• Tidak ada hasil yang ditemukan

114 Warna dasar, pola bulu dan corak bulu burung merpati balap sama dengan burung merpati lokal, kecuali warna dasar putih tidak ditemukan pada balap

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "114 Warna dasar, pola bulu dan corak bulu burung merpati balap sama dengan burung merpati lokal, kecuali warna dasar putih tidak ditemukan pada balap"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAHASAN UMUM

Gen yang mempengaruhi ekspresi sifat kualitatif terdapat pada kromosom otosom (kromsom Z), sehingga ekspresi pada kedua jenis kelamin sama, kecuali warna bulu adapula yang terpaut seks. Nilai heterosigositas masing-masing sifat kualitatif berkisar dari 0.0582 – 0.428. Nilai heterosigositas warna bulu lebih tinggi dibandingkan ornament kepala, warna ceker, dan warna iris mata, sebaliknya warna ceker memiliki nilai heterosigositas terendah dibanding yang lainnya. Warna bulu masih beragam , diduga pada burung merpati lokal belum ada seleksi terhadap warna bulu. Adapun warna ceker mendekati seragam, hal ini dikarenakan adanya gen modifier yang menyebabkan ceker yang hitam berubah menjadi merah, sehingga piyik yang berceker hitam setelah dewasa warna cekernya berubah menjadi merah, seperti dikemukakan oleh Huntley (1999). Nilai heterosigositas warna iris mata rendah, berarti warna iris mata mendekati keseragaman. Seperti dikemukakan oleh Javanmard (2005) bahwa populasi dinyatakan beragam apabila hetersigositasnya kurang dari 0.5. Hal ini diduga sudah ada seleksi yang dilakukan oleh penggemar burung merpati yang lebih menyukai warna iris mata tertentu yaitu kuning. Demikian halnya dengan ceker tidak berbulu, frekuensi gen tidak berbulu rendah dikarenakan ada seleksi terhadap ceker tidak berbulu sehingga di lapang burung merpati yang cekernya tidak berbulu lebih banyak. Heterosigositas rata-rata sebesar 0.266 menunjukkan bahwa burung merpati lokal masih beragam.

Warna dasar bulu burung merpati lokal terdapat lima macam, yaitu hitam, megan, coklat atau gambir, abu, dan putih. Pola bulu sayap primer pung merpati lokal polos, telampik dan selap. Adapun corak bulu adalah bar dan barr less.

Pengontrol warna dasar ada tiga pasang gen yang terletak pada tiga lokus dengan satu lokus merupakan alel ganda. Dengan dominasi, yaitu (S alelnya s), (B+>BA>b), (C alelnya c) dan ditemukan sebanyak 68 variasi dari lima warna dasar yang diamati. (n= 711 ekor) pada penelitian ini. Adapun Cornell Lab of Ornithology (2007) menduga ada sebanyak 28 jenis warna burung merpati yang disebut “morphs”. Selanjutnya Zickefoose (2007) menyatakan bahwa Proyek Pigeon Watch mengelompokkan warna burung merpati dalam tujuh morphs, yaitu: Blue-bar; Red-bar, Checker; Red; Spread, Pied, dan White.

(2)

Warna dasar, pola bulu dan corak bulu burung merpati balap sama dengan burung merpati lokal, kecuali warna dasar putih tidak ditemukan pada balap datar maupun balap tinggi. Walaupun secara genetik pada perkawinan secara acak terdapat peluang muncul warna putih, namun penggemar balap lebih menyukai warna dasar selain putih, dengan demikian warna dasar yang ditemukan pada burung merpati balap adalah coklat, abu, megan dan hitam. Adapun pola bulu primer sama dengan burung merpati lokal yaitu polos, telampik dan selap, juga corak bulu yaitu bar dan bar less terdapat pada burung merpati balap. Fenotipe iris mata liplap tidak ditemukan pada burung balap.

Keragaman sifat kualitatif burung merpati balap terdapat pada burung merpati lokal. Hal ini menunjukkan bahwa karakterstik sifat kualitatif balap sama dengan merpati lokal.

