• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November E d i t o r

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November E d i t o r"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

iii

E d i t o r

Gusti Ayu Made Suartika, ST., MEng.Sc., Ph.D Ni Ketut Agusintadewi, ST., MT., Ph.D

Ni Made Swanendri, ST., MT.

Desain halaman sampul

(3)
(4)

v

KATA PENGANTAR

Publikasi ini merupakan salah satu wujud dokumentasi yang dihasilkan dari pelaksanaan Seminar Nasional yang mengambil tema Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Ranganan Lingkungan Terbangun. Proseding ini mendokumentasikan paper-paper yang dipresentasikan dan dipublikasi di dalam kegiatan ini, yang diselenggarakan oleh Program Magister Arsitektur: Program Keahlian Perencanaan dan Manajemen Pembangunan Desa/Kota dan Program Keahlian Manajemen Konservasi, di Aula Pascasarjana, Lt III Gedung Pascasarjana Universitas Udayana, Kampus Denpasar pada hari Kemis, tanggal 2 November 2016.

Seminar ini dihadiri oleh para akademik; arsitek profesional - anggota Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) dan para arsitek rancang bangun, para perancang kota maupun perencana; pemerintah - Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda), Tata Ruang; Team Tata Aturan Bangunan dan Gedung, Perijinan; serta masyarakat pemakai hasil desain. Sedangan para pemakalah berasal dari para akademisi, mahasiswa program pascasarjana, para pemerhati keberlanjutan elemen-elemen arsitektural lokal dan tradisi dalam desain lingkungan terbangun kekinian dan masa datang. Masing-masing paper telah dipresentasikan, baik dalam sesi presentasi untuk para pembicara kunci maupun sesi pararel untuk para pemakalah.

Partisipan dan presenter berasal dari para akademisi, mahasiswa program pascasarjana, para pemerhati keberlanjutan elemen-elemen arsitektural lokal dan tradisi dalam desain lingkungan terbangun kekinian dan masa yang akan datang. Besar harapan kami, jika Seminar Nasional ini bisa menjadi ajang diskusi dan berbagi pengetahuan, pengalaman, ide terkait tradisi, perubahannya, adaptasinya serta akomodasinya dalam rancangan keruangan mikro maupun makro. Semoga kegiatan ini bisa dijadikan bagian aktivitas rutin di Program Magister Arsitektur Universitas Udayana, yang secara berkelanjutan bisa dijadwal serta didukung penyelenggaraannya, tidak hanya oleh kami sebagai civitas akademika, tetapi juga oleh asosiasi profesi, pemerintah, dan masyarakat tentunya.

Kami sangat bersyukur karena penyelenggaraan Seminar ini merupakan sebuah kolaborasi antara Program Studi Magister Arsitektur, Universitas Udayana, Ikatan Arsitek Indonesia Daerah Bali, Program Studi Arsitektur Universitas Udayana, Program Studi Arsitektur Universitas Warmadewa, Program Studi Universitas Dwijendra, dan Program Studi Arsitektur Universitas Ngurah Rai. Terima kasih kami ucapkan kepada keempat lembaga untuk kerjasma serta kordinasinya selama ini.

Kepada Bapak Profesor Gunawan Tjahjono serta Bapak Ir Popo Danes - sebagai pembicara kunci dalam Seminar ini -, kami ucapkan terima kasih atas waktu serta kesediaannya untuk berbagi melalui pertemuan akademik ini. Kepada Ibu dan Bapak Pemakalah dan Peserta Seminar, kami ucapkan terima kasih atas partisipasinya. Akhirnya, kepada ibu dan bapak panitia pelaksana seminar dan juga para moderator, kami sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk, waktu dan energi yang direfleksikan melalui kerja keras dan kerjasamanya, sehingga Seminar tahun ini bisa terlaksana dengan baik.

Sebagai penutup, mohon maaf dan permaklumannya jika ada kekurangan dan kekeliruan dalam penyelenggaraan Seminar ini.

Terima kasih

(5)
(6)

vii

R I N G K A S A N

"Forum Arsitektur - Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Desain Lingkungan Terbangun" diselenggarakan untuk merumuskan ide serta pemikiran kritis terkait akomodasi elemen-elemen arsitektur tradisional ke dalam desain lingkungan terbangun kekinian dan yang akan datang. Beberapa pertanyaan mendasar yang akan didiskusikan disini adalah: (1) Manakah yang disebut sebagai arsitekur tradisional/lokal/vernakular, sebelum kita berbicara mengenai akomodasinya ke dalam desain?; (2) Haruskah kita memperpanjang keberadaan arsitektur tradisional, ketika lingkungan dimana kita berada telah mengalami perubahan, baik dari segi fisik, sosial-budaya, dan politikal-ekonominya?; (3) Apakah ide pelestarian arsitektur tradisional/lokal hanya dimaksudkan sebagai usaha pembangunan identitas dan image, dua kualitas yang lambat laun menghilang bersama era globalisasi?; (4) Apakah usaha untuk mengakomodasi elemen-elemen desain lokal merupakan tindakan yang melalaikan esensi arsitektur sebagai ranah profesi yang diwarnai kreativitas, tumbuh serta berkembang mengkuti budaya, peradaban dan pembangunan sosial yang ada; dan (5) Dalam mekanisme yang bagaimana wujud serta tata nilai budaya lokal bisa direfleksikan ke dalam rancangan lingkungan terbangun kita?

Pencarian jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini membawa makna penting, khususnya bagi satuan kedaerahan yang menjadikan pelestarian budaya lokal sebagai jiwa dan arah pembangunannya, seprti misalnya apa yang terjadi di Pulau Bali. Dengan mengambil konteks perkembangan dunia rancang bangun yang telah terjadi di Provinsi ini, pelaksanaan Forum Arsitektur ini diinspirasi oleh munculnya beragam produk rancangan, yang tidak berjalan beriringan dengan nafas pelestarian budaya lokal. Kondisi ini mengundang perhatian serius, khususnya bagi para akademisi maupun budayawan, mengingat telah dicanangkannya arah pembangunan Pulau Dewata sebagai proses yang mengusung kaidah-kaidah tradisi lokal. Dunia rancang bangun sebagai elemen penentu kualitas lingkungan binaan, dimana kita bernaung, memiliki andil penting dalam pencapaian misi tersebut. Peran ini bukanlah posisi yang mudah untuk dilakoni, baik oleh pihak yang menggeluti profesi perancang, maupun bagi pemerintah yang mengemban fungsi kontrol dan pengendalian. Ini merupakan sebuah tantangan yang mana jika dilakoni dengan sesungguhnya akan membutuhkan niat untuk mengembannya, kemampuan interprestasi serta kreativitas.

