• Tidak ada hasil yang ditemukan

Putri E G Damanik 1, Mhd Arifin Siregar 2, Evawany Y Aritonang 3

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Putri E G Damanik 1, Mhd Arifin Siregar 2, Evawany Y Aritonang 3"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

1 HUBUNGAN STATUS GIZI, PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF, STATUS IMUNISASI DASAR DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN AKUT (ISPA) PADA ANAK USIA 12-24 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GLUGUR DARAT KOTA MEDAN

(THE CORRELATION BETWEEN NUTRITIONAL STATUS, EXCLUSIVE BREASTFEEDING, BASIC IMMUNIZATION STATUS WITH ACUTE RESPIRATORY INFECTION (ARI) INCIDENT

IN CHILDREN AGE 12 TO 24 MONTHS IN GLUGUR DARAT PUBLIC HEALTH CENTRE AT MEDAN CITY)

Putri E G Damanik1, Mhd Arifin Siregar2, Evawany Y Aritonang3 1

Alumni Mahasiswa Gizi Kesehatan Masyarakat, FKM USU 2,3

Staf Pengajar Gizi Kesehatan Masyarakat, FKM USU ABSTRACT

Acute Respiratory Infections (ARI) incident become the main cause of children under 5 years of age mortality (59%) in developing or development countries. Children under 2 years of age period is critical period of health and golden period of brain development.

This research purpose is to find out the correlation of nutritional status, exclusive breastfeeding, basic immunization status with Acute Respiratory Infections (ARI) incident for children age 12 to 24 months in Glugur Darat Public Health Centre at Medan City. This research is observational analytic using case control design. Population is children age 12 to 24 months in Glugur Darat Public Health Centre work area. Sample is taken according the exclusion and inclusion criteria for 30 cases and 30 controls. Data analysis included univariate and bivariate analysis with using chi-square test considering Odds Ratio (OR).

Bivariate analysis result with chi-square test show that there is correlation between nutritional status and Acute Respiratory Infections (ARI) incident (p=0.045; OR =3,333), exclusive breastfeeding and Acute Respiratory Infections (ARI) incident (p=0,032; OR=3,2386), basic immunization status and Acute Respiratory Infections (ARI) incident (p=0,037; OR=3,763).

It is recommended that the public health center to give implement education about health informations, especially to pregnant and breastfeeding mothers . For mothers is recommended to check frequently or period their children health and growth to posyandu/public health center. For society is recommended to keep environmental sanitation and reduce smoking at the home to prevent children from Acute Respiratory Infections (ARI) incident.

Keywords : Acute Respiratory Infections (ARI), children age 12 to 24 months, nutritional status, exclusive breastfeeding, basic immunization status

PENDAHULUAN

Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) lebih banyak terjadi di negara berkembang dibandingkan negara maju. Penyakit-penyakit infeksi seperti ISPA dan pneumonia menjadi penyebab utama kematian balita (59%). Pada tahun 2013, terdapat 6,6 juta balita yang meninggal di seluruh dunia dan diperkirakan 83% disebabkan oleh kematian neonatal, pneumonia, diare, campak, dan HIV/AIDS. Masalah kematian balita menjadi perhatian dunia, sehingga dibentuklah Millenium

Development Goals (MDGs) dengan salah satu target pencapaian pada poin keempat, yaitu mengurangi kematian balita 2/3 dari tahun 1990-2015 (WHO, 2013). World Health Organization (WHO) memperkirakan insidens ISPA di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20% per tahun. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dimana penyakit ISPA masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakatnya. Episode penyakit ISPA pada balita di Indonesia diperkirakan 3-6 kali per tahun. Hal

(2)

2 ini berarti seorang balita rata-rata menderita

ISPA sebanyak 3 sampai 6 kali setahun. ISPA juga merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di sarana kesehatan yaitu sebanyak 40%-60% kunjungan berobat di puskesmas dan 15%-30% kunjungan berobat di bagian rawat jalan dan rawat inap rumah sakit (Depkes, 2010). Karakteristik penduduk dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun (25,8%). Di Sumatera Utara, Periode Prevalence ISPA adalah sebesar 10,9% (Kemenkes, 2013). Berdasarkan penelitian Djaja (2001), didapatkan bahwa prevalensi penyakit ISPA berdasarkan umur balita adalah untuk usia < 6 bulan (4,5%), 6-11 bulan (11,5%), 12-23 bulan (11,8%), 24-35 bulan (9,9%), 36-47 bulan (9,2%), 48-59 bulan (8,0%).

