• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Program Jaminan Kesehatan Nasional 2.1.1. Pengertian dan Tujuan Program JKN

Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah. Program JKN merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yaitu suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggara jaminan sosial (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

Berdasarkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 mengamanatkan bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Seluruh rakyat wajib menjadi peserta tanpa kecuali. Program jaminan sosial yang diprioritaskan untuk mencakup seluruh penduduk terlebih dahulu adalah program jaminan kesehatan.

Sistem Jaminan Sosial Nasional pada dasarnya merupakan program Negara yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Implementasi program ini diharapkan bahwa seluruh rakyat Indonesia dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menderita

(2)

sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut atau pensiun.

SJSN diselenggarakan dengan prinsip kegotong-royongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas dan portabilitas dengan kepesertaan bersifat wajib, dana amal dan hasil pengelolaan jaminan sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta jaminan.

Adapun penyelenggara program JKN adalah Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS ). Pembentukan BPJS menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Undang-Undang ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang mengamanatkan pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan transformasi kelembagaan PT Askes (Persero), PT Jamsostek (Persero), PT TASPEN (Persero) dan PT ASABRI (Persero) menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Transformasi tersebut diikuti adanya pengalihan peserta, program, aset dan liabilitas, pegawai serta hak dan kewajiban. Undnag-Undang ini membentuk 2 (dua) BPJS yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan menyelenggarakan program jaminan kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian. Terbentuknyadua BPJS ini diharapkan secara bertahap akan memperluas jangkauan kepesertaan progam jaminan sosial.

(3)

BPJS mempunyai tugas sesuai Undang-Undang yaitu: a. Melakukan dan/atau menerima pendaftaran Peserta

b. Memungut dan mengumpulkan Iuran dari Peserta dan Pemberi Kerja c. Menerima bantuan Iuran dari Pemerintah

d. Mengelola dana Jaminan Sosial untuk kepentingan peserta

e. Mengumpulkan dan mengelola data peserta program Jaminan Sosial

f. Membayarkan Manfaat dan/atau membiayai pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan program Jaminan Sosial

g. Memberikan informasi mengenai penyelenggaraan Program Jaminan Sosial kepada peserta dan masyarakat

2.1.2. Paket Pelayanan Kesehatan dalam Program JKN

Program JKN mempunyai 2 (dua) jenis pelayanan yang akan diperoleh oleh Peserta JKN, yaitu berupa pelayanan kesehatan (manfaat medis) serta akomodasi dan ambulans (manfaat non medis). Ambulans hanya diberikan untuk pasien rujukan dari Fasilitas Kesehatan dengan kondisi tertentu yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

1. Prosedur Pelayanan

Peserta yang memerlukan pelayanan kesehatan pertama-tama harus memperoleh pelayanan kesehatan pada Fasilitas Kesehatan tingkat pertama. Bila Peserta memerlukan pelayanan kesehatan tingkat lanjutan, maka hal itu harus dilakukan melalui rujukan oleh Fasilitas Kesehatan tingkat pertama, kecuali dalam keadaan kegawatdaruratan medis.

(4)

2. Kompensasi Pelayanan

Bila di suatu daerah belum tersedia Fasilitas Kesehatan yang memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medis sejumlah Peserta, BPJS Kesehatan wajib memberikan kompensasi, yang dapat berupa: penggantian uang tunai, pengiriman tenaga kesehatan atau penyediaan Fasilitas Kesehatan tertentu. Penggantian uang tunai hanya digunakan untuk biaya pelayanan kesehatan dan transportasi.

3. Penyelenggara Pelayanan Kesehatan

Penyelenggara pelayanan kesehatan meliputi semua Fasilitas Kesehatan yang menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan baik fasilitas kesehatan milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan swasta yang memenuhi persyaratan melalui proses kredensialing dan rekredensialing.

Adapun manfaat program JKN terdiri atas 2 (dua) jenis, yaitu manfaat medis berupa pelayanan kesehatan dan manfaat non medis meliputi akomodasi dan ambulans.

Ambulans hanya diberikan untuk pasien rujukan dari Fasilitas Kesehatan dengan kondisi tertentu yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan. Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis. Manfaat pelayanan promotif dan preventif meliputi pemberian pelayanan :

(5)

a) Penyuluhan kesehatan perorangan, meliputi paling sedikit penyuluhan mengenai pengelolaan faktor risiko penyakit dan perilaku hidup bersih dan sehat.

b) Imunisasi dasar, meliputi Baccile Calmett Guerin (BCG), Difteri Pertusis Tetanus dan HepatitisB (DPTHB), Polio, dan Campak.

c) Keluarga berencana, meliputi konseling, kontrasepsi dasar, vasektomi, dan tubektomi bekerja sama dengan lembaga yang membidangi keluarga berencana.

d) Skrining kesehatan, diberikan secara selektif yang ditujukan untuk mendeteksi risiko penyakit dan mencegah dampak lanjutan dari risiko penyakit tertentu. e) Meskipun manfaat yang dijamin dalam JKN bersifat komprehensif, masih ada

manfaat yang tidak dijamin meliputi: a. Tidak sesuai prosedur; b. Pelayanan di luar Fasilitas Kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS; c.Pelayanan bertujuan kosmetik; d. General checkup, pengobatan alternatif; e. Pengobatan untuk mendapatkan keturunan, pengobatan impotensi; f. Pelayanan kesehatan pada saat bencana ; dan g. Pasien Bunuh Diri /Penyakit yang timbul akibat kesengajaan untuk menyiksa diri sendiri/ Bunuh Diri/Narkoba.

2.1.3. Tarif Pelayanan Program JKN a. Jenis Tarif Pelayanan

Tarif pelayanan program JKN didasarkan pada tarif Indonesian - Case Based Groups yang selanjutnya disebut Tarif INA-CBG’s adalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan atas paket layanan

(6)

yang didasarkan kepada pengelompokan diagnosis penyakit (Kementerian Kesehatan RI, 2013b).

Tarif pelayanan kesehatan pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama meliputi (a) tarif kapitasi, yaitu rentang nilai yang besarannya untuk setiap Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama ditetapkan berdasarkan seleksi dan kredensial yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tarif kapitasi diberlakukan bagi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama yang melaksanakan pelayanan kesehatan komprehensif kepada Peserta Program Jaminan Kesehatan berupa Rawat Jalan Tingkat Pertama. (b) tarif non kapitasi, yaitu nilai besaran yang sama bagi seluruh Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama yang melaksanakan pelayanan kesehatan kepada Peserta Program Jaminan Kesehatan berupa Rawat Inap Tingkat Pertama dan pelayanan Kebidanan dan Neonatal (Kementerian Kesehatan RI, 2013b).

Pembiayaan untuk pelayanan ambulans, pelayanan obat rujuk balik, pelayanan skrining kesehatan tertentu, dan/atau pelayanan kesehatan pada daerah terpencil dan kepulauan dibayar oleh BPJS Kesehatan yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan BPJS Kesehatan (Kementerian Kesehatan RI, 2013c).

b. Iuran

Berdasarkan pedoman program JKN, dijelaskan bahwa Iuran Jaminan Kesehatan adalah sejumlah uang yang dibayarkan secara teratur oleh Peserta, Pemberi Kerja, dan/atau Pemerintah untuk program Jaminan Kesehatan (pasal 16, Perpres No. 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan). Pembayar Iuran dalam program ini

(7)

adalah bagi Peserta PBI, iuran dibayar oleh Pemerintah. bagi Peserta Pekerja Penerima Upah, Iurannya dibayar oleh Pemberi Kerja dan Pekerja. bagi Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta Bukan Pekerja iuran dibayar oleh Peserta yang bersangkutan (Kementerian Dalam Negeri RI, 2013).

Besarnya Iuran Jaminan Kesehatan Nasional ditetapkan melalui Peraturan Presiden dan ditinjau ulang secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan kebutuhan dasar hidup yang layak. Setiap Peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah (untuk pekerja penerima upah) atau suatu jumlah nominal tertentu (bukan penerima upah dan PBI).

Setiap Pemberi Kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran peserta yang menjadi tanggung jawabnya, dan membayarkan iuran tersebut setiap bulan kepada BPJS Kesehatan secara berkala (paling lambat tanggal 10 setiap bulan). Apabila tanggal 10 (sepuluh) jatuh pada hari libur, maka iuran dibayarkan pada hari kerja berikutnya. Keterlambatan pembayaran iuran JKN dikenakan denda administratif sebesar 2% (dua persen) perbulan dari total iuran yang tertunggak dan dibayar oleh Pemberi Kerja.

Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja wajib membayar iuran JKN pada setiap bulan yang dibayarkan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan kepada BPJS Kesehatan. Pembayaran iuran JKN dapat dilakukan diawal.

