• Tidak ada hasil yang ditemukan

SURVEI EVALUASI PROGRAM PEMASYARAKATAN PENGENDALIAN HAMA TERPADU (PHT) PETANI PADI DI KECAMATAN TAMBUN UTARA, BEKASI NIA TRIKUSUMA NINGRUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SURVEI EVALUASI PROGRAM PEMASYARAKATAN PENGENDALIAN HAMA TERPADU (PHT) PETANI PADI DI KECAMATAN TAMBUN UTARA, BEKASI NIA TRIKUSUMA NINGRUM"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

KECAMATAN TAMBUN UTARA, BEKASI

NIA TRIKUSUMA NINGRUM

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

NIA TRIKUSUMA NINGRUM. Survei Evaluasi Program Pemasyarakatan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Petani Padi di Kecamatan Tambun Utara, Bekasi. Dibimbing oleh DADAN HINDAYANA.

Pengendalian Hama terpadu (PHT) merupakan pendekatan dan teknologi pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT) yang berwawasan ekonomi dan ekologi yang telah menjadi kebijakan dasar perlindungan tanaman nasional. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 pasal 20 ayat 1 menyatakan bahwa perlindungan tanaman dilaksanakan dengan sistem pengendalian hama terpadu. Pemasyarakatan PHT diadakan melalui program Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT). Penelitian ini bertujuan untuk menjawab survei evaluasi pelaksanaan program pemasyarakatan PHT yang ada di lapang. Survei dilakukan dengan pengambilan data sekunder dan primer. Data sekunder mencakup data tentang keadaan umum lokasi yang diperoleh dari Kantor Kecamatan Tambun Utara, data tentang pelaksanaan program PHT, dan SLPHT yang diperoleh dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bekasi. Data primer melalui wawancara dan penyebaran kuesinoer dengan petani. Pemilihan kelompok tani dan petani yang dijadikan objek penelitian dilakukan dengan purpose sampling yaitu dengan memilih kelompok petani yang mengikuti SLPHT dan petani yang belum SLPHT. Jumlah petani yang diwawancara dari masing-masing kelompok adalah 20 orang petani. Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah masih belum optimal dalam menjalankan program pemasyarakatan PHT. Sikap, tindakan, dan perilaku petani SLPHT dalam menangani lahan lebih baik dibanding petani yang tidak mengikuti SLPHT.

Kata kunci: UU No.12/1992, pengendalian hama terpadu (PHT), sekolah lapang pengendalian hama terpadu (SLPHT).

(3)

KECAMATAN TAMBUN UTARA, BEKASI

NIA TRIKUSUMA NINGRUM

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

Pada

Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(4)

Utara, Bekasi

Nama Mahasiswa : Nia Trikusuma Ningrum

NRP : A34080064

Disetujui Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Dadan Hindayana NIP. 19670710 199203 1 002

Diketahui

Ketua Departemen Proteksi Tanaman

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si NIP. 19650621 198910 2 001

(5)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 29 Juli 1990. Penulis adalah anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Heru Wibisono SH, M.Si dan Almarhumah Ibu Tarsih. Penulis memiliki dua orang kakak yang bernama Prita Aprianty dan Septi Dwi Hertanti. Penulis memiliki dua orang adik yang bernama Rieska Kurniasih dan Naira Agustin Wibisono.

Penulis lulus dari SDN Kayuringin Jaya XII pada tahun 2002, kemudian melanjutkan ke SMPN 7 Bekasi dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun yang sama melanjutkan ke SMAN 3 Bekasi dan lulus pada tahun 2008.

Pada tahun 2008 penulis diterima sebagai mahasiswi Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswi Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti pendidikan, penulis pernah menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman (HIMASITA) Divisi Kewirausahaan periode 2011/2012. Penulis pernah mengikuti les bahasa Korea, Mandarin, dan Jerman di Unit Bahasa IPB.

(6)

Puji dan syukur penulis ucapkan hanya untuk Allah SWT atas seluruh berkah rahmat dan karunia Nya yang telah diberikan kepada seluruh manusia dan shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah SAW sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Survei Evaluasi Program Pemasyarakatan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Petani Padi di Kecamatan Tambun Utara, Bekasi”.

Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Dadan Hindayana, sebagai dosen pembimbing skripsi. Terima kasih kepada Dr. Ir. Supramana, M.Si selaku dosen penguji tamu yang telah memberikan banyak masukan dan koreksi penulisan skripsi ini. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf pengajar Fakultas Pertanian dan laboran Departemen Proteksi Tanaman yang telah memberikan ilmu dan pengalaman selama menyelesaikan pendidikan di Fakultas Pertanian IPB.

Tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih untuk Ayahanda Heru Wibisono SH, M. Si yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian penulis. Terimakasih kepada Ibunda Yani Suryani, Prita Aprianty, Septi Dwi Hertanti, Rieska Kurniasih, Naira Agustin Wibisono, dan Haryountoro untuk dukungan, do’a, kasih dan sayang yang selalu diberikan hingga menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih kepada teman-teman DPT 45: Sagita Phinanthie, Rizkika Latania, Fiqi Syaripah, Aries Rama Saputra, Keisha Disa, dan teman-teman lainnya atas kebersamaan, semangat, persahabatan dan dukungannya selama kuliah. Terima kasih kepada teman yang sekaligus telah menjadi keluarga di Bogor: Nursyamsi Syam, Ranityasari, Ratna Dila, Ari, Ayu, Lia Fauziah, dan Firdha Zahra Alfia atas kebersamaan dan kenangan indah selama ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan demi penulisan yang lebih baik. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan pengetahuan bagi siapa saja yang membacanya.

Bogor, Desember 2012

(7)
(8)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... ix DAFTAR GAMBAR ... x DAFTAR LAMPIRAN ... xi PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan Penelitian ... 3 Manfaat Penelitian ... 3 TINJAUAN PUSTAKA ... 4 Tanaman Padi ... 4

Hama dan Penyakit Penting pada Padi ... 5

Pengendalian Hama terpadu (PHT) ... 11

Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) ... 12

Kebijakan Perlindungan Tanaman ... 13

Instruksi Presiden No. 3 Tahun 1986 ... 13

Undang-undang No. 12/1992 ... 13

BAHAN DAN METODE ... 14

Waktu dan Tempat Penelitian ... 14

Metode Pelaksanaan ... 14

Pemilihan Contoh ... 14

Pengumpulan Data Primer ... 14

Pengumpulan Data sekunder ... 15

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 16

Keadaan Umum Lokasi ... 16

Kebijakan Nasional tentang PHT ... 19

Kebijakan Daerah Kabupaten Bekasi mengenai PHT ... 21

Landasan Hukum ... 21

Tugas Pokok dan Fungsi ... 22

Isu-isu Strategis ... 22

Visi dan Misi Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Bekasi ... 22

Program PHT di Kabupaten Bekasi ... 24

(9)

Potret Aktual Pelaksanaan SLPHT di Lapang ... 29

Karakteristik Petani ... 29

Petani SLPHT ... 29

Petani nonSLPHT ... 30

Keadaan Umum Usahatani ... 31

Varietas yang Digunakan ... 31

Status Kepemilikan dan Luas Lahan Pertanian ... 32

Hasil Panen dan Sistem Penjualan ... 33

Proporsi Biaya Input Usahatani ... 33

Pengamatan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) ... 34

Pengamatan Hama dan Penyakit ... 34

Pengendalian Gulma ... 35

Penggunaan Pestisida ... 36

Kerasionalan Mencampur Pestisida ... 37

Kepedulian Petani terhadap Dampak Pestisida ... 37

Pengetahuan Petani tentang Musuh Alami ... 38

Budidaya Tanaman ... 39

Penentuan Waktu Tanam ... 39

Pemupukan ... 39

Teknik Bercocok Tanam ... 41

Pemeliharaan dan Pemanenan Tanaman ... 41

Tanggapan terhadap PHT ... 41

KESIMPULAN DAN SARAN ... 43

Kesimpulan ... 43

Saran ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 44

(10)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Luas dan status penggunaan lahan sawah di Kabupaten

Bekasi tahun 2010 ... 17

2. Jumlah rumah tangga usaha tani padi, jagung, kedelai, dan tebu menurut Kecamatan dan pengamatan lahan di Kabupaten Bekasi tahun 2009 ... 18

3. Kelembagaan kelompok tani dan usaha di Kabupaten Bekasi tahun 2010 ... 19

4. Lokasi dan jumlah petani pelaksana kegiatan SLPHT tahun 2007a ... 25

5. Program dan kegiatan Departemen Pertanian Kabupaten Bekasi 2010a ... 26

6. Pencapaian penerapan teknologi budidaya padi sawah tahun 2010a ... 27

7. Inventarisasi dan validasi data kelompok tani dan alumni SLPHT aktif tahun 011-2012a ... 28

8. Penggunaan varietas padi di Kabupaten Bekasi tahun 2010a ... 28

9. Karakteristik petani responden ... 31

10. Varietas padi yang digunakan petani ... 32

11. Pemilikan dan pengusahaan lahan ... 33

12. Proporsi biaya input usahatani padi terhadap total biaya produksi per hektar per musim tanam ... 34

13. Hama / Penyakit penting pada pertanaman padi petani responden ... 35

14. Jenis pestisida yang digunakan petani untuk pengendalian hama dan penyakit pada tanaman padi ... 37

15. pencampuran pestisida ... 37

16. Pengetahuan dan persepsi petani tentang musuh alami pada tanaman padi ... 38

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Kuisioner ... 47

2. Rekapitulasi karakteristik usahatani SLPHT ... 63

3. Rekapitulasi karakteristik usahatani nonSLPHT ... 64

4. Biaya dan pendapatan usahatani petani SLPHT ... 65

5. Biaya dan pendapatan usahatani petani nonSLPHT ... 66

6. Pengetahuan petani responden tentang budidaya tanaman ... 67

7. Pengetahuan petani responden tentang pestisida dan penyemprotan ... 67

8. Sikap petani terhadap pengendalian nonkimiawi ... 68

9. Sikap kecenderungan petani dalam mencampur pestisida ... 68

10. Sikap kerasionalan petani dalam penggunaan pestisida ... 69

11. Sikap kepedulian petani terhadap dampak pestisida ... 70

12. Keberadaan kelompok tani yang mengikuti SLPHT di Kabupaten Bekasi ... 71

13. Kegiatan selama penelitian (A) Proses wawancara petani, (B) Petugas penyuluh, (C) Penutupan SLPHT bersama petugas Penyuluh, petani, dan mahasiswa, (D) Toko tani Desa Srijaya ... 72

