• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Potensi lahan kering untuk menunjang pembangunan pertanian di Indonesia sangat besar yaitu 148 juta ha (78%) dari total luas daratan Indonesia sebesar 188,20 juta ha (Adimihardja dan Sutono, 2005). Dari luas lahan kering tersebut, 225.309,14 ha berada di Kabupaten Bogor atau sekitar 75 % dari luas total Kabupaten Bogor (299.428,15 ha), digunakan untuk pertanian, perkebunan, kehutanan, padang penggembalaan dan lahan kosong (Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, 2008).

Optimalisasi pemanfaatan lahan kering di Indonesia termasuk di Kabupaten Bogor masih banyak menghadapi tantangan, terutama karena adanya ancaman degradasi lahan yang dicirikan dengan penurunan sifat fisik, kimia dan biologi (Lal, 2000). Degradasi lahan adalah proses penurunan produktivitas lahan, baik yang sifatnya sementara maupun tetap. Akibat lanjut dari proses degradasi lahan adalah timbulnya lahan-lahan yang tidak produktif yang dikenal dengan lahan kritis (Dariah, et al., 2004). Luas lahan kritis di Indonesia sudah mencapai 21,08 juta ha, dimana 17,35 juta ha lahan kritis tersebut berada di areal pertanian (Kurnia, et al., 2000). Luas lahan kritis tersebut meningkat terus tiap tahunnya dan pada tahun 2006 sudah mencapai 77,80 juta ha (Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, 2006). Sementara itu luas lahan kritis di Kabupaten Bogor pada akhir tahun 2008, sudah mencapai 25.229,98 ha (8,4%) di mana tiap tahunnya menunjukkan adanya peningkatan (Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, 2008).

Menurut Dariah, et al. (2004), penyebab utama degradasi lahan di Indonesia adalah erosi air sebagai akibat curah hujan dengan jumlah dan intensitas yang tinggi, disamping pengelolaan lahan kering berlereng yang tidak memperhatikan aspek konservasi tanah dan kelestarian lingkungan, serta pencemaran bahan kimia (Kurnia, et al., 2000; Syam, 2003; Singer dan Munns, 2006; Tan, 2009). Proses degradasi lahan yang disebabkan oleh erosi air dikategorikan sebagai degradasi erosif yaitu proses degradasi yang berhubungan dengan pemindahan bahan atau material tanah oleh kekuatan air (Sitorus, 2009).

(2)

Dalam rangka mendukung rencana pemerintah mendayagunakan lahan kering terdegradasi khususnya pada lahan-lahan terlantar atau yang ditelantarkan serta lahan-lahan marjinal untuk pengembangan pertanian, maka perlu dilakukan identifikasi dan inventarisasi tingkat degradasi lahannya, sehingga rencana penggunaan dan tindakan rehabilitasinya dapat disusun dengan lebih terarah dan tepat sasaran. Beberapa instansi pemerintah menggunakan berbagai pendekatan dalam upaya penanggulangan lahan terdegradasi, diantaranya adalah kriteria lahan kritis. Departemen Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan menggunakan pendekatan untuk kepentingan reboisasi dan rehabilitasi lahan kritis yang berada di dalam kawasan hutan di daerah aliran sungai/DAS. Selanjutnya Direktorat Bina Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan, DITJEN Tanaman Pangan DEPTAN, juga memiliki kriteria lahan kritis dengan parameter-parameternya yang berbeda. Pusat Penelitian Tanah menggunakan penutupan vegetasi, tingkat torehan/kerapatan drainase, penggunaan lahan, dan kedalaman tanah (solum) untuk menentukan tingkat kekritisan lahan. Parameter-parameter tersebut umumnya dinilai secara kualitatif, sehingga untuk kegunaan praktis agak sukar diaplikasikan, khususnya bagi pelaksana di lapangan. Dengan berbagai macam kriteria dan parameter sumberdaya lahan yang digunakan sebagai parameter penentu kriteria lahan kritis, dapat dipahami terdapat perbedaan data luas dan penyebaran lahan kritis di Indonesia yang menyebabkan prioritas penanganan dan penanggulangannyapun berbeda-beda (Kurnia, et al., 2007).

Pada tahun 2001, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat telah meneliti dan membuat rancang bangun kriteria lahan terdegradasi, disebut SODEG (Kurnia, 2001) dengan menggunakan pendekatan penilaian parameter-parameter sumberdaya lahan yang bersifat alami (natural assessment), dan paramater-parameter sumberdaya lahan yang dipengaruhi oleh aktivitas manusia (antrophogenic assessment). Model tersebut belum diuji dan divalidasi, sehingga menghasilkan kesimpulan yang sedikit berbeda dengan kriteria Pusat Penelitian Tanah tahun 1997. Untuk keperluan perencanaan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah secara nasional, masih diperlukan penelitian lebih lanjut. Tahun 2007, Balai Penelitian Tanah melakukan penelitian lanjutan dan melakukan perubahan serta perbaikan kriteria degradasi lahan

(3)

sebelumnya terutama terhadap parameter curah hujan, kedalaman tanah, vegetasi, dan teknik konservasi tanah (Kurnia et al., 2007). Hasil dari penelitian tersebut adalah penetapan baku mutu parameter degradasi lahan dan kriteria lahan terdegradasi yang dimaksudkan untuk perencanaan konservasi tanah dan rehabilitasi lahan pertanian pada skala 1:250.000.

Menurut Kurnia, et al. (2007), masih diperlukan perbaikan terhadap kriteria degradasi lahan yang telah dihasilkan terutama parameter curah hujan, kedalaman tanah, serta vegetasi dan penutupannya. Selain itu, karena skala penelitiannya baru pada taraf perencanaan, sehingga dalam aplikasinya masih banyak mengalami hambatan dan kesalahan, maka diperlukan penelitian pengembangan kriteria dan klasifikasi tingkat degradasi lahan untuk skala operasional (lebih detil) melalui penelitian yang lebih sistematis.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas secara garis besar dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang terkait dengan penelitian yang dilakukan yaitu :

(1) Lahan kering di Indonesia telah mengalami degradasi yang ditunjukkan oleh semakin bertambahnya lahan kritis setiap tahunnya, dimana pada tahun 2001 sebesar 21,08 juta ha dan pada tahun 2006 sudah mencapai 77,80 juta ha. (2) Dalam upaya mendayagunakan lahan kering terdegradasi khususnya lahan

terlantar atau ditelantarkan (lahan marjinal) untuk pengembangan pertanian di Indonesia diperlukan adanya identifikasi dan inventarisasi tingkat degradasi lahan, sehingga rencana penggunaan dan tindakan rehabilitasi yang disusun lebih terarah dan tepat sasaran. Sementara itu, kriteria dan klasifikasi yang digunakan untuk menilai tingkat degradasi lahan pada lahan kering di Indonesia masih banyak kelemahan dan masih perlu dikembangkan lebih sistematis dan mendalam (lebih detil).

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian ini adalah :

(4)

1. Menghasilkan kriteria untuk tiap variabel penentu tingkat degradasi lahan di lahan kering pada skala tinjau dan semi-detil.

2. Menghasilkan klasifikasi tingkat degradasi lahan di lahan kering pada skala tinjau dan semi-detil.

3. Mengetahui keterkaitan tingkat degradasi lahan dengan erosi.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Dapat digunakan untuk melakukan identifikasi dan inventarisasi tingkat degradasi lahan di lahan kering.

2. Dapat dijadikan dasar dalam perencanaan penggunaan lahan dan tindakan rehabilitasinya

1.5. Kerangka Pemikiran

Degradasi lahan merupakan masalah serius yang melintasi perbatasan negara, zona ekologi dan tingkat sosial-ekonomi. Hal ini sangat membahayakan bagi masyarakat miskin di dunia yang tinggal di lahan kering. Degradasi lahan berdampak pada penurunan produktivitas pertanian dan pada akhirnya menurunkan tingkat pendapatan masyarakat. Adanya ancaman degradasi lahan yang semakin serius, dimana Proyek GLASOD menghitung, sudah 22,5 % dari total lahan produktif di dunia terdegradasi sejak tahun 1945, dan kondisi sampai saat ini bertambah dengan sangat cepat (Stocking dan Murnaghan, 2000). Penyebab utama degradasi lahan di dunia adalah akibat erosi baik oleh agensia air ataupun angin, kemudian degradasi kimia dan degradasi fisik. Secara global, dari total luas lahan terdegradasi sebesar 19,65 juta km2, 10,94 juta km2

Penyebab utama degradasi lahan di Indonesia juga disebabkan oleh erosi air, khususnya di wilayah Indonesia bagian barat dengan curah hujan yang tinggi baik jumlah maupun intensitasnya. Oleh karena itu, berdasarkan prosesnya dikenal degradasi yang bersifat erosif dan non-erosif (Barrow, 1991; Sitorus, 2009). Degradasi erosif berhubungan dengan pemindahan bahan atau mineral tanah oleh erosi air dan angin, sedangkan degradasi non-erosif merupakan

(55,7%) disebabkan oleh erosi air dan sisanya adalah erosi angin, degradasi kimia dan degradasi fisik (Eswaran et al., 2001).

(5)

deteriorasi (kerusakan) in-situ yang dapat merupakan proses degradasi kimia tanah atau fisika tanah.

Ruang lingkup dari penelitian ini dibatasi pada degradasi yang bersifat erosif yang meliputi faktor-faktor penyebabnya sebagai parameter-parameter yang akan digunakan dalam penyusunan kriteria dan klasifikasi tingkat degradasi lahan dengan menggunakan metode statistik sebagai alat analisisnya. Menurut Lal, et al. (1998), metode yang dikembangkan untuk penilaian tingkat degradasi lahan harus sederhana, murah, mudah digunakan, dan dapat menghubungkan antara tingkat degradasi lahan dengan produktivitas dan tindakan pengelolaannya. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam mengembangkan metodologi identifikasi tingkat degradasi lahan perlu memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu: (i) kualitas lahan (ii) resiliensi tanah, (iii) iklim, dan (iv) pengelolaan termasuk penggunaan lahan dan sistem usahatani.

Erosi sebagai penyebab utama proses degradasi lahan yang bersifat erosif merupakan interaksi kerja antara faktor-faktor iklim, topografi, vegetasi dan manusia terhadap tanah. Oleh karena itu dalam pengembangan kriteria dan klasifikasi tingkat degradasi lahan harus dapat melibatkan kelima faktor tersebut. Untuk memudahkan dalam melakukan pengkriteriaan dan pengklasifikasian tingkat degradasi lahan, maka faktor-faktor tersebut selanjutnya dikelompokkan menjadi faktor biofisik (faktor alami) dan faktor penggunaan lahan serta manajemennya (faktor yang dipengaruhi aktivitas manusia). Faktor biofisik meliputi : kondisi erosi tanah, tanah, kemiringan lereng, ketinggian tempat, dan curah hujan. Faktor pengunaan lahan dan manajemen dapat dikelompokkan menjadi : penggunaan lahan dengan vegetasi alam, penggunaan lahan dengan campur tangan manusia, dan tindakan konservasi.

Secara ringkas kerangka pikir penelitian pengembangan kriteria dan klasifikasi tingkat degradasi lahan di lahan kering yang didasarkan pada parameter biofisik dan penggunaan lahan serta manajemennya dapat digambarkan seperti tertera pada Gambar 1.

(6)

Gambar 1. Kerangka pikir pengembangan kriteria dan klasifikasi tingkat degradasi lahan pada lahan kering

KRITERIA DAN KLASIFIKASI TINGKAT DEGRADASI LAHAN SKALA TINJAU

Variabel Penentu Degradasi Skala Tinjau

Analisis Regresi Sederhana - Prediksi Erosi MUSLE

Variabel Penentu Degradasi Skala Semi-Detil

Penyusunan Kriteria (Selang Pengkelasan)

Penyusunan Kriteria (Selang Pengkelasan)

KRITERIA DAN KLASIFIKASI TINGKAT DEGRADASI LAHAN SKALA SEMI-DETIL

Analisis Regresi Sederhana - Prediksi Erosi MUSLE ANALISIS STATISTIK

Analisis Gerombol Analisis Diskriminan Berganda

dengan Metode Stepwise

FAKTOR ALAMI PENGARUH MANUSIA

DEGRADASI EROSIF DEGRADASI NON-EROSIF

EROSI AIR

Erosi Lembar Erosi Alur Erosi Parit

- Iklim (Curah Hujan) - Topografi (Kemiringan Lereng) - Tanah - Penggunaan Lahan (Vegetasi) - Manajemen (Pengelolaan Lahan) SURVEI LAPANG PETA DASAR PETA TEMATIK DEGRADASI LAHAN ANALISIS LABORATORIUM

Gambar

Gambar 1.  Kerangka pikir pengembangan kriteria dan klasifikasi tingkat  degradasi lahan pada lahan kering

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan indeks Shannon-Wienner kategori kualitas perairan di kawasan mangrove desa Lubuk Kertang yaitu tergolong tercemar sedang.. Kata kunci : Kawasan Mangrove,

Kesiapan masyarakat dalam menghadapi rencana pembangunan waduk kuningan.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas berkat dan kasih karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Keanekaragaman

[r]

Kelebihan metode deteksi dengan genetic analyzer dibandingkan dengan metode analisis elek- troforesis gel manual antara lain (1) set panel multi- pleks terdiri dari paling sedikit

Disarankan dalam memberikan pelayanan penanganan keluhan yang optimal kepada pasien RSUD Pasar Rebo mempertimbangkan untuk melakukan perbaikan dan peningkatan dari

Angka korelasi sebesar -0.483 dapat diartikan sebagai hubungan antar kelompok variabel independen dengan variabel dependen "CARBSM'' mempunyai korelasi yang sangat

Sistem perpipaan harus mempunyai fleksibilitas yang cukup, agar pada saat terjadi ekspansi termal dan kontraksi, pergerakan dari penyangga dan titik persambungan pada system