• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Pulau Jawa maupun di Pulau Bali, Pulau Sumatra, Pulau Kalimantan, dan pulaupulau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Pulau Jawa maupun di Pulau Bali, Pulau Sumatra, Pulau Kalimantan, dan pulaupulau"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penelitian dialektologi yang meletakkan titik fokus pada kajian kebervariasian penggunaan bahasa dalam wujud dialek atau subdialek di bumi Nusantara, dewasa ini telah mendapat perhatian yang signifikan dari para ahli bahasa. Minat dan perhatian terhadap penelitian dialek geografi di Indonesia boleh dikatakan cukup tinggi, baik di Pulau Jawa maupun di Pulau Bali, Pulau Sumatra, Pulau Kalimantan, dan pulau-pulau lainnya di bumi Nusantara (bdk. Lauder, 1993:33). Hasil-hasil penelitian terhadap dialek geografi itu menunjukkan bahwa penelitian kebervariasian tutur dalam wujud dialek atau subdialek telah berkembang di Indonesia.

Minat para ahli bahasa yang banyak mencurahkan perhatiannya pada penelitian kebervariasian isolek dalam wujud bahasa, dialek atau subdialek membuktikan bahwa variasi-variasi dialektal dalam berbagai kelompok tutur merupakan khazanah budaya bangsa yang patut dipelihara keberadaannya. Suatu penghargaan yang sudah sepatutnya karena di dalam isolek yang berbeda-beda itulah tersimpan kekayaan gagasan atau ide-ide rasional masyarakatnya, terekam tradisi atau budaya masyarakatnya yang santun dan beradab, dan memuat rumusan-rumusan falsafah hidup masyarakatnya dalam memandang kehidupan alam jagad raya ini dengan arif dan bijaksana. Jadi, mempelajari kebervariasian isolek dalam suatu bahasa berarti mempelajari cara masyarakat bahasa itu merumuskan dan

(2)

mengungkapkan gagasan atau ide-idenya, mempelajari cara masyarakat bahasa itu memberikan apresiasi terhadap tradisi atau budayanya, dan mempelajari cara masyarakat bahasa itu memandang dan memperlakukan alam jagad raya ini sesuai dengan falsafah hidup masyarakatnya. Suatu sikap dan tindakan yang perlu dikembangkan dan diapresiasi secara positif terhadap bahasa-bahasa daerah kecil seperti di Flores misalnya; mengingat bahasa-bahasa daerah kecil seperti yang terdapat di Kabupaten Nagekeo juga merupakan elemen pembentuk dan penopang bahasa dan budaya nasional.

Penelitian dialek geografi yang memfokuskan kajian tentang kebervariasian isolek di Kabupaten Nagekeo dipandang penting dan sudah saatnya ditangani secara ilmiah dan objektif, mengingat:

1) Isolek-isolek yang digunakan oleh masyarakat di Kabupaten Nagekeo tergolong sebagai isolek dari bahasa daerah kecil yang hingga sekarang kurang mendapat perhatian dalam upaya pendokumentasian berupa hasil penelitian ilmiah, baik secara mikro maupun secara makro.

2) Generasi muda dan generasi terpelajar cenderung menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa-bahasa lokal sebagai bahasa ibu atau bahasa pertama sekalipun dalam ranah-ranah keluarga dan kebudayaan lokal.

3) Bila dihubungkan dengan wawasan Nusantara dan ketahanan nasional bangsa Indonesia, penelitian terhadap bahasa daerah kecil, seperti

(3)

bahasa-bangsa (bdk. Ayatrohaedi, 1985:4-5; Dhani, 1991:3-4) karena elemen bahasa-bangsa sekecil apa pun merupakan perekat yang mengokohkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

4) Kebervariasian isolek yang terdapat dalam berbagai kelompok tutur dalam masyarakat Nagekeo merupakan representasi langsung dari kekayaan budaya masyarakat Nagekeo, sekaligus juga merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang perlu diselamatkan dari kepunahannya.

5) Bila ingin mengetahui kejatidirian masyarakat Nagekeo sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang bhineka, kebervariasian isolek yang digunakan oleh masyarakat di Kabupaten Nagekeo pantas dipelajari dan dipahami karena melalui isolek-isolek inilah dapat ditelusuri belantara tata kehidupan masyarakat Nagekeo.

Kebervariasian isolek dalam bahasa Nagekeo, terjadi baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, kebervariasian isolek itu muncul karena adanya pertumbuhan dan perkembangan bahasa Nagekeo secara bertahap dalam masyarakatnya sejalan dengan tuntutan kebutuhan masyarakat akan adanya konsep-konsep komunikasi masyarakat berupa bahasa yang makin kompleks sesuai dengan tuntutan kemajuan dan peradaban masyarakatnya; antara lain dapat ditemukan pada adanya bunyi [r] yang berkorespondensi dengan bunyi-bunyi lainnya seperti bunyi [R], bunyi [y], bunyi [h], bunyi [lh], dan zero [ø]

(4)

Selain faktor internal, perubahan dan perkembangan isolek-isolek dalam bahasa Nagekeo juga terjadi secara eksternal. Artinya, pertumbuhan dan perkembangan isolek-isolek itu juga dipengaruhi oleh keadaan alam sekitar dan faktor lingkungan, yaitu faktor demografi dan geografi masyarakat penuturnya. Keadaan alam sekitar dapat mempengaruhi “ruang gerak” penduduk setempat, seperti situasi alam sekitar dapat pula mempermudah atau mempersulit penduduk untuk berhubungan dengan masyarakat bahasa atau dialek di luar komunitasnya. Selanjutnya, faktor lingkungan masyarakat bahasa di Kabupaten Nagekeo pada “daerah terbuka” seperti di wilayah Toto yang terletak di daerah perbatasan antara wilayah Nagekeo dengan wilayah bahasa Ende, wilayah Boawae yang terletak di daerah perbatasan antara wilayah bahasa Nagekeo dengan wilayah bahasa Ngaɗa, dan wilayah Munde yang terletak di daerah perbatasan antara wilayah bahasa Nagekeo dengan wilayah bahasa Mbay/Riung, akan lebih cepat dan mudah menerima pengaruh dan perubahan dari bahasa-bahasa lain di sekitarnya dibandingkan dengan lingkungan masyarakat bahasa di wilayah Raja, Wolowea, Wudu, Gero, dan Rendu yang terletak pada “daerah tertutup” karena terletak di tengah-tengah daerah Nagekeo. Secara eksternal, masyarakat bahasa di Kabupaten Nagekeo yang hidup “di daerah terbuka” itu akan lebih cepat dan mudah menerima pengaruh dari bahasa tetangganya.

Kondisi faktual dalam bahasa Nagekeo seperti yang dikemukakan di atas itulah yang memungkinkan setiap kelompok tutur pada berbagai wilayah menggunakan fitur

(5)

mengklaim diri menggunakan dialek yang berbeda, seperti penggunaan kata ingkar bermakna ‘tidak’ berikut ini.

1) Kelompok tutur di wilayah Nagekeo Tengah yang terdapat di Kecamatan Boawae, Aesesa, Aesesa Selatan, dan Wolowae mengklaim diri sebagai kelompok mona ‘tidak’.

2) Kelompok tutur di wilayah Nagekeo Selatan yang terdapat di Kecamatan Mauponggo, Keo Tengah, dan Nangaroro mengklaim diri sebagai kelompok ŋgәɗe ‘tidak’.

3) Kelompok tutur di wilayah Nggolonio dan Nggolo Mbay yang terdapat di wilayah Kecamatan Aesesa mengklaim diri sebagai kelompok ŋgate ‘tidak’. 4) Kelompok tutur di wilayah Munde dan wilayah Lape dan Olaia Kecamatan

Aesesa mengklaim diri sebagai kelompok bire ‘tidak’.

Masyarakat secara mudah dan sederhana mengelompokkan tuturannya ke dalam kelompok dialek mona, ŋgәɗe, bire, dan ŋgate ’tidak’.

Pengelompokan seperti yang dikemukakan di atas itu hanya berdasarkan warisan tradisi dan perspektif penutur yang telah berlangsung turun-temurun, tetapi secara ilmiah objektif kelinguistikan belum dibuktikan kebenarannya dengan parameter lingual dialektologis. Artinya, klaim pengelompokan (ada kelompok yang menyebut bahasa dan ada pula yang menyebutnya dialek) seperti, adanya: a) kelompok bahasa atau dialek mona, b) kelompok bahasa atau dialek ŋgәɗe, c) kelompok bahasa atau dialek bire, dan d) kelompok bahasa atau dialek ŋgate. Semua

(6)

perbedaan itu secara ilmiah objektif perlu dibuktikan melalui sebuah penelitian kelinguistikan; apakah benar secara dialektologis kelompok-kelompok tutur yang berbeda itu sudah merupakan perbedaan bahasa ataukah hanya merupakan perbedaan dialek atau subdialek, bahkan hanya merupakan perbedaan wicara. Pembuktian ilmiah menjadi tuntutan ilmiah pula untuk menentukan status kebahasaan dari tuturan masyarakat Nagekeo yang secara konvensional dikelompokkan menjadi beberapa kelompok seperti yang telah dikemukakan di atas.

Kebervariasian isolek dari kelompok-kelompok bahasa masyarakat yang ada di Kabupaten Nagekeo itu tampak semakin kompleks pada daerah-daerah atau wilayah-wilayah transisi antara dua daerah atau dua wilayah-wilayah yang berbeda. Misalnya, di daerah atau wilayah perbatasan antara Nagekeo dengan wilayah Ende, antara wilayah Nagekeo dengan wilayah Bajawa dan antara wilayah Nagekeo dengan wilayah Riung di Kabupaten Ngada. Di daerah-daerah transisi itu diduga banyak terjadi proses masuknya anasir kosa kata, struktur, dan cara pelafalan dari suatu bahasa atau dialek ke dalam bahasa atau dialek lainnya sehingga kebervariasian isolek yang muncul menjadi kompleks dan bahkan rumit untuk dideskripsikan. Kondisi lingual seperti yang digambarkan itulah yang berpotensi untuk menghasilkan tuturan-tuturan yang perbedaannya bergradasi antara satu kelompok tutur dengan kelompok tutur lainnya dalam masyarakat Nagekeo. Kebervariasian tutur yang kompleks itu pulalah yang menjadi pertimbangan penting bagi penulis untuk memilih kebervarisian isolek dalam

(7)

Penelitian dialek geografi terhadap kebervariasian isolek dalam masyarakat bahasa Nagekeo yang dilakukan ini mengambil titik fokus pada bidang variasi leksikon dan variasi fonologi. Penentuan kedua tataran kebahasaan itu bertolak dari kesejajaran pendapat antara penulis dengan para ahli bahasa terhadap hubungan antara dialek geografi dengan bidang leksikon dan fonologi sebagaimana dikemukakan berikut ini.

1) Pendapat Nauton yang mengatakan bahwa bidang leksikon merupakan unsur yang paling kuat dan mandiri dalam bahasa apa pun juga (dalam Lauder, 1990:62; Dhani, 1991:13).

2) Pendapat Seguy (1971) yang mengatakan bahwa pada umumnya di dalam bahasa apa pun leksikon merupakan satuan bahasa yang dapat mencerminkan adanya perubahan sosiokultural. Selain itu, leksikon menyimpan strukturisasi berpikir suatu budaya tertentu. Jadi, leksikon berfungsi sebagai cermin dari konsep-konsep budaya. Lagi pula, pada umumnya satuan bahasa yang paling mudah dipisahkan adalah leksikon (dalam Lauder, 1990:63; Dhani, 1991:13). 3) Pendapat Soepomo (1976:57) yang mengatakan bahwa unsur-unsur kebahasaan

dalam dialek geografi yang sering mendapat sorotan, terbatas pada unsur fonologi dan leksikon.

4) Pandangan Nothofer yang mengatakan bahwa secara teoretis perbedaan dialek yang satu dengan yang lainnya terutama tampak dalam bidang fonologi dan leksikon (Lauder, 1990:63).

(8)

5) Pandangan Ivic (1962:34-35), Moulton (1962:23-32), dan Weireich (1954:34-390; bdk. Dhani, 1991:13) dalam perkembangan teori dialek geografi sasaran utama diarahkan kepada bidang fonologi dengan melakukan pendeskripsian dan inventarisasi, dan memperbandingkan antara satu dialek dengan dialek yang lainnya yang berhubungan

6) Pandangan Chambers dan Trudgill (1980:46) pengutamaan bidang fonologi didorong oleh suatu anggapan bahwa sebuah bentuk dapat ditelusuri dalam dialek-dialek yang berhubungan karena dialek-dialek itu diperbandingkan antara sesamanya dalam hal: a) kaidah-kaidah fonologis yang melandasi bentuk-bentuk yang ditetapkan, b) lingkungannya yang mengakibatkan kaidah-kaidah itu, dan c) urutannya yang menyebabkan kaidah-kaidah-kaidah-kaidah itu ada.

Bertolak dari alasan-alasan rasional yang dikemukakan dalam deskripsi latar belakang di atas, penulis memilih objek penelitian ini pada kebervariasian isolek dalam masyarakat Nagekeo dengan judul, “STATUS KEBAHASAAN ISOLEK-ISOLEK DI KABUPATEN NAGEKEO: KAJIAN DIALEK GEOGRAFI”.

(9)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan deskripsi latar belakang di atas, masalah-masalah yang diangkat dalam penelitian ini dirumuskan secara spesifik sebagai berikut.

1) Bagaimanakah wujud perbedaan isolek berdasarkan paradigma leksikon pada berbagai lokasi pengamatan di Kabupaten Nagekeo?

2) Bagaimanakah pengelompokan terhadap isolek-isolek yang terdapat di Kabupaten Nagekeo ke dalam dialek dan subdialek?

3) Bagaimanakah wujud perubahan fonem-fonem secara fonologis pada isolek-isolek di Kabupaten Nagekeo?

1.3 Tujuan Penelitian

Merujuk pada masalah penelitian yang telah dirumuskan di atas, tujuan penelitian ini dirumuskan secara spesifik sebagai berikut.

1) Menganalisis wujud perbedaan isolek berdasarkan paradigma leksikon pada berbagai daerah pengamatan di Kabupaten Nagekeo.

2) Mengelompokkan isolek-isolek berdasarkan paradigma leksikon dan pola-pola isoglos yang terdapat pada berbagai daerah pengamatan di Kabupaten Nagekeo ke dalam dialek dan subdialek.

3) Mendeskripsikan wujud perubahan fonem-fonem yang terdapat dalam isolek-isolek di Kabupaten Nagekeo berdasarkan paradigma fonologis.

(10)

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat kajian dialek geografi dalam bahasa Nagekeo diuraikan berikut ini. 1.4.1 Manfaat Akademis

1) Hasil penelitian ini kiranya dapat dimanfaatkan oleh para peneliti lain yang melakukan penelitian terhadap bahasa Nagekeo di Kabupaten Nagekeo dan Kabupaten Ende baik penelitian mikrolinguistik maupun penelitian makrolinguistik berdimensi historis.

2) Memperkaya fakta dan informasi kebervariasian bahasa dalam studi dialek geografi dialek di Indonesia.

1.4.2 Manfaat Praktis

1) Membantu masyarakat bahasa Nagekeo untuk mengenal ciri-ciri khas dialek atau subdialek lain dalam bahasa Nagekeo, sehingga penutur dapat memilih dan menggunakannya sesuai dengan ranah pembicaraan, latar belakang bahasa atau dialek dari lawan tutur, dan tujuan komunikasi tertentu.

2) Membantu para guru dan subjek didik di sekolah-sekolah dalam wilayah bahasa Nagekeo mempelajari bahasa ibu sebagai bahasa budaya masyarakat pendukungnya.

3) Membantu pemerintah daerah dalam hal pemekaran desa atau kecamatan agar mempertimbangkan kesamaan bahasa dan budaya masyarakatnya dengan bantuan wilayah dialek atau subdialek sebagai salah satu petunjuk satuan

Referensi

Dokumen terkait

Data analisis yang dibahas dalam penelitian ini meliputi data produksi energi listrik riil dan iradiasi rata-rata pada bidang array PLTS Off-Grid STT-PLN, dimana nilai HT

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang telah dilakukan mengenai fungsi dan bauran pemasaran, serta analisis margin pemasaran, farmer’share, rasio keuntungan

Namun kurangnya dokter hewan yang tidak selalu ada di tempat sehingga dibutuhkan suatu program sistem pakar berbasis desktop yang mampu memberikan diagnosa akan

Berdasarkan hasil rerata tabel 2 diatas dapat dilihat bahwa jumlah daun yang memberikan rerata terbaiknya pada perlakuan E2A2 (konsentrasi EM 4 sebanyak 50

Indikator pencapaian keterampilan menulis karangan deskripsi pada siklus akhir yaitu siklus II mengalami peningkatan dan mencapai indikator pencapaian , pada

Demplot Pengendalian OPT Nilam (Budok, Nematoda, Ulat/Kutu Daun dll).. a) Penggunaan pestisida nabati bubuk biji nimba, dosis 5 kg/ha/aplikasi. Aplikasi dilakukan 3

Segala puji bagi Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah yang tercurah tanpa batas kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir yang

Penelitian Viasus D dkk melaporkan bahwa kadar serum albumin dalam 24 jam saat masuk rumah sakit merupakan penanda prognostik yang baik pada PK, selain itu juga penambahan