• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. telah memberlakukan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. telah memberlakukan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kemiskinan merupakan permasalahan yang dihadapi oleh seluruh Negara, terutama di Negara berkembang seperti Indonesia. Pemerintah Indonesia telah memberlakukan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan daerah. Berlakunya undang-undang tersebut menjadi tanggung jawab yang besar bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Upaya pengentasan kemiskinan selalu menjadi salah satu indikator utama untuk menilai kinerja suatu pemerintahan dalam sektor kesejahteraan. Hal tersebut dikarenakan kemiskinan merupakan tolak ukur paling dasar untuk mengukur kualitas kehidupan seseorang. Warga yang masih didera kemiskinan niscaya mengalami banyak kesulitan untuk mengakses berbagai fasilitas yang dapat menunjang peningkatan kualitas hidupnya. Oleh karena itu tidak ada satu pemerintahan pun di seluruh dunia yang memandang sebelah mata fenomena kemiskinan yang terjadi di wilayahnya.

Begitu pula persoalan kemiskinan masih menjadi “pekerjaan rumah” yang belum kunjung berakhir bagi pemerintah Indonesia. Tentu saja persoalan kemiskinan berimbas ke berbagai daerah, termasuk DIY. Meskipun Daerah Istimewa Yogyakarta telah banyak mencapai keberhasilan. Namun persoalan

(2)

kemiskinan masih menjadikan pemerintah DIY belum memenuhi kriteria yang lebih baik dari nasional.

Gambar 1.1 Tingkat kemiskinan Menurut Provinsi (%) Tahun 2010

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011

Dari gambar diatas diketahui bahwa tingkat kemiskinan di D.I Yogyakarta masih jauh berada di atas tingkat kemiskinan nasional. Tingkat kemiskinan di D.I Yogyakarta berada diangka 16,83 persen, selisih 3,53 persen dengan tingkat kemiskinan nasional yang berada diangka 13,33 persen.

(3)

Gambar1.2 Perbandingan Kemiskinan Nasional dan DIY (%) 2003-2013

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014

Dari gambar di atas diketahui kemiskinan di D.I Yogyakarta dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2013 selalu berada di atas rata-rata kemiskinan nasional. Hal ini menunjukan ada hal yang harus diperbaiki oleh pemerintah daerah dalam upaya menanggulangi kemiskinan.

DIY

18

(4)

Tabel 1.1 Pencapaian Beberapa Indikator Pembangunan DIY dibanding Naisonal Tahun 2011

Indikator DIY Indonesia

IPM 76.32 72.27

Rata-Rata Lama Sekolah 9.07 7.9

Angka Melek Huruf 91.49 92.81

Angka Harapan Hidup 73.48 69.4

Angka Kematian Bayi 17/1000 34/1000 Angka Kematian Ibu 103/100000 228/100000 Persentase Gizi Buruk 0.98% 4.50% Persentase Penduduk Miskin 16.14% 12.36% Persentase Pengangguran Terbuka 5.47% 6.80% Laju Pertumbuhan Ekonomi 5.16% 6.50%

Persentase Kab/kota yang memiliki pelaporan Wajar

Tanpa Pengecualian (WTP) 20% 8.90% Persentase peningkatan

investasi PMA 52.46% 22%

Persentase peningkatan

investasi PMDN 22.72% 37%

Sumber: Laporan Monitoring dan Evaluasi Penanggulangan Kemiskinan DIY, 2014

Tabel tersebut menunjukkan bahwa hampir semua indikator yang disajikan, memposisikan DIY sebagai provinsi yang layak untuk dikategorikan sebagai provinsi yang berhasil baik melaksanakan pembangunan. Hanya empat indikator yang menunjukkan kinerja lebih buruk dari angka nasional yakni angka melek huruf, tingkat pertumbuhan ekonomi, persentase penduduk miskin dan investasi Penyertanyaan Modal Dalam Negeri (PMDN). DIY memang memiliki tingkat pertumbuhan yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan angka nasional. Akan tetapi wilayah DIY memiliki keunggulan bahwa pertumbuhan itu diciptakan secara relatif merata di antara berbagai golongan penduduk dan sektor usaha. Berkaitan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah tetapi tidak menimbulkan masalah yang

(5)

berarti bahwa indikator lain misalnya tingkat pengangguran terbuka dan IPM yang selalu lebih baik dari angka nasional. Kinerja yang ditunjukkan pada Tabel tersebut juga mengindikasikan bahwa Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki kinerja yang baik. Meskipun DIY telah dapat dikatakan berhasil membangun masyarakatnya serta kinerja birokrasi secara umum dapat dikategorikan baik, tetapi masih ada “pekerjaan rumah” bagi pemerintah DIY, yaitu pengentasan kemiskinan.

Gambar 1.3 Tingkat Kemiskinan Menurut Kabupaten/Kota (%) D.I Yogyakarta Tahun 2010

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011

Dari gambar di atas diketahui tiga wilayah di D.I Yogyakarta angka kemiskinannya berada di atas tingkat kemiskinan nasional, yaitu Kabupaten Kulon Progo dengan tingkat kemiskinan sebesar 23,15 persen, Kabupaten Gunung Kidul sebesar 22,05 persen dan Kabupaten Bantul sebesar 16,05 persen. Sementara dua wilayah sisanya berada dibawah tingkat kemikinan nasional, yaitu Kabupaten Sleman dengan tingkat kemiskinan sebesar 10,70 persen dan Kota

(6)

Yogyakarta sebesar 9,75 persen. Hal ini juga menunjukkan tingkat kemiskinan di wilayah pedesaan lebih tinggi dibanding wilayah perkotaan.

Tabel 1.2 Indikator Kemiskinan Menurut Kab/Kota DIY 2009-2010

Daerah Garis Kemiskinan (Rp/Bulan)

Persentase Penduduk

Miskin (%) Penduduk Miskin (jiwa)

2009 2010 2009 2010 2009 2010 Kulon Progo 205,585 225,059 24.65 23.15 89,914 89,976 Bantul 224,373 245,626 17.64 16.09 158,522 146,489 Gunung Kidul 186,232 203,873 24.44 22.05 163,667 148,683 Sleman 226,256 247,688 11.45 10.7 117,534 116,634 Kota Yogyakarta 265,168 290,286 10.05 9.75 45,287 37,823 DIY 211,978 224,258 17.23 16.83 224,967 259,357 Indonesia 200,262 211,726 14.15 13.33 32,530,000 31,023,390

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011 (Berdasarkan Susenas Tahun 2010) Dari tabel di atas diketahu indikator kemiskinan untuk setiap wilayah berbeda-beda. Indikator kemiskinan untuk setiap wilayah ditentukan oleh pendapatan minimum per bulan yang kemudian dijadikan indikator garis kemiskinan. Adapun untuk tiga wilayah yang sebelumnya dijelaskan berada di atas tingkat kemiskinan nasional, yaitu Kabupaten Kulon Progo dengan garis kemiskinan sebesar Rp. 225.059, Kabupaten Bantul sebesar Rp. 245.626 dan Kabupaten Gunung Kidul sebesar Rp. 203.873. Sedangkan dua wilayah sisanya yaitu Kabupaten Sleman dengan garis kemiskinan sebesar Rp. 247. 688 dan Kota Yogyakarta sebesar Rp. 290.268.

(7)

Dalam upaya menanggulangi kemiskinan yang dilakukan pemerintah D.I Yogyakarta haruslah memerhatikan faktor pertumbuhan ekonomi dan angka melek huruf yang mana pada tabel sebelumnya menunjukan masih rendahnya kedua variabel tersebut jika dibandingkan dengan nasional. Hal tersebut menujukan kedua variabel tersebut harus mendapat perhatian lebih dari pemerintah D.I Yogyakarta agar pada gilirannya nanti memberi dampak positif dalam upayanya menanggulangi kemiskinan.

Gambar 1.4 Pertumbuhan Ekonomi Menurut Provinsi (%) Tahun 2010

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011

Dari gambar di atas diketahui D.I Yogyakarta merupakan daerah yang termasuk dalam kriteria provinsi yang relatif tertinggal, karena nilai pertumbuhan ekonominya masih berada dibawah nilai rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional. Melalui proses pertumbuhan ekonomi tersebut, dapat melihat kegiatan ekonomi yang telah dilaksanakan dan dicapai di D.I Yogyakarta selama periode tertentu.

(8)

Gambar 1.5 Angka Melek Huruf DIY Tahun 2006-2013

Sumber: Disdikpora DIY, 2014

Penuntasan buta aksara merupakan bagian dari fokus pembangunan untuk peningkatan human capital. Hal ini mengingat peran sentral pendidikan baik sebagai bagian dari pemenuhan hak warga negara, maupun karena daya ungkit pendidikan terhadap tujuan pembangunan yang lain seperti pembangunan dan pemerataan ekonomi dan sosial. Bila melihat data historis dalam kurun 2009- 2014, angka melek huruf DIY selama kurun waktu 2009-2014 selalu mengalami peningkatan. Tahun 2009 capaian angka melek huruf DIY tercatat sebesar 90,18% kemudian naik menjadi 90,84% di tahun 2010 dan menjadi 91,49% dan 92,02% di tahun 2013. Sedangkan capaian di tahun 2014 mencapai 93,68%.

Jika dilihat data per kabupaten/kota, capaian angka melek huruf tahun 2013 tertinggi adalah Kota Yogyakarta sebesar 98,43% sedangkan capaian terendah adalah Kabupaten Gunungkidul sebesar 85,22%. Tren pencapaian angka melek huruf di kelima kabupaten/kota dalam tahun 2009 hingga tahun 2013 menunjukkan kecenderungan peningkatan angka melek huruf dari tahun ke tahun. Selengkapnya bisa dilihat dalam grafik berikut ini:

92,02 91,49 89,94 90 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 90,84 90,18 90,09 92,16

(9)

Gambar 1.6 Trend Angka Melek Huruf DIY Tahun 2009-2013

Sumber: Laporan Kinerja DIY, 2014

Berdasarkan uraian di atas penelitian ini meneliti pengaruh pertumbuhan ekonomi dan pendidikan terhadap kemiskinan pada DI Yogyakarta selama tahun 2006-2013.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian di atas diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi dan angka melek huruf D.I Yogyakarta masih berada di bawah pertumbuhan ekonomi dan angka melek huruf nasional. Sedangkan kemiskinan D.I Yogyakarta berada diatas kemiskinan nasional. Berdasarkan hal di atas maka yang menjadi rumusan masalah dari penulisan Tugas Akhir ini adalah:

1. Apakah pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap kemiskinan Provinsi DIY pada tahun 2006-2013 dan seberapa besar pengaruhnya? 2. Apakah angka melek huruf berpengaruh terhadap kemiskinan Provinsi

(10)

1.3 Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan Tugas Akhir ini adalah:

1. Mengetahui pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan di Kabupaten/Kota Provinsi DIY pada tahun 2006-2013 dan seberapa besar pengaruhnya.

2. Mengetahui pengaruh angka melek huruf terhadap kemiskinan di Kabupaten/Kota Provinsi DIY pada tahun 2006-2013 dan seberapa besar pengaruhnya.

1.5 Manfaat Penulisan

Penulisan Tugas Akhir ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang terkait, antara lain:

1. Bagi Penulis

Memberikan tambahan wawasan dan pengetahuan bagi penulis untuk membuktikan teori-teori yang sebelumnya dipelajari selama proses perkuliahan. Dengan melakukan penelitian tersebut, penulis mendapatkan pemahaman tentang pengaruh pertumbuhan ekonomi dan angka melek huruf terhadap kemiskinan di Kabupaten/Kota Provinsi DIY pada tahun 2006-2013.

(11)

2. Bagi Universitas

a. Memberikan pengalaman dan wawasan yang bermanfaat bagi pemahaman mahasiswa.

b. Menjadi bukti nyata bahwa mahasiswa mampu memahami dengan baik ilmu yang telah didapatkan selama mengikuti proses pembelajaran di universitas.

3. Bagi Pembaca

a. Memberikan wawasan baru bagi pembaca, khususnya di bidang Perencanaan Pembangunan.

b. Pembaca bisa mengetahui bahwasanya proses penerapan ilmu pengetahuan sering menemui kendala dan kesulitan yang perlu di teliti dan diuji dengan menggunakan teori-teori yang sudah ada. c. Dapat dijadikan sebagai referensi untuk pembuatan penelitian

(12)

1.6 Kerangka Pemikiran

Untuk melihat besarnya pengaruh variabel independen yang terdiri dari variabel Pertumbuhan Ekonomi dan Angka Melek Huruf dalam mempengaruhi variabel kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2006-2013.

Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota DIY

Angka Melek Huruf Kabupaten/Kota DIY

Kemiskinan Kabupaten/Kota DIY

Gambar

Gambar 1.1 Tingkat kemiskinan Menurut Provinsi (%) Tahun 2010
Tabel 1.1 Pencapaian Beberapa Indikator Pembangunan DIY dibanding  Naisonal Tahun 2011
Gambar 1.3 Tingkat Kemiskinan Menurut Kabupaten/Kota (%) D.I  Yogyakarta Tahun 2010
Tabel 1.2 Indikator Kemiskinan Menurut Kab/Kota DIY 2009-2010
+4

Referensi

Dokumen terkait

Bila tidak ada keberatan yang sah dari jemaat, maka peneguhan dan pemberkatan nikah akan dilaksanakan pada tanggal tersebut. Richard Liem di Kebaktian Umum Konventional ke

Stunting merupakan salah satu indikator gizi kronis yang dapat memberikan gambaran gangguan kehidupan sosial ekonomi secara keseluruhan di masa lampau yang muncul pada dua

Siswa dan kelompoknya mendiskusikan : jenis obat yang akan diiklankan (dikaitkan dengan gangguan pada organ pencernaan), kelebihan dan keunggulan dari obat yang

Penguatan fungsi keluarga melalui kemitraan dan relasi gender yang didasari atas nilai-nilai individu, keluarga dan norma masyarakat dalam mewujudkan kesejahteraan individu,

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui profil bakteri, resistensi antibiotik pada penyakit paru dengan ventilator mekanik maupun tidak di ruang rawat intensif RS

garis B), profil B’ (hilangnya lung sliding dengan garis B), profil C (konsolidasi paru yang ekuivalen dengan gambaran garis pleura yang tebal dan

Homogenisasi Peralatan tidak steril Penggunaan alat yang telah disterilisasi Bukan CCP Tidak terdapat penggumpalan susu Pemantauan peralatan secara berkala

Prediksi yang dibuat siswa tidak dibatasi oleh guru, sehingga guru juga dapat mengerti miskonsepsi apa yang banyak terjadi pada diri siswa. Hal ini penting bagi guru dalam