BPJS Kesehatan menghitung kelebihan atau kekurangan iuran JKN sesuai dengan Gaji atau Upah Peserta. Dalam hal terjadi kelebihan atau kekurangan

(8)

pembayaran iuran, BPJS Kesehatan memberitahukan secara tertulis kepada Pemberi Kerja dan/atau Peserta paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya iuran. Kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran diperhitungkan dengan pembayaran Iuran bulan berikutnya. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran iuran diatur dengan Peraturan BPJS Kesehatan.

c. Cara Pembayaran Fasilitas Kesehatan

BPJS Kesehatan akan membayar kepada Fasilitas Kesehatan tingkat pertama dengan Kapitasi. Untuk Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan, BPJS Kesehatan membayar dengan sistem paket INA CBG’s. Mengingat kondisi geografis Indonesia, tidak semua Fasilitas Kesehatan dapat dijangkau dengan mudah. Maka, jika di suatu daerah tidak memungkinkan pembayaran berdasarkan kapitasi, BPJS Kesehatan diberi wewenang untuk melakukan pembayaran dengan mekanisme lain yang lebih berhasil guna (Kementerian Kesehatan RI, 2013b).

Semua Fasilitas Kesehatan meskipun tidak menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan wajib melayani pasien dalam keadaan gawat darurat, setelah keadaan gawat daruratnya teratasi dan pasien dapat dipindahkan, maka fasilitas kesehatan tersebut wajib merujuk ke fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan akan membayar kepada fasilitas kesehatan yang tidak menjalin kerjasama setelah memberikan pelayanan gawat darurat setara dengan tarif yang berlaku di wilayah tersebut.

(9)

d. Pertanggungjawaban BPJS Kesehatan

BPJS kesehatan wajib membayar fasilitas kesehatan atas pelayanan yang diberikan kepada peserta paling lambat 15 (lima belas) hari sejak dokumen klaim diterima lengkap. Besaran pembayaran kepada fasilitas kesehatan ditentukan berdasarkan kesepakatan antara BPJS Kesehatan dan Asosiasi Fasilitas Kesehatan di wilayah tersebut dengan mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Dalam hal tidak ada kesepakatan atas besaran pembayaran, Menteri Kesehatan memutuskan besaran pembayaran atas program JKN yang diberikan. Asosiasi Fasilitas Kesehatan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan (Kementerian Kesehatan RI, 2013c).

Dalam JKN, peserta dapat meminta manfaat tambahan berupa manfaat yang bersifat non medis berupa akomodasi. Misalnya: Peserta yang menginginkan kelas perawatan yang lebih tinggi daripada haknya, dapat meningkatkan haknya dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan, atau membayar sendiri selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan kelas perawatan, yang disebut dengan iur biaya (additional charge). Ketentuan tersebut tidak berlaku bagi peserta PBI.

Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugasnya, BPJS Kesehatan wajib menyampaikan pertanggungjawaban dalam bentuk laporan pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan (periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember). Laporan yang telah diaudit oleh akuntan publik dikirimkan

(10)

kepada Presiden dengan tembusan kepada DJSN paling lambat tanggal 30 Juni tahun berikutnya.

Laporan tersebut dipublikasikan dalam bentuk ringkasan eksekutif melalui media massa elektronik dan melalui paling sedikit 2 (dua) media massa cetak yang memiliki peredaran luas secara nasional, paling lambat tanggal 31 Juli tahun berikutnya.

2.1.4. Kepesertaan Program JKN

Peserta JKN adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar Iuran. Pekerja adalah adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lain. Sedangkan Pemberi Kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja, atau penyelenggara negara yang mempekerjakan pegawai negeri dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lainnya (Kementerian Kesehatan RI, 2013a).

Peserta tersebut meliputi: Penerima Bantuan Iuran (PBI) JKN dan bukan PBI JKN dengan rincian sebagai berikut:

a. Peserta PBI Jaminan Kesehatan meliputi orang yang tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu.

b. Peserta bukan PBI adalah Peserta yang tidak tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu yang terdiri atas:

a) Pekerja Penerima Upah dan anggota keluarganya, yaitu: Pegawai Negeri Sipil; Anggota TNI; Anggota Polri; Pejabat Negara; Pegawai Pemerintah

(11)

Non Pegawai Negeri; Pegawai Swasta; dan Pekerja yang tidak termasuk tersebut yang menerima Upah.

b) Pekerja Bukan Penerima Upah dan anggota keluarganya, yaitu: Pekerja di luar hubungan kerja atau Pekerja mandiri dan Pekerja yang tidak termasuk huruf a yang bukan penerima Upah. Pekerja tersebut termasuk warga negara asing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan. c) Bukan Pekerja dan anggota keluarganya terdiri atas: Investor; Pemberi

Kerja; Penerima Pensiun; Veteran; Perintis Kemerdekaan; dan Bukan Pekerja yang tidak termasuk tersebut yang mampu membayar iuran.

d) Penerima pensiun terdiri atas: Pegawai Negeri Sipil yang berhenti dengan hak pensiun; Anggota TNI dan Anggota Polri yang berhenti dengan hak pensiun;Pejabat Negara yang berhenti dengan hak pensiun; Penerima Pensiun selain tersebut di atas; dan Janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf d yang mendapat hak pensiun.

e) Anggota keluarga bagi pekerja penerima upah meliputi: Istri atau suami yang sah dari Peserta; dan Anak kandung, anak tiri dan/atau anak angkat yang sah dari Peserta, dengan kriteria: tidak atau belum pernah menikah atau tidak mempunyai penghasilan sendiri; dan belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum berusia 25 (duapuluh lima) tahun yang masih melanjutkan pendidikan formal. Sedangkan Peserta bukan PBI JKN dapat juga mengikutsertakan anggota keluarga yang lain.

(12)

f) WNI di Luar Negeri. Jaminan kesehatan bagi pekerja WNI yang bekerja di luar negeri diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tersendiri.

Prosedur pendaftaran Peserta program JKN meliputi:

a. Pemerintah mendaftarkan PBI JKN sebagai Peserta kepada BPJS Kesehatan. b. Pemberi Kerja mendaftarkan pekerjanya atau pekerja dapat mendaftarkan diri

sebagai Peserta kepada BPJS Kesehatan.

c. Bukan pekerja dan peserta lainnya wajib mendaftarkan diri dan keluarganya sebagai Peserta kepada BPJS Kesehatan.

Adapun hak dan kewajiban peserta program JKN berhak mendapatkan a) identitas Peserta dan b) manfaat pelayanan kesehatan di Fasilitas Kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Setiap Peserta yang telah terdaftar pada BPJS Kesehatan berkewajiban untuk: (a) membayar iuran dan (b) melaporkan data kepesertaannya kepada BPJS Kesehatan dengan menunjukkan identitas Peserta pada saat pindah domisili dan atau pindah kerja. Sedangkan masa berlaku kepesertaan JKN berlaku selama yang bersangkutan membayar iuran sesuai dengan kelompok peserta, dan status kepesertaan akan hilang bila Peserta tidak membayar Iuran atau meninggal dunia.

Kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional dilakukan secara bertahap, yaitu tahap pertama mulai 1 Januari 2014, kepesertaannya paling sedikit meliputi: PBI Jaminan Kesehatan; Anggota TNI/PNS dilingkungan Kementerian Pertahanan dan anggota keluarganya; Anggota Polri/PNS dilingkungan Polri dan anggota

(13)

keluarganya; peserta asuransi kesehatan PT Askes (Persero) beserta anggota keluarganya, serta peserta jaminan pemeliharaan kesehatan Jamsostek dan anggota keluarganya. Selanjutnya tahap kedua meliputi seluruh penduduk yang belum masuk sebagai Peserta BPJS Kesehatan paling lambat pada tanggal 1 Januari 2019.

2.1.5. Prinsip-prinsip Penyelengaraan Program JKN

Jaminan Kesehatan Nasional mengacu pada prinsip-prinsip Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) berikut (Kementerian Dalam Negeri RI, 2013):

a. Prinsip Kegotongroyongan

Gotong-royong sesungguhnya sudah menjadi salah satu prinsip dalam hidup bermasyarakat dan juga merupakan salah satu akar dalam kebudayaan kita. Dalam SJSN, prinsip gotong royong berarti peserta yang mampu membantu peserta yang kurang mampu, peserta yang sehat membantu yang sakit atau yang berisiko tinggi, dan peserta yang sehat membantu yang sakit. Hal ini terwujud karena kepesertaan SJSN bersifat wajib untuk seluruh penduduk, tanpa pandang bulu. Dengan demikian, melalui prinsip gotong-royong jaminan sosial dapat menumbuhkan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia. b. Prinsip Nirlaba

Pengelolaan dana amanat oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah nirlaba bukan untuk mencari laba (for profit oriented). Sebaliknya, tujuan utama adalah untuk memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta. Dana yang dikumpulkan dari masyarakat adalah dana amanat, sehingga hasil pengembangannya, akan di manfaatkan untuk kepentingan peserta.