Jenis pakan yang dapat memenuhi kebutuahan nutrisi burung merpati untuk reproduksi maupun produksi (piyik) adalah pakan yang terdiri dari (50% jagung + 50% pakan komersial) dengan kandungan protein kasar pada pakan sebesar 14.9% (hasil analisis bahan pakan) dan energi metabolis 3100 kkal/kg ransum (berdasarkan perhitungan). Walaupun pola konsumsi burung merpati lebih menyukai jagung dibandingkan ransum komersial, dan adanya produksi susu tembolok menjelang piyik menetas dan seminggu pertama yang diproduksi induk dan dilolohkan pada piyik, sehingga bobot piyik umur satu minggu sama antara piyik dari induk yang diberi pakan 100% jagung dengan induk yang sebagian pakan jagung digantikan dengan pakan komersial. Namum penambahan pakan komersial untuk menggantikan sebagian jagung menghasilkan performa piyik lebih baik dibandingkan dengan piyik yang induknya diberi pakan 100% jagung. Adapun proporsi jagung dan pakan komersial dapat diberikan 60% jagung dan 40% ransum komersial. Proporsi ransum komersial terhadap jagung paling tinggi pada minggu ke-I, hal ini disebabkan piyik memerlukan pakan yang lunak dan mengandung gizi tinggi. Hal ini dikarenakan selain crop milk yang dihasilkan oleh kelenjar pada tembolok induk, piyik juga diloloh pakan yang lunak oleh induk, sedangkan pakan yang keras seperti jagung baru dimulai dilolohkan kepada piyik oleh induk saat piyik berumur 6 hari pada penelitian ini.

(3)

Konsumsi pakan per pasang burung merpati pada fase mengeram sebanyak 55-58 g/pasang/hari yang dipergunakan untuk hidup pokok. Adapun konsumsi pakan pada fase tidak mengeram 73.7 g/pasang/hari dimanfaatkan untuk reproduksi yaitu pembentukan telur pada induk betina, dan konsumsi pakan pada fase meloloh anak sebanyak 102 g/pasang/hari.

Pakan yang memenuhi kebutuhan nutrisi burung merpati diperlukan untuk produksi juga reproduksi bagi burung merpati balap maupun penghasil daging. Kajian jenis pakan, pola makan dan kebutuhan pakan sehingga diketahui pakan yang dapat memenuhi kebutuhan nutrisi burung merpati memudahkan manajemen pemeliharaan burung merpati pada penelitian selanjutnya mengenai produktivitasnya. Penelitian diawali dengan penjodohan burung merpati. Waktu yang dibutuhkan untuk menjodohkan burung merpati bervarisai. Burung merpati remaja jantan mulai mencari pasangan pada umur 60-144 hari dengan rataan 126 hari dan koefisien keragaman 25.87% (n=6). Adapun burung merpati remaja betina mulai mencari pasangan pada umur 49-158 hari dengan rataan 85.4 hari dan koefisien keragaman 40.8% (n=12). Hasil uji t umur berjodoh, burung merpati jantan nyata lebih lama (P≤ 0.05) dibandingkan betina. Selanjutnya umur berjodoh burung merpati betina lebih beragam dibandingkan dengan burung merpati jantan.

Adapun pasangan poligami dapat dilakukan pada 10 pasang (16% dari 62 pasang). Betina pasangan poligami bertelur normal dengan jumlah telur sebanyak dua butir. Kesulitan timbul pada masa pengeraman. Pasangan yang periode bertelurnya berbeda, betina yang belum bertelur mengganggu sarang betina yang bertelur sehingga telur tidak menetas (50%). Kedua betina bertelur tetapi jantan tidak ikut mengerami telur maka betinanya turut tidak mengerami telurnya akibatnya telur tidak menetas (20%). Adapun pasangan poligami lainnya kedua betina bertelur dan masing-masing mengerami telurnya walaupun tidak ada pejantan dan tidak bergantian mengerami telurnya. Namun, setelah telur menetas sewaktu masih piyik mati. Hal tersebut mengakibatkan produktivitas poligami rendah, karena pada pasangan poligami keharmonisan pasangan berpengaruh terhadap produktivitas karena burung merpati mengerami telurnya secara

(4)

bergantian antara induk betina dan jantan, serta kedua induk meloloh piyik secara bergantian.

Selanjutnya produktivitas burung merpati diperoleh induk yang mau mengeram sebanyak 82.4%. Hal ini perlu untuk kelangsungan hidup burung merpati seperti dikemukakan (2009) bahwa sifat mengeram merupakan salah satu upaya melestarikan keturunan. .Adapun yang menyebabkan burung tidak mau mengeram adalah burung tersebut sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan baru atau daya adaptasinya lama; sifat keindukannya kurang, sudah berahi kembali sebelum telur meneta. Hal ini terjadi pada induk yang diberi pakan bernutrisi tinggi yaitu 100% pakan komersial.