Forum Arsitektur - Seminar Nasional ini mencoba menjembatani proses pencarian jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang telah dipaparkan di atas. Adapun sub tema yang diangkat dalam Forum Arsitektur - Seminar ini adalah:

 Mempertanyakan arsitektur tradisional, lokal, dan vernakular.

 Rancang bangun, karya arsitektur, dan perjalanannya.

 Arsitektur tradisional dan rancangan lingkungan terbangun.

 Mekanisme serta alternatif metode dalam mengakomodasi arsitektur tradisional ke dalam desain lingkungan binaan.

 Mekanisme pengaturan serta pengendalian - akomodasi arsitektur tradisional dalam desain kekinian dan masa depan.

(7)

viii

Kegiatan ini tidak hanya merangkum ide-ide yang didokumentasikan ke dalam karya tulis (seminar), tetapi juga dengan mencoba memperoleh masukan melalui diskusi interkatif. Keduanya melibatkan para akademisi sebagai pemerhati, perancang profesional, pemerintah sebagai pengontrol dan pengendali pembangunan, serta masyarakat sebagai pemakai hasil rancangan. Diharapkan, dengan mensinergikan kedua kegiatan ini ke dalam satu forum, akan diperoleh masukan yang inklusif, bagaimana kita memahami arsitektur sebagai produk budaya yang memiliki dinamikanya sendiri, bersanding dengan keinginan untuk melestarikan tradisi rancang bangun, yang memiliki tatanan wujud fisik serta tatanan tata nilai yang memandu keberadaannya.

Terima kasih

(8)

ix

DAFTAR ISI

Halaman muka ………..…………. i Editor ………..………. iii Kata Pengantar ……….………. v Ringkasan ……….…….. vii Daftar Isi ………. ix Daftar Pemakalah

Sub Tema 1. Konsepsi: Arsitektur Tradisional, Lokal,

dan Vernakular

Kajian Semiotika Ornamen dan Dekorasi Interior Kelenteng sebagai Wujud Inkulturasi Budaya di Kota Denpasar ………...……… 1

Ni Made Emmi Nutrisia Dewi, Freddy Hendrawan Dialog pada Arsitektur Bali: Sarana Komunikasi Identitas Lokal ………...………… 15

I Dewa Gede Agung Diasana Putra Membongkar Stagnansi Perkembangan Arsitektur Bali ………... 25

Syamsul Alam Paturusi Arsitektur di Bali Antara Norma dengan Fakta ...………...……… 33

Putu Rumawan Salain Reinterpretasi Latar Belakang Filosofis Konsepsi Desa Kala Patra dan Wujud Penerapannya dalam Seni Arsitektur Bali ...………...……… 41

I Nyoman Widya Paramadhyaksa, I Gusti Agung Bagus Suryada, Ida Ayu Armeli

Sub Tema 2. Transformasi Rancang Bangun Tradisional

dan Karya Arsitektur

Transformasi Rumah Adat Bali Aga Kasus: Desa Adat Bayung Gede, Desa Adat Penglipuran, Desa Adat Tenganan ……….. 51

Nimas Sekarlangit Transformasi Arsitektur Tradisional dalam Perancangan Bandar Udara ………... 61

Basauli Umar Lubis Bale: Objek Pembentuk Ruang yang Berkelanjutan pada Arsitektur Bali Aga ……… 67

Himasari Hanan Transformasi Bentuk Fasad dan Pola Arsitektur Tradisional Bali ……… 81 Ni Putu Atik Pradnya Dewi

(9)

x

Penyesuaian Fungsi Ruang pada Bangunan Domestik di Desa Penglipuran, Bangli ………… 91 Sri Indah Retno Kusumawati

Struktur Konstruksi Bangunan Tradisional di Desa Pengotan, Bangli:

Pelestarian Arsitektur Bali Aga ……… 105 Anak Agung Gde Djaja Bharuna S.

Transformasi Rancang Bangun Tradisional Bali (Jineng) dalam

Fisik Bangunan Fungsi Pariwisata (Hotel) di Badung ………...………. 117 Dwi Meisa Putri

Transformasi Arsitektur Bale Delod Banjar Gamongan, Desa Kaba-Kaba,

Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, Bali ………...……...………. 125 Ni Putu Suda Nurjani

Perubahan Wujud dan Fungsi Ruang pada Rumah Tinggal Tradisional Desa Bali Aga

Studi Kasus: Desa Pedawa, Buleleng-Bali ………..………...…………...………. 137 Tri Anggraini Prajnawrdhi

Adaptasi Bentuk dan Pola Bangunan Tradisional terhadap Fungsi Modern

di Desa Tradisional Penglipuran ………...………...…………...………. 153 Widiastuti

Perubahan Setting Hunian Tradisional di Desa Tengkudak, Tabanan-Bali ………. 167 Ni Luh Putu Eka Pebriyanti

Perubahan Orientasi dan Metode Penamaan Ruang dalam Rumah Tinggal Orang Bali

di Denpasar ………...………...…………...………. 179 I Nyoman Widya Paramadhyaksa

Arsitektur Bale Banjar dan Perannya di Desa Pakraman Perasi, Karangasem ……...………….. 189 I Nyoman Susanta

Sub Tema 3. Strategi dan Metode dalam Mengakomodasi Arsitektur

Tradisional ke dalam Desain Lingkungan Binaan

Koeksistensi Makna Simbolik Rumah Tradisional Buton (Rumah Kaum Walaka)

dan Bangunan Kantor DPRD di Kota Baubau ………... 203 Muhammad Zakaria Umar

Tata Zonasi Permukiman Adat di Desa Nggela, Kecamatan Wolojita, Kabupaten Ende …… 213 Fabiola T A Kerong

Karakteristik Permukiman Tradisional Desa Bungaya …...…... 227 Ni Luh Jaya Anggreni

Karakteristik Permukiman Tradisional Bali: Desa Julah, Buleleng …... 241 Made Chryselia Dwiantari

Permukiman Tradisional Desa Pengotan Bangli …... 249 Sayu Putu Peny Purnama

Karakteristik Permukiman Tradisional Desa Adat Trunyan, Kintamani, Bangli …... 255 A A Gede Trisna Gamana

(10)

xi Karakteristik Desa Bali Aga: Desa Tengkudak, Kabupaten Tabanan …... 265 Ni Putu Helsi Pratiwiningsih

