tertinggi berada pada kisaran 86 sampai 150 hari dan 150 sampai 210 hari dengan persentase yang sama yaitu masing-masing 36,4% dan tidak ada ternak yang mempunyai days open kurang atau sama dengan 85 hari. Hal tersebut menunjukkan bahwa hanya 13,8% ternak sapi perah yang mempunyai days open kurang dari 85 hari sehingga dapat dikatakan bahwa days open sapi perah masih lama.

Masa kosong dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya kesehatan, nutrisi, dan tata laksana pemeliharaan. Bahonar, dkk. (2009) menyatakan bahwa dystocia, retained placenta, infeksi uterus, dan cystic ovarian disease merupakan penyakit reproduksi yang dapat memperpanjang masa kosong. Menurut Izquierdo, dkk. (2008) bahwa jenis kelamin pedet yang dilahirkan berpengaruh pada masa kosong.

13,8 17,2 13,8 55,2 0,0 36,4 36,4 27,3 0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 ≤85 86 - 150 150 - 210 >210 Per sen tase Jum lah Te rn ak (% ) Days Open Kelahiran I Kelahiran II

(35)

21 Sapi yang melahirkan pedet jantan mempunyai masa kosong lebih pendek daripada pedet betina yaitu 132,56 hari berbanding 143,69 hari.

Variasi masa kosong disebabkan oleh masa tunggu perkawinan atau inseminasi yang berbeda-beda. Beberapa peternak berpendapat untuk menginseminasi ternak mereka pada bulan kedua atau ketiga setelah melahirkan. Peternak memilih untuk menunda inseminasi guna mempertahankan produksi susu. Efek dari penundaan tersebut menyebabkan masa kosong menjadi lebih lama (Setiawan, dkk. 2014).

Calving Interval

Rata-rata interval antara melahirkan sampai kembali melahirkan (calving interval) pada ternak sapi perah dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Rataan calving interval ternak sapi perah di Kabupaten Enrekang

Kelahiran Calving Interval (hari ± Standar Deviasi) Nilai P

Pertama 508,2±121,5

0,76

Kedua 495,5±144,1

Rata-rata calving interval pada kelahiran pertama dan kedua berturut-turut yaitu 508,2±121,5 dan 495,5±144,1 hari. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa calving interval ternak sapi perah di Kabupaten Enrekang masih tinggi. Sesuai dengan Leksanawati (2010), calving interval dapat dipakai sebagai ukuran efisiensi reproduksi. Calving interval yang ideal berkisar antara 12 sampai 15 bulan. Adanya calving interval yang panjang dapat disebabkan oleh faktor manajemen, yaitu

(36)

22 kesengajaan menunda kebuntingan atau karena faktor genetik. Calving interval juga mempunyai pengaruh terhadap lama laktasi dan produksi susu.

Gambar 2. Perbandingan calving interval kelahiran 1-2 dan kelahiran 2-3 pada ternak sapi perah di Kabupaten Enrekang.

Calving interval adalah jangka waktu yang dihitung dari tanggal seekor sapi perah melahirkan sampai melahirkan berikutnya atau jarak antara dua kelahiran yang berurutan (Leksanawati, 2010). Calving interval merupakan salah satu penilaian terhadap baik buruknya kinerja reproduksi. Rerata calving interval yaitu sebesar 12,36 ± 1,22 bulan. Faktor yang mempengaruhi lama calving interval adalah post partum estrus, post partum mating, dan service per conception (Winarti dan Supriyadi, 2010).

