• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Penyesuaian Diri

1. Pengertian Penyesuaian Diri

Penyesuaian diri dapat dikatakan sebagai cara tertentu yang dilakukan oleh individu untuk bereaksi terhadap tuntunan dalam diri maupun situasi eksternal yang dihadapinya (Agustiani, 2006). Penyesuaian diri pada prinsipnya yaitu suatu proses yang mencangkup respon mental dan tingkah laku, dengan mana individu berusaha untuk dapat berhasil mengatasi kebutuhan-kebutuhan dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik dan frustasi yang dialaminya sehingga terwujud tingkat keselarasan antara tuntutan dari dalam diri dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan dimana individu tinggal (Desmita,2009).

Penyesuaian diri diartikan sebagai kemampuan individu dalam menghadapi tuntutan-tuntutan, baik dalam diri maupun dari lingkungan sehingga dapat kesemimbangan antara pemenuhan kebutuhan dengan tuntutan lingkungan, dan tercipta keselarasan antara individu dengan realitas kehidupan (Ghufron & Risnawita, 2010). Pengertian luas penyesuaian terbentuk sesuai dengan hubungan individu dengan lingkungan sosialnya, yang di tuntut dari individu tidak hanya mengubah kelakuanya dalam menghadapi kebutuhan – kebutuhan dirinya dari dalam dan keadaan di luar, dalam lingkungan di mana seseorang hidup, akan

(2)

tetapi juga dituntut untuk menyesuaikan diri dengan adanya orang lain dan macam – macam kegiatan mereka. Mustafa Fahmi (Desmita, 1977)

Kualitas penyesuaian yang penting adalah dinamisme atau potensi untuk berubah. Penyesuaian terjadi kapan individu menghadapi kondisi – kondisi lingkungan baru yang membutuhkan suatu respon. Penyesuaian juga tampil dalam bentuk menyesuaikan kebutuhan psikologis seseorang dengan norma – norma budaya (Hollander, 1981).

Penyesuaian mancangkup belajar untuk menghadapi keadaan baru melalui perubahan dalam tindakan atau sikap. Sepanjang hidupnya individu akan mengadakan perubahan periulaku, karena memang seseorang dihadapkan pada kenyataan dirinya maupun lingkunganya yang terus berubah. Derlega & Janda (Desmita, 1978)

Penyesuaian diri adalah konformitas yaitu menyesuaikan sesuatu dengan prinsipnya (Sunarto H, 2008). Penyesuaian diri ialah kemampuan individu untuk hidup dan bergaul secara wajar terhadap lingkungannya,sehingga individu merasa puas terhadap dirinya dan terhadap lingkunganyannya (Willis, 2010).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri adalah kemampuan individu atau cara tertentu yang dilakukan oleh individu untuk bereaksi terhadap tuntutan dalam diri maupun situasi eksternal yang dihadapinya dalam usaha manusia untuk menguasai perasaan yang tidak menyenangkan atau tekanan akibat dorongan

(3)

dan tuntutan lingkungan dan usaha menyelaraskan hubungan individu dengan realistis yang mencangkup respon-respon mental dan tingkah laku, yang merupakan usaha individu agar berhasil mengatasi kebutuhan, ketegangan, konflik dan frustasi yang dialami dalam dirinya.

2. Faktor-faktor Penyesuaian Diri

Menurut Sunarto (Agung Hartono, 2008) Faktor – faktor yang mempengaruhi proses penyesuaian diri antara lain yaitu:

a. Kondisi-kondisi fisik (keturunan,konstitusi fisik, susunan saraf kelenjar, system otot, kesehatan, penyakit dan sebagainya.

b. Perkembangan dan kematangan khususnya kematangan interlektual, sosial, moral, dan emosional.

c. Penentu psikologis, termasuk didalamnya pengalaman, belajar, pengkondisian, penentuan diri (self-determination), frustasi dan konflik.

d. Kondisi lingkungan khususnya keluarga dan lingkungan sosial. e. Penentu cultural/budaya, termasuk agama.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor penyesuaian diri yaitu: Kondisi-kondisi fisik (keturunan, konstitusi fisik, susunan saraf kelenjar, system otot, kesehatan,penyakit dan sebaagainya). Perkembangan dan kematangan khususnya kematangan intelektual, sosial, moral dan emosional, penentu psikologis, termasuk didalamnya pengalaman, belajar, pengkondisian, penentuan diri (self-determination), frustasi dan konflik,

(4)

kondisi lingkungan khususnya keluarga dan lingkungan sosial, penentu cultural/budaya, termasuk agama.