Usia anak bawah dua tahun (baduta) merupakan usia yang sangat menentukan perkembangan seorang anak di masa depan. Masa baduta adalah masa kritis dalam kesehatan dan masa emas dalam pertumbuhan otak. Namun, usia baduta juga merupakan usia yang rentan terhadap penyakit yang dapat mengakibatkan kematian. Sebagian besar penyebab kesakitan dan kematian tersebut dikarenakan penyakit seperti ISPA, diare, malaria, campak, dan malnutrisi (Cicih, 2011). Terdapat beberapa faktor resiko terjadinya ISPA yang berasal dari individu anak, diantaranya adalah status gizi, pemberian ASI eksklusif, dan status imunisasi dasar. Status gizi dapat mempengaruhi kekebalan tubuh balita. Seorang balita dapat terserang penyakit apabila ia mengalami gizi buruk, meskipun telah diimunisasi lengkap. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rosalina (2008), bahwa anak balita yang menderita infeksi saluran pernapasan akut kemungkinan 6,5 kali status gizinya kurang dibandingkan dengan anak balita yang tidak menderita infeksi saluran pernapasan akut, pada tingkat kepercayaan 95% diyakini nilai OR berada pada interval 3,444–12,291.

Pemberian ASI secara eksklusif atau tidak eksklusif merupakan salah satu faktor resiko ISPA. ASI mengandung kolostrum yang didalamnya terdapat zat kekebalan 10-17 kali lebih banyak daripada susu matang. Anak yang diberi ASI eksklusif ternyata akan

lebih sehat dan lebih jarang sakit dibandingkan dengan anak yang tidak diberi ASI eksklusif (Roesli, 2000). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rosalina (2008), didapat hasil bahwa anak balita yang menderita ISPA kemungkinan besar 13,8 kali tidak mendapat ASI eksklusif dibandingkan dengan anak balita yang tidak menderita infeksi saluran pernapasan akut, pada tingkat kepercayaan 95% diyakini nilai OR berada pada interval 6,852–27,865.

Imunisasi bermanfaat untuk mencegah beberapa jenis penyakit infeksi seperti polio,TBC, difteri, pertusis, tetanus, dan hepatitis B, bahkan mencegah kematian dari akibat penyakit-penyakit tersebut. Sebagian besar kasus ISPA merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, seperti difteri dan batuk rejan (Kemenkes RI, 2011). Hasil penelitian Valentina (2011) dengan desain cross sectional didapat hasil bahwa batita dengan status imunisasi tidak lengkap mengalami ISPA 1,6 kali lebih besar dibandingkan batita dengan status imunisasi lengkap.

Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara tahun 2012 menunjukkan jumlah kasus ISPA tiga kabupaten/kota tertinggi secara berturut-turut adalah Kabupaten Simalungun yaitu 32,44%, disusul dengan Kota Medan sebesar 25,50% dan Kabupaten Deli Serdang sebesar 21,53% (Dinkes Provsu, 2013). Puskesmas Glugur Darat merupakan salah satu puskemas di Kota Medan yang berada di Kecamatan Medan Timur. ISPA selalu berada pada peringkat pertama dari 10 penyakit terbesar di Puskesmas Glugur Darat. Berdasarkan data laporan bulanan P2-ISPA tahun 2013 didapat hasil bahwa 1.494 balita menderita ISPA non-pneumonia (batuk pilek biasa) dari 3.460 balita yang ada di wilayah kerja Puskesmas Glugur Darat. Pada bulan Juni 2014 diperoleh jumlah baduta penderita ISPA non-pneumonia (batuk pilek biasa) sebanyak 30 orang berdasarkan data Puskesmas Glugur Darat.

Adapun yang menjadi rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana hubungan antara status gizi, pemberian ASI eksklusif, dan status imunisasi dasar dengan kejadian ISPA pada anak usia 12-24 bulan di Puskesmas Glugur Darat Kota Medan.

(3)

3 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

hubungan antara status gizi, pemberian ASI eksklusif, dan status imunisasi dasar dengan kejadian ISPA pada anak usia 12-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Glugur Darat Kota Medan.