Produksi telur per pasang burung merpati berkisar 1-3 butir pada penelitian ini. Berat telur tidak mengalami perubahan setelah perode bertelur keempat. Berat telur berkisar 10.7-23.2 g dengan rataan 17.7±1.6 g dan koefisien keragaman 9% pada penelitian ini. Menurut Ensminger (1992) bahwa berat telur unggas dipengaruhi oleh bangsa, berat badan dan umur dewasa kelamin. Jumlah telur yang dihasilkan per tahun, urutan telur dalam clutch, tingkat protein dalam ransum, pakan dan air minum, suhu lingkungan, tipe kandang dan penyakit

Umur bertelur pertama berkisar 125-366 hari dengan rataan 221±31 hari (n=14). Umur bertelur pertama tersebut lebih lama dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Jalal et al. (2011) maupun Khargharia et al. (2003) bahwa umur dewasa kelamin burung merpati berkisar 170-180 hari dan 167.57±0.46 hari. Berat badan induk burung merpati lokal berkisar 333-345 g lebih rendah dari hasil penelitian Mignon-Grateau et al. (2000) bahwa berat badan bervariasi dari 556.7 g sampai 647.6

Fertilitas dan daya tetas telur burung merpati pada penelitian ini masing-masing sebesar 92.4% dan 77%. Peneliti lain Jalal et al. (2011) memperoleh fertilitas dan daya tetas burung merpati masing-masing sebesar 90% dan 85%.

g. Perbedaan berat badan ini diduga karena faktor genetik dan lingkungan. Pada saat bertelur pertama burung merpati telah mencapai bobot dewasa, hal ini ditunjukkan dari hasil analisis statistik bobot badan induk saat bertelur pertama, kedua, dan ketiga tidak berbeda nyata.

Bobot tetas piyik burung merpati lokal berkisar 10.9-16.2 g dengan rataan 14.0 g lebih tinggi dari hasiln penelitian Ibrahim and Sani (2010) bahwa bobot

(5)

anak merpati adalah 12.55 ± 0.08 g, adapun bobot telur tetas adalah 14.46 ± 0.11 g. Bobot telur dan bobot tetas memiliki korelasi tinggi (r = 0.932) dengan tingkat presisi yang tinggi (R2

Selang bertelur pada burung merpati lokal 17.6 hari tanpa mengeram, 34.1 hari jika mengeram namun tidak meoloh anak, dan 51 hari jika setelah bertelur kemudain mengeram dan dilanjutkan dengan meloloh anak hingga anak disapih umur 35 hari. Jumlah telur per periode ber telur berkisar 1-3 butir.

=86.9%).

Kurva pertumbuhan piyik merpati lokal berbentuk kuadratik dengan persamaan Y=11.2+121t-13.3t2

Berat telur dan berat tetas burung merpati lokal rmemiliki nilai ripitabiltas yang tinggi masing-masing adalah 0.634 dan 0.737. Hal ini mendukung hasil penelitian Akpa et al. (2006) yang memperoleh nilai ripitabilitas 0.77 dan 0.85 untuk bobot telur pada telur puyuh yang diukur pada umur 12 minggu dan 28 minggu. Bobot telur dan bobot tetas burung merpati lokal rmemiliki nilai ripitabiltas yang tinggi masing-masing adalah 0.634 dan 0.737. Berarti sifat reproduksi tersebut banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan, yaitu suhu, dan kelembaban saat pengeraman.

, yaitu Y=bobot badan dan t adalah waktu (umur) dengan laju pertumbuhan cepat saat piyik berumur 0- 14 hari dan setelah umur 28 hari laju pertumbuhan menurun (negatif) dan nilai konversi pakan yang terus meningkat hingga minggu keempat pemeliharaan piyik. Olehkarenanya sebagai piyik potong maka seleksi sebaiknya dilakukan pada umur 21-28 hari,

Nilai heritabilitas bobot telur dan bobot tetas pada burung merpati lokal rendah yaitu 0.19 dan 0.30. Aggrey dan Cheng (1992) dengan menggunakan squab (merpati muda) silangan Silver King x White King memperoleh nilai heritabilitas bobot tetas sebesar 0.70. Nilai heritabilitas bobot telur burung merpati lokal pada penelitian ini juga lebih rendah dibandingkan unggas lain pada hasil penelitian Ingram et al. (1989); Moss and Watson 1982); Zhang et al. (2005). Hal ini dikarenakan keragaman genetik dan lingkungan. Selain itu nilai heritabilitas untuk sifat yang sama berbeda untuk jenis, bangsa dan galur ternak yang berbeda (Falconer dan Mackay 1996).

(6)

Bobot induk memiliki korelasi genetik dengan bobot telur dan bentuk telur pada burung merpati lokal, yaitu 0.067 dan 0.637. Adapun bobot telur memiliki korelasi genetik dengan bobot tetas sebesar 0.670. Adanya korelasi antara dua sifat bermanfaat untuk seleksi. Seperti dikemuakan Warwick et al. (1995) bahwa pengetahuan tentang besar dan tanda korelasi genetik dapat dipergunakan untuk memperkirakan perubahan yang terjadi pada generasi berikutnya untuk sifat yang tidak diseleksi tetapi berkorelasi dengan sifat yang diseleksi. Semakin tinggi nilai korelasi genetik, semakin besar perubahan yang terjadi pada sifat yang berkorelasi. Nilai korelasi genetik dapat berubah dalam populasi yang sama selama beberapa generasi. Nilai tersebut diestimasi pada kurun waktu tertentu dan berlaku pada suatu populasi. Bobot telur, bobot tetas, bentuk telur, bobot sapih, bobot anak dan bobot tetua memiliki korelasi positip. Bobot dewasa (induk) memiliki korelasi nyata atau berpengaruh positip dan nyata terhadap ukuran telur dan bobot telur yaitu 0.276 dan 0.408. Bobot telur berkorelasi positip terhadap bentuk telur, bobot tetas, bobot sapih piyik yaitu 0.207; 0.760; 0.49. Bobot tetas juga memiliki korelasi positip dan nyata terhadap bobot sapih piyik sebesar 0.362. Semakin tinggi bobot telur tetas maka dapat diharapkan bobot sapih piyik yang berat, dengan demikian untuk selaksi piyik dapat dimulai dari bobot telur. Adanya korelasi fenotipik antara beberapa sifat pada burung merpati lokal bermanfaat untuk menduga sifat kedua dari sifat pertama atau sebaliknya. Hal ini merujuk kepada Noor (2008) dan Warwick (1995) bahwa korelasi fenotipik ini terjadi dikarenakan adanya gen-gen yang bersifat pleitropik .

Pertumbuhan piyik burung merpati balap datar, balap tinggi maupun pedaging (HmoerxKing) tidak berbeda nyata kecuali pada saat menetas (0 hari), burung merpati pedaging lebih berat (P<0.05) dibandingkan burung balap datar dan balap tinggi, sedangkan antara balap datar dan balap tinggi sama. Pada fase pertumbuhan piyik selanjutnya merpati balap datar dan balap tinggi tidak berbeda, sedangkan merpati pedaging berbeda dengan balap pada umur tiga minggu, yaitu merpati pedaging lebih berat dibandingkan merpati balap. Namun pada minggu keempat piyik ketiga jenis merpati yaitu balap datar, balap tinggi maupun pedaging memiliki berat badan tidak berbeda nyata masing-masing 333.0; 312.6;

(7)

dan 345.0 g. Adapun rataan bobot piyik burung merpati lokal pada minggu keempat mencapai 300 g pada penelitian ini.

Pola pertumbuhan ketiga jenis burung sama yaitu pertumbuhan cepat pada minggu pertama dan kedua dengan laju pertumbuhan tertinggi pada minggu pertama. Adapun minggu kedua hingga keempat ada pertumbuhan namun laju pertumbuhan menurun dibandingkan minggu pertama, dengan demikian piyik burung merpati balap yang tidak terseleksi sebagai balap dapat dipotong pada umur 21-28 hari. Hal ini juga sama pada burung merpati lokal.

Bobot potong, persentase karkas dan persentase bagian dada tidak berbeda pada pemotongan piyik umur 21, 23 maupun 25 hari. Bobot potong, persentase karkas dan persentase dada piyik jantan dan piyik betina tidak berbeda. Juga tidak ada interaksi antara umur pemotongan dengan seks. Hal ini menunjukkan bahwa piyik dapat dipotong pada umur 21 hari dengan demikian induk dapat segera bertelur kembali. Hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Ibrahim dan Bashrat (2009) bahwa bobot potong dan karkas piyik burung merpati, yang dipelihara di bawah kondisi rumah tangga di kota-kota Bauchi, North Eastern Nigeria untuk piyik adalah 200.40 ± 7.32 g dan 118.60 ± 5.51 g.

Pada pengembangan burung merpati lokal selanjutnya peningkatan produksi selain melalui poligami dapat dilakukan melalui penambahn telur tetas atau menambah piyik yang diloloh per pasang induk burung merpati. Pada kondisi normal sepasang burung merpati mengerami telur sebanyak 2 butir sesuai dengan jumlah telur yang diproduksi per periode bertelur yaitu sebanyak 2 butir dan meloloh 2 piyik. Daya tetas pada pasangan induk yang mengerami 3 butir lebih tinggi dibandingkan dengan induk yang mengerami telur dengan jumlah normal 2 butir.

Perbedaan pertumbuhan piyik yang diloloh 1, 2, 3 maupun 4 sampai umur 16 hari. Namun mulai umur18 hingga 28 hari, pertumbuhan piyik yang diloloh 1, 2, 3 maupun 4 sama (secara statstik tidak berbeda nyata) Penambahan jumlah anak (piyik) yang diloloh pada sepasang induk burung merpati dapat dilakukan hingga 2 ekor dari kondisi normal (2 piyik). Hal ini dtunjukkan oleh pertumbuhan piyik yang diloloh 3 maupun 4 tumbuh normal seperti halnya pada induk yang meloloh 2 ekor piyik. Tidak ada kematian piyik pada pasangan burung merpati

(8)

yang meloloh piyik 1,2,3 maupun 4. Hal ini dapat diaplikasikan pada manajemen produksi burung merpati balap, sehingga burung balap tidak harus mengerami dan meloloh piyiknya, yaitu dengan menitipkan telur atau piyik kepada induk yang lain (babuan). Adapun burung balap dapat diterbangkan (dilombakan) setelah bertelur.

Selanjutnya pada penelitian ini diperoleh penciri ukuran dan bentuk tubuh dari empat ukuran tubuh yaitu lingkar dada, lebar dada, panjang punggung dan panjang sayap, bahwa penciri ukuran tubuh adalah lingkar dada pada burung balap datar, pedaging dan lokal, sedangkan burung merpati balap tinggi adalah panjang sayap. Penciri bentuk tubuh burung merpati balap datar dan lokal adalah panjang sayap, lingkar dada untuk balap tinggi dan panjang punggung untuk pedaging. Penciri ukuran dan bentuk tubuh balap datar dan lokal sama.

Skor bentuk tubuh keempat jenis burung merpati berbeda, skor ukuran balap datar dengan lokal ada kesamaan, dan berbeda baik dengan balap tinggi maupun pedaging dari analisis kerumunan. Hal ini menunjukkan ukuran belum dapat digunakan untuk mengkarakterisasi balap datar dan balap tinggi, bahkan ada indikasi bahwa balap datar, balat tinggi dan lokal memiliki keserupaan morfometrik yang tinggi dari analisis jarak keeserupaan. Juga ada pula kesamaan morfometrik dengan burung merpati pedaging walaupun sedikit, hal ini diduga masih ada percampuran diantara keempat jenis burung merpati. Hasil analisis komponen utama, analisis kerumunan, jarak keserupaan maka burung balap datar maupun balap tinggi dapat diseleksi dari populasi burung merpati lokal.

Adapun potensi burung merptai lokal dapat dijadikan balap, hal ini merujuk Usherwood (2011) bahwa burung biasa terbang berkelompok. Matthews (1963) bahwa pengulangan kembali jalur yang sama lebih dari dua kali dan kurang dari enam kali saat dilatih terbang efisien bagi burung merpati untuk mengenali lintasan untuk homing. Pennycuick (1997) menyatakan bahwa kecepatan jelajah dibatasi oleh kekuatan otot. Cnotka et al. (2008) bahwa burung yang dilatih terbang memiliki rata-rata hippocampus yaitu struktur otak depan yang berperanan dalam proses informasi spasial lebih besar dibandingkan dengan burung yang tidak dilatih terbang. Volume hippocampus tergantung pada

(9)

karakteristik terbang dan pengalaman navigasi. Adapun plastisitas volume hipokampus dipengaruhi faktor genetik, namun dari hasil penelitian Cnotka et al. (2008) mengkonfirmasikan bahwa pengalaman terbang memiliki implikasi tertentu untuk kemampuan terbang. Artinya pengalaman adalah prasyarat untuk pengembangan hipokampus maksimal. Hal ini membedakan kecepatan terbang dari burung balap, sehingga kecepatan balap datar lebih tinggi dibandingkan balap tinggi dengan tehnik pelatiahan yang berbeda, yaitu burung balap datar dilatih terbang datar pada lintasan tanpa halangan, sedangkan balap tinggi dilatih terbang pada lintasan dengan halangan. Adapun penentu kecepatan terbang pada burung balap datar adalah lingkar dada, sedangkan pada burung balap tinggi adalah panjang sayap. Melalui seleksi berdasarkan kecepatan terbang pada burung merpati lokal juga dapat diperoleh merpati balap.

Piyik burung merpati lokal sebagai penghasil daging dapat diperoleh dari piyik lokal yang tidak terseleksi sebagai balap. Hal ini didukung dari penelitian ini bahwa masih ada keserupaan morfometri merpati lokal dengan merpati pedaging (Homerx King).

(10)

Referensi

Dokumen terkait