Eksistensi Permukiman Tradisional di Desa Bugbug Karangasem

terhadap Perkembangan Pembangunan Masa Kini …... 275 Putu Pradnya Lestari Ratmayanti

Karakteristik Permukiman Tradisional Desa Tenganan …... 283 I Made Raditya Wahyu

Tatanan Spasial Permukiman Tradisional Desa Bali Aga, Timbrah …... 291 Gordon Ardinata

Kawasan Suci Pura Khayangan Tiga Sebagai Bentuk Pelestarian Arsitektur

Tradisional Bali di Desa Adat Kesiman …... 305 Putu Ayu Niasitha Prabandhari

Karakteristik Permukiman Tradisional Penglipuran, Bangli …... 317 I Nyoman Jatiguna

Arsitektur Lingkungan Binaan pada Permukiman Tradisional

(Studi Kasus: Desa Tenganan, Bali) …... 325 Dona Sri Lestari Poskiparta

Karakteristik Desa Adat Tradisional Sidatapa sebagai Desa Bali Aga di Bali Utara …... 339 Luh Ketut Yulitrisna Dewi

Pelestarian Bangunan Cagar Budaya sebagai Arsitektur Lokal di

Kawasan Budaya Kotabaru …... 345 Vinsensius R. Edo

Eksistensi Permukiman Tradisional (Bali) di Kelurahan Ubud ... 355 Ni Nyoman Ratna Diantari

Arsitektur Umah Bali Aga di Desa Wongaya Gede, Kabupaten Tabanan-Bali …... 365 Anak Agung Ayu Oka Saraswati

Implementasi Nilai-Nilai Arsitektur Arsitektur Tradisional Bali

pada Bangunan di Lahan Sempit ……...…………... 375 I Made Juniastra

Tektonika Arsitektur Bali …... 383 Ni Ketut Ayu Siwalatri

Karakteristik Arsitektur Pertamanan (Lanskap) Bali: Potensi dan Tantangan

dalam Perkembangan Arsitektur …... 395 Ni Made Yudantini

(11)

xii

Sub Tema 4. Mekanisme Pengaturan serta Pengendalian Akomodasi

Arsitektur Tradisional dalam Desain Kekinian

dan Masa Depan

Desa Wisata Brayut dalam Konteks Pertemuan Aspek Tradisional dan Mordern ……....…… 407 Amos Setiadi

Optimalisasi Fungsi Ruang Terbuka Hijau sebagai “Natah” dalam Setting Aktivitas

dan Interaksi Sosial Masyarakat Perkotaan di Kota Denpasar ………...…… 419 I Gusti Agung Adi Wiraguna

Komodifikasi Arsitektur Lokal pada Perkembangan Akomodasi Wisatawan

di Pulau Bali ………... 427 Sylvia Agustine Maharani

Kajian Dinamika Ekonomi, Politik, dan Sosial Budaya:

Penghilangan Karakteristik Lokal Arsitektur Kota di Bali ………...…… 437 I Ketut Mudra, I Wayan Yuda Manik

Kunci Keberlangsungan Arsitektur Lokal ………...…... 447 Antonius Karel Muktiwibowo

Implementasi Tata Aturan Tradisional dalam Tata Ruang Publik Pesisir Pantai Sanur …… 455 Kadek Edi Saputra

Memaknai Kembali Kearifan Lokal dalam Konteks Kekinian ...……...……….………. 461 Ni Ketut Agusintadewi

(12)
(13)

KARAKTERISTIK ARSITEKTUR PERTAMANAN (LANSKAP) BALI:

POTENSI DAN TANTANGAN DALAM PERKEMBANGAN ARSITEKTUR

Ni Made Yudantini

Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana Email: nmyudantini@unud.ac.id; nmyudantini71@yahoo.com

Abstract

Balinese landscape is known internationally with its beautiful scenery and lush tropical plants. The chain of Balinese landscape is started from mountain to the sea as it is becoming a philosophy of Balinese culture which mountain as a source of life and the sea as purification thus called nyegara gunung. The Balinese landscape type is divided into five that comprises of regional landscape, villages landscape, city landscape, highway landscape, and historical inheritance/archaeological landscape (Pertamanan & Udayana, 1998; Yudantini, 2003). These five types of landscape formed the characteristic of Balinese landscape across the Bali Island. The characteristic of Balinese traditional landscape is also enriched by the existence of landscape elements including indoor green open space (natah) and outdoor green open space (telajakan, lebuh, karang bengang, etc.). The urban development today tends to fulfill the demand of space with less priority to the green area provision. This is becoming a challenge to the local architecture of the Balinese norms to be implemented in the built environment. In this paper, through literature review, observation and documentation, the author explores the Balinese traditional landscape and its characteristics. The reseach aims to offer the question how far the characteristics of Balinese traditional landscape can be implemented in the development and investigates the challenges of its implementation in urban area. This reseach offer a perspective of local architecture of the Balinese traditional landscape with its transformation and that can be conserved and to be implemented in the future development of built environment.

Keywords: Balinese landscape, traditional architecture, potencies and challenges

Abstrak

Lanskap Bali dikenal secara internasional dengan pemandangan yang indah dan tanaman tropis yang rimbun. Rantai lanskap Bali dimulai dari gunung ke laut seperti yang menjadi filosofi budaya Bali dimana gunung sebagai sumber kehidupan dan laut sebagai peleburan dan hal ini dikenal dengan istilah nyegara gunung. Lanskap Bali terdiri dari lima tipe yang terdiri dari lanskap regional, lanskap desa, lanskap kota, lanskap jalan raya, dan lanskap warisan sejarah/arkeologi (Pertamanan & Udayana, 1998; Yudantini, 2003). Kelima jenis lanskap ini membentuk karakteristik lanskap Bali. Karakteristik lanskap Bali juga diperkaya dengan adanya elemen-elemen lanskap seperti ruang terbuka hijau di dalam unit pekarangan (natah) dan ruang terbuka hijau di luar unit pekarangan (telajakan, lebuh, karang bengang, dll). Pengembangan perkotaan saat ini cenderung untuk memenuhi kebutuhan ruang dengan prioritas yang kurang untuk penyediaan area hijau. Hal ini menjadi tantangan untuk arsitektur lokal untuk menerapkan norma-norma tradisional Bali dalam lingkungan terbangun. Dalam tulisan ini, melalui kajian literatur, observasi dan dokumentasi, penulis mengeksplorasi lanskap tradisional Bali dan karakteristiknya. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan seberapa jauhkah karakteristik lanskap tradisional Bali dapat diimplementasikan dalam pembangunan dan penelitian ini juga menyelidiki tantangan pelaksanaannya di daerah perkotaan. Penelitian ini diharapkan dapat menawarkan perspektif arsitektur lokal dari lanskap tradisional Bali dengan transformasinya serta dapat dilestarikan dan dilaksanakan dalam pembangunan masa depan dari lingkungan terbangun.