Calving interval tertinggi pada kelahiran 1-2 berada pada interval 501-600 hari dan lebih dari 600 hari yaitu sebesar 24,1%, terendah berada pada interval 366-400 hari yaitu 3,4%. Pada kelahiran 2-3, calving interval tertinggi berada pada interval 366-400 hari yaitu sebesar 30,8% dan tidak ada persentase ternak yang

13,8 3,4 13,8 20,7 24,1 24,1 0,0 30,8 23,1 15,4 7,7 23,1 0,0 5,0 10,0 15,0 20,0 25,0 30,0 35,0 ≤365 366 - 400 401 - 450 451 - 500 501 - 600 >600 Pers en ta se J u ml ah T er n ak (%) Calving Interval Kelahiran 1 - 2 Kelahiran 2 - 3

(37)

23 mempunyai jarak kelahiran kurang dari 365 hari. Hasil menunjukkan bahwa secara rata-rata menunjukkan perbedaan, namun setelah hasil analisa data maka dikatakan tidak berbeda nyata (P>0.01)

Menurut Leksanawati (2010), jarak kelahiran menjadi panjang disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu pengelolaan post partum yang kurang baik, terjadinya silent heat, penurunan kemampuan reproduksi akibat kemampuan uterus dan ovarium yang menurun serta adanya penyakit yang dialami ternak tersebut. Menurut Hardjopranjoto (1995) efisiensi reproduksi pada sapi dianggap baik apabila jarak antar kelahiran tidak melebihi 12 bulan atau 365 hari.

Service per Conception

Rata-rata jumlah inseminasi sampai terjadi kebuntingan (service per conception) pada ternak sapi perah dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Rataan service per conception ternak sapi perah di Kabupaten Enrekang

Kebuntingan Service per conception (jumlah ± Standar Deviasi) Nilai P

Pertama 1,6a±1,2

<0,01

Kedua 3,5b±3,4

Ketiga 3,3b±2,1

Keterangan : Superskrip huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.01)

Rata-rata nilai service per conception pada kebuntingan 1, 2, dan 3 berturut-turut yaitu 1,6±1,2, 3,5±3,4 dan 3,3±2,1. Pada kebuntingan yang pertama, angka service per conception yaitu 1,6. Sedangkan pada kebuntingan kedua dan ketiga terjadi peningkatan angka service per conception menjadi 1,9 dan 1,7. Hal tersebut sesuai dengan Leksanawati (2010) bahwa rata-rata service per conception pada sapi

(38)

24 Friesian Holstein sekitar 1,66 pada daerah tropis. Menurut Toelihere (1985) bahwa nilai S/C yang normal berkisar antara 1,6 sampai 2,0. Makin rendah nilai tersebut, makin tinggi kesuburan hewan-hewan betina. Sebaliknya makin tinggi nilai S/C, makin rendahlah nilai kesuburan kelompok betina tersebut.

Service per Conception adalah angka yang menunjukkan jumlah inseminasi untuk menghasilkan kebuntingan dari sejumlah pelayanan inseminasi (service) yang dibutuhkan oleh ternak betina sampai terjadi kebuntingan (Toelihere, 1993). Gambar 3. Perbandingan service per conception kebuntingan I, II dan III pada

ternak sapi perah di Kabupaten Enrekang.

Angka service per conception pada kebuntingan I tertinggi berada pada S/C 1 sebesar 72,4% dan terendah pada S/C lebih dari 3 yaitu 3,4%. Pada kebuntingan II, service per conception tertinggi juga berada pada S/C 1 sebesar 31,0% dan terendah pada S/C 2 dan 3 masing-masing sebesar 20,7%. Sedangkan pada kebuntingan ketiga, sangat berbeda dari kebuntingan pertama dan kedua karena angka service per conception tertinggi berada pada S/C lebih dari 3 sebesar 20,7% dan terendah pada S/C 3 sebesar 3,4%. Dengan demikian, diketahui bahwa pada

72,4 13,8 10,3 3,4 31,0 20,7 20,7 27,6 10,3 10,3 3,4 20,7 0 10 20 30 40 50 60 70 80 1 2 3 >3 Per sen tase Jum lah Te rn ak (% )

Service per Conception

(39)

25 kebuntingan I dan II menunjukkan angka yang tidak berbeda nyata (P>0.01), begitu juga halnya dengan kebuntingan I dan III menunjukkan angka yang tidak berbeda nyata pula (P>0.01). Sedangkan pada kebuntingan II dan III menunjukkan angka yang berbeda sangat nyata (P<0.01).

Nilai S/C yang semakin tinggi menyebabkan semakin panjangnya nilai DO dan CI. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya umur induk yang berhubungan langsung dengan status fisiologi ternak tersebut. Ternak yang terlalu muda saat perkawinan pertama akan sulit terjadinya kebuntingan karena perkembangan fisiologi ternak tersebut belum sempurna. Selain itu, kinerja hormon masih belum sempurna sehingga biasanya dalam deteksi berahi kurang jelas dan ternak akan mengalami kesulitan ketika melahirkan dan memiliki resiko gangguan reproduksi yang cukup tinggi (Zainuddin, dkk., 2015).

(40)

26 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian maka dapat disimpulkan : 1. Days Open dan Calving Interval pada fase kelahiran I dan II pada ternak

sapi perah tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, namun relative masih panjang ( 228,2±121,5 vs 205,5±144,5 dan 508,2±121,5 vs 495,5±144,1). 2. Jumlah pelayanan inseminasi buatan per kebuntingan pada fase kebuntingan

I menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) dibandingkan dengan fase kebuntingan II dan III pada ternak sapi perah (1,6±1,2 vs 3,5±3,4 dan 3,3±2,1).

Saran

Days open dan calving interval ternak sapi perah pada penelitian ini relatif masih panjang sehingga diperlukan upaya dalam memperbaiki parameter reproduksi ini untuk meningkatkan produktivitas ternak sapi perah.

(41)

27 DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1995. Beternak Sapi Perah. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Anonim. 2010. Seri Budi Daya Sapi Perah. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Antiyatmi. 2009. Kinerja Reproduksi Induk Sapi Perah Friesian Holstein pada Tiga Kelompok Umur di Koperasi Peternakan Pasir Salam Sukabumi Jawa Barat. Skripsi Sarjana Peternakan. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Atabany, A., B.P. Purwanto, T. Toharmat dan A. Anggraeni. 2011. Hubungan masa kosong dengan produktivitas pada sapi perah friesian holstein di Baturraden, Indonesia. Media Peternakan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor 34 (2) : 77 - 82.

Bahonar, A.R., M. Azizzadeh, M.A. Stevenson, M. Vojgani, and M. Mahmoudi. 2009. Factors Affecting Days Open in Holstein Dairy Cattle in Khorasan Razavi Province, Iran; A Cox Proportional Hazard Model. J. Ani. and Vet. Adv. 8 (4): 747-754.

Basyir, A. 2009. Meningkatkan Efisiensi Reproduksi Melalui Kelahiran Pedet Kembar. http://www.vet-indo.com. Diakses 24 Desember 2015.

Febriansyah. 2009. Penampilan dan Produksi Reproduksi Sapi Perah di Kecamatan Boyolali. Skripsi Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Bandung. Gumilar A.S., Susilawati T., S. Wahyuningsih. 2012. Tampilan Reproduksi Sapi

Perah pada Berbagai Paritas Di Wilayah KUD Batu. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang.

Hafez, E.S.E. 1993. Reproduction in Farm Animals. 6 th Ed. Philadelphia: Lea & Febiger. part 4: Reproductive Failure.

Hardjopranjoto, S. 1995. Ilmu Kemajiran pada Ternak. Airlangga University Press. Surabaya.

Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.

Hastono, U. dan Adiati. 2007. Peningkatan Efisiensi Reproduksi Sapi Perah Melalui Kawin Tepat Waktu. Balai Penelitian Ternak. Bogor.

(42)

28 Husnurrizal. 2008. Sinkronisasi Berahi Dengan Preparat Hormon Prostaglandin (PGF2α). Lab. Reproduksi. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala. http://www.foxitsoftware.com. Diakses 24 Desember 2015.

Izquierdo, C. A., V. M. X. Campos, C. G. R. Lang, J. A. S. Oaxaca, S. C. Suares, C. A. C. Jimenez, M. S. C. Jimenez, S. D. P. Betancurt, & J. E. G. Liera. 2008. Effect of the off-springs sex on open days in dairy cattle. J. Ani. Vet. Adv. 7(10): 1329-1331.

Jainudeen, M. R. and Hafez, E. S. E. 2008. Cattle And Buffalo dalam Reproduction In Farm Animals. 7 th Edition. Edited by Hafez E. S. E. Lippincott Williams & Wilkins. Maryland. USA.

Kementerian Pertanian. 2014. Pedoman Pembibitan Sapi Perah yang Baik. Jakarta. Kutsiyah. F., Kusmartono dan Susilawati, T. 2003. Studi komparatif produktivitas antara sapi madura dan persilangan dengan limousin di Pulau Madura. J. Ilmu Ternak Vet. 8(2):99-106.

LeBlanc, S. 2005. Overall reproductive performance of Canadian dairy cows challenge we are facing. Advance in Dairy Technology 17: 137-148. Leksanawati, A.Y. 2010. Penampilan Reproduksi Induk Sapi Perah Peranakan

Friesian Holstein di Kelompok Ternak KUD Mojosongo Boyolali. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Murray, B. B. 2009. Maximazing conception rate in dairy cows: heat detection.

Queens Printer for Ontario.

http://www.omafra.gov.on.ca/english/livestock/dairy/facts/84.048.html. Niazi, A. A. K. 2003. Comparative Studies on the Reproductive Efficiency of

Imported and Local Born Friesian Cows in Pakistan. Journal of Biological Sciences,3.

Pszczola, M., I. Aguilar, & I. Misztal. 2009. Short communication: Trend for monthly change in days open in Holsteins. J. Dairy Sci 92: 4689-4696. Rohmah, K. 2015. Manajemen reproduksi pada sapi perah. www.scribd.com.

Diakses pada 24 Desember 2015.

Rustamadji, B. 2004. Dairy Science I. http://sukarno.web.ugm.ac.id. Diakses pada 24 Desember 2015.

(43)

29 Setiawan, R., Hidayat, K., dan Budinuryanto, D. C. 2014. Studi asosiasi antara masa kosong (days open) terhadap produksi susu dan kerugian ekonomi pada peternakan sapi perah di Kabupaten Garut. Jurnal Ilmu Ternak. Vol. 1 No. 4, 17-21. Bandung.

Singarimbun, M. dan S. Effendi. 1995. Metode Penelitian Survai. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Jakarta. Siregar. S. B., 1992. Dampak Jarak Melahirkan Sapi Perah Induk Terhadap

Pendapatan Peternak Sapi Perah. BLPP Cinagara. Deptan.

Sudono. 1983. Tatalaksana Produksi Susu. Departemen Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sudono, A., R. F. Rosdiana dan B. S. Setiawan. 2003. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Sugiarto, H. 2010. Evaluasi Keberhasilan Inseminasi Buatan Pada Sapi Perah Berdasarkan Service Per Conception Tahun 2005-2009 (Studi Kasus di wilayah kerja Koperasi Perternakan Sapi Perah (KPSP) Setia Kawan Nongkojajar, Jawa Timur). Thesis, Fakultas Peternakan UMM.

Suyasa. 1999. Pemanfaatan Probiotik Dalam Pengembangan Sapi Potong. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Vol 2 No 1. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Tawaf, R. 2009. Sapi Perah Fries Holland. http://disnaksinjai.blogspot.com. Diakses pada 22 Desember 2015.

Toelihere, M. R. 1985. Inseminasi Buatan pada Ternak, Penerbit Angkasa. Bandung.

Toelihere, M. R. 1993. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Penerbit Angkasa. Bandung.

Widyobroto, B. P. 2013. Implementasi Sistem Penyusunan Ransum Sapi Perah di Indonesia Berdasarkan Protein Tercerna di Intestinum. Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Wijaya, I. 2008. Ilmu Reproduksi Ternak Mata Kuliah Peternakan. Jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Bali.

Winarti, E. dan Supriyadi. 2010. Penampilan Reproduksi Ternak Sapi Potong Betina di Daerah Istimewa Yogyakarta. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. pp. 64-67. Yogyakarta.

(44)

30 Zainuddin, M., M. N. Ihsan dan Suyadi. 2015. Efisiensi reproduksi sapi PFH pada berbagai umur di CV. Milikindo Berka Abadi Desa Tegalsari Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang.

(45)

31 LAMPIRAN

1. Hasil Analisa Data Days Open

I II

Mean 228.2 Mean 205.5

Standard Error 22.6 Standard Error 43.6

Median 218 Median 167

Mode 218 Mode #N/A

Standard Deviation 121.5 Standard Deviation 144.5 Sample Variance 14768.17 Sample Variance 20887.27

Kurtosis -0.47442 Kurtosis 5.038135 Skewness 0.261901 Skewness 2.132385 Range 457 Range 501 Minimum 24 Minimum 86 Maximum 481 Maximum 587 Sum 6618 Sum 2261 Count 29 Count 11 Confidence Level(95.0%) 46.22539 Confidence Level(95.0%) 97.09274

2. Hasil Uji t Days Open

t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances

I II

Mean 228.2069 205.5454545

Variance 14768.17 20887.27273

Observations 29 11

Pooled Variance 16378.46

Hypothesized Mean Difference 0

Df 38 t Stat 0.5001 P(T<=t) one-tail 0.3100 t Critical one-tail 1.6860 P(T<=t) two-tail 0.6199 t Critical two-tail 2.0244

(46)

32 3. Hasil Analisa Data Calving Interval

I II

Mean 508.2 Mean 495.5

Standard Error 22.6 Standard Error 40.0

Median 498 Median 447

Mode 498 Mode #N/A

Standard Deviation 121.5 Standard Deviation 144.1

Sample Variance 14768.17 Sample Variance 20753.10256

Kurtosis -0.47442 Kurtosis 2.82333108 Skewness 0.261901 Skewness 1.718611698 Range 457 Range 501 Minimum 304 Minimum 366 Maximum 761 Maximum 867 Sum 14738 Sum 6442 Count 29 Count 13

Confidence Level(95.0%) 46.22539 Confidence Level(95.0%) 87.05420694

4. Hasil Uji Anova Calving Interval SUMMARY

Groups Count Sum Average Variance

I 29 14738 508.2068966 14768.17

II 13 6442 495.5384615 20753.1

ANOVA

Source of Variation SS df MS F P-value F crit

Between Groups 1440.582 1 1440.582039 0.086973 0.7696 4.084746

Within Groups 662546 40 16563.64973

Total 663986.6 41

5. Hasil Uji t Calving Interval

t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances

I II Mean 508.2069 495.5385 Variance 14768.17 20753.1 Observations 29 13 Pooled Variance 16563.65 Hypothesized Mean Difference 0

(47)

33 Df 40 t Stat 0.294911 P(T<=t) one-tail 0.384794 t Critical one-tail 1.683851 P(T<=t) two-tail 0.7696 t Critical two-tail 2.021075

6. Hasil Analisa Data Service per Conception

I II III Mean 1.6 3.5 3.3 Standard Error 0.2 0.6 0.6 Median 1 2 3 Mode 1 1 1 Standard Deviation 1.2 3.4 2.1 Sample Variance 1.541872 11.54433 4.397436 Kurtosis 13.33907 4.126096 -0.54417 Skewness 3.359416 2.05235 0.67189 Range 6 14 6 Minimum 1 1 1 Maximum 7 15 7 Sum 45 101 43 Count 29 29 13 Confidence Level (95.0%) 0.472326 1.292414 1.267208

7. Hasil Uji Anova Service per Conception SUMMARY

Groups Count Sum Average Variance

I 29 45 1.551724 1.541872

II 29 101 3.482759 11.54433

III 13 43 3.307692 4.397436

ANOVA

Source of Variation SS df MS F P-value F crit

Between Groups 60.7043 2 30.35215 4.923735 0.0101 3.131672

Within Groups 419.183 68 6.164456

(48)

34 Anova: Single Factor

SUMMARY

Groups Count Sum Average Variance

I 29 45 1.551724 1.541872

II 29 101 3.482759 11.54433

ANOVA

Source of Variation SS df MS F P-value F crit

Between Groups 54.06897 1 54.06897 8.263505 0.0057 4.01297

Within Groups 366.4138 56 6.543103

Total 420.4828 57

Anova: Single Factor SUMMARY

Groups Count Sum Average Variance

I 29 45 1.551724 1.541872

III 13 43 3.307692 4.397436

ANOVA

Source of Variation SS df MS F P-value F crit

Between Groups 27.6774 1 27.6774 11.53927 0.0016 4.08475

Within Groups 95.94164 40 2.398541

Total 123.619 41

Anova: Single Factor SUMMARY

Groups Count Sum Average Variance

II 29 101 3.482759 11.54433

III 13 43 3.307692 4.397436

ANOVA

Source of Variation SS df MS F P-value F crit

Between Groups 0.275104 1 0.275104 0.029266 0.8650 4.08475

Within Groups 376.0106 40 9.400265

(49)

35

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Abdi Eriansyah lahir pada hari Selasa tanggal 29 Maret 1994 di Selayar, Provinsi Sulawesi Selatan. Penulis merupakan anak pertama dari dua orang bersaudara, dari pasangan Bapak Muh. Rusli Achmad dan Ibu Ernawati Paturusi. Pendidikan formal yang telah ditempuh oleh penulis yakni: SD Inpres Benteng II Tahun 1999-2005; SMP Negeri 1 Benteng Tahun 2005-2008; SMA Negeri 1 Benteng Tahun 2008-2011 dan pada tahun 2011-2016 penulis melanjutkan pendidikannya di Fakultas Peternakan Program Studi Ilmu Peternakan Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar, melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Adapun pengalaman organisasi yang telah ditempuh oleh penulis adalah sebagai Pengurus Osis SMP Negeri 1 Benteng periode 2006-2007; Pengurus Osis SMA Negeri 1 Benteng periode 2009-2010; Pengurus Senat Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin (SEMA FAPET-UH) periode 2014-2015; Majelis Permusyarawatan Mahasiswa (MAPERWA) Keluarga Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin (KEMA FAPET-UH) periode 2015-2016; Dewan Pertimbangan Organisasi (DPO) Himpunan Mahasiswa Produksi Ternak (HIMAPROTEK-UH) periode 2014-2015 dan Sekretaris Umum Himpunan mahasiswa Islam (HmI) Komisariat Peternakan Cabang Makassar Timur periode 2015-2016.

Gambar

Gambar  2.  Perbandingan  calving  interval  kelahiran  1-2  dan  kelahiran  2-3  pada  ternak sapi perah di Kabupaten Enrekang
Gambar  3.  Perbandingan  service  per  conception  kebuntingan  I,  II  dan  III  pada  ternak sapi perah di Kabupaten Enrekang

Referensi

Dokumen terkait

Faktor-Faktor Penyebab Anak Putus Sekolah pada Jenjang Pendidikan Menengah (SMA/SMK) di Kecamatan Mijen Kota Semarang Kurun Waktu 2011-2014.. Semarang : Universitas

Selain itu, terdapat penelitian tentang peran media massa dalam pemasyarakatan istilah bahasa Indonesia oleh Syamsudin (2015). Penelitian tersebut memperlihatkan

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa uji t menunjukkan bahwa arus kas operasi berpengaruh signifikan terhadap arus kas masa depan, disebabkan karena arus kas

Tabel diatas menunjukan bahwa nilai koefisien determinasi yang ditunjukan dengan R², namun karena dalam penelitian ini menggunakan variabel independen lebih dari satu, maka

Uji t-tidak berpasangan (independent t-test) digunakan untuk menganalisis perbedaan jumlah nekrosis sel otot dan jumlah titik hiperkontraksi serabut otot

Ketika di dalam koloni terdapat bunga yang akan mekar, nutrisi dari inang akan lebih banyak tersedot untuk bunga mekar tersebut daripada untuk kuncup baru.. Kematian

Sedangkan pada tanaman dengan dosis mikoriza dosis 6 gr, 8 gr, dan 10 gr jumlah daun tidak mengalami penurunan yang disebabkan adanya simbiosis dengan mikoriza sehingga

Bagi saya, ketidakadilan global terasa semakin menyesak dada ketika janji semangat Bandung yang menuntut kemerdekaan bagi semua bangsa-bangsa di Asia Afrika masih menyisakan sebua