• Tidak ada hasil yang ditemukan

Survei Evaluasi Pelaksanaan Program Pemasyarakatan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Petani Padi di Kecamatan Dramaga, Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Survei Evaluasi Pelaksanaan Program Pemasyarakatan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Petani Padi di Kecamatan Dramaga, Bogor"

Copied!
170
0
0

Teks penuh

(1)

(PHT) PETANI PADI DI KECAMATAN DRAMAGA, BOGOR

ROSI ROSIDAH JAJILI

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

ROSI ROSIDAH JAJILI. Survei Evaluasi Pelaksanaan Program Pemasyarakatan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Petani Padi di Kecamatan Dramaga, Bogor. Dibimbing oleh DADAN HINDAYANA.

Padi merupakan bahan makanan pokok sebagian besar rakyat Indonesia. Salah satu strategi pencapaian sasaran produksi untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional diupayakan melalui pengurangan kehilangan hasil dengan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT). Penggunaan pestisida dalam pengendalian OPT merupakan teknik pertanian konvensional yang menimbulkan berbagai dampak negatif baik terhadap lingkungan maupun kesehatan. Pengendalian hama terpadu (PHT) merupakan langkah alternatif berwawasan lingkungan untuk mengatasi OPT. Program PHT dikembangkan mulai tahun 1989 melalui sekolah lapang pengendalian hama terpadu (SLPHT) yang kini telah berjalan lebih dari 20 tahun. Perlu dilakukan survei dan evaluasi terhadap program tersebut untuk mengetahui tingkat keberhasilan program PHT yang dilakukan dengan metode wawancara menggunakan kuesioner terstruktur pada petani SLPHT dan nonSLPHT. Data sekunder sebagai data pendukung meliputi data keadaan umum lokasi dari kantor Kecamatan setempat dan data pelaksanaan program PHT yang diperoleh dari Dinas Pertanian Republik Indonesia. Hasil penelitian menunjukan bahwa terjadi penyebaran program PHT dari petani SLPHT ke petani nonSLPHT, namun dalam skala kecil dan tidak berkelanjutan. Program PHT saat ini masih berjalan walaupun terkendala oleh keterbatasan sarana dan biaya operasional. Teknologi PHT sudah memasyarakat di kalangan petani secara meluas melalui informasi petani alumni SLPHT dan kegiatan pelatihan lain, seperti sekolah lapang pengelolaan tanaman terpadu (SLPTT). Konsep PHT digeser dengan konsep pengelolaan tanaman terpadu (PTT) yang secara prinsip tidak berbeda dengan PHT. Pengetahuan, sikap dan tindakan petani SLPHT tentang konsep PHT lebih baik daripada petani nonSLPHT, baik dalam budidaya tanaman, penggunaan pestisida, pengetahuan tentang hama dan penyakit serta musuh alami, maupun pengendalian OPT secara nonkimiawi.

(3)

SURVEI EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM

PEMASYARAKATAN PENGENDALIAN HAMA TERPADU

(PHT) PETANI PADI DI KECAMATAN DRAMAGA, BOGOR

ROSI ROSIDAH JAJILI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(4)
(5)

Nama Mahasiswa : Rosi Rosidah Jajili

NIM : A34080029

Disetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Dadan Hindayana NIP. 19760430 200501 1 001

Diketahui

Ketua Departemen Proteksi Tanaman

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si NIP. 19650621 198910 2 001

(6)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Survei Evaluasi Pelaksanaan Program Pemasyarakatan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Petani Padi di Kecamatan Dramaga, Bogor. Shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW bersama keluarga, sahabat, dan umatnya sampai akhir zaman.

Penelitian dimulai dari Maret 2012. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Purwasari dan Desa Ciherang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Skripsi ini diharapkan dapat memberikan informasi dari hasil penelitian yang berguna dan bermanfaat bagi para peneliti selanjutnya.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Dr. Ir. Dadan Hindayana selaku dosen pembimbing yang telah memberikan

pengarahan, dukungan serta banyak nasihat kepada penulis sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Terima kasih kepada Dr. Ir. Abdul Muin Adnan, MS selaku dosen penguji tamu yang telah memberikan

masukan dalam penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Yayi Munara Kusumah, MSi selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan perhatian selama penulis kuliah.

Ucapan terima kasih kepada Ayahanda H. Lili Jajili dan Ibunda Hj. Deti Dahyati yang selalu memberikan kasih sayang, motivasi, nasihat serta do’a sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Staf Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, staf Badan Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan Kecamatan Dramaga, kelompok tani Mekarsari dan Rawasari Desa Purwasari, kelompok tani Suburjaya dan Minasri Desa Ciherang terima kasih atas bantuan serta kerjasamanya. Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada Ciptadi Achmad Yusup yang telah memberikan bantuan serta motivasi dalam penyelesaian skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan untuk teman-teman Proteksi Tanaman ’45 atas kerja sama dan kebersamaannya dalam memaknai arti persahabatan, serta semua pihak yang terkait dan telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan kegiatan selanjutnya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Amin.

Bogor, Juli 2012

(7)

Halaman

Arti Penting dan Manfaat Padi bagi Kehidupan Manusia ... 7

Pengendalian Hama Terpadu (PHT) ... 7

Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) ... 9

BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN ... 11

Waktu dan Tempat Penelitian ... 11

Metode Pelaksanaan ... 11

Pemilihan Contoh ... 11

Pengumpulan Data Primer ... 11

Pengumpulan Data Sekunder ... 12

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 13

Keadaan Umum Kecamatan Dramaga ... 13

Desa Purwasari ... 13

Desa Ciherang ... 14

Kebijakan Utama Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor ... 16

Program PHT di Kecamatan Dramaga ... 25

Karakteristik Petani ... 27

Keadaan Umum Usahatani ... 28

Status Kepemilikan dan Luas Lahan Pertanian ... 28

Varietas yang Digunakan ... 29

(8)

Halaman

Proporsi Biaya Input Usaha Tani ... 31

Budidaya Tanaman ... 32

Penentuan Waktu Tanam ... 32

Teknik Bercocok Tanam ... 33

Pemupukan ... 34

Pemeliharaan Tanaman ... 37

Pemanenan ... 37

Pengamatan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) ... 38

Pengendalian Gulma ... 39

Pengamatan Hama dan Penyakit ... 40

Pengetahuan petani terhadap hama/penyakit dan pengendaliannya .... 40

Penggunaan Pestisida ... 43

Kerasionalan Petani Terhadap Penggunaan Pestisida ... 44

Kecenderungan Mencampur Pestisida ... 46

Pengetahuan Petani tentang Musuh Alami ... 47

Kepedulian Petani Terhadap Dampak Pestisida ... 48

Sikap Petani Terhadap PHT ... 49

Evaluasi Pelaksanaan PHT... 50

KESIMPULAN DAN SARAN ... 52

Kesimpulan ... 52

Saran ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 53

(9)

No. Halaman

1. Luas wilayah dan jenis penggunaan tanah Desa Purwasari... 14

2. Jumlah penduduk Desa Purwasari menurut mata pencaharian ... 14

3. Luas wilayah dan jenis penggunaan tanah Desa Ciherang ... 15

4. Jumlah penduduk Desa Ciherang menurut mata pencaharian ... 15

5. Inventarisasi kegiatan SLPHT tanaman padi di Indonesia tahun 1999-2006 ... 23

6. Rencana dan realisasi pelaksanaan SLPHT tanaman padi di Indonesia tahun 2007-2011 ... 23

7. Lokasi dan jumlah petani pelaksana kegiatan SLPHT tahun 2008 .... 24

8. Lokasi dan jumlah petani pelaksana kegiatan SLPHT tahun 2010 .... 24

9. Lokasi gerakan PHT tahun 2010 ... 25

10. Karakteristik petani responden... 28

11. Pemilikan dan pengusahaan lahan ... 29

12. Varietas padi yang ditanam petani ... 30

13. Hasil panen padi per hektar per musim tanam ... 30

14. Rata-rata proporsi biaya input usahatani padi terhadap total biaya produksi setiap hektar per musim tanam... 31

15. Penggunaan pupuk kandang... 34

16. Dosis penggunaan pupuk padat ... 35

17. Penggunaan pupuk pelengkap cair (PPC) per musim tanam ... 36

18. Jenis PPC yang digunakan petani ... 36

19. Waktu penyulaman tanaman yang mati ... 37

20. Cara pemanenan padi yang dilakukan petani responden ... 37

21. Tindakan petani terhadap jerami ... 38

22. Pengamatan OPT yang dilakukan petani ... 38

23. Hama/penyakit terpenting pada pertanaman padi petani responden .. 40

(10)

Halaman

26. Jenis pestisida yang digunakan petani untuk pengendalikan hama

dan penyakit pada tanaman padi ... 44 27. Penggunaan pestisida untuk pengendalian hama dan penyakit

tanaman padi ... 45 28. Kesesuaian sasaran penggunaan pestisida ... 46 29. Pencampuran pestisida ... 47 30. Pengetahuan dan persepsi petani tentang musuh alami pada

tanaman padi ... 47 31. Persepsi petani tentang pengaruh penyemprotan terhadap musuh

(11)

No. Halaman

1. Gulma yang sulit dikendalikan menurut petani: (A) Fimbristylis miliacea (L.), (B) Ludwigia arcuata Walt., dan (C) Sphenoclea

zeylanica Gaertn ... 39 2. Alat bagan warna daun (BWD): (A) tampak depan, (B) tampak

(12)