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penerapan pengendalian hama terpadu (PHT) di Indonesia mulai dipicu dengan terjadinya ledakan hama wereng coklat pada tahun 1985 yang menimbulkan kekhawatiran program swasembada beras dapat terganggu. Presiden atas nama pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 1986 tentang pengendalian hama wereng coklat padi. Melalui Inpres No. 3/1986 Presiden menginstruksikan untuk melakukan paling sedikit 4 butir kebijakan, yaitu: menerapkan PHT untuk pengendalian hama wereng batang cokelat dan hama-hama padi lainnya, melarang penggunaan 57 formulasi insektisida untuk tanaman padi, melaksanakan koordinasi untuk peningkatan pengendalian wereng coklat, dan melakukan pelatihan petani dan petugas tentang PHT. Inpres tersebut merupakan awal sejarah penerapan dan pengembangan PHT di Indonesia. Setelah Inpres No. 3/1986 dikeluarkan, dukungan yuridis terhadap PHT diperkuat dengan keluarnya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.

Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, menyebutkan bahwa “Perlindungan tanaman adalah segala upaya untuk mencegah kerugian pada budidaya tanaman yang diakibatkan oleh organisme pengganggu tumbuhan”, sedangkan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) adalah semua organisme yang dapat merusak, mengganggu kehidupan atau menyebabkan kematian tumbuhan. Kebijakan dasar perlindungan tanaman terdapat pada beberapa pasal dari UU No.12/1992 pasal 20 yang berbunyi 1) Perlindungan tanaman dilaksanakan dengan sistem pengendalian hama terpadu, 2) Pelaksanaan perlindungan tanaman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), menjadi tanggung jawab masyarakat dan pemerintah.

Pengendalian Hama terpadu (PHT) merupakan pendekatan dan teknologi pengendalian OPT yang berwawasan ekologi dan ekonomi telah menjadi kebijakan

(13)

dasar perlindungan tanaman nasional. Kegiatan pemasyarakatan pelatihan PHT untuk petani padi dilakukan melalui program SLPHT (Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu), untuk mengelola Program Nasional Pelatihan PHT dibentuk pengelola program pada periode 1987-1993 berada di Bapennas (Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional) dan periode 1993-1998 berada di Departemen Pertanian. SLPHT mulai diterapkan di Indonesia sejak tahun 1989 pada tingkat petani skala besar di Indonesia untuk tanaman padi.

Kegiatan SLPHT yang dilaksanakan selalu dilandasi oleh 4 prinsip, yaitu meliputi budidaya tanaman sehat, melestarikan dan memanfaatkan musuh alami, pengamatan berkala, dan petani sebagai ahli PHT. Budidaya tanaman yang sehat, kuat, dan produktif akan menghasilkan produksi dengan kualitas dan kuantitas yang tinggi. Musuh alami sebagai komponen ekosistem yang sangat menentukan keseimbangan populasi hama sehingga perlu diberi kesempatan dan peluang untuk berfungsi secara maksimal untuk dilestarikan. Pengamatan berkala dilakukan untuk mengontrol populasi hama dan penyakit yang muncul di lapang karena adanya perubahan ekosistem pertanian sebagai akibat perubahan cuaca, perubahan populasi pengendali alami dan perubahan kegiatan budidaya tanaman. Petani sebagai ahli PHT dimaksudkan agar petani bertanggung jawab terhadap lahan yang diusahakan sehingga petani dapat bertindak sebagai pengelola dan penentu keputusan di lahan sawahnya sendiri. SLPHT bertujuan untuk membuat petani menjadi petani profesional, aktif, kreatif, dan produktif dalam mengembangkan PHT dengan bantuan penyuluh pertanian sebagai tempat untuk bertanya pada saat mengikuti SLPHT.

Pemerintah Indonesia telah menjadikan PHT sebagai kebijakan nasional, namun terdapat kendala dalam pelaksanaan program tersebut. Kondisi nyata di lapangan, PHT belum melembaga baik dikalangan petani, pejabat maupun petugas pemerintah pusat dan daerah (Untung 2007). Menurut pemerintah setempat program PHT yang telah diberikan kepada petani SLPHT seharusnyadapat disebarkan kepada petani nonSLPHT, namun pada kenyataannya petani alumni SLPHT cenderung ragu untuk memberikan informasi kepada petani lain karena kurangnya keterampilan dalam menerapkan prinsip PHT. Program PHT telah dilaksanakan lebih dari 20

(14)

tahun, atas dasar hal tersebut penelitian mengenai program PHT perlu dilakukan agar dapat diketahui perkembangannya.

Tujuan Penelitian

Survei dilakukan untuk mengetahui perkembangan pelaksanaan program PHT khususnya di Kabupaten Bekasi, setelah 20 tahun dicanangkan pemerintah, serta implikasi pada pengetahuan, sikap, dan tindakan petani padi.

Manfaat Penelitian

Tersedianya informasi mengenai pelaksanaan program PHT di Kabupaten Bekasi dan kemajuan yang dialami petani padi setelah pelaksanaan program PHT tersebut.

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Padi Syarat Tumbuh

Padi merupakan tanaman ordo Graminales, family Graminae, genus Oryza, dan spesies Oryza spp.. Padi dapat tumbuh pada ketinggian 650 sampai 1500 m dpl dengan temperatur 19 sampai 22 oC., sedangkan ketinggian 0 sampai 650 m dpl dengan temperatur 22 samapi 27 oC. Padi pada menyukai tanah lumpur yang subur dengan ketebalan 18 sampai 22 cm dan pH tanah 4 – 7. Pada umumnya tanaman padi membutuhkan air dalam jumlah relatif banyak, namun tidak semua fase pertumbuhan membutuhkan air dalam jumlah yang sama (Surowinoto 1983).

Budidaya Padi

Penyiapan benih padi dimulai dengan merendam benih padi selama 6 sampai 12 jam. Bibit yang siap dipindahtanamkan ke sawah berumur 21 hingga 40 hari, berdaun 5 sampai 7 helai, batang bawah besar dan kuat, pertumbuhan seragam, tidak terserang hama dan penyakit.

Pemupukan diberikan sesuai dengan dosis yang telah ada, kekurangan atau kelebihan pupuk dapat menyebabkan tanaman padi menjadi sakit. Pemakaian pupuk digunakan pada saat tanah diolah, 14 hari sesudah tanam dan 30 hari sesudah tanam. Pengolahan tanah dapat dilakukan secara sempurna dengan dua kali pembajakan atau tanpa olah tanah. Pemilihan cara yang akan dilakukan disesuaikan dengan keperluan dan kondisi lahan (Siregar 1981).

Penggenangan air dilakukan pada fase awal pertumbuhan, pembentukan anakan, pembungaan dan masa bunting. Sedangkan pengeringan hanya dilakukan pada fase sebelum bunting bertujuan menghentikan pembentukan anakan dan fase pemasakan biji untuk menyeragamkan dan mempercepat pemasakan biji (Sumartono

(16)

Banyak faktor yang menyebabkan produktivitas tanaman padi tidak meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun. Beberapa faktor yang mempengaruhi produktivitas padi antaralain faktor genetik, kondisi lingkungan tanam, teknik budidaya serta penanganan panen dan pasca panen (Haryadi 2006).

Hama dan Penyakit Penting pada Padi Hama dan Penyakit

Hama tanaman dalam arti luas adalah semua organisme atau binatang yang aktifitas hidupnya menyebabkan kerusakan tanaman sehingga menimbulkan kerugian secara ekonomi bagi manusia. Organisme yang menjadi hama adalah binatang yang menyerang tanaman budidaya sehingga menimbulkan kerugian. Hama tanaman sering disebut serangga hama (pest) (Rukmana 2002). Hama yang merusak tanaman secara langsung dapat dilihat bekasnya, misalnya gerekan dan gigitan.

Penyakit tanaman adalah kondisi dimana sel dan jaringan tanaman tidak berfungsi secara normal yang ditimbulkan karena gangguan secara terus menerus oleh agen patogenik atau faktor lingkungan (abiotik) dan akan menghasilkan perkembangan gejala (Agrios 2005). Penyakit dapat disebabkan oleh cendawan, bakteri, virus, dan nematoda. Cendawan atau jamur adalah suatu kelompok jasad hidup yang menyerupai tumbuhan tingkat tinggi karena memiliki dinding sel, berkembang biak dengan spora, tetapi tidak memiliki klorofil. Penyakit tanaman yang merupakan suatu penyimpangan atau abnormalitas tanaman beragam bentuknya, misalnya keriput daun, bercak cokelat, dan busuk. Tanaman yang sakit menunjukan gejala atau tanda yang khas. Gejala adalah perubahan yang ditunjukan oleh tanaman itu sendiri akibat adanya serangan penyakit. Contoh gejala antara lain adalah nekrotis, yaitu gejala yang disebabkan oleh adanya kerusakan sel atau matinya sel.

Walang sangit (Leptocoriza acuta)

Imago walang sangit meletakan telut pada bagian atas daun tanaman. Telur walang sangit berbentuk oval dan pipih berwarna coklat kehitaman, telur diletakan satu persatu dalam 1-2 baris sebanyak 12-16 butir. Lama periode bertelur 57 hari

(17)

dengan total produksi telur per-induk mencampai 200 butir. Lama stadia telur hingga 7 hari dan terdapat lima instar pertumbuhan nimfa dengan total waktu mencapai 19 hari. Satu siklus hidup walang sangit mencapai 46 hari. Setelah nimfa menetas bergerak ke malai mencari butir yang masih stadi masak susu. Nimfa dan imago pada siang hari bersembunyi di bawah kanopi tanaman. Serangga imago pada pagi hari aktif terbang dari rumpun ke rumpun sedangkan penerbangan yang relatif jauh terjadi pada sore atau malam hari.

Walang sangit menyerang pada fase generatif, menyerang buah padi yang masak susu. Gejala yang ditimbulkan buah menjadi hampa atau berkualitas rendah seperti berkerut, berwarna coklat dan tidak enak. Daun padi terdapat bercak bekas isapan dan bulir padi berbintik-bintik hitam. Pengendalian yang sering dilakukan dengan bertanam serempak, dan sanitasi. Saat tidak ada pertanaman padi atau tanaman padi masih stadia vegetatif, imago walang sangit bertahan hidup atau berlindung pada berbagai tanaman yang terdapat pada sekitar sawah. Setelah tanaman padi berbunga dewasa walang sangit pindah ke pertanaman padi dan berkembang biak satu generasi sebelum tanaman padi tersebut dipanen. Banyaknya generasi dalam satu hamparan pertanaman padi tergantung dari lamanya dan banyaknya interval tanam padi pada hamparan tersebut. Makin serempak tanam makin sedikit jumlah generasi perkembangan hama walang sangit (BBPADI 2009).

Hama putih (Nymphula depunctalis)

Telur hama putih berbentuk bulat berwarna kuning muda, telur diletakkan berkelompok pada daun atau pelepah yang berdekatan dengan permukaan air, jumlah telur 10-20 butir/kelompok. Satu ekor ngengat dapat menghasilkan 50 butir telur dengan stadium telur 2-6 hari. Instar pertama berwarna krem dengan ukuran panjang rata-rata 1.2 mm dan lebar 0.2 mm dan kepala berwarna kuning. Larva membuat gulungan dari daun yang dipotong dan tinggal dalam gulungan (tabung) tersebut, pada pertumbuhan maksimum panjang larva mencapai 14 mm dan lebar 1,6 mm. Pupa hama putih berwarna krem, menjelang menjadi ngengat warna menjadi putih. Pupa terbentuk dalam tabung dalam waktu mencapai 7 hari. Cara pengendalian

(18)

dengan pengaturan air yang baik, penggunaan bibit sehat, melepaskan musuh alami, menggugurkan tabung daun.

Hama putih menyerang tanaman yang berumur lebih dari 6 minggu. Ciri khas yang bisa dilihat sebagai tanda hama putih adalah adanya tabung-tabung yang terbuat dari daun tanaman padi yang tergerek (terpotong) yang berisi larva dan kepompong yang digunakan untuk perlindungan diri dan penyebaran dalam mencari makan. Tabung-tabung banyak terapung di areal persawahan, berbeda dengan hama putih palsu yang hanya menggulung tanaman tanpa memotongnya dan menggerek klorofilnya. Menyerang daun pada saat masih bibit, kerusakan berupa titik-titik yang memanjang sejajar tulang daun, ulat menggulung daun padi.

Wereng Batang Cokelat (Nilapavarta lugens)

Wereng coklat berkembang biak secara seksual, masa pra-peneluran 3-4 hari untuk brakiptera (bersayap kerdil) dan 3-8 hari untuk makroptera (bersayap panjang). Telur biasanya diletakkan pada jaringan pangkal pelepah daun, tetapi kalau populasinya tinggi telur diletakkan di ujung pelepah daun dan tulang daun. Telur diletakkan berkelompok, satu kelompok telur terdiri dari 3-21 butir. Satu ekor betina mampu meletakkan telur 100-500 butir.

Di daerah tropis telur menetas setelah 9 hari, sedangkan di daerah subtropika waktu penetasan telur lebih lama lagi. Nimfa mengalami lima instar, dan rata-rata waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan periode nimfa mencapai 13 hari. Nimfa dapat berkembang menjadi dua bentuk wereng dewasa. Bentuk pertama adalah makroptera (bersayap panjang) yaitu wereng coklat yang mempunyai sayap depan dan sayap belakang normal. Bentuk kedua adalah brakiptera (bersayap kerdil) yaitu wereng coklat dewasa yang mempunyai sayap depan dan sayap belakang tumbuh tidak normal, terutama sayap belakang sangat rudimenter.

Sering disebut sebagai wereng batang cokelat, menyerang pada bagian batang padi dengan cara mengisap cairan batang padi dan dapat menularkan virus. Gejala tanaman padi yang terserang wereng batang cokelat menjadi kuning dan mengering, sekelompok tanaman seperti terbakar, tanaman yang tidak mengering menjadi kerdil.

(19)

Pengendalian hama ini dapat dengan bertanam padi serempak, menggunakan varietas tahan wereng seperti IR 36, membersihkan lingkungan, melepas musuh alami seperti laba-laba, kepinding dan kumbang lebah.

Tikus Sawah (Rattus argentiventer)

Tikus merupakan hewan pengerat yang hidupnya sering menimbulkan kerugian bagi manusia. Tikus sawah merupakan hama utama tanaman padi dari golongan mamalia (binatang menyusui), yang mempunyai sifat-sifat yang sangat berbeda dibandingkan jenis hama utama padi lainnya. Tikus sawah dapat menyebabkan kerusakan pada tanaman padi mulai dari saat pesemaian padi hingga padi siap dipanen, dan bahkan menyerang padi di dalam gudang penyimpanan. Hama tikus Menyerang batang muda (1-2 bulan) dan buah. Gejala yang ditimbulkan yaitu tanaman padi yang roboh pada petak sawah dan pada serangan hebat ditengah petak tidak ada tanaman. Pengendalian yang sering dilakukan dengan pergiliran tanaman, tanam serempak, sanitasi, gropyokan, melepas musuh alami seperti ular.

Tersedianya pakan padi yang cukup dengan kualitas baik, pada saat padi bsudah berisi dan awal pengisian malai, merupakan faktor yang diduga kuat berpengaruh terhadap jumlah embrio yang dihasilkan oleh induk betina. Selain itu, diketahui bahwa tikus-tikus muda yang melahirkan pertama kali akan menghasilkan embrio lebih banyak dibandingkan tikus betina yang berumur lebih tua (Sudarmaji 2004). Penurunan jumlah embrio juga disebabkan oleh terbatasnya pakan yang berkualitas khususnya pada periode bera, dan tikus betina cenderung merespon dengan mengurangi jumlah anaknya menjadi lebih sedikit agar dapat bertahan hidup setelah dilahirkan. Tikus betina bunting dapat mengabsorbsi sebagian embrio yang dikandungnya apabila kondisi lingkungan kurang menguntungkan. Jumlah embrio yang dihasilkan oleh induk tikus betina bervariasi pada setiap periode kebuntingan. Terdapat kecenderungan menurunnya jumlah embrio setelah periode kebuntingan pertama. Jumlah embrio tertinggi dihasilkan oleh induk betina yang bunting pada periode stadium awal padi bunting sampai pengisian malai (bunting pertama).

(20)

Penyakit Hawar Daun (Xanthomonas campestris pv. Oryzae)

Penyebab penyakit hawar daun disebabkan bakteri Xanthomonas campestris pv

oryzae. Penyakit terjadi pada semua stadia tanaman, akan tetapi yang paling umum

terjadi pada saat tanaman mulai mencapai anakan maksimum sampai fase berbunga. Bakteri pada penyakit hawar daun berbentuk batang dengan koloni berwarna kuning. Patogen mempunyai virulensi yang bervariasi tergantung kemampuan untuk menyerang varietas padi yang mempunyai gen resistensi berbeda. Perkembangan penyakit sangat tergantung pada cuaca dan ketahanan tanaman. Bakteri menginfeksi tanaman melalui hidatoda atau luka, setelah masuk dalam jaringan tanaman bakteri memperbanyak diri dalam epidermis yang menghubungkan dengan pembuluh pengangkutan, tersebar kejaringan lain dan menimbulkan gejala (BBPADI 2009).

Stadia bibit gejala penyakit disebut kresek, sedangkan pada stadia tanaman lebih lanjut gejala disebut hawar. Gejala yang ditimbulkan terdapat garis-garis di antara tulang daun, garis melepuh dan berisi cairan kehitam-hitaman, daun mengering dan mati. Pengendalian penyakit ini dengan cara menanam varietas tahan penyakit seperti IR 36, menghindari luka mekanis, dan sanitasi lingkungan.

Penyakit Bercak Daun Cokelat. (Helmintosporium oryzae)

Penyebab penyakit ini oleh cendawan jamur Helmintosporium oryzae. Penyakit bercak daun cokelat menyerang pelepah, malai, dan buah yang baru tumbuh. Pengendalian dengan cara merendam benih di air hangat, pemupukan berimbang, dan varietas tanam padi tahan penyakit ini.

Gejala khas penyakit ini adalah adanya bercak cokelat pada daun berbentuk oval yang merata di permukaan daun dengan titik tengah berwarna abu-abu atau putih. Titik abu-abu di tengah bercak merupakan gejala khas penyakit bercak daun coklat di lapang. Bercak yang masih muda berwarna cokelat gelap atau keunguan berbentuk bulat. Pada varietas yang peka panjang bercak dapat mencapai panjang 1 cm. Serangan berat, jamur daopat menginfeksi gabah dengan gejala bercak berwarna hitam atau coklat gelap pada gabah.

(21)

Jamur H. oryzae menginfeksi daun, baik melalui stomata maupun menembus langsung dinding sel epidermis setelah membentuk apresoria. Konidia lebih banyak dihasilkan oleh bercak yang sudah berkembang, kemudian konidia dihembuskan oleh angin dan menimbulkan infeksi sekender. Jamur dapat bertahan sampai 3 tahun pada jaringan tanaman dan lamanya bertahan sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan. Penyakit Blas (Pyricularia oryzae)

Daur penyakit blas meliputi tiga fase yaitu infeksi, kolonisasi, dan sporulasi. Fase infeksi diawali dengan pembentukan konidia berseta tiga yang dilepaskan oleh konidia. Konidia berpindah ke permukaan daun yang tidak terinfeksi melalui percikan air atau bantuan angin. Konidia menempel pada daun karena adanya perekat atau getah di ujungnya. Konidia akan berkecambah pada kondisi optimum dengan cara membentuk buluh-buluh perkecambahan yang selanjutnya menjadi appresoria. Appresoria akan menembus kutikula daun dengan bantuan melanin yang ada pada dinding appresoria. Pertumbuhan hifa yang terus terjadi menyebabkan terbentuknya bercak pada tanaman. Kelembapan yang tinggi, bercak pada tanaman yang rentan menghasilkan konidia selama 3-4 hari. Konidia ini sangat mudah tersebar dan merupakan inokulum untuk infeksi selanjutnya. Penyebaran spora terjadi selain oleh angin juga oleh biji dan jerami. Cendawan P. oryzae mampu bertahan dalam sisa jerami sakit dan gabah sakit. Dalam keadaan kering dan suhu kamar, spora masih bertahan hidup sampai satu tahun, sedangkan miselia mampu bertahan sampai lebih dari 3 tahun. Sumber inokulasi primer di lapang pada umumnya adalah jerami. Sumber inokulasi benih biasanya memperlihatkan gejala awal pada pesemaian. Untuk daerah tropis, sumber inokulasi selalu ada sepanjang tahun, karena adanya spora di udara dan tanaman inang lain selain padi (BBPADI 2009).

Gejala yang ditimbulkan daun, gelang buku, tangkai malai dan cabang di dekat pangkal malai membusuk. Jamur ini menyerang daun, buku pada malai dan ujung tangkai malai yang menyebabkan pemasakan makanan terhambat dan butiran padi menjadi hampa. Pengendalian yang dilakukan dengan membakar sisa jerami,

(22)

menggenangi sawah, menanam varietas unggul, dan pemberian pupuk N di saat pertengahan fase vegetatif dan fase pembentukan bulir (Siregar 1981).

Pengendalian Hama Terpadu (PHT)

Pengendalian Hama terpadu (PHT) merupakan pendekatan dan teknologi pengendalian OPT yang berwawasan ekologi dan ekonomi telah menjadi kebijakan dasar perlindungan tanaman nasional. Penggunaan pestisida yang tidak bijaksana menimbulkan masalah baru seperti pencemaran lingkungan hidup, merugikan kesehatan manusia dan hewan lain, resistensi hama, serta organisme bukan sasaran menjadi mati (Untung 2007). Munculnya beberapa masalah ini, menggugah para ahli untuk mencetuskan konsep pengelolaan dan Pengendalian Hama Terpadu pada tahun 1950 (Sinaga 2006). Program pelatihan PHT untuk petani dikenal dengan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) yang didahului dengan pelatihan terhadap petugas pemandu dan memandu para petani SLPHT (Untung 2007), untuk mengelola Program Nasional Pelatihan PHT dibentuk pengelola program pada periode 1987-1993 berada di Bapennas (Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional) dan periode 1993-1998 berada di Departemen Pertanian.

Pelatihan, penyuluhan, dan penerapan PHT melalui SLPHT dapat meningkatkan pengetahuan baru di kalangan petani. Pengetahuan ini merupakan tahap awal terjadinya persepsi yang kemudian melahirkan sikap dan pada akhirnya melahirkan perbuatan atau tindakan. Dengan adanya pengetahuan atau wawasan baru di kalangan petani, akan mendorong terjadinya perubahan perilaku. Sikap petani terhadap inovasi teknologi sangat tergantung dari pengetahuan dan pengalaman lapangan mereka (Suharyanto et al. 2006).

Pemerintah telah menetapkan PHT sebagai kebijakan dasar bagi setiap program perlindungan tanaman. Kebijakan ini merupakan program pemerintah sejak Pelita III sampai sekarang. Dasar hukum penerapan dan pengembangan PHT di Indonesia adalah Inpres No. 3 Tahun 1986 dan Undang-undang No.12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Untung 1993).

(23)

Program PHT di Indonesia dinyatakan sebagai kebijakan nasional pada tahun 1986 dan dalam pelaksanaannya telah memberikan efek yang sangat besar terhadap produksi pertanian nasional. Konsep PHT muncul dan berkembang sebagai korelasi terhadap kebijakan pengendalian hama secara konvensional yang menekankan penggunaan pestisida.

Penerapan PHT dibidang pertanian diharapkan dapat merubah pola bercocok tanam yang kurang efisien sehingga dapat meningkatkan produksi dan pendapatan petani itu sendiri. Pelaksanaan PHT tidak terlepas pula dari factor-faktor yang dapat mempengaruhinya antara lain: lama pendidikan, luas usaha tani, tanggungan keluarga, pengalaman bertani, dan umur petai (Mubyarto 1986).

Sikap merupakan potensi pendorong yang ada pada individu untuk bereaksi terhadap lingkungan. Sikap tidak selamanya tetap dalam jangka waktu tertentu tetapi dapat berubah karena pengaruh orang lain melalui interaksi sosial. Sikap petani dalam penerapan inovasi baru dalam pertania juga dipengaruhi oleh pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi di dalam diri individu. Sikap yang diperoleh lewat pengalaman akan menimbulkan pengaruh langsung terhadap tindakan berikutnya (Suharyanto et al. 2006).

Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT)

Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) merupakan tempat dimana pendekatan khusus untuk memberdayakan petani menjadi petani yang aktif, kreatif, dan produktif dalam menerapkan PHT di lahannya sendiri.

Di SLPHT petani diajak dan didorong belajar bersama-sama dan melakukan pengambilan keputusan pengelolaan ekosistem (termasuk pengendalian OPT) secara bersama-sama pula. Visi SLPHT adalah memberdayakan petani dalam menerapkan dan mengembangkan prinsip-prinsip dan teknologi PHT secara profesional sehingga dapat dihasilkan produk pertanian dengan kualitas, kuantitas dan daya saing pasar tinggi untuk peningkatkan kesejahteraan hidupnya.

(24)

Sejak tahun 1989 SLPHT telah membuktikan, petani yang mengikuti SLPHT dengan segala keterbatasannya dapat meningkatkan kualitas dan dedikasinya menjadi penerap PHT. Ada kecendrungan konsep PHT digeser dengan konsep lain, yaitu PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) yang secara prinsip tidak berbeda dengan PHT (Untung 2007).

Soekartawi (1988) mengatakan bahwa tindakan penerapan inovasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor dari dalam diri petani maupun faktor lingkungan. Faktor dari dalam diri meliputi umur, pendidikan, status sosial, pola hubungan sikap terhadap pembaharuan, keberanian mengambil resiko, fatalisme, aspirasi, dan dogmatis (system kepercayaan tertutup). Faktor lingkungan meliputi jarak sumber informasi, frekuensi mengikuti penyuluhan, keadaan prasarana dan sarana serta proses memperoleh sarana produksi.

Kebijakan Perlindungan Tanaman Instruksi Presiden No. 3 Tahun 1986

Instruksi Presiden No. 3 tahun 1986 tentang peningkatan pengendalian hama wereng cokelat pada tanaman padi disingkat Inpres 3/86 dikeluarkan pada tanggal 5 November 1986. Inpres 3/86 merupakan tonggak sejarah penerapan PHT di Indonesia karena melalui instruksi ini, pemerintah mulai memberikan dukungan politik dan legal terhadap PHT.

Undang-undang No. 12/1992

Undang-undang No.12 tahun 1992 disahkan pada tanggal 30 April 1192 terdiri atas 12 bab, 66 pasal dan penjelasan. Menurut Pasal 1 ayat1 UU tersebut yang dimaksud dengan sistem budidaya tanaman adalah sistem pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam nabati melalui upaya manusia dengan modal teknologi dan sumber daya lainnya menghasilkan barang guna memenuhi kebutuhan manusia secara lebih baik.

(25)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari April sampai Agustus 2012, bertempat di Desa Srijaya, Kecamatan Tambun Utara, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.

Metode Pelaksanaan Pemilihan Contoh

Pemilihan desa contoh dalam 1 kecamatan berdasarkan adanya pelaksanaan program PHT tanaman padi melalui program pemasyarakatan SLPHT, yaitu Desa Srijaya. Desa Srijaya memiliki 3 kelompok tani dengan masing-masing kelompok berjumlah 25 anggota. Desa Srijaya memiliki 2 kelompok tani yang telah mengikuti SLPHT dan 1 kelompok tani yang belum mengikuti SLPHT. Jumlah responden petani SLPHT dipilih 20 petani dan jumlah responden petani nonSLPHT dipilih 20 petani. Pemilihan kelompok tani dan petani yang dijadikan objek penelitian dilakukan dengan purpose sampling yaitu dengan memilih kelompok petani yang mengikuti SLPHT dan petani yang belum mengikuti SLPHT.

Pengumpulan Data Primer

Pengumpulan data primer dilakukan melalui metode wawancara menggunakan kuesioner terstruktur. Pelaksanaan wawancara dengan cara mengunjungi petani ke rumah, lahan pertanian, atau tempat sekolah lapang berlangsung.

Kuesioner yang digunakan terdiri dari atas 4 komponen, yaitu (1) karakteristik petani (nama, umur, pendidikan, tamggungan keluarga, pengalaman bertani padi, pekerjaan sampingan); (2) karakteristik usaha tani (status kepemilikan lahan, luas lahan keseluruhan, luas lahan yang ditanami padi, varietas padi yang digunakan, proporsi biaya pestisida terhadap total biaya produksi, hasil panen, dan sistem penjualan); (3) penerapan komponen PHT secara berkala, masalah hama dan penyakit padi yang paling penting secara pengendaliannya, pengendalian gulma, pengetahuan

(26)

tentang musuh alami, cara penggunaan pestisida);(4) sikap petani terhadap program PHT.

Hasil wawancara dengan kuesioner dipresentasekan berdasarkan perbandingan antara frekuensi jawaban responden dengan jumlah petani/responden kemudian dibuat tabulasi data. Penghitungan data yang diperoleh dari kedua kelompok tani dikelompokkan ke dalam petani SLPHT dan petani nonSLPHT.

Pengumpulan Data Sekunder

Data sekunder mencakup data tentang keadaan umum lokasi yang diperoleh dari Kantor Kecamatan Tambun Utara. Data tentang pelaksanaan program PHT dan SLPHT yang diperoleh dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bekasi.

(27)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi

Wilayah Kabupaten Bekasi secara geografis terletak pada 106° 88’ 78” Bujur Timur (BT) dan 6 10’ – 6 30’ Lintang Selatan (LS). Secara administratif wilayahnya berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah Utara, Kabupaten Bogor di sebelah Selatan, DKI Jakarta dan Kota Bekasi di sebelah Barat, dan Kabupaten Karawang di sebelah Timur. Secara klimatologis, wilayah Kabupaten Bekasi termasuk ke dalam daerah yang beriklim tropis dengan suhu rata-rata 28-40 °C. Sampai dengan bulan Desember 2010 jumlah curah hujan 1502.85 mm dengan 88 hari hujan. Kabupaten Bekasi dilewati oleh 16 sungai diantaranya, sungai Bekasi, Cikarang, Cihea, dan Cipamingkis yang bermuara di Laut Jawa. Alira air sungai banyak dimanfaatkan untuk pertanian, industri, perikanan, dan rumah tangga

Kabupaten Bekasi teridiri dari dua wilayah pengembangan pertanian yang pertama adalah sebelah Utara saluran induk Tarum Barat (Kalimalang) merupakan daerah pengembangan padi sawah dan palawija, mendapatkan pengairan dari Proyek Otorita Jatiluhur (POJ). Pengembangan yang kedua adalah wilayah Selatan, yaitu Kecamatan Setu, Serang Baru, dan Cibarusah merupakan daerah pengembangan hortikultura, padi, dan perkebunan yang mendapat pengairan dari sungai Cipamingkis.

(28)

Penggunaan lahan sawah pengairan teknis merupakan lahan yang paling banyak ditanamai padi lebih dari 2 kali tanam dengan luas 34 844 ha, sedangakan pengairan sederhana merupakan lahan sawah yang paling sedikit ditanam padi dengan luas 460 ha (Tabel 1).

Tabel 1 Luas dan status penggunaan lahan sawah di Kabupaten Bekasi tahun 2010

No Penggunaan lahan

Dalam satu tahun (ha) Sementara tidak diusahakan

(ha)

Luas (ha) Ditanam padi Tidak

ditanam padi 1 kali 2 kali > 2 kali

1 Pengairan teknis - 31 956 2 880 8 - 34 844 2 Pengairan ½ teknis 898 6 026 - 0 0 6 924 3 Pengairan sederhana - 460 - 0 0 460 4 Pengairan pedesaan - 4 135 23 0 0 4 158 5 Tadah hujan 2 939 3 373 - 886 0 7 198 6 Pasang surut - - - - 7 Lebak - - - - 8 Polder dan sawah lainnya - - - - Jumlah 3 837 45 950 2 903 894 0 53 584

a Sumber: Laporan tahunan pembangunan pertanian tahun 2010 Kabupaten Bekasi

Jumlah penduduk Kabupaten Bekasi tahun 2010 sebesar 2 629 551 jiwa yang terdiri dari 1 345 500 pria dan 1 284 051 wanita. Jumlah penduduk Kabupaten Bekasi tersebar di 23 kecamatan. Kecamatan Tambun Utara memiliki jumlah rumah tangga usaha tani padi, jagung, kedelai, dan tebu seluas 2 551 ha dengan luas lahan berukuran 0.5-1 ha yang dimiliki oleh 872 rumah tangga (Tabel 2).

(29)

Table 2 Jumlah rumah tangga usaha tani padi, jagung, kedelai, dan tebu menurut Kecamatan dan penguasaan lahan di Kabupaten Bekasi tahun 2009a No Kecamatan Golongan luas lahan yang dikuasai (ha)

<0.1 0.1-0.5 0.5-1 1-2 2-3 >3 Jumlah 1 Setu 72 3 158 1 053 332 40 21 4 676 2 Serang Baru 96 1 992 1 140 418 75 40 3 761 3 Cikarang Pusat 13 1 702 1 054 450 92 70 3 381 4 Ciakarang Sel. 58 491 213 62 19 12 855 5 Cibarusah 46 1 316 491 247 88 42 2 230 6 Bojongmangu 9 1 723 1 062 497 110 62 3 463 7 Cikarang Timur 62 991 935 449 92 77 2 606 8 Kedungwaringin 2 623 572 437 127 80 1 841 9 Cikarang Utara 145 384 137 60 27 28 781 10 Karangbahagia 4 960 929 579 141 89 2 702 11 Cibitung 31 510 608 671 191 84 2 095 12 Cikarang Barat 249 1 155 270 102 27 17 1 820 13 Tambun Sel. 31 198 59 32 5 4 329 14 Tambun Utara 30 635 872 711 190 113 2 551 15 Babelan 2 529 1 160 940 260 119 3 010 16 Tarumajaya 6 679 740 595 159 107 2 286 17 Tambelang 4 472 820 707 213 111 2 327 18 Sukawangi 1 569 1 155 1 084 279 178 3 266 19 Sukatani 7 730 857 781 225 160 2 760 20 Sukakarya 2 603 996 1 053 337 208 3 199 21 Pebayuran 9 1 617 2 252 1 576 448 366 6 268 22 Cabangbungin 31 1 608 1329 1 025 267 137 4 397 23 Muaragembong 12 721 892 415 92 43 2 175 Jumlah 922 23 366 19 596 13 223 3 504 2 168 62 779

aSumber: BPS Kabupaten Bekasi

Jumlah kelompok tani di Kabupaten Bekasi mengalamai penurunan dari tahun ke tahun. Kelompok tani Kabupaten Bekasi pada tahun 2009 berjumlah 2 571 dan pada tahun 2010 menurun menjadi 1 882 (Tabel 3). Pos penyuluhan pertanian di Kabupaten Bekasi tahun 2009 berdasarkan laporan tahunan pembangunan pertanian Kabupaten Bekasi berjumlah 57 dan pada tahun 2010 meningkat menjadi 118 pos penyuluhan.

(30)

Tabel 3 Kelembagaan kelompok tani dan usaha di Kabupaten Bekasi Tahun 2010a No Kelompok tani Jumlah

Tahun 2009 Tahun 2010 1 Kelompok tani

berdasarkan kelas

2 571 1 882 1 Kelompok tani dewasa 2 356 1626 2 Kelompok wanita tani 132 128 3 Kelompok taruna tani 83 128 2 Kelompok tani

berdasarkan jenis usaha

2 562 2 562 1 Kelompok tani tanaman

pangan

2 296 2 296 Kelompok tani peternakan 101 101 Kelompok tani

perkebunan

77 77

Kelompok tani perikanan 88 88

3 P3A MitraCal 211 211

4 P4K 120 120

5 Gapoktan 184 171

6 Pos penyuluhan pertanian 57 118

a Sumber: Laporan tahunan pembangunan pertanian tahun 2010 Kabupaten Bekasi

Kebijakan Nasional tentang PHT

Tahun 1978 produksi beras turun dengan drastis akibat serangan wereng batang coklat. Presiden atas nama pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 1986 yang berisi 4 butir kebijakan, yaitu : 1) Menerapkan PHT untuk pengendalian hama wereng batang cokelat dan hama-hama padi lainnya, 2) Melarang penggunaan 57 formulasi insektisida untuk tanaman padi (Lampiran), 3) Melaksanakan koordinasi untuk peningkatan pengendalian wereng cokelat, dan 4) Melakukan pelatihan petani dan petugas tentang PHT (Untung 2007).

Secara prinsip Inpres 3 Tahun 1996 mengakui peran strategis pengamatan dan petugas pengamat hama dalam penerapan PHT wereng cokelat. Lampiran Inpres 3/1986 Bab IV ayat 1 dinyatakan :

1. Pengamatan hama untuk mengetahui kemungkinan timbulnya hama secara dini dan akurat perlu ditingkatkan dengan antara lain menambah jumlah tenaga pengamat hama serta meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya.

(31)

2. Hasil pengamatan tersebut pada angka 1 merupakan dasar dalam menentukan jenis dan cara aplikasi insektisida.

3. Menteri Pertanian menetapkan fungsi dan peranan pengamat hama dalam gerakan pengendalian hama wereng cokelat.

Berdasarkan tindak lanjut Inpres 3/1986 pada tahun 1987 pemerintah menambah jumlah pengamat hama dan penyakit (PHP) sekitar 1500 orang atau dua kali jumlah PHP sebelumnya. Mendukung Instruksi Presiden No. 3/1986 pemerintah mengeluarkan Kebijakan nasional UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, pada pasal 20 ayat 1 menjelaskan bahwa perlindungan tanaman dilaksanakan dengan sistem PHT. Berdasarkan data Departemen Pertanian, petani yang sudah mengikuti SLPHT sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2010 berjumlah 136 120 petani. Berdasarkan UU 12/1992 pada pasal 20 ayat 1 pemerintah menjelaskan perlindungan tanaman dilaksanakan dengan sistem PHT, namun menurut surat kabar Jurnal Nasional pada tanggal 15 oktober 2012 dikatakan Kementerian Pertanian sedang memaksakan pengadaan pestisida cadangan dengan menggunakan anggaran APBNP (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Pusat) 2012 senilai 200 miliar rupiah, sedangkan stok cadangan pestisida tahun 2011 masih tersedia. Hal tersebut tidak sesuai dengan isi dari prinsip-prinsip SLPHT dan kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk menghindari penggunaan pestisida.

Landasan hukum yang menjadi acuan operasional kegiatan PHT adalah :

1. Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 1986 tentang Peningkatan Pengendalian Hama Wereng Cokelat Pada Tumbuhan Padi.

2. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman.

(32)

Kebijakan Daerah Kabupaten Bekasi mengenai PHT Landasan Hukum

Landasan hukum penyusunan Rencana Strategis Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bekasi Tahun 2010-2012 adalah :

a. Landasan Idiil Pancasila

b. Landasan konstitusional yaitu Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 c. Landasan operasional yaitu :

1. Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme.

2. Undang-undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

3. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

4. Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

5. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2008-2013.

6. Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 33 Tahun 2001 tentang Visi dan Misi Kabupaten Bekasi.

7. Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 7 Tahun 2009 tentang pembentukan Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Bekasi.

8. Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 13 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2007-2012. 9. Peraturan Bupati Bekasi Nomor 15 Tahun 2009 tentang Petunjuk

Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Bekasi Tahun 2007-2012.

(33)

10. Peraturan Bupati Bekasi Nomor 33 Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan.

11. Rencana Pembangunan Pertanian Tahun 2010-2014, Departemen Republik Indonesia.

Tugas Pokok dan Fungsi

Tugas pokok Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan adalah melaksanakan kewenangan di bidang pertanian, perkebunan, dan kehutanan, dengan kewenangan sebagai berikut: melakukan pengontrolan air irigasi secara berkala, pemberian pupuk bersubsidi, penggunaan pestisida seperlunya, penyediaan alat dan mesin pertanian, memberikan benih tanaman secara gratis, penerapan teknis dan budidaya secara tepat, pembinaan usaha, panen, pasca panen, dan pengolahan hasil, pemberiaan sarana untuk keberlanjutan usaha, dan pengawasan dan evaluasi untuk melihat perkembangan dari kegiatan yang belum dan sudah berlangsung.

Isu-isu Strategis

1. Belum ditetapkannya komoditas agribisnis unggulan 2. Belum optimalnya tingkat produksi pertaian

3. Rendahnya kondisi infrastruktur pertanian

4. Belum berkembangnya industri pengolahan dan pemasaran hasil pertanian

5. Tidak stabilnya tingkat harga hasil pertanian

6. Tingginya konversi lahan pertanian menjadi peruntukan lainnya 7. Kurangnya regenerasi petani

8. Peran kelembagaan masih rendah 9. Terbatasnya pemodalan

10. Teknologi konvensional

Visi dan Misi Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Bekasi Visi Kabupaten Bekasi pada bidang Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan adalah terwujudnya usahatani produktif yang berdaya saing, berwawasan

(34)

lingkungan dan berkelanjutan. Terwujudnya usahatani yang produktif dimaksudkan bahwa Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan harus mampu memberikan motivasi dan fasilitasi usahatani perorangan, kelompok, koperasi, industri kecil maupun besar pada bidang pertanian dari hulu produksi dan hilir pasca panen, agar produktif dengan tetap memperhatikan mutu dan stabilisasi harga hasil pertanian, sehingga akan terwujud keseimbangan antara sisi permintaan dan penawaran. Berdaya saing merupakan suatu upaya agar usahatani dapat memenangkan persaingan atau kompetisi, untuk itu diperlukan senjata dalam memenangkan kompetesi, yaitu mempunyai keunggulan kompetitif berupa skill (keahlian sumberdaya manusia), pemanfaatan teknologi, efisiensi, produktivitas, mutu, berorientasi pasar (efektif) dan inovatif. Berwawasan lingkungan untuk mengupayakan pembangunan pertanian tidak bersifat eksploitatif dan merusak kelestarian manusia, hewan, tanaman, serta lingkungan. Pembangunan pertanian berkelanjutan dimaksudkan untuk pembangunan pertanian yang tidak berhenti pada suatu waktu generasi, tetapi harus terus meningkatkan keunggulannya dengan memperhatikan; kelestarian ekosistem dan mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan, pembangunan yang berkeadilan antar kelompok masyarakat, waktu, dan wilayah (wilayah kota dan desa), pemberdayaan masyarakat terutama masyarakat miskin dan tertinggal, dan pemberdayaan lembaga masyarakat.

Misi Dinas pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Bekasi yaitu; 1) mewujudkan sistem pelayanan publik yang profesional dan akuntabel, 2) meningkatkan kualitas petani dan kuantitas serta kualitas hasil pertanian, dan 3) mengembangkan pertanian yang berkelanjutan dengan konservasi dan penghijauan wilayah terbuka.

Penjelasan misi

1. Mewujudkan sistem pelayanan publik yang profesional dan akuntabel maksudnya untuk mewujudkan visi Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan perlu didukung dengan sistem pelayanan publik yang profesional serta administrasi dan pelaporan yang akuntabel (dapat

(35)

dipertanggung jawabkan kepada masyarakat sesuai hukum yang berlaku).

2. Meningkatkan kualitas petani dan kuantitas serta kualitas hasil pertanian dimaksudkan untuk mewujudkan usahatani produktif yang berdaya saing memerlukan petani yang berkualitas, oleh sebab itu, pengetahuan, sikap, dan keterampilan petani serta aparat atau petugas pertanian perlu ditingkatkan secara terus-menerus sesuai kebutuhan atau perkembangan teknologi yang terjadi.

3. Mengembangkan pertanian yang berkelanjutan dengan konservasi dan penghijauan wilayah terbuka. Mewujudkan usahatani yang berkelanjutan maka kelestarian lingkungan atau ekosistem perlu dijaga.

Program PHT di Kabupaten Bekasi

Di Kabupaten Bekasi, program pemasyarakatan PHT melalui SLPHT dilaksanakan setiap tahunnya. Program SLPHT di Kabupaten Bekasi didanai dari dana APBN Pangan. Petani Kabupaten Bekasi yang telah mengikuti SLPHT berjumlah 4 550 petani. Tahun 2007 program pemasyarakatan PHT dilakukan di 9 kecamatan yang diikuti oleh 9 kelompok tani dengan jumlah 225 petani (Tabel 4), tahun 2008 program pemasyarakatan PHT hanya diikuti oleh kecamatan Tambelang, Tambun Utara, dan Suka tani, dengan jumlah 75 petani. Tahun 2009 program pemasyarakatan PHT diikuti kecamatan Babelan dan Tambelang dengan jumlah 50 petani, sedangkan pada tahun 2010 program pemasyarakatan PHT hanya diikuti oleh kecamatan Sukawangi dengan jumlah peserta 25 petani. Berdasarkan data yang di dapat terlihat penurunan jumlah anggota keikutsertaan petani dalam program pemasyarakatan PHT dari tahun ke tahun.

(36)

Tabel 4 Lokasi dan jumlah petani pelaksana kegiatan SLPHT tahun 2007a

Kecamatan Desa Kelompok tani Peserta (orang) Sumber anggaran Sukatani Banjarsari Indahsari 25 APBN pangan Sukakarya Sukakarya Srimurni 25 APBN pangan Babelan Buih bakti Tambun tani I 25 APBN pangan Krng Bahagia Krng rahayu Mekar rahayu 25 APBN pangan Cikarang Utara Krg raharja Setia jaya 25 APBN pangan Cikarang Utara Waluya jaya Mekkar sari 25 APBN pangan Cikarang Timur Karang sari Layun sari 25 APBN pangan Tambun utara Srimukti Gabus tengah 25 APBN pangan Tambun Sumber jaya Tanggul jaya 25 APBN pangan

Jumlah 225

a Sumber: Instalasi POPT Subang wilayah Purwakarta 2007-2010.

Berdasarkan data yang didapat dari Laporan Tahunan Pembangunan Pertanian Tahun 2010 Kabupaten Bekasi, terdapat anggaran belanja langsung untuk Departemen Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan sebesar 12 062 606 100 rupiah (Tabel 5) yang terdiri dari 55 kegiatan. Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Bekasi yang mempunyai kewenangan di bidang pertanian, perkebunan, dan kehutanan menyusun Rencana Strategis (Renstra) Dinas tahun 2010-2012 yang berisi visi, misi, tujuan, sasaran, indikator kinerja, dan strategi yang berupa kebijakan. Isi kebijakan Pemerintah Kabupaten Bekasi, yaitu : 1) Memberikan kesempatan bagi masyarakat pertanian untuk meningkatkan (perilaku, sikap, dan keterampilan), 2) Memberikan fasilitas penerapan teknologi, peningkatan produksi pertanian dan perkebunan, dan 3) Memberikan fasilitas bagi konservasi lahan secara terpadu. Data laporan tahunan Kabupaten Bekasi melaporkan berbagai serangan OPT di Kabupaten Bekasi tahun 2010 dengan pengendalian paling banyak dilakukan menggunakan pestisida sintetik. Hal tersebut tidak sesuai dengan program PHT, penerapan teknologi yang sudah diajarkan pada saat sekolah lapang, dan dana anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk pestisida dan musuh alami yang tidak digunakan secara maksimal.

(37)

Program Dinas Pertanian Bekasi diantaranya adalah program peningkatan kesejahteraan petani dan program peningkatan produksi pertanian. Untuk menunjang program PHT, Kabupaten Bekasi memberikan dana 50 juta rupiah bantuan makanan dan minuman dalam kegiatan sekolah lapang, 25 juta rupiah dana peningkatan sistem penyuluhan, 149 juta rupiah untuk dana penerapan teknologi pestisida nabati dan musuh alami, 50 juta rupiah dana pupuk bersubsidi, dan 292 juta rupiah dana pengadaan sarana produksi dalam pengembangan PHT (Tabel 5).

Tabel 5 Program dan kegiatan Departemen Pertanian Kabupaten Bekasi 2010a Pelaksanaan program dan kegiatan tahun 2010

Program Input (rupiah) Realisasi (rupiah) Sumber dana Pengembangan agribisnis 85 000 000 85 000 000 APBN Peningkatan ketahanan pangan 169 875 000 169 875 000 APBN Peningkatan ketahanan pangan 570 000 000 570 000 000 APBN Peningkatan kesejahteraan petani 22 500 000 22 500 000 APBN Peningkatan sarana dan

prasarana aparatur 104 854 000 98 440 000 APBN Peningkatan penerapan

teknologi

pertanian/perkebunan 149 124 600 148 884 600 APBN Penyediaan sarana dan

prasarana pertanian,

antisipasi serangan OPT 315 000 000 307 860 000 APBN Pengadaan alat mesin

pertanian 160 000 000 157 273 900 APBN Bantuan makanan dan

minuman kegiatan SLPTT

tanaman pangan 50 000 000 0 APBD Provinsi Jumlah 1 626 353 600 1 559 833 500

a

(38)

Pencapaian penerapan teknologi pertanian di Kabupaten Bekasi berdasarkan data tahun 2010 terlihat perkembangan dari pemakaian pupuk organik yang tinggi. Tahun 2009 penerapan pupuk organik hanya digunakan 75% sedangkan pada tahun 2010 penerapan pupuk organik mencapai 78% (Tabel 6). Penerapan teknologi untuk pengendalian OPT pada padi sawah hanya bertambah 1.05% (Tabel 6).

Tabel 6 Pencapaian penerapan teknologi budidaya padi sawah tahun 2010a

No Unsur Teknologi % Penerapan Teknologi % Pertumbuhan 2009 2010

1 Pengolahan tanah 95.80 96.00 0.21 2 Populasi tanaman 77.76 81.50 4.81 3 Kualitas benih 77.00 78.50 1.95 4 Pergiliran varietas 65.00 70.80 8.92 5 Pengairan/tata guna air 92.00 80.00 -13.04 6 Pemupukan berimbang 36.00 40.00 11.11 a. Penggunaan KCL 2.00 2.00 00.00 b. Penggunaan SP 36 50.00 54.60 9.20 c. Penggunaan Urea 77.00 78.00 1.30 d. Penggunaan ZA 4.00 0.00 e. Penggunaan pupuk ganda/NPK 75.00 78.50 4.67 f. Penggunaan pupuk organic 40.70 50.00 22.85 7 Penggunaan PPC 38.00 42.00 10.53 8 Pengendalian OPT 95.00 96.00 1.05 9 Pola pertanaman 84.00 85.00 1.19 10 Pasca panen 88.00 89.50 1.70 Rata-rata 62.33 64.15 2.92

aSumber: BP4K dan KP (Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Pangan).

Program PHT di Kecamatan Tambun Utara

Program PHT di Kecamatan Tambun Utara masih berjalan sampai dengan tahun 2012. Terdapat 6 desa yang telah melaksanakan program pemasyarakatan SLPHT pada tahun 2011-2012 dengan jumlah 150 petani (Tabel 7). Desa Sriwijaya merupakan Desa yang baru melaksanakan program pemasyarkatan SLPHT dengan waktu pelaksanaan Februari-April 2012. Terdapat 2 kelompok tani yang baru menyelesaikan program pemasyarakatan SLPHT, yaitu kelompok tani cempaka 1 dan kelompok tani cempaka 3. Masing-masing kelompok tani berjumlah 25 petani.

(39)

Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) dan Pengamatan Hama dan Penyakit (PHP) kelompok tani di Desa Srijaya adalah Bapak Dono yang diutus dari Kantor Kecamatan Tambun Utara.

Tabel 7 Inventarisasi dan validasi data kelompok tani dan alumni SLPHT aktif tahun 2011-2012a

Kecamatan Desa Kelompok tani Ketua kelompok Anggota aktif Tahun berlangsungnya SLPHT Tambun Utara Srimukti Gabus tempah Bosin 25 2011 Srimahi Alas malap Lajo 25 2011 Sriamas Tari Jaya 2 Nasik 25 2011 Srimahi Burpur H. Klasman 25 2011 Srijaya Cempaka Isini 25 2012 Sriamar Sumber

batu 2 Karto 25 2012

Jumlah 150

a

Sumber: Laporan sementara pembangunan pertanian tahun 2012 Kecamatan Tambun Utara.

Petani padi di Kabupaten Bekasi mendapatkan benih dari pemerintah. Varietas benih yang sering digunakan petani adalah varietas Ciherang, Mikongga, IR 64, dan Inpari 3 (Tabel 8). Varietas benih yang sering digunakan petani merupakan benih yang dianjurkan dari pemerintah untuk digunakan. Pemberian benih secara gratis dapat mengurangi biaya produksi yang akan dikeluarkan oleh petani padi.

Tabel 8 Penggunaan varietas padi di Kabupaten Bekasi tahun 2010a

No Varietas Realisasi (ha) % 2009/2010 2010 Jumlah 1 IR 64 2 263 1 792 4 055 3.79 2 Ciherang 45 895 43 750 89 645 83.82 3 IR 42 1 249 787 2 036 1.90 4 Gilirang - - - 0.00 5 Cigeulis - 35 35 0.03 6 Way apoboru - - - 0.00 7 Muncul 38 100 138 0.13 8 Hibrida - - - 0.00 9 Situ Bagendit - - - 0.00 10 Inpari 3 8 3 438 3 466 3.22 11 Mikongga 326 330 656 0.61 12 Lain-lain 3 806 3 132 6 938 6.49 Jumlah 53 585 53 364 106 949 100.00 a

(40)

Potret Aktual Pelaksanaan SLPHT di Lapang

Pelaksanaan SLPHT di Kabupaten Bekasi sudah menyebar ke setiap daerah. Berdasarkan data Pemerintah Kabupaten Bekasi terdapat 182 kelompok SLPHT dengan masing-masing kelompok berjumlah 25 orang yang berada di Kabupaten Bekasi dan 102 kelompok yang masih aktif hingga tahun 2012. Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) dan Pengamat Hama dan Penyakit (PHP) ditempatkan pada setiap Kecamatan yang akan diadakan SLPHT, masing-masing tempat terdapat satu PPL dan satu PHP. Peran PPL dan PHP di lapang tidak hanya sebagai narasumber tetapi juga sebagai tempat berbagi pengalaman. Petani yang telah mengikuti SLPHT diharapkan dapat mengelola lahannya dengan baik, dimulai dari persiapan lahan hingga pasca panen. Teknik bercocok tanam juga diajarkan pada saat sekolah lapang.

Karakteristik Petani Petani SLPHT

Semua petani responden yang diwawancara adalah laki-laki. Petani padi yang menjadi responden berumur antara 21-58 tahun. Hasil survei menunjukan bahwa 65% petani SLPHT berusia 41-50 tahun, 25% petani berusia 21-30 tahun, dan 10% petani berusia lebih dari 50 tahun (Tabel 9). Petani responden memilki sebaran jenjang pendidikan yang cukup beraneka ragam, 35% petani SLPHT adalah petani dengan jenjang pendidikan SD, 30% SMP, 15% SMA, dan 20% tidak bersekolah. Pengalaman bertani dalam bercocok tanam padi rata-rata lebih dari 20 tahun. Petani SLPHT yang memiliki pengalaman bertani lebih dari 40 tahun berjumlah 40%. Petani umumnya memulai kegiatan bertani pada usia 10-20 tahun dan mengikuti pekerjaan orang tua mereka. Petani SLPHT menjadikan pekerjaan petani padi sebagai mata pencaharian utama. Salah satu faktor yang mempengaruhi petani dalam mengambil keputusan bagi usahatani yang dilakukannya adalah kondisi sosial petani tersebut. Kondisi sosial ekonomi menjadi suatu batasan petani dalam mengikuti informasi teknologi PHT. Kondisi sosial ekonomi yang diantaranya lama pendidikan,

(41)

pengalaman bertani, tingkat pendapatan, banyaknya sumber mata pencaharian, dan status pengusahaan pada lahan garapan (Untung 1993).

Tanggungan keluarga petani SLPHT terbanyak adalah 3 sampai 5 orang dengan persentase 60%, tanggungan keluarga kurang atau sama dengan 2 dengan persentase 30%, dan tanggungan keluarga lebih dari 5 dengan jumlah 10%. Banyaknya tanggungan keluarga memengaruhi petani dalam mencari pekerjaan sampingan.

Petani nonSLPHT

Petani nonSLPHT pada umumnya berumur antara 41 sampai 50 tahun. Petani nonSLPHT dengan umur 41 sampai 50 tahun berjumlah 55% (Tabel 9). Jumlah persentase umur petani nonSLPHT terendah terdapat pada kisaran umur 21 sampai 30 tahun, dengan jumlah persentase 5%. Jenjang pendidikan tertinggi petani nonSLPHT hanya berada sampai tingkat SMP dengan persentase 20%. Rendahnya tingkat pendidikan petani dapat memengaruhi daya tangkap petani terhadap pemahaman komponen PHT dan memakan waktu yang cukup lama dalam meningkatkan pengetahuan petani tentang hama dan penyakit (Mardai 1996).

Petani nonSLPHT memiliki tanggungan keluarga terbanyak berjumlah antara 6 sampai 8 dengan persentase 10%. Jumlah persentase tanggungan keluarga petani nonSLPHT sebesar 50% terdapat pada jumlah tanggungan keluarga antara 3 sampai 5 orang. Pengalaman bertani petani nonSLPHT terbanyak terdapat antara 31 sampai 40 tahun dengan jumlah persentase 40%. Pengalaman bertani petani nonSLPHT lebih dari 50 tahun berjumlah 35% sedangkan petani SLPHT hanya 10%, hal ini terlihat petani nonSLPHT memiliki pengalaman bertani lebih lama dibanding petani SLPHT. Pekerjaan utama petani nonSLPHT adalah bertani, tetapi banyak petani nonSLPHT yang memiliki pekerjaan sampingan. Terdapat 75% petani nonSLPHT yang memiliki pekerjaan sampingan, 40% buruh, 30% beternak, dan 5% pedagang.

(42)

Tabel 9 Karakteristik petani responden

Karakteristik Petani responden (%)

SLPHT NonSLPHT Kisaran umur (tahun)

≤ 20 0 0 21 sampai 30 25 5 41 sampai 50 65 55 > 50 10 40 Tingkat pendidikan Tidak sekolah 20 40 SD 35 40 SMP 30 20 SMA 15 0 Perguruan tinggi 0 0 Tanggungan keluarga (orang) ≤ 2 30 40 3 sampai 5 60 50 6 sampai 8 10 10 > 8 0 0

Pengalaman bertani (tahun)

1 sampai 10 5 0 11 sampai 20 5 5 21 sampai 30 20 0 31 sampai 40 20 40 41 sampai 50 40 20 > 50 10 35 Pekerjaan utama Petani 100 100 Pekerjaan sampingan Pedagang - 5 Beternak 20 30 Buruh 20 40

Keadaan Umum Usahatani Varietas yang Digunakan

Varietas yang digunakan oleh petani padi SLPHT maupun petani nonSLPHT adalah varietas Mikongga dan varietas Ciherang. Benih atau bibit padi yang digunakan adalah pemberian dari pemerintah setempat. Menurut petani responden, benih padi yang mereka tanam merupakan varietas yang menghasilkan produksi tinggi dan hasil produksi (beras) yang disenangi konsumen. Sebanyak 80% petani

(43)

nonSLPHT yang menggunakan varietas Mikongga dan hanya 20% petani nonSLPHT yang menggunkan varietas Ciherang. Varietas yang digunakan petani SLPHT terbanyak adalah varietas Mikongga dengan presentase 75% dan varietas Ciherang hanya digunakan oleh 25% petani SLPHT (Tabel 10).

Tabel 10 Varietas padi yang digunakan petani

Varietas padi Petani responden (%)

SLPHT nonSLPHT

Mikongga 75% 80%

Ciherang 25% 20%

Status Kepemilikan dan Luas Lahan Pertanian

Status kepemilikan lahan petani padi terbagi menjadi petani pemilik penggarap, petani penyewa penggarap, dan petani penggarap. Dari keseluruhan petani responden, diperoleh hasil bahwa 70% petani SLPHT dan 70% petani nonSLPHT bekerja sebagai petani penyewa-penggarap (Tabel 11). Petani yang bekerja sebagai penyewa penggarap akan membayar lahan sewaannya setiap waktu panen. Petani responden berstatus pemilik penggarap dapat mengambil keputusan sendiri dalam menghadapi usaha tani. Saat proses pengolahan dan penggarapan lahan, petani juga kerap berdiskusi dengan petani lainnya terkait dengan proses pembudidayaan tanaman mereka. Petani penggarap mengambil sistem bagi hasil untuk pembayaran kepada pemilik lahan. Petani padi nonSLPHT memiliki luas lahan terbesar 2.5ha dengan peresentase 5%. Hasil produksi yang dihasilkan oleh petani padi nonSLPHT dengan luas lahan 2.5 ha sebesar 4000 kg/ha (Lampiran 5). Luas lahan terbesar yang dimiliki petani SLPHT adalah 2 ha dengan hasil produksi rata-rata berjumlah 5200 kg/ha. Terdapat perbedaan hasil produksi antara petani SLPHT dengan luas lahan 2 ha dan petani nonSLPHT dengan luas lahan 2.5 ha.

(44)

Tabel 11 Pemilikan dan pengusahaan lahan Lahan SLPHT (%) nonSLPHT (%) Status pemilikian Pemilik-penggarap 5 0 Penyewa-penggarap 70 70 Penggarap 25 30

Luas yang diusahakan

≤ 0.1 0 0 > 0.1 s/d ≤ 0.5 10 25 > 0.5 s/d ≤ 1.0 30 50 > 1.0 s/d ≤ 2.0 60 20 > 2.0 s/d ≤ 3.0 0 5 > 3.0 0 0

Hasil Panen dan Sistem Penjualan

Hasil panen padi rata-rata petani SLPHT adalah 5.765 ton per musim tanam (Lampiran 4), sedangkan hasil panen padi rata-rata petani nonSLPHT adalah 5.525 ton per musim tanam (Lampiran 5). Petani SLPHT dan petani nonSLPHT di Desa Srijaya menjual hasil panen mereka kepada tengkulak. Hasil panen padi mereka dalam musim tanam tahun 2011/2012 di hargai 3600 rupiah per kg.

Proporsi Biaya Input Usahatani

Biaya produksi yang dikeluarkan oleh setiap petani sangat beragam. Beragamnya produksi yang dikeluarkan tergantung luas lahan dan ketersediaan dana. Biaya produksi paling besar terdapat pada input usahatani tenaga kerja. Petani SLPHT menegeluarkan biaya produksi tenaga kerja sebesar 54.27%, sedangkan petani nonSLPHT mengerluarkan biaya produksi tenaga kerja sebesar 53.46%. Biaya tenaga kerja berasal dari biaya pengolahan tanah, penanaman, pemupukan, penyiangan gulma, penyemprotan pestisida, dan biaya pemanenan. Biaya yang diberikan untuk tenaga kerja biasanya 5% dari hasil produksi yang didapat oleh petani. Petani SLPHT mengeluarkan biaya untuk pestisida sebesar 2.82 % sedangkan petani nonSLPHT 5.93 % (Tabel 12). Persentase Biaya yang dikeluarkan petani nonSLPHT cenderung lebih besar. Petani padi di Desa Srijaya tidak mengeluarkan biaya untuk benih padi. Desa Srijaya mendapatkan benih atau bibit padi dari pemerintah setempat. Petani padi nonSLPHT mengeluarkan biaya produksi pupuk

(45)

padat lebih sedikit dibandingkan dengan petani SLPHT. Petani nonSLPHT hanya mengeluarkan 37.75% pupuk padat sedangkan petani SLPHT 40.44%. Biaya produksi pestisida lebih banyak dikeluarkan oleh petani nonSLPHT dengan persentase 5.93% sedangkan petani SLPHT hanya mengeluarkan biaya untuk pestisida sebesar 2.82%.

Tabel 12 Proporsi biaya input usahatani padi terhadap total biaya produksi per hektar per musim tanam

Input usahatani Biaya yang dikeluarkan petani (%) SLPHT NonSLPHT Bibit / benih 0 0 Pupuk padat 40.44 37.75 Pupuk cair 2.46 2.54 Pestisida 2.82 5.93 Tenaga kerja 54.27 53.46

Pengamatan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)

Semua petani responden baik petani SLPHT maupun petani nonSLPHT melakukan pengamatan OPT di lahan sawahnya. Pengamatan OPT dilakukan untuk mengambil keputusan dalam pengendalian OPT. Petani SLPHT dan nonSLPHT rutin dalam melakukan pengamatan OPT. Umumnya petani responden melakukan pengamatan setiap petani datang ke sawah. Petani SLPHT hampir setiap hari datang ke lahan sawah dan hampir setiap hari petani SLPHT melakukan pengamatan OPT. Pengamatan OPT dilakukan untuk pengambilan keputusan dalam pengendalian OPT. Dekatnya jarak antara lahan sawah dengan tempat tinggal petani yang menjadi salah satu alasan petani dapat rutin melakukan pengamatan OPT. Pengamatan OPT dilakukan dengan cara melihat ada atau tidaknya populasi hama dan berapa jumlah hama yang berada di lahan sawah.

Pengamatan Hama dan Penyakit

Permasalahan hama dan penyakit yang dihadapi oleh petani padi dalam musim tanam tahun 2011/2012 antara lain hama walang sangit, keong mas, tikus, dan penyakit hawar daun bakteri (Tabel 13). Sebanyak 80% petani SLPHT dan 75%

(46)

petani nonSLPHT mengatakan walang sangit merupakan hama yang paling banyak ditemukan petani responden di lahan pertanaman. Salah satu pengendalian yang digunakan oleh seluruh petani responden yaitu dengan cara penanaman serentak. Sebanyak 70% petani SLPHT dan 70% petani nonSLPHT mengatakan keong mas merupakan hama yang banyak ditemukan setelah walang sangit. Petani responden mengendalikan hama keong mas dengan cara mekanis yaitu dengan mengambil dan mengumpulkan hama keong mas tersebut. Sebanyak 40% petani SLPHT dan 35% petani nonSLPHT mengatakan tikus merupakan salah satu hama penting yang sering ditemukan di lahan sawah petani responden. Tikus merupakan salah satu hama yang dapat merusak pertanaman padi, petani responden mengendalikan hama tikus dengan cara melakukan gropyokan. Lingkungan yang bersih merupakan syarat utama dalam manajemen pengendalian hama tikus agar perkembangbiakannya dapat ditekan (Thamrin et al. 2001). Selain hama terdapat penyakit hawar daun bakteri pada tanaman padi responden. Penyakit hawar daun bakteri sering disebut petani sebagai penyakit “kresek”. Pengendalian yang dilakukan oleh petani SLPHT dengan menggunakan pupuk lengkap sebagai salah satu cara pencegahan penyakit hawar, sedangkan petani nonSLPHT menggunakan pestisida untuk pengendaliannya.

Tabel 13 Hama / penyakit penting pada pertanaman padi petani responden Jenis hama / penyakit Petani responden (%)

SLPHT NonSLPHT

Walang sangit 80 75

Keong mas 70 70

Tikus 40 35

Hawar daun bakteri 55 45

Pengendalian Gulma

Gulma menjadi salah satu tumbuhan pengganggu di lahan petani, keberadaan gulma di lahan dapat menyebabkan terjadinya persaingan dalam mendapatkan unsur hara, air, dan cahaya serta sebagai sumber penyakit bagi tanaman padi. Gulma yang sering dijumpai oleh petani responden adalah gulma padi-padian (Ecinochloa

Gambar

Tabel 1  Luas dan status penggunaan lahan sawah di Kabupaten Bekasi tahun 2010
Table 2  Jumlah rumah tangga usaha tani padi, jagung, kedelai, dan tebu menurut  Kecamatan dan penguasaan lahan di Kabupaten Bekasi tahun 2009 a No  Kecamatan  Golongan luas lahan yang dikuasai (ha)
Tabel 3  Kelembagaan kelompok tani dan usaha di Kabupaten Bekasi Tahun 2010 a
Tabel 4  Lokasi dan jumlah petani pelaksana kegiatan SLPHT tahun 2007 a
+7

Referensi

Dokumen terkait