3. Aspek-aspek Penyesuaian Diri

Aspek-aspek penyesuaian diri menurut Desmita (2009) antara lain: a. Kematangan Emosional

1) Kemantapan suasana kehidupan emosional

2) Kemantapan suasana kehidupan kebersamaan dengan orang lain 3) Kemampuan untuk santai, gembira dan menyatakan kejengkelanya 4) Sikap dan perasaan terhadap kemampuan dan kenyataan diri sendiri

b. Kematangan Intelektual

1) Kemampuan mencapai wawaasan diri sendiri

2) Kemampuan memahami orang lain dan keragamanya 3) Kemampuan mengambil keputusan

4) Keterbukaan dalam mengenal lingkungan c. Kematangan Sosial

1) Keterlibatan dalam partipasi sosial 2) Kesediaan kerja sama

3) Kemampuan kepemimpinan 4) Sikap toleransi

5) Keakraban dalam pergaulan d. Tanggung Jawab

(5)

2) Melakukan perencanaan dan melaksanakanya secara fleksibel 3) Sikap altrulisme,empati, bersahabat dalam hubungan interpersonal 4) Kesadaran akan etika dan hidup jujur

5) Melihat perilaku dari segi konsekuensi atas dasar system nilai 6) Kemampuan bertindak independen

Aspek-aspek penyesuaian diri menurut Runyon dan Haber (Desmita, 1984) yaitu:

a. Persiapan terhadap realitas

Individu mengubah persepsinya tentang kenyataan hidup dan menginterpretasikanya, sehingga mampu menentukan tujuan yang realistic sesuai dengan kemampuannya serta mampu mengenali konsekuensi dan tindakannya agar dapat menuntun pada perilaku yang sesuai.

b. Kemampuan mengatasi stress dan kecemasan

Individu mampu mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam hidup dan mampu menerima kegagalan yang dialami.

c. Gambaran diri yang positif

Individu mempunyai gambaran diri yang positif baik melalui penilaian pribadi maupun melalui penilaian orang lain, sehingga individu dapat merasakan kenyamanan psikologis.

d. Kemampuan mengekpresikan emosi dengan baik

Individu dapat mengekpresikan emosi dengan baik dan mampu melakukan control emosi yang baik.

(6)

Schneiders (Desmita, 2006) mengungkapkan bahwa penyesuaian diri yang baik meliputi enam aspek sebagai berikut:

a. Kontrol terhadap emosi yang berlebihan

Aspek pertama menekankan kepada adanya control dan ketenangan emosi individu yang memngkinkannya untuk menghadapi permasalahan secara inteligen dan dapat menentukan berbagai kemungkinan pemecahan masalah ketika muncul hambatan. Bukan berarti tidak ada emosi sama sekali,tetapi lebih kepada control emosi ketika menghadapi situasi tertentu.

b. Mekanisme pertahanan diri yang minimal

Aspek kedua ini menjelaskan pendekatan terhadap permasalahan lebih mengindikasikan respon yang normal dari pada penyelesaian masalah yang memutar melalui serangkaian mekanisme pertahanan diri yang disertai tindakan nyata untuk mengubah suatu kondisi. Individu dikategorikan normal jika bersedia mengakui kegagalan yang dialami dan berusaha kembali untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Individu dikatakan mengalami gangguan penyesuaian jika individu mengalami kegagalan dan menyatakan bahwa tujuan tersebut tidak berharga untuk di capai.

c. Frustasi personal yang minimal

Individu yang mengalami frustasi ditandai dengan perasaan tidak berdaya dan tanpa harapan, maka akan sulit bagi individu untuk

(7)

mengorganisir kemampuan berpikir, perasaan, motivasi dan tingkah laku dalam menghadapi situasi yang menuntut penyelesaian.

d. Pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri

Individu memiliki kemampuan berpikir dan melakukan pertimbangan terhadap masalah atau konflik serta kemampuan megorganisasi pikiran, tingkah laku dan perasaan untuk memecahkan masalah, dalam kondisi sulit sekalipun menunjukan penyesuaian yang normal. Individu tidak mampu melakukan penyesuaian diri yang lebih baik apabila individu dikuasai oleh emosi yang berlebihan ketika berhadapan dengan situasi yang menimbulkan konflik.

e. Kemampuan untuk belajar dan memanfaatkna pengalaman masa lalu Penyesuaian normal yang ditunjukan individu merupakan proses belajar berkesinambungan dari perkembangan individu sebagai hasil dari kemampuannya mengatasi situasi konflik dan stress. Individu dapat melakukan analisis mengenai faktor-faktor apa saja yang membantu dan mengganggu penyesuaianya.

f. Sikap realistic dan objektif

Sikap yang realistic dan objektif bersumber pada pemikiran yang rasional, kemampuan menilai situasi, masalah dan keterbatasan individu sesuai dengan kenyataan sebenarnya.

Daripendapat ahli diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa aspek-aspek penyesuaian diri terdiri dari kematangan emosional, kematangan intelektual, kematangan sosial, dan tanggung jawab.

(8)

B. Kepercayaan Diri

1. Pengertian Kepercayaan Diri

Lauster (2003) mengemukakan bahwa kepercayaan diri merupakan salah satu ciri kepribadian yang mengandung arti keyakinan akan kemampuan diri sendiri, sehingga individu tidak mudah terpengaruh oleh orang lain. Kepercayaan diri menurut Walgito (dalam Supratiknya, dkk., 2000) adalah kepercayaan seseorang kepada kemampuan yang ada dalam kehidupannya. Penulis mencoba menyimpulkan kepercayaan diri sebagai keyakinan akan kemampuan diri dalam kehidupan seseorang dalam menerima kenyataan sehingga dapat mengembangkan kesadaran diri, berpikir positif dan mandiri. Menurut Lauster (2003), kepercayaan diri pada seseorang dapat dilihat pada aspek kemandirian, optimis, tidak mementingkan diri sendiri dan toleran, yakin akan kemampuan diri

sendiri, memiliki ambisi yang wajar, dan tahan menghadapi cobaan. Menurut Lauster (1994), rendahnya kepercayaan diri akan

mengakibatkan seseorang cenderung menilai negatif kemampuan diri sendiri, sehingga segala potensi yang ada pada dirinya menjadi tidak teraktualisasikan. Individu yang mempunyai kepercayaan diri rendah kurang mampu untuk melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain, yang akan mengakibatkan kurangnya kemampuan untuk mengemukakan perasaan, pendapat, ide secara lisan atau verbal kepada orang lain. Elis & Harpa (Bierman dkk, 1987)

(9)

Budiono (1995) menyatakan bahwa rasa percaya diri sangat berguna untuk mengatasi persoalan-persoalan dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam mengasuh anak berkebutuhan khusus. Menurut Ghifari (2003) kepercayaan diri merupakan modal utama untuk mencapai sukses serta dalam menghadapi kehidupan yang kompleks dan kompetitif. Bloom (1985) menyatakan bahwa individu dengan kepercayaan diri tinggi tidak akan merasa ragu-ragu untuk mengekspresikan segala perasaan, pikiran, pendapat dan idenya secara langsung, jujur dan terbuka terhadap orang lain tanpa takut dinilai jelek atau salah. Hal senada diungkapkan oleh Waterman (Kumara, 1988) bahwa orang yang mempunyai kepercayaan diri tinggi selalu menilai positif dalam menghadapi segala hal. Menurut Yacinta (1993) kepercayaan diri diperlukan agar seseorang bisa merasa aman atau terbebas dari rasa takut terhadap situasi atau orang-orang di sekitarnya. Brenneche dan Amich (1978) menyatakan bahwa kepercayaan diri merupakan suatu perasaan yang cukup aman dan tahu apa yang dibutuhkan dalam kehidupan sehingga tidak perlu membandingkan dirinya dengan individu lain dalam menentukan standar karena ia selalu dapat menentukan standarnya sendiri.

Walgito (2000) menjelaskan bahwa kepercayaan diri berawal dari tekad diri untuk melakukan sesuatu dalam hidup sesuai dengan batas-batas keinginan dan kemampuan pribadi. Seseorang yang yakin dengan kemampuan diri akan mampu menyelesaikan masalahnya sendiri,

(10)

mengetahui apa yang dibutuhkan dalam hidup, dan mampu melakukan sesuatu sesuai dengan yang diinginkan atau harapan-harapannya.

Angelis (2002) menambahkan jika yakin pada diri sendiri maka tantangan hidup apapun akan dihadapi. Memiliki keyakinan berarti percaya diri untuk menerjang segala kekhawatiran dan pantang menyerah. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kepercayaan sebagai tekad diri yang terbina dari keyakinan dalam jiwa sebagai manusia bahwa tantangan hidup apapun harus dihadapi dengan kesediaan melakukan untuk berbuat sesuatu dan pantang menyerah.

2. Aspek-aspek Kepercayaan Diri

Lauster (2003), menjabarkan aspek-aspek kepercayaan diri sebagai berikut:

a. Yakin akan kemampuan diri sendiri

Yakin akan kemampuan diri sendiri diartikan sebagai merasa tidak perlu membandingkan diri dengan orang lain dan tidak mudah untuk terpengaruh orang lain. Angelis (2002), menambahkan individu yang percaya diri akan berani menghadapi tantangan dalam kehidupannya. b. Optimis

Optimis, yaitu memiliki pandangan dan harapan positif tentang dirinya. Sikap optimis dapat memacu kekuatan seseorang untuk beraktivitas dalam tingkatan yang lebih baik, sehingga sikapnya menjadi positif dan terbuka. Individu yang optimis mempunyai

(11)

kemauan untuk bekerja dan belajar agar tercapai tujuan yang diharapkan.

c. Mandiri

Mandiri yaitu tidak tergantung pada orang lain dalam melakukan tugas. Sikap mandiri mendorong seseorang untuk tidak menggantungkan harapan kepada orang lain. Walgito (2000) menjelaskan bahwa individu yang mandiri tidak suka meminta bantuan orang lain dan tidak mengandalkan dukungan dari orang lain dalam melakukan suatu kegiatan. Kemandirian didukung keyakinan terhadap kemampuan diri, yaitu merasa tidak perlu membandingkan dirinya dengan orang lain dan tidak mudah terpengaruh oleh orang lain.

d. Tidak mementingkan diri sendiri dan toleran

Tidak mementingkan diri adalah sikap murni seseorang tanpa tujuan untuk mendapatkan balasan sama sekali, sedangkan individu yang mempunyai toleransi akan mengenali kemampuan dan keterbatasan dirinya, kemampuan dan keterbatasan orang lain serta perbedaan potensi pribadi antar individu. Walgito (2000) menambahkan bahwa toleransi berarti memahami dan menerima perbedaan orang lain dengan dirinya dan mengerti kekurangan yang ada pada dirinya serta dapat menerima pandangan dari orang lain.

(12)

e. Memiliki ambisi yang wajar

Ambisi adalah dorongan untuk mencapai hasil yang diperlihatkan dan dihargai oleh orang lain untuk mempertinggi rasa harga diri dan memperkuat kesadaran atas diri sendiri. Angelis (2002) menjelaskan bahwa keyakinan diri adalah kepercayaan terhadap potensi dalam diri untuk menghadapi berbagai kekhawatiran dan terus berusaha untuk maju.

f. Tahan menghadapi cobaan

Orang dalam kehidupannya selalu menghadapi banyak persoalan atau cobaan yang tidak dapat dihindari. Tidak sabar, menilai rendah kemampuan diri sendiri merupakan beberapa sikap yang tidak tepat digunakan ketika seseorang di hadapkan pada berbagai tekanan sehingga dapat menurunkan kepercayaan dirinya.

3. Faktor-faktor Kepercayaan Diri

Walgito (2000) menyatakan bahwa kepercayaan diri dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

a. Konsep diri

Konsep diri adalah gambaran seseorang tentang keadaan dirinya sendiri (Buss dalam Supratiknya, 2000). Konsep diri akan terbentuk dengan adanya interaksi dengan lingkungan, khususnya lingkungan sosialnya. Orang yang mempunyai konsep diri positif akan lebih percaya diri dan menghargai dirinya serta dapat melihat hal-hal yang

(13)

b. Harga diri

Dalam bermasyarakat orang akan selalu berhubungan dengan individu lain sebagai makhluk sosial. Dalam berinteraksi dengan orang lain akan terbina saling menghargai antara individu satu dengan lainnya di samping juga menghargai diri sendiri. Dengan menghargai diri sendiri dan orang lain secara positif dan cukup baik akan terbentuk kepercayaan diri yang positif juga.

c. Sikap

Dalam berinteraksi seseorang akan menimbulkan sikap saling mempengaruhi dan saling memberikan stimulus dan respon terhadap yang lain, sehingga akan terbentuk gambaran-gambaran tertentu mengenai seseorang atau orang lain. Dengan gambaran-gambaran tersebut maka akan terbentuk sikap-sikap tertentu. Apabila sikap penerimaan yang diterima positif maka akan membantu membentuk kepercayaan diri yang baik bagi orang tersebut.

d. Lingkungan

Terbentuknya kepercayaan diri adalah melalui perkembangan kepribadian, yaitu dalam berintertaksi dengan lingkungan. Sikap lingkungan terhadap diri seseorang akan membentuk kepercayaan diri seseorang. Jadi hubungan individu dengan orang-orang yang ada di sekitarnya merupakan hal yang penting dalam membentuk kepercayaan dirinya.

(14)

Menurut Lauster (2003) kepercayaan diri dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya adalah:

a. Kondisi fisik

Kondisi fisik seseorang dapat menimbulkan perasaan percaya diri berkembang lebih kuat namun ada juga yang kurang kuat berkembang. Apabila rasa percaya dirinya kurang berkembang, hal lain ini tergantung seorang dalam mengatasi kelemahanya.

b. Cita-cita

Seseorang yang bercita-cita normal akan memiliki kepercayaan diri karena tidak ada perlunya untuk menutupi kekurangpercayaan pada diri sendiri dengan cita-cita yang berlebihan.

c. Sikap hati-hati

Seseorang yang percaya diri tidaklah bersikap hati-hati secara berlebihan.

d. Pengalaman

Pengalaman seseorang dalam kehidupan dapat membentuk rasa percaya diri sehingga mempengaruhi pikiran dan tingkah laku individu tersebut.

Berdasarkan penjelasan di atas, disimpulkan bahwa factor-faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri pada seseorang yaitu konsep diri, harga diri, sikap, lingkungan, kondisi fisik, cita-cita, sikap hati-hati, dan pengalaman. Penulis akan menggunakan faktor

(15)

C. Tunagrahita

1. Pengertian Tunagrahita

Istilah untuk anak tunagrahita bervariasi, dalam bahasa indonesia dikenal dengan nama: lemah pikiran, terbelakang mental, cacat grahita dan tunagrahita. Dalam bahasa inggris dikenal dengan nama “Mentaly Handicaped, Mentally Retardid”. Anak unagrahita adalah bagian dari anak luar biasa. Anak luar biasa yaitu anak yang mempunyai kekurangan, keterbatasan dari anak normal. Sedemikian rupa dari segi fisik, intelektual, sosial, emosi dan gabungan dari hal-hal tadi, sehingga mereka membutuhkan layanan pendidikan khusus untuk mengembangkan potensinya secara optimal.