(14)

c. Prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas. Prinsip prinsip manajemen ini mendasari seluruh kegiatan pengelolaan dana yang berasal dari iuran peserta dan hasil pengembangannya.

d. Prinsip Portabilitas

Prinsip portabilitas jaminan sosial dimaksudkan untuk memberikan jaminan yang berkelanjutan kepada peserta sekalipun mereka berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

e. Prinsip Kepesertaan Bersifat Wajib

Kepesertaan wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi peserta sehingga dapat terlindungi. Meskipun kepesertaan bersifat wajib bagi seluruh rakyat, penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat dan pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan program. Tahapan pertama dimulai dari pekerja di sektor formal, bersamaan dengan itu sektor informal dapat menjadi peserta secara mandiri, sehingga pada akhirnya SJSN dapat mencakup seluruh rakyat.

f. Prinsip Dana Amanat

Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan dana titipan kepada badan-badan penyelenggara untuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka mengoptimalkan dana tersebut untuk kesejahteraan peserta.

g. Prinsip hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.

(15)

2.2. Sistem Kapitasi Program JKN

Metode membayar dokter merupakan isu yang sangat menentukan, mengingat peranan dan fungsi profesi dokter yang sangat strategis dalam suatu sistem pelayanan kesehatan. Dokter bukan saja bertindak sebagai pemberi layanan, tapi juga sebagai penyerap biaya yang cukup bermakna, dan yang tidak kalah penting adalah perilaku dan kinerja dokter berpengaruh besar pada total biaya pelayanan kesehatan di suatu negara. Oleh sebab itu sejak zaman Hipocrates sampai saat ini dicari cara membayar dokter yang dapat memuaskan berbagai pihak. Berbagai metode telah dicoba dan digunakan, seperti salary, FFS, dan kapitasi, tetapi tetap saja belum memenuhi harapan karena setiap metode ini memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri. 2.2.1. Pengertian Metode Kapitasi

Menurut Hendrartini (2007), konsep kapitasi (capitation concept system) adalah sebuah konsep atau sistem pembayaran yang memberi imbalan jasa pada ”Health providers” (Pemberi Pelayanan Kesehatan/PPK) berdasar jumlah orang (capita) yang menjadi tugas/kewajiban PPK yang bersangkutan untuk melayaninya, yang diterima oleh PPK yang bersangkutan di muka (prepaid) dalam jumlah yang tetap, tanpa memperhatikan jumlah kunjungan, pemeriksaan, tindakan, obat dan pelayanan medik lainnya yang diberikan oleh PPK tersebut.

Metode kapitasi adalah metode pembayaran di muka (prospective) dengan nilai tetap (fixed fee) per peserta per bulan. Dalam metode ini dokter dibayar berdasarkan jumlah peserta yang mendaftar kepadanya, tidak bergantung pada frekuensi kunjungan, intensitas dan kompleksitas pelayanan, serta biaya yang

(16)

dikeluarkan untuk kepentingan peserta. Besarnya nilai kapitasi dihitung berdasarkan jenis-jenis pelayanan yang disepakati harus disediakan untuk peserta dengan mempertimbangkan pola pemanfaatan oleh peserta, dan dikoreksi (adjusted) dengan faktor tertentu seperti umur dan jenis kelamin. Berdasarkan perjanjian, dokter sepakat untuk memberikan pelayanan kepada pasien selama satu periode, biasanya satu tahun, dan menanggung seluruh biaya yang terkait dengan jenis pelayanan yang disepakati.

Pada dasarnya metode kapitasi adalah pembayaran berbasis populasi (population-based). Sifat alami metode kapitasi adalah pemberi layanan dilibatkan untuk menanggung risiko finansial pembiayaan kesehatan peserta (risk-transfered). Inheren dengan risk-transfered ini adalah kecenderungan dokter untuk memilih peserta yang sehat (adverse selection) dan mengurangi pelayanan yang menjadi hak peserta (under-serviced), karena ia dihadapkan pada risiko merugi bila di antara pesertanya banyak yang memiliki faktor risiko dan penyakit yang membutuhkan pelayanan yang kompleks, mahal, dan beban kerja tinggi. Makin kecil jumlah peserta makin besar risiko yang dihadapi dokter. Oleh sebab itu idealnya jumlah peserta minimal 1000 orang.

2.2.2. Mekanisme Metode Kapitasi

Dalam metode kapitasi, kedua belah pihak (pembayar dan dokter) harus sepakat tentang jenis layanan apa saja yang akan disediakan untuk peserta dan yang biayanya dicakup dalam kapitasi. Jenis layanan ini harus diuraikan dengan jelas, karena lingkup pelayanan ini akan menentukan beban kerja dokter, tim dan perangkat

(17)

kerja dokter, serta biaya praktik dokter. Lingkup pelayanan ini harus pula diketahui peserta, agar peserta tidak menuntut pelayanan yang bukan haknya.

Dalam metode kapitasi DLP mempunyai daftar peserta (patient-roster/patient-list/ capitation-list) yang menjadi tanggung jawabnya. Penentuan peserta mana yang masuk dalam daftar peserta seorang DLP dapat diatur dengan 3 cara, yaitu: (Gatot S, 2006)

a) Memberi kebebasan kepada peserta untuk memilih DLP yang ada di direktori asuradur (voluntary). Cara ini lazimnya diterapkan di daerah pekotaan karena jumlah peserta besar, jumlah DLP tersebar merata, dan akses transportasi tidak ada masalah. Adanya kebebasan ini memotivasi DLP untuk bersaing menjaga mutu layanan dan kepuasan peserta.

b) Prosedur menetapkan ke DLP mana peserta harus berobat (appointed). Cara ini biasanya digunakan bila jumlah peserta terbatas dan untuk menjaga agar daftar peserta tidak di bawah batas minimum.

c) Menyerahkan pelayanan kesehatan seluruh penduduk di satu wilayah kepada seorang DLP (geographic capitation). Cara ini lazimnya diterapkan di daerah terpencil

Untuk menghindari adverse selection dan under-services, pendapatan DLP dalam metode kapitasi diatur mengikuti sebuah formula yang dibuat berdasarkan variabel yang sahih, seperti ciri demografi (jumlah penduduk, umur, jenis kelamin), mortalitas dan morbiditas, pengalaman dan kompetensi dokter. Formula ini digunakan untuk mengoreksi kapitasi (adjustment) agar risiko terbagi merata, ada

(18)

kesetaraan alokasi dana, dan dokter tidak merugi. Dengan begitu, pendapatan DLP akan berbeda, meskipun memiliki jumlah peserta sama dan kapitasi per peserta per tahun juga sama.

Metode kapitasi dapat diterapkan dalam berbagai variasi sesuai dengan kondisi setempat dan tujuan yang ingin dicapai. Variasi ini dapat terjadi karena perbedaan lingkup pelayanan, sehingga ada kapitasi lengkap (full capitation) dan kapitasi parsial (partial capitation). Dari pengelolaan dan pembayaran, dikenal kapitasi dengan wildhold dan kapitasi tanpa wildhold, atau kapitasi dengan risk-pool dan kapitasi tanpa risk-pool. Dua cara terakhir ini lazimnya diterapkan untuk mengurangi risiko dan memotivasi dokter mengendalikan suatu jenis pelayanan, antara lain mengendalikan rujukan.

Metode kapitasi lebih mudah diterapkan di strata primer dan lebih mudah diterima oleh DLP ketimbang dokter spesialis, mengingat konsep kapitasi dan konsep pelayanan primer dapat dikatakan sejalan. Kunjungan ke DLP sebagian besar mengenai masalah kesehatan sehari-hari (daily problems), yang probabilitas kejadiannya tinggi. Cara dan sumber daya untuk mengatasi masalah ini juga tidak terlalu bervariasi, dan biayanya mudah diprediksi. Hal-hal ini yang membedakannya dengan pelayanan di strata sekunder/tersier yang umumnya memiliki probalilitas relatif kecil dan variasi pembiayaannya sangat beragam, meskipun kadangkala diagnosisnya sama.

Berdasarkan Perpres No 13 Tahun 2013 pasal 39 menjelaskan bahwa BPJS Kesehatan melakukan pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan tingkat pertama secara

(19)

pra upaya berdasarkan kapitasi atas jumlah Peserta yang terdaftar di Fasilitas Kesehatan tingkat pertama. Sedangkan untuk fasilitas kesehatan rujukan (rumah sakit) sistem pembayaran berdasarkan cara Indonesian Case Based Groups (INACBG’s).

Besaran kapitasi dan INA-CBG’s ditinjau sekurang-kurangnya setiap 2 (dua) tahun sekali oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. selain itu berdasarkan pasal 40 menjelaskan bahwa (Perpres No 13 Tahun 2013):

1) Pelayanan gawat darurat yang dilakukan oleh Fasilitas Kesehatan yang tidak menjalin kerjasama dengan BPJS Kesehatan dibayar dengan penggantian biaya yang ditagihkan langsung oleh Fasilitas Kesehatan kepada BPJS Kesehatan;

2) BPJS Kesehatan memberikan pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan setara dengan tarif yang berlaku di wilayah tersebut

Tarif kapitasi adalah besaran pembayaran per bulan yang dibayar dimuka oleh BPJS kesehatan kepada fasilitas tingkat pertama berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan. Tarif kapitasi untuk setiap fasilitas kesehatan tingkat pertama disesuaikan dengan rentang nilai yang besarannya ditetapkan berdasarkan seleksi dan kredensial yang dilakukan oleh BPJS kesehatan. Selain itu, tarif kapitasi ini diberlakukan bagi fasilitas kesehatan tingkat pertama yang melaksanakan pelayanan kesehatan

(20)

komprehensif kepada peserta program jaminan kesehatan berupa rawat jalan tingkat pertama.

Dalam menetapkan pilihan fasilitas kesehatan, BPJS kesehatan melakukan seleksi dan kredensialing dengan menggunakan kriteria teknis meliputi (1) sumber daya manusia, (2) kelengkapan sarana dan prasarana, (3) lingkup pelayanan, dan (4) komitmen pelayanan. Kriteria tersebut digunakan untuk penetapan kerjasama dengan BPJS kesehatan, jenis dan luasnya pelayanan, besaran kapitasi dan jumlah peserta yang bisa dilayani

2.2.3. Dampak Positif dan Negatif Metode Kapitasi A. Dampak Positif Metode Kapitasi

Adapun dampak positif metode kapitasi adalah : (1) Bagi Dokter

a. Dokter mempunyai kepastian berapa pendapatannya dalam satu periode dan untuk mengamankan pendapatannya dokter akan berupaya agar peserta yang terdaftar dalam komunitas binannya merasa puas dengan layanannya dan tidak pindah ke dokter lain.

b. Dokter terdorong untuk bekerja efisien dan rasional, karena setiap layanan yang diberikan kepada pasien menjadi biaya yang harus ditanggung dokter. Oleh sebab itu dokter berusaha meresepkan obat generik, serta menghindari tindakan yang mahal dan kunjungan berulang untuk meminimalkan biaya pelayanan.

(21)

c. Dokter terdorong untuk melakukan upaya promotif-preventif seperti edukasi pola hidup sehat, diet, kebugaran, berhenti merokok, dan upaya lain yang dapat meningkatkan status kesehatan dan mengedalikan biaya kesehatan di kemudian hari, yang pada gilirannya mengamankan pendapatan dokter.

d. Dokter yang praktik bersama melayani banyak peserta akan lebih efisien dan pendapatannya lebih aman ketimbang dokter yang berpraktik sendiri. Dengan bekerja dalam kelompok dokter dapat berbagi risiko, pengeluaran, dan perangkat kerja.

(2) Bagi Pasien

a. Pasien cenderung mendapat pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan dan tindakan yang berlebihan jarang terjadi, karena dokter tidak mendapat insentif finansial untuk melakukan tindakan yang berlebihan (over treatment).

b. Hubungan dokter dengan individu peserta, atau antara sekelompok dokter dengan komunitas peserta menjadi lebih baik dan bersinambung dan hal ini memudahkan dokter mengidentifikasi masalah kesehatan peserta.

c. Perencanaan dan pengendalian biaya kesehatan dari suatu populasi lebih mudah mengingat pengeluaran biaya identik dengan besar populasi yang dilayani dikalikan nilai kapitasi yang sudah pasti.

(22)

B. Dampak Negatif Metode Kapitasi

Adapun dampak negatif metode kapitasi adalah : (1) Bagi Dokter

a. Dokter cenderung untuk memilih pasien yang relatif sehat dan yang berusia muda (cream skimming/cherry picking). Untuk mengamankan biaya operasionalnya dokter berusaha menolak pasien yang memiliki risiko tinggi dan memerlukan pelayanan yang banyak dan rumit (adverse selection)

b. Dokter termotivasi untuk membatasi jumlah layanan atau mengurangi layanan yang seharusnya diberikan kepada pasien (under-servicing) dan tidak memberikan pelayanan berkualitas tinggi yang biasanya mahal (under-quality) karena ingin meningkatkan pendapatannya.

c. Dokter termotivasi untuk merujuk pasien berlebihan kestrata sekunder (over-referral), seperti kespesialis atau rumah sakit untuk menghemat biaya operasionalnya sendiri

(2) Bagi Pasien

a. Pasien bisa mendapatkan pelayanan yang kurang optimal (under service), karena dokter cenderung menekan biaya, sehingga mengorbankan kualitas dan kuantitas pelayanan.

b. Pasien tidak memiliki kebebasan memilih dokter dan hanya bisa berobat pada dokter atau kelompok dokter yang telah ditentukan.

(23)

c. Pasien yang memiliki banyak masalah kesehatan dan pengobatannya kompleks dan membutuhkan banyak biaya cenderung dihindari atau dikeluarkan dari daftar peserta (adverse selection)

2.2.4. Administrasi Metode Kapitasi

Administrasi metode kapitasi relatif mudah dan sederhana, dan tidak memerlukan biaya mahal, karena tidak perlu mencatat dan melakukan verifikasi data layanan. Bila daftar peserta dan nilai kapitasi per peserta per bulan sudah ditetapkan, menghitung dana yang akan diberikan kepada seorang dokter tidak rumit.

Biaya adminstrasi yang dikeluarkan bisa tinggi bila harus menyiapkan manajemen kepesertaan. Biaya administrasi yang juga besar adalah untuk menerapkan sistem monitoring dokter untuk memastikan dokter memberikan pelayanan yang layak pada para pasien, untuk menentukan besaran dan formula kapitasi, dan untuk negosiasi kontrak.

Namun metode ini perlu dinaungi rambu-rambu regulasi untuk menghilangkan sisi negatifnya, antara lain dengan langkah berikut :

a) Membuat kebijakan open enrollment pada suatu wilayah geografis atau wilayah administratif pemerintahan. Kebijakan ini dapat mencegah dokter memilih pasien yang relatif sehat saja ke dalam daftar peserta mereka. Sebaliknya ini juga menguntungkan dokter karena mengurangi risiko daftar peserta didominasi oleh pasien yang relatif kurang sehat.

b) Membuat kebijakan yang dapat mendorong persaingan antar-dokter. Kalau pasien secara berkala diberi kesempatan untuk memilih dokter, dokter akan

(24)

menjaga kualitas dan kuantitas pelayanan mereka agar pasiennya tidak pindah ke dokter lain.

c) Menetapkan paket layanan yang memasukkan banyak pelayanan yang ada pada tingkat sekunder. Misalnya kalau kunjungan ke spesialis termasuk dalam paket layanan kapitasi seorang dokter, maka ia tidak terdorong untuk merujuk pasiennya ke spesialis.

d) Membuat sebuah sistem pengawasan dan pengendalian mutu untuk mencegah dokter mengorbankan kualitas dalam memaksimalkan pendapatannya.

2.2.5. Sistem Pembayaran Klaim Program JKN

Berdasarkan Paduan Praktis Administrasi Klaim Faskes BPJS Kesehatan (2014), bahwa fasilitas Kesehatan mengajukan klaim setiap bulan secara reguler paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya, kecuali kapitasi, tidak perlu diajukan klaim oleh Fasilitas Kesehatan. BPJS Kesehatan wajib membayar Fasiltas Kesehatan atas pelayanan yang diberikan kepada peserta paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak dokumen klaim diterima lengkap di Kantor Cabang/Kantor Operasional Kabupaten/Kota BPJS Kesehatan.

1. Administrasi Klaim Program JKN

Sesuai Paduan Praktis Administrasi Klaim Faskes BPJS Kesehatan (2014), adapun Kelengkapan administrasi klaim umum :

a. Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama

(25)

2) Softcopy data pelayanan bagi Fasilitas Kesehatan yang telah menggunakan aplikasi P-Care/aplikasi BPJS Kesehatan lain (untuk PMI/UTD) atau rekapitulasi pelayanan secara manual untuk Fasilitas Kesehatan yang belum menggunakan aplikasi P-Care.

3) Kuitansi asli bermaterai cukup

4) Bukti pelayanan yang sudah ditandatangani oleh peserta atau anggota keluarga.

5) Kelengkapan lain yang dipersyaratkan oleh masing-masing tagihan klaim b. Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan

1) Formulir pengajuan klaim (FPK) rangkap 3 (tiga), 2) Softcopy luaran aplikasi

3) Kuitansi asli bermaterai cukup

4) Bukti pelayanan yang sudah ditandatangani oleh peserta atau anggota keluarga.

2. Klaim Program JKN

a. Klaim Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP)

Biaya pelayanan RJTP dibayar dengan kapitasi, yaitu berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar di Fasilitas Kesehatan tersebut tanpa pengenaan iur biaya kepada peserta. Besaran kapitasi adalah sebagai berikut:

(26)

Tabel 2.1. Besar Kapitasi Klaim Rawat Jalan Tingkat Pertama

No Fasilitas Kesehatan Tarif

1 Puskesmas/fasilitas kesehatan yang setara Rp.3.000-Rp.6.000,- 2 RS Pratama, Klinik Pratama, Praktek Dokter atau

Fasilitas Kesehatan yang setara Rp.8.000-Rp.10.000,- 3 Praktek Dokter Gigi di luar Fasilitas Kesehatan

No 1 atau 2 Rp.2.000,-

Sumber: Kemenkes RI, 2014

b. Klaim Rawat Jalan Rawat Inap Tingkat Pertama (RITP)

Biaya pelayanan RITP dibayar dengan paket per hari rawat dengan besaran Rp100.000,00 per hari. Pasien tidak boleh ditarik iur biaya. Pengajuan klaim RITP atas pelayanan yang sudah diberikan kepada peserta pada bulan sebelumnya diajukan secara kolektif setiap bulan oleh Fasilitas Kesehatan tingkat pertama kepada Kantor Cabang/Kantor Operasional Kabupaten/Kota BPJS Kesehatan, dengan menyampaikan kelengkapan administrasi umum.

3. Persalinan atau Maternal dan Neonatal non Kapitasi di Faskes Tingkat Pertama Biaya pelayanan persalinan/maternal dan neonatal non kapitasi adalah tarif tanpa pengenaan iur biaya kepada peserta, sebagai berikut:

Tabel 2.2. Besar Kapitasi Klaim Persalinan atau Maternal dan Neonatal Non Kapitasi di Faskes Tingkat Pertama

No Jenis Pelayanan Tarif

1 Pemeriksaan ANC Rp.25.000,-

2 Persalinan Pervaginam Normal Rp. 600.000,- 3 Penanganan Perdarahan Pasca Keguguran, persalinan

pervaginam dengan tindakan emergency Rp. 750.000,-

(27)

Tabel 2.2. (Lanjutan)

No Jenis Pelayanan Tarif

5 Pelayanan Tindakan Pasca Persalinan Rp. 175.000,- 6 Pelayanan Pra Rujukan pada komplikasi kebidanan dan

Neonatal Rp. 125.000,- 7 Pelayanan KB: - IUD/Implant - Suntik Rp. 100.000,- Rp. 15.000,- 8 Penanganan Komplikasi KB Pasca Persalinan Rp.125.000,- Sumber: Kemenkes RI, 2014

4. Pelayanan Darah

Tarif darah disesuaikan dengan tarif yang diatur di masing-masing daerah, maksimal Rp360.000,00 per kantong. Biaya pelayanan darah terdiri dari jasa, sarana dan darah per kantong darah. Biaya jasa dan bahan, alat medis habis pakai termasuk transfusi set yang digunakan dalam pelayanan transfusi darah sudah termasuk paket rawat inap di Puskesmas atau Klinik.

Klaim darah diajukan kepada Kantor Cabang/ Kantor Operasional Kabupaten/Kota BPJS Kesehatan secara kolektif setiap bulan oleh PMI atau UTD setempat dengan kelengkapan administrasi umum.

5. Pelayanan Obat Program Rujuk Balik

Tarif Obat Program Rujuk Balik sesuai e-catalog ditambah faktor pelayanan dan embalage. Peresepan obat Program Rujuk Balik sesuai dengan Daftar Obat Program Rujuk Balik. Harga dasar obat Program Rujuk Balik sesuai dengan e-catalog atau sesuai ketentuan yang berlaku.

(28)

Klaim obat PRB ditagihkan secara kolektif oleh Apotek PRB/Depo Farmasi kepada BPJS Kesehatan maksimal tanggal 10 bulan berikutnya. Klaim diajukan kepada Kantor Cabang/Kantor Operasional Kabupaten/Kota BPJS Kesehatan secara kolektif setiap bulan oleh Apotek PRB dengan kelengkapan administrasi umum. 6. Pemeriksaan Penunjang Program Rujuk Balik

Pelayanan pemeriksaan penunjang Program Rujuk Balik (PRB) yang dijamin oleh BPJS Kesehatan adalah pemeriksaan Gula Darah Puasa, Gula Darah Post Prandial dan Gula Darah Sewaktu. Tarif pemeriksaan GDS, GDP dan GDPP berdasarkan kesepakatan antara BPJS Kesehatan dengan Fasilitas Kesehatan dengan range tarif Rp10.000,00 - Rp20.000,00. Pemeriksaan Gula Darah Sewaktu, Glukosa Darah Puasa (GDP) dan Glukosa Darah Post Prandial (GDPP) dilakukan 1 (satu) bulan sekali.

Pemeriksaan lain selain yang termasuk dalam komponen paket kapitasi dan selain GDP, GDPP dan GDS dilakukan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan dan biayanya sudah termasuk dalam paket INA CBG’s. Klaim diajukan secara kolektif oleh Laboratorium/Fasilitas Kesehatan kepada BPJS Kesehatan maksimal tanggal 10 bulan berikutnya. Klaim diajukan kepada Kantor Cabang/ Kantor Operasional Kabupaten/Kota BPJS Kesehatan secara kolektif setiap bulan dengan kelengkapan administrasi umum.

7. Pelayanan Pemeriksaan Penunjang Skrining Kesehatan

Pelayanan pemeriksaan penunjang diberikan kepada Peserta BPJS Kesehatan yang telah mendapatkan analisis riwayat kesehatan dengan hasil teridentifikasi

(29)

mempunyai risiko penyakit tertentu. Pelayanan pemeriksaan penunjang Skrining Kesehatan yang dijamin oleh BPJS Kesehatan adalah (1) Pemeriksaan IVA, (2) Pemeriksaan Pap smear, (3) pemeriksaan Gula Darah Puasa, dan (4) pemeriksaan Gula Darah Post Prandial. Tarif pemeriksaan berdasarkan kesepakatan antara BPJS Kesehatan dengan Fasilitas Kesehatan dengan range tarif sebagai berikut :

1) Pemeriksaan IVA: Maksimal Rp25.000,00 ; 2) Pemeriksaan Pap Smear: Maksimal Rp125.000,-

3) Pemeriksaan Gula Darah: Rp10.000,00 sd Rp20.000,00

Klaim diajukan oleh Laboratorium/Fasilitas Kesehatan kepada Kantor Cabang/Kantor Operasional Kabupaten/Kota BPJS Kesehatan secara kolektif maksimal tanggal 10 bulan berikutnya dengan kelengkapan administrasi umum.

8. Pelayanan Lain di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama

1) Pelayanan lain di Fasilitas Kesehatan tingkat pertama yang dijamin oleh BPJS Kesehatan adalah pelayanan terapi krio untuk kasus pemeriksaan IVA positif . 2) Tarif pelayanan terapi krio adalah Rp150.000,00

2) Pelayanan terapi krio diberikan kepada Peserta BPJS Kesehatan yang telah teridentifikasi positif IVA berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang skrining kesehatan.

3) Pelayanan terapi krio diajukan secara kolektif bersama dengan klaim tingkat pertama lainnya oleh Fasilitas Kesehatan kepada BPJS Kesehatan maksimal tanggal 10 bulan berikutnya.

(30)

4) Klaim diajukan kepada Kantor Cabang/ Kantor Operasional Kabupaten/Kota BPJS Kesehatan secara kolektif setiap bulan dengan kelengkapan administrasi umum

3. Klaim Faskes Tingkat Lanjutan 1. Rawat Jalan Tingkat Lanjutan

a) Biaya pelayanan kesehatan rawat jalan tingkat lanjutan dibayar dengan paket INA CBGs tanpa pengenaan iur biaya kepada peserta.

b) Tarif paket INA CBG’s sesuai dengan ketetapan Menteri Kesehatan Republik Indonesia dalam Permenkes No 69 Tahun 2013 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.

c) Tarif paket INA CBGs sudah mencakup biaya seluruh pelayanan yang diberikan kepada peserta BPJS Kesehatan, baik biaya administrasi, jasa pelayanan, sarana, alat/bahan habis pakai, obat dan lain-lain.

d) Klaim diajukan secara kolektif oleh fasilitas kesehatan kepada BPJS Kesehatan maksimal tanggal 10 bulan berikutnya menggunakan aplikasi INA CBGs Kementerian Kesehatan yang berlaku.

2. Rawat Inap Tingkat Lanjutan

a) Biaya pelayanan kesehatan rawat inap tingkat lanjutan dibayar dengan paket INA CBGs tanpa pengenaan iur biaya kepada peserta.

(31)

b) Tarif paket INA CBGs sesuai dengan ketetapan Menteri Kesehatan Republik Indonesia dalam Permenkes No 69 Tahun 2013 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.

c) Tarif paket INA CBGs sudah mencakup biaya seluruh pelayanan yang diberikan kepada peserta BPJS Kesehatan, baik biaya administrasi, jasa pelayanan, sarana, alat/bahan habis pakai, obat, akomodasi dan lain-lain. d) Klaim diajukan secara kolektif oleh fasilitas kesehatan kepada BPJS

Kesehatan maksimal tanggal 10 bulan berikutnya dalam bentuk softcopy (luaran aplikasi INA CBGs Kementerian Kesehatan yang berlaku) dan hardcopy (berkas pendukung klaim).

e) Tagihan klaim di fasilitas kesehatan lanjutan menjadi sah setelah mendapat persetujuan dan ditandatangani Direktur/Kepala Fasilitas Kesehatan lanjutan dan Petugas Verifikator BPJS Kesehatan.

2.3. Kebijakan

2.3.1. Pengertian Kebijakan

Secara etimologi kata, Kebijakan Publik (Public Policy) terdiri dari “Kebijakan” (policy) dan “Publik” (public). Kamus Bahasa Inggris Oxford mendifinisikan Policy sebagai: “political sagacity, statecraft, prudent conduct, craftiness, course of action adopted by government, party etc.” Dalam istilah yang

(32)

umum “kebijakan” dianggap berlaku untuk sesuatu yang besar, tetapi lebih kecil dibanding dengan gerakan sosial. Adapun publik, mengandung pengertian suatu ruang atau domain dalam kehidupan bersama atau milik umum, dan bukan milik individu atau privat (Suharto dan Retnoningsih, 2012).

Kebijakan publik (public policy) merupakan fungsi dari pilar organisasi dan manajemen. Unsur organisasi di dalam perspektif ini adalah 'Negara', sedang unsur manajemen adalah 'Pemerintahan'. Negara dipandang sebagai suatu wadah atau organisasi dalam arti statis. Unsur ini memerlukan mesin penggerak yang dapat mendinamisasikannya, yang di dalam sistem kenegaraan lebih dikenal sebagai pemerintahan.

Menurut Dunn (1993) dalam Suharto (2008), kebijakan Publik adalah pedoman yang berisi nilai-nilai dan norma-norma yang mempunyai kewenangan untuk mendukung tindakan-tindakan pemerintah dalam wilayah yurisdiksinya. Pengertian kebijakan publik menurut Dunn dimaksud, dilihat dari pendekatan pembuatan keputusan (decision making). Sedangkan menurut Solly (2012) konsep kebijakan publik meliputi alokasi nilai yang otoritatif untuk seluruh masyarakat akan tetapi hanya pemerintahlah yang dapat berbuat secara otoritatif untuk seluruh masyarakat, dan semuanya yang dipilih oleh pemerintah untuk dikerjakan atau untuk tidak dikerjakan adalah hasil-hasil dari alokasi nilai-nilai tersebut.

2.3.2. Analisis Kebijakan

Analisa Kebijakan menurut Dunn (1993) dalam Suharto (2008) adalah suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa,

(33)

sehingga dapat memberikan landasan dari para pembuat kebijakan dalam membuat keputusan. Dalam Analisis kebijakan, kata analisis digunakan dalam pengertian yang paling umum termasuk penggunaan intuisi dan pengungkapan pendaapat dan mencakup tidak hanya penguji kebijakan dengan memilah-milahkannya ke dalam sejumlah komponen-komponen tetapi juga perancangan dan sintesis alternatif-alternatif baru (Suharto, 2008).

Kegiatan-kegiatan yang tercakup dapat direntangkan mulai penelitian untuk menjelaskan atau memberikan pandangan-pandangan terhadap isu-isu atau masalah-masalah yang terantisipasi sampai mengevaluasi suatu program yang lengkap. Analisis kebijakan mempunyai tujuan yang bersifat penanda (designative) dengan pendekatan empiris (berdasarkan fakta), bersifat penilaian dengan pendekatan evaluative dan bersifat anjuran dengan pendekatan publik.

Analisan kebijakan sosial menurut Suharto (2008) adalah seperangkat tindakan (course of action), kerangka kerja (framework), petunjuk (guideline), rencana (plan), peta (map) atau strategi, yang dirancang untuk menterjemahkan visi politis pemerintah atau lembaga pemerintah ke dalam program dan tindakan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang kesejahteraan sosial (social walfare).

2.3.3. Implementasi Kebijakan Publik

Analisis Implementasi Kebijakan merupakan suatu analisis yang bersifat evaluative dengan kunsekuensi lebih melakukan retrospektif daripada prospektif. Suatu Kebijakan setelah diimplementasikan/dilaksanakan dapat dinilai atau dievaluasi. Hasil penilaian digunakan untuk mengkritik proses implementasi maupun

(34)

isi kebijakan. Hasil ini mungkin juga akan menghasilkan cara pandang terhadap masalah kebijakan yang berbeda dengan cara pengenalan masalah pada awal pembuatan kebijakan (Agustino, 2008)

Studi implementasi merupakan suatu kajian mengenai studi kebijakan yang mengarah pada proses pelaksanaan suatu kebijakan, yang dalam prakteknya implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang rumit, yang tidak lepas dari intervensi berbagai pihak yang berkepentingan. Mengacu kepada Dunn (1993) dalam Solly (2012), implementasi kebijakan sesuai tahap dalam proses pembuatan kebijakan, berada pada tahap keempat, dengan urutan : penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan terakhir penilaian kebijakan.

Sedangkan Mazmanian dan Sabatier dalam Agustino (2008) mendefinisikan implementasi kebijakan, sebagai pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin di atasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya.

Implementasi kebijakan merupakan tahap dimana rumusan-rumusan ideal yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan dipraktekan oleh aktoraktor, melalui tahapan, proses dan prosedur agar memberikan dampak perubahan sesuai yang diharapkan. Namun, kenyataannya birokrasi tidak selalu mengimplementasikan

(35)

kebijakan sebagaimana yang diharapkan. Implementasi kebijakan menyangkut 3 hal, yaitu: (1) adanya tujuan dan sasaran kebijakan; (2) adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan; dan (3) adanya hasil kegiatan (Agustino, 2008).

2.3.4. Model Determinan Implementasi Kebijakan

Menurut Nawawi (2009) berbagai pendekatan dalam implementasi kebijakan baik terkait dengan implementor, sumber daya, lingkungan, metoda, permasalahan dan tingkat kemajemukan yang dihadapi di masyarakat. Sumber Daya manusia sebagai implementor mempunyai peranan yang penting dalam pengendalian implementasi kebijakan publik.

1. Teori Goerge C. Edward III

Model implementasi kebijakan yang bersifat top down menurut pandangan Edward III (1980) (dalam Nugroho, 2006) dipengaruhi oleh empat variabel:

a. Komunikasi

Implementasi kebijakan publik agar dapat mencapai keberhasilan, mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan secara jelas. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus diinformasikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi

b. Sumber Daya

Dalam implementasi kebijakan harus ditunjang oleh sumber daya baik sumber daya manusia, material, dan metoda. Sasaran, tujuan dan isi kebijakan walaupun sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor

(36)

kekurangan sumber daya untuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan efektif dan efisien.

c. Disposisi

Suatu disposisi dalam implementasi dan karakteristik, sikap yang dimiliki oleh implementor kebijakan, seperti komitmen, kejujuran, komunikatif, cerdik dan bersifat demokratis.

d. Struktur Birokrasi

Organisasi, memyediakan peta sederhana untuk menunjukkan secara umum kegiatan-kegiatannya dan jarak dari puncak menunjukkan status relatifnya. Garis-garis interaksi formal yang ditetapkan.

2. Teori Donal S. Van Meter & Carl E. Van Horn (1975)

Implementasi kebijakan menurut Donald S. Van meter & Carl E. Van Horn dalam Suharto (2008), ada 6 variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yakni:

a. Standard dan sasaran kebijakan, setiap kebijakan publik harus mempunyai standard dan suatu sasaran kebijakan yang jelas dan terukur. Dengan ketentuan tersebut tujuannya dapat terwujudkan.

b. Sumberdaya implementasi, dalam implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya baik sumberdaya manusia (human resources), maupun sumber daya material (material resources) dan sumber daya metoda (method resources)

(37)

b. Komunikasi antar organisasi, dalam banyak program implementasi kebijakan, sebagai realitas dari program kebijakan perlu hubungan yang baik antar instansiterkait, yaitu dukungan komunikasi dan koordinasi

c. Karakteristik agen pelaksana, dalam suatu implementasi kebijakan agar mencapai keberhasilan maksimal harus diidentifikasikan dan diketahui karakteristik agen pelaksananya.

d. Disposisi implementor, dalam implementasi kebijakan sikap atau disposisi implementor ini dibedakan menjadi 3 hal: (a) respons implementor terhadap kebijakan, (b) kondisi, (c) intensitas disposisi implementor.

e. Lingkungan kondisi sosial, ekonomi dan politik. Variabel ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilam implementasi kebijakan, sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan; karakteristik partisipan, yakni mendukung dan menolak; bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan dan apakah elite politik mendukung implementasi kebijakan. 3. Teori Marille S. Grindle (1980)

Menurut Merille S. Grindle (1980) bahwa keberhasilan implementasi kebijakan publik dipengaruhi oleh dua variabel yang fundamental, yakni isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation). Variabel tersebut mencakup hal sebagai berikut, yaitu: (1) sejauh mana kepentingan kelompok atau sasaran atau target group termuat dalam isi kebijakan publik; (2) jenis

(38)

manfaat yang diterima target group; (3) sejauhmana perubahan yang diinginkan oleh kebijakan (Nugroho, 2006)

Menurut Agustino (2008) isi kebijakan adalah (a) kepentingan-kepentingan yang berpengaruh, (b) tipe manfaat, (c) derajat perubahan yang ingin dicapai, (d) letak pengambil keputusan, (e) pelaksana program, dan (f) sumber-sumber daya yang digunakan.

Sedangkan Context of Policy adalah (a) Power, Interest and strategy of Actor Involve (Kekuasaan,Kepentingan-kepentingan dan strategi dari actor yang terlibat), (b) Institution and regime Characteristic (karakteristik lembaga dan rezim yang berkuasa), dan (c) Compliance and Responsiveness (tingkat kepatuhan dan adanya respon dari pelaksana).

4. Teori Danielle A.Mazmanian & Paul A. Sabatier (1983)

Mazmanian & Sabatier (1983) dalam Suharto (2008) mengungkapkan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan publik dipengaruhi oleh tiga kelompok variabel: (1) karakteristik masalah; (2) karakteristik kebijakan/undang-undang; (3) variabel lingkungan.

5. Teori G. Shabbir Cheema & Dennis A. Rondinelli (1983)

Ada empat kelompok variabel yang dapat mempengaruhi kinerja dan dampak suatu program, yaitu (1) kondisi lingkungan; (2) hubungan antar organisasi; (3) sumberdaya organisasi untuk implementasi program; (4) karakteristik dan kemampuan agen pelaksana.

(39)

2.3.5. Faktor-faktor yang Memengaruhi Implementasi Kebijakan

Berdasarkan beberapa teori yang telah dikemukakan oleh para ahli tersebut di atas, guna pembatasan dalam penelitian ini maka peneliti memilih pendekatan yang dikemukakan oleh Edward III, yang dianggap relevan dengan materi pembahasan dari obyek yang diteliti. Hal ini bukan berarti bahwa peneliti menjustifikasi teori-teori lain tidak lagi relevan dengan perkembangan teori implementasi kebijakan publik, melainkan lebih mengarahkan kepada peneliti agar lebih fokus terhadap variabel-variabel yang dikaji melalui penelitian ini, sehingga membantu dalam menjawab tujuan dari penelitian ini.

Edward III (dalam Nugraha, 2006) menyarankan untuk memperhatikan empat isu pokok agar implementasi kebijakan menjadi efektif, yaitu:

a. Komunikasi (Communication)

Komunikasi merupakan suatu hal yang sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik. Komunikasi menyangkut proses penyampaian informasi atau transmisi, kejelasan informasi tersebut serta konsistensi informasi yang disampaikan. Komunikasi sangat penting, karena suatu program hanya dapat dilaksanakan dengan baik apabila jelas bagi para pelaksana, dimana komunikasi diperlukan agar para pembuat keputusan dan para implementer akan semakin konsisten dalam melaksanakan setiap kebijakan yang akan diterapkan di masayarakat. Ada tiga indikator yang dapat digunakan dalam mengukur keberhasilan aspek komunikasi ini, yaitu:

(40)

1) Transmisi, yaitu penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu hasil implementasi yang baik pula. Seringkali yang terjadi dalam proses transmisi ini yaitu adanya salah pengertian, hal ini terjadi karena komunikasi implementasi tersebut telah melalui beberapa tingkatan birokrasi, sehingga hal yang diharapkan terdistorsi di tengah jalan.

2) Kejelasan informasi, yaitu petunjuk pelaksanaan dari sebuah kebijakan harus jelas agar pengimplementasiannya berjalan sebagaimana yang diinginkan. 3) Konsistensi informasi yang disampaikan, yaitu perintah-perintah pelaksanaan

harus konsisten dan jelas, perintah tersebut tidak bertentangan sehingga dapat memudahkan para pelaksana kebijakan untuk menjalankan tugasnya dengan baik. Apabila perintah yang diberikan seringkali berubah-ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan.

b. Sumber Daya (Resources)

Perintah-perintah implementasi mungkin diteruskan secara cermat, jelas dan konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan, maka implementasi ini pun cenderung tidak akan efektif. Sumber daya yang penting meliputi:

1) Staf (staff). Staf yang memadai, dalam pengimplementasian kebijakan, staf merupakan salah satu faktor yang penting. Jumlah staf dan mutu atau keahlian-keahlian yang dimiliki staf harus memadai.

(41)

2) Informasi (information). Informasi dalam hal ini memilik dua bentuk yaitu informasi mengenai bagaimana melaksanakan kebijakan dan data tentang ketaatan personil-personil lain terhadap peraturan pemerintah.

3) Wewenang (authority). Wewenang ini akan berbeda-beda dari suatu program ke program yang lain serta mempunyai bayak bentuk yang berbeda, seperti misalnya menarik dana dari suatu program, membeli barang-barang dan jasa, dan lain sebaginya.

4) Fasilitas (facilities). Seorang pelaksana mungkin mempunyai staf yang memadai, mungkin memahami apa yang harus dilakukan, dan mungkin mempunyai wewenang untuk melaksanakan tugasnya, tetapi tanpa bangunan sebagai kantor untuk melakukan koordinasi, tanpa perlengkapan, tanpa perbekalan, maka besar kemungkinan implementasi yang direncanakan tidak akan berhasil.

c. Disposisi (Attitudes)

Jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan, hal tersebut berarti bahwa adanya dukungan, kemungkinan besar mereka melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan. Demikian pula sebaliknya, bila tingkah laku atau perspekif para pelaksana berbeda dengan para pembuat keputusan, maka dapat menyebabkan proses pelaksanaan suatu kebijakan menjadi semakin sulit. Edwards III (dalam Nawawi, 2007) mengemukakan dua hal yang perlu diperhatikan dalam mengatasi dampak dari kekuatan-kekuatan seringnya

(42)

birokrat mengesampingkan implementasi kebijakan yang telah ditetapkan oleh pejabat tinggi, yaitu:

1) Penempatan pegawai (staffing the bureaucracy), dimana sikap dari para aparart birokrasi kadangkala menyebabkan masalah apabila sikap ataupun cara pandangnya berbeda dengan pembuat kebijakan.

2) Insentif (incentives), mengubah personil dalam birokrasi pemerintah merupakan pekerjaan yang sulit dan tidak menjamin proses implementasi dapat berjalan lancar. Salah satu teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah kecenderungan para pelaksana adalah dengan memanipulasi insentif. d. Struktur Organisasi (Birokrasi)

Struktur organisasi adalah susunan komponen (unit-unit) kerja dalam organisasi yang menunjukkan adanya pembagian kerja serta adanya kejelasan bagaimana fungsi-fungsi atau kegiatan yang berbeda-beda diintegrasikan atau dikoordinasikan. Selain itu, struktur organisasi juga menunjukkan spesialisasi pekerjaan, saluran perintah dan penyampaian laporan. Adapun aspek-aspek dari struktur birokrasi, yaitu:

1) Adanya suatu SOP (Standard Operating Procedure) yang mengatur tata aliran pekerjaan dan pelaksana program. SOP juga memberikan keseragaman dalam tindakan para pegawai dalam organisasi yang komplek dan luas, dalam pelaksanaannya dapat menghasilkan fleksibilitas yang sangat baik, serta adanya keadilan dalam pelaksanaan aturan.

(43)

2) Fragmentasi (fragmentation) adalah adanya penyebaran tanggung jawab pada suatu area kebijakan di antara beberapa unit organisasi.

3) Hal ini mengakibatkan koordinasi kebijakan menjadi sulit, dimana sumber daya dan kebutuhan atas kewenangan untuk menyelesaikan masalah yang timbul kadangkala tersebar di antara beberapa unit birokrasi. Oleh sebab itu perlu adanya kekuatan pemusatan koordinasi antara unit-unit yang terkait dan hal tersebut bukan hal yang mudah.

Secara skematis dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Faktor Penentu Implementasi Kebijakan Sumber: Edwards III (1980) dalam Suharto (2008)

2.4. Rumah Sakit

2.4.1. Pengertian Rumah Sakit

Menurut Undang-Undang No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit menjelaskan bahwa rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang

Komunikasi

Struktur Birokrasi

SumberDaya

Disposisi

(44)

menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

Menurut buku pedoman penyelenggaraan pelayanan rumah sakit Rumah sakit adalah semua sarana kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan rawat inap, rawat jalan,gawat darurat, tindakan medik, yang dilaksanakan selama 24 jam melalui upaya kesehatan perorangan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, rumah sakit adalah gedung tempat merawat orang sakit, gedung tempat menyediakan dan memberikan pelayanan kesehatan yang meliputi berbagai masalah kesehatan. Menurut Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Rumah sakit adalah sebuah institusi perawatan kesehatan professional yang pelayanannya disediakan oleh dokter, perawat, dan tenaga ahli kesehatan lainya.

Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan rawat inap, rawat jalan, gawat darurat, dan tindakan medik yang dilakukan oleh tenaga ahli selama 24 jam.

Penyelenggaraan rumah sakit bertujuan (a) mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan; (b) memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit; (c) meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit; dan (d) memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit, dan institusi rumah sakit.

(45)

2.4.2. Tugas dan Fungsi Rumah Sakit

Rumah Sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. Adapun fungsi rumah sakit adalah:

a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit;

b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis; c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam

rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan; dan d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi

bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan;

2.4.3. Klasifikasi Rumah Sakit

Berdasarkan Undang-undang No 44 Tahun 2009, menjelaskan bahwa sesuai jenis pelayanan yang diberikan, Rumah Sakit dikategorikan dalam Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus. Rumah Sakit Umum memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit, dan Rumah Sakit Khusus memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 340/Menkes/Per/III/2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit, menjelaskan bahwa rumah sakit dapat diklasifikasi

(46)

berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan meliputi rumah sakit umum kelas A, kelas B, Kelas C dan Kelas D. Untuk rumah sakit kelas C secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Rumah Sakit Umum Kelas C

a. Aspek Pelayanan Rumah Sakit Umum Kelas C

Rumah Sakit Umum Kelas C harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar dan 4 (empat) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik. Kriteria, fasilitas dan kemampuan Rumah Sakit Umum Kelas C antara lain:

a) Pelayanan Medik Umum terdiri dari Pelayanan Medik Dasar, Pelayanan Medik Gigi Mulut dan Pelayanan Kesehatan Ibu Anak /Keluarga Berencana. b) Pelayanan Gawat Darurat harus dapat memberikan pelayanan gawat darurat

24 (dua puluh) jam dan 7 (tujuh) hari seminggu dengan kemampuan melakukan pemeriksaan awal kasus-kasus gawat darurat, melakukan resusitasi dan stabilisasi sesuai dengan standar.

c) Pelayanan Medik Spesialis Dasar terdiri dari Pelayanan Penyakit Dalam, Kesehatan Anak, Bedah, Obstetri dan Ginekologi.

d) Pelayanan Medik Spesialis Gigi Mulut minimal 1 (satu) pelayanan.

e) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik terdiri dari Pelayanan Anestesiologi, Radiologi,

(47)

g) Pelayanan Keperawatan dan Kebidanan terdiri dari pelayanan asuhan keperawatan dan asuhan kebidanan.

h) Pelayanan Penunjang Klinik terdiri dari Perawatan intensif, Pelayanan Darah, Gizi, Farmasi, Sterilisasi Instrumen dan Rekam Medik

i) Pelayanan Penunjang Non Klinik terdiri dari pelayanan Laundry/Linen, Jasa Boga/Dapur, Teknik dan Pemeliharaan Fasilitas, Pengelolaan Limbah, Gudang, Ambulance, Komunikasi, Kamar Jenazah, Pemadam Kebakaran, Pengelolaan Gas Medik dan Penampungan Air Bersih.

b. Aspek Ketenagaan Rumah Sakit Umum Kelas C

Ketersediaan tenaga kesehatan di rumah sakit umum kelas C disesuaikan dengan jenis dan tingkat pelayanan, dengan ketentuan:

a) Pada Pelayanan Medik Dasar minimal harus ada 9 (sembilan) orang dokter umum dan 2 (dua) orang dokter gigi sebagai tenaga tetap.

b) Pada Pelayanan Medik Spesialis Dasar harus ada masing-masing minimal 2 (dua) orang dokter spesialis setiap pelayanan dengan 2 (dua) orang dokter spesialis sebagai tenaga tetap pada pelayanan yang berbeda.

c) Pada setiap Pelayanan Spesialis Penunjang Medik masing-masing minimal 1 (satu) orang dokter spesialis setiap pelayanan dengan 2 (dua) orang dokter spesialis sebagai tenaga tetap pada pelayanan yang berbeda.

d) Perbandingan tenaga keperawatan dan tempat tidur adalah 2:3 dengan kualifikasi tenaga keperawatan sesuai dengan pelayanan di Rumah Sakit. e) Tenaga penunjang berdasarkan kebutuhan Rumah Sakit.

(48)

c. Aspek Sarana, Prasarana dan Organisasi Rumah Sakit Umum Kelas C

Sarana prasarana dan peralatan Rumah Sakit harus memenuhi standar yang ditetapkan oleh Menteri, dan sesuai dengan standar yang telah ditentukan. Jumlah tempat tidur minimal 100 (seratus) buah. Struktur organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri atas Kepala Rumah Sakit atau Direktur Rumah Sakit, unsur pelayanan medis, unsur keperawatan, unsur penunjang medis, komite medis, satuan pemeriksaan internal, serta administrasi umum dan keuangan. Tata laksana meliputi tatalaksana organisasi, standar pelayanan, standar operasional prosedur (SPO), Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMS) dan hospital by laws dan Medical Staff by laws.

2.5. Landasan Teori

Berdasarkan permasalahan penelitian, tujuan penelitian dan keseluruhan konsep teori yang ada tentang implementasi kebijakan, maka dapat disimpulkan landasan teori dalam penelitian ini adalah implementasi kebijakan publik yang berkaitan dengan implementasi kebijakan JKN mengacu pada konsep Edward III (1980), bahwa ada empat variabel yang memengaruhi implementasi kebijakan yaitu (1) variabel komunikasi, artinya kebijakan publik tersebut akan berhasil dan berdayaguna jika implementor mengetahui apa yang harus dilakukan secara jelas. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus diinformasikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi, (2) sumber daya, artinya implementasi kebijakan harus ditunjang oleh sumber daya

(49)

baik sumber daya manusia, material, dan metoda. Sasaran, tujuan dan isi kebijakan walaupun sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumber daya untuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan efektif dan efisien, (3) disposisi, artinya suatu disposisi dalam implementasi dan karakteristik, sikap yang dimiliki oleh implementor kebijakan, seperti komitmen, kejujuran, komunikatif, cerdik dan bersifat demokratis, dan (4) struktur birokrasi, artinya pada pelaksanaan implementasi kebijakan publik didasarkan pada hirarki yang jelas, adanya interaksi secara formal dalam organisasi guna mencapai tujuan dari kebijakan.

Program JKN merupakan salah satu kebijakan publik bidang kesehatan yang dimaksudkan untuk pemeliharaan dan perlindungan kesehatan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.

(50)

2.6. Kerangka Pikir

Berdasarkan tujuan penelitian dan landasan teori, maka dapat dirumuskan kerangka pikir penelitian seperti pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2. Kerangka Pikir Penelitian 1. Sumber Daya Manusia

2. Sarana dan Fasilitas 3. Sumber Dana 4. Organisasi 5. Kepesertaan

INPUT PROSES OUTPUT

1. Regulasi

2. Manajemen SDM

3. Pengelolaan Pembiayaan

Penyediaan Pelayanan kesehatan Bagi Peserta

JKN Implementasi Kebijakan JKN 1. Komunikasi a. Transmisi b. Konsistensi c. Kejelasan 2. Sumber Daya a. Instrumen kebijakan b. Alokasi Anggaran c. SDM

d. Ketersediaan fasilitas kesehatan 3. Disposisi

a. Sikap Pelaksana 4. Struktur Birokrasi

a. Koordinasi dan hirarki b. SOP kebijakan

Gambar

Gambar 2.1. Faktor Penentu Implementasi Kebijakan  Sumber: Edwards III (1980) dalam Suharto (2008)
Gambar 2.2. Kerangka Pikir Penelitian 1.  Sumber Daya Manusia

Referensi

Dokumen terkait

Responden pada penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, dengan ciri-ciri telah mengambil mata kuliah pilihan.. Alat ukur

Dari ketujuh data yang dipapar- kan pada bagian pembahasan dapat dilihat bahwa semua bahan komedi menghasilkan tawa di dalam pementasan, hanya diambil dari praanggapan tentang latar

Manfaat dari penelitian ini untuk memberikan informasi tentang parameter gelombang representatif yang dihasilkan dari pengukuran dan perhitungan dengan metode SMB

Oleh karena itu, kematian yang tinggi dari budidaya nila di keramba jaring apung merupakan tantangan utama yang berkaitan dengan kelangsungan hidup dan produksi

Implementasi perlindungan terhadap keturunan sebagai indikator perguruan tinggi yang Islami dilakukan dengan menjaga kualitas keturunan dan memberikan pendidikan sesuai

Dalam proses pemberian kredit, nasabah yang ingin mendapatkan kredit tidak langsung begitu saja di berikan tetapi harus melalui prosedur yang berlaku. Tujuan pelaksanaan

1).. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata

Dalam penelitian ini kadar serat yang ditambahkan sebanyak 0,4% adalah kadar yang paling optimum dibandingkan kadar serat 0,5% karena dengan penambahan kadar