Manfaat dari penelitian ini adalah menambah wawasan dan pengetahuan penulis mengenai ISPA dan meningkatkan kemampuan penulis dalam menganalisis kejadian ISPA yang terjadi di masyarakat; sebagai bahan informasi bagi masyarakat mengenai kejadian ISPA pada baduta dan hubungannya dengan status gizi, pemberian ASI, dan status imunisasi dasar sehingga masyarakat dapat melakukan tindakan pencegahan agar kejadian ISPA pada baduta dapat berkurang; sebagai bahan informasi bagi institusi kesehatan dalam upaya pencegahan dan penanganan kejadian ISPA pada baduta melalui program-program yang dilaksanakan; dan sebagai bahan masukan atau referensi bagi peneliti selanjutnya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan menyelesaikan penelitian selanjutnya.

METODE

Jenis penelitian ini adalah penelitian studi analitik observasional dengan menggunakan desain kasus kontrol. Populasi kasus dalam penelitian ini adalah seluruh anak yang menderita ISPA berusia 12-24 bulan yang tercatat dalam rekam medik Puskesmas Glugur Darat dan berada dalam wilayah kerja Puskesmas Glugur Darat. Sedangkan populasi kontrol adalah seluruh anak yang tidak menderita ISPA berusia 12-24 bulan yang berada dalam wilayah kerja Puskesmas Glugur Darat. Sampel kasus dalam penelitian ini adalah anak yang menderita ISPA berusia 12-24 bulan yang tercatat dalam rekam medik Puskesmas Glugur Darat dan berada dalam wilayah kerja Puskesmas Glugur Darat. Sementara sampel kontrol adalah anak yang tidak menderita ISPA berusia 12-24 bulan yang berada dalam wilayah kerja Puskesmas Glugur Darat yang diambil sebanding dengan jumlah sampel kasus dengan perbandingan 1:1. Pengambilan sampel dalam penelitian ini berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi dan dengan memperhatikan matching.

Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara langsung kepada ibu baduta menggunakan kuesioner, meliputi karakteristik responden, karakteristik baduta, berat badan, pemberian ASI eksklusif, status imunisasi dasar, dan kejadian ISPA., sedangkan data sekunder meliputi gambaran umum wilayah penelitian, profil puskesmas, data baduta penderita ISPA di wilayah kerja Puskesmas Glugur Darat, dan sumber-sumber lain yang dianggap relevan dengan tujuan penelitian. Analisa data dilakukan dengan menggunakan analisis univariat dan bivariat. HASIL DAN PEMBAHASAN

Puskesmas Glugur Darat merupakan puskesmas yang berada di Kecamatan Medan Timur dengan luas wilayah 776 Ha. Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Glugur Darat sebanyak 147.086 jiwa dengan jumlah balita sebanyak 17.650 jiwa.

Tabel 1. Karakteristik Responden di Wilayah Kerja Puskesmas Glugur Darat

Karakteristik Kasus Kontrol

n % N %

1. Kelompok Umur Ibu/Wali

< 25 tahun 5 13,3 6 20,0 25-34 tahun 19 63,3 15 50,0 35-44 tahun 3 13,3 8 26,7 45-54 tahun 0 0 1 3,3 > 54 tahun 3 10,0 0 0 Total 30 100,0 30 100,0 2. Pendidikan Ibu/Wali Tidak Sekolah/ Tidak Tamat SD 1 3,3 0 0 SD 5 16,7 1 3,3 SMP 3 10,0 8 26,7 SMA 16 53,3 19 63,3 Akademi/PT 5 16,7 2 6,7 Total 30 100,0 30 100,0 3. Pekerjaan Ibu/Wali

Ibu Rumah Tangga 24 80,0 25 83,3

Wiraswasta 2 6,7 3 10,0

Pegawai Swasta 4 13,3 1 3,3

Pegawai Negeri 0 0 1 3,3

Total 30 100,0 30 100,0

4. Keberadaan Perokok dalam Rumah

Tidak Merokok 5 16,7 5 16,7

Merokok 25 83,3 25 83,3

(4)

4 Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah

responden terbesar berada pada golongan umur 25-34 tahun, yaitu pada kelompok kasus sebanyak 19 orang (63,3%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 15 orang (50%). Pendidikan terakhir responden yang terbanyak adalah pada jenjang SMA, yaitu pada kelompok kasus sebanyak 16 orang (53,3%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 19 orang (63,3%). Sebagian besar responden adalah ibu rumah tangga, yaitu pada kelompok kasus sebanyak 24 orang (80%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 25 orang (83,3%). Keberadaan perokok dalam rumah responden pada kelompok kasus dan kontrol sebanyak 25 orang (83,3%). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara baduta yang memiliki perokok dalam rumah atau tidak pada kelompok kasus maupun kontrol karena keberadaan perokok dalam rumah merupakan kriteria matching.