Istilah tersebut sesungguhnya memiliki arti yang sama yang menjelaskan kondisi anak yang kecerdasanya jauh di bawah rata-rata dan ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan ketidakcakapan dalam interaksi sosial. Anak tunagrahita juga disebut dengan istilah terbelakang mental karena keterbatasan kecerdasanya mengakibatkan dirinya sukar untuk mengikuti pendidikan secara klasikal, oleh karen itu anak keterbelakangan mental membutuhkan layanan pendidikan secara khusus yakni disesuaikan dengan kemampuan anak tersebut. Seseorang dikategorikan berkelainan mental subnormal atau tunagrahita, jika ia memiliki tingkat kecerdasan yang sedemikian rendahnya ( di bawah normal ), sehingga untuk meneliti tugas perkembanganya memerlukan bantuan atau layanan secara sepesifik, termasuk dalam program pendidikanya ( Bratanata, 1979).

(16)

Edgar Doll berpendapat seseorang dikatakan tunagrahita jika : (1) secara sosial tidak cakap, (2) secara mental di bawah normal, (3) kecerdasannya terhambat sejak lahir atau pada usia muda, dan (4) kematanganya terhambat ( Kirk, 1970).

Menurut The American Association on Mental Deficiency (AAMD), seseorang dikategorikan tunagrahita apabila kecerdasanya secara umum di bawah rata-rata dan mengalami kesulitan penyesuaian sosial dalam setiap fase perkembanganya (Hallanhan dan Kauffman, 1986)

2. Klasifikasi Anak Tunagrahita

Pengelompokan pada umumnya didasarkan pada taraf inteligensinya, yang terdiri dari keterbelakangan mental ringan, sedang, berat. Pengelompokan seperti ini sebenarnya bersifat artifical karena kegiatanya tidak dibatasi oleh garis demarkasi yang tajam. Gradasi dari suatu level ke level berikutnya bersifat kontinum. Kemampuan inteligensi anak tunagrahita kebanyakan diukur dengan tes Stanford Binet dan Skala Weschler ( WISC ).

a. Tunagrahita Ringan

Tunagrahita ringan disebut juga moron atau debil. Kelompok ini memiliki IQ antara 68-52 menurut Binet,sedangkan menurut Skala Weschler (WISC) memiliki IQ 69-55. Mereka masih dapat belajar membaca, menulisn dan berhitung sederhana.

b. Tunagrahita Sedang

(17)

(WISC). Anak terbelakang mental sedang bisa mencapai perkembangan Mental Age (MA) sampai kurang lebih 7 tahun. Mereka dapat dididik mengurus sendiri, melindungi diri sendiri dari bahaya seperti kebakaran, berjalan di jalan raya, berlindung dari hujan, dan sebagainya.

c. Tunagrahita Berat

Kelompok anak tunagrahita berat sering disebut idiot. Kelompok ini dapat dibedakan lagi antara anak tunagrahita berat dan sangat berat. Tunagrahita berat (severe) memiliki IQ antara 32-20 menurut Skala Binet dan antara 39-25 menurut skala weschler (WISC). Tunagrahita sangat berat (profound) memiliki IQ di bawah 19 menurut skala binet dan IQ di bawah 24 menurut skala weschler (WISC). Kemampuan mental atau mental age (MA) maksimal yang dapat dicapai kurang dari tiga tahun.

Klasifikasi Anak Tunagrahita Berdasar Derajat Keterbelakanganya ( sumber : Blake, 1976 )

Tabel 1 Level keterbelakangan

IQ

Stanford Binet Skala Weschler

Ringan 68-52 69-55

Sedang 51-36 54-40

Berat 32-20 39-25

Sangat Berat >19 >24

3. Perkembangan Kognitif Anak Tunagrahita

Suppes (1974) menjelaskan bahwa kognisi merupakan bidang yang luas yang meliputi semua ketrampilan akademik yang berhubungan dengan wilayah persepsi. Messen, Conger, dan Kagan ( 1947 )

(18)

menjelaskan bahwa kognisi paling sedikit terdiri dari lima proses yaitu : (1) Persepsi, (2) Memori, (3) Pemunculan ide – ide, (4) evaluasi, (5) penalaran. Proses-proses itu meliputi sejumlah unit yaitu sekema, gambaran, simbol, konsep, dan kaidah-kaidah.

Zaenal Alimin (1993) melaporkan hasil penelitian mengenai kecepatan merespon anak tunagrahita terhadap gambar yang tidak lengkap. Pada umumnya anak tunagrahita yang memiliki mental age (MA) kurang lebih 6,5 tahun memiliki performance yang hampir sama dengan anak normal berumur 6 tahun, dalam mengenali gambar yang tidak lengkap.Perbedaanya terletak pada kecepatan menjawab soal, anak terkadang membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan anak normal. Disamping itu anak tunagrahita tidak mampu memanfaatkan informasi ( isyarat ) yang ada untuk menjawab soal-soal dan tidak memiliki strategi dalam menyelesaikan tugas itu.

D. Ibu Yang Memiliki Anak Tunagrahita Pengertian Ibu

Ibu adalah seseorang yang mencintai anaknya di dunia ini. Pengorbananya untuk anak sungguh luar biasa. Bahkan sebesar apapun pengorbananya yang anak lakukan untuk ibu, itu tidak ada bandingnya dengan pengorbanan seorang ibu. Ibu adalah tempat bersandar anak di saat anak sedang terpuruk dalam menjalani hidup ini.

(19)

Orang tua adalah pengertian umum dari seseorang yang melahirkan anak, orang tua biologis. Orang tua yang telah mengasihi anak, memelihara anaknya sedari kecil.

Menurut Thamrin Nasution orang tua merupakan setiap orang yang bertanggung jawab dalam suatu keluarga atau tugas rumah tangga yang dalam kehidupan sehari – hari di sebut sebagai ibu dan bapak .

Menurut Harlock orang tua merupakan orang dewasa yang membawa anak ke dewasa,terutama dalam masa perkembanganya.

E. Hubungan Kepercayaan Diri dengan Penyesuaian Diri Ibu Yang Memiliki Anak Tunagrahita sedang

Ibu adalah seseorang yang paling mencintai anak di dunia ini. Pengorbananya untuk anak sungguh luar biasa. Bahkan sebesar apapun pengorbananya yang anak lakukan untuk beliau, itu tidak ada bandingnya dengan pengorbanan seorang ibu. Ibu adalah tempat bersandar anak di saat anak sedang terpuruk dalam menjalani hidup ini.

Anak tunagrahita adalah bagian dari anak luar biasa. Anak luar biasa yaitu anak yang mempunyai kekurangan, keterbatasan dari anak normal. Sedemikian rupa dari segi fisik, intelektual, sosial, emosi dan gabungan dari hal-hal tadi, sehingga mereka membutuhkan layanan pendidikan khusus untuk mengembangkan potensinya secara optimal.

Anak tunagrahita sedang disebut dengan imbesil. Kelompok ini memiliki IQ 51-40 pada skala Binet, dan 54-40 menurut SkalaWeschler (WISC). Anak

(20)

terbelakang mental sedang bisa mencapai perkembangan Mental Age (MA) sampai kurang lebih 7 tahun. Mereka dapat dididik mengurus sendiri, melindungi diri sendiri dari bahaya seperti kebakaran, berjalan di jalan raya, berlindung dari hujan, dan sebagainya.

Ibu yang memiliki anak tunagrahita mereka merasakan kecewa, terpukul, tidak percaya diri dan bahkan mereka tidak bisa untuk melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan disekitarnya. Ibu yang memiliki anak tunagrahita takut jika anaknya kelak akan di sepelekan bahkan akan dikucilkan di lingkungan sekitarnya. Itulah yang membuat ibu anak tunagrahita masih menutup diri.

Menurut Lauster (2003) Kepercayaan Diri adalah merupakan salah satu ciri kepribadian yang mengandung arti keyakinan akan kemampuan diri sendiri, sehingga individu tidak mudah terpengaruh oleh orang lain. Hambly ( 1987) mendefinisikan kepercayaan diri sebagai keyakinan individu untuk melakukan sesuatu sesuai dengan keinginanya dan didasarkan pada cara pandang individu terhadap dirinya, bagaimana individu mengetahui kamampuan dan kelemahanya, bagaimana individu menerima kekurangan dan kelebihanya, bagaimana individu menyesuaikan diri dengan lingkunganya serta cara individu menyelesaikan permasalahan berdasarkan kemampuan yang dimilikinya.

Ibu yang memiliki anak tunagrahita kehilangan kepercayaan diri karena mereka takut jika anaknya tidak di terima di masyarakat sekitar. Ibu yang

(21)

memiliki anak tunagrahita cenderung menutup diri dengan orang – orang di lingkungan sekitarnya. Sehingga mempengaruhi kepercayaan dirinya.

Penyesuaian diri dapat dikatakan sebagai cara tertentu yang dilakukan oleh individu untuk bereaksi terhadap tuntunan dalam diri maupun situasi eksternal yang dihadapinya (Agustiani, 2006). Penyesuaian diri pada prinsipnya yaitu suatu proses yang mencangkup respon mental dan tingkah laku, dengan mana individu berusaha untuk dapat berhasil mengatasi kebutuhan-kebutuhan dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik dan frustasi yang dialaminya sehingga terwujud tingkat keselarasan antara tuntutan dari dalam diri dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan dimana individu tinggal.

Ibu yang memiliki anak tunagrahita juga penyesuaian dirinya dengan lingkungan sekitar terganggu karena takut dengan keadaan anaknya yang tidak normal dan tidak bertumbuh seperti anak normal pada umumnya. Ibu yang memilik anak tunagrahita lebih menutup diri kepada lingkungan sekitarnya.

Ibu anak tunagrahita tentu saja memiliki kepercayaan diri, jika rasa kepercayaan diri dari ibu anak tunagrahita rendah maka akann mempengaruhi penyesuaian dirinya di lingkungan sekitarnya dan kehidupan sehari – harinya. Dan jika ibu yang memiliki anak tunagrahita memiliki kepercayaan diri yang tinggi maka dalam penyesuaian dirinya terhadap lingkungan dan kehidupan sehari – harinya tidak ada permasalahan. Jadi disini kepercayaan diri itu

(22)

mempengaruhi penyesuaian terhadap lingkungan sekitar dan kehidupan sehari – hari.

F. Kerangka Berfikir

IBU ANAK TUNAGRAHITA

KEPERCAYAAN DIRI PENYESUAIAN DIRI

1. Kematangan emosional 2. Kematangan intelektual 3. Kematangan sosial 4. Tanggung jawab Yakin akan kemampuan

diri sendiri Optimis Mandiri

Tidak mementingkan diri sendiri dan toleran

Memiliki ambisi yang wajar

(23)

G. Hipotesis

Berdasarkan teori – teori yang telah dikemukakan, penelitian mengajukan hipotesis : ada hubungan antara kepercayaan diri dengan penyesuaian diri ibu yang memiliki anak tunagrahita sedang di SLB ABCD Kuncup Mas di Kecamatan Banyumas

Gambar

Tabel 1  Level keterbelakangan

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pada identifikasi masalah di atas, penelitian ini dibatasi pada adanya indikasi pelaksanaan pembelajaran masih belum optimal dan belum berjalan

Kegiatan pembelajaran berikutnya yaitu membaca teks mengenai anggota tubuh hewan dan fungsinya. Salah satu siswa membacakan teks di buku pegangan siswa yang ditunjuk oleh guru

Penerimaan responden terhadap karakteristik sensori produk ini akan mempengaruhi tingkat konsumsi dan pemilihan serta persepsi terhadap coklat batang... 18

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dijelaskan bahwa program BRI Peduli Pasar Rakyat (BRI Pesat) merupakan bentuk kegiatan Corporate Social Responsibility yang

Dimana hasil penelitian terdiri dari struktur mikro pearlite dan ferrite pada Gambar 1, tetapi menurut hasil penelitian Hall (2010), pada hasil pengujian struktur mikro

Bahwa dalam perjalanannya ternyata take Over yang telah dijanjikan oleh PT Bank Syariah Mega Indonesia kepada nasabah Nining Rohayati binti Waslam tidak

Biro Sumber Daya Manusia (BSDM) melaksanakan kegiatan mutasi pegawai yang mencakup perencanaan, penerimaan, promosi, pemindahan, pengembangan, pemberhentian dan

Tepi luka merup merupakan aspek akan aspek yang paling sering diabaikan dalam yang paling sering diabaikan dalam perawa perawatan luka, tan luka,  padahal tepi luka