No. Halaman

1. Kuesioner pengendalian hama terpadu tanaman padi ... 57

2. Rekapitulasi karakteristik usahatani SLPHT ... 69

3. Rekapitulasi karakteristik usahatani nonSLPHT ... 70

4. Biaya dan pendapatan usahatani petani SLPHT ... 71

5. Biaya dan pendapatan usahatani petani nonSLPHT ... 72

6. Pengetahuan petani responden tentang budidaya tanaman ... 73

7. Pengetahuan petani responden tentang pestisida dan penyemprotan. 73 8. Sikap kecenderungan petani dalam mencampur pestisida ... 74

9. Sikap petani terhadap pengendalian nonkimiawi ... 74

10. Sikap kerasionalan petani dalam penggunaan pestisida ... 75

11. Sikap kepedulian petani terhadap dampak pestisida ... 76

12. Produktivitas dan produksi padi Indonesia tahun 2001-2011 ... 77

13. Kegiatan selama penelitian: (A) proses wawancara petani di lahan, (B) proses wawancara petani dengan mendatangi rumah petani secara langsung, (C) Petani memperhatikan gambar contoh gejala penyakit di lahan padi ... 77

(13)

Latar Belakang

Padi merupakan bahan makanan pokok sebagian besar rakyat Indonesia karena 95% penduduk Indonesia mengkonsumsi beras. Tingginya kebutuhan konsumsi beras disebabkan oleh sebagian besar penduduk Indonesia beranggapan bahwa beras merupakan bahan makanan pokok yang belum dapat digantikan keberadaannya. Keterikatan pada beras sebagai pangan pokok pada gilirannya menimbulkan masalah, yaitu bertambahnya jumlah penduduk diiringi dengan besarnya konsumsi beras di Indonesia. Oleh karena itu, untuk mengimbangi peningkatan konsumsi beras tersebut, maka produksi beras secara nasional harus ditingkatkan pula (Muslim 2008).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2011), pada tahun 2011 terjadi penurunan produktivitas padi yang cukup signifikan dari 50.15 ku/ha menjadi 49.80 ku/ha. Turunnya produktivitas padi berkorelasi positif dengan penurunan produksi padi nasional. Produksi padi pada tahun 2011 sebesar 65 756 904 ton dengan luas lahan panen 13 203 643 ha, menurun dari 66 469 394 ton pada tahun 2010 dengan luas lahan 13 253 450 ha. Kebutuhan beras per kapita per tahun penduduk Indonesia sekitar 139 kg. Angka konsumsi beras masyarakat Indonesia lebih besar dibandingkan dengan negara lain di dunia. Dengan demikian, kebijakan impor beras yang dilakukan pemerintah merupakan kebijakan yang baik untuk memperkuat cadangan beras dan memenuhi konsumsi dalam negeri.

Upaya peningkatan produktivitas padi secara nasional sudah dimulai sejak tahun 1969, namun selama lebih dari 3 dekade Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan beras dalam negeri sehingga masih tergantung pada impor. Kondisi ini disebabkan oleh berbagai macam kendala dalam peningkatan produktivitas padi, di antaranya konversi lahan pertanian, teknologi, hama dan penyakit tanaman, perubahan iklim, dan bencana alam (Wardhani 1992).

(14)

dapat dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya menggunakan varietas unggul, cara mekanis, biologi, kimiawi, dan sistem budidaya yang baik tetapi masih sering dijumpai penggunaan cara kimiawi menjadi pilihan pertama (Djojosumarto 2008).

Pengendalian secara kimiawi dengan aplikasi pestisida merupakan cara paling praktis, ekonomis, dan efisien, namun menimbulkan beberapa dampak negatif di antaranya menimbulkan masalah kesehatan, pencemaran, dan gangguan keseimbangan ekologis. Dampak sosial ekonomi dari penggunaan pestisida yang tidak terkendali menyebabkan biaya produksi menjadi tinggi dan menimbulkan biaya sosial, misalnya biaya pengobatan dan hilangnya hari kerja jika terjadi keracunan. Dampak bagi kesehatan di antaranya dapat mengakibatkan keracunan baik akut maupun kronis. Bagi kelestarian lingkungan, penggunaan pestisida dapat menimbulkan pencemaran lingkungan, terjadinya resistensi pada hama, terbunuhnya organisme bukan sasaran, timbulnya ledakan hama kedua, adanya residu racun pada tanaman, dan terjadinya resurjensi hama seperti yang terjadi pada tahun 1985 (Djojosumarto 2008).

Pada tahun 1985 terjadi letusan hama wereng batang cokelat di pusat tanaman padi di Jawa Tengah dan jalur pantai utara Jawa yang meliputi ribuan hektar lahan sawah. Banyak petani mengalami gagal panen karena sawahnya

(15)

terpadu (PHT) semakin besar. Hal ini bertujuan menurunkan pemanfaatan dan ketergantungan terhadap pestisida sintetik (Untung 2007).

Pengendalian hama terpadu (PHT) adalah suatu cara pendekatan, cara berfikir atau falsafah pengendalian hama yang didasarkan pada pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang bertanggung jawab. Program tersebut telah membawa Indonesia diakui oleh dunia bahwa Indonesia telah berhasil mengembangkan PHT. Konsep PHT berusaha untuk mendorong, mengkombinasikan, dan mamadukan beberapa macam faktor pengendalian untuk menekan populasi hama dan memperkecil kerusakan tanaman yang diakibatkan oleh serangan hama. Secara prinsip, konsep PHT berbeda dengan konsep pengendalian konvensional yang sangat tergantung pada penggunaan pestisida. PHT bukan suatu konsep yang anti penggunaan pestisida melainkan alternatif terakhir jika semua teknologi PHT sudah tidak efektif, pestisida masih diperlukan tetapi sangat selektif (Krestiani 2010).

Sejak tahun 1989 program PHT dikembangkan melalui sekolah lapang pengendalian hama terpadu (SLPHT) pada tanaman padi. Perencanaan dan persiapan kegiatan pelatihan PHT dilakukan di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) oleh suatu tim yang terdiri atas para pakar PHT dari FAO, Departemen Pertanian, dan Universitas (UGM, IPB, dan UNHAS). Indonesia dikenal di seluruh dunia sebagai pencetus dan pionir dalam melaksanakan program SLPHT dalam skala besar. Petani dengan segala keterbatasannya dapat meningkatkan kualitas dan dedikasinya menjadi penerap konsep PHT yang dapat dibanggakan. Pola SLPHT telah diterima oleh FAO, organisasi pangan dan pertanian dunia, serta diterapkan dan dikembangkan di sebagian besar negara berkembang di benua Asia, Afrika, dan Amerika Latin (Untung 2007).

(16)

teknik pertanian konvensional yang bergantung pada penggunaan pestisida. Oleh karena itu, perlu dilakukan survei dan evaluasi terhadap tingkat keberhasilan program PHT, salah satunya di Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor yang telah menerapkan strategi pengendalian OPT melalui implementasi program PHT pada tanaman pangan terutama padi.

Tujuan

Survei ini bertujuan menganalisis tingkat pengetahuan, sikap, dan tindakan petani dalam mengendalikan organisme pengganggu tanaman; serta menganalisis dan mengevaluasi tingkat keberhasilan program PHT pada petani padi di Kecamatan Dramaga, Bogor.

Manfaat Penelitian

(17)

Tanaman Padi

Sejarah

Padi merupakan tanaman pangan rumput berumpun. Tanaman pertanian kuno berasal dari dua benua yaitu Asia dan Afrika Barat tropis dan subtropis. Bukti sejarah memperlihatkan bahwa penanaman padi di Zhejiang (Cina) sudah dimulai pada tahun 3000 SM. Fosil butir padi dan gabah ditemukan di Hastinapur Uttar Pradesh India sekitar 100 sampai 800 SM. Selain Cina dan India, beberapa wilayah asal padi adalah Bangladesh Utara, Burma, Thailand, Laos, dan Vietnam (Surowinoto 1983).

Biologi

Padi tergolong tanaman setahun, bentuk batang berongga dan beruas-ruas, pada setiap ruas batang tumbuh satu helai daun yang memanjang seperti pita. Pelepah daun membungkus ruas batang dan pada ujung batang terbentuk sebuah malai (Sumartono et al. 1972).

Tanaman padi termasuk divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Monotyledonae, ordo Graminales, famili Graminae, genus Oryza dan spesies Oryza spp.. Spesies padi terdiri atas dua golongan yaitu Utilissima (padi biasa) dan Glutinosa (padi ketan). Pembagian ini berdasarkan atas perbedaan fisik dan kimia dari endospermanya (Surowinoto 1983).

Menurut Siregar (1981) terdapat 25 spesies Oryza, yang terkenal adalah

O. sativa dengan dua subspesies yaitu Indica (padi bulu) yang ditanam di Indonesia dan Sinica (padi cere). Padi dibedakan dalam dua tipe yaitu padi kering (gogo) yang ditanam di dataran tinggi dan padi sawah di dataran yang memerlukan penggenangan.

(18)

mempunyai produksi tinggi. Jenis Indica cenderung menghasilkan butir beras yang lebih pendek dan konstistensi nasinya lekat (Ika dan Soemarno 1986).

Varietas unggul nasional berasal dari Bogor yaitu Pelita I/1, Pelita I/2, Adil dan Makmur (dataran tinggi), Gemar, Gati, GH 19, GH 34, dan GH 120 (dataran rendah). Varietas unggul introduksi dari International Rice Research Institute (IRRI) Filipina adalah jenis IR atau PB yaitu IR 22, IR 14, IR 46, dan IR 54 (dataran rendah); PB32, PB 34, PB 36, dan PB 48 (dataran rendah). Varietas unggul baru (VUB) padi sawah, seperti: IR36, Cisadane, IR 42, Cisokan, IR64, Ciliwung, IR66, Memberamo, Cibodas, Digul, Maros, Cimalaya Mucul, Way Apo Buru, Widas, Ciherang, Cisantana, Tukad Petanu, Tukad Balian, Tukad Unda, Celebes, Kalimas, Bondojudo, Silungonggo, Singkil, Sintanur, Konawe, Batang Gadis, Ciujung, Conde, Angke, Wera, Sunggal, Cigeulis, Luk Ulo, Cibogo, Batang Piaman, Batang Lembang, Pepe, Logawa, Mekongga, Sarinah, Aek Sibundong, Inpari 1, Inpari 2, Inpari 3, Inpari 4, Inpari 5 Merawu, Inpari 6 Jete, Inpari 7 Lanrang, Inpari 8, Inpari 9 Elo, dan Inpari 10 Laeya. VUB padi tipe baru seperti: Cimelati, Gilirang, Ciapus, dan Fatmawati. VUB padi hibrida seperti: Maro, Rokan, Hipa 3, Hipa 4, Hipa 5 Ceva, Hipa 6 Jete, Hipa 7, dan Hipa 8 Pioneer. VUB padi ketan seperti: Lusi, Ketonggo, Setail, dan Ciasem. VUB padi gogo seperti: Cirata, Towuti, Limboto, Danau Gaung, Batutegi, Situ Patenggang, dan Situ Bagendit. VUB padi rawa pasang surut seperti: Banyuasin, Batanghari, Dendang, Indragiri, Punggur, Martapura, Margasari, Siak Raya, Air Tenggulang, Lambur, Mendawak, Inpara 1, Inpara 2, dan Inpara 3 (Suprihatno et al. 2009). Syarat Tumbuh

(19)

Di dataran rendah padi memerlukan ketinggian 0 sampai 650 m dpl dengan temperatur 22 sampai 27 oC, sedangkan di dataran tinggi 650 sampai 1500 m dpl dengan temperatur 19 sampai 23 oC. Tanaman padi mempunyai dua fase masa kritis, yaitu masa pembentukan anakan (vegetatif aktif) dan fase setelah pembentukan primordia (30 hari sebelum keluar bunga). Tanaman padi memerlukan penyinaran matahari penuh tanpa naungan. Jika terjadi kekurangan air pada kedua fase tersebut, maka anakan akan berkurang dan persentase gabah hampa tinggi. Selain itu, angin juga berpengaruh pada penyerbukan dan pembuahan tetapi jika terlalu kencang akan merebahkan tanaman (Surowinoto 1983).

Arti Penting dan Manfaat Padi bagi Kehidupan Manusia

Padi merupakan bahan makanan yang menghasilkan beras. Bahan makanan ini merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Meskipun padi dapat digantikan oleh makanan lainnya, namun padi memiliki nilai tersendiri bagi orang yang biasa makan nasi dan tidak dapat dengan mudah digantikan oleh bahan makanan yang lain (Haryadi 2006).

Padi adalah salah satu bahan pangan pokok yang mengandung gizi dan penguat yang cukup bagi tubuh manusia sebab di dalamnya terkandung bahan yang mudah diubah menjadi energi. Pangan pokok umumnya banyak mengandung karbohidrat sehingga berfungsi sebagai sumber kalori utama. Di Indonesia, di antara bahan pangan berkarbohidrat yaitu padi-padian, umbi-umbian, dan batang palma, beras merupakan sumber kalori terpenting bagi sebagian besar penduduk. Beras diperkirakan menyumbangkan kalori sebesar 60% sampai 80% dan protein 45% sampai 55% bagi rata-rata penduduk (Haryadi 2006).

Pengendalian Hama Terpadu (PHT)

(20)

dikembangkan dengan memanfaatkan semua teknik pengendalian, yaitu kimia, hayati, kultural, mekanik, dan cara-cara pengendalian lain yang cocok untuk menurunkan populasi hama di bawah garis ambang ekonomi dengan memperhatikan aspek-aspek ekologi, ekonomi, dan sosial.

Prinsip-prinsip pengendalian hama terpadu (PHT) sebagaimana dikemukakan oleh Untung (1984) adalah (1) pengendalian hama harus merupakan bagian atau komponen atau subsistem pengelolaan agroekosistem; (2) pengendalian hama harus dilakukan dengan berlandaskan prinsip-prinsip pembangunan pertanian berkelanjutan; (3) strategi pengelolaan agroekosistem berkelanjutan, antara lain pengurangan masukan produksi yang membahayakan, manfaat potensi hayati, penyesuaian pola tanam, dan penekanan pada pengelolaan usaha tani; dan (4) tujuan PHT tidak hanya untuk pengendalian hama saja tetapi mempunyai tujuan komprehensif, antara lain: produksi pertanian makin tinggi, peningkatan kesejahteraan petani, perhatian pada populasi hama dalam keseimbangan, perhatian pada keanekaragaman hayati, pembatasan penggunaan pestisida, pengurangan risiko keracunan pada manusia dan binatang, dan peningkatan daya saing serta nilai tambah produk.

Pemerintah telah menetapkan PHT sebagai kebijakan dasar bagi setiap program perlindungan tanaman. Kebijakan ini merupakan program pemerintah sejak Pelita III sampai sekarang. Dasar hukum penerapan dan pengembangan PHT di Indonesia adalah Instruksi Presiden No. 3 Tahun 1986 dan Undang Undang No.12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, serta Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1996 tentang Perlindungan Tanaman (Untung 1993).

Sistem pertanian berkelanjutan merupakan tujuan jangka panjang PHT dengan sasaran pencapaian produksi tinggi, produk berkualitas, perlindungan dan peningkatan kemampuan tanah, air, dan sumber daya lainnya, pembangunan perekonomian desa, dan kehidupan yang lebih baik bagi keluarga petani dan komunitas pertanian pada umumnya (Wardhani 1992).

(21)

tepat dan cenderung berlebihan dalam penggunaannya; (2) jumlah dan kualitas SDM pelaksana perlindungan tanaman masih kurang di jajaran pemerintah, swasta/industri dan khususnya petani; (3) kekurangan penelitian pendukung yaitu masih ada kesenjangan antara kegiatan penelitian dan kebutuhan dan permasalahan lapangan khususnya dalam penerapan prinsip-prinsip PHT; (4) lemahnya koordinasi kelembagaan; (5) kebijakan PHT belum diterapkan, akhir-akhir ini ada kecenderungan konsep PHT digeser dengan konsep lain yaitu pengelolaan tanaman terpadu (PTT) yang sebenarnya secara prinsip tidak berbeda dengan PHT; (6) keterbatasan sarana dan biaya operasional; (7) ketergantungan petani yaitu struktur kelembagaan petani sangat lemah sehingga petani pasif, menunggu perintah dan bantuan, tidak mandiri, kurang percaya diri, dan sangat tergantung pada pihak-pihak lain, terutama dari pejabat dan petugas pemerintah atau mungkin dari petugas perusahaan pestisida; dan (8) pemanfaatan data iklim yang masih kurang.

Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT)

Kegiatan pelatihan PHT untuk petani tanaman pangan dikelola oleh Program Nasional PHT yang bersekretariat di BAPPENAS (1989-1993) dan Departemen Pertanian (1993-1993) (Untung 2007). Pada periode 1989-1999 melalui program sekolah lapang pengendalian hama terpadu (SLPHT), Departemen Pertanian berhasil melatih lebih dari satu juta petani, khususnya untuk tanaman padi dan tanaman pangan lainnya. Hal ini sangat penting dalam meningkatkan kesejahteraan petani melalui PHT dalam praktek pertanian yang baik (Effendi 2009).

(22)

Visi SLPHT adalah memberdayakan petani dalam menerapkan dan mengembangkan prinsip-prinsip dan teknologi PHT secara profesional sehingga dapat dihasilkan produk pertanian dengan kualitas, kuantitas, dan daya saing pasar tinggi untuk peningkatan kesejahteraan hidupnya. Paradigma pemberdayaan dan pemanfaatan kemampuan sumberdaya hayati lokal merupakan tumpuan SLPHT.

(23)

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai Maret sampai Juni 2012, bertempat di Desa Purwasari dan Desa Ciherang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Metode Pelaksanaan

Pemilihan Contoh

Pemilihan desa contoh dalam 1 kecamatan berdasarkan adanya pelaksanaan program PHT tanaman padi melalui SLPHT, yaitu Desa Purwasari dan Desa Ciherang. Setiap desa dipilih 20 petani secara acak, terdiri atas 10 petani yang sudah pernah mengikuti SLPHT dan 10 petani yang belum pernah mengikuti SLPHT (nonSLPHT). Pemilihan petani alumni SLPHT berdasarkan tahun keikutsertaan petani dalam kegiatan SLPHT, yaitu tahun 1992 dan 2000.

Pengumpulan Data Primer

Pengumpulan data primer dilakukan melalui metode wawancara menggunakan kuesioner terstruktur (Lampiran 1) dan alat peraga berupa spesimen serangga dan foto gejala penyakit. Pelaksanaannya dengan cara mengunjungi petani ke rumah atau lahan pertaniannya.

(24)

Hasil wawancara dengan kuesioner dipersentasekan berdasarkan perbandingan antara frekuensi jawaban responden dengan jumlah petani/responden kemudian dibuat tabulasi data. Penghitungan data yang diperoleh dari kedua desa dikelompokkan ke dalam petani SLPHT dan petani nonSLPHT.

Pengumpulan Data Sekunder

(25)

Keadaan Umum Kecamatan Dramaga

Kecamatan Dramaga merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Bogor yang terletak di wilayah Bogor Barat dengan luas wilayah 2 437.636 ha. Sebagian besar tanahnya seluas 972 ha digunakan untuk sawah, 1145 ha lahan kering (pemukiman, pekarangan, kebun), 49.79 ha lahan basah (rawa, danau, tambak, situ), 20.30 ha lapangan olahraga dan pemakaman umum. Kecamatan Dramaga mempunyai batas wilayah sebelah utara dengan Kecamatan Rancabungur, sebelah selatan dengan Kecamatan Tamansari, sebelah barat dengan Kecamatan Ciampea, dan sebelah timur dengan Kecamatan Bogor Barat. Curah hujan di Kecamatan Dramaga 1000 sampai 1500 mm/tahun dengan ketinggian 700 m dari permukaan laut merupakan kawasan berbukit dengan suhu rata-rata 25 sampai 30 oC. Jarak Kecamatan Dramaga dari ibukota Kabupaten Bogor adalah 30 km, dari ibukota Propinsi Jawa Barat 120 km, dan dari ibukota negara Indonesia 80 km. Kecamatan Dramaga terdiri 10 desa yaitu Dramaga, Ciherang, Sinarsari, Sukawening, Sukadamai, Neglasari, Petir, Purwasari, Babakan, dan Cikarawang dengan jumlah 32 dusun, 72 rukun warga, 314 rukun tetangga, dan 22 143 kepala keluarga (Laporan . . . 2011). Penelitian ini dilakukan di Desa Purwasari dan Desa Ciherang.

Desa Purwasari

(26)

Tabel 1 Luas wilayah dan jenis penggunaan tanah Desa Purwasari a

Jenis penggunaan tanah Luas (ha)

Persawahan 158.233

Sumber: Rencana pembangunan jangka menengah Desa Purwasari tahun 2011-2015.

Tabel 2 Jumlah penduduk Desa Purwasari menurut mata pencaharian a

Jenis Pekerjaan Jumlah (orang)

PNS 36

Sumber: Rencana pembangunan jangka menengah Desa Purwasari tahun 2011-2015.

Desa Ciherang

(27)

keluarga (Data . . . 2011). Sebagian besar masyarakat di Desa Ciherang bekerja sebagai wiraswasta dan buruh (Tabel 4).

Tabel 3 Luas wilayah dan jenis penggunaan tanah Desa Ciherang a

Jenis penggunaan tanah Luas (ha)

Perumahan/pemukinan dan pekarangan 49.43

Sawah 171.00

Ladang 20.34

Perkebunan/perkebunan rakyat 0.00

Kolam/tambak 2.00

Tabel 4 Jumlah penduduk Desa Ciherang menurut mata pencaharian a

Jenis pekerjaan Jumlah (orang)

Petani 398

(28)

Kebijakan Utama Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor

Landasan Hukum

Landasan hukum penyusunan Rencana Strategis Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor Tahun 2009-2013 adalah :

1. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.

2. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

3. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

4. undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. 5. Undang–undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. 6. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

7. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara.

8. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

9. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. 10. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Pembagian Kewenangan

antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

11. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.

12. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2009 tentang Keuangan Negara. 13. Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999, tentang Aktivitas

Kinerja/instansi Pemerintah (AKIP).

14. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.

15. Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2001 tentang Pelaporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.

(29)

17. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

18. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air.

19. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.58/Menhut-II/2006 tentang Rencana Strategis Kementerian/Lembaga (Renstra-KL) Departemen Kehutanan Tahun 2005-2009.

20. Keputusan Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat Nomor 529/3322/Prog/2008 tentang Rencana Strategis Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat Tahun 2008-2013.

21. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 11 tahun 2008 tentang Pembentukan Dinas Daerah.

22. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 20 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJMD) Kabupaten Bogor tahun 2005-2025.

Landasan hukum yang menjadi acuan operasional kegiatan PHT adalah: 1. Undang-undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. 2. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman. 3. Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 65 Tahun 2007 dan tentang

Pelaksanaan Intensifikasi Pertanian Tanaman Pangan Perkebunan Tahun 2010.

4. Perda No. 12 Tahun 2004 tentang Pembentukan Organisasi Tata Kerja Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor.

5. Dokumen Anggaran Satuan Kerja (DASK) Kegiatan Pengendalian Hama Terpadu 2010.

Struktur Organisasi

(30)

 Peraturan Bupati Bogor Nomor 55 Tahun 2008 tentang Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perbenihan.

 Peraturan Bupati Bogor Nomor 10 Tahun 2009 tentang Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pengembangan Teknologi Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan dan Kehutanan.

 Peraturan Bupati Bogor Nomor 59 Tahun 2008 tentang Unit Pelaksana Teknis (UPT) Peredaran Hasil Pertanian dan Kehutanan.

 Peraturan Bupati Nomor 57 Tahun 2008 tentang Unit Pelaksana Teknis (UPT) Alat Mesin Pertanian.

 Peraturan Bupati Bogor Nomor 58 Tahun 2008 tentang Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pengembangan Teknologi Lahan Kering.

 Peraturan Bupati Bogor Nomor 56 Tahun 2008 tentang Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pengembangan Tanaman Obat.

Saat melaksanakan tugas, Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan dibantu oleh satu sekretariat, empat bidang, 3 subbag dan 12 seksi. Selain itu, terdapat juga 9 unit pelaksana teknis (UPT) yang berkedudukan di daerah. Secara lengkap struktur organisasi Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor adalah sebagai berikut :

a. Sekretariat membawahkan:

1. Subbag Program dan Pelaporan 2. Subbag Umum dan Kepegawaian 3. Subbag Keuangan

b. Bidang Tanaman Pangan membawahkan: 1. Seksi Produksi

2. Seksi Pelayanan Usaha dan Perlintan 3. Seksi Pengelolaan Hasil dan Pemasaran c. Bidang Hortikultura membawahkan:

1. Seksi Produksi

2. Seksi Pelayanan Usaha dan Perlintan 3. Seksi Pengelolaan Hasil dan Pemasaran d. Bidang Perkebunan membawahkan:

1. Seksi Produksi

(31)

3. Seksi Pengelolaan Hasil dan Pemasaran e. Bidang Kehutanan membawahkan:

1. Seksi Konservasi dan Rehabilitasi 2. Seksi Pelayanan Usaha

3. Seksi Pengelolaan Hasil dan Pemasaran

f. UPT, terbagi kedalam beberapa wilayah kerja, yaitu:

 UPT Pengembangan Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan dan Kehutanan terbagi kedalam 11 Wilayah, yaitu:

I. Cigudeg (Cigudeg, Jasinga, Sukajaya) II. Parung Panjang (Parung Panjang Tenjo)

III. Leuwiliang (Leuwiliang, Leuwisadeng, Nanggung, Rumpin) IV. Cibungbulang (Cibungbulang, Pamijahan)

V. Dramaga (Dramaga, Ciomas, Tamansari)

VI. Ciseeng (Ciseeng, Parung, Gunung Sindur, Kemang, Rancabungur)

VII. Ciawi (Ciawi, Megamendung, Cisarua) VIII. Caringin (Caringin, Cijeruk, Cigombong)

IX. Cibinong (Cibinong, Sukaraja, Babakan madang, Bojong Gede, Tajur Halang, Gunung Puteri, Citeureup)

X. Jonggol (Jonggol, Sukamakmur, Klapanunggal, Cileungsi) XI. Cariu ( Cariu, Tanjungsari)

 UPT Peredaran Hasil Pertanian dan Kehutanan terbagi kedalam 3 wilayah, yaitu:

I. Leuwiliang (Leuwiliang, Jasinga, Sukajaya, Cigudeg, Nanggung, Parungpanjang, Rumpin, Cibungbulang, Pamijahan, Tenjo, Tenjolaya, Leuwisadeng, Ciampea, Dramaga)

II. Caringin (Caringin, Cigombong, Cijeruk, Ciawi, Cisarua, Megamendung, Ciomas, Tamansari, Gunung Sindur, Parung, Ciseeng, Kemang, Rancabungur)

(32)

 UPT Perbenihan terbagi kedalam 2 wilayah, yaitu:

I. Dramaga (Dramaga, Nanggung, Sukajaya, Leuwiliang, Leuwisadeng, Tenjolaya, Rumpin, Cibungbulang, Parungpanjang, Tenjo, Cigudeg, Pamijahan, Ciampea, Jasinga, Ciomas, Tamansari, Caringin, Cigombong, Cijeruk, Ciawi, Megamendung, Cisarua)

II. Jonggol (Jonggol, Cariu, Tanjungsari, Sukamakmur, Cileungsi, Klapanungggal, Gunung Puteri, Citeureup, Cibinong, Bojonggede, Babakan Madang, Sukaraja, Tajur Halang, Rancabungur, kemang, Ciseeng, Parung, Gunung Sindur)

 UPT Alat Mesin Pertanian dan Kehutanan terdiri dari 2 wilayah, yaitu:

I. Jasinga (Jasinga, Nanggung, Sukajaya, Leuwisadeng, Leuwiliang, Tenjolaya, Rumpin, Cibungbulang, PartungPanjang, Tenjo, Cigudeg, pamijahan, Ciampea, Dramaga, Ciomas, Tamansari, Caringin, Cigombong, Cijeruk, Ciawi, Megamendung, Cisarua) II. Jonggol (Jonggol, Cariu, Tanjungsari, Syukamakmur,

Klapanunggal, gunung Puteri, Citeureup, Cileungsi, Cibinong, Bojong Gede, Babakan Madang, Sukaraja, Tajur Halang, ranca Bungur, kemang, Ciseeng, Parung, Gunung Sindur)

 UPT Pengembangan Teknologi Lahan Kering berlokasi di Tenjo

 UPT Pengembangan Tanaman Obat berlokasi di Nanggung g. Kelompok jabatan fungsional

Tugas Pokok dan Fungsi

Dinas Pertanian dan Kehutanan mempunyai tugas pokok membantu Bupati dalam melaksanakan urusan pemerintahan daerah berdasarkan asas otonomi di bidang pertanian tanaman pangan, perkebunan, dan kehutanan serta tugas pembantuan. Saat pelaksanaan tugas tersebut, Dinas Pertanian dan Kehutanan mempunyai fungsi:

(33)

2. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum di bidang pertanian tanaman pangan, perkebunan, dan kehutanan

3. Pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang pertanian tanaman pangan, perkebunan dan kehutanan; dan

4. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh bupati sesuai dengan tugas dan fungsinya.

Guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan diperlukan kebijakan yang akan dijadikan panduan dalam menyusun program dan kegiatan setiap tahun. Kebijakan Dinas Pertanian dan Kehutanan untuk mendukung tercapainya tujuan adalah : Misi kesatu

1. Revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan untuk mengurangi kemiskinan, pengangguran, meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk pertanian, membangun pedesaan, mengurangi ketimpangan antarwilayah.

2. Fokus komoditas untuk mewujudkan satu kecamatan satu produk.

Misi kedua

1. Revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan untuk membangun ketahanan pangan, mengurangi kemiskinan, dan pengangguran.

Misi ketiga

1. Revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan yang terkait dengan melestarikan lingkungan, membangun kesinambungan kegiatan, mengurangi kemiskinan dan mengurangi pengangguran.

(34)

Program PHT yang Masih Berjalan

Program PHT di Indonesia

Program PHT mulai dikembangkan pada tahun 1989 melalui kegiatan SLPHT (Untung 1993). Data yang berhasil diperoleh mengenai perkembangan kegiatan SLPHT tanaman padi di Indonesia tahun 1999-2006 (Tabel 5). Jumlah peserta SLPHT cenderung mengalami penurunan dan fluktuatif. Selain itu, jumlah peserta SLPHT pada tahun 2007-2011 tidak semuanya terealisasi dari yang direncanakan (Tabel 6). Rencana pelaksanaan kegiatan SLPHT tanaman padi pada tahun 2012 sebanyak 1261 unit dengan jumlah petani sasaran sebanyak 31 525 orang (Deptan 2012). Berdasarkan data yang diperoleh, pelaksanaan kegiatan SLPHT tanaman padi sampai saat ini masih berjalan karena program PHT merupakan program yang harus dilakukan secara rutin dan berkelanjutan sehingga kegiatan SLPHT tetap dilaksanakan walaupun banyak kedala, salah satunya keterbatasan sarana dan biaya operasional.

(35)

Tabel 5 Perkembangan kegiatan SLPHT tanaman padi di Indonesia tahun 1999-2006 a

Tahun pelaksanaan Jumlah peserta

Unit b Petani (orang)

Jumlah peserta 1 unit = 25 orang.

Tabel 6 Rencana dan realisasi pelaksanaan SLPHT tanaman padi di Indonesia tahun 2007-2011 a

Tahun pelaksanaan

Jumlah peserta

Rencana Realisasi

Unit Petani (orang) Unit Petani (orang)

2007 1030 25 750 1025 25 625

Jumlah peserta 1 unit = 25 orang.

Program PHT di Kabupaten Bogor

(36)

petani (Tabel 8). Adapun lokasi gerakan pengendalian OPT pada tahun 2010 yang dilaksanakan di 6 kecamatan dalam mengendalikan hama tikus yang diikuti oleh 300 petani (Tabel 9).

Tabel 7 Lokasi dan jumlah petani pelaksana kegiatan SLPHT tahun 2008 a

Kecamatan Desa Kelompok tani Peserta

(orang)

Rancabungur Bantar Sari Mekar Jaya 300 Juni-Agustus

Caringin Muara Jaya Setia Wargi 300 Juni-Agustus

Taman Sari Sukajadi Harapan Maju 300 Juni-Agustus

Jumlah 1800

a

Sumber: Pelaksanaan Program Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Kabupaten Bogor Tahun 2010.

Tabel 8 Lokasi dan jumlah petani pelaksana kegiatan SLPHT tahun 2010 a

Kecamatan Desa Kelompok tani Peserta

(orang)

(37)

Tabel 9 Lokasi gerakan PHT tahun 2010 a

Kecamatan Desa Kelompok

tani

Nanggung Parakan Muncang Santiong 50 Tikus

Cigudeg Warga Jaya Kahuripa 50 Tikus

Tanjungsari Antajaya Harapan Jaya 50 Tikus

Sukajaya Sukajaya Motekar 50 Tikus

Sukamakmur Wargajaya Mujur Tani 50 Tikus

Jumlah 300

a

Sumber: Pelaksanaan Program Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Kabupaten Bogor Tahun 2010.

Program PHT di Kabupaten Bogor dibiayai dari dokumen anggaran satuan kerja (DASK) Kegiatan Pengendalian Hama Terpadu Tahun 2010 APBD Pemerintah Kabupaten Bogor Tahun 2010 sebesar Rp 257 445 000.-. Realisasi keuangan direncanakan sebesar Rp 257 445 000.- yang terserap sampai dengan akhir Desember 2010 adalah Rp 254 578 500.- atau 98.89% dan realisasi fisik telah 100% (Pelaksanaan . . . 2010).

Program PHT di Kecamatan Dramaga

POPT dan PL untuk wilayah Kecamatan Dramaga adalah Bapak Dida Mulyadi dan Ibu Maryani. Selain Kecamatan Dramaga, wilayah yang berada di bawah tanggung jawab Bapak Dida dan Ibu Maryani adalah Kecamatan Tenjolaya. Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas POPT, program PHT melalui kegiatan SLPHT masih berjalan, namun terdapat kendala dalam pelaksanaannya, di antaranya keterbatasan sarana dan biaya operasional yang berasal dari APBN. Untuk menanggulangi masalah ini, para PL menyelenggarakan SLPHT yang bersifat swadaya jika sangat diperlukan. Kegiatan ini bersumber dari dana sukarela yang dikeluarkan oleh petani dan PL. Selain itu, kegiatan SLPHT swadaya ini sebagai saran untuk pendekatan anggota kelompok tani secara kekeluargaan. Salah satu kegiatan SLPHT yang bersifat swadaya adalah kegiatan SLPHT di Desa Ciherang yang dilaksanakan pada tahun 2000.

(38)

mengurangi dampak negatif dari pestisida yang diselenggarakan oleh Dinas Pertanian sejak tahun 1989, sedangkan program PTT merupakan program peningkatan produktivitas beras nasional dalam rangka ketahanan pangan yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Tanaman Pangan sejak tahun 2007.

(39)

Karakteristik Petani

Salah satu faktor yang mempengaruhi petani dalam proses pengambilan keputusan dalam usahatani yang dilakukannya adalah kondisi sosial ekonomi petani. Kondisi sosial ekonomi menjadi suatu kualifikasi petani untuk mengikuti arus informasi teknologi PHT. Beberapa kondisi sosial ekonomi yang penting yaitu lama pendidikan, pengalaman bertani, tingkat pendapatan, dan status pengusahaan pada lahan garapan (Untung 1993).

Pemilihan petani SLPHT yang dijadikan responden merupakan alumni SLPHT tahun 1992 dan 2000. Data alumni SLPHT diperoleh dari kelompok tani kedua desa. Perbedaan tahun ajaran SLPHT ini sebagai perbandingan dalam ilmu dan proses penerapan komponen PHT antara petani alumni SLPHT tahun 1992 dengan petani alumni SLPHT tahun 2000.

Petani padi yang menjadi responden sebanyak 35% berumur 51 sampai 60 tahun. Petani usia produktif yang berumur 15 sampai 64 tahun lebih banyak pada petani peserta nonSLPHT dibandingkan dengan petani SLPHT. Karakterisrik petani dalam hal tingkat pendidikan formal, 65% petani SLPHT dan 75% petani nonSLPHT hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar (SD). Menurut Untung (1993), kondisi usia petani dengan tingkat pendidikan yang masih rendah akan mempengaruhi proses pemahaman komponen PHT dalam waktu yang lama. Hasil wawancara menunjukkan bahwa usia dan tingkat pendidikan petani tidak berpengaruh terhadap proses pemahaman komponen PHT, namun faktor yang mempengaruhi hal tersebut adalah pengalaman bertani, status kepemilikan lahan garapan, dan kondisi ekonomi petani dalam kegiatan usahatani. Hal ini bertentangan dengan pernyataan Untung (1993).

Jumlah tanggungan keluarga petani responden bervariasi dari 1 sampai 9 orang tiap kepala keluarga. Sebagian besar dari mereka memiliki tanggungan keluarga tidak lebih dari 9 orang. Bagi masyarakat petani padi di Desa Purwasari dan Desa Ciherang, bercocok tanam padi bukan merupakan hal yang baru. Sebanyak 90% petani SLPHT maupun nonSLPHT memiliki pengalaman usahatani lebih dari 20 tahun. Mereka cukup lama berbudidaya padi dalam usahataninya.

(40)

waktu yang tersedia untuk usahatani menjadi berkurang. Tabel 10 menyajikan secara lengkap karakteristik petani yang diwawancarai.

Tabel 10 Karakteristik petani responden

Karakteristik Petani responden (%)

SLPHT NonSLPHT

Status Kepemilikan dan Luas Lahan Pertanian

(41)

keputusan. Selain itu, luas lahan garapan dapat menentukan petani dalam mengambil keputusan. Hal ini berkaitan dengan biaya produksi secara ekonomi. Petani pemilik lahan juga sering menggarap lahan milik warga sekitar yang ditanami padi untuk menambah hasil usahanya.

Sebanyak 50% petani SLPHT dan 70% petani nonSLPHT memiliki luas lahan garapan kurang dari 0.5 ha. Petani yang memiliki luas lahan garapan antara 0.5 sampai 1 ha sebanyak 50% dan 25% masing-masing pada petani SLPHT dan petani nonSLPHT (Tabel 11).

Luas lahan pertanian untuk padi yang diusahakan oleh petani SLPHT berkisar dari 0.25 sampai 1 ha per petani, sedangkan untuk petani nonSLPHT berkisar dari 0.125 sampai 0.7 ha per petani. Luas lahan pertanian petani responden dapat dinyatakan sempit dengan total luas lahan petani SLPHT sebesar 9.35 ha dan petani nonSLPHT sebesar 9 ha (Lampiran 2 dan 3). Luas lahan pertanian yang sempit ini disebabkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan pemukiman sebagai akibat meningkatnya jumlah penduduk.

Tabel 11 Pemilikan dan pengusahaan lahan

Lahan Petani responden (%)

(42)

tanam merupakan varietas tahan penyakit dengan produksi tinggi dan hasil produksi (beras) disenangi konsumen.

Tabel 12 Varietas padi yang ditanam petani

Varietas padi Petani responden (%)

SLPHT NonSLPHT

Hasil Panen dan Sistem Penjualan

Hasil panen padi rata-rata per hektar petani SLPHT adalah 7.5 ton per musim tanam (Lampiran 4). Hasil panen ini lebih tinggi dari hasil panen padi rata-rata per hektar petani nonSLPHT yaitu 4.3 ton per musim tanam (Lampiran 5). Produksi per hektar yang dicapai oleh petani SLPHT sebagian besar sekitar antara 7.6 sampai 8 ton tetapi ada juga yang dapat mencapai > 8.6 ton. Sebanyak 30% petani nonSLPHT memperoleh hasil panen sekitar dari 3.1 sampai 3.5 ton/ha sedangkan 5% petani nonSLPHT lainnya memperoleh hasil panen tertinggi mencapai 6.6 ton/ha (Tabel 13).

Tabel 13 Hasil panen padi per hektar per musim tanam

Hasil panen (ton/ha) Petani responden (%)

(43)

Semua petani responden memasarkan hasil panennya dengan menjual padi ke penggilingan. Nilai harga jual padi yang diterima oleh petani yang satu dengan yang lain berbeda-beda. Harga jual padi di Desa Purwasari dan Desa Ciherang dalam musim tanam tahun 2011/2012 berkisar antara Rp 2700.- dan Rp 3000.- per kg.

Proporsi Biaya Input Usaha Tani

Usaha tani padi memerlukan banyak biaya, namun biaya yang dikeluarkan petani bervariasi. Proporsi biaya produksi terbesar berasal dari biaya tenaga kerja (Tabel 14), dalam 1 musim tanam rata-rata mencapai 51.27% untuk petani SLPHT dan 49.19% untuk petani nonSLPHT. Biaya tenaga kerja rata-rata mencapai Rp 905 000.- untuk petani SLPHT (Lampiran 4) dan Rp 1 104 550.- untuk petani nonSLPHT (Lampiran 5). Biaya tenaga kerja berasal dari biaya pengolahan tanah, penanaman, penyemprotan pestisida, dan biaya pemanenan. Biaya tenaga kerja biasanya dihitung berdasarkan sistem kerja harian. Umumnya tenaga kerja pria besarnya Rp 30 000.- per hari, sedangkan tenaga kerja wanita Rp 20 000.- per hari. Mereka bekerja selama 4 sampai 6 jam dalam 1 hari kerja.

Proporsi biaya pestisida petani nonSLPHT lebih besar dari petani SLPHT. Penggunaan pestisida sebagai cara pengendalian OPT tidak menjamin peningkatan produksi padi. Hal ini terlihat pada penjelasan sebelumnya bahwa hasil panen petani SLPHT lebih besar dibandingkan dengan hasil panen petani nonSLPHT.

Tabel 14 Rata-rata proporsi biaya input usahatani padi terhadap total biaya produksi per hektar per musim tanam

Input usahatani Biaya yang dikeluarkan petani (%)

SLPHT NonSLPHT

Bibit / benih 0.00 0.00

Pupuk padat 46.71 41.81

Pupuk cair 0.96 3.05

Pestisida 1.06 5.95

(44)

Semua petani responden mendapat bantuan berupa benih dan pupuk organik buatan pabrik dari pemerintah melalui petugas pertanian dan dikoordinasikan oleh ketua kelompok tani sehingga petani responden tidak membeli benih dan pupuk organik buatan. Hal ini dapat mengurangi biaya produksi yang harus dikeluarkan petani setiap menjalankan usahataninya.

Budidaya Tanaman

Pengetahuan petani tentang budidaya tanaman dapat dikatakan sudah baik. Seluruh petani responden mengetahui bahwa benih padi yang baik adalah benih yang berasal dari tanaman sehat. Mereka juga mengetahui manfaat pupuk kandang dapat menggemburkan tanah. Selain itu, seluruh petani responden mengetahui pada saat pemupukan, air sawah sebaiknya tidak terlalu menggenang supaya sebagian pupuk tidak hilang karena menguap dan terbawa air. Seluruh petani SLPHT dan 60% petani nonSLPHT juga mengetahui bahwa pemupukan yang baik adalah pemupukan yang lengkap (NPK) (Lampiran 6).

Penentuan Waktu Tanam

Pada umumnya lahan pertanaman padi petani responden pada lahan beririgasi teknis, pengairan dapat diatur sehingga waktu tanam dapat ditentukan dan serempak. Menurut Untung (1993), penanaman serempak merupakan bagian dari salah satu metode yang disarankan dalam PHT sebab dapat mengurangi serangan berbagai hama dan penyakit.

Seluruh petani SLPHT dan 60% petani nonSLPHT telah melakukan penanaman serempak, namun 40% petani nonSLPHT lainnya tidak melakukan hal tersebut dengan alasan mereka mempunyai keputusan sendiri untuk menentukan waktu tanam atas lahannya sendiri.

(45)

membendung air untuk irigasi dan membersihkan sungai dari sampah secara rutin supaya aliran air irigasi tidak tersendat.

Petani responden yang menanam padi di lahan tadah hujan tidak dapat mengatur pengairan sehingga mengalami kekeringan. Mereka hanya dapat mengharapkan turunnya hujan sebab lahan kebun yang ditanami tanaman palawija pun mengalami kekeringan bahkan sebagian tanamannya mati sehingga petani mengalami kerugian dan tidak dapat melakukan kegiatan usahatani seperti biasanya. Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai buruh/kuli dan berdagang untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.

Teknik Bercocok Tanam

Pengetahuan petani tentang budidaya tanaman padi umumnya telah baik. Semua petani responden mengetahui bahwa benih padi sebaiknya berasal dari tanaman sehat. Bibit dalam larik umumnya ditanam dengan jarak tanam 20 x 20 cm, 25 x 25 cm, dan sistem legowo 2:1. Sistem tanam legowo dapat mempermudah pelaksanaan pemeliharaan, pemupukan, dan pengamatan hama/penyakit yang dilakukan melalui barisan kosong.

Tindakan sebagian besar petani dalam menerapkan teknik budidaya tanaman umumnya telah baik. Sebelum melakukan penanaman, mereka melakukan pengolahan lahan dengan menggunakan traktor, namun ada juga yang menggunakan sapi atau kerbau karena traktor yang biasa mereka gunakan mengalami kerusakan. Penggunaan traktor untuk mengolah tanah lebih menguntungkan dibandingkan dengan menggunakan sapi atau kerbau. Selain lebih efisien, pengolahan tanah dengan traktor juga dapat membalikkan tanah sehingga tunggul padi yang tertinggal setelah panen dapat tertimbun dengan baik. Usaha ini cukup efektif untuk mengendalikan hama padi yang mampu bertahan hidup dalam tunggul padi.

(46)

Pemupukan

Petani padi umumnya menggunakan 3 jenis pupuk, yaitu pupuk organik alami (pupuk kandang), pupuk padat sintetik, dan pupuk pelengkap cair (PPC) organik. Sebagai pengganti pupuk kandang, petani responden menggunakan pupuk organik padat buatan pabrik. Jenis pupuk kandang yang paling banyak digunakan 57.14% petani SLPHT dan 52.17% petani nonSLPHT adalah kotoran domba. Sebanyak 71.42% petani SLPHT dan 69.57% petani nonSLPHT memberikan pupuk kandang dan pupuk organik padat buatan ini di bawah dosis yang dianjurkan (Tabel 15).

Penggunaan pupuk kandang masih lebih rendah dari dosis anjuran dikarenakan banyaknya pupuk kandang yang diperoleh petani tidak tentu. Selain itu, tidak semua petani memiliki hewan ternak yang kotorannya dapat dimanfaatkan sebagai pupuk kandang. Oleh karena itu, sebagian dari mereka menggunakan pupuk organik padat buatan sebagai penggantinya. Selain itu, petani responden juga menggunakan pupuk kompos hasil dari pengomposan jerami. Pupuk kompos yang diberikan tergantung dari banyaknya kompos yang diperoleh dari pengomposan jerami tersebut.

Tabel 15 Penggunaan pupuk kandang

Pupuk kandang Petani responden (%)

SLPHT NonSLPHT

Organik buatan 38.10 39.13

Dosis a

< Anjuran 71.42 69.57

= Anjuran b 14.29 26.08

> Anjuran 14.29 4.35

a

Sumber: Purwono dan Purnamawati (2007).

b

Dosis anjuran pupuk kandang atau pupuk organik buatan = 2 sampai 5 ton/ha (Purwono dan Purnamawati 2007).

(47)

memberikan pupuk P sesuai dosis anjuran, sedangkan pupuk N diberikan di bawah dosis anjuran oleh 60% petani nonSLPHT. Untuk pupuk K, petani SLPHT yang memberikan di bawah dan sesuai dosis anjuran berimbang yaitu masing-masing 50%. Petani nonSLPHT tidak ada yang menggunakan pupuk K dengan alasan menurut mereka harga pupuk KCL yang relatif mahal (Tabel 16).

Harga pupuk yang mahal menjadi salah satu kendala petani dalam budidaya tanaman padi. Petani menjadi tidak dapat menggunakan pupuk sesuai dosis anjuran sehingga mereka memilih untuk membeli pupuk sesuai dengan kemampuan secara ekonomi. Oleh karena itu, sebagian besar petani menggunakan pupuk di bawah dosis anjuran.

Tabel 16 Dosis penggunaan pupuk padat sintetik

Jenis Dosis pupuk a Petani responden (%)

Sumber: Purwono dan Purnamawati (2007)

b

Dosis anjuran pupuk N = 200 kg/ha.

c

Dosis anjuran pupuk P = 75 sampai 100 kg/ha.

d

Dosis anjuran pupuk K = 75 sampai 100 kg/ha.

(48)

mengakibatkan dampak negatif terhadap tanaman dan lingkungan. Mereka menyatakan bahwa PPC organik dapat meningkatkan hasil panen, mempercepat pertumbuhan tanaman padi, dan menyebabkan daun tanaman padi menjadi lebih segar dan malai lebih banyak.

Tabel 17 Penggunaan pupuk pelengkap cair (PPC) organik per musim tanam

Pupuk pelengkap cair organik Petani responden (%)

SLPHT NonSLPHT

Penggunaan PPC organik

Petani yang menggunakan PPC

organik 65.00 30.00

Petani yang tidak menggunakan PPC

organik 35.00 70.00

Sesuai anjuran 100.00 100.00

a

Dosis PPC anjuran = 2 cc/lliter air (Sudarmono 1997).

PPC organik yang biasa digunakan oleh petani tanaman padi terdiri dari 5 jenis merek dagang. Super Aci merupakan merek dagang PPC organik yang paling banyak digunakan oleh 58.85% petani SLPHT dan 49.99% petani nonSLPHT (Tabel 18).

Tabel 18 Jenis PPC organik yang digunakan petani

Jenis PPC Petani responden (%)

(49)

Pemeliharaan Tanaman

Pada umumnya penyulaman tanaman dilakukan antara 1 sampai 2 minggu setelah tanam (MST) oleh 60% petani SLPHT dan 55% petani nonSLPHT (Tabel 19). Bibit sulaman merupakan bibit cadangan pada persemaian bibit dari jenis yang sama.

Tabel 19 Waktu penyulaman tanaman yang mati

Waktu (MST) Petani responden (%)

SLPHT NonSLPHT

≤ 1 25 25

< 1 sampai < 2 60 55

≥ 2 15 20

Pemanenan

Sebanyak 60% petani SLPHT dan 80% petani nonSLPHT menentukan umur panen padi dengan pengamatan visual yaitu dengan melihat kenampakan padi pada hamparan sawah. Petani lainnya, 40% petani SLPHT dan 20% petani nonSLPHT menentukan umur panen berdasarkan pengamatan teoritis seperti perhitungan umur tanaman. Semua petani melakukan cara panen potong bawah dengan menggunakan sabit, 85% petani SLPHT dan 75% petani nonSLPHT melakukan sistem panen kelompok (Tabel 20) dengan jumlah pemanen berkisar antara 5 sampai 7 orang. Sebagian besar petani responden memanfaatkan jerami untuk dijadikan kompos dan pakan ternak (Tabel 21).

Tabel 20 Cara pemanenan padi yang dilakukan petani responden

Pemanenan padi Petani responden (%)

(50)

Tabel 21 Tindakan petani terhadap jerami

Tindakan Petani responden (%)

SLPHT NonSLPHT

Dibakar 0 0

Dikomposkan 100 50

Dibuat pakan ternak 0 50

Pengamatan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)

Pengamatan OPT memegang peranan penting dalam sistem PHT yang bertujuan memprediksi keberadaan status hama maupun penyakit sehingga dapat melakukan tindakan pengendalian sedini mungkin, menginformasikan peringatan dini mengenai perkembangan populasi hama dan penyakit yang merugikan serta menunjang rekomendasi pengendalian OPT yang tepat (Suryanto 2010).

Semua petani responden yang diwawancarai melakukan pengamatan di lahannya. Pengamatan tersebut untuk pengambilan keputusan dalam pengendalian OPT, termasuk untuk penyemprotan pestisida dan untuk mengevaluasi hasil penyemprotan sebelumnya. Sebanyak 85% petani SLPHT dan 75% petani nonSLPHT melakukan pengamatan dengan selang waktu kurang dari 1 minggu bahkan cenderung dilakukan setiap hari. Hal ini didukung dengan lokasi lahan sawah yang jaraknya tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Hanya 20% petani nonSLPHT yang mengamati OPT secara tidak teratur karena jarak sawah dengan tempat tinggal relatif jauh dan ditambah dengan usia petani yang sudah tua (Tabel 22).

Tabel 22 Pengamatan OPT yang dilakukan petani

Tindakan pengamatan

Petani responden (%)

SLPHT NonSLPHT

Tidak teratur 0 20

Selang waktu

< 1 minggu 85 75

(51)

Setiap melakukan pengamatan, 70% petani SLPHT dan 50% petani nonSLPHT mengamati ada tidaknya serangan hama dan menduga populasi hama. Petani responden menduga populasi hama berdasarkan tingkat serangan dan jumlah hama yang tampak/terihat di lahan sawah.

Pengendalian Gulma

Menurut Permadi et al. (1993), gulma perlu diwaspadai karena merupakan pesaing dalam penggunaan air, cahaya, dan unsur hara. Selain itu, gulma juga merupakan inang bagi hama dan penyakit, bahkan dapat mengeluarkan toksin yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman budidaya.

Banyaknya gulma di pertanaman merupakan salah satu masalah yang dialami oleh hampir semua petani tetapi penanggulangannya relatif mudah. Pengendalian dan pemberantasan gulma yang ada di pertanaman padi dikendalikan secara mekanik dengan penyiangan oleh petani responden. Penyiangan secara mekanik dengan menggunakan cangkul kecil, sabit atau tangan dengan mencabut rumput-rumput yang dikerjakan sekaligus dengan menggemburkan tanah. Frekuensi penyiangan dilakukan 2 kali selama musim tanam yaitu pada 3 dan 6 MST. Menurut mereka, gulma yang sulit dikendalikan adalah gulma babawangan (Fimbristylis miliacea L.) (Gambar 1A), gulma daun lebar Ludwigia arcuata Walt (Gambar 1B), dan gunda Sphenoclea zeylanica Gaertn (Gambar 1C).

Gambar 1 Gulma yang sulit dikendalikan menurut petani: (A) Fimbristylis miliacea (L.), (B) Ludwigia arcuata Walt., dan (C) Sphenoclea zeylanica Gaertn.

(52)

Pengamatan Hama dan Penyakit

Pengetahuan petani terhadap hama/penyakit dan pengendaliannya.

Hama dan penyakit merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi petani. Permasalahan hama dan penyakit yang dihadapi oleh petani padi dalam musim tanam tahun 2011/2012 antara lain walang sangit, keong mas, tungro, dan hawar daun bakteri. Hama dan penyakit padi yang lain menurut petani responden tidak terlalu merugikan. Sebanyak 95% petani SLPHT yang diwawancarai menempatkan walang sangit sebagai permasalahan terpenting di lahan sawahnya sedangkan 95% petani nonSLPHT menempatkan penyakit tungro sebagai permasalahan terpenting di lahan sawahnya (Tabel 23).

Tabel 23 Hama/penyakit terpenting pada pertanaman padi petani responden

Jenis hama/penyakit

Serangan walang sangit (Leptocorisa acuta) dapat menyebabkan kehilangan hasil antara 10% sampai 25%. Salah satu pengendalian yang dilakukan oleh seluruh petani SLPHT dan 60% petani nonSLPHT yaitu dengan cara penanaman serentak. Sebanyak 40% petani nonSLPHT lainnya menggunakan pestisida untuk mengendalikan hama walang sangit.

Menurut petani responden, hama keong mas (Pomacea canaliculata) merupakan hama penting setelah walang sangit. Serangan keong mas terjadi pada saat persemaian sampai tanaman berumur 4 MST. Pada tanaman padi fase generatif, gangguan keong mas hanya terjadi pada anakan sehingga jumlah anakan produktif menjadi berkurang. Semua petani responden mengendalikan hama keong mas dengan cara mengambil dan mengumpulkan hama tersebut kemudian dijadikan pakan bebek.

(53)

disebabkan oleh dua jenis virus yaitu virus bentuk batang (RTBV: rice tungro bacilliform virus) dan bentuk bulat (RTSV: rice tungro sperical virus) yang hanya dapat ditularkan oleh wereng, terutama yang paling efisien adalah spesies wereng hijau Nephotettix virescens Distant. Pengendalian yang dilakukan petani SLPHT dan 5% petani nonSLPHT di antaranya dengan penanaman serentak, eradikasi tanaman sakit, dan penanaman dengan cara legowo yang dapat mengurangi pemencaran wereng hijau serta penyemprotan pestisida secara bijaksana. Sebanyak 95% petani nonSLPHT hanya melakukan penyemprotan pestida untuk mengendalikan penyakit tersebut.

Penyakit penting lainnya yaitu penyakit hawar daun (Xanthomonas oryzae

pv. oryzae) yang dapat menyebabkan kehilangan hasil antara 30% sampai 40%. Pengendalian yang dilakukan oleh petani responden di antaranya dengan penanaman cara legowo atau jarak tanam yang tidak terlalu rapat. Petani SLPHT menggunakan pupuk lengkap sebagai salah satu cara pencegahan terjadinya penyakit hawar daun, sedangkan petani nonSLPHT menggunakan insektisida untuk pengendaliannya.

(54)

Tabel 24 Pengetahuan petani tentang penularan penyakit pada tanaman padi

Penularan Petani responden (%)

SLPHT NonSLPHT

Tidak menular 0 0

Menular 100 85

Melalui aliran air dan angin 15 50

Melalui aliran air, angin, dan gesekan antartanaman

0 5

Melalui aliran air, angin, tanah, dan serangga vektor

75 20

Melalui air dan tanah 5 0

Melalui angin 5 10

Tidak tahu 0 15

Selain penyakit biotik, petani responden juga mengetahui gejala penyakit abiotik. Berdasarkan pengalamannya, mereka menyatakan bahwa gejala kekurangan unsur Nitrogen sering terjadi jika pemupukan yang dilakukan tidak merata. Sebagian besar petani SLPHT memiliki alat bagan warna daun (BWD) (Gambar 2) untuk mengukur warna daun dan mengetahui waktu pemberian pupuk N berdasarkan warna daun. Alat tersebut dapat membantu petani untuk menekan biaya pemakaian pupuk sebanyak 15% sampai 20% dari takaran yang umum digunakan petani tanpa menurunkan hasil.

Gambar 2 Alat bagan warna daun (BWD): (A) tampak depan, (B) tampak belakang

(55)

Penggunaan Pestisida

Pengetahuan petani dalam hal teknik penyemprotan menunjukkan bahwa semua petani SLPHT dan 89.47% petani nonSLPHT membaca label pestisida sebelum menggunakannya dan pada saat penyemprotan berjalan searah dengan arah angin. Adapun dalam kaitannya dengan aspek keamanan lingkungan, pengetahuan petani SLPHT lebih baik dibandingkan dengan petani nonSLPHT. Sebagian besar petani responden menyadari bahwa pencucian tangki bekas menyemprot tidak boleh dilakukan di sungai. Mereka juga mengetahui perlunya memakai perlengkapan pelindung terutama penutup hidung dan mulut untuk menghindari bahaya keracunan pada saat menyemprot (Lampiran 7).

Sebanyak 50% petani SLPHT menyatakan sudah tidak menggunakan pestisida sejak tahun 1993. Mereka yang masih menggunakan pestisida menyatakan bahwa penggunaan pestisida sintetik sebagai alternatif terakhir jika komponen teknologi pengendalian lainnya tidak efektif. Petani SLPHT cenderung menggunakan pestisida nabati yang menurutnya lebih ramah lingkungan. Pestisida nabati yang digunakan di antaranya terbuat dari daun sirsak, serai, tembakau, dan bahan tanaman lain yang menurutnya tidak disukai serangga.

Petani nonSLPHT cenderung untuk mengedepankan aplikasi pestisida untuk mengendalikan OPT. Ketergantungan petani nonSLPHT terhadap pestisida sudah sangat tinggi. Penggunaan pestisida dianggap memberikan hasil yang lebih memuaskan dengan cara aplikasi yang tidak rumit. Mereka menyadari dan mengetahui dampak dari penggunaan pestisida, namun mereka telah beranggapan bahwa penggunaan pestisida merupakan pengendalian yang sangat ampuh dan menjadikan suatu keharusan dalam mengendalikan hama dan penyakit. Menurutnya, jika tidak dilakukan penyemprotan, maka produktivitas tanaman padi akan turun bahkan mengalami gagal panen.

(56)

Pada pelaksanaan penyemprotan, sekitar 83.33% petani SLPHT dan 63.16% petani nonSLPHT melaksanakan sendiri tanpa dibantu oleh orang lain (Tabel 25). Sekitar 90% petani responden memiliki alat semprot sendiri, 10% petani yang tidak memiliki alat semprot meminjam dari petani yang lahannya saling berdekatan. Jenis alat semprot yang dimiliki ialah knapsacksprayer.

Tabel 25 Pelaksanaan penyemprotan pestisida

Penyemprotan Petani responden (%)

SLPHT NonSLPHT

Melaksanakan sendiri 83.33 63.16

Mengupahkan kepada orang lain 16.67 21.05

Melaksanakan sendiri dan mengupahkan 0.00 15.79

Sebanyak 6 merek dagang insektisida berspektrum luas digunakan untuk mengendalikan hama pada padi. Sejumlah insektisida yang digunakan petani SLPHT, Decis dan Matador merupakan 2 merek dagang insektisida yang paling banyak digunakan (masing-masing 41.68% dan 33.33%), sedangkan 42.11% petani nonSLPHT mencampurkan 2 merek insektisida antara Matador dan Decis (Tabel 26).

Tabel 26 Jenis pestisida yang digunakan petani untuk pengendalikan hama dan penyakit pada tanaman padi

Kerasionalan Petani Terhadap Penggunaan Pestisida

(57)

penggunaan pestisida. Sebanyak 58.33% petani SLPHT menggunakan pestisida sesuai dosis anjuran, sedangkan 52.63% petani nonSLPHT menggunakan pestisida di atas dosis anjuran (Tabel 27). Penggunaan pestisida di bawah atau di atas dosis anjuran dapat mempercepat timbulnya resistensi dan resurjensi hama, terutama jika insektisida yang sama digunakan secara terus-menerus.

Tabel 27 Penggunaan pestisida untuk pengendalian hama dan penyakit tanaman padi

Penggunaan pestisida Petani responden (%)

SLPHT NonSLPHT

Setelah ada serangan 100.00 78.95

Dasar penyemprotan selanjutnya

Ada serangan lagi 100.00 73.68

Berjadwal

(58)

Tabel 28 Kesesuaian sasaran penggunaan pestisida

Kesesuaian sasaran Petani responden (%)

SLPHT NonSLPHT

Sesuai 100.00 68.43

Insektisida untuk patogen 0.00 21.05

Fungisida sebagai pupuk 0.00 10.52

Kecenderungan Mencampur Pestisida

Semua petani SLPHT menyatakan bahwa penggunaan pestisida tidak dapat dicampur dengan beberapa jenis pestisida lain tetapi petani nonSLPHT berpendapat bahwa pestisida yang dicampur akan meningkatkan daya bunuhnya, efisiensi (mengendalikan hama dan penyakit sekaligus), dan dapat menghemat waktu (Lampiran 8) (Tabel 29). Hal ini memperlihatkan bahwa petani nonSLPHT tidak rasional dalam menggunakan pestisida.

Menurut Wudiarto (1999), 2 jenis pestisida bila dicampur dapat menimbulkan reaksi sinergistik, aditif atau antagonistik. Apabila pencampuran yang dilakukan menimbulkan reaksi antagonistik berarti pestisida tersebut tidak dapat dicampur, di lapangan petani tidak memperhatikan hal ini. Apabila pencampuran tersebut menyebabkan timbulnya senyawa garam, maka hal itu dapat menurunkan daya bunuh dari campuran tersebut.

Gambar

Tabel 7  Lokasi dan jumlah petani pelaksana kegiatan SLPHT tahun 2008 a
Tabel 10  Karakteristik petani responden
Tabel 13  Hasil panen padi per hektar per musim tanam
Tabel 16  Dosis penggunaan pupuk padat sintetik
+7

Referensi

Dokumen terkait

Fenomena distribusi adalah suatu fenomena dimana distribusi suatu senyawa antara dua fase cair yang tidak saling bercampur, tergantung pada interaksi fisik dan

Sistem Konferensi Nirkabel DICENTIS umum (lihat gambar berikut dan penomoran pada halaman berikutnya) terdiri atas Wireless Access Point (1) (termasuk adapter catu daya)

Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Banyuasin Nomor 33 Tahun 2003 Tentang Retribusi Pelayanan Pasar dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pasar adalah tempat

Teori-teori yang banyak dipakai dalam menjelaskan perilaku split-ticket voting menempatkan pemilih pada level high information dengan niat dan kemampuan pemilih untuk

Berdasarkan hasil analisis penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara dukungan sosial suami

Dalam tradisi Yunani, istilah hermeneutika diasosiasikan dengan Hermes (Hermeios), seorang utusan (dewa) dalam mitologi Yunani Kuno yang bertugas menyampaikan dan menerjemahkan

penggunaan suatu produk tertentu.  Periklanan dapat menambah nilai yang lebih positip terhadap produk dan gengsi serta derajat konsumen kalau konsumen selalu

Seperti yang diungkapkan oleh Rasyaf (1991), semakin lama telur tetas disimpan maka pori-pori kulit telur akan semakin lebar, sehingga memungkinkan penetrasi