Kata kunci: Lanskap Bali, arsitektur tradisional, potensi dan tantangan

(14)

Pulau Bali sebagai salah satu tujuan wisata di Indonesia menawarkan bentang alamnya yang alami dengan keasrian lanskapnya yang mulai dari gunung, turun menuju perbukitan, sawah, sungai, danau, sungai, permukiman tradisional serta pantai-pantai dengan deru ombaknya sebagai tempat yang menarik untuk berselancar. Kondisi keindahan alam ini dilukiskan oleh Vicker (1989) dimana di tengah Pulau Bali membentang pegunungan dari timur ke barat diantara pegunungan ini terdapat rangkaian vulkano dan beberapa danau. Keberadaan dari pegunungan ini menjadikan Bali secara geographis terbagi menjadi dua bagian yaitu Bali Utara dengan lanskap daratan yang relatif sempit dan lanskap miring yang sedikit, sebaliknya Bali Selatan memiliki daratan yang cukup luas dengan lanskap miring yang bergelombang (Vicker, 1989). Berdasarkan Statistik Provinsi Bali (2011), kemiringan Pulau Bali terdiri dari tanah daratan (0-2%) seluas 122,652 ha, kemiringan bergelombang (2-5%) seluas 118,339 ha, kemiringan yang cukup tajam (15-40%) seluas 190,486 ha dan sangat tajam (>40%) melingkupi 132,189 ha. Bali dihiasi empat danau yaitu Danau Beratan, Danau Buyan, Danau Tamblingan dan Danau Batur, sedangkan bagian selatan Pulau Bali dominan daaerah daratan dengan dialiri beberapa sungai yaitu Sungai Ayung, Sungai Pakerisan, Sungai Badung serta beberapa sungai-sungai kecil lainnya yang mengaliri di setiap kabupaten.

Gambar 1. Topografi Pulau Bali tahun 1700 Sumber: Vickers, 1989, p. 37.

Keberadaan lanskap di Pulau Bali telah diakui oleh UNESCO (2012) dan menetapkan Bali sebagai salah satu list dalam World Cultural Landscape dimana tercatat Desa Jatiluwih dan Wongaya Gede sebagai desa yang melaksanakan pelestarian sistem irigasi tradisional yang dikenal dengan subak. Dinas Kebersihan dan Pertamanan Propinsi Bali bekerjasama dengan Universitas Udayana pada tahun 1998 telah menetapkan tipe-tipe lanskap Bali, yang digolongkan ke dalam lima jenis yaitu lanskap regional, lanskap desa, lanskap kota, lanskap jalan raya, dan lanskap warisan sejarah/arkeologi. Dengan adanya penetapan lanskap Bali ini, diharapkan kelestarian bentang alam Pulau Bali tetap dapat dipertahankan sebagai salah satu warisan budaya dan kekayaan yang dimiliki Pulau Bali. Namun tidak dapat dipungkiri, seiring lajunya pembangunan dan pesatnya perkembangan ekonomi, secara tidak langsung keberadaan lanskap menjadi ancaman dan tantangan di dalam pelestariannya. Adanya 2

(15)

kebutuhan akan penyediaan lahan untuk bernaung dan beraktifitas menyebabkan berkurangnya ruang-ruang terbuka hijau khususnya di daerah perkotaan dan mempengaruhi keberadaan lanskap Bali.

Melalui penelitian ini, dikaji tentang sejauh mana karakteristik lanskap Bali diterapkan dalam pembangunan saat ini. Eksplorasi terhadap potensi-potensi lanskap Bali yang dapat dipertahankan serta tantangan yang dihadapi dalam penerapannya diharapkan dapat dikendalikan untuk tujuan pelestarian dari eksistensi landskap Bali sehingga ke depannya dapat dilaksanakan dalam pembangunan arsitektur lokal dan lingkungan terbangun. Observasi dan dokumentasi lanskap Bali serta melalui beberapa kajian dari sumber-sumber literatur tentang landskap Bali. Melalui analisis kualitatif deskriptif penelitian ini menawarkan gagasan tentang konservasi dari lanskap Bali.

KARAKTERISTIK LANSKAP BALI

Secara regional, Pulau Bali terdiri dari hutan, pegunungan, sungai, danau, dan lautan. Regional lanskap memiliki ekosistem yang alami serta dinamis, untuk itu sangat penting untuk melaksanakan pelestarian potensi dari regional lanskap ini untuk keberlangsungan dari kehidupan flora dan fauna, untuk keindahan, kesehatan serta lanskap ini merupakan ciri khas yang dimiliki oleh Bali.

Regional lanskap Pulau Bali memiliki tiga karakteristik yaitu pegunungan, daerah daratan dan pantai. Pembagian tiga karakteristik ini berkaitan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam philosophi arsitektur tradisional Bali yaitu Tri Mandala (tiga pembagian sonasi ruang) yang terdiri dari utama mandala (suci), daerah madya mandala (sedang), dan daerah nista mandala (daerah yang bersifat kotor atau biasa). Daerah pegunungan dipercaya memiliki nilai utama atau suci dimana gunung merupakan sumber kehidupan, gunung mengalirkan air yang jernih ke daerah bukit melalui sungai-sungai yang mengairi persawahan. Gunung juga menyediakan hutan sebagai sumber kebutuhan akan makanan. Sementara daerah dataran didiami oleh penduduk dengan pola perkampungan dengan adat istiadatnya yang berakar dari ajaran agama Hindu. Daerah dataran ini merupakan daerah madya mandala, dimana masyarakat melakukan aktifitas kesehariannya dan berinteraksi secara sosial dengan sesamanya dan lingkungannya. Daerah pantai beserta lautnya sebagai daerah nista mandala, dipercaya sebagai tempat pembuangan dari kotoran atau peleburan dan merupakan tempat siklus hidrologi dari kehidupan.

Gambar 2. Gunung Batur dan Pantai Julah merupakan lanskap regional Bali

(16)

Karakteristik lanskap Bali yang kedua adalah lanskap desa yang terdiri dari permukiman desa beserta pendukung kehidupannya yaitu daerah pertanian seperti sawah, kebun buah, tegalan, dan perkebunan lainnya. Secara kualitas, daerah pertanian memiliki pemandangan visual yang menarik dengan sawah teraseringnya yang memberikan keuntungan secara ekologis, serta pemandangan visual ini merupakan suatu kreasi keindahan. Beberapa desa tetap mempertahankan pemandangan sawah terasering ini seperti di Desa Jatiluwih, Kabupaten Tabanan. Secara sosial, masyarakat desa merupakan komunitas yang memiliki hubungan dengan lingkungannya dan sesamanya yang berlandaskan filosofi agama Hindu. Tatanan kehidupan masyarakat di desa diikat oleh sistem desa adat yang merupakan implementasi dari penerapan konsep Tri Hita Karana (Setiada, 2003). Jadi secara fisik, lingkungan desa dibentuk oleh Tri Mandala (utama mandala, madya mandala dan nista mandala) yang merupakan pengejawantahan konsep Tri Hita Karana. Daerah utama mandala atau sacred area berfungsi untuk tempat suci desa (parahyangan), ini memperlihatkan hubungan antara manusia/masyarakat kepada Tuhan (Sang Hyang Widhi Wasa). Daerah madya mandala difungsikan sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat desa sebagai wujud dari pawongan, yang terdiri dari pemukiman, bale agung atau wantilan, alun-alun atau bencingah, bale kulkul, puri, pempatan agung serta kantor pemerintahan desa. Pada pola permukiman di desa-desa tradisional menerapkan pola desa linear khususnya desa-desa pegunungan (Bali Aga atau Bali Kuno atau Bali Mula) maupun compound dengan pola natah untuk desa-desa daerah daratan. Sementara daerah nista mandala atau profane area biasanya terletak di daerah selatan dari bagian desa yang terdiri dari kegiatan seperti pasar, pusat perbelanjaan, permandian umum, terminal, tempat olahraga, sekolah serta pemakaman yang dilengkapi dengan pura dalemnya.

Gambar 3. Permukiman di Desa Pengotan dan fasiltas umum pusat informasi di kuburan Desa Trunyan merupakan bagian lanskap desa.

Lanskap kota merupakan tipe yang ketiga dari lanskap Bali. Pada jenis lanskap ini biasanya terletak pada daerah perkotaan seperti contoh Kota Denpasar dengan penduduk yang cukup padat jika dibandingkan dengan daerah lainnya. Kota Denpasar memiliki landskap masa lampau (cultural heritage) yang merupakan peninggalan dari jaman colonial seperti adanya arsitektur pecinan, serta gedung-gedung peninggalan colonial. Sebuah kota juga merupakan ekpresi dari pembangunan masa depan dimana perkembangan di bidang arsitektur melaju dengan pesatnya. Kota sebagai sistem organik berawal dari sub-sub sistem dan memiliki hubungan satu dengan yang lainnya yang tidak dapat dipisahkan yang memberikan keuntungan kepada masyarakatnya. Sebagai sub sistem, lanskap kota terbagi dalam dua aspek yaitu visual dan fisik. Secara visual, lanskap kota dapat dilihat melalui kombinasi dari struktur 4

(17)

komponen special dan alami seperti dinamai dengan city-scape, town-scape, streetscape, dan sebagainya. Sementara secara fisik, lanskap kota terdiri dari ruang terbuka untuk pejalan kaki, untuk bermain, berolahraga, serta terdiri dari komponen alami seperti pohon, air, dan bebatuan.

Gambar4. Kawasan heritage Kota Denpasar dan Sungai Badung yang membelah Kota Denpasar merupakan lanskap kota.

Lanskap jalan raya merupakan tipe keempat, yang merupakan penghubung antar kota, sebagai penghubung kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Lanskap jalan raya terdiri dari ruas jalan untuk keamanan berkendaraan dan kenyamanan dari pengendara dalam hal ini lanskap jalan raya dilengkapi dengan rambu-rambu lalu lintas, kondisi jalan yang baik, kemiringan jalan, serta dilengkapi dengan perbukitan dan jurang untuk tujuan keamanan. Lanskap jalan raya berfungsi untuk memberikan kenyamanan dimana lanskap dapat mengurangi kelelahan selama berkendaraan dengan memberikan visual khusus yang menarik terhadap sekelilingnya. Disamping itu, lanskap jalan raya juga bertujuan untuk mengurangi kebisingan dan mengurangi proses erosi atau pengikisan yang sering terjadi pada pinggiran jalan raya. Fungsi lain dari lanskap jalan raya adalah menyediakan tempat beristirahat khusus untuk jalan-jalan penghubung antara dua daerah atau lebih.

Gambar 5. Lanskap jalan raya yang ada di Kota Denpasar dan daerah utara Pulau Bali sebagai identitas lingkungan setempat dan memberikan arahan visual pergerakan lalu lintas dengan memberi

warna putih pada batang pohon.

Lanskap warisan sejarah atau arkeologi merupakan lanskap warisan masa lalu dimana obyek dari warisan sejarah ini merupakan warisan secara fisik dan termasuk juga sistem ruangnya. Sistem ruang yang dimaksud adalah pola ruang yang memiliki nilai-nilai historis. Bali cukup 5

(18)

ritual dan non-ritual. Kategori ritual terdiri dari pura dan non-ritual termasuk puri, tempat peristiratan raja di jaman dahulu, serta peninggalan sejarah lainnya yang membentuk lanskap Bali. Bali dikenal dengan sebutan Pulau Seribu Pura, tentunya memiliki cukup banyak tempat suci Hindu, baik di tingkat pekarangan (sanggah, dadia, kawitan), di tingkat desa (pura Kahyangan Tiga), kawasan maupun regional (pura Sad Kahyangan seperti Pura Besakih, Pura Taman Ayun dan lainnya), serta ada beberapa pura di tingkat organisasi seperti Pura Subak, Pura Melanting, dan lainnya. Pura-pura tersebut memiliki nilai ruang tingkat utama mandala atau berada di tempat yang disucikan sesuai dengan tata ruang arsitektur tradisional Bali. Kategori non-ritual termasul peninggalan puri-puri di Bali serta tempat peristirahatan raja, misalnya Taman Ujung, dan Tirta Empul di Kabupaten Karangasem.

Gambar 6. Lanskap warisan budaya atau sejarah pada tempat suci di Puri Kesiman dan Pura Ulun Danu Batur di Kintamani.

ELEMEN-ELEMEN LANSKAP BALI

Lanskap Bali memiliki beberapa unsur atau elemen yang memperkaya keunikan Bali khususnya arsitektur tradisional dan pertamanan Bali serta ini merupakan daya tarik di beberapa kawasan permukiman tradisional. Ada beberapa elemen pertamanan Bali antara lain natah, telajakan, lebuh, batas tempat suci Hindu, tempat melasti, alun-alun (ruang terbuka kota), kuburan (setra), karang bengang, karang embang, dan karang tuang.

Natah atau natar merupakan ruang terbuka yang berada dalam unit pekarangan yang terbentuk oleh komposisi bangunan-bangunan sebagai pusat halaman atau pusat orientasi (Jiwa, 1992; Putra, 2003). Natah selain berada di rumah tinggal, tempat suci, natah juga terbentuk di pusat sebuah kota (Putra, 2003). Natah memiliki fungsi sebagai ruang, tempat, sebagai pusat orientasi dari bangunan, dan juga natah memiliki dimensi yang berdasarkan ukuran tradisional Bali yaitu berdasarkan ukuran penghuni rumah. Disamping itu, natah berarti kekosongan dimana sebagai perwujudan pertemuan antara mikro-kosmos dan makro-kosmos atau pertemuan purusa-pradana (sifat laki-laki dan perempuan) dimana pertemuan ini menciaptakan suatu keharmonisan (Suarya, 2003). Lebih lanjut, Putra (2003) menegaskan bahwa natah memiliki fungsi utama sebagai fungsi sosial (sebagai tempat menerima tamu selama ada upacara keagamaan), fungsi ritual (sebagai tempat pelaksanaan upacara keagamaan umat Hindu) dan fungsi lingkungan (berkaitan dengan kesehatan dimana natah sebagai ruang terbuka tempat masuknya sinar matahari dan udara segar ke dalam pekarangan).

(19)

Telajakan merupakan ruang terbuka yang berada di luar pekarangan yang berada di antara pagar terdepan pekarangan dan jelinjingan (got) pinggir jalan lingkungan dengan ukuran sekitar 0.5 meter sampai 2 meter. Telajakan biasanya ditanami dengan pepohonan yang untuk memberikan pandangan yang lebih leluasa pada lingkungan sekitar dan tanaman berfungsi untuk kebutuhan upacara, ekonomi, obat-obatan serta dapat memberikan fungsi estetika. Telajakan juga sebagai tempat untuk menancapkan penjor. Secara garis besar, telajakan memiliki beberapa komponen yaitu terdiri dari ruang, penyengker, drainase (got), patung-patung, penjor, tanaman. Telajakan yang terdapat pada ruas-ruas jalan yang besar juga sangat besar pengaruhnya terhadap arus lalu lintas dan lingkungannya yaitu dapat berfungsi sebagai pengarah, meluaskan pandangan untuk menghilangkan kepenatan selama berkendaraan, mengurangi polusi, kebisingan dan menurunkan suhu udara sekitarnya (Pandy, 2009).

Gambar 7. Natah sebagai orientasi dari bangunan-bangunan pelinggih yang ada di sebuah pura di Denpasar, dan telajakan memberikan pandangan yang lebih luas.

Sementara elemen lainnya lebuh, merupakan sebuah ruang terbuka yang berada persis di depan pintu masuk ke pekarangan. Batas atau radius kesucian pura merupakan ruang terbuka sekeliling pura untuk menjaga kesucian tempat suci. Tempat melasti biasanya bertempat si sepanjang pantai-pantai di Bali. Melasti dilaksanakan dalam rangkaian upacara keagamaan seperti dilaksanakan sehari sebelum perayaan hari raya Nyepi sebagai simbol penyucian. Alun-alun merupakan tempat terbuka yang berlokasi di salah satu sudut pempatan agung yang berfungsi sebagai taman terbuka untuk publik. Setra atau kuburan merupakan tempat pemakaman dan tempat pelaksanaan kremasi atau ngaben. Gelebet (1998) menegaskan bahwa karang tuang terdapat di setiap sudut dari pempatan agung, karang embang berada di setiap banjar, serta karang bengang merupakan ruang terbuka yang cukup luas yang berada pada sebuah kawasan atau kota yang memiliki fungsi sebagai green belt atau jalur hijau kota.

PERKEMBANGAN DAN TANTANGAN IMPLEMENTASI LANSKAP BALI

Dalam perkembangan pembangunan yang semakin pesat ini, kecenderungan masyarakat kota membuat bangunan dengan seefisien mungkin mengingat keterbatasan lahan, mahalnya harga lahan dan material. Trend pembangunan yang cepat berganti dan gaya hidup perkotaan juga mempengaruhi perkembangan arsitektur yaitu dari kehidupan agraria menjadi industri sehingga dari kehidupan yang tradisional alami menjadi ekonomis modern sehingga memunculkan berbagai langgam atau style dari arsitektur. Hal ini cenderung mengabaikan unsur-unsur lanskap yang seharusnya mendapat perhatian dalam disain dan pembangunan, 7

(20)

visual, bangunan yang diterapkan berusaha memenuhi persyaratan arsitektur tradisional Bali yang dipersyaratkan sebagai salah satu kewajiban dalam mendirikan bangunan. Namun, banyak dari bangunan-bangunan yang didirikan kurang memiliki ruang-ruang terbuka khususnya lanskap yang bernuansa tradisional Bali seperti tidak terciptanya natah sebagai pusat orientasi bangunan-bangunan. Dalam efisiensi lahan, perumahan dibangun dalam pola-pola yang sederhana yaitu linear (berjajar) dan memiliki lebih dari satu lantai dengan bangunan yang monolit (tidak seperti bangunan majemuk dalam arsitektur tradisional Bali) (lihat Gambar 8). Tanpa adanya konsep natah dalam ruang terbuka, kecenderungan individu beraktifitas dan berorientasi hanya di dalam bangunan monolit itu sendiri. Meskipun disediakan ruang terbuka di bagian depan bangunan namun lebih berfungsi sebagai area parkir kendaraan dan ruang sirkulasinya. Kehidupan serba cepat menyebabkan kurangnya interaksi sosial di lingkungan pemukiman antara sesama maupun terhadap lingkungan itu sendiri. Disain yang serba efisien ini secara tidak langsung mempengaruhi pola kehidupan penghuninya dalam hubungan terhadap sosial dan lingkungan yang cenderung ke arah privasi dan individualitas.

Elemen lanskap lainnya yang cenderung kurang diperhatikan adalah telajakan. Semakin padatnya penduduk di daerah perkotaan semakin padat pula permukiman penduduk. Unsur telajakan kurang mendapat perhatian dalam implementasi permukiman, terlihat tidak adanya ruang luar antara pagar pekarangan dan drainase (lihat Gambar 8). Penjor pun tertancap pada ruas pinggir jalan demikian juga lampu penerangan jalan mengambil tempat di ruas sisi jalan. Hal ini tentu memberikan kualitas visual pada lingkungan bahwa jalan yang dimensinya kecil akan terlihat semakin kecil bahkan sempit. Kurangnya rasa aman dan nyaman khususnya bagi pejalan kaki karena tidak tersedianya ruang untuk pejalan kaki. Nuansa seperti ini dapat dilihat pada beberapa perumahan-perumahan baru di seputaran Kota Denpasar.

Gambar 8. Perumahan dengan efisiensi penggunaan lahan serta hilangnya telajakan Bali pada ruang terbuka luar pekarangan.

Walaupun demikian, masih dapat dilihat beberapa fungsi bangunan masih menerapkan dan memiliki elemen lanskap Bali baik pada ruang terbuka di dalam pekarangan (natah) maupun ruang terbuka di luar pekarangan sebagai identitas lingkungan dan menciptakan ruang kota yang berkesan terbuka. Pada umumnya, masyarakat yang terikat dengan adat istiadat (desa adat) yang merupakan warga asli (uwedan) masih memiliki pola rumah tinggal tradisional Bali dengan pola compound membentuk natah sebagai pengikat dan orientasi bangunan. Rumah tinggal tradisional terdiri dari tempat suci keluarga (sanggah), bale dangin, bale meten, bale 8

(21)

delod, bale dauh dan dapur serta dilengkapi dengan toilet maupun kandang babi dan ayam. Fasilitas-fasilitas lain seperti bale banjar yang berada di kota masih menyediakan ruang luar terbuka (telajakan). Demikian juga lanskap warisan budaya seperti puri, masih memiliki dan memelihara telajakan yang difungsikan sebagai taman maupun tempat beraktifitas jika ada rangkaian upacara. Hal ini tentu saja membuat kualitas visual lingkungan menjadi lebih luas, aspek keamanan maupun kenyamanan bagi pemakai jalan terpenuhi serta memenuhi fungsi ekologi dan kesehatan dalam penyediaan udara yang bersih dan mengurangi polusi udara. Keberadaan tanaman di sepanjang telajakan juga akan memberikan identitas dari kawasan serta sebagai pengarah lalu lintas.

Gambar 9. Pelestarian telajakan Bali pada ruang terbuka luar bale banjar dan puri.

Satu hal yang sangat menarik pada tata ruang wilayah Bali, dalam perencanaan suatu kawasan penyediaan kebutuhan lahan untuk fungsi perumahan dan fungsi lainnya menjadi prioritas, tentunya ini berdampak pada berkurangnya ruang terbuka hijau dan bertambahnya lingkungan terbangun akibat pemenuhan kebutuhan tersebut. Namun dalam perencanaan wilayah belum ada pemenuhan terhadap kebutuhan lahan akan fungsi kuburan. Secara adat istiadat, kuburan tradisional Bali cenderung tidak bertambah dan tidak berkurang. Hal ini disebabkan karena sistem adat yang dianut pada upacara kematian yaitu sistem ngaben yaitu dengan membakar mayat. Jadi tidak diperlukan luas lahan untuk pengembangan kuburan di masing-masing desa adat (Yudantini, 2012). Keberadaan kuburan juga merupakan fungsi ekologi yang menyediakan ruang terbuka hijau dengan pepohonan yang rimbun yang memberikan udara segar.

Unsur hardscape seperti pedestrian di beberapa ruas jalan di kota perlu mendapat perhatian di dalam pemeliharaannya. Sering terlihat pedestrian yang telah diperbaiki namun belum berapa lama sudah terlihat rusak bahkan hancur akibat desakan akar pohon yang ada di sampingnya. Hal ini tentu saja mempengaruhi wajah kota menjadi kurang teratur dan tidak berfungsinya jalur pejalan kaki dengan nyaman. Fungsi pedestrian juga terasa kurang secure (aman) bagi pemakainya dimana letak pedestrian yang berada pada jalur lalu lintas yang padat tanpa pemisah. Tentu saja hal ini akan membahayakan bagi pengguna pedestrian. Kasus lain juga dapat dilihat pada Gambar 10 dimana pedestrian sama sekali hilang fungsinya karena dihadang oleh poster/baliho menyebabkan pejalan kaki tidak dapat menggunakan fasilitas publik ini.

(22)

Gambar 10. Pedestrian sebagai fasilitas publik yang tersedia di kota namun perlu dipertimbangkan rasa keamanan dan kenyamanan pejalan kaki.

Unsur hardscape lainnya juga perlu mendapat perhatian adalah baliho atau iklan atau papan reklame yang dipasang di setiap sudut kota. Keberadaan baliho yang beragam secara dimensi dan penempatan cukup mempengaruhi wajah kota bahkan menutupi fasad bangunan tradisional. Dalam hal ini perlu penanganan yang tepat bagi pihak-pihak terkait untuk memperhatikan ijin pemasangan, keseragaman ukuran baliho, serta letak penempatannya agar tidak mengganggu lalu lintas dan pejalan kaki serta agar tidak merusak wajah kota.

Gambar 11. Kehadiran baliho atau papan reklame di kota memberi sumbangsih terhadap wajah kota. Elemen lanskap lainnya seperti karang bengang, karang embang dan karang tuang di daerah perkotaan khususnya Kota Denpasar sudah jarang dapat ditemui namun secara ekologi sangat penting untuk menyediakan karang bengang yang berfungsi sebagai green belt kota. Karang bengang ini dapat berupa jalur hijau seperti sawah ataupun taman-taman yang mengelilingi kota sebagai batas kawasan satu dengan lainnya.

(23)

Untuk ke depannya perlu dipikirkan dalam disain untuk memasukkan unsur-unsur lanskap tradisional Bali agar fungsi sosial dan pelestarian lingkungan tercapai. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan peletakan massa bangunan dengan sistem setback antar satu massa dengan massa lainnya sehingga memungkinkan terbentuknya ruang terbuka (natah) sebagai orientasi dan interaksi dengan sesamanya, baik sebagai tempat berkumpulnya anak-anak bermain ataupun untuk dapat melakukan aktivitas kecil seperti olahraga ataupun tempat bercengkerama dan bertukar pikiran. Perlunya penataan kembali terhadap elemen lanskap yaitu telajakan dengan mewajibkan bagi pembangunan baru untuk menyiapkan telajakan atau ruang terbuka di luar pekarangan antara pagar dan drainase baik itu untuk fungsi perumahan maupun fungsi bangunan komersial atau bisnis lainnya. Hal ini kembali kepada tujuan sebagai pemenuhan terhadap fungsi sosial dan ekologi yang tidak hanya untuk kepentingan pada saat sekarang namun untuk fungsi keberlanjutan khususnya dalam menjaga dan menciptakan kesehatan masyarakat dan lingkungan. Hal ini juga bertujuan untuk konservasi terhadap kekayaan lanskap Bali agar tidak punah dimana lanskap Bali sebagai potensi yang menjadi tujuan wisata.

(24)

Lanskap Bali adalah unik yang terdiri dari lanskap regional, desa, kota, jalan raya dan warisan sejarah. Secara regional, Bali masih memiliki dan memelihara lanskap regionalnya yang terurai dari pegunungan, daratan dan daerah tepi pantai beserta lautnya. Lanskap desa tertata dengan baik dengan pola desa yang linear pada permukiman daerah pegunungan dan pola natah di daerah daratan. Demikian pula dengan lanskap warisan sejarah yang ada di Bali masih tetap dipertahankan dan sebagian menjadi obyek wisata seperti pura-pura besar, puri serta taman-taman peninggalan kerajaan. Dalam pembangunan tentunya tidak terlepas dari tantangan ataupun kendala yang dihadapi di lapangan. Khususnya dalam implementasi lanskap Bali. Perlunya peningkatan kesadaran akan pentingnya konservasi terhadap kekhususan lanskap Bali yang menjadi keunikan tersendiri dan menjadi sumber tujuan wisata. Lanskap kota dan lanskap jalan raya khususnya di Kota Denpasar, keduanya perlu mendapat perhatian khusus untuk menciptakan wajah kota yang asri dengan penuh kenyamanan dan keamanan serta untuk menciptakan identitas kota. Penerapan konsep natah dan telajakan pada fungsi permukiman baru dan fungsi-fungsi lainnya, serta penyediaan green belt bagi kota untuk meningkatkan fungsi ekologis, ekonomis dan kesehatan.

REFERENSI

Badan Pusat Statistik (2011) Bali Dalam Angka (Bali in Figures) 2011. Denpasar. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali.

Dinas Kebersihan dan Pertamanan & Universitas Udayana (1998) Hasil Penelitian: Penyusunan Rencana Umum Pertamanan, Propinsi Daerah Tingkat I Bali. Denpasar.

Gelebet, N. (1998) Memantapkan Potensi Kota Denpasar dalam Meningkatkan Pariwisata Budaya (paper dipresentasikan dalam Seminar Regional: Mewujudkan Denpasar sebagai Kota Budaya dalam Inovasi Pengembangan Pariwisata Budaya). Denpasar. Jiwa, I.B.N. (1992) Kamus Bali Indonesia: Bidang Istilah Arsitektur Tradisional Bali. Denpasar.

Upada Sastra.

Pandy, A. (2009) Tinjauan Tentang Taman Telajakan. (Online)

http://nujubaliharmoni.wordpress.com/2009/03/19/tinjauan-tentang-taman-telajakan/

Putra, I.G.M. (2003) Perubahan Ekspresi Konsep Natah dalam Tata Ruang di Bali. Jurnal Permukinan Natah, 1(2), 52-108. Laboratorium Perumahan dan Permukiman, Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana. Denpasar.

Setiada, N.K. (2003) Desa Adat Legian Ditinjau dari Pola Desa Tradisional Bali. Jurnal Permukinan Natah, 1(2), 52-108. Laboratorium Perumahan dan Permukiman, Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana. Denpasar.

Suarya, I.M. (2002) Peranan Natah di dalam Kehidupan Masyarakat Bali. Jurnal Permukinan Natah, 1(1), 1-51. Laboratorium Perumahan dan Permukiman, Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana. Denpasar.

Vickers, A. (1989) Bali: A Paradise Created. Berkeley. Periplus Editions.

Yudantini, N.M. (2003) Balinese Traditional Landscape. Jurnal Permukiman Natah, 1(2), 52-108. Laboratorium Perumahan dan Permukiman, Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana. Denpasar.

Yudantini, N.M. (2012) Learning from Sustainable Landscapes of Death in Bali: Landscape Planning and Tri Hita Karana. Prosiding 2nd International Conferenced on Sustainable

Technology Development (ICSTD 2012) Udayana University, Denpasar, Bali. 12

Gambar

Gambar 1. Topografi Pulau Bali tahun 1700  Sumber: Vickers, 1989, p. 37.
Gambar 2. Gunung Batur dan Pantai Julah merupakan lanskap  regional Bali
Gambar 3. Permukiman di Desa Pengotan dan fasiltas umum pusat informasi  di kuburan Desa  Trunyan merupakan  bagian lanskap  desa
Gambar 5. Lanskap  jalan raya yang ada di Kota Denpasar dan daerah utara Pulau Bali sebagai  identitas lingkungan setempat dan memberikan arahan visual pergerakan lalu lintas dengan memberi
+6

Referensi

Dokumen terkait

Jika responden mengalami 2 atau lebih kejadian tersebut tanyakan kejadian yang paling awal/pertama kali pada kolom [1] dan selesaikan dahulu sampai BR18 dan

Penelitian yang dilakukan Hidayat, Sukardi dan Insani (2004) memperlihatkan bahwa teknologi pengolahan tempe di Indonesia sangat bervariasi dan sebagian

Sehingga semakin tinggi temperatur preheating yang diberikan maka penetrasi yang terjadi pada saat berlangsungnya proses pengelasan semakin dalam sehingga base metal

Peraturan Menteri Agama Nomor 10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 592) sebagaimana

Broling (1989) dalam Pedoman Penyelenggaraan Program Kecakapan Hidup Pendidikan Non Formal mengelompokkan life skills menjadi tiga kelompok, yaitu: (1) kecakapan

Berdasarkan data curah hujan bulan Desember 2019 dari stasiun-stasiun BMKG dan pos-pos hujan kerjasama terpilih pada 15 Zona Musim (ZOM) di Bali dapat disajikan

Terhadap berbagai upaya yang bisa dilakukan dalam mewujudkan pelokalan kebijakan HAM di daerah sebagaimana telah disebutkan di atas, maka terhadap perlindungan, pemajuan,

Pada langkah selanjutnya, penulis berkeliling mengecek kegiatan peserta di- dik saat mengerjakan postes, dan memberikan penjelasan terhadap peserta didik yang kurang