Populasi target pada penelitian ini adalah seluruh anak usia 12-24 bulan yang berada dalam wilayah kerja Puskesmas Glugur Darat. Sampel penelitian ini sebanyak 60 orang, yaitu kasus 30 orang dan kontrol 30 orang, yang dapat dilihat pada tabel 2 sebagai berikut:

Tabel 2. Karakteristik Anak Usia 12-24 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Glugur Darat

Karakteristik Kasus Kontrol

n % N % 1. Kelompok Umur 12-18 bulan 18 60,0 18 60,0 19-24 bulan 12 40,0 12 40,0 Total 30 100,0 30 100,0 2. Jenis Kelamin Laki-laki 12 40,0 17 56,7 Perempuan 18 60,0 13 43,3 Total 30 100,0 30 100,0

Tabel 2 diatas menunjukkan bahwa anak yang paling banyak menderita ISPA adalah yang berumur 12-18 bulan, yaitu 18 orang (60%) dan jenis kelamin perempuan lebih banyak terkena ISPA daripada laki-laki, yaitu sebanyak 18 orang (60%). Sedangkan pada kelompok kontrol, yang paling banyak tidak terkena ISPA juga yang berumur 12-18 bulan, yaitu 18 orang (60%) dan jenis kelamin

laki-laki lebih banyak tidak terkena ISPA dibandingkan perempuan, yaitu sebanyak 17 orang (56,7%).

Hubungan Variabel Independen terhadap Kejadian ISPA

Hasil analisis bivariat yang dilakukan antara varibel independen terhadap kejadian ISPA pada kelompok kasus dan kelompok kontrol dapat dilihat pada tabel 3 sebagai berikut:

Tabel 3. Distribusi Proporsi Kasus dan Kontrol Berdasarkan Variabel Independen, Nilai ρ, Odds Ratio dengan 95% Confidence Interval pada Anak Usia 12-24 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Glugur Darat

Variabel Kasus Kontrol X

2 / ρ-value OR/ (CI 95%) n % n % Status Gizi Tidak Baik 12 40,0 5 16,7 4,022/ 0,045 3,333/ (0,998-11,139) Baik 18 60,0 25 83,3 Total 30 100,0 30 100,0 Pemberian ASI Tidak Eksklusif 23 76,7 15 50,0 4,593/ 0,032 3,286 (1,085-9,952) ASI Eksklusif 7 23,3 15 50,0 Total 30 100,0 30 100,0

Status Imunisasi Dasar Tidak Lengkap 11 36,7 4 13,3 4,356/ 0,037 3,763 (1,038-13,646) Lengkap 19 63,3 26 86,7 Total 30 100,0 30 100,0

Hubungan Status Gizi dengan Kejadian ISPA

Gizi merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan manusia. Status gizi dapat mempengaruhi kekebalan tubuh seorang balita. Gizi kurang terutama kurang energi, vitamin A, Zn, dan Fe menyebabkan masa bayi dan masa dini anak-anak sering mendapat penyakit infeksi (Hartriyanti, 2007).

Hasil penelitian pada tabel 3 menunjukkan bahwa proporsi anak usia 12-24 bulan yang memiliki status gizi tidak baik pada kelompok kasus sebesar 40,0% dan kontrol 16,7%. Sedangkan proporsi anak usia

(5)

5 12-24 bulan yang memiliki status gizi baik

pada kelompok kasus sebesar 60,0% dan kontrol 83,3%.

Hasil analisis statistik dengan uji Chi Square diperoleh nilai ρ=0,045 (ρ<0,05) menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara status gizi anak usia 12-24 bulan dengan kejadian ISPA. Selain itu, melalui perhitungan OR, diperoleh OR=3,333 yang menunjukkan bahwa anak usia 12-24 bulan yang menderita ISPA kemungkinan besar 3,3 kali status gizinya tidak baik dibandingkan anak usia 12-24 bulan yang tidak menderita ISPA pada tingkat kepercayaan 95% diyakini nilai OR berada pada interval 0,998 -11,139. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Rosalina dengan desain case control menunjukkan bahwa anak balita yang menderita ISPA kemungkinan 6,5 kali status gizinya kurang dibandingkan dengan anak balita yang tidak menderita ISPA (CI 95%: 3,444-12,291).

Keadaan gizi yang tidak baik muncul sebagai faktor yang penting untuk terjadinya penyakit infeksi. Anak dengan gizi tidak baik akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan anak dengan gizi baik karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi akan menyebabkan anak tidak nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Anak yang menderita ISPA jika diberikan perawatan yang baik seperti vitamin dan perawatan waktu sakit yang baik dapat meningkatkan daya tahan tubuh anak sehingga penyakit ISPA yang diderita tidak terlalu mempengaruhi status gizi anak (Moehji, 1988).

Hasil penelitian menunjukan 9 orang baduta (15%) berstatus gizi buruk dan 8 orang baduta (13,3%) berstatus gizi kurang. Jika dibandingkan dengan prevalensi Nasional (5,4%) dan prevalensi gizi buruk Sumatera Utara (8,4%). Maka prevalensi gizi buruk di wilayah kerja Puskesmas Glugur Darat ini cukup tinggi dan perlu diperhatikan.

Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian ISPA

ASI (Air Susu Ibu) merupakan makanan bayi yang paling sempurna, bersih dan sehat serta praktis karena mudah diberikan setiap saat. ASI dapat mencukupi

kebutuhan gizi bayi untuk tumbuh kembang dengan normal sampai berusia 6 bulan. ASI mengandung gizi yang cukup lengkap dan mengandung imun untuk kekebalan tubuh bayi (Depkes, 2004).

Hasil penelitian pada tabel 3 menunjukkan bahwa proporsi anak usia 12-24 bulan yang tidak mendapatkan ASI eksklusif pada kelompok kasus sebesar 76,7% dan kontrol 50%. Sedangkan proporsi anak usia 12-24 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif pada kelompok kasus sebesar 23,3% dan kontrol 50%.

Hasil analisis statistik dengan uji Chi Square diperoleh nilai ρ=0,032 (ρ<0,05) yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pemberian ASI eksklusif pada anak usia 12-24 bulan dengan kejadian ISPA. Selain itu, melalui perhitungan OR, diperoleh OR = 3,286 yang menunjukkan bahwa anak usia 12-24 bulan yang menderita ISPA kemungkinan 3,3 kali tidak diberikan ASI eksklusif dibandingkan anak balita yang tidak menderita ISPA pada tingkat kepercayaan 95% diyakini nilai OR berada pada interval 1,085–9,952.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Rosalina dengan desain case control didapatkan bahwa proporsi anak balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif pada kelompok kasus sebesar 80,9% dan kontrol 23,4% memiliki OR 13,8 (p=0,000). Hal ini menunjukkan bahwa anak balita yang menderita ISPA kemungkinan 13,8 kali tidak mendapat ASI eksklusif dibandingan dengan anak balita yang tidak menderita ISPA (CI 95%: 6,852-27,865).

ASI merupakan makanan terbaik bagi anak terutama pada bulan-bulan pertama karena dapat mencukupi kebutuhan gizi bayi untuk tumbuh kembang dengan normal sampai berusia 6 bulan. ASI juga kaya akan antibodi yang dapat melindungi bayi dari berbagai macam infeksi bakteri, virus, dan alergi serta mampu merangsang perkembangan sistem kekebalan bayi itu sendiri. Ibu harus selalu dianjurkan menyusui bayinya bila bayi dan ibunya dalam keadaan sehat dan tidak terdapat kelainan-kelainan yang memungkinkan untuk tidak menyusukan. Ibu dapat memberikan ASI secara eksklusif selama 4-6 bulan dan dapat

(6)

6 diteruskan hingga anak berusia 2 tahun. WHO

dan UNICEF (2003) merekomendasikan 4 (empat) pola makan terbaik bagi anak dari lahir sampai usia 2 tahun yang dikenal dengan Golden standart Infant feeding (standart emas makanan bayi). Standart ini terdiri dari Inisiasi menyusu dini (IMD), ASI Ekslusif sampai 6 bulan, berikan MP-ASI sejak bayi berusia 6 bulan dan teruskan ASI sampai 2 tahun.MP-ASI dini dan makanan pralaktal akan mengakibatkan resiko diare dan ISPA pada bayi.

Hubungan Status Imunisasi Dasar dengan Kejadian ISPA

Imunisasi dasar adalah pemberian imunisasi awal pada bayi yang baru lahir sampai usia satu tahun untuk mencapai kadar kekebalan diatas ambang perlindungan (Depkes RI, 2005). Anak balita yang telah memperoleh imunisasi yang lengkap sesuai dengan umurnya otomatis sudah memiliki kekebalan terhadap penyakit tertentu, maka jika ada kuman yang masuk ketubuhnya secara langsung tubuh akan membentuk antibodi terhadap kuman tersebut (Depkes, 2002).

Hasil penelitian pada table 3 menunjukkan bahwa proporsi anak usia 12-24 bulan yang status imunisasi dasarnya tidak lengkap pada kelompok kasus sebesar 36,7% dan kontrol 13,3%. Sedangkan proporsi anak usia 12-24 bulan yang mendapatkan status imunisasi dasarnya lengkap pada kelompok kasus sebesar 63,3% dan kontrol 86,7%.

Hasil analisis statistik dengan uji Chi Square diperoleh nilai ρ=0,037 (ρ<0,05) yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kelengkapan status imunisasi dasar pada anak usia 12-24 bulan dengan kejadian ISPA. Selain itu, melalui perhitungan OR, diperoleh OR=3,763 yang menunjukkan bahwa anak usia 12-24 bulan yang menderita ISPA kemungkinan 3,8 kali tidak memiliki imunisasi dasar yang lengkap dibandingkan anak balita yang tidak menderita ISPA pada tingkat kepercayaan 95% diyakini nilai OR berada pada interval 1,038-13,646.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Valentina dengan desain cross sectional diperoleh bahwa ada hubungan yang

bermakna antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada bayi dengan nilai ρ=0,020 dan Ratio Prevalens 1,597 (95% CI; 1,095-2,330) yang artinya bayi dengan status imunisasi tidak lengkap kemungkinan berisiko mengalami ISPA 1,6 kali lebih besar dibandingkan batita dengan status imunisasi lengkap.

Imunisasi merupakan upaya pemberian kekebalan tubuh yang terbentuk melalui vaksinasi yang bermanfaat untuk mencegah beberapa jenis penyakit infeksi termasuk penyakit ISPA. Imunisasi yang dapat mencegah penyakit ISPA yaitu imunisasi DPT dan campak. Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat. Balita yang telah memperoleh imunisasi yang lengkap sesuai dengan umurnya otomatis sudah memiliki kekebalan terhadap penyakit tertentu, maka jika ada kuman yang masuk ke tubuhnya secara langsung tubuh akan membentuk antibodi terhadap kuman tersebut. Imunisasi yang tidak memadai merupakan faktor risiko yang dapat meningkatkan kejadian ISPA, sehingga faktor anak yang diimunisasi sangat menentukan tingginya kejadian ISPA. Anak balita dikatakan mendapat imunisasi lengkap apabila telah mendapatkan imunisasi yang seharusnya diperoleh sesuai dengan batas waktunya. Tidak mendapatkan imunisasi campak, berarti anak tersebut termasuk lebih berisiko terjadinya ISPA dan bahkan kematian karena pneumonia (Depkes RI, 2002).

KESIMPULAN

1. Ada hubungan status gizi dengan kejadian ISPA pada anak usia 12-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Glugur Darat (ρ=0,045). Baduta yang menderita ISPA kemungkinan 3,3 kali status gizinya tidak baik dibandingkan baduta yang tidak menderita ISPA (OR=3,333).

2. Ada hubungan pemberian ASI dengan kejadian ISPA pada anak usia 12-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Glugur Darat (ρ=0,032). Baduta yang menderita ISPA kemungkinan besar 3,3 kali tidak

(7)

7 mendapat ASI eksklusif dibandingkan

dengan baduta yang tidak menderita ISPA (OR=3,286).

3. Ada hubungan status imunisasi dasar dengan kejadian ISPA pada anak usia 12-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Glugur Darat (ρ=0,037). Baduta yang menderita ISPA kemungkinan besar 3,8 kali tidak memiliki imunisasi dasar yang lengkap dibandingkan dengan baduta yang tidak menderita ISPA (OR=3,763). SARAN

1. Bagi pihak puskesmas agar memberikan penyuluhan kesehatan, terutama kepada ibu hamil dan menyusui mengenai pentingnya ASI eksklusif, PMT sesuai umur, dan imunisasi dasar secara lengkap.

2. Anak yang sudah berumur lebih dari 6 bulan agar tetap diberikan ASI hingga berumur 2 tahun selain makanan tambahan

3. Bagi para ibu dianjurkan secara rutin maupun berkala untuk memeriksakan kesehatan dan tumbuh kembang anaknya ke posyandu/puskesmas terutama anak yang beresiko untuk mencegah penyakit ISPA, peningkatan status gizi anak, dan untuk mendapatkan imunisasi.

4. Bagi masyarakat agar menjaga sanitasi lingkungan, memberikan ventilasi dan pencahayaan yang cukup pada rumah, dan mengurangi kegiatan merokok dalam rumah untuk mencegah terjadinya ISPA pada anak yang berada dalam rumah.

DAFTAR PUSTAKA

Cicih, L. H.M. 2011. Pengaruh Perilaku Ibu terhadap Status Kesehatan Anak Baduta di Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Sari Pediatri. Vol. 13, No. 1 Depkes RI. 2002. Pedoman Pemberantasan

Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan Pneumonia pada Balita. Jakarta

Depkes RI. 2002. Pedoman Operasional Program Imunisasi. Jakarta

Depkes RI. 2004. Keluarga Sadar gizi Mewujudkan Keluarga Cerdas dan Mandiri. Jakarta

Depkes RI. 2005. Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial. Jakarta

Depkes RI. 2010. Profil Kesehatan Indonesia 2009. Jakarta

Dinkes Provsu. 2013. Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2012. Medan

Djaja, S. 2000. Prevalensi Pneumonia Dan Demam Pada Bayi Dan Anak Balita, SDKI 1991, 1994, 1997. Buletin Penelitian Kesehatan. Vol.26, No.4 Hartriyanti, Y dan Triyanti. 2007. Gizi dan

Kesehatan Masyarakat. PT. RajaGrafindo Persada : Jakarta

Kemenkes. 2011. Imunisasi efektif menekan angka kesakitan dan kematian bayi. Jakarta

Kemenkes. 2013. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Nasional. Balitbangkes. Jakarta

Moehji, S. 1988. Pemeliharaan Gizi dan Balita, Penerbit Bhratara Karya Aksara : Jakarta

Roesli, U. 2000. Mengenal ASI Eksklusif. Trubus Agriwidya : Jakarta

Rosalina, S. 2008. Strategi Penanggulangan Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada Anak Balita Melalui Analisis Faktor Determinan di Tiga Kecamatan Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan Tahun 2006. Tesis FKM USU. Medan

SP2TP. 2013. Laporan Bulanan P2-ISPA. Puskesmas Glugur Darat. Medan WHO dan UNICEF. 2003. Global Strategy of

Infant and Young Child Feeding. Geneva, Switzerland

WHO. 2013. MDG 4 : reduce child mortality. http://www.who.int/topics/millennium _development_goals/child_mortality/e n/ diakses tanggal 17 April 2014 Valentina. 2011. Faktor-Faktor yang

Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Batita di Kelurahan Glugur Darat I Kecamatan Medan Timur Tahun 2011. Skripsi FKM USU. Medan

Gambar

Tabel  1.  Karakteristik  Responden  di  Wilayah  Kerja  Puskesmas  Glugur Darat

Referensi

Dokumen terkait

PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) ANTARA ANAK YANG DIBERI ASI EKSKLUSIF DENGAN YANG DIBERI PENGGANTI ASI (PASI) PADA USIA

Kaitan Antara Kelengkapan Imunisasi dan Status Gizi dengan kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dan Diare Akut pada Anak Batita di Desa Muara Panco Kecamatan

Peneliti hanya melihat hubungan status imunisasi, status gizi, dan ASI eksklusif sedangkan faktor – faktor risiko lain yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada bayi

Judul penelitian : Hubungan Status Imunisasi Dengan Kejadin Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Balita 1-5 Tahun Di Wilayah.. Kerja Puskesmas

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan status sosioekonomi, status gizi dengan penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada anak umur 1-2 tahun di

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan status gizi dan status imunisasi dengan kejadian infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Kerja

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan status gizi dan status imunisasi dengan kejadian infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Kerja

Tujuan penelitian ini diketahuinya hubungan berat badan lahir dan status imunisasi dengan kejadian infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita di