• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "4. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

Kondisi Sosiodemografi Responden

Kondisi sosiodemografi responden yang diamati dalam penelitian ini meliputi karakteristik usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, uang saku (pendapatan) per bulan, dan kebiasaan olahraga (Tabel 3 dan Tabel 4). Pada penelitian ini dipilih 17 orang responden laki-laki sehat tidak secara acak, berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Responden berusia 20-27 tahun merupakan mahasiswa tingkat sarjana atau pascasarjana di Institut Pertanian Bogor (IPB). Secara sosiodemografi, responden tinggal di sekitar kampus IPB Darmaga. Hal ini ditujukan untuk memudahkan pengontrolan responden selama intervensi. Kriteria pemilihan responden di atas dimaksudkan untuk meminimalkan keragaman karena pengaruh perbedaan aktivitas sehari-hari dan lingkungan tempat tinggal. Rentang usia antar responden yang berdekatan dipilih agar memiliki kemiripan dalam kebutuhan nutrisi makanan dan metabolismenya.

Tabel 3 Kondisi sosiodemografi responden

Karakteristik Individu Jumlah (orang) Persentase (%)

Total Responden 17 100 Jenis Kelamin Laki-laki 17 100 Usia Dewasa (20-27 tahun) 17 100 Tingkat Pendidikan - lulus SMA 12 70.6

- lulus Perguruan Tinggi (S1) 5 29.4

Pekerjaan Pelajar 17 100 - mahasiswa S1 12 70.6 - mahasiswa S2 5 29.4 Uang saku/bulan Rp. 500.000 - 1.000.000 14 82.3 > Rp. 1.000.000 - 1.500.000 2 11.8 > Rp. 1.500.000 1 5.9

Responden memiliki aktivitas olahraga yang aktif menggunakan kegiatan fisik dan melibatkan kaki. Sebagian besar responden berolahraga futsal (47%) dan bulutangkis (29%). Adapun sisanya beladiri, tenis meja, bersepeda maupun

jogging, masing-masing sebesar 5% (Tabel 3). Frekuensi latihan responden

rata-rata 1x/minggu, dengan intensitas kurang lebih selama satu jam. Responden tergolong pelaku olahraga kesehatan, yaitu orang yang berolahraga dengan intensitas rendah sampai sedang. Olahraga intensitas rendah dilakukan kontinu dan homogen selama 20-30 menit, 3-5x/minggu, dengan target denyut nadi 65-80%, seperti: jalan, lari lambat, renang, bersepeda (Santosa dan Dikdik 2012).

(2)

Tabel 4 Jenis olahraga para responden (n=17) Jenis Olahraga Jumlah (orang) Persentase (%) Futsal 8 47.0 Bulutangkis 5 29.4 Beladiri 1 5.9 Tenis meja 1 5.9 Bersepeda 1 5.9 Jogging 1 5.9

Kondisi Kesehatan Responden

Kondisi kesehatan menjadi faktor penting dalam seleksi calon responden. Calon responden yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang ditetapkan selanjutnya dilakukan pemeriksaan kesehatan di Klinik dr Katili, Bogor. Hasil pemeriksaan kesehatan terdapat pada Tabel 5.

Tabel 5 Ringkasan hasil pemeriksaan kesehatan responden (n=17)

Kondisi Fisik Hasil (%)

Mata: - normal 88.2

- gangguan (miopi) 11.8

Telinga: normal 100

Gigi:- normal 58.8

- gangguan (karies, calculus, radix dentis) 41.2

Tanda Vital*: normal 100

Indeks Massa Tubuh (IMT): - normal 53

- underweight 17,6 - overweight 29.4 Jantung: normal 100 Paru-paru: - normal 88.2 - gejala bronkitis** 11.8 Darah: normal 100

Kebiasaan merokok: tidak pernah 100

Kebiasaan minum alkohol: tidak pernah 100

Riwayat sakit berat: tidak pernah 94.1

- pernah (hepatitis A***) 5.9

Keterangan : *) tekanan darah, denyut nadi, suhu tubuh **) namun hasil spirometri normal ***) Oktober 2011

Calon responden yang dapat mengikuti penelitian adalah yang dinyatakan sehat oleh dokter berdasarkan parameter-parameter pada Tabel 4. Hasil pemeriksaan kesehatan (Tabel 4) menunjukkan bahwa secara umum kondisi

(3)

kesehatan responden memenuhi persyaratan. Terdapat 2 orang (11.8% responden) yang didiagnosa gejala bronkitis dari pemeriksaan rontgen tetap disertakan pada penelitian ini berdasarkan keputusan dokter Klinik dr Katili, karena hasil spirometri kedua responden tersebut normal serta tidak menunjukkan gejala gangguan pernafasan, seperti batuk berdahak ataupun sesak nafas ketika berolahraga ringan. Gejala bronkitis sering dijumpai akibat udara yang kotor maupun asap rokok (Mengkidi 2006).

Kebiasaan merokok menjadi salah satu kriteria inklusi calon responden dan parameter penting dalam pemeriksaan kesehatan karena merokok selain dapat merusak paru-paru juga dapat menyebabkan gangguan metabolisme lemak. Efek merokok diantaranya dapat menyebabkan beban miokard bertambah karena rangsangan oleh katekolamin dan menurunnya konsumsi O2 akibat inhalasi CO

atau dengan perkataan lain dapat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah, merubah permeabilitas dinding pembuluh darah, dan merubah 5–10% Hb menjadi karboksi-Hb. Pada orang-orang yang merokok, ditemukan level kolesterol HDL rendah (Mamat 2010). Schuitemaker et al (2002) melaporkan terdapat perbedaan signifikan (p<0.04) pada nilai rata-rata total kolesterol antara perokok dan tidak perokok yaitu: 2.2% total kolesterol; 5.5 % LDL; -8.1 % HDL; dan 13.7 % trigliserida. Selain mengganggu metabolisme lemak, merokok juga dapat meningkatkan kadar gula darah. Selain merokok, kebiasaan meminum alkohol juga menjadi kriteria inklusi calon responden karena dapat meningkatkan kadar VLDL, LDL maupun trigliserida (LIPI 2009). Pada Tabel 8 menunjukkan bahwa semua responden (100%) tidak memiliki kebiasaan merokok maupun meminum alkohol, sehingga risiko gangguan paru-paru ataupun metabolisme lemak ataupun karbohidrat akibat rokok maupun minuman alkohol yang dapat mempengaruhi hasil penelitian ini dapat diantisipasi.

Uji Performa Saat Berolahraga 4.1 VO2 max

VO2 max merupakan salah satu parameter uji performa saat berolahraga

yang digunakan dalam penelitian ini. Pengukuran VO2 max menggambarkan

ketahanan kardiorespiratori, yaitu kemampuan maksimal seseorang untuk mengkonsumsi oksigen, biasanya dicapai ketika seseorang melakukan aktivitas sampai lelah (Mc Ardle et al 2006).

Hasil pengukuran VO2 max pada Gambar 6 dan Tabel 6 menunjukkan

bahwa tidak ada perbedaan yang nyata (p>0.05) antara perlakuan jangka pendek (50, 80, dan 130 ppm) serta jangka panjang (100 ppm) dengan perlakuan tanpa minum air beroksigen, atau dengan kata lain pemberian minuman beroksigen tidak mempengaruhi VO2 max saat uji performa dengan treadmill. Pemberian

minuman beroksigen baik jangka pendek (50, 80 atau 130 ppm) maupun jangka panjang (100 ppm) dapat meningkatkan nilai rata-rata VO2 max dibandingkan

meminum AMDK. Oksigen tambahan yang diserap oleh usus diharapkan dapat memperpanjang pernafasan aerob. Oksigen berperan sebagai penerima elektron terakhir pada metabolisme energi. Ketidakcukupan oksigen, mengakibatkan pernafasan beralih menjadi anaerob. Namun variasi daya aerob dan anaerobik setiap responden dan perbedaan IMT dapat mempengaruhi VO2 max. VO2 max

(4)

membutuhkan integrasi dari sistem respirasi, kardiovaskular, dan neuromuskuler, dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor paling penting antara lain tingkat latihan, jenis kelamin, komposisi tubuh, dan usia (Mc Ardle et al 2006).

Perlakuan jangka pendek dengan konsentrasi tertinggi (130 ppm) memiliki nilai rataan terkecil karena banyak responden yang mengalami sendawa setelah meminumnya. Hal tersebut mengganggu saat uji performa (treadmill). Pada konsentrasi 130 ppm dimungkinkan membutuhkan waktu jeda antara meminum sampel dengan uji performa (treadmill) yang lebih lebih lama (>15 menit) dari sampel-sampel lainnya karena konsentrasi oksigen yang tinggi.

Penelitian Fuller (2010) juga melaporkan bahwa pemberian minuman beroksigen (15 menit sebelum uji) pada 20 orang atlet sepakbola, tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada peningkatan VO2 max. Penelitian

Pitoyo (2005) yang dilakukan kepada 24 orang mahasiswa IPB juga melaporkan hal yang sama.

0 10 20 30 40 50 60 70 V O 2 m a x ( m l/ K g / m e n it ) A B C D E F G H I J K L Responden ai r bi a s a 50 ppm 80 ppm 130 ppm Jk Panja ng (100 ppm)

Gambar 6 VO2 max responden pada berbagai perlakuan

Pada penelitian ini nilai VO2 max tidak signifikan (p>0.05) dipengaruhi

oleh perlakuan minuman beroksigen, dimungkinkan karena oksigen yang dikonsumsi dan mempengaruhi VO2 max dominan berasal dari jalur pernafasan,

bukan dari minuman berosigen yang diberikan. Oksigen dari minuman tersebut diserap di dalam usus (Gurskaya dan Ivanov 1961). Usus terletak jauh dari masker yang dihubungkan dengan alat pengukur VO2 max “Fitmate”, dibandingkan organ

hidung dari paru-paru sebagai alat pernafasan. Selain itu, dimungkinkan disebabkan pula oleh komposisi tubuh yaitu Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT responden dalam penelitian ini bervariatif (normal 53%, overweight 29.4% dan

underweight 17.6%). IMT yang lebih besar dapat mengurangi nilai VO2 max,

sebagai contoh Responden E (IMT overweight) hanya mampu mencapai VO2 max

sebesar 36.2 – 40.6 mL/menit/Kg, lebih rendah dibandingkan dengan Responden D (IMT normal) dengan nilai VO2 max sebesar 55.7 – 60.2 mL/menit/Kg. Adapun

pengaruh dari variasi fungsi jantung, paru-paru, dan darah, khususnya hemoglobin

sangat kurang (<37 mL/Kg/menit) kurang (>37 – 41 mL/Kg/menit) cukup (>41 – 44 mL/Kg/menit) baik (>44 – 48,2 mL/Kg/menit) super (> 54 mL/Kg/menit)

sangat baik (>48.2 – 54 mL/Kg/menit)

(5)

dimungkinkan minimal karena hasil pemeriksaan kesehatan seluruh responden dalam kondisi normal.

Tabel 6 Perbandingan VO2 max pada berbagai perlakuan

Parameter statistik AMDKa 50 ppma 80 ppma 130 ppma 100 ppmb

Rata-rata (n=12) 45.87 48.89 48.03 47.4 48.76

Standar deviasi 9.00 7.80 8.02 7.89 7.86

One way ANOVA p>0.05

Keterangan: a) jangka pendek dan b) jangka panjang

Pada Gambar 7 yang menyajikan kriteria VO2 max responden pada

berbagai perlakuan sampel menunjukkan bahwa kriteria VO2 max tertinggi

(super) paling banyak dicapai pada perlakuan jangka panjang (100 ppm), yaitu sebanyak 4 responden (33.3%). Konsumsi minuman beroksigen baik jangka pendek pada semua perlakuan konsentrasi (50, 80 dan 130 ppm) serta intervensi jangka panjang juga dapat menurunkan kriteria VO2 max terendah (sangat kurang)

dibandingkan meminum AMDK. Jumlah responden dengan VO2 max sangat

kurang pada perlakuan meminum AMDK yang mencapai 3 responden (25%), dapat menurun menjadi 1 responden (8.3%) pada perlakuan 130 ppm dan intervensi jangka panjang (100 ppm), bahkan tidak ditemukan pada perlakuan 50 dan 80 ppm.

Gambar 7 Kriteria VO2 max responden pada berbagai perlakuan sampel

4.2 Waktu mencapai ambang anaerobik (Anaerobic Threshold /AT)

Waktu mencapai ambang anaerobik mempengaruhi performa saat berolahraga. Ambang anaerobik adalah titik permulaan dari akumulasi asam laktat (Mc Ardle et al 2006). Asam laktat adalah senyawa pemicu kelelahan yang mengakibatkan penurunan performa saat berolahraga. Walaupun asam laktat dapat dikonversi kembali menjadi glukosa oleh hati, namun asam laktat yang menumpuk di dalam sel otot saat pengujian akan cepat berdifusi ke dalam darah sehingga menyebabkan kelelahan. Keadaan ini dapat terjadi karena kecepatan suplai oksigen lebih rendah dibanding regulasi keperluan energi pada saat latihan

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 ju m la h r e sp o n d e n ( o ra n g ) AM DK 50 p pm 80 p pm 130 ppm jk p jg ( 100 ppm ) Perlakuan sampel

Sa nga t Kura ng (<37 mL/Kg/me ni t) Kura ng (>37 – 41 mL/Kg/meni t) Cukup (>41 – 44 mL/Kg/meni t) Ba i k (>44 – 48,2 mL/Kg/meni t) Sa nga t Ba i k (>48.2 – 54 mL/Kg/meni t) Super (> 54 mL/Kg/meni t)

(6)

yang berat. Hal ini berarti pula kecepatan resintesis ATP tidak dapat mengimbangi kecepatan penggunaannya. 0,0 2,0 4,0 6,0 8,0 10,0 12,0 W a k tu m e n ca p a i A T ( m e n it ) A B C D E F G H I J K L Responden

air biasa 50 ppm 80 ppm 130 ppm Jk Panjang (100 ppm)

Gambar 8 Waktu mencapai ambang anaerobik pada berbagai perlakuan sampel Hasil pengukuran waktu mencapai AT pada Gambar 8 dan Tabel 7 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata (p>0.05) antara perlakuan jangka pendek (50, 80 dan 130 ppm) serta jangka panjang (100 ppm) dengan perlakuan tanpa minum air beroksigen, atau dengan kata lain pemberian minuman beroksigen tidak mempengaruhi waktu mencapai ambang anaerobik. Adanya variasi daya aerobik dan aktivitas responden sebelum pengujian dapat mempengaruhi waktu mencapai AT. Aktivitas berat sebelum pengujian dapat mempengaruhi performa olahraga (Mc Ardle et al 2006).

Tabel 7 Perbandingan waktu mencapai ambang anaerobik pada berbagai perlakuan

Parameter statistik AMDKa 50 ppma 80 ppma 130 ppma 100 ppmb

Rata-rata (n=12) 4.68 4.52 3.93 4.71 4.60

Standar deviasi 1.92 2.83 1.75 2.41 2.31

One way ANOVA p>0.05

Keterangan: a) jangka pendek dan b) jangka panjang

4.3 Waktu mencapai kelelahan

Waktu mencapai kelelahan sangat penting karena mendukung performa untuk mencapai prestasi puncak ketika pertandingan olahraga. Semakin tinggi waktu kelelahan yang dicapai seseorang saat berolahraga maka semakin baik daya tahannya.

Hasil pengukuran waktu mencapai kelelahan pada Gambar 9 dan Tabel 8 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata (p>0.05) antara perlakuan jangka pendek (50, 80 dan 130 ppm) serta jangka panjang (100 ppm) dengan perlakuan tanpa minum air beroksigen, atau dengan kata lain pemberian minuman beroksigen tidak mempengaruhi waktu mencapai kelelahan. Pemberian minuman beroksigen baik jangka pendek pada konsentrasi 50, 80 dan 130 ppm maupun jangka panjang dengan konsentrasi 100 ppm meningkatkan waktu rata-rata untuk

(7)

mencapai kelelahan dibandingkan meminum AMDK. Asupan oksigen tambahan dari minuman, diharapkan dapat memperpanjang pernafasan aerob selama berolahraga. Pernafasan aerob dapat menghasilkan ATP yang jauh lebih besar (38 ATP) dibandingkan pernafasan anaerob (2 ATP), disamping tidak menghasilkan laktat yang memicu kelelahan (Mc Ardle, 2006). Produksi ATP yang lebih besar semakin meningkatkan daya tahan saat berolahraga sehingga dapat memperpanjang waktu mencapai kelelahan. Perlakuan jangka panjang (100 ppm) menghasilkan rataan paling tinggi, yaitu meningkatkan waktu mencapai kelelahan sebesar 1,3 menit dibandingkan meminum AMDK. Hal ini dimungkinkan karena penyerapan oksigen di dalam tubuh yang lebih baik sehingga dapat menghasilkan energi berupa ATP yang lebih besar.

0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00 16,00 18,00 W a k tu m e n ca p a i k e le la h a n ( m e n it ) A B C D E F G H I J K L Responden

air biasa 50 ppm 80 ppm 130 ppm Jk Panjang (100 ppm)

Gambar 9 Waktu mencapai kelelahan pada berbagai perlakuan

Penelitian Duncan (1997) pada 20 laki-laki dan 5 perempuan atlet lari marathon juga melaporkan bahwa air minum beroksigen dapat meningkatkan waktu mencapai kelelahan sebesar 15 detik pada tes lari sejauh 5 Km. Waktu mencapai kelelahan juga meningkat sebesar 23.34 detik, pada penelitian Fuller (2010) terhadap 20 orang atlet sepak bola. Pada kedua studi tersebut, sampel yang diujikan diminum sekitar 15 menit sebelum lari sebagaimana penelitian ini.

Tabel 8 Perbandingan waktu mencapai kelelahan pada berbagai perlakuan

AMDKa 50 ppma 80 ppma 130 ppma 100 ppmb

Parameter statistik

(menit)

Rata-rata (n=12) 10.34 11.18 11.27 10.93 11.60

Standar deviasi 2,99 3.47 3.27 3.24 4.04

Peningkatan dibanding AMDK - 0,48 0,28 0,25 1,3

One way ANOVA p>0.05

Keterangan: a) jangka pendek dan b) jangka panjang AMDK

(8)

Saturasi Oksigen (SpO2)

Saturasi oksigen (SpO2) adalah persentase hemoglobin yang mengikat

oksigen dalam aliran darah. Parameter tersebut penting untuk mengetahui perubahan kadar saturasi oksigen responden karena pengaruh perlakuan minuman beroksigen yang diberikan.

Tabel 9 Perbandingan SpO2 pada berbagai perlakuan

Hasil pengukuran SpO2 pada Gambar 10 dan Tabel 9 menunjukkan bahwa

nilai rata-rata SpO2 dari berbagai perlakuan masih dalam batas normal

(SpO2>95%). Perbedaan konsentrasi sampel (50, 80 dan 130 ppm) maupun

perlakuan jangka panjang tidak signifikan (p>0.05) mempengaruhi kadar SpO2

responden. Kadar SpO2 pada perlakuan waktu, baik sebelum maupun setelah uji

performa dengan treadmill serta setelah pemberian sampel pasca treadmill pada menit ke 0, 5, 10, dan 15 menit tidak memberikan memberikan perbedaan signifikan (p>0.05). Penelitian Fuller (2010) pada 20 atlet sepakbola juga menghasilkan hasil yang sama. Pemberian sampel 20 menit sebelum dan sesudah lari cepat 100 meter pada penelitian Ellyana et al (2011) juga tidak mempengaruhi kadar SpO2 baik pada kelompok plasebo maupun kelompok yang diberi perlakuan

(@ 23 orang). Adapun hasil yang berbeda diperoleh pada penelitian Jenkins et al (2001) yang melakukan penelitian pada 20 orang (10 laki-laki, 10 perempuan) dan diberikan sampel 15 menit sebelum uji performa. Responden yang meminum air Parameter statistik

Perlakuan sampel AMDKa (%) 50 ppma (%)

Perlakuan waktu pengambilan sampel s1 s2 m0 m5 m10 m15 s1 s2 m0 m5 m10 m15 Rata-rata 97,6 97,3 97,0 96,8 96,7 96,8 97,3 96,9 96,9 96,9 97,1 97,2 Standar deviasi 0,79 0,65 0,85 0,72 0,65 0,83 1,07 0,90 0,79 1,00 0,79 0,72 Perlakuan Sampel 80 ppma (%) 130 ppma (%) Perlakuan waktu pengambilan sampel s1 s2 m0 m5 m10 m15 s1 s2 m0 m5 m10 m15 Rata-rata 97,9 97,3 96,8 97,0 96,8 96,9 97,8 97,2 97,2 97,3 97,0 97,3 Standar deviasi 0,67 0,78 0,62 0,74 0,72 0,79 0,62 0,72 0,72 0,78 0,95 0,65 Perlakuan sampel 100 ppmb (%) Perlakuan waktu pengambilan sampel s1 s2 m0 m5 m10 m15 Rata-rata 97,7 96,3 96,4 96,7 96,3 97,0 Standar deviasi 0,98 1,60 1,09 1,15 0,87 0,60

uji statistik pada perlakuan konsentrasi sampel maupun waktu

General Linear

Model ANOVA p>0.05

Keterangan : a) jangka pendek dan b) jangka panjang s1 = sebelum treadmill

s2 = sesudah treadmill

m0 = sesaat setelah meminum habis satu botol sampel setelah treadmill m5 = 5 menit setelah meminum habis satu botol sampel setelah treadmill m10 = 10 menit setelah meminum habis satu botol sampel setelah treadmill m15 = 10 menit setelah meminum habis satu botol sampel setelah treadmill

(9)

beroksigen pada penelitian tersebut memiliki 4% saturasi oksigen lebih tinggi dibandingkan plasebo. 95,5 96,0 96,5 97,0 97,5 98,0 98,5 s1 s2 m0 m5 m10 m15

Waktu pengambilan sampel

S a tu ra si o k si g e n ( % ) AMDK 50 ppm 80 ppm 130 ppm jk panjang (100 ppm)

Gambar 10 Perbandingan rataan saturasi oksigen (SpO2) pada berbagai perlakuan

Nilai rataan kadar SpO2 masing-masing perlakuan pada menit ke-15

setelah pemberian minuman beroksigen belum sepenuhnya mampu membantu pemulihan kadar SpO2. Adapun perlakuan jangka panjang (100 ppm) meskipun

mengalami penurunan kadar SpO2 terbesar setelah melakukan uji performa

dengan treadmill (s2), namun dapat memulihkan kadar SpO2 lebih tinggi dibandingkan perlakuan jangka pendek pada konsentrasi 80 ppm dan air minum biasa (Gambar 10).

Tabel 9 dan Gambar 10 menggambarkan bahwa tidak semua perlakuan minuman beroksigen memiliki kadar SpO2 yang lebih baik dibandingkan dengan

kontrol sebagaimana parameter lainnya. Begitupula dengan beberapa data pemulihan SpO2 pada menit ke-10 yang justru mengalami penurunan. SpO2 tidak

dipengaruhi oleh perlakuan minuman beroksigen dimungkinkan karena oksigen yang terukur berasal dari pernafasan. Oksigen dari paru-paru masuk ke dalam sel darah merah (eritrosit) secara difusi pasif kemudian diikat oleh hemoglobin. Difusi dapat terjadi pada paru-paru (alveolus), karena perbedaan tekanan parsial antara udara dan darah dalam alveolus (Guyton dan Hall 2011). Adapun oksigen dari minuman beroksigen diserap oleh usus secara difusi pasif dan kemudian masuk ke plasma darah pada pembuluh vena. Tekanan oksigen dalam darah vena selalu 15-35 mmHg lebih tinggi daripada di dalam lumen usus (Gurskaya dan Ivanov 1961). Berbeda dengan eritrosit, plasma darah tidak mengandung hemoglobin.

Profil Lipid

Parameter profil lipid yang dikaji pada penelitian ini mencakup plasma kolesterol, HDL, LDL, dan trigliserida.

4.1 Kolesterol

Kolesterol adalah senyawa lemak yang dapat berasal dari bahan makanan maupun disentesis oleh hati. Dalam jumlah melebihi batas normal (>200 mg/dL),

(10)

kolesterol dapat mempengaruhi kesehatan jantung dan otak. Kolesterol darah atau biasa disebut total kolesterol merupakan ukuran total kolesterol yang pada seluruh lipoprotein, yaitu HDL, LDL dan VLDL. Total kolesterol mencangkup kolesterol yang yang berada dalam seluruh fraksi lipoprotein, yaitu 60-70% dibawa oleh LDL, 20-30% dibawa oleh HDL dan 10-15% dibawa oleh VLDL.

Pada Tabel 10 dan Gambar 11 menunjukkan penurunan kolesterol plasma darah responden secara signifikan (p<0.05) sesudah intervensi minuman beroksigen yang diberikan. Kadar kolesterol responden sebelum intervensi lebih tinggi dibandingkan setelah intervensi. Bahkan sebelum intervensi terdapat kadar kolesterol pada satu responden (No 17) yang melebihi batas normal (kolesterol >200 mg/dL), yaitu sebesar 267 mg/dL. 0 50 100 150 200 250 300 K o le st e ro l (m g /d L ) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Responden Sebelum Sesudah

Gambar 11 Kadar kolesterol plasma darah sebelum dan sesudah intervensi

Penurunan kadar kolesterol total darah dapat disebabkan oleh penurunan konsumsi lemak jenuh dan kolesterol yang tinggi dalam makanan (Tsalisavrina et

al 2006) sebagaimana yang dialami oleh responden No 17. Responden No 17 mengalami penurunan kadar kolesterol terbesar (150 mg/dL) karena saat intervensi mengurangi konsumsi telur. Sebelum intervensi, responden itu dapat mengkonsumsi 3 butir telur/hari. Kuning telur adalah sumber kolesterol yang tinggi. Data sesudah intervensi pada Gambar 11 menunjukkan kadar kolesterol pada semua responden berada dalam kondisi normal (kolesterol <200 mg/dL).

Tabel 10 Perbandingan kadar kolesterol plasma darah sebelum dan sesudah intervensi

Parameter statistik Sebelum (mg/dL) Sesudah (mg/dL)

Rata-rata (n=17) 168.12 114.53

Standar deviasi 34.28 18.60

Minimum 122.00 91.00

Maksimum 267.00 149.00

Uji t berpasangan p<0.05

Jumlah responden yang turun 17 orang (100%)

Rata-rata besarnya penurunan 53.6 mg/dL

batas normal (<200 mg/dL)

(11)

Kolesterol dalam tubuh manusia dapat berasal dari makanan yang dikonsumsi ataupun dari dalam tubuh yang diproduksi oleh hati. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kadar kolesterol dalam darah antara lain: usia, diet tinggi lemak jenuh dan kolesterol, genetik, hormon, berat badan, tingkat aktivitas fisik dan penyakit lain (Mahan & Escott-Stump 2008). Adapun konsumsi lemak yang mempengaruhi konsentrasi plasma kolesterol menurut Guyton dan Hall (2011), adalah:

- Peningkatan konsumsi kolesterol setiap hari meningkatkan sedikit konsentrasi kolesterol plasma. Namun meningkatnya konsentrasi kolesterol akan menghambat enzim yang paling penting untuk mensintesis kolesterol secara endogen, yaitu 3-hydroxy-3-methylglutaryl CoA reductase, sehingga memberikan sistem kontrol umpan balik intrinsik untuk mencegah peningkatan berlebihan konsentrasi kolesterol pada plasma. Akibatnya, konsentrasi plasma kolesterol biasanya tidak berubah lebih dari ± 15 persen dengan mengubah jumlah kolesterol dalam makanan, meskipun respon setiap individu berbeda.

- Diet lemak jenuh meningkatkan konsentrasi kolesterol darah 15-25 persen, terutama bila dikaitkan dengan kelebihan berat badan dan obesitas. Hal ini akibat dari penumpukan lemak di hati yang meningkat, sehingga meningkatkan asetil-KoA dalam sel-sel hati untuk memproduksi kolesterol. Oleh karena itu, untuk menurunkan konsentrasi kolesterol darah, diet rendah lemak jenuh diperlukan selain diet rendah kolesterol.

- Konsumsi lemak yang mengandung asam lemak tak jenuh biasanya menekan konsentrasi kolesterol darah dalam jumlah sedikit hingga sedang.

- Kurangnya hormon insulin atau tiroid meningkatkan konsentrasi kolesterol darah, sedangkan kelebihan hormon tiroid menurunkan konsentrasi kolesterol darah. Efek ini mungkin disebabkan oleh perubahan tingkat aktivasi enzim tertentu yang bertanggung jawab untuk metabolisme zat lemak.

- Kelainan genetik metabolisme kolesterol sangat dapat meningkatkan kadar kolesterol plasma, misalnya mutasi dari gen reseptor LDL dapat mencegah hati membersihkan kolesterol kaya LDL dari plasma darah. Hal ini menyebabkan hati memproduksi kolesterol dalam jumlah yang berlebihan. Mutasi gen yang mengkode apolipoprotein B (bagian dari LDL yang mengikat reseptor), juga menyebabkan produksi kolesterol berlebihan oleh hati.

4.2 High Density Lipoprotein (HDL)

HDL adalah salah satu jenis kolesterol yang memegang peranan penting bagi kesehatan jantung. Lipoprotein ini mencegah kolesterol mengendap di arteri dan melindungi pembuluh darah dari proses aterosklerosis (terbentuknya plak pada dinding pembuluh darah). Kolesterol diangkut dari hati oleh LDL untuk dibawa ke sel-sel tubuh yang memerlukan. Kelebihan kolesterol akan diangkut kembali oleh HDL untuk dibawa kembali ke hati yang selanjutnya akan diuraikan lalu dibuang ke dalam kandung empedu sebagai asam (cairan) empedu. Jika kadar kolesterol HDL rendah maka proses tersebut tidak bisa berjalan baik, sehingga dapat mengakibatkan aterosklerosis. Apoliprotein utama pada HDL disebut Apo

(12)

A-I, yang diketahui bersifat anti-inflamasi dan antioksidasi yang membuang kolesterol dari dinding arteri. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kadar kolesterol dalam darah antara lain: usia, diet tinggi lemak jenuh dan kolesterol, genetik, hormon, berat badan, tingkat aktivitas fisik dan penyakit lain (Mahan dan Escott-Stump 2008).

Gambar 12 Kadar HDL plasma darah sebelum dan sesudah intervensi

Pada Tabel 11 menunjukkan bahwa intervensi minuman beroksigen yang diberikan tidak signifikan (p>0.05) mempengaruhi kadar HDL plasma darah responden. Data sesudah intervensi (Gambar 12) menunjukkan kadar HDL semua responden dalam batas normal (HDL >35 mg/dL), meskipun terdapat 6 orang (40% responden) yang mengalami penurunan HDL. Namun demikian penurunan HDL tersebut tidak mengakibatkan rasio plasma kolesterol : HDL melebihi batas normal pada Tabel 13.

Tabel 11 Perbandingan kadar HDL plasma darah sebelum dan sesudah intervensi Parameter statistik Sebelum (mg/dL) Sesudah (mg/dL)

Rata-rata (n=17) 40.60 38.30

Standar deviasi 6.20 2.44

Minimum 33.00 34.00

Maksimum 60.00 42.00

Uji t berpasangan p>0.05

Jumlah responden yang naik 8 orang (53.3%)

Rata-rata besarnya kenaikan 2.00 mg/dL

Jumlah responden yang tetap 1 orang (6.7%) Jumlah responden yang turun 8 orang (53.3%) Rata-rata besarnya penurunan 7.00 mg/dL

Penurunan HDL yang dialami oleh kedelapan responden tersebut di atas dapat disebabkan oleh diet tinggi karbohidrat berdasarkan data pada food recall (Tabel 12). Penelitian Ulmann et al (1991), melaporkan bahwa diet tinggi

0 10 20 30 40 50 60 H D L ( m g / d L ) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Responden Sebelum Sesudah batas normal (>35 mg/dL)

(13)

karbohidrat dengan rendah lemak dalam jangka pendek (65% kalori dari karbohidrat dan 20% kalori dari lemak, selama 10 hari) yang dilakukan terhadap 8 responden yang biasa menerapkan American Diet (45% kalori dari karbohidrat, 40% kalori dari lemak dan 15% kalori dari protein) menyebabkan penurunan signifikan (p<0.05) kadar plasma HDL sebesar 16%. Kadar kolesterol dan Low

Density Lipoprotein (LDL) juga mengalami penurunan signifikan (p<0.05). Adapun kadar plasma Very Low Density Lipoprotein (VLDL) maupun trigliserida tidak mengalami perubahan secara signifikan. Pengaruh karbohidrat pada kadar plasma HDL tersebut tidak terbatas pada karbohidrat sederhana tetapi juga ditemukan dengan diet tinggi karbohidrat kompleks (Katan 1998). Mekanisme penurunan HDL akibat diet tinggi karbohidrat disebabkan oleh penurunan Apolipoprotein A-I yang merupakan penyusun utama HDL. HDL memiliki peran penting karena berfungsi membawa kolesterol bebas dari jaringan perifer menuju hati. Kolesterol ini diubah menjadi kolesterol ester yang sebagian dipindahkan ke VLDL melalui bantuan enzim CETP (Cholesteryl Ester Transfer Protein) dan dikembalikan lagi ke hati oleh LDL. Hati akan memanfaatkan kembali kolesterol ini untuk diubah menjadi garam empedu atau langsung mengsekresikan ke dalam empedu (Tsalissavrina et al 2006).

Pada responden No 1 mengalami penurunan HDL sebesar 6 mg/dL dimungkinkan selain disebabkan oleh diet tinggi karbohidrat sebagaimana uraian di atas, juga dapat disebabkan oleh berkurangnya aktivitas olahraga (Mamat 2010). Aktivitas olahraga responden No 1 menurun selama intervensi akibat cedera otot kaki ringan sehingga terbatas gerakannya saat melakukan olahraga beladiri.

Tabel 12 Food recall pada responden yang mengalami penurunan HDL Kadar HDL (mg/dL)

Responden

Sebelum Sesudah Penurunan

Food recall H-18, 19, 20

1 41 35 -6

dominan karbohidrat, terutama camilan berkadar gula tinggi seperti wafer

3 38 36 -2

dominan karbohidrat, rendah serat. Camilan dominan karbohidrat murni, seperti biskuit manis, cokelat oles, siomay

4 60 34 -26

dominan karbohidrat murni, rendah serat dan menyukai camilan manis, seperti biskuit, roti, coklat tabur, wafer, nagasari, brownies

6 40 38 -2

dominan karbohidrat, terutama camilan malam, seperti bihun goring

8 46 42 -4

dominan karbohidrat, terutama camilan seperti bakwan, cireng, mie ayam, nasi goring, burger dan pizza mini

9 39 37 -2 dominan karbohidrat, rendah serat

10 40 39 -1

dominan karbohidrat, terutama camilan malam seperti mie bakso pangsit, kwetiaw

11 49 36 -13

dominan karbohidrat terutama karbohidrat murni rendah serat, seperti nasi putih, bakso, risoles, jus dengan susu kental manis dan gula pasir yang berlebih

(14)

4.3 Rasio Kolesterol : HDL

Rasio kolesterol : HDL terkait risiko penyakit jantung. Laporan studi

Framingham Heart Study menunjukkan bahwa untuk laki-laki, rasio kolesterol : HDL = 5 menandakan risiko rata-rata untuk penyakit jantung. Adapun rasio kolesterol : HDL = 3.4, menurunkan sekitar setengah risiko dari rata-rata, sedangkan rasio kolesterol : HDL =9.6, meningkatkan sekitar dua kali lipat dari risiko rata-rata. Rasio ideal antara kolesterol total : HDL, yaitu 2.5-3.4, sedangkan nilai rasio 3.5-4.5 masih ditoleransi namun harus diwaspadai (HMS 2005).

Data rasio plasma kolesterol : HDL pada Tabel 13 menunjukkan bahwa sebelum intervensi minuman beroksigen terdapat 3 orang responden (No 3,6,17) yang rasio plasma kolesterol : HDL melebihi normal (kolesterol : HDL = 5:1). Adapun setelah intervensi ketiganya mengalami penurunan rasio plasma kolesterol : HDL dan berada dalam batas normal. Responden No 4 mengalami kenaikan rasio plasma kolesterol : HDL dari 2.3 : 1 sebelum intervensi menjadi optimal sesudah intervensi, dengan rasio 2.8 : 1. Hasil rasio plasa kolesterol : HDL setelah intervensi menunjukkan rasio ideal pada 15 orang responden. Adapun 2 orang responden dengan rasio sebesar 3.5 (responden No 12) dan 3.7 (responden No 6) pada Tabel 13 menunjukkan nilai rasio yang masih dapat ditoleransi.

Tabel 13 Rasio Kolesterol : HDL sebelum dan sesudah intervensi Rasio kolesterol: HDL Rasio kolesterol: HDL Responden Sebelum Sesudah Responden Sebelum Sesudah 1 4.2 : 1 2.6 : 1 11 3.7 : 1 3.0 : 1 2 4.6 : 1 2.5 : 1 12 4.6 : 1 3.5 : 1 3 5.2 : 1* 2.8 : 1 13 3.2 : 1 2.8 : 1 4 2.3 : 1 2.8 : 1 14 4.0 : 1 3.6 : 1 5 3.9 : 1 3.2 : 1 15 4.9 : 1 3.0 : 1 6 5.0 : 1* 3.7 : 1 16 4.1 : 1 2.9 : 1 7 3.5 : 1 2.9 : 1 17 6.8 : 1* 2.8 : 1 8 3.7 : 1 3.1 : 1 9 3.4 : 1 2.8 : 1 10 4.4 : 1 2.6 : 1

Keterangan: *) melebihi batas normal kolesterol : HDL < 5:1(AHA 2011)

4.4 Low Density Lipoprotein (LDL)

LDL merupakan alat transpor kolesterol utama yang terbentuk dari konversi Very Low Density Lipoprotein (VLDL). VLDL dibentuk di hati sebagai transpor trigliserida dan kolesterol endogen. Sisa VLDL yang trigliseridanya telah dihidrolisis oleh lipase dikonversi menjadi LDL. Selanjutnya LDL akan diambil oleh hati (Mahan & Escott-Stump 2008). LDL dikenal sebagai kolesterol jahat karena dalam jumlah berlebih merupakan faktor utama penyebab penyakit jantung koroner.

(15)

Tabel 14 menunjukkan bahwa sesudah intervensi minuman beroksigen yang diberikan terdapat penurunan kadar LDL plasma darah responden secara signifikan (p>0.05). Kadar LDL responden sebelum intervensi lebih tinggi dibandingkan setelah intervensi. Bahkan sebelum intervensi terdapat kadar LDL pada 8 responden (No 1, 2, 3, 4, 6, 10, 11, dan 17) yang melebihi batas normal (LDL≥100mg/dL). Data sesudah intervensi pada Gambar 13 menunjukkan kadar LDL pada semua responden mengalami penurunan dan berada dalam kondisi normal (LDL <100 mg/dL).

Gambar 13 Kadar LDL plasma darah sebelum dan sesudah intervensi

Tabel 14 Perbandingan kadar LDL plasma darah sebelum dan sesudah intervensi

Parameter statistic Sebelum (mg/dL) Sesudah (mg/dL)

Rata-rata (n=17) 103.94 54.41

Standar deviasi 30.15 13.44

Minimum 55.00 34.00

Maksimum 189.00 80.00

Uji t berpasangan p<0.05

Jumlah responden yang turun 17 orang (100%) Rata-rata besarnya penurunan 49.53 mg/dL

Beberapa responden mengalami penurunan kadar LDL yang besar, seperti pada responden No 4 (98 mg/dL) dan No 17 (125 mg/dL). Penurunan kadar LDL darah dapat disebabkan oleh penurunan konsumsi lemak jenuh dan kolesterol yang tinggi dalam makanan (Tsalisavrina et al 2006). Responden No 17 mengakui mengurangi makanan berkolesterol tinggi selama intervensi berlangsung. Responden No 17 sebelum intervensi dapat mengkonsumsi telur hingga 3 butir/ hari Adapun pada responden No 4 dimungkinkan karena aktivitas olahraganya yang meningkat. Hasil wawancara manfaat yang dirasakan secara psikologis terhadap responden No 4, ia merasakan performa olahraganya meningkat karena

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 L D L ( m g / d L ) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Responden Sebelum Sesudah batas normal (<100 mg/dL)

(16)

intervensi minuman beroksigen. Menurut Foran et al (2003), olahraga dapat memperbaiki profil lipid seperti menurunkan LDL.

4.5 Trigliserida

Selain total kolesterol, HDL dan LDL, jenis lipid darah yang penting adalah trigliserida. Peningkatan kadar trigliserida melebihi normal (>150 mg/dL) dapat meningkatkan risiko penyakit jantung, gangguan tekanan darah maupun diabetes. Trigliserida dapat menjadi sumber tenaga (menghasilkan ATP). Pertama, trigliserida dihidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak, kemudian asam lemak dan gliserol ditransport ke dalam jaringan aktif untuk menghasilkan energi.Gliserol pada jaringan aktif diubah oleh enzim intraselular menjadi gliserol 3-fosfat, yang kemudian masuk dalam jalur glikolisis, untuk dilakukan pemecahan glukosa untuk memperoleh energi. Sementara asam lemak dibawa ke dalam mitokondria dengan bantuan karnitin sebagai zat karier, kemudian di dalam mitokondria asam lemak dipisahkan dari karnitin, lalu mengalami proses oksidasi. Asam lemak didegradasi menjadi asetil KoA melalui proses oksidasi beta di dalam mitokondria lalu asetil KoA masuk ke dalam siklus krebs. Pada siklus krebs tersebut, asetil KoA bergabung dengan asam oksaloasetat untuk membentuk asam sitrat, yang kemudian didegradasi menjadi CO2 dan atom hidrogen.

Hidrogen kemudian dioksidasi secara berturut-turut oleh sistem oksidasi kemiosmotik mitokondria, kemudian reaksi ini menghasilkan ATP. Degradasi asam lemak menjadi asetil KoA, memiliki cara yang sama dengan pembentukan asetil KoA dari asam piruvat pada metabolisme glukosa (Guyton dan Hall 2011)

Gambar 14 Kadar trigliserida plasma darah sebelum dan sesudah intervensi

Sejumlah 5 orang responden (29.4%) pada Gambar 14 dan Tabel 15 mengalami kenaikan kadar trigliserida meskipun masih dalam batas normal. Kelima orang responden tersebut adalah responden No 3, 5, 6, 10 dan 14. Dari kelima orang responden tersebut, terdapat 3 orang responden yang mengalami kenaikan trigliserida besar, yaitu reponden No 5, 3, dan 14. Responden No 5 mengalami kenaikan trigliserida sebesar 69 mg/dL karena saat intervensi berlangsung ia kehilangan sepeda sehingga aktivitas olahraganya berkurang

0 50 100 150 200 250 300 350 T ri g li se ri d a ( m g / d L ) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Responden Sebelum Sesudah batas normal (<150 mg/dL)

(17)

dibandingkan sebelum intervensi. Adapun responden No 3 mengalami kenaikan sebesar 26 mg/dL disebabkan karena pola makan. Responden tersebut mengakui selama intervensi, sering mengkonsumsi makanan tambahan selain menu makan malam yang diberikan oleh peneliti. Responden No 14 mengalami kenaikan trigliserida sebesar 21 mg/dL disebabkan oleh mengkonsumsi menu makan malam menjelang tidur malam. Saat intervensi berlangsung, ia sering pulang larut karena menjadi ketua suatu kegiatan kemahasiswaan. Menurut Tsalisavrina et al 2006 peningkatan trigliserida darah atau hipertrigliserida dipengaruhi oleh faktor gen dan konsumsi makanan seperti karbohidrat, lemak, dan alkohol. Selain itu, kadar trigliserida darah juga dipengaruhi oleh aktivitas enzim LPL (Lipoprotein Lipase) yang berfungsi untuk menghidrolisis trigliserida menjadi asam lemak dan gliserol. Rendahnya aktifitas LPL ini akan dapat meningkatkan kadar trigliserida darah. Aktivitas fisik seperti olahraga dapat meningkatkan metabolisme tubuh yang akan meningkatkan kinerja enzim di dalam tubuh. Berkurangnya aktivitas tubuh sebagaimana yang dialami oleh Responden No 5 dan 14 tentu saja akan meningkatkan kadar trigliserida.

Tabel 15 Perbandingan kadar trigliserida plasma darah sebelum dan sesudah intervensi

Parameter statistik Sebelum (mg/dL) Sesudah (mg/dL)

Rata-rata (n=17) 139.53 111.12

Standar deviasi 56.33 32.16

Minimum 77.00 59.00

Maksimum 315.00 186.00

Uji t berpasangan p>0.05

Jumlah responden yang naik 5 orang (29.4 %)

Rata-rata besarnya kenaikan 25.00 mg/dL

Jumlah responden yang turun 12 orang (70.6%) Rata-rata besarnya penurunan 50.67 mg/dL

Perbaikan sebagian profil lipid yang ditunjukkan dengan adanya penurunan kolesterol dan LDL yang signifikan (p<0.05) serta perbaikan rasio kolesterol : HDL, mengindikasikan adanya perbaikan metabolisme lipid dalam pembentukan energi karena intervensi jangka panjang minuman beroksigen. Asupan oksigen secara teratur selama 21 hari dimungkinkan meningkatkan ketersediaan oksigen yang dibutuhkan dalam transpor elektron pada pembentukan ATP dari asetil KoA sebagai hasil metabolisme asam lemak. Kecukupan oksigen dapat meningkatkan produksi ATP yang berasal dari lipid di dalam tubuh. Hasil penelitian uji performa saat berolahraga pada parameter waktu mencapai kelelahan juga memperlihatkan bahwa intervensi jangka panjang dapat meningkatkan nilai rata-rata parameter tersebut paling besar dibandingkan perlakuan jangka pendek. Hal ini menunjukkan bahwa energi yang dihasilkan pada intervensi jangka panjang lebih besar yang dimungkinkan dapat berasal dari metabolisme lipid. Adapun tidak adanya pengaruh signifikan pada trigliserida sebagai salah satu cadangan lemak tubuh, dimungkinkan karena trigliserida juga dapat dihasilkan oleh karbohidrat yang dominan dikonsumsi oleh responden.

(18)

Glukosa Darah

Glukosa merupakan sumber energi utama terutama ketika berolahraga. Glukosa berasal dari hasil pencernaan karbohidrat, maupun glukoneogenesis dan glikogenolisis. Namun demikian, kadar glukosa darah puasa (GDP) yang diluar batas normal (70–110 mg/dL) dapat mengganggu kesehatan. Kadar glukosa darah yang tinggi berisiko terhadap penyakit diabetes. Kadar GDP pada diabetes adalah >126 mg/dL dan dikategorikan Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) pada kadar 100-126 mg/dL (Schrot et al 2007). Glukosa darah yang berlebih juga dapat dikonversi menjadi trigliserida. Kadar gula darah puasa responden sebelum dan sesudah intervensi disajikan pada Gambar 15 dan Tabel 16.

Gambar 15 Kadar gula darah puasa plasma darah sebelum dan sesudah intervensi

Tabel 16 menunjukkan bahwa intervensi minuman beroksigen yang diberikan tidak mempengaruhi kadar Gula Darah Puasa (GDP) secara signifikan (p>0.05). Kadar GDP responden sebelum intervensi memang tidak semuanya dalam batas normal. Terdapat 4 orang responden dengan kadar GDP >110 mg/dL yaitu responden No 3 (122 mg/dl), No 4 (147 mg/dL), No 14 (129 mg/dL) dan No 15 (124 mg/dL). Pada akhir sesudah intervensi kadar GDP keempat responden tersebut mengalami penurunan sampai dengan taraf GDP normal (Gambar 16). Pada penelitian Handajani et al (2009), melaporkan bahwa pemberian minuman beroksigen selama 45 hari (4 x 235 ml/hari) pada responden berpenyakit Diabetes Mellitus/DM dengan GDP ≥ 126 mg/dL yang diberikan minuman beroksigen terdapat penurunan plasma glukosa puasa secara signifikan (p<0.05). Adapun pada responden DM dengan Gula Darah Postprandial/GDPP ≥ 200 mg/dL, mengalami penurunan secara signifikan (p<0.05) setelah mengkonsumsi selama 90 hari. 0 20 40 60 80 100 120 140 160 G u la D a ra h P u a sa ( m g / d L ) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Responden Sebelum Sesudah batas atas normal (110 mg/dL) batas bawah normal (70 mg/dL)

(19)

Gambar 16 Kadar GDP plama darah sebelum dan sesudah intervensi pada responden dengan GDP awal melebihi normal (> 110 mg/dL)

Tabel 16 Perbandingan nilai GDP plasma darah sebelum dan sesudah intervensi

Parameter statistik Sebelum (mg/dL) Sesudah (mg/dL) Rata-rata (n=17) 98.41 102.06 Standar deviasi 21.35 5.49 Minimum 68.00 88.00 Maksimum 147.00 112.00 Uji t berpasangan p>0.05

Jumlah responden yang naik namun masih normal(<110 mg/dL) 12 orang (70.6%)

Rata-rata besarnya kenaikan 15 mg/dL

Jumlah responden yang naik dalam batas gejala hiperglikemia

(110 - < 126 mg/dL) 1 orang ( 5.9%)

Besarnya kenaikan 11 mg/dL

Jumlah responden yang turun 4 orang (23.5%)

Rata-rata besarnya penurunan 32.30 mg/dL

Pada Tabel 16 menunjukkan data bahwa terdapat 13 orang (76.4%) responden yang mengalami kenaikan GDP, namun kenaikan tersebut masih dalam batas normal (GDP ≤ 110 mg/dL) pada 12 orang responden dan 1 orang responden (responden No 11) sedikit melebihi batas normal yaitu GDP sebesar 112 mg/dL, namun masih di bawah batas Diabetes (GDP ≥ 126 mg/dL). Kenaikan GDP responden tersebut dapat disebabkan oleh pola makan menjelang hari pengambilan darah. Diet karbohidrat murni dapat meningkatkan kadar glukosa darah. Karbohidrat murni lebih mudah dicerna sehingga lebih cepat pula menaikkan kadar gula darah dibandingkan karbohidrat kompleks yang masih mengandung serat. Indeks glisemik dari jenis karbohidrat yang dikonsumsi juga mempengaruhi glukosa darah. Umumnya karbohidrat kompleks memiliki indeks glisemik yang rendah dibandingkan karbohidrat sederhana (Watkins et al 2007).

Food recall responden-responden yang mengalami kenaikan GDP (Tabel 17)

0 20 40 60 80 100 120 140 160 G u la D a ra h P u a sa (m g / d L ) 3 4 14 15 Responden Sebelum Sesudah batas atas normal (110 mg/dL) batas bawah normal (70 mg/dL)

(20)

menunjukkan bahwa sebagian besar responden banyak mengkonsumsi karbohidrat murni menjelang hari pengambilan darah untuk analisis (H-21).

Tabel 17 Food recall responden yang mengalami kenaikan GDP sesudah intervensi

Kadar GDP (mg/dL) Responden

Sebelum Sesudah Kenaikan

Food recall (H-18, 19, 20)

1 101 103 2 dominan karbohidrat murni, terutama camilan

seperti wafer

2 87 98 11 dominan karbohidrat murni, terutama camilan,

seperti biskuit manis, wafer, macaroni

5 107 108 1 normal, namun keturunan diabetes (ayah)

6 91 100 9 dominant karbohidrat murni, terutama camilan

malam, seperti bihun goreng danmemiliki keturunan diabetes (kakek)

7 68 104 36 dominant karbohidrat murni rendah serat,

seperti nasi putih, teh manis, biskuit manis bisa sampai 7 keping/hari & pada H20 minum jus dengan susu kental manis dan gula pasir yang berlebih

8 95 103 8 dominant karbohidrat murni, terutama camilan

seperti bakwan, cireng, mie ayam, nasi goreng, burger dan pizza mini

9 84 107 23 dominan karbohidrat murni dan rendah serat

10 82 99 17 dominant karbohidrat, terutama camilan

malam seperti mie bakso pangsit, kwetiaw

11 101 112 11 terutama pada H20 tinggi karbohidrat murni

rendah serat, seperti nasi putih, bakso, risoles, jus dengan susu kental manis dan gula pasir yang berlebih

12 78 102 24 terutama pada H20 tinggi karbohidrat murni

rendah serat, seperti nasi putih, risol, kue bolu, mie goreng

13 81 106 25 dominan karbohidrat murni dan rendah serat

16 79 99 20 banyak mengkonsumsi camilan-camilan manis

yang mengandung karbohidrat murni seperti biskuit, wafer, roti dalam jumlah yang banyak (1 hari bisa lebih > 10)

17 97 101 4 normal, namun keturunan diabetes (saudara

nenek)

Hasil pengujian waktu kelelahan membuktikan bahwa perlakuan jangka panjang memberikan hasil terbaik. Hasil tersebut menandakan bahwa ATP yang dihasilkan pada perlakuan jangka panjang lebih besar dibandingkan perlakuan lainnya. Glukosa merupakan sumber energi utama dalam pembentukan energi. Adanya asupan oksigen yang dimungkinkan lebih baik dari intervensi minuman beroksigen selam 21 hari diharapkan dapat mengoptimalkan penggunaan sumber energi seperti glukosa untuk dimetabolisme menjadi ATP. Namun demikian, pada penelitian ini, intervensi jangka panjang (21 hari) minuman beroksigen tidak

(21)

signifikan (p>0.05) mempengaruhi kadar glukosa plasma darah. Beberapa data responden juga menunjukkan kenaikan kadar GDP sesudah intervensi, meskipun kenaikan tersebut dalam batas normal. Hal tersebut dimungkinkan karena faktor pola makan responden yang cenderung karbohidrat sederhana dan rendah serat berpengaruh lebih besar. Cadangan glikogen di dalam hati maupun otot juga dapat dimetabolisme menjadi glukosa dengan proses glikogenesis, begitupula dengan asam laktat, piruvat, maupun gliserol melalui proses glukonegenesis. Dengan demikian jika cadangan glikogen di dalam tubuh responden mencukupi maka asupan glukosa dari pemecahan karbohidrat yang dikonsumsi tidak akan digunakan.

SGOT/SGPT

SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) dan SGPT (Serum

Glutamic Piruvic Transaminase) adalah parameter yang menunjukkan kesehatan hati. Kadar SGOT/SGPT yang melebihi batas normal dapat berisiko adanya gangguan fungsi hati. Bila sel–sel hati rusak, biasanya kadar kedua enzim ini meningkat. SGPT berperan dalam deaminasi asam amino, pengeluaran gugus amino dari asam amino (Guyton dan Hall 2011). SGPT yang disebut juga ALT (Alanin Aminotransferase) akan memindahkan gugus amino pada alanin ke gugus keto dari α-ketogutarat membentuk glutamat dan piruvat. Selanjutnya piruvat diubah menjadi laktat. Reaksi tersebut dikatalisasi oleh enzim laktat dehidrogenase (LDH) yang membutuhkan NADH dalam reaksi yang dikatalisasinya. SGOT yang sering disebut dengan AST (Aspartat

aminotransferase) juga berperan dalam deaminase asam amino. SGOT

mengkatalisasi pemindahan gugus amino pada aspartat ke gugus keto dari α-ketogutarat membentuk glutamat dan oksaloasetat dan selanjutnya oksaloasetat diubah menjadi malat. Reaksi tersebut dikatalisasi oleh enzim malat dehidrogenase (MDH) yang membutuhkan NADH dalam reaksi ini. Hasil analisis SGOT terdapat pada Gambar 17 dan Tabel 18, sedangkan SGPT terdapat pada Gambar 18 dan Tabel 19.

Gambar 17 Kadar SGOT plasma darah sebelum dan sesudah intervensi 0 5 10 15 20 25 30 35 40 S G O T ( U /L ) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Responden Sebelum Sesudah batas bawah normal (5 U/L) batas atas normal (40 U/L)

(22)

Tabel 18 dan 19 menunjukkan bahwa intervensi minuman beroksigen yang diberikan tidak mempengaruhi kadar SGOT maupun SGPT secara signifikan (p>0.05). Penelitian Gruber et al (2004) juga melaporkan hal yang sama, yaitu pemberian minuman beroksigen terhadap 24 orang selama 28 hari (3 x 500 mL/hari) tidak signifikan (p>0.05) mempengaruhi kesehatan hati yang ditunjukkan dengan tidak adanya pengaruh signifikan terhadap parameter kesehatan hati yang diteliti (SGOT, SGPT, bilirubin, gamma-GT, dan alkalin fosfatase).

Tabel 18 Perbandingan kadar SGOT plasma darah sebelum dan sesudah intervensi

Parameter statistik Sebelum (U/L) Sesudah (U/L)

Rata-rata (n=17) 22.00 19.18

Standar deviasi 7.10 7.82

Minimum 10.00 8.00

Maksimum 33.00 36.00

Tidak Signifikan pada:

Uji t berpasangan p>0.05

Jumlah responden yang naik 3 orang (17,5%)

Rata-rata besarnya kenaikan 9.80 U/L

Jumlah responden yang tetap 1 orang (6%)

Jumlah responden yang turun 13 orang (76,5%)

Rata-rata besarnya penurunan 8.82 U/L

Adapun secara nilai rata-rata, baik SGOT (Tabel 18) maupun SGPT (Tabel 19), keduanya mengalami penurunan. Nilai SGOT/SGPT yang lebih rendah adalah indikasi kesehatan hati yang lebih baik, karena kedua enzim itu akan diproduksi ketika hati mengalami gangguan. Penurunan tersebut diprediksi karena meningkatnya asupan oksigen pada sel tubuh termasuk hati sehingga memperbaiki fungsi hati. Penelitian Sobariah et al (2007), melaporkan bahwa suplementasi 80 ppm air beroksigen secara in vivo pada tikus selama 7 hari menunjukkan pertumbuhan bakteri probiotik (L casei Shirota) secara signifikan (p>0.05) dan menurunkan secara signifikan (p>0.05) bakteri patogen yang diujikan (coliform). Probiotik adalah bakteri “baik” yang memiliki kemampuan mengikat senyawa racun hasil metabolisme protein, serta hasil pemecahan enzim tertentu sehingga meringankan tugas hati (Sobariah et al 2007).

SGPT lebih mencerminkan fungsi hati daripada SGOT. Letak SGOT di mitokondria organ hati, jantung, dan ginjal, sedangkan SGPT terdapat di sitosol hati saja dan jumlahnya pun lebih sedikit dibandingkan jumlah SGOT. Selain SGOT dan SGPT, ada empat enzim lain yang dapat dijadikan indikator terganggunya fungsi hati, yaitu alkalin fosfatase, gamma-glutamiltransferase, 5’-nukleotidase, dan laktat dehidrogenase, namun SGOT dan SGPT tetap lebih baik karena paling cepat keluar dari hati yang terganggu (Kaplan dan Pesce 1989). SGPT spesifik dalam memonitor kerusakan hati akibat inflamasi maupun nekrosis. SGOT dapat meningkat akibat kerusakan jaringan seperti mycocardial infraction,

(23)

nekrosis otot, gangguan ginjal, gangguan cerebral, dan hemolisis intravaskuler. Pada penyakit tersebut, konsentrasi SGOT lebih tinggi dibandingkan SGPT. Namun pada penyakit hati, SGPT meningkat melebihi SGOT (Talwar dan Srivastava, 2004). Standar normal SGPT adalah 5-35 U/L, adapun SGOT adalah 5-40 U/L. Pada kerusakan hati, SGPT dapat meningkat hingga 50 kali lipat, sedangkan SGOT meningkat 10-20 kali lipat (Huang et al 2006).

Gambar 15 Kadar SGPT plasma darah sebelum dan sesudah intervensi

Tabel 19 Perbandingan kadar SGPT sebelum dan sesudah intervensi

Parameter statistik Sebelum (U/L) Sesudah (U/L)

Rata-rata (n=17) 18.41 16.41

Standar deviasi 5.10 5.54

Minimum 10.00 9.00

Maksimum 30.00 31.00

Uji t berpasangan p>0.05

Jumlah responden yang naik 5 orang (29,4%)

Rata-rata besarnya kenaikan 8.00 U/L

Jumlah responden yang turun 12 orang (70,6%)

Rata-rata besarnya penurunan 5.50 U/L

Beberapa kadar SGOT/SGPT responden mengalami kenaikan setelah intervensi, namun kenaikan tersebut masih dalam batas normal. Kenaikan kadar SGOT/SGPT dapat disebabkan oleh kelelahan akibat aktivitas fisik berat seperti olahraga (Foran et al 2003, Dancygier 2009), sebagaimana pada responden No 6 dan 12. Kenaikan pada responden No 12 sebesar 21 U/L (SGOT) dan 13 U/L (SGPT), sedangkan kenaikan pada responden No 6 sebesar 11 U/L (SGPT). Keduanya melakukan aktivitas olahraga sebelum pengambilan darah setelah intervensi. Adapun kenaikan SGPT dan SGOT pada responden No 7 dimungkinkan karena pada hari pengambilan darah, responden tersebut sedang sakit demam. Kenaikan pada responden No 3, sebesar 12 U/L (SGOT) dan 5 U/L (SGPT). Makanan yang syarat lemak jenuh dan trans juga dapat meningkatkan

0 5 10 15 20 25 30 35 S G P T ( U / L ) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Responden Sebelum Sesudah batas bawah normal (5 U/L) batas atas normal (40 U/L)

(24)

kadar SGOT/SGPT (Dancygier 2009), sebagaimana pada responden No 16 yang mengalami kenaikan sebesar 7 U/L (SGOT) dan 8 U/L (SGPT). Responden tersebut banyak mengkonsumsi biskuit manis dari data 3 hari food recall menjelang pengambilan darah setelah intervensi.

Organ hati sangat berperan dalam pembentukan ATP, yaitu memetabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Hati juga berperan dalam menyimpan glikogen dan terlibat dalam glukoneogenesis maupun glikogenesis. Glukoneogenesis sangat penting dalam metabolisme asam laktat untuk diubah kembali menjadi glukosa, sebagai sumber energi. Akumulasi asam laktat dapat memicu kelelahan yang berakibat menurunnya performa saat berolahraga (Mc Ardle 2006). Pada saat ketersediaan karbohidrat tidak mencukupi, maka dibentuk dari senyawa non karbohidrat seperti laktat, piruvat, gliserol, maupun asam amino glukogenik melalui glukoneogenesis. Terdapat tiga tahap reaksi utama pada glukoneogenesis yang tidak dapat balik antara lain perubahan piruvat menjadi fosfoenolpiruvat, defosforilasi fruktosa 1,6-bifosfat menjadi fruktosa 6-fosfat dan defosforilasi glukosa 6-fosfat menjadi glukosa. Glikogenolisis adalah pengubahan glikogen menjadi glukosa. Glikogenolisis merupakan lintasan metabolisme yang digunakan oleh tubuh, selain glukoneogenosis untuk menjaga keseimbangan kadar glukosa di dalam plasma darah. Hal tersebut untuk menghindari simtoma hipoglisemia. Pada glikogenolisis, glikogen digradasi berturut-turut dengan tiga enzim, yaitu: glikogen fosforilase, glukosidase, fosfoglukomutase, menjadi glukosa. Hormon yang berperan pada lintasan ini adalah glukagon dan adrenalin (Toha 2005, Lehninger 1990). Selain itu organ hati terletak paling dekat dengan usus tempat penyerapan oksigen yang berasal dari minuman, sehingga sangat penting dikaji kemungkinan dampak negatif dari minuman beroksigen terhadap kesehatan hati. Forth dan Adam (2001), mengamati adanya peningkatan tekanan parsial oksigen dalam vena porta hepatica kelinci setelah diberi minum air berkadar oksigen 80 ppm, yaitu terjadi peningkatan tekanan parsial oksigen di pembuluh darah vena porta hepatica sebesar 10 mmHg dari 58 mmHg menjadi 68 mmHg.

Cara Mengkonsumsi dan Penerimaan Responden terhadap Produk Cara mengkonsumsi sampel produk pada saat intervensi menentukan besarnya konsentrasi oksigen saat diminum oleh responden. Rata-rata responden dapat menghabiskan sampel tidak lebih dari 10 menit. Pada saat pengamatan, mereka juga telah terbiasa menutup botol sampel diantara jeda menghabiskan minumnya. Pengamatan tersebut dilakukan secara sampling acak bersamaan dengan pemberian makan setiap sore hari selama intervensi. Hasil pengujian kadar oksigen sampel 100 ppm oleh pihak sponsor menggunakan alat Orbisphere disajikan pada Tabel 20, menunjukkan bahwa kadar oksigen sampel sampai dengan 30 menit baik pada pengujian sampel yang dibuka tutup maupun sampel yang dibiarkan terbuka masih memenuhi standar minimal konsentrasi produk yang diuji, yaitu 100 ppm.

Penerimaan responden terhadap produk mencakup penerimaan sensori terhadap parameter rasa (Gambar 19), aroma (Gambar 20) dan warna (Gambar 21) serta respon psikologis ada/tidaknya manfaat yang dirasakan setelah intervensi

(25)

(Gambar 22). Monitoring penerimaan parameter-parameter tersebut dilakukan dengan mewawancarai responden pada H-7, H-14, dan H-21 selama intervensi (form Lampiran 2). Penerimaan sensori menggunakan 4 skala, yaitu suka (S), agak suka (AS), agak tidak suka (ATS), dan tidak suka (TS).

Tabel 20 Hasil pengujian kadar oksigen sampel 100 ppm

No sampel Perlakuan waktu Buka Tutup (ppm) Terbuka (ppm)

1 keadaan awal 136 141

2 sesaat setelah dibuka 139 137

3 0 menit (sebelum diminum) 133 132

4 1 menit 132 139 5 2 menit 129 128 6 3 menit 129 129 7 6 menit 127 130 8 9 menit 127 122 9 12 menit 124 118 10 15 menit 107 dan 115 130 11 18 menit 111 127 12 21 menit 120 dan 100 113 13 24 menit 110 116 14 27 menit 111 114 15 30 menit 115 110 0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 p e n e ri m a a n r a sa ( % ) H7 H14 H21

Waktu intervensi (hari)

TS ATS AS S

Gambar 19 Penerimaan responden terhadap parameter rasa

Hasil penerimaan rasa (Gambar 19) menggambarkan adanya peningkatan penerimaan rasa sampai H-21 intervensi. Penerimaan agak tidak suka (ATS) yang cukup tinggi yaitu sebesar 52.3% (H-14) menurun menjadi 35.3% pada akhir intervensi (H-21). Namun demikian penerimaan dengan tingkat suka (S) masih tergolong rendah (23.5%). Beberapa responden memberikan alasan tidak menyukai rasa sampel karena adanya rasa seperti mineral logam, asam, atau pahit. Namun demikian rendahnya penerimaan terhadap rasa tidak mempengaruhi responden dalam menghabiskan sampel saat sampling pengontrolan responden

(26)

ketika meminum sampel. Pengontrolan meminum sampel dilakukan saat uji performa saat berolahraga dan setiap sore hari bersamaan dengan pembagian makanan saat intervensi jangka panjang berlangsung.

Gambar 20 Penerimaan responden terhadap parameter aroma

Hasil penerimaan aroma pada Gambar 20 juga menggambarkan adanya peningkatan penerimaan aroma sampai H-21 intervensi sebagaimana penerimaan terhadap rasa. Penerimaan pada taraf suka (S) semakin meningkat hingga 35.3% pada H-21. Namun demikian penerimaan dengan tingkat suka (S) tersebut masih tergolong rendah. Sampai akhir intervensi (H-21) masih ada 35.3% responden yang menyatakan agak tidak suka (ATS) terhadap aroma. Beberapa responden memberikan alasan tidak menyukai aroma sampel karena adanya aroma seperti bau obat atau bau besi.

Gambar 21 Penerimaan responden terhadap parameter warna

Hasil penerimaan warna pada Gambar 21 lebih baik daripada penerimaan terhadap parameter rasa dan warna. Parameter warna sampai H-21 intervensi disukai (S) oleh 76.5% responden dan agak suka (AS) dipilih oleh 33.5% responden. Namun demikian pada H-21 terdapat satu orang (5.9%) yang menilai warna agak tingkat suka (ATS), meskipun pada H-7 maupun H-14 tidak ada.

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 40,00 45,00 p e n e ri m a a n a ro m a (% ) H7 H14 H21

Waktu intervensi (hari)

TS ATS AS S 0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 p e n e ri m a a n w a rn a (% ) H7 H14 H21

Waktu intervensi (hari)

TS

ATS

AS

(27)

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 R e sp o n d e n ( % )

Lebih baik Biasa saja

Manfaat kesehatan yang dirasakan secara subyektif

Gambar 22 Manfaat kesehatan yang dirasakan secara subyektif

Manfaat intervensi minuman beroksigen terhadap kesehatan tubuh secara subyektif tidak dirasakan oleh semua responden (Gambar 22). Sebanyak 47.1% responden menyatakan merasa manfaat lebih baik bagi tubuhnya setelah intervensi dan sisanya (52.9% responden) tidak merasakan adanya manfaat atau biasa saja. Responden yang menyatakan adanya manfaat, merasakan: (1) lebih segar tubuhnya (29.4% responden), (2) lebih cepat recovery setelah berolah raga (11.8% responden), dan (3) sedikit meningkat performanya saat berolahraga (5.9% responden). 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 R e sp o n d e n ( % )

Mau Ragu-ragu Tidak mau Kesediaan mengkonsumsi produk kembali

Gambar 23 Kesediaan responden mengkonsumsi kembali minuman beroksigen Penerimaan sensori, khususnya terhadap rasa dan aroma yang masih rendah dan belum semua responden merasakan manfaat intervensi terhadap kesehatan pada uraian di atas mempengaruhi kesediaan responden untuk mengkonsumsi kembali. Pada Gambar 23 menunjukkan hanya 64.7% responden yang menyatakan bersedia mengkonsumsi kembali minuman beroksigen setelah intervensi. Sisanya menyatakan ragu-ragu (17.6%) dan tidak mau (17.6%). Alasan responden tersebut ragu-ragu dan tidak mau mengkonsumsi kembali karena belum merasakan manfaat terhadap kesehatan dan tidak menyukai rasa serta aroma produk. Adapun 64.7% responden yang mau mengkonsumsi kembali dengan persyaratan harga terjangkau (52.9% responden) atau gratis (11.8% responden).

Gambar

Tabel 3 Kondisi sosiodemografi responden
Tabel 7 Perbandingan waktu mencapai ambang anaerobik pada berbagai perlakuan  Parameter statistik AMDK a 50 ppm a 80 ppm a 130 ppm a 100 ppm b
Tabel 8 Perbandingan waktu mencapai kelelahan pada berbagai perlakuan  AMDK a 50 ppm a 80 ppm a 130 ppm a 100 ppm b Parameter statistik
Tabel 9 Perbandingan SpO 2  pada berbagai perlakuan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pendekatan dari simulasi program dan analisis data digunakan sebagai acuan dasar perencanaan bangunan pengaman pantai, pengamanan pantai yang direncanakan

Pada penulisan skripsi ini sesuai judul di atas penulis mengkhususkan gitar elektrik sebagai penerapan pengkolaborasian tangga nada pelog dengan musik blues, dikarenakan

Yang kedua adalah field research (studi lapangan) yaitu penelitian dalam usaha mencari Dengan metode ini penulis. berusaha untuk mencari penjelasan tentang masa lampau

Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara panjang tungkai dan power otot tungkai dengan hasil lompat tinggi gaya

Hal ini terbukti bahwa titer antibodi ikan pada hari ke-14 yang dipelihara pada suhu 28º C adalah lebih tinggi, apabila dibandingkan dengan ikan yang dipelihara pada suhu 20 dan

Dari kajian ini tergambar bahwa di masyarakat Jawa di abad 17 – 18 yang lalu sudah dikenal sistem hukum yang mengatur para abdi dalem atau pegawai kerajaan namun tidak

Pada penelitian ini dosis efektif yang diperoleh yaitu pada pemberian infusa sarang semut dengan konsentrasi 100 gram/2 liter , berdasarkan hasil data statistika,

3) Menilai lokasi penelitian, melihat bagaimana kondisi lapangan yang di gunakan untuk penelitian dan menyiapkan format pertanyaan wawancara yang